DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN
ANAK PEREMPUAN
Studi Kasus di Kepolisian Resor Surabaya Selatan
SKRIPSI
Oleh :
RENI PRISTIYANINPM. 0671010080
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAWA TIMUR FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA
iv
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Disini penulis mengambil judul : Upaya Penegakan
Hukum Aparat Kepolisian Dalam Tindak Pidana Perdagangan Anak
Perempuan Studi Kasus di Kepolisian Resor Surabaya Selatan.
Penyusunan skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan sesuai
kurikulum yang ada di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur. Di samping itu dapat memberikan bekal tentang hal-hal
yang berkaitan dengan disiplin ilmu hukum dalam mengadakan penelitian guna
penyusunan skripsi.
Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan, dan
dorongan oleh beberapa pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak
terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Sudarto, MP., selaku Rektor Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Bapak Soetrisno, S.H., M.Hum selaku WADEK II Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur yang ramah dalam
menjawab pertanyaan dari mahasiswa ataupun memberikan saran kepada
v
Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.
5. Prof. Dr. Wahyono, S.H., M.S., selaku Pembimbing Utama yang selalu
memberi kemudahan dan solusi kepada penulis.
6. Ibu Wiwin Yulianingsih, S.H., M.Kn., selaku Dosen Pembimbing
Pendamping yang selalu memberikan dukungan, masukan, dan kesabaran
dalam memberikan pengarahan terhadap penulis.
7. Bapak Eko Wahyudi, S.H., Fauzul S.H.I., M.Hum, serta Ibu Yana Indawati,
S.H, M.Kn dan Mas Anienda Tien. F, S.H., MH yang selalu bersikap fleksibel
dan tidak terkesan formil kepada mahasiswa-mahasiswanya sehingga
menjadikan penulis lebih terbuka dalam berkomunikasi.
8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen program studi Ilmu Hukum yang tidak bisa
penulis sebutkan satu-persatu.
9. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional
”Veteran” Jawa Timur yang sabar dan ramah dalam melayani mahasiswa/i.
10.Kedua Orang tuaku, yakni Mudayani selaku Ayah dan Suciati selaku Ibu,
yang selalu memberikan bantuan, doa, saran dan kritik, serta dukungan di
setiap langkah yang penulis kerjakan. Thank you for love and goodness light
my days, and sharing your life and stories with me.
11.Kakek dan Nenekku yang tercinta, yang selalu sabar dalam menuntun dan
membimbing penulis agar selalu mensyukuri segala nikmat dan anugerah
vi
12.Kakak dan Adikku yang selalu ada in times of need dan yang selalu membuat
penulis lebih berfikir dewasa dalam menilai dan melakukan segala hal. Thanks
for being there.
13.Teman-teman mahasiswa/i Fakultas Hukum angkatan 2006, khususnya Maya
Dyah, Leny Eka, Gheza Dorkas, Hartyan Romanda, Ruben, Rio, Adi Adrian,
Pringgo, Wawan, Yudi dan seluruh teman-teman Fakultas Hukum yang selalu
ada dihati yang penulis tidak bisa sebutkan satu-persatu.
14.Especially for Novy ”Mpot” Rachmawati, Lucia ”Oneng” Eirene, Ainur
”Adek” Rizqi, Dony ”Oom” Eko Setiawan, Wahib ”Abang” Syarif, Fajar
”Boss” Amin, I Putu ”Gembel” Satrya Dharma, Rudy ”Kirunz” Setiawan, dan
Sigit ”Kolonk” Purnomo yang sudah menjadi sahabat terbaik dan
penyemangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih kurang sempurna,
karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan penulis
untuk memperbaiki dan menyempurnakan skripsi ini yang selanjutnya.
Surabaya, Mei 2010
vii
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI . ii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
ABSTRAK ... xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan Penelitian ... 5
1.4. Manfaat Penelitian ………. 5
1.5. Kajian Pustaka ……… 6
1.6. Metodelogi Penelitian ... 9
BAB II BENTUK UPAYA PENEGAKAN HUKUM APARAT
viii
2.1. Aparat Kepolisian Sebagai Penyelidik dan Penyidik Dalam
Penegakan Hukum Tindak Pidana Perdagangan Anak
Perempuan ... 15
2.1.1. Proses Penyelidikan dan Penyidikan Dalam Tindak
Pidana Perdagangan Anak Perempuan ... 19
2.1.2. Data Kriminalitas Mengenai Perdagangan Anak
Perempuan di Kepolisian Resor Surabaya Selatan .. 24
2.1.3. Skema Proses Penyidikan Dalam Tindak Pidana
Perdagangan Anak Perempuan ... 25
2.1.4. Uraian Skema Proses Penyidikan Terhadap Korban
Tindak Pidana Perdagangan Anak ... 26
2.1.5. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Aparat Kepolisian
dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan
Anak Perempuan ... 28
2.2. Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Perempuan
Korban Tindak Pidana Perdagangan Anak ... 31
2.2.1. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Perempuan Korban Perdagangan Anak Yang
Terdapat dalam Instrumen Hukum Nasional ... 33
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK PEREMPUAN
ix
Perempuan ... 41
3.3. Kasus Perdagangan Anak Perempuan Di Wilayah Kepolisian
Resor Surabaya Selatan
3.3.1. Fakta Hukum ... 44
3.3.2. Pertimbangan Hukum ... 45
3.3.3. Analisa Hukum ... 47
3.4. Faktor-Faktor Anak Perempuan Menjadi Korban Tindak
Pidana Perdagangan Orang ... 48
3.5. Sanksi Pidana Pelaku Perdagangan Anak Sebagai Bentuk
Pertanggungjawaban Pidana ... 53
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan ... 60
4.2. Saran ... 61
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan
hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28B ayat (2) dan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 (untuk selanjutnya disingkat Keppres RI No.
36 Th. 1990) tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Dari sisi
kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan
generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak untuk hidup,
tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari
tindak kekerasan dan diskriminasi.
Perdagangan orang bukanlah hal baru di zaman ini sebelum merdeka
pun sudah banyak terjadi dalam bentuk perbudakan. Perdagangan orang
sendiri sebenarnya telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang
terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam
negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara,
serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap
hak asasi manusia. Bisnis perdagangan orang saat ini banyak menjerat anak.
Bisnis seperti ini merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan
praktik perdagangan orang ini ternyata banyak terjadi di negara ini. Orang
sebagai “obyek dagang” dalam transaksi ini yang mayoritas adalah anak
perempuan. Berbagai survei, penelitian, dan pengamatan menunjukkan kasus
perdagangan orang cenderung meningkat dan kian memprihatinkan.
Dewasa ini perdagangan anak perempuan sering di jumpai dalam
bentuk prostitusi, tenaga dan bekerja, pengemis, dan sebagainya yang terjadi
pada wanita dan anak-anak. Kenyataannya, dalam masyarakat sekarang ini
banyak sekali terjadi eksploitasi terhadap anak, contoh yang paling konkrit
sering kita jumpai di perempatan jalan. Kita melihat banyak anak-anak
perempuan yang mengemis maupun mengamen di jalanan. Berkaitan dengan
persoalan tersebut di atas bahwa anak-anak yang dipakai sebagai obyek
eksploitasi tenaga dan bekerja, ada pula yang di pakai sebagai obyek
eksploitasi seksual komersial.
Tindak pidana perdagangan anak perempuan ini sudah ada aturan
yang lebih khusus mengaturnya, akan tetapi aparat penegak hukum belum
sepenuhnya merespon dengan baik, seperti halnya kasus yang terjadi
khususnya di Surabaya ditemukan fakta-fakta tindak eksploitasi anak
perempuan di bawah umur 18 tahun oleh beberapa orang untuk dipekerjakan
di tempat-tempat hiburan atau prostitusi yang khususnya berada di kawasan
gang Doli Surabaya.
Pekerja anak perempuan dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk unruk
anak merupakan masalah yang kompleks, berdimensi sosial, ekonomi dan
3
kelahiran, faktor pendidikan, faktor budaya, perkawinan dini, pekerjaan
menyerupai perbudakan, kebijakan hukum yang bias gender. 1
Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat
kepolisian dalam melindungi korban perdagangan anak belum maksimal.
Upaya yang mereka lakukan bisa dikategorikan hanya penangganan sesaat,
temporer, dan justru tidak memperhatikan trauma psikis dan gangguan
psikologis yang besar kemungkinan menimpa korban perdagangan anak.
Dampak yang diderita pasca menjadi korban perdagangan anak, yaitu mereka
mengalami trauma sehingga tidak mau untuk diajak berkomunikasi dengan
orang lain, perasaan malu dan menyesali diri sendiri secara berlebihan, serta
mengalami rasa sakit akibat tindak kekerasan fisik yang dilakukan oleh germo
atau oleh orang yang menyewanya.
Untuk itu, maka diperlukanlah suatu perlindungan hukum terhadap
anak-anak sebagai korban perdagangan, karena anak adalah harapan bangsa
dan calon penerus cita-cita bangsa. Upaya perlindungan terhadap anak-anak
perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan
sampai anak itu dewasa. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang
utuh dan menyeluruh, seperti yang tertulis dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (untuk selanjutnya
disingkat UU No. 23 Th. 2002), yang menentukan :
“Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:
a. non-diskriminasi;
1 Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Cetakan I, Citra Aditya Bakti,
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak.
Dewasa ini diperkirakan kasus-kasus yang berkaitan dengan
pelanggaran hak-hak anak semakin banyak, anak-anak perempuan
membutuhkan suatu bentuk perlindungan khusus. Negara kita sebenarnya
telah banyak memberikan perhatian terhadap hak-hak anak. Hal ini
dibuktikan dengan adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang usaha kesejahteraan anak dan ikut serta Indonesia dalam
menandatangani Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention On The Right
of The Children) sebagai hasil Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
(untuk selanjutnya disingkat PBB) pada tanggal 26 Januari 1990 dan
diratifikasi dengan Keppres RI No. 36 Th. 1990 tentang Pengesahan
Konvensi Hak-Hak Anak. Dalam pelaksanaannya masih menghadapi
berbagai kendala yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain peraturan
pemerintah belum semuanya dilaksanakan dan diterapkan secara efektif,
kesigapan aparat pemerintah dan aparat hukum, dan kurangnya perhatian dan
peran serta masyarakat dalam perlindungan anak.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
yang dalam penelitian ini adalah :
1. Apa bentuk upaya penegakan hukum aparat Kepolisian terhadap tindak
pidana perdagangan anak perempuan ?
5
3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana yang dikenakan terhadap pelaku
tindak pidana perdagangan anak ?
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk penegakan hukum aparat
kepolisian terhadap perdagangan anak perempuan sebagai korban.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan
perdagangan anak perempuan.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis pertanggungjawaban pidana pelaku
tindak pidana perdagangan anak perempuan.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
a. Manfaat Teoritis
1. Dapat mengetahui bentuk upaya penegakan hukum yang diberikan
oleh aparat kepolisian terhadap tindak pidana anak perempuan.
2. Dapat pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk
pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana perdagangan anak
perempuan serta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perdagangan anak perempuan.
3. Untuk pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan hukum pidana
b. Manfaat Praktis
1. Penelitian skripsi ini diharapkan diharapkan dapat memberikan
gambaran secara jelas dan mendetail mengapa perdagangan anak
perempuan perlu diberantas.
2. Penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukkan maupun
saran bagi semua pihak, baik kepada pemerintah, aparat penegak
hukum, maupun masyarakat dalam menanggani tindak pidana
perdagangan anak perempuan.
1.5. Kajian Pustaka
Sehubungan dengan kajian tentang masalah upaya penegakan hukum
aparat Kepolisian dalam menangani tindak pidana perdagangan anak, maka
dapat dikemukakan konsep-konsep berikut ini.
a. Penegakan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto, arti penegakan hukum adalah, keserasian hubungan antara nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan berwujud dengan perilaku sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk meciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan walaupun kenyataan di indonesia kecendrungannya adalah demikian.2
7
Suharto yang dikutip oleh R. Abdussalam menyebutkan bahwa penegakan hukum adalah, suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan aparat penegak hukum baik tindakan pencegahan maupun penindakan dalam menerapkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku guna menciptakan suasana aman, damai, dan tertib demi kepastian hukum dalam masyarakat.4
b. Tindak Pidana Perdagangan Anak
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat dikatakan
juga perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum
dilarang dan diancam pidana, namun perlu diingat bahwa larangan
ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang
ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya
ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu.5
Pada hakekatnya setiap perbuatan pidana harus terdiri atas
unsur-unsur yang lahir karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan akibat
yang ditimbulkan karenanya. Yang merupakan unsur atau elemen
perbuatan pidana, yakni antara lain6
:
1. Kelakuan atau akibat (perbuatan).
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
4. Unsur melawan hukum yang obyektif.
5. Unsur melawan hukum yang subyektif”.
4 R. Abdussalam, Penegakan Hukum di Lapangan oleh Polri, Gagas Mitra Catur Gemilang,
1997, h. 18
5 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, h. 54
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disingkat
KUHP) juga menyebutkan mengenai pengertian dari perbuatan pidana,
yaitu terdapat dalam pasal 1 ayat (1), ”barang siapa melakukan perbuatan
pidana diancam dengan pidana”, akan tetapi tentang penentuan perbuatan
menganut Azas Legalitas yang menentukan bahwa tiada suatu perbuatan
dapat dipidana melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi.
Secara konseptual perdagangan anak perempuan dapat dipahami
sebagai suatu aktifitas yang meliputi proses perekrutan, pengangkatan,
pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, yaitu
penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
ataupun memberi atau menerima bayaran serta manfaat tertentu sehingga
memperoleh persetujuan dari orang-orang yang memegang kendali atas
orang lain yang rentan tereksploitasi.
Bentuk-bentuk eksploitasi disini meliputi, eksploitasi seksual,
eksploitasi tenaga dan pekerja, perbudakan atau praktek-praktek lain yang
serupa dengan perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ-organ
tubuh.7
Sampai sekarang, terdapat kecenderungan penyempitan makna
perdagangan anak perempuan yang seringkali hanya dilihat dari aspek
pelacuran. Padahal fakta menunjukkan bahwa perdagangan anak
7 Ahmad Sofian, et al, Menggagas Model Penanganan Perdagangan Anak: Kasus Sumatera
9
perempuan bukan hanya untuk tujuan pelacuran, tapi memiliki makna
yang luas. Hal ini tidak terlepas dari tingginya permintaan terhadap
anak-anak untuk berbagai tujuan.8
c. Pertanggungjawaban Pidana
Hukum pidana menentukan yang dinamakan dengan
pertanggungjawaban pidana yang dibatasi dengan ketentuan-ketentuan UU
pertanggungjawaban menjurus pada pemidanaan petindak. Jika telah
menentukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang
ditentukan dalam UU dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang
terlarang atau diharuskan. Asas pertanggungjawaban pidana adalah tidak
dipidanakan jika tidak ada kesalahan.9
Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai
”toerker baarheid criminal resposibility, criminal liability”.
Pertanggungjawaban pidana dimaksud untuk menentukan apakah seorang
tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan suatu tindak pidana yang
terjadi atau tidak.10
1.6. Metodelogi Penelitian Hukum A.Jenis Dan Tipe Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini
menggunakan “metode penelitian hukum normatif”, yaitu mengkaji
hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam
masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang”.11
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum deskriptif
bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi)
lengkap tentang keadaan hukum di tempat tertentu dan pada saat tertentu
yang terjadi dalam masyarakat.12 Jadi dalam penelitian ini menggunakan
metode penelitian hukum normatif dan tipe penelitian menggunakan
penelitian hukum diskriptif.
B. Sumber Data
Sumber data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data
sekunder. “Data Sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, bila perlu bahan hukum tersier. Data sekunder pada dasarnya
adalah data normatif terutama yang bersumber dari
perundang-undangan”.13
a. “Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau
mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan
(kontrak, konvensi, dokumen hukum, dan putusan hakim)”.14 Bahan
penelitian ini terdiri dari beberapa perundang-undangan :
1. Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar
11
2. Peraturan Perundang-undangan, yaitu Undang-undang.
Berdasarkan teori diatas, maka Bahan hukum primer yang penulis
gunakan adalah :
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Pidana;
3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana;
4) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang;
5) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
6) Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian negara
Republik Indonesia;
7) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Perlindungan Hak
Asasi Manusia;
8) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia;
9) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban;
b. ”Bahan Hukum Sekunder, yaitu : Bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal
hukum, laporan hukum, dan media cetak atau elektronik)”15
c. ”Bahan Hukum tersier, yaitu : bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
(contohnya : Rancangan Undang-undang, kamus hukum, dan
ensiklopedia)”.16
C. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menganalisis data ini
adalah data sekunder yaitu studi kepustakaan, dengan cara mempelajari
buku-buku, Undang-undang, KUHP, Peraturan Pemerintah yang berkenaan dengan
tindak pidana perdagangan anak khususnya anak perempuan.
D.Metode Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode
kualitatif yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang
teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan
interpretasi data dan pemahaman hasil analisis, kemudian hasilnya akan
dimanfaatkan untuk membahas permasalahan yang diajukan dalam skripsi
ini.17
E.Sistematika Penulisan
Skripsi dengan judul ”Upaya Penegakan Hukum Aparat Kepolisian
Dalam Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan Studi Kasus di
Kepolisian Resor Surabaya Selatan”, dalam pembahasannya dibagi menjadi IV
(empat) bab, sebagaimana yang diuraikan dibawah ini :
13
Bab I, adalah merupakan Pendahuluan dan di dalamnya
menguraikan tentang ltar belakang masalah dan berdasarkan latar belakang
masalah tersebut, maka dirumuskan permasalahan. Selanjutnya disajikan
tujuan dan manfaat penelitian sebagai sasaran yang ingin dicapai melalui
penelitian ini. Pada Kajian Pustaka yang merupakan landasan dari
penulisan skripsi, yang kemudian diuraikan definisi yang berkaitan dengan
judul di atas. Selanjutnya diuraikan tentang Metode Penelitian yang
merupakan salah satu syarat mutlak dalam setiap penelitian, yang intinya
mengemukakan tentang jenis dan tipe penelitian, sumber data, metode
pengumpulan dan pengolahan data, serta metode analisis data, dengan
pertanggungjawaban sitematika.
Bab II, merupakan pembahasan mengenai rumusan masalah yang
ada pada bab I, yaitu: bentuk upaya penegakan hukum aparat kepolisian
atas tindak pidana perdagangan anak perempuan, yang meliputi : proses
penyelidikan dalam tindak pidana perdagangan anak perempuan, proses
penyidikan dalam tindak pidana perdagangan anak perempuan, skema
proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana perdagangan anak
perempuan, uraian skema proses penyidikan terhadap korban tindak
pidana perdagangan anak perempuan, kendala-kendala yang dihadapi oleh
aparat kepolisian dalam penanganan tindak pidana perdagangan anak
perempuan. Serta membahas mengenai upaya perlindungan hukum
Bab III, berisi tentang pembahasan rumusan masalah yang kedua
dan ketiga, yaitu: pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana
perdagangan anak perempuan, kasus perdagangan anak perempuan di
wilayah Kepolisian Resor Surabaya Selatan, serta faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya perdagangan anak, khususnya anak perempuan.
Bab IV, mengakhiri semua pembahasan dan analisa dari
keseluruhan bab sebelumnya (dari bab I, II, dan III), maka pada bab ini
dapat dibuat bebrapa kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka
disarankan beberapa hal sebagai masukan tentang hal-hal mengenai upaya
penegakan hukum aparat kepolisian dalam tindak pidana perdagangan
15
BAB II
BENTUK UPAYA PENEGAKAN HUKUM APARAT KEPOLISIAN ATAS TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK PEREMPUAN
2.1. Aparat Kepolisian Sebagai Penyelidik dan Penyidik Dalam Penegakan
Hukum Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan
Aparat kepolisian yang dalam hal ini adalah lembaga yang berwenang
untuk melakukan penyidikan terhadap kasus perdagangan anak, di dalam
melaksanakan tugasnya selaku penegak hukum dipengaruhi faktor seperti
yang disebutkan di atas. Dengan demikian, untuk menentukan berhasil atau
tidaknya pemecahan suatu kasus perdagangan anak tidak hanya tergantung
dari satu faktor saja, semua faktor saling berhubungan erat dan mempengaruhi
satu sama lain.
Menurut Soerjono Soekanto, arti penegakan hukum adalah, keserasian hubungan antara nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan berwujud dengan perilaku sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk meciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan walaupun kenyataan di
indonesia kecenderungannya adalah demikian.18
Satjipto Rahardjo, menjelaskan bahwa hakekat dari penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan atau ide-ide hukum menjadi kenyataan. Keinginan hukum adalah pikiran badan pembentuk undang-undang, yang berupa ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kepastian hukm dan kemanfaatan sosial yang dirumuskan dalam peraturan
Berkaitan dengan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini, maka
digunakan teori mengenai penegakan hukum, yang menyatakan bahwa
faktor-faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum antara lain20 :
1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (untuk selanjutnya disebut
UU PTPPO) merupakan pedoman bagi aparat penegak hukum dalam
menerapkan penegakan hukum. Mencari dan menemukan kebenaran materiil
mempunyai posisi penting dalam penegakan hukum, khususnya hukum
pidana.
Pengaturan UU PTPPO ini dimaksudkan untuk menjalankan fungsi
hukum pidana itu sendiri yakni mengatur dan menyelenggarakan kehidupan
masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Berkaitan
dengan hal ini, secara khusus sebagai bagian dari hukum publik, hukum
pidana berfungsi21 :
1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang atau
memperkosa kepentingan hukum tersebut;
20Soerjono Soekanto, op. cit. h. 5
17
2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan
fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum;
3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka Negara
melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum.
Perlindungan yang dapat diberikan kepada Warga Negara Indonesia
adalah melalui instansi-instansi pemerintahan yang memiliki kewenangan,
dalam hal ini adalah aparat kepolisian yang dituntut perannya sebagai bentuk
pelayanan terhadap masyarakat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat
(1) dan ayat (2) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, yakni :
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional
yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Penerapan dan upaya penegakan hukum oleh aparat kepolisian dalam
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana perdagangan
anak perempuan diawali dengan adanya informasi, laporan atau aparat
kepolisian mengetahui sendiri bahwa diduga telah terjadi tindak pidana
perdagangan anak perempuan.
Tindakan Kepolisian Resor Surabaya Selatan yang pertama kali dalam
menangani tindak pidana perdagangan anak perempuan yaitu melakukan
penyelidikan terhadap tindak pidana perdagangan anak perempuan yang
Berdasarkan tindakan penyelidikan tersebut, aparat kepolisi melakukan
penyidikan, yang dilakukan oleh penyidik. Tindakan penyidikan yaitu
merupakan tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mengumpulkan
bukti-bukti dan menemukan tersangkanya.
Untuk selanjutnya, proses penyidikan oleh aparat kepolisian berupa
Berita Acara Pemeriksaan (untuk selanjutnya disebut BAP), kemudian
diserahkan ke kejaksaan. Berdasarkan BAP, maka kejaksaan membuat surat
dakwaan dan melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri.
Aparat kepolisian menduduki posisi yang paling terdepan dalam proses
peradilan pidana. Aparat kepolisian yang pertama kali akan menindaklanjuti
segala pengaduan atau laporan atau telah diketahui sendiri tentang adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana. Aparat kepolisian merupakan aparat yang
menyaring apakah dugaan telah terjadi pengaduan atau laporan tersebut.
Pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(untuk selanjutnya disebut KUHAP) bagi aparatur penegak hukum antara lain
untuk mengadakan persiapan dan kesiapan berkenaan berlakunya KUHAP,
untuk mencapai kesatuan pengertian penghayatan dan sinkronisasi dalam
pelaksanaan di lapangan. Penyidik yang akan berdiri digaris terdepan dalam
pelaksanaan penegak hukum perlu memperhitungkan akan terjadinya
masalah-masalah yang tidak dapat dihindari, terutama pada tahap-tahap permulaan
berlakunya KUHAP.22
22 Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Bina Aksara, Jakarta,
19
2.1.1.Proses Penyelidikan dan Penyidikan Dalam Tindak Pidana
Perdagangan Anak Perempuan
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas membina dan
menyelenggarakan fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana,
termasuk fungsi identifikasi dan fungsi laboratorium forensik, dalam rangka
penegakan hukum di masyarakat.
Tindakan aparat Kepolisian Resor Surabaya Selatan yang pertama
kali dalam menangani tindak pidana perdagangan anak perempuan yaitu
melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana perdagangan anak
perempuan yang dilakukan oleh penyelidik. Penyelidik sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 4 KUHAP yaitu :
“Penyelidik adalah setiap Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penyelidikan”.
Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian penyelidikan terdapat
dalam Pasal 1 ayat (5) KUHAP adalah :
“Serangkaian tindakan peyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat
atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.”
Berpegang dari ketentuan di atas, jelas bahwa yang berwenang
berdasarkan undang-undang dimaksud, sehingga pejabat lain tidak
berwenang untuk melakukan penyelidikan.
Dari adanya informasi, laporan atau aparat kepolisian mengetahui
sendiri bahwa diduga telah terjadi tindak pidana perdagangan anak
perempuan, maka untuk selanjutnya dilakukan proses penyelidikan yang
diserahkan pada pihak Reserse Kriminal (untuk selanjutnya disebut reskrim)
Kepolisian Resor Surabaya Selatan Unit V Perlindungan Perempuan dan
Anak (untuk selanjutnya disebut PPA) antara lain :
1. Para anggota reskrim unit V PPA yang dibantu dengan Kepala Sentra
Pelayanan Kepolisian (untuk selanjutnya disebut SPK) menuju ke
Tempat Kejadian Perkara (untuk selanjutnya disebut TKP).
2. Melakukan pemeriksaan sidik jari yang ditinggalkan oleh pelaku.
3. Memeriksa saksi yang secara tidak sengaja melihat kejadian tersebut dan
dimintai keterangannya.
4. Mencari barang bukti yang tertinggal di TKP.
Berdasarkan tindakan penyelidikan tersebut, aparat kepolisian
melakukan penyidikan, yang dilakukan oleh penyidik. Tindakan penyidikan
yaitu merupakan tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk
mengumpulkan bukti-bukti dan menemukan tersangkanya.
Menurut pasal 1 ayat (2) KUHAP menyebutkan yang dimaksud
dengan penyidikan adalah :
“Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
21
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi guna menemukan tersangkanya.”
Tahap penyelidikan dan penyidikan oleh penyidik pihak reskrim
Kepolisian Resor Surabaya Selatan, berdasarkan dalam Pasal 7 ayat 1
KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut :
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang adanya tindak
pertama.
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.
c. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
d. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memerikasa tanda
pengenal diri tersangka.
e. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan.
f. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi.
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara.
i. Mengadakan penghentian penyelidikan.
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
Berdasarkan ketentuan tersebut serta ketentuan-ketentuan lainnya
yang tercantum dalam KUHAP mengenai penyidikan dari suatu tindak pidana
yang menjadi landasan serta pegangan bagi setiap penyidik dan penyelidik
dalam hal utama adalah membuat terang tindak pidana yang terjadi dan
menemukan tersangkanya. Jelaslah bahwa yang menjadi tujuan untuk
menemukan tersangkanya dimulai dengan penyelidikan untuk mencari dan
mengumpulkan bukti sehingga diperoleh “bukti permulaan yang cukup”.23
23 Irawati Harsono, Penanganan Polri Terhadap Kasus Perdagangan Perempuan dan Anak,
Untuk memperjelas pengertian penyidikan, dapat diuraikan bahwa
yang disebut penyidik menurut pasal 1 ayat (2) KUHAP, adalah : “Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan”.
Proses penyidikan terdiri atas :
1. Penangkapan
2. Penahanan
3. Penggeledahan
4. Penyitaan.
Adapun dalam praktek untuk proses penyidikan terhadap pelaku
tindak pidana perdagangan anak perempuan, antara lain :
A.Umum :
1. Dibuatkan Sprindik untuk tim yang menanggani;
2. Identifikasi permasalahan terhadap kasus yang ditangani;
3. Membuat Ren Sidik;
4. Polisi Wanita (untuk selanjutnya disebut Polwan) dilibatkan dalam
penanganan kasus tindak pidana perdagangan anak;
B.Khusus :
1. Pemanggilan Saksi;
2. Penyampaian informasi, informasi yang dibutuhkan korban adalah
23
• Tahapan penanganan perkara pidana khususnya berkenaan dengan
hak dan kewajiban korban;
• Kemungkinan untuk mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma;
• Bentuk perlindungan yang dibutuhkan korban selama dalam proses
sidik.
3. Bila korban, saksi dan tersangka berada di luar negeri :
• Membuat laporan lengkap dan permintaan penangkapan dengan
negara yang bersangkutan melalui Interpol juga Kedutaan Besar
(untuk selanjutnya disebut Kedubes) negara setempat.
• Agar Interpol menerbitkan Red Notice terhadap tersangka.
• Mengecek hubungan ekstradisi antara Indonesia dengan Negara
setempat.
• Bila ingin melakukan pemeriksaan, lakukan koordinasi dengan
pihak imigran dan kepolisian setempat.
4. Memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban sesuai dengan
UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
(untuk selanjutnya disebut UU no. 13 th. 2006).
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh penyidik atau penyidik pembantu
dalam melakukan penyidikan adalah sebagai berikut :
1. fasilitas apa saja yang terdapat pada saat korban ditampung.
2. tanggal, jam dan lokasi pintu masuk pada negara atau daerah tujuan, siapa
yang mengantar, dengan angkutan apa dan apakah melalui pemeriksaan
3. identitas apakah atau dokumen perjalanan apakah yang digunakan korban,
dimana dokumen itu sekarang dan rincian lengkap tentang dokumen tersebut.
4. selama dalam perjalanan ke negara tujuan apakah dokumen yang menyangkut
dirinya, dibawa sendiri atau dibawa oleh orang lain, kalau tidak dibawa sendiri
lalu siapa yang membawa.
5. saat kedatangan, siapa yang menghadiri atau menjemput, bagaimana kondisi
bangunan atau tempat penampungan korban di tempat tujuan.
6. korban pada saat disekap mengalami kekerasan seksual, fisik atau tekanan
psikologis dan pemerasan.
7. gambaran rinci tentang tersangka.
2.1.2. Daftar Kriminalitas Mengenai Perdagangan Anak Perempuan di
Kepolisian Surabaya Selatan
Data-data mengenai tindak pidana perdagangan anak perempuan
periode Januari 2009 sampai dengan Januari 2010 di Kepolisian Resor
Surabaya Selatan, yaitu :
Tabel.1
Data Kriminalitas di Polres Surabaya Selatan
No. JENIS
25
2.1.3.Skema Proses Penyidikan Dalam Tindak Pidana Perdagangan Anak
Perempuan
2.1.4.Uraian Skema Proses Penyidikan Terhadap Korban Tindak Pidana
Perdagangan Anak
Adapun dalam praktek untuk proses penyidikan terhadap pelaku dan
atau tersangka tindak pidana perdagangan anak yang dilakukan oleh pihak
Kepolisian Polres Surabaya Selatan adalah sebagai berikut :
1. menerima informasi, laporan dari masyarakat tentang adanya tindak
pidana tersebut, yang kemudian dilakukan tindakan pemanggilan,
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan sita terhadap tersangka dan
atau pelaku tindak kejahatan perdagangan terhadap anak-anak. Atau
pihak reskrim mengetahui sendiri tentang adanya tidak pidana
perdagangan anak perempuan dari hasil lidik.
2. melakukan penyitaan terhadap barang bukti oleh para penyidik / penyidik
pembantu, yaitu misalnya berupa :
a. Uang, kartu kredit, cek dan dokumen yang berhubungan dengan
pembayaran yang dilakukan korban kepada pelaku.
b. KTP, tiket, kupon, kwitansi, kartu penumpang, label koper perjalanan.
c. Paspor, Visa, surat-surat perjanjian.
d. Dalam kasus Eksploitasi Seksual, artikel-artikel apa saja yang
berhubungan dengan pakaian seragam, alat bantu seks, kondom,
gambar atau bacaan porno.
e. Benda apa saja yang mungkin telah digunakan sebagai alat untuk
menyiksa, seperti benda-benda yang digunakan untuk menyerang,
27
sarung tangan, gembok, dan lain-lainnya.
f. Senjata yang tidak diperkirakan dapat digunakan untuk menyerang,
seperti gantungan baju, asbak rokok, dan lain-lainnya.
3. Kemudian barang bukti tersebut dibawa ke Laboratorium Forensik Polda
Jatim untuk segera dilakukan visum, apabila korban mengalami
kekerasan.
4. Yang dilanjutkan dengan :
• Penyidikan/BAP, dimana di dalam melakukan proses penyidikan
maupun BAP tersebut waktunya tidak tentu, untuk semua kasus.
• Melengkapi administrasi penyidikan, berupa :
a. surat perintah penangkapan;
b. surat perintah penyidikan;
c. surat perintah penggeledahan;
d. surat perintah penyitaan;
e. surat pemberitahuan kepada keluarga bahwa telah dilakukan
penahanan;
f. surat perintah penahanan.
• Dilakukan penahanan untuk proses penyidikan.
• Dibuatkan pemberitahuan keluarga oleh pihak kepolisian.
5. Mengirim Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke
Kejaksaan Negeri yang gunanya sebagai pemberitahuan kepada pihak
Kejaksaan akan dilakukan penyidikan oleh pihak kepolisian. Dan
hasil sita/geledah tersebut sebagai barang bukti untuk di bawa ke
Pengadilan Negeri.
6. Mengajukan perpanjangan penahanan selama 40 (empat puluh) hari ke
Kejaksaan Negeri, apabila masih ada kepentingan (berkas perkara belum
lengkap). Berkas perkara yang belum lengkap dinyatakan P.19,
dikembalikan ke pihak kepolisian untuk segera dilengkapi dikarenakan
BAP dinilai belum lengkap oleh pihak Kejaksaan.
Apabila semua berkas perkara selesai dan telah dilengkapi oleh
pihak kepolisian, kemudian dikirim ke Kejaksaan Negeri dan berkas perkara
dinyatakan P.21 (lengkap), dilanjutkan dengan pengiriman tahap 2 yaitu
pengiriman tersangka, barang bukti, dan BAP tersebut untuk dilimpahkan ke
Kejaksaan.
2.1.5.Kendala-Kendala Yang Dihadapi Aparat Kepolisian dalam
Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan
Kendala-kendala atau hambatan-hambatan yang dihadapi oleh aparat
kepolisian dalam tindak pidana perdagangan anak perempuan dengan tujuan
untuk dilacurkan, hakikatnya tidak dapat dilepaskan dengan kedudukan atau
posisi aparat kepolisian itu sendiri. Kedudukan aparat kepolisian adalah
paling depan dalam menangani proses perkara pidana. Proses di aparat
kepolisian merupakan awal dari proses perkara pidana ke aparat penegak
hukum selanjutnya, yakni kejaksaan, pengadilan, dan lembaga
29
pidana sangat mempengaruhi penanganan perkara pidana bagi aparat
penegak hukum selanjutnya.
Suatu proses perkara pidana untuk mendapatkan dan menemukan
sebuah kebenaran materiil atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran
materiil. Pengungkapan suatu tindak pidana yang diduga telah terjadi,
diperlukan beberapa hal yang harus dibuktikkan oleh aparat hukum,
khususnya kepolisian.
Penyidikan dilakukan untuk kepentingan peradilan, khususnya untuk
kepentingan penuntutan. Penyidikan merupakan tindakan yang bertujuan
untuk mendapatkan keterangan tentang24 :
1. tindak pidana apa yang telah dilakukan;
2. kapan tindak pidana itu dilakukan;
3. dimana tindak pidana itu dilakukan;
4. dengan apa tindak pidana itu dilakukan;
5. bagaimana tindak pidana itu dilakukan;
6. mengapa tindak pidana itu dilakukan;
7. siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana itu.
Berdasarkan dari hasil wawancara dengan pihak reserse kriminal
(selanjutnya disebut reskrim) Kepolisian Resor Surabaya Selatan, Kamis 6
Mei 2006, Pukul 16.00, secara umum kendala-kendala yang dihadapi oleh
aparat kepolisian dalam mengungkap dan menangani tindak pidana
perdagangan anak, yaitu antara lain sebagai berikut25 :
1. kurangnya kemampuan dikalangan aparat kepolisian dalam mengungkap
telah terjadi tindak pidana perdagangan anak;
2. kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh aparat kepolisian;
3. kurang sadarnya warga masyarakat dalam melaporkan bahwa telah
terjadi tindak pidana perdagangan anak.
Kendala yang paling sulit dihadapi oleh aparat kepolisian dalam
tindak pidana perdagangan anak ada 2 (dua) yaitu :
1. menemukan tersangka yang belum tertangkap;
2. menemukan alat bukti yang belum diketemukan.
Pasal 21 butir 1 KUHAP menyatakan, aparat kepolisian dalam
melakukan penahanan, pertama kali harus ada “bukti permulaan yang
cukup”. Belum diketemukannya bukti-bukti permulaan yang cukup, maka
akan menyulitkan aparat kepolisian melakukan penahanan terhadap pelaku
tindak pidana perdagangan anak perempuan.
2.2.Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Perempuan Korban
Tindak Pidana Perdagangan Anak
Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan anak
perempuan tidak hanya dilakukan dengan cara memberikan sanksi pidana
terhadap pelaku, melainkan juga dengan memberikan perlindungan hukum
31
terhadap para korbannya yaitu anak-anak khususnya anak perempuan yang
sering dijadikan obyek eksploitasi.
Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan
Pancasila, diawali dengan uraian tentang konsep dan deklarasi tentang hak
asasi manusia. Sesuai dengan isi pembukaan Undang-undang Dasar 1945
(untuk selanjutnya disebut UUD 1945 alinea ke-4, menyebutkan bahwa :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Pancasila”.
Setiap orang yang menjadi Warga Negara Indonesia berhak
mendapatkan perlindungan. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal
28G ayat (1) dan (2), yakni :
(1)Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yand berada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2)Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memeperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28 H ayat (2), juga menentukan bahwa : “setiap orang berhak
mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Perlindungan hukum terhadap anak perempuan korban tindak pidana
terpenuhi hak-haknya sebagai anak yang merupakan salah satu tujuan untuk
melindungi anak-anak Indonesia. Dalam mewujudkan perlindungan dan
kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan
perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya, yaitu adanya
kerjasama dan tanggung jawab antara negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga, dan orang tua serta adanya sarana dan prasarana yang mendukung.
Sifat yang khusus dari anak, terdapat pembedaan perlakuan dalam hukum
acara dan ancaman pidananya.
Dalam usaha perlindungan terhadap anak dapat dilakukan dengan
cara26:
1. Perlindungan secara langsung
Perlindungan secara langsung merupakan usaha yang berkaitan dengan
kepentingan anak antara lain pencegahan dari segala sesuatu yang
merugikan atau pengorbanan kepentingan anak disertai pengawasan
supaya anak berkembang dengan baik dan penjagaan terhadap gangguan
dari dalam dirinya dan luar dirinya.
2. Perlindungan tidak langsung
Dalam hal ini yang ditangani bukanlah anak secara langsung, tetapi para
partisipan lainnya dalam perlindungan anak. Seperti orang tua, petugas,
pembina, dan lain sebagainya. Usaha-usaha perlindungan anak yang tidak
langsung tersebut antara lain :
26 Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, Madar Maju, Bandung,
33
a. Mencegah orang lain merugikan kepentingan anak melalui peraturan
perundang-undangan.
b. Meningkatkan pengertian hak dan kewajiban anak.
c. Pembinaan mental, fisik, sosial para partisipan lain, dalam rangka
perlindungan anak.
d. Penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak.
2.2.1.Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Perempuan Korban
Perdagangan Anak Yang Terdapat dalam Instrumen Hukum Nasional
Upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan anak perempuan
tidak hanya dilakukan dengan cara menangkap dan menghukum para pelaku
saja, melainkan juga disertai dengan perlindungan hukum terhadap korban
dari perdagangan anak itu sendiri.
Perlindungan hukum bagi anak perempuan korban perdagangan anak
di Indonesia secara materiil sudah terpenuhi, hal ini terlihat pada peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang mengatur masalah tindak pidana
perdagangan orang, yaitu :
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(untuk selanjutnya disebut UU no. 23 th. 2002)
UU no. 23 th. 2002 mengatur beberapa pasal yang diterapkan
mengenai perlindungan terhadap anak sebagai korban dalam tindak
pidana perdagangan anak, yaitu :
Pasal 59 memberikan perlindungan khusus kepada anak. Perlindungan
“Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat aditif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”
Pasal 68 merumuskan bahwa :
(1) Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan,
penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi, oleh pemerintah dan masyarakat.
(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan,
melakukan, menyuruhlakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Korban perdagangan anak berdasarkan UU no. 23 th. 2002, perlu
diberikan perlindungan secara khusus, antara lain :
a. perlindungan berkaitan dengan identitas diri korban, terutama selama
proses persidangan. Bertujuan agar korban terhindar dari berbagai
ancaman atau intimidasi dari pelaku yang mungkin terjadi selama
proses persidangan berlangsung.
b. Jaminan keselamatan dari aparat berwenang. Korban harus
diperlakukan dengan hati-hati oleh aparat penegak hukum agar
keselamatannya terjamin sehingga dapat memberikan kesaksian.
c. Bantuan medis, psikologis, hukum, dan sosial, terutama untuk
mengembalikan kepada keluarga dan komunitasnya.
35
2. UU no. 13 th. 2006
Beberapa pasal yang menyangkut masalah pemberian
perlindungan terhadap korban kejahatan tertentu diterangkan juga dalam
UU no. 13 th. 2006. Dalam hal ini, tindak pidana perdagangan anak
termasuk merupakan tindak pidana yang dapat mengakibatkan korban
dan saksinya dihadapkan pada posisi yang membahayakan jiwa dari
anak-anak tersebut, karena sifat kejahatan ini bersifat internasional.
Mengenai bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap
anak perempuan korban perdagangan anak diterangkan dalam pasal 5
ayat (1).
Pasal 5 menerangkan bahwa :
(1) Seorang saksi dan korban berhak:
a.Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga,
dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang
e.Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g.Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h.Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. Mendapat identitas baru;
j. Mendapatkan tempat kediaman baru;
k.Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l. Mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(selanjutnya disebut UU no. 39 th.1999)
Perlindungan terhadap anak perempuan korban perdagangan anak
disebutkan dalam Pasal 3 dan Pasal 65 UU no. 39 th. 1999.
Pasal 3 menerangkan bahwa :
”Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.”
Dari pasal 3 tersebut diambil kesimpulan bahwa, setiap orang
mempunyai harkat dan martabat yang sama, berhak memperoleh
perlindungan hukum atas hak asasi manusia, tanpa adanya diskriminasi.
Pasal 65 menerangkan bahwa :
”setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari
kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan,
perdagangan anak, serta berbagai bentuk penyalahgunaan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.”
4. UU no. 21 th. 2007 tentang UU PTPPO
Pasal-pasal yang berkaitan dengan pemberian perlindungan
hukum terhadap anak perempuan korban perdagangan anak, yaitu Pasal
43, Pasal 44, Pasal 48 dan Pasal 51 ayat (1).
37
”Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam
perkara tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.”
Mengenai pelaksanaan perlindungan terhadap anak perempuan
korban perdagangan anak tetap digunakan UU no. 13 th. 2006, kecuali
dalam UU ini menentukan lain (dalam UU ini mengatur sendiri).
Pasal 44 menerangkan bahwa :
(1)Setiap dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang
berhak memperoleh kerahasiaan identitas.
(2)Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan juga pada
keluarga saksi dan/atau korban mendapat ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan
c.Biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis;
dan/atau
d.Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat
perdagangan orang.
Pasal 51 menerangkan bahwa :
(1) Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan,
rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari
pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami
penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang.
Setiap korban pada asasnya dapat menuntut ganti kerugian terhadap
setidak-tidaknya dapat mengajukan gabungan perkara gugatan ganti kerugian. Proses
ini tidak dilalui oleh korban kejahatan hak asasi manusia oleh karena telah
ditentukan bahwa hak korban dicantumkan dalam amar putusan pengadilan.
Salah satu perbedaan yang essensil dengan korban kejahatan kriminalitas biasa
bahwa korban kejahatan hak asasi manusia mendapatkan ganti kerugian dari
negara yang disebut hak untuk mendapatkan kompensasi.
Upaya perlindungan korban dilaksanakan oleh Pemerintah Republik
Indonesia bersama dengan mitranya Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi
masyarakat, Lembaga Pengabdian Masyarakat, Perguruan Tinggi, dan
perseorangan yang peduli dengan masalah ini. Pemerintah memberikan
perlindungan kepada warga negaranya di manapun dia berada, baik di dalam
maupun di luar negeri. Perwakilan RI di luar negeri adalah lembaga pemerintah
yang bertanggung jawab memberikan perlindungan kepada warga Negara
Indonesia (untuk selanjutnya disebut WNI) sebagaimana diatur dalam Pasal 19
dan Pasal 21 Undang-Undang No. 7 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri. Perlindungan yang diberikan selain layanan kesehatan, konseling, dan
bantuan administratif, juga termasuk memberikan penampungan yang aman
serta mengusahakan pemulangannya ke Indonesia.
Pasal 19, merumuskan bahwa:
“Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban untuk memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan
39
Pasal 21, merumuskan bahwa :
“Dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata, Perwakilan
Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan,
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ANAK PEREMPUAN
3.1. Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan
Pasal 55 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 56 KUHP memberikan pengertian
tentang pelaku diatur dan menerangkan, sebagai berikut :
Pasal 55 merumuskan bahwa :
(1)Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana :
ke-1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan;
ke-2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2)Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang disengaja dianjurkan
sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 merumuskan bahwa :
Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) sesuatu kejahatan :
ke-1. Mereka dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
ke-2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Berdasarkan pasal 55 dan pasal 56 KUHP diatas yang dimaksud
dengan pelakunya adalah mereka yang melakukan, menyuruh melakukan,
turut serta melakukan, menganjurkan dan membantu melakukan.
Sedangkan Dalam pasal 1 angka 4 UU PTPPO yang dimaksud dengan
41
”Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang
melakukan tindak pidana perdagangan orang.”
Bahwa dari uraian pasal 1 angka 4 UU PTPPO diatas, selain orang
perseorangan sebagai subyek hukum dapat dikenai sanksi pidana.
Dalam kasus perdagangan anak perempuan, pelaku terbagi pada :
1. pelaku perekrutan (mengajak, menampung atau membawa korban);
2. pengiriman (mengangkut, melabuhkan atau memberangkatkan
korban);
3. pelaku penyerahterimaan (menerima, mengalihkan atau memindah
tangankan korban);
4. Dalam lingkup hubungan antara majikan dan pekerja, dapat juga
dikategorikan sebagai sebagai pelaku ketika seorang majikan
menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif. Kondisi yang
sering terjadi adalah tidak membayar gaji, menyekap pekerja,
melakukan kekerasan fisik atau seksual, memaksa untuk terus
bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan utang.
3.2. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Anak
Perempuan
Penjelasan mengenai pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dilepaskan
dari tindak pidana, walaupun dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk
masalah pertanggungjawaban pidana.27 ada hubungan erat antara perbuatan
pidana dengan pertanggungjawaban pidana, yang berarti bahwa perbuatan
pidana baru mempunyai arti kalau di sampingnya ada peratnggungjawaban
pidana, dan tidak mungkin ada pertanggungjawaban pidana kalau tidak ada
perbuatan pidana.28
Hukum pidana menentukan yang dinamakan pertanggungjawaban pidana
dibatasi dengan ketentuan-ketentuan undang-undang pertanggungjawaban
menjurus pada pemidanaan petindak. Jika telah menentukan suatu tindak
pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang ditentukan dalam undang-undang
dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang atau diharuskan.
Asas pertanggungjawaban pidana adalah tidak dipidanakan jika tidak ada
kesalahan.29
Seseorang dikatakan mempunyai kesalahan apabila perbuatan yang
dilakukannya, pada waktu itu dianggap tercela oleh masyarakat karena
merugikan masyarakat padahal orang tersebut mengetahui bahwa
perbuatannya buruk tetapi tetap melakukannya.30 Ada 2 bentuk kesalahan
dalam melakukan perbuatan, yaitu pertama, kesengajaan (dolus) merupakan
perbuatan yang diinsyafi sebagai demikian atau yang dilakukan dengan
kesengajaan, sedangkan kedua, kelalaian (culpa) yaitu merupakan perbuatan
yang dilakukan dengan kelalaian.31
28 Ibid. h. 36
29 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, 1993, h. 153 30 Ibid. h. 157
43
Menurut Moeljatno, kesengajaan adalah pengetahuan yaitu adanya
hubungan batin atau pikiran dengan perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang. Sehingga ada 2 bentuk kesengajaan, yaitu32 :
1. Kesengajaan secara kepastian.
2. Kesengajaan secara kemungkinan.
Unsur-unsur suatu kesalahan harus dihubungkan dengan perbuatan
pidana yang telah dilakukan, dengan demikian untuk adanya kesalahan
terdakwa harus33 :
1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum).
2. Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab.
3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau
kealpaan.
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Menurut Barda Nawawi, bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas diketahui terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Berarti harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu unsur-unsur tindak pidana tertentu. Masalah ini menyangkut masalah subyek tindak pidana yang dirumuskan oleh pembuat UU untuk tindak pidana yang bersangkutan. Pengertian Subyek tindak pidana dapat meliputi 2 hal yaitu siapa yang melakukan dan siapa yang
dapat dipertanggungjawabkan.34
Menjelaskan arti kesalahan, kemampuan bertanggungjawab dengan
singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal dan sehat.
Dalam KUHP tidak ada, ketentuan tentang arti kemampuan
32 Ibid. h. 177
33 Ibid. h. 164
bertanggungjawab, yang berhubungan dengan hal itu adala Pasal 44 ayat (1)
KUHP, bahwa :
”barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam
tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”
3.3. Kasus Perdagangan Anak Perempuan Di Wilayah Kepolisian Resor
Surabaya Selatan
3.3.1. Fakta Hukum
Berikut ini adalah satu kasus nyata perdagangan anak
perempuan yang terjadi di Surabaya dan berhasil diungkap Kepolisian
Resor Surabaya Selatan, yang kasus posisinya adalah sebagai berikut :
“Anton (bukan nama sebenarnya) sebagai tersangka I,
membujuk 2 orang korban melati (bukan nama sebenarnya) 15 tahun,
dan mawar (bukan nama sebenarnya) 16 tahun, untuk diajak bekerja
sebagai Pekerja Seks Komersial (untuk selanjutnya disebut PSK)
dengan janji akan mendapatkan gaji besar. Kemudian tersangka I
menawarkan kepada Andi (bukan nama sebenarnya) sebagai tersangka
II, yang datang dari Jayapura ke Surabaya dengan tujuan untuk mencari
perempuan yang akan dibawa ke Jayapura untuk dijadikan PSK. Dari
perbuatannya mencari perempuan untuk dijadikan PSK tersebut,
Tersangka I mendapatkan uang imbalan sebesar Rp. 400.000,- untuk
satu orang anak perempuan yang akan dijadikan PSK, jadi Tersangka I