• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA PENEGAKAN HUKUM APARAT KEPOLISIAN DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK PEREMPUAN Studi Kasus di Kepolisian Resor Surabaya Selatan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UPAYA PENEGAKAN HUKUM APARAT KEPOLISIAN DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK PEREMPUAN Studi Kasus di Kepolisian Resor Surabaya Selatan."

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN

ANAK PEREMPUAN

Studi Kasus di Kepolisian Resor Surabaya Selatan

SKRIPSI

Oleh :

RENI PRISTIYANI

NPM. 0671010080

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAWA TIMUR FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA

(2)

iv

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Disini penulis mengambil judul : Upaya Penegakan

Hukum Aparat Kepolisian Dalam Tindak Pidana Perdagangan Anak

Perempuan Studi Kasus di Kepolisian Resor Surabaya Selatan.

Penyusunan skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan sesuai

kurikulum yang ada di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur. Di samping itu dapat memberikan bekal tentang hal-hal

yang berkaitan dengan disiplin ilmu hukum dalam mengadakan penelitian guna

penyusunan skripsi.

Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan, dan

dorongan oleh beberapa pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak

terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Sudarto, MP., selaku Rektor Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Bapak Soetrisno, S.H., M.Hum selaku WADEK II Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur yang ramah dalam

menjawab pertanyaan dari mahasiswa ataupun memberikan saran kepada

(3)

v

Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.

5. Prof. Dr. Wahyono, S.H., M.S., selaku Pembimbing Utama yang selalu

memberi kemudahan dan solusi kepada penulis.

6. Ibu Wiwin Yulianingsih, S.H., M.Kn., selaku Dosen Pembimbing

Pendamping yang selalu memberikan dukungan, masukan, dan kesabaran

dalam memberikan pengarahan terhadap penulis.

7. Bapak Eko Wahyudi, S.H., Fauzul S.H.I., M.Hum, serta Ibu Yana Indawati,

S.H, M.Kn dan Mas Anienda Tien. F, S.H., MH yang selalu bersikap fleksibel

dan tidak terkesan formil kepada mahasiswa-mahasiswanya sehingga

menjadikan penulis lebih terbuka dalam berkomunikasi.

8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen program studi Ilmu Hukum yang tidak bisa

penulis sebutkan satu-persatu.

9. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional

”Veteran” Jawa Timur yang sabar dan ramah dalam melayani mahasiswa/i.

10.Kedua Orang tuaku, yakni Mudayani selaku Ayah dan Suciati selaku Ibu,

yang selalu memberikan bantuan, doa, saran dan kritik, serta dukungan di

setiap langkah yang penulis kerjakan. Thank you for love and goodness light

my days, and sharing your life and stories with me.

11.Kakek dan Nenekku yang tercinta, yang selalu sabar dalam menuntun dan

membimbing penulis agar selalu mensyukuri segala nikmat dan anugerah

(4)

vi

12.Kakak dan Adikku yang selalu ada in times of need dan yang selalu membuat

penulis lebih berfikir dewasa dalam menilai dan melakukan segala hal. Thanks

for being there.

13.Teman-teman mahasiswa/i Fakultas Hukum angkatan 2006, khususnya Maya

Dyah, Leny Eka, Gheza Dorkas, Hartyan Romanda, Ruben, Rio, Adi Adrian,

Pringgo, Wawan, Yudi dan seluruh teman-teman Fakultas Hukum yang selalu

ada dihati yang penulis tidak bisa sebutkan satu-persatu.

14.Especially for Novy ”Mpot” Rachmawati, Lucia ”Oneng” Eirene, Ainur

”Adek” Rizqi, Dony ”Oom” Eko Setiawan, Wahib ”Abang” Syarif, Fajar

”Boss” Amin, I Putu ”Gembel” Satrya Dharma, Rudy ”Kirunz” Setiawan, dan

Sigit ”Kolonk” Purnomo yang sudah menjadi sahabat terbaik dan

penyemangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih kurang sempurna,

karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan penulis

untuk memperbaiki dan menyempurnakan skripsi ini yang selanjutnya.

Surabaya, Mei 2010

(5)

vii

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI . ii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

ABSTRAK ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ………. 5

1.5. Kajian Pustaka ……… 6

1.6. Metodelogi Penelitian ... 9

BAB II BENTUK UPAYA PENEGAKAN HUKUM APARAT

(6)

viii

2.1. Aparat Kepolisian Sebagai Penyelidik dan Penyidik Dalam

Penegakan Hukum Tindak Pidana Perdagangan Anak

Perempuan ... 15

2.1.1. Proses Penyelidikan dan Penyidikan Dalam Tindak

Pidana Perdagangan Anak Perempuan ... 19

2.1.2. Data Kriminalitas Mengenai Perdagangan Anak

Perempuan di Kepolisian Resor Surabaya Selatan .. 24

2.1.3. Skema Proses Penyidikan Dalam Tindak Pidana

Perdagangan Anak Perempuan ... 25

2.1.4. Uraian Skema Proses Penyidikan Terhadap Korban

Tindak Pidana Perdagangan Anak ... 26

2.1.5. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Aparat Kepolisian

dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan

Anak Perempuan ... 28

2.2. Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Perempuan

Korban Tindak Pidana Perdagangan Anak ... 31

2.2.1. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Perempuan Korban Perdagangan Anak Yang

Terdapat dalam Instrumen Hukum Nasional ... 33

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK PEREMPUAN

(7)

ix

Perempuan ... 41

3.3. Kasus Perdagangan Anak Perempuan Di Wilayah Kepolisian

Resor Surabaya Selatan

3.3.1. Fakta Hukum ... 44

3.3.2. Pertimbangan Hukum ... 45

3.3.3. Analisa Hukum ... 47

3.4. Faktor-Faktor Anak Perempuan Menjadi Korban Tindak

Pidana Perdagangan Orang ... 48

3.5. Sanksi Pidana Pelaku Perdagangan Anak Sebagai Bentuk

Pertanggungjawaban Pidana ... 53

BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan ... 60

4.2. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA

(8)

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan

hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak

merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28B ayat (2) dan Keputusan Presiden Republik

Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 (untuk selanjutnya disingkat Keppres RI No.

36 Th. 1990) tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Dari sisi

kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan

generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak untuk hidup,

tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

tindak kekerasan dan diskriminasi.

Perdagangan orang bukanlah hal baru di zaman ini sebelum merdeka

pun sudah banyak terjadi dalam bentuk perbudakan. Perdagangan orang

sendiri sebenarnya telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang

terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam

negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara,

serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap

hak asasi manusia. Bisnis perdagangan orang saat ini banyak menjerat anak.

Bisnis seperti ini merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan

(9)

praktik perdagangan orang ini ternyata banyak terjadi di negara ini. Orang

sebagai “obyek dagang” dalam transaksi ini yang mayoritas adalah anak

perempuan. Berbagai survei, penelitian, dan pengamatan menunjukkan kasus

perdagangan orang cenderung meningkat dan kian memprihatinkan.

Dewasa ini perdagangan anak perempuan sering di jumpai dalam

bentuk prostitusi, tenaga dan bekerja, pengemis, dan sebagainya yang terjadi

pada wanita dan anak-anak. Kenyataannya, dalam masyarakat sekarang ini

banyak sekali terjadi eksploitasi terhadap anak, contoh yang paling konkrit

sering kita jumpai di perempatan jalan. Kita melihat banyak anak-anak

perempuan yang mengemis maupun mengamen di jalanan. Berkaitan dengan

persoalan tersebut di atas bahwa anak-anak yang dipakai sebagai obyek

eksploitasi tenaga dan bekerja, ada pula yang di pakai sebagai obyek

eksploitasi seksual komersial.

Tindak pidana perdagangan anak perempuan ini sudah ada aturan

yang lebih khusus mengaturnya, akan tetapi aparat penegak hukum belum

sepenuhnya merespon dengan baik, seperti halnya kasus yang terjadi

khususnya di Surabaya ditemukan fakta-fakta tindak eksploitasi anak

perempuan di bawah umur 18 tahun oleh beberapa orang untuk dipekerjakan

di tempat-tempat hiburan atau prostitusi yang khususnya berada di kawasan

gang Doli Surabaya.

Pekerja anak perempuan dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk unruk

anak merupakan masalah yang kompleks, berdimensi sosial, ekonomi dan

(10)

3

kelahiran, faktor pendidikan, faktor budaya, perkawinan dini, pekerjaan

menyerupai perbudakan, kebijakan hukum yang bias gender. 1

Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat

kepolisian dalam melindungi korban perdagangan anak belum maksimal.

Upaya yang mereka lakukan bisa dikategorikan hanya penangganan sesaat,

temporer, dan justru tidak memperhatikan trauma psikis dan gangguan

psikologis yang besar kemungkinan menimpa korban perdagangan anak.

Dampak yang diderita pasca menjadi korban perdagangan anak, yaitu mereka

mengalami trauma sehingga tidak mau untuk diajak berkomunikasi dengan

orang lain, perasaan malu dan menyesali diri sendiri secara berlebihan, serta

mengalami rasa sakit akibat tindak kekerasan fisik yang dilakukan oleh germo

atau oleh orang yang menyewanya.

Untuk itu, maka diperlukanlah suatu perlindungan hukum terhadap

anak-anak sebagai korban perdagangan, karena anak adalah harapan bangsa

dan calon penerus cita-cita bangsa. Upaya perlindungan terhadap anak-anak

perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan

sampai anak itu dewasa. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang

utuh dan menyeluruh, seperti yang tertulis dalam Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (untuk selanjutnya

disingkat UU No. 23 Th. 2002), yang menentukan :

“Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:

a. non-diskriminasi;

1 Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Cetakan I, Citra Aditya Bakti,

(11)

b. kepentingan yang terbaik bagi anak;

c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak.

Dewasa ini diperkirakan kasus-kasus yang berkaitan dengan

pelanggaran hak-hak anak semakin banyak, anak-anak perempuan

membutuhkan suatu bentuk perlindungan khusus. Negara kita sebenarnya

telah banyak memberikan perhatian terhadap hak-hak anak. Hal ini

dibuktikan dengan adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang usaha kesejahteraan anak dan ikut serta Indonesia dalam

menandatangani Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention On The Right

of The Children) sebagai hasil Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

(untuk selanjutnya disingkat PBB) pada tanggal 26 Januari 1990 dan

diratifikasi dengan Keppres RI No. 36 Th. 1990 tentang Pengesahan

Konvensi Hak-Hak Anak. Dalam pelaksanaannya masih menghadapi

berbagai kendala yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain peraturan

pemerintah belum semuanya dilaksanakan dan diterapkan secara efektif,

kesigapan aparat pemerintah dan aparat hukum, dan kurangnya perhatian dan

peran serta masyarakat dalam perlindungan anak.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah

yang dalam penelitian ini adalah :

1. Apa bentuk upaya penegakan hukum aparat Kepolisian terhadap tindak

pidana perdagangan anak perempuan ?

(12)

5

3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana yang dikenakan terhadap pelaku

tindak pidana perdagangan anak ?

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk penegakan hukum aparat

kepolisian terhadap perdagangan anak perempuan sebagai korban.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan

perdagangan anak perempuan.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis pertanggungjawaban pidana pelaku

tindak pidana perdagangan anak perempuan.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

a. Manfaat Teoritis

1. Dapat mengetahui bentuk upaya penegakan hukum yang diberikan

oleh aparat kepolisian terhadap tindak pidana anak perempuan.

2. Dapat pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk

pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana perdagangan anak

perempuan serta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

perdagangan anak perempuan.

3. Untuk pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan hukum pidana

(13)

b. Manfaat Praktis

1. Penelitian skripsi ini diharapkan diharapkan dapat memberikan

gambaran secara jelas dan mendetail mengapa perdagangan anak

perempuan perlu diberantas.

2. Penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukkan maupun

saran bagi semua pihak, baik kepada pemerintah, aparat penegak

hukum, maupun masyarakat dalam menanggani tindak pidana

perdagangan anak perempuan.

1.5. Kajian Pustaka

Sehubungan dengan kajian tentang masalah upaya penegakan hukum

aparat Kepolisian dalam menangani tindak pidana perdagangan anak, maka

dapat dikemukakan konsep-konsep berikut ini.

a. Penegakan Hukum

Menurut Soerjono Soekanto, arti penegakan hukum adalah, keserasian hubungan antara nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan berwujud dengan perilaku sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk meciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan walaupun kenyataan di indonesia kecendrungannya adalah demikian.2

(14)

7

Suharto yang dikutip oleh R. Abdussalam menyebutkan bahwa penegakan hukum adalah, suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan aparat penegak hukum baik tindakan pencegahan maupun penindakan dalam menerapkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku guna menciptakan suasana aman, damai, dan tertib demi kepastian hukum dalam masyarakat.4

b. Tindak Pidana Perdagangan Anak

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat dikatakan

juga perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum

dilarang dan diancam pidana, namun perlu diingat bahwa larangan

ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang

ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya

ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu.5

Pada hakekatnya setiap perbuatan pidana harus terdiri atas

unsur-unsur yang lahir karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan akibat

yang ditimbulkan karenanya. Yang merupakan unsur atau elemen

perbuatan pidana, yakni antara lain6

:

1. Kelakuan atau akibat (perbuatan).

2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.

3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.

4. Unsur melawan hukum yang obyektif.

5. Unsur melawan hukum yang subyektif”.

4 R. Abdussalam, Penegakan Hukum di Lapangan oleh Polri, Gagas Mitra Catur Gemilang,

1997, h. 18

5 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, h. 54

(15)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disingkat

KUHP) juga menyebutkan mengenai pengertian dari perbuatan pidana,

yaitu terdapat dalam pasal 1 ayat (1), ”barang siapa melakukan perbuatan

pidana diancam dengan pidana”, akan tetapi tentang penentuan perbuatan

menganut Azas Legalitas yang menentukan bahwa tiada suatu perbuatan

dapat dipidana melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam

perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi.

Secara konseptual perdagangan anak perempuan dapat dipahami

sebagai suatu aktifitas yang meliputi proses perekrutan, pengangkatan,

pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman

atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, yaitu

penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi

ataupun memberi atau menerima bayaran serta manfaat tertentu sehingga

memperoleh persetujuan dari orang-orang yang memegang kendali atas

orang lain yang rentan tereksploitasi.

Bentuk-bentuk eksploitasi disini meliputi, eksploitasi seksual,

eksploitasi tenaga dan pekerja, perbudakan atau praktek-praktek lain yang

serupa dengan perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ-organ

tubuh.7

Sampai sekarang, terdapat kecenderungan penyempitan makna

perdagangan anak perempuan yang seringkali hanya dilihat dari aspek

pelacuran. Padahal fakta menunjukkan bahwa perdagangan anak

7 Ahmad Sofian, et al, Menggagas Model Penanganan Perdagangan Anak: Kasus Sumatera

(16)

9

perempuan bukan hanya untuk tujuan pelacuran, tapi memiliki makna

yang luas. Hal ini tidak terlepas dari tingginya permintaan terhadap

anak-anak untuk berbagai tujuan.8

c. Pertanggungjawaban Pidana

Hukum pidana menentukan yang dinamakan dengan

pertanggungjawaban pidana yang dibatasi dengan ketentuan-ketentuan UU

pertanggungjawaban menjurus pada pemidanaan petindak. Jika telah

menentukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang

ditentukan dalam UU dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang

terlarang atau diharuskan. Asas pertanggungjawaban pidana adalah tidak

dipidanakan jika tidak ada kesalahan.9

Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai

”toerker baarheid criminal resposibility, criminal liability”.

Pertanggungjawaban pidana dimaksud untuk menentukan apakah seorang

tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan suatu tindak pidana yang

terjadi atau tidak.10

1.6. Metodelogi Penelitian Hukum A.Jenis Dan Tipe Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini

menggunakan “metode penelitian hukum normatif”, yaitu mengkaji

(17)

hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam

masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang”.11

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum deskriptif

bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi)

lengkap tentang keadaan hukum di tempat tertentu dan pada saat tertentu

yang terjadi dalam masyarakat.12 Jadi dalam penelitian ini menggunakan

metode penelitian hukum normatif dan tipe penelitian menggunakan

penelitian hukum diskriptif.

B. Sumber Data

Sumber data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data

sekunder. “Data Sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, bila perlu bahan hukum tersier. Data sekunder pada dasarnya

adalah data normatif terutama yang bersumber dari

perundang-undangan”.13

a. “Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai

kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau

mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan

(kontrak, konvensi, dokumen hukum, dan putusan hakim)”.14 Bahan

penelitian ini terdiri dari beberapa perundang-undangan :

1. Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar

(18)

11

2. Peraturan Perundang-undangan, yaitu Undang-undang.

Berdasarkan teori diatas, maka Bahan hukum primer yang penulis

gunakan adalah :

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab

Undang-undang Hukum Pidana;

3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana;

4) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang;

5) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

6) Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian negara

Republik Indonesia;

7) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Perlindungan Hak

Asasi Manusia;

8) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak

Asasi Manusia;

9) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban;

b. ”Bahan Hukum Sekunder, yaitu : Bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal

hukum, laporan hukum, dan media cetak atau elektronik)”15

(19)

c. ”Bahan Hukum tersier, yaitu : bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

(contohnya : Rancangan Undang-undang, kamus hukum, dan

ensiklopedia)”.16

C. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menganalisis data ini

adalah data sekunder yaitu studi kepustakaan, dengan cara mempelajari

buku-buku, Undang-undang, KUHP, Peraturan Pemerintah yang berkenaan dengan

tindak pidana perdagangan anak khususnya anak perempuan.

D.Metode Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode

kualitatif yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang

teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan

interpretasi data dan pemahaman hasil analisis, kemudian hasilnya akan

dimanfaatkan untuk membahas permasalahan yang diajukan dalam skripsi

ini.17

E.Sistematika Penulisan

Skripsi dengan judul ”Upaya Penegakan Hukum Aparat Kepolisian

Dalam Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan Studi Kasus di

Kepolisian Resor Surabaya Selatan”, dalam pembahasannya dibagi menjadi IV

(empat) bab, sebagaimana yang diuraikan dibawah ini :

(20)

13

Bab I, adalah merupakan Pendahuluan dan di dalamnya

menguraikan tentang ltar belakang masalah dan berdasarkan latar belakang

masalah tersebut, maka dirumuskan permasalahan. Selanjutnya disajikan

tujuan dan manfaat penelitian sebagai sasaran yang ingin dicapai melalui

penelitian ini. Pada Kajian Pustaka yang merupakan landasan dari

penulisan skripsi, yang kemudian diuraikan definisi yang berkaitan dengan

judul di atas. Selanjutnya diuraikan tentang Metode Penelitian yang

merupakan salah satu syarat mutlak dalam setiap penelitian, yang intinya

mengemukakan tentang jenis dan tipe penelitian, sumber data, metode

pengumpulan dan pengolahan data, serta metode analisis data, dengan

pertanggungjawaban sitematika.

Bab II, merupakan pembahasan mengenai rumusan masalah yang

ada pada bab I, yaitu: bentuk upaya penegakan hukum aparat kepolisian

atas tindak pidana perdagangan anak perempuan, yang meliputi : proses

penyelidikan dalam tindak pidana perdagangan anak perempuan, proses

penyidikan dalam tindak pidana perdagangan anak perempuan, skema

proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana perdagangan anak

perempuan, uraian skema proses penyidikan terhadap korban tindak

pidana perdagangan anak perempuan, kendala-kendala yang dihadapi oleh

aparat kepolisian dalam penanganan tindak pidana perdagangan anak

perempuan. Serta membahas mengenai upaya perlindungan hukum

(21)

Bab III, berisi tentang pembahasan rumusan masalah yang kedua

dan ketiga, yaitu: pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana

perdagangan anak perempuan, kasus perdagangan anak perempuan di

wilayah Kepolisian Resor Surabaya Selatan, serta faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya perdagangan anak, khususnya anak perempuan.

Bab IV, mengakhiri semua pembahasan dan analisa dari

keseluruhan bab sebelumnya (dari bab I, II, dan III), maka pada bab ini

dapat dibuat bebrapa kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka

disarankan beberapa hal sebagai masukan tentang hal-hal mengenai upaya

penegakan hukum aparat kepolisian dalam tindak pidana perdagangan

(22)

15

BAB II

BENTUK UPAYA PENEGAKAN HUKUM APARAT KEPOLISIAN ATAS TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK PEREMPUAN

2.1. Aparat Kepolisian Sebagai Penyelidik dan Penyidik Dalam Penegakan

Hukum Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan

Aparat kepolisian yang dalam hal ini adalah lembaga yang berwenang

untuk melakukan penyidikan terhadap kasus perdagangan anak, di dalam

melaksanakan tugasnya selaku penegak hukum dipengaruhi faktor seperti

yang disebutkan di atas. Dengan demikian, untuk menentukan berhasil atau

tidaknya pemecahan suatu kasus perdagangan anak tidak hanya tergantung

dari satu faktor saja, semua faktor saling berhubungan erat dan mempengaruhi

satu sama lain.

Menurut Soerjono Soekanto, arti penegakan hukum adalah, keserasian hubungan antara nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan berwujud dengan perilaku sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk meciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan walaupun kenyataan di

indonesia kecenderungannya adalah demikian.18

Satjipto Rahardjo, menjelaskan bahwa hakekat dari penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan atau ide-ide hukum menjadi kenyataan. Keinginan hukum adalah pikiran badan pembentuk undang-undang, yang berupa ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kepastian hukm dan kemanfaatan sosial yang dirumuskan dalam peraturan

(23)

Berkaitan dengan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini, maka

digunakan teori mengenai penegakan hukum, yang menyatakan bahwa

faktor-faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum antara lain20 :

1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (untuk selanjutnya disebut

UU PTPPO) merupakan pedoman bagi aparat penegak hukum dalam

menerapkan penegakan hukum. Mencari dan menemukan kebenaran materiil

mempunyai posisi penting dalam penegakan hukum, khususnya hukum

pidana.

Pengaturan UU PTPPO ini dimaksudkan untuk menjalankan fungsi

hukum pidana itu sendiri yakni mengatur dan menyelenggarakan kehidupan

masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Berkaitan

dengan hal ini, secara khusus sebagai bagian dari hukum publik, hukum

pidana berfungsi21 :

1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang atau

memperkosa kepentingan hukum tersebut;

20Soerjono Soekanto, op. cit. h. 5

(24)

17

2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan

fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum;

3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka Negara

melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum.

Perlindungan yang dapat diberikan kepada Warga Negara Indonesia

adalah melalui instansi-instansi pemerintahan yang memiliki kewenangan,

dalam hal ini adalah aparat kepolisian yang dituntut perannya sebagai bentuk

pelayanan terhadap masyarakat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat

(1) dan ayat (2) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia, yakni :

(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang

berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional

yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Penerapan dan upaya penegakan hukum oleh aparat kepolisian dalam

melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana perdagangan

anak perempuan diawali dengan adanya informasi, laporan atau aparat

kepolisian mengetahui sendiri bahwa diduga telah terjadi tindak pidana

perdagangan anak perempuan.

Tindakan Kepolisian Resor Surabaya Selatan yang pertama kali dalam

menangani tindak pidana perdagangan anak perempuan yaitu melakukan

penyelidikan terhadap tindak pidana perdagangan anak perempuan yang

(25)

Berdasarkan tindakan penyelidikan tersebut, aparat kepolisi melakukan

penyidikan, yang dilakukan oleh penyidik. Tindakan penyidikan yaitu

merupakan tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mengumpulkan

bukti-bukti dan menemukan tersangkanya.

Untuk selanjutnya, proses penyidikan oleh aparat kepolisian berupa

Berita Acara Pemeriksaan (untuk selanjutnya disebut BAP), kemudian

diserahkan ke kejaksaan. Berdasarkan BAP, maka kejaksaan membuat surat

dakwaan dan melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri.

Aparat kepolisian menduduki posisi yang paling terdepan dalam proses

peradilan pidana. Aparat kepolisian yang pertama kali akan menindaklanjuti

segala pengaduan atau laporan atau telah diketahui sendiri tentang adanya

dugaan telah terjadi tindak pidana. Aparat kepolisian merupakan aparat yang

menyaring apakah dugaan telah terjadi pengaduan atau laporan tersebut.

Pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(untuk selanjutnya disebut KUHAP) bagi aparatur penegak hukum antara lain

untuk mengadakan persiapan dan kesiapan berkenaan berlakunya KUHAP,

untuk mencapai kesatuan pengertian penghayatan dan sinkronisasi dalam

pelaksanaan di lapangan. Penyidik yang akan berdiri digaris terdepan dalam

pelaksanaan penegak hukum perlu memperhitungkan akan terjadinya

masalah-masalah yang tidak dapat dihindari, terutama pada tahap-tahap permulaan

berlakunya KUHAP.22

22 Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Bina Aksara, Jakarta,

(26)

19

2.1.1.Proses Penyelidikan dan Penyidikan Dalam Tindak Pidana

Perdagangan Anak Perempuan

Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas membina dan

menyelenggarakan fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana,

termasuk fungsi identifikasi dan fungsi laboratorium forensik, dalam rangka

penegakan hukum di masyarakat.

Tindakan aparat Kepolisian Resor Surabaya Selatan yang pertama

kali dalam menangani tindak pidana perdagangan anak perempuan yaitu

melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana perdagangan anak

perempuan yang dilakukan oleh penyelidik. Penyelidik sebagaimana yang

dimaksud dalam pasal 4 KUHAP yaitu :

“Penyelidik adalah setiap Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia

yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan

penyelidikan”.

Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian penyelidikan terdapat

dalam Pasal 1 ayat (5) KUHAP adalah :

“Serangkaian tindakan peyelidik untuk mencari dan menemukan suatu

peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat

atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini.”

Berpegang dari ketentuan di atas, jelas bahwa yang berwenang

(27)

berdasarkan undang-undang dimaksud, sehingga pejabat lain tidak

berwenang untuk melakukan penyelidikan.

Dari adanya informasi, laporan atau aparat kepolisian mengetahui

sendiri bahwa diduga telah terjadi tindak pidana perdagangan anak

perempuan, maka untuk selanjutnya dilakukan proses penyelidikan yang

diserahkan pada pihak Reserse Kriminal (untuk selanjutnya disebut reskrim)

Kepolisian Resor Surabaya Selatan Unit V Perlindungan Perempuan dan

Anak (untuk selanjutnya disebut PPA) antara lain :

1. Para anggota reskrim unit V PPA yang dibantu dengan Kepala Sentra

Pelayanan Kepolisian (untuk selanjutnya disebut SPK) menuju ke

Tempat Kejadian Perkara (untuk selanjutnya disebut TKP).

2. Melakukan pemeriksaan sidik jari yang ditinggalkan oleh pelaku.

3. Memeriksa saksi yang secara tidak sengaja melihat kejadian tersebut dan

dimintai keterangannya.

4. Mencari barang bukti yang tertinggal di TKP.

Berdasarkan tindakan penyelidikan tersebut, aparat kepolisian

melakukan penyidikan, yang dilakukan oleh penyidik. Tindakan penyidikan

yaitu merupakan tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk

mengumpulkan bukti-bukti dan menemukan tersangkanya.

Menurut pasal 1 ayat (2) KUHAP menyebutkan yang dimaksud

dengan penyidikan adalah :

“Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang

(28)

21

yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang

terjadi guna menemukan tersangkanya.”

Tahap penyelidikan dan penyidikan oleh penyidik pihak reskrim

Kepolisian Resor Surabaya Selatan, berdasarkan dalam Pasal 7 ayat 1

KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang adanya tindak

pertama.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.

c. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

d. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memerikasa tanda

pengenal diri tersangka.

e. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan

penyitaan.

f. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi.

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara.

i. Mengadakan penghentian penyelidikan.

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.

Berdasarkan ketentuan tersebut serta ketentuan-ketentuan lainnya

yang tercantum dalam KUHAP mengenai penyidikan dari suatu tindak pidana

yang menjadi landasan serta pegangan bagi setiap penyidik dan penyelidik

dalam hal utama adalah membuat terang tindak pidana yang terjadi dan

menemukan tersangkanya. Jelaslah bahwa yang menjadi tujuan untuk

menemukan tersangkanya dimulai dengan penyelidikan untuk mencari dan

mengumpulkan bukti sehingga diperoleh “bukti permulaan yang cukup”.23

23 Irawati Harsono, Penanganan Polri Terhadap Kasus Perdagangan Perempuan dan Anak,

(29)

Untuk memperjelas pengertian penyidikan, dapat diuraikan bahwa

yang disebut penyidik menurut pasal 1 ayat (2) KUHAP, adalah : “Pejabat

Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu

yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan

penyidikan”.

Proses penyidikan terdiri atas :

1. Penangkapan

2. Penahanan

3. Penggeledahan

4. Penyitaan.

Adapun dalam praktek untuk proses penyidikan terhadap pelaku

tindak pidana perdagangan anak perempuan, antara lain :

A.Umum :

1. Dibuatkan Sprindik untuk tim yang menanggani;

2. Identifikasi permasalahan terhadap kasus yang ditangani;

3. Membuat Ren Sidik;

4. Polisi Wanita (untuk selanjutnya disebut Polwan) dilibatkan dalam

penanganan kasus tindak pidana perdagangan anak;

B.Khusus :

1. Pemanggilan Saksi;

2. Penyampaian informasi, informasi yang dibutuhkan korban adalah

(30)

23

• Tahapan penanganan perkara pidana khususnya berkenaan dengan

hak dan kewajiban korban;

• Kemungkinan untuk mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma;

• Bentuk perlindungan yang dibutuhkan korban selama dalam proses

sidik.

3. Bila korban, saksi dan tersangka berada di luar negeri :

• Membuat laporan lengkap dan permintaan penangkapan dengan

negara yang bersangkutan melalui Interpol juga Kedutaan Besar

(untuk selanjutnya disebut Kedubes) negara setempat.

• Agar Interpol menerbitkan Red Notice terhadap tersangka.

• Mengecek hubungan ekstradisi antara Indonesia dengan Negara

setempat.

• Bila ingin melakukan pemeriksaan, lakukan koordinasi dengan

pihak imigran dan kepolisian setempat.

4. Memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban sesuai dengan

UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

(untuk selanjutnya disebut UU no. 13 th. 2006).

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh penyidik atau penyidik pembantu

dalam melakukan penyidikan adalah sebagai berikut :

1. fasilitas apa saja yang terdapat pada saat korban ditampung.

2. tanggal, jam dan lokasi pintu masuk pada negara atau daerah tujuan, siapa

yang mengantar, dengan angkutan apa dan apakah melalui pemeriksaan

(31)

3. identitas apakah atau dokumen perjalanan apakah yang digunakan korban,

dimana dokumen itu sekarang dan rincian lengkap tentang dokumen tersebut.

4. selama dalam perjalanan ke negara tujuan apakah dokumen yang menyangkut

dirinya, dibawa sendiri atau dibawa oleh orang lain, kalau tidak dibawa sendiri

lalu siapa yang membawa.

5. saat kedatangan, siapa yang menghadiri atau menjemput, bagaimana kondisi

bangunan atau tempat penampungan korban di tempat tujuan.

6. korban pada saat disekap mengalami kekerasan seksual, fisik atau tekanan

psikologis dan pemerasan.

7. gambaran rinci tentang tersangka.

2.1.2. Daftar Kriminalitas Mengenai Perdagangan Anak Perempuan di

Kepolisian Surabaya Selatan

Data-data mengenai tindak pidana perdagangan anak perempuan

periode Januari 2009 sampai dengan Januari 2010 di Kepolisian Resor

Surabaya Selatan, yaitu :

Tabel.1

Data Kriminalitas di Polres Surabaya Selatan

No. JENIS

(32)

25

2.1.3.Skema Proses Penyidikan Dalam Tindak Pidana Perdagangan Anak

Perempuan

(33)

2.1.4.Uraian Skema Proses Penyidikan Terhadap Korban Tindak Pidana

Perdagangan Anak

Adapun dalam praktek untuk proses penyidikan terhadap pelaku dan

atau tersangka tindak pidana perdagangan anak yang dilakukan oleh pihak

Kepolisian Polres Surabaya Selatan adalah sebagai berikut :

1. menerima informasi, laporan dari masyarakat tentang adanya tindak

pidana tersebut, yang kemudian dilakukan tindakan pemanggilan,

penangkapan, penahanan, penggeledahan dan sita terhadap tersangka dan

atau pelaku tindak kejahatan perdagangan terhadap anak-anak. Atau

pihak reskrim mengetahui sendiri tentang adanya tidak pidana

perdagangan anak perempuan dari hasil lidik.

2. melakukan penyitaan terhadap barang bukti oleh para penyidik / penyidik

pembantu, yaitu misalnya berupa :

a. Uang, kartu kredit, cek dan dokumen yang berhubungan dengan

pembayaran yang dilakukan korban kepada pelaku.

b. KTP, tiket, kupon, kwitansi, kartu penumpang, label koper perjalanan.

c. Paspor, Visa, surat-surat perjanjian.

d. Dalam kasus Eksploitasi Seksual, artikel-artikel apa saja yang

berhubungan dengan pakaian seragam, alat bantu seks, kondom,

gambar atau bacaan porno.

e. Benda apa saja yang mungkin telah digunakan sebagai alat untuk

menyiksa, seperti benda-benda yang digunakan untuk menyerang,

(34)

27

sarung tangan, gembok, dan lain-lainnya.

f. Senjata yang tidak diperkirakan dapat digunakan untuk menyerang,

seperti gantungan baju, asbak rokok, dan lain-lainnya.

3. Kemudian barang bukti tersebut dibawa ke Laboratorium Forensik Polda

Jatim untuk segera dilakukan visum, apabila korban mengalami

kekerasan.

4. Yang dilanjutkan dengan :

• Penyidikan/BAP, dimana di dalam melakukan proses penyidikan

maupun BAP tersebut waktunya tidak tentu, untuk semua kasus.

• Melengkapi administrasi penyidikan, berupa :

a. surat perintah penangkapan;

b. surat perintah penyidikan;

c. surat perintah penggeledahan;

d. surat perintah penyitaan;

e. surat pemberitahuan kepada keluarga bahwa telah dilakukan

penahanan;

f. surat perintah penahanan.

• Dilakukan penahanan untuk proses penyidikan.

• Dibuatkan pemberitahuan keluarga oleh pihak kepolisian.

5. Mengirim Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke

Kejaksaan Negeri yang gunanya sebagai pemberitahuan kepada pihak

Kejaksaan akan dilakukan penyidikan oleh pihak kepolisian. Dan

(35)

hasil sita/geledah tersebut sebagai barang bukti untuk di bawa ke

Pengadilan Negeri.

6. Mengajukan perpanjangan penahanan selama 40 (empat puluh) hari ke

Kejaksaan Negeri, apabila masih ada kepentingan (berkas perkara belum

lengkap). Berkas perkara yang belum lengkap dinyatakan P.19,

dikembalikan ke pihak kepolisian untuk segera dilengkapi dikarenakan

BAP dinilai belum lengkap oleh pihak Kejaksaan.

Apabila semua berkas perkara selesai dan telah dilengkapi oleh

pihak kepolisian, kemudian dikirim ke Kejaksaan Negeri dan berkas perkara

dinyatakan P.21 (lengkap), dilanjutkan dengan pengiriman tahap 2 yaitu

pengiriman tersangka, barang bukti, dan BAP tersebut untuk dilimpahkan ke

Kejaksaan.

2.1.5.Kendala-Kendala Yang Dihadapi Aparat Kepolisian dalam

Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan

Kendala-kendala atau hambatan-hambatan yang dihadapi oleh aparat

kepolisian dalam tindak pidana perdagangan anak perempuan dengan tujuan

untuk dilacurkan, hakikatnya tidak dapat dilepaskan dengan kedudukan atau

posisi aparat kepolisian itu sendiri. Kedudukan aparat kepolisian adalah

paling depan dalam menangani proses perkara pidana. Proses di aparat

kepolisian merupakan awal dari proses perkara pidana ke aparat penegak

hukum selanjutnya, yakni kejaksaan, pengadilan, dan lembaga

(36)

29

pidana sangat mempengaruhi penanganan perkara pidana bagi aparat

penegak hukum selanjutnya.

Suatu proses perkara pidana untuk mendapatkan dan menemukan

sebuah kebenaran materiil atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran

materiil. Pengungkapan suatu tindak pidana yang diduga telah terjadi,

diperlukan beberapa hal yang harus dibuktikkan oleh aparat hukum,

khususnya kepolisian.

Penyidikan dilakukan untuk kepentingan peradilan, khususnya untuk

kepentingan penuntutan. Penyidikan merupakan tindakan yang bertujuan

untuk mendapatkan keterangan tentang24 :

1. tindak pidana apa yang telah dilakukan;

2. kapan tindak pidana itu dilakukan;

3. dimana tindak pidana itu dilakukan;

4. dengan apa tindak pidana itu dilakukan;

5. bagaimana tindak pidana itu dilakukan;

6. mengapa tindak pidana itu dilakukan;

7. siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana itu.

Berdasarkan dari hasil wawancara dengan pihak reserse kriminal

(selanjutnya disebut reskrim) Kepolisian Resor Surabaya Selatan, Kamis 6

Mei 2006, Pukul 16.00, secara umum kendala-kendala yang dihadapi oleh

(37)

aparat kepolisian dalam mengungkap dan menangani tindak pidana

perdagangan anak, yaitu antara lain sebagai berikut25 :

1. kurangnya kemampuan dikalangan aparat kepolisian dalam mengungkap

telah terjadi tindak pidana perdagangan anak;

2. kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh aparat kepolisian;

3. kurang sadarnya warga masyarakat dalam melaporkan bahwa telah

terjadi tindak pidana perdagangan anak.

Kendala yang paling sulit dihadapi oleh aparat kepolisian dalam

tindak pidana perdagangan anak ada 2 (dua) yaitu :

1. menemukan tersangka yang belum tertangkap;

2. menemukan alat bukti yang belum diketemukan.

Pasal 21 butir 1 KUHAP menyatakan, aparat kepolisian dalam

melakukan penahanan, pertama kali harus ada “bukti permulaan yang

cukup”. Belum diketemukannya bukti-bukti permulaan yang cukup, maka

akan menyulitkan aparat kepolisian melakukan penahanan terhadap pelaku

tindak pidana perdagangan anak perempuan.

2.2.Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Perempuan Korban

Tindak Pidana Perdagangan Anak

Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan anak

perempuan tidak hanya dilakukan dengan cara memberikan sanksi pidana

terhadap pelaku, melainkan juga dengan memberikan perlindungan hukum

(38)

31

terhadap para korbannya yaitu anak-anak khususnya anak perempuan yang

sering dijadikan obyek eksploitasi.

Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan

Pancasila, diawali dengan uraian tentang konsep dan deklarasi tentang hak

asasi manusia. Sesuai dengan isi pembukaan Undang-undang Dasar 1945

(untuk selanjutnya disebut UUD 1945 alinea ke-4, menyebutkan bahwa :

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Pancasila”.

Setiap orang yang menjadi Warga Negara Indonesia berhak

mendapatkan perlindungan. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal

28G ayat (1) dan (2), yakni :

(1)Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yand berada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

(2)Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memeperoleh suaka politik dari negara lain.

Pasal 28 H ayat (2), juga menentukan bahwa : “setiap orang berhak

mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh

kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”

Perlindungan hukum terhadap anak perempuan korban tindak pidana

(39)

terpenuhi hak-haknya sebagai anak yang merupakan salah satu tujuan untuk

melindungi anak-anak Indonesia. Dalam mewujudkan perlindungan dan

kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan

perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya, yaitu adanya

kerjasama dan tanggung jawab antara negara, pemerintah, masyarakat,

keluarga, dan orang tua serta adanya sarana dan prasarana yang mendukung.

Sifat yang khusus dari anak, terdapat pembedaan perlakuan dalam hukum

acara dan ancaman pidananya.

Dalam usaha perlindungan terhadap anak dapat dilakukan dengan

cara26:

1. Perlindungan secara langsung

Perlindungan secara langsung merupakan usaha yang berkaitan dengan

kepentingan anak antara lain pencegahan dari segala sesuatu yang

merugikan atau pengorbanan kepentingan anak disertai pengawasan

supaya anak berkembang dengan baik dan penjagaan terhadap gangguan

dari dalam dirinya dan luar dirinya.

2. Perlindungan tidak langsung

Dalam hal ini yang ditangani bukanlah anak secara langsung, tetapi para

partisipan lainnya dalam perlindungan anak. Seperti orang tua, petugas,

pembina, dan lain sebagainya. Usaha-usaha perlindungan anak yang tidak

langsung tersebut antara lain :

26 Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, Madar Maju, Bandung,

(40)

33

a. Mencegah orang lain merugikan kepentingan anak melalui peraturan

perundang-undangan.

b. Meningkatkan pengertian hak dan kewajiban anak.

c. Pembinaan mental, fisik, sosial para partisipan lain, dalam rangka

perlindungan anak.

d. Penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak.

2.2.1.Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Perempuan Korban

Perdagangan Anak Yang Terdapat dalam Instrumen Hukum Nasional

Upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan anak perempuan

tidak hanya dilakukan dengan cara menangkap dan menghukum para pelaku

saja, melainkan juga disertai dengan perlindungan hukum terhadap korban

dari perdagangan anak itu sendiri.

Perlindungan hukum bagi anak perempuan korban perdagangan anak

di Indonesia secara materiil sudah terpenuhi, hal ini terlihat pada peraturan

perundang-undangan di Indonesia yang mengatur masalah tindak pidana

perdagangan orang, yaitu :

1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

(untuk selanjutnya disebut UU no. 23 th. 2002)

UU no. 23 th. 2002 mengatur beberapa pasal yang diterapkan

mengenai perlindungan terhadap anak sebagai korban dalam tindak

pidana perdagangan anak, yaitu :

Pasal 59 memberikan perlindungan khusus kepada anak. Perlindungan

(41)

“Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat aditif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”

Pasal 68 merumuskan bahwa :

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan,

penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi, oleh pemerintah dan masyarakat.

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan,

melakukan, menyuruhlakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Korban perdagangan anak berdasarkan UU no. 23 th. 2002, perlu

diberikan perlindungan secara khusus, antara lain :

a. perlindungan berkaitan dengan identitas diri korban, terutama selama

proses persidangan. Bertujuan agar korban terhindar dari berbagai

ancaman atau intimidasi dari pelaku yang mungkin terjadi selama

proses persidangan berlangsung.

b. Jaminan keselamatan dari aparat berwenang. Korban harus

diperlakukan dengan hati-hati oleh aparat penegak hukum agar

keselamatannya terjamin sehingga dapat memberikan kesaksian.

c. Bantuan medis, psikologis, hukum, dan sosial, terutama untuk

mengembalikan kepada keluarga dan komunitasnya.

(42)

35

2. UU no. 13 th. 2006

Beberapa pasal yang menyangkut masalah pemberian

perlindungan terhadap korban kejahatan tertentu diterangkan juga dalam

UU no. 13 th. 2006. Dalam hal ini, tindak pidana perdagangan anak

termasuk merupakan tindak pidana yang dapat mengakibatkan korban

dan saksinya dihadapkan pada posisi yang membahayakan jiwa dari

anak-anak tersebut, karena sifat kejahatan ini bersifat internasional.

Mengenai bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap

anak perempuan korban perdagangan anak diterangkan dalam pasal 5

ayat (1).

Pasal 5 menerangkan bahwa :

(1) Seorang saksi dan korban berhak:

a.Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga,

dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang

e.Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

g.Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

h.Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

i. Mendapat identitas baru;

j. Mendapatkan tempat kediaman baru;

k.Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

l. Mendapat nasihat hukum; dan/atau

m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas

(43)

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

(selanjutnya disebut UU no. 39 th.1999)

Perlindungan terhadap anak perempuan korban perdagangan anak

disebutkan dalam Pasal 3 dan Pasal 65 UU no. 39 th. 1999.

Pasal 3 menerangkan bahwa :

”Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.”

Dari pasal 3 tersebut diambil kesimpulan bahwa, setiap orang

mempunyai harkat dan martabat yang sama, berhak memperoleh

perlindungan hukum atas hak asasi manusia, tanpa adanya diskriminasi.

Pasal 65 menerangkan bahwa :

”setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari

kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan,

perdagangan anak, serta berbagai bentuk penyalahgunaan

narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.”

4. UU no. 21 th. 2007 tentang UU PTPPO

Pasal-pasal yang berkaitan dengan pemberian perlindungan

hukum terhadap anak perempuan korban perdagangan anak, yaitu Pasal

43, Pasal 44, Pasal 48 dan Pasal 51 ayat (1).

(44)

37

”Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam

perkara tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan

berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.”

Mengenai pelaksanaan perlindungan terhadap anak perempuan

korban perdagangan anak tetap digunakan UU no. 13 th. 2006, kecuali

dalam UU ini menentukan lain (dalam UU ini mengatur sendiri).

Pasal 44 menerangkan bahwa :

(1)Setiap dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang

berhak memperoleh kerahasiaan identitas.

(2)Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan juga pada

keluarga saksi dan/atau korban mendapat ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan

c.Biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis;

dan/atau

d.Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat

perdagangan orang.

Pasal 51 menerangkan bahwa :

(1) Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan,

rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari

pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami

penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang.

Setiap korban pada asasnya dapat menuntut ganti kerugian terhadap

(45)

setidak-tidaknya dapat mengajukan gabungan perkara gugatan ganti kerugian. Proses

ini tidak dilalui oleh korban kejahatan hak asasi manusia oleh karena telah

ditentukan bahwa hak korban dicantumkan dalam amar putusan pengadilan.

Salah satu perbedaan yang essensil dengan korban kejahatan kriminalitas biasa

bahwa korban kejahatan hak asasi manusia mendapatkan ganti kerugian dari

negara yang disebut hak untuk mendapatkan kompensasi.

Upaya perlindungan korban dilaksanakan oleh Pemerintah Republik

Indonesia bersama dengan mitranya Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi

masyarakat, Lembaga Pengabdian Masyarakat, Perguruan Tinggi, dan

perseorangan yang peduli dengan masalah ini. Pemerintah memberikan

perlindungan kepada warga negaranya di manapun dia berada, baik di dalam

maupun di luar negeri. Perwakilan RI di luar negeri adalah lembaga pemerintah

yang bertanggung jawab memberikan perlindungan kepada warga Negara

Indonesia (untuk selanjutnya disebut WNI) sebagaimana diatur dalam Pasal 19

dan Pasal 21 Undang-Undang No. 7 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar

Negeri. Perlindungan yang diberikan selain layanan kesehatan, konseling, dan

bantuan administratif, juga termasuk memberikan penampungan yang aman

serta mengusahakan pemulangannya ke Indonesia.

Pasal 19, merumuskan bahwa:

“Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban untuk memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan

perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan

(46)

39

Pasal 21, merumuskan bahwa :

“Dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata, Perwakilan

Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan,

(47)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK

PIDANA PERDAGANGAN ANAK PEREMPUAN

3.1. Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan

Pasal 55 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 56 KUHP memberikan pengertian

tentang pelaku diatur dan menerangkan, sebagai berikut :

Pasal 55 merumuskan bahwa :

(1)Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana :

ke-1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan;

ke-2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

(2)Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang disengaja dianjurkan

sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Pasal 56 merumuskan bahwa :

Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) sesuatu kejahatan :

ke-1. Mereka dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

ke-2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Berdasarkan pasal 55 dan pasal 56 KUHP diatas yang dimaksud

dengan pelakunya adalah mereka yang melakukan, menyuruh melakukan,

turut serta melakukan, menganjurkan dan membantu melakukan.

Sedangkan Dalam pasal 1 angka 4 UU PTPPO yang dimaksud dengan

(48)

41

”Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang

melakukan tindak pidana perdagangan orang.”

Bahwa dari uraian pasal 1 angka 4 UU PTPPO diatas, selain orang

perseorangan sebagai subyek hukum dapat dikenai sanksi pidana.

Dalam kasus perdagangan anak perempuan, pelaku terbagi pada :

1. pelaku perekrutan (mengajak, menampung atau membawa korban);

2. pengiriman (mengangkut, melabuhkan atau memberangkatkan

korban);

3. pelaku penyerahterimaan (menerima, mengalihkan atau memindah

tangankan korban);

4. Dalam lingkup hubungan antara majikan dan pekerja, dapat juga

dikategorikan sebagai sebagai pelaku ketika seorang majikan

menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif. Kondisi yang

sering terjadi adalah tidak membayar gaji, menyekap pekerja,

melakukan kekerasan fisik atau seksual, memaksa untuk terus

bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan utang.

3.2. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Anak

Perempuan

Penjelasan mengenai pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dilepaskan

dari tindak pidana, walaupun dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk

masalah pertanggungjawaban pidana.27 ada hubungan erat antara perbuatan

pidana dengan pertanggungjawaban pidana, yang berarti bahwa perbuatan

(49)

pidana baru mempunyai arti kalau di sampingnya ada peratnggungjawaban

pidana, dan tidak mungkin ada pertanggungjawaban pidana kalau tidak ada

perbuatan pidana.28

Hukum pidana menentukan yang dinamakan pertanggungjawaban pidana

dibatasi dengan ketentuan-ketentuan undang-undang pertanggungjawaban

menjurus pada pemidanaan petindak. Jika telah menentukan suatu tindak

pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang ditentukan dalam undang-undang

dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang atau diharuskan.

Asas pertanggungjawaban pidana adalah tidak dipidanakan jika tidak ada

kesalahan.29

Seseorang dikatakan mempunyai kesalahan apabila perbuatan yang

dilakukannya, pada waktu itu dianggap tercela oleh masyarakat karena

merugikan masyarakat padahal orang tersebut mengetahui bahwa

perbuatannya buruk tetapi tetap melakukannya.30 Ada 2 bentuk kesalahan

dalam melakukan perbuatan, yaitu pertama, kesengajaan (dolus) merupakan

perbuatan yang diinsyafi sebagai demikian atau yang dilakukan dengan

kesengajaan, sedangkan kedua, kelalaian (culpa) yaitu merupakan perbuatan

yang dilakukan dengan kelalaian.31

28 Ibid. h. 36

29 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, 1993, h. 153 30 Ibid. h. 157

(50)

43

Menurut Moeljatno, kesengajaan adalah pengetahuan yaitu adanya

hubungan batin atau pikiran dengan perbuatan yang dilakukan oleh

seseorang. Sehingga ada 2 bentuk kesengajaan, yaitu32 :

1. Kesengajaan secara kepastian.

2. Kesengajaan secara kemungkinan.

Unsur-unsur suatu kesalahan harus dihubungkan dengan perbuatan

pidana yang telah dilakukan, dengan demikian untuk adanya kesalahan

terdakwa harus33 :

1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum).

2. Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab.

3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau

kealpaan.

4. Tidak adanya alasan pemaaf.

Menurut Barda Nawawi, bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas diketahui terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Berarti harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu unsur-unsur tindak pidana tertentu. Masalah ini menyangkut masalah subyek tindak pidana yang dirumuskan oleh pembuat UU untuk tindak pidana yang bersangkutan. Pengertian Subyek tindak pidana dapat meliputi 2 hal yaitu siapa yang melakukan dan siapa yang

dapat dipertanggungjawabkan.34

Menjelaskan arti kesalahan, kemampuan bertanggungjawab dengan

singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal dan sehat.

Dalam KUHP tidak ada, ketentuan tentang arti kemampuan

32 Ibid. h. 177

33 Ibid. h. 164

(51)

bertanggungjawab, yang berhubungan dengan hal itu adala Pasal 44 ayat (1)

KUHP, bahwa :

”barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam

tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”

3.3. Kasus Perdagangan Anak Perempuan Di Wilayah Kepolisian Resor

Surabaya Selatan

3.3.1. Fakta Hukum

Berikut ini adalah satu kasus nyata perdagangan anak

perempuan yang terjadi di Surabaya dan berhasil diungkap Kepolisian

Resor Surabaya Selatan, yang kasus posisinya adalah sebagai berikut :

“Anton (bukan nama sebenarnya) sebagai tersangka I,

membujuk 2 orang korban melati (bukan nama sebenarnya) 15 tahun,

dan mawar (bukan nama sebenarnya) 16 tahun, untuk diajak bekerja

sebagai Pekerja Seks Komersial (untuk selanjutnya disebut PSK)

dengan janji akan mendapatkan gaji besar. Kemudian tersangka I

menawarkan kepada Andi (bukan nama sebenarnya) sebagai tersangka

II, yang datang dari Jayapura ke Surabaya dengan tujuan untuk mencari

perempuan yang akan dibawa ke Jayapura untuk dijadikan PSK. Dari

perbuatannya mencari perempuan untuk dijadikan PSK tersebut,

Tersangka I mendapatkan uang imbalan sebesar Rp. 400.000,- untuk

satu orang anak perempuan yang akan dijadikan PSK, jadi Tersangka I

Referensi

Dokumen terkait

Khalayak terutama remaja Ponorogo lebih tertarik mendengarkan program acara yang ada di Radio Romansa dibandingkan dengan program acara yang ada di Radio lain di Ponorogo,

Pada tahap design ini merupakan proses mengubah kebutuhan yang ada dalam tahap plan menjadi rancangan sistem yang diimplementasikan secara nyata. Pada tahap

PENGUMUMAN PENETAPAN LOKASI PEMBANGUNAN PENETAPAN LOKASI PEMBANGUNAN KONSULTASI PUBLIK MENGENAI RENCANA PEMBANGUNAN PENDATAAN AWAL LOKASI RENCANA PEMBANGUNAN PEMBERITAHUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.J DENGAN GANGGUAN SENSORI PERSEPSI : HALUSINASI PENDENGARAN.. DI RUANG BIMA RUMAH SAKIT UMUM

Penilaian merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan untuk mengetahui perkembangan dan tingkat pencapaian hasil pembelajaran. Penilaian memerlukan data yang baik. Salah satu

Pekerja sekarang umumnya dituntut untuk sanggup melakukan pengayaan atau ( enrichment ) dari bentuk pekerjaan yang telah ada. Setiap individu dituntut untuk semakin aktif

MPEG-4 Visual provides a highly flexible toolkit of coding techniques and resources, making it possible to deal with a wide range of types of visual data including rectangular

Metode yang digunakan didalam penelitian ini adalah metode deskriptif, karena didalam proses penelitian ini bertujuan untuk memaparkan, menjelaskan dan menggambarkan