xiii
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN ... i
SAMPUL DALAM ... ii
PRASYARAT GELAR ... iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
LEMBAR PANITIA PENGUJI ... v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... vi
UCAPAN TERIMA KASIH ... vii
ABSTRAK ... ix
ABSTRACT ... x
RINGKASAN ... xi
DAFTAR ISI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7 1.3 Orisinalitas Penelitian ... 7 1.4 Tujuan Penelitian ... 10 1.4.1 Tujuan Umum ... 10 1.4.2 Tujuan Khusus ... 11 1.5 Manfaat Penelitian ... 11 1.5.1 Manfaat Teoritis ... 11 1.5.2 Manfaat Praktis ... 11
1.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran ... 12
1.6.1 Landasan Teoritis ... 12
1.6.1.1 Teori Kepastian Hukum ... 12
1.6.1.2 Teori Perlindungan Hukum ... 24
1.6.1.3 Konsep Kepemilikan Hak Atas Tanah ... 27
1.6.1.4 Konsep Pendaftaran Tanah... 28
1.6.1.6 Konsep Sertipikat Ganda ... 36
1.6.2 Kerangka Pemikiran ... 38
1.7 Metode Penelitian... 39
1.7.1 Jenis Penelitian ... 39
1.7.2 Jenis Pendekatan ... 40
1.7.3 Sumber Bahan Hukum ... 41
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 42
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 43
BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI TEORI KEPASTIAN HUKUM, TEORI PERLINDUNGAN HUKUM, TEORI KEPEMILIKAN TANAH DAN SISTEM HUKUM PERTANAHAN DI INDONESIA ... 45
2.1 Teori Kepastian Hukum ... 45
2.2 Teori Perlindungan Hukum ... 54
2.3 Teori Kepemilikan Tanah ... 66
2.4 Sistem Hukum Pertanahan di Indonesia ... 79
2.4.1 Hukum Tanah Indonesia Sebelum Berlakunya UUPA ... 79
2.4.2 Hukum Tanah Indonesia Sesudah Berlakunya UUPA ... 81
BAB III KEKUATAN HUKUM AKTA PPAT YANG OBJEKNYA SERTIPIKAT GANDA BERDASARKAN PASAL 37 AYAT (1) PP NOMOR 24 TAHUN 1997 JO PASAL 2 AYAT (1) PP NOMOR 37 TAHUN 1998 ... 85
3.1 Prosedur Perolehan Sertipikat Hak Atas Tanah ... 85
3.2 Faktor-Faktor Penyebab Sertipikat Ganda ... 92
3.3 Kekuatan Hukum Akta PPAT yang Objeknya Sertipikat Ganda Berdasarkan Pasal 37 Ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 jo Pasal 2 Ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998 ... 102
xv
ABSTRAK
Pendaftaran atas bidang tanah bertujuan untuk mendapatkan alat bukti berupa sertipikat agar pemegang hak atas tanah tersebut memiliki bukti yang kuat atas tanah yang dimilikinya dan mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan hak mereka atas tanah serta terbebas dari gangguan pihak lain yang tidak bertanggung jawab. Namun kenyataannya banyak terjadi tumpang tindih dalam penerbitan sertipikat hak atas tanah, yang mengakibatkan terdapat pemegang sertipikat ganda.
Berdasarkan kondisi tersebut, isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah kekuatan hukum akta PPAT yang objeknya sertipikat ganda berdasarkan Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 jo Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998? dan (2) Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah yang sertipikatnya ganda?
Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatansejarah. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari: primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum merupakan teknik studi kepustakaan. Analisis bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif , interpretatif, evaluatif dan argumentatif analisis.
Hasil penelitian menunjukkan (1) Kekuatan hukum akta PPAT berdasarkan Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 jo Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998 sangat kuat karena mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Namun dalam akta PPAT yang objeknya sertipikat ganda yang berarti salah satu akta PPAT tersebut ada yang dibuat dengan keterangan palsu dan/atau yang dipalsukan, maka untuk akta PPAT yang dibuat dengan keterangan palsu dan/atau yang dipalsukan mengakibatkan akta PPAT ini tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali, sehingga sertipikat tanah yang dibuat berdasarkan akta PPAT yang dibuat dengan keterangan palsu dan/atau yang dipalsukan dapat dibatalkan; dan (2) Perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah yang sertipikatnya ganda belum bisa diberikan sepenuhnya mengingat UUPA menganut sistem publikasi negatif sehingga pemegang sertipikat masih dimungkinkan mendapat gangguan dari pihak lain yang merasa berhak atas tanah yang bersangkutan yang menimbulkan kasus sertipikat ganda. Namun demikian, setelah 5 (lima) tahun sertipikat itu tidak bisa diganggu gugat lagi dan menjadi bukti kepemilikan tanah yang kuat. Dengan demikian perlindungan hukum terhadap sertipikat kepemilikan tanah menjadi sangat kuat setelah 5 (lima) tahun setelah sertipikat tanah yang bersangkutan diterbitkan.
ABSTRACT
Registration on plots aimed to obtain evidence in the form of a certificate that the land rights holders have strong evidence on the ground that it owns and obtain legal certainty and the protection of their rights to land and free from interference of other parties who are not responsible. However in the reality there is a lot of overlap in the issuance of certificates of land rights, which resulted in there are double certificate holders.
Based on that condition, the legal issues raised in this research are (1) How the legal force of PPAT deed which the object of doubles certificate pursuant to Article 37 paragraph (1) Regulation No. 24 of 1997 in conjunction with Article 2, paragraph (1) Regulation No. 37 of 1998? and (2) How the legal protection to the holders of such double land rights certificates?
The type of research is a normative legal research with statute approach, conceptual approach and historical approach. Sources of legal materials in this research consisted of primary, secondary and tertiary legal materials. The technique of collecting legal material used is literature study techniques. Analysis of legal materials collected in this research performed by a interpretative, evaluative and argumentative analysis.
The research result indicated (1) the legal force of PPAT deed pursuant to Article 37 paragraph (1) Regulation No. 24 of 1997 in conjunction with Article 2, paragraph (1) Regulation No. 37 of 1998 is very strong because it has the prefect of strength of evidence. But in the PPAT deed which the object of double certificate which means one of the PPAT deed there was created with false information and/or falsified, then for PPAT deed created with false information and/or falsified resulted PPAT deed has no legal force completely, so the land certificate made by PPAT deed created with false information and/or falsified may be canceled; and (2) The legal protection to the holders of such double land rights certificates can not be given completely considering the UUPA adopting a negative publicity so that the certificate holder is still possible to get interference from other parties who felt entitled to the the land concerned which rise the double certificate cases. However, after 5 (five) years that certificate can not be contested again and become a strong proof of land ownership. Therefore the legal protection of the land ownership certificates become very strong after five (5) years since the concerned of land certificate was published.
xvii
BAB 1 PENDAHULUAN
.1 Latar Belakang Masalah
Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat dibutuhkan manusia, di mana kebutuhan manusia akan tanah selalu bertambah, dan ketersediaan akan tanah terbatas. Kebutuhan tanah tersebut baik dari segi ekonomi, sosial maupun segi teknologi. Tanah juga merupakan tempat dimana manusia hidup dan berkembang, serta sumber bagi kepentingan hidup manusia pada umumnya. Terbatasnya tanah berdampak kepada nilai jual tanah yang semakin tinggi karena didasarkan pada semakin banyaknya permintaan atas tanah untuk pembuatan sarana umum, seperti hotel, rumah sakit, dan rumah makan ataupun sarana pribadi seperti rumah, villa dan lain-lain.
Eksistensi tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan sekaligus memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Tanah sebagai
social asset merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat
untuk hidup dan kehidupan, sedangkan capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi.1
Peraturan dasar yang mengatur masalah tanah di Indonesia diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
1 Achmad Rubaie, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam hal ini rakyat diwajibkan mempergunakan air, tanah dan kekayaan alam lainnya dengan sebaik-baiknya dan negara selaku badan penguasa atas bumi, air, ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya berwenang untuk mengatur dalam rangka mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Pemerintah dalam rangka menjamin kepastian hukum atas tanah, mengadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan perundang-undangan. Kepastian hukum yang dimaksud meliputi letak, batas, luas tanah, status tanah dan orang yang berhak atas tanah.
Pendaftaran tanah yang bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum dikenal dengan sebutan rechts cadaster/legal cadaster. Jaminan kepastian hukum yang hendak diwujudkan dalam pendaftaran tanah ini, meliputi kepastian status hak yang di daftar, kepastian subjek hak, dan kepastian objek hak. Pendaftaran tanah ini menghasilkan sertipikat sebagai tanda bukti haknya. Kebalikan dari pendaftaran tanah yang rechts cadaster adalah fiscaal cadaster, yaitu pendaftaran tanah yang bertujuan untuk menetapkan siapa yang wajib membayar pajak atas tanah. Pendaftaran tanah ini menghasilkan surat tanda bukti pembayaran pajak atas tanah, yang sekarang dikenal dengan sebutan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB).2
Ketentuan mengenai Pendaftaran tanah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP No.24 Tahun 1997), yang mulai berlaku pada tanggal 8 Oktober 1997
2 Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, hal. 278.
xix
sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang sejak tahun 1961 mengatur pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Ketentuan pelaksanaannya lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997. Pemerintah melakukan kegiatan pendaftaran tanah dengan sistem yang sudah melembaga sebagaimana yang dilakukan dalam kegiatan pendaftaran selama ini, mulai dari permohonan seorang atau badan, diproses sampai dikeluarkan bukti haknya (sertipikat) dan dipelihara data pendaftarannya dalam buku tanah.3
Kewenangan pemerintah dalam mengatur bidang pertanahan dalam hal pemanfaatan tanah didasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA yakni dalam hal kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan, serta menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, dan orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Tujuan dari pendaftaran tanah tersebut tercantum dalam Pasal 19 UUPA yang menyebutkan bahwa “untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Dalam pasal ini dimaksudkan bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk warga di seluruh
3 Yamin Lubis dan Rahim Lubis, 2010, Hukum Pendaftaran Tanah, CV. Mandar Maju,
Indonesia melakukan pendaftaran tanah agar mencapai kepastian hukum sehingga meminimalisir terjadinya sengketa tanah.
Kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut kadangkala tidak terwujud seperti yang diharapkan. Sejumlah kasus “Sertipikat Ganda” masih dijumpai di Provinsi Bali, contohnya terdapat lebih dari 1 (satu) sertipikat pada sebidang tanah yang semuanya secara resmi sama-sama diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Akibatnya timbul sengketa perdata antar para pihak tersebut dan menyelesaikan sengketa tersebut melalui lembaga peradilan.
Sertipikat ganda adalah kejadian dimana sebidang tanah memiliki 2 (dua) sertipikat tanah yang dimiliki oleh 2 (dua) orang yang berbeda. Secara prinsip setiap bidang tanah memiliki posisi yang tunggal di belahan bumi ini. Tidak ada 2 (dua) bidang tanah yang memiliki posisi yang sama. Dengan demikian setiap bidang tanah yang telah bersertipikat atau terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN) seharusnya mendapat perlindungan terhadap pendaftaran yang sama atas bidang tanah tersebut. Perlindungan di atas dapat diberikan jika setiap sertipikat atas tanah yang terbit diketahui dengan pasti letak atau lokasinya di muka bumi. Dengan demikian setiap usaha untuk mensertipikatkan tanah yang sama dapat segera diketahui dan dicegah oleh BPN. Namun demikian masih ada tanah bersertipikat yang tidak diketahui lokasinya yang disebabkan oleh tidak tersedianya peta, padahal peta adalah informasi yang menggambarkan letak seluruh bidang tanah di permukaan bumi. Jika sebuah sertipikat yang diterbitkan tidak dipetakan dalam sebuah peta akibat tidak adanya sarana pada saat itu, maka bidang tanah itu memiliki potensi untuk melahirkan sertipikat ganda. Ketika
xxi
seseorang dengan bukti-bukti tanah yang meyakinkan, meminta pembuatan sertipikat di BPN, maka dapat dikatakan tidak ada alat yang kuat untuk mencegah lahirnya sertipikat ganda.4
Terbitnya sertipikat ganda disebabkan lemahnya pencatatan buku pertanahan yang ada di kantor pertanahan setempat. Selain itu kelemahan juga disebabkan karena sistem publikasi dalam pendaftaran tanah yang dipakai oleh UUPA yaitu publikasi negatif, dimana fungsi sertipikat sebagai alat bukti yang kuat, seperti apa yang ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2) sub c UUPA, sehingga pemegang sertipikat masih dimungkinkan mendapat gangguan dari pihak lain yang merasa berhak atas tanah yang bersangkutan.5 Selain lemahnya pencatatan buku pertanahan yang ada di kantor pertanahan dan sistem publikasi negatif yang dipakai UUPA dalam pendaftaran tanah, penyebab terjadinya sertipikat ganda juga karena adanya norma konflik dalam PP No. 24 Tahun 1997 dengan peraturan perundang-undangan pertanahan lainnya.
Pasal 37 ayat (1) PP No.24 Tahun 1997 mewajibkan setiap perjanjian yang berkenaan dengan pemindahan hak atas tanah harus dibuat di hadapan PPAT yang telah ditunjuk. Hal ini diperkuat dengan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Tanah (selanjutnya disebut PP. No. 37 Tahun 1998) yang berbunyi sebagai berikut: ”PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau
4
Adrian Sutedi, 2006, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertipikat Sebagai Tanda Bukti Hak Atas Tanah, Cipta Jaya, Jakarta, hal. 29
5 Arie S. Hutagalung, 2005, “Perlindungan Pemilikan Tanah Dari Sengketa Menurut
Hukum Tanah Nasional” dalam Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, hal. 397-398. (selanjutnya disebut Arie S. Hutagalung I)
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.”
Pasal 37 ayat (2) PP No.24 Tahun 1997 yang menentukan:
Bahwa dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar peralihan hak milik atas tanah yang dilakukan diantara Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, tetapi menurut Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar peralihan hak yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan terjadi norma konflik antara Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 2 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 yang mengatur bahwa pendaftaran tanah harus dilakukan oleh PPAT, dengan Pasal 37 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 yang menyatakan Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar peralihan hak milik atas tanah. Selain norma konflik ini, dalam Pasal 37 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 juga mengandung norma kabur. Norma kabur itu terletak pada kata “dalam keadaan tertentu” dan kata “kadar kebenarannya dianggap cukup” dimana kedua kata tersebut memerlukan penafsiran lebih lanjut yang tentunya berbeda antara satu orang dengan yang lainnya.
Berangkat dari adannya norma konflik antara Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 2 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 dengan Pasal 37 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 serta norma kabur dalam Pasal 37 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
”Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Hak Atas Tanah dalam Kasus Sertipikat Ganda”.
xxiii
.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kekuatan hukum akta PPAT yang objeknya sertipikat ganda berdasarkan Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 jo Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah yang sertipikatnya ganda?
.3 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelitian kepustakaan baik melalui perpustakaan-perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan sertipikat ganda yaitu:
1. Penelitian Elisabet Lumbanraja dengan judul ”Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Sertipikat ganda di Kabupaten Minahasa Utara (Tinjauan Yuridis terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor: 227 K/TUN/2010)”. Tesis dari Fakultas Hukum Program Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Tahun 2014. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut :
a. Faktor apakah yang menyebabkan timbulnya sertipikat ganda yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kabupaten Minahasa Utara dalam Perkara Nomor 227 K/TUN/2010?
b. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah bilamana terdapat penerbitan sertipikat ganda dan terhadap pihak ketiga yang telah melakukan perbuatan hukum atas sertipikat tersebut? c. Apakah pertimbangan hakim dalam memutuskan sengketa sertipikat
ganda di Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 227 K/TUN/2010 sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku?
Penelitian Elisabet Lumbanraja dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang sertipikat ganda. Perbedaannya jika penelitian Elisabet Lumbanraja menggunakan metode penelitian hukum empiris dengan pendekatan studi kasus pada Putusan Mahkamah Nomor 227/K/TUN/2010, maka pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (state approach), pendekatan konsep (conseptual
approach), dan pendekatan kasus (case approach).
2. Penelitian Chairul Anam Abdullah dengan judul ”Perlindungan Hukum bagi Pemegang Hak Atas Tanah dalam Hal Terdapat Sertipikat Ganda di Kabupaten Tangerang Propinsi Banten (Studi Kasus Putusan Nomor : 108/ PDT.G/ 1999/PN/ TNG)”. Tesis Program Studi Pascasarjana, Universitas Diponegoro, Semarang Tahun 2012. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut :
a. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan timbulnya sertipikat hak atas tanah ganda yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang dalam Perkara nomor : 108/PDT.G/1999/PN/TNG?
xxv
b. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memutuskan sengketa sertipikat ganda di Pengadilan Nomor : 108/ PDT.G/1999/PN/TNG, sudah sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku termasuk Hukum Tanah Nasional?
c. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah bilamana terdapat penerbitan sertipikat ganda dalam Perkara Nomor : 108/PDT.G/1999/PN/TNG?
Penelitian Chairul Anam Abdullah dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang sertipikat ganda. Perbedaannya jika penelitian Chairul Anam Abdullah menggunakan metode penelitian hukum normatif yang dilanjutkan dengan penelitian hukum empiris, maka pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (state approach), pendekatan konsep (conseptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). 3. Penelitian Maria Emaculata Noviana Ira Hapsari dengan judul “Tinjauan
Yuridis Putusan No. 10/G/TUN/2002/PTUN.SMG (Studi Kasus Sertipikat Ganda/“Overlapping” di Kelurahan Tandang, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang)”. Tesis Program Pascasarjana Universitas Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang, Tahun 2011. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut :
a. Faktor-faktor apa saja yang mengakibatkan terbitnya sertipikat ganda/overlapping oleh Kantor Pertanahan Kota Semarang dalam perkara Nomor : 10/G/TUN/2002/PTUN.SMG?
b. Apakah dasar pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam putusan perkara Nomor : 10/G/TUN/2002/PTUN.SMG tentang penyelesaian sengketa sertipikat ganda/overlapping sudah sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku?
Penelitian Maria Emaculata Noviana Ira Hapsari dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang sertipikat ganda. Perbedaannya jika penelitian Maria Emaculata Noviana Ira Hapsari menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan kualitatif deskriptif, maka pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (state approach), pendekatan konsep (conseptual approach), dan pendekatan
kasus (case approach).
Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya baik substansi maupun metodologinya.
.4 Tujuan Penelitian .4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitan ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah dalam kasus sertipikat ganda.
xxvii
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui kekuatan hukum akta PPAT yang objeknya sertipikat ganda berdasarkan Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 jo Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah yang sertipikatnya ganda.
.5 Manfaat Penelitian .5.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi perkembangan ilmu hukum dan memberikan sumbangan pemikiran dalam memperbanyak referensi ilmu hukum khususnya bidang hukum agraria mengenai penyelesaian sengketa hukum pertanahan berkaitan dengan adanya sertipikat ganda/overlapping.
.5.2 Manfaat Praktis
1. Dapat memberikan jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapi dalam penyelesaian sengketa pertanahan mengenai sertipikat ganda/overlapping.
2. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dan sumbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam masalah hukum agraria khususnya mengenai penyelesaian sengketa terhadap sertipikat ganda/overlapping.
.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran .6.1 Landasan Teoritis
Teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang telah menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu peristiwa atau fenomena dalam kehidupan manusia. Menurut Bernard Arief Sidharta,6 teori hukum merupakan teori yang secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis, dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat. Adapun teori, asas dan konsep yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah Teori Kepastian Hukum, Teori Perlindungan Hukum, Konsep Kepemilikan Hak Atas Tanah, Konsep Pendaftaran Tanah, Konsep Sertipikat Hak Atas Tanah dan Konsep Sertipikat Ganda untuk dijadikan pisau analisis dalam menjawab perumusan masalah penelitian.
.6.1.1 Teori Kepastian Hukum
Kepastian dalam Teori Kepastian Hukum memiliki arti “ketentuan; ketetapan” sedangkan jika kata kepastian itu digabungkan dengan kata hukum menjadi Kepastian Hukum, memiliki arti “perangkat hukum suatu Negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga Negara.”7
6 Bernard Arief Sidharta, 2010, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung, hal. 104.
7 Anton M. Moeliono, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
xxix
Kepastian (hukum) menurut Soedikno Martokusumo, merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam Penegakan Hukum. Menurut Martokusumo, Kepastian (hukum) merupakan;8
“Perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.”
Teori kepastian hukum berasal dari ajaran yuridis dogmatik yang didasarkan pada pemikiran positivis di dunia hukum, melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, mandiri karena hukum bagi aliran ini hanya sekumpulan aturan. Tujuan hukum yang utama adalah kepastian hukum. Kepastian hukum diwujudkan dengan membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum yang membuktikan bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk kepastian hukum.9
Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai tiga ide dasar hukum atau tiga nilai dasar hukum, yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum.10 Terkait dengan kepastian hukum, Gustav Radburch mengemukakan empat hal yang mendasar berhubungan dengan kepastian hukum, yaitu:
“Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum ini didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti ”kemauan baik”, “kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
8 Soedikno Mertokusumo, 1992, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,
Yogyakarta, hal. 145. (selanjutnya disebut Soedikno Mertokusumo I).
9
Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Ghalia Indonesia, Bogor, hal.67.
10Gustav Radbruch, 1950, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask,
Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, hal. 107.
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping juga mudah dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah….”.11
Pendapat Gustav Radburch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus perundang-undangan.12
Untuk memahami nilai Kepastian (hukum), yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam hukum positif. Bahkan peranan negara itu tidak saja sebatas pada tataran itu saja, negara pun mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan dan menegakannya. Pemahaman semacam inilah yang menjadi latar belakang, mengapa pengertian Kepasatian (hukum) oleh Anton M. Moeliono dan Soedikno Mertokusumo, seperti dikemukakan di atas.
Namun, dalam era sekarang, persoalan kepastian hukum bukan lagi semata-mata menjadi tanggung jawab negara. Kepastian hukum itu harus menjadi nilai bagi setiap pihak dalam setiap sendi kehidupan, di luar peranan negara itu sendiri dalam penerapan hukum legislasi maupun yudikasi. Setiap orang atau pihak tidak diperkenankan untuk bersikap tindak semena-mena.
Dengan demikian, pada era sekarang prinsip kepastian hukum menekankan pada penegakan hukum yang berdasarkan pembuktian secara formil, artinya suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hanya jika melanggar aturan tertulis tertentu. Sebaliknya menurut prinsip keadilan, perbuatan
11Achmad Ali, Op.cit., hal.293. 12
xxxi
yang tidak wajar, tercela, melanggar kepatutan dan sebagainya dapat dianggap sebagai pelanggaran demi tegaknya keadilan meskipun secara formal tidak ada undang-undang yang melarangnya.13 Dilema antara penegakan hukum yang mengedepankan pada prinsip kepastian hukum ataukah rasa keadilan merupakan persoalan yang sudah ada sejak lama. Keduanya sama-sama ada di dalam konsepsi Negara hukum.14
Permasalahan lain menurut Satjipto Rardjo adalah bahwa di Indonesia kepastian hukum seakan menjadi cap dagang dan primadona setiap wacana mengenai hukum dan peraturan-peraturan formil. Doktrin ini bermasalah karena hubungan hukum dan kepastian hukum tidaklah bersifat mutlak. Peraturan hukum tidak serta merta menciptakan kepastian hukum. Hal yang sebenarnya terjadi dan mutlak adalah bahwa hukum menciptakan kepastian peraturan tidak otomatis menciptakan kepastian hukum. Pengejawantahan doktrin ini secara ekstrim terdapat dalam prinsip „hakim sebagai mulut undang-undang‟ yang dikemukan oleh Montesquieu. Tragedi hukum modern sebenarnya dimulai dari prinsip tersebut. Sejak hukum dituliskan, maka dalam berhukum, orang terpaku pada pembacaan peraturan. Dengan demikian memiliki resiko besar untuk meminggirkan keadilan, kemanfaatan, dan segala hal ihwal yang masuk akal (reasonableness). Jika diproyeksikan kepada tuntutan keadilan dan kemanfaatan maka kepastian hukum dapat menjadi penghambat. Apabila kepastian hukum
13 Mahfud M.D., 2007, Kepastian Hukum Tabrak Keadilan, dalam Fajar Laksono, Ed.,
Hukum Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr. Mahfud MD, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 91.
14
diikuti secara mutlak maka hukum hanya akan berguna bagi hukum sendiri tetapi tidak untuk masyarakat.15
Ada juga teori kepastian hukum yang lain dikemukakan oleh Maria S.W. Sumardjono, yang menyatakan bahwa secara normatif, kepastian hukum itu memerlukan tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang secara operasional maupun mendukung pelaksanaannya. Secara empiris, keberadaan peraturan perundang-undangan itu perlu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya.16 Kemudian menurut Van Apeldoorn kepastian hukum meliputi dua hal, yakni:
1. Kepastian hukum adalah hal yang dapat ditentukan (bepaalbaarheid) dari hukum, dalam hal-hal yang kongkrit. Pihak-pihak pencari keadilan (yustisiabelen) ingin mengetahui apakah hukum dalam suatu keadaan atau hal tertentu, sebelum ia memulai dengan perkara;
2. Kepastian hukum berarti pula keamanan hukum, artinya melindungi para pihak terhadap kewenang-wenangan hakim. Roscoe Pound juga menambahkan bahwa yang disebut dengan kepastian hukum adalah
predictability yang artinya terukur dan dapat diperhitungkan.17
Teori kepastian hukum digunakan untuk membahas rumusan masalah yang pertama mengingat sertipikat hak atas tanah seharusnya memberikan kepastian hukum bagi pemiliknya.
15 Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 90. 16
Maria S.W Sumardjono, 1997, “Kepastian Hukum dalam Pendaftaran Tanah dan Manfaatnya Bagi Bisnis Perbankan dan Properti,” Makalah disampaikan dalam Seminar Kebijaksanaan Baru di Bidang Pertanahan, Dampak dan Peluang Bagi Bisnis Properti dan Perbankan, Jakarta, hal. 1. (selanjutnya disebut Maria S.W Sumardjono I).
17
xxxiii
Teori kepastian hukum dapat digunakan untuk membahas adanya norma kabur dalam Pasal 37 ayat (2) PP No.24 Tahun 1997 yang melatarbelakangi penelitian ini. Dalam hal menghadapi norma hukum yang kabur atau norma yang tidak jelas, hakim menafsirkan undang-undang untuk menemukan hukumnya. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Salah satu metode yang dapat dipergunakan adalah metode interpretasi. Secara umum ada 11 (sebelas) macam metode interpretasi hukum, yaitu: interpretasi gramatikal, historis, teleologis/sosiologis, komparatif, futuristik/antisipatif, restriktif, ekstensif, autentik, interdisipliner, dan multidisipliner,18 yang diuraikan sebagai berikut:
1. Interpretasi Gramatikal
Interpretasi gramatikal atau penafsiran tata bahasa adalah suatu penafsiran dengan mencari arti atau makna ketentuan aturan hukum (undang-undang) dari kata-katanya menurut pemakaian bahasa sehari-hari dan/atau pemakaiannya secara teknis yuridis.19 Interpretasi gramatikal atau interpretasi menurut bahasa ini memberikan penekanan pada pentingnya kedudukan bahasa dalam rangka memberikan makna terhadap sesuatu objek. Sukar dibayangkan, hukum ada tanpa adanya bahasa. Positief recht bestaat dus
alleen maar dankzij het feit dat de mens een taal heeft20 hukum positif itu ada hanya karena kenyataan bahwa manusia memiliki bahasa.
18 Habibul Umam Taqiuddin, 2013, Teori Penalaran Hukum, http://habibulumamt.
blogspot.com. Akses 4 Desember 2016.
19 I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran Hukum dan Argumentasi Hukum,
Bali Aga, Denpasar, hal. 42-44.
20 J.J.H. Bruggink, 1993, Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit de Rechtstheorie, Den
Menurut Bruggink, men kan zelfs nog verder gaan en stellen dat ook
het recht als conceptueel systeem alleen maar vorm kan krijgen in het denken van de mens, dankzij de taal die hij spreekt.21 Hukum sebagai sistem konseptual hanya dapat memperoleh bentuk dalam pikiran manusia adalah karena bahasa yang digunakan untuk berbicara. Oleh sebab itu pula, James A Holland dan Julian S. Webb mengemukakan, bahwa bahasa merupakan salah satu faktor kunci untuk bagaimana kita dapat mengetahui sengketa hukum (legal disputes) yang sebenarnya dikonstruksi oleh hakim (pengadilan). Law
and fact, dan law and language hukum dan fakta, dan hukum dan bahasa
merupakan 2 (dua) variabel kunci untuk memahami sengketa hukum di peradilan. The legal process is intrinsically bound up with language proses hukum secara intriksik diikat dengan bahasa.22
Metode interpretasi gramatikal yang disebut juga metode penafsiran obyektif merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari sekedar „membaca undang-undang.‟ Dari sini arti atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Ini tidak berarti bahwa hakim terikat erat pada bunyi kata-kata dari undang-undang. Interpretasi menurut bahasa ini juga harus logis.23
Terdapat 3 (tiga) pendekatan contextualism yang dapat digunakan dalam metode penafsiran ini, yaitu:
21
Ibid.
22 James A. Holland and Julian S. Webb, 1991, Learning Legal Rules, Blackstone
Limited, Great Britain, hal.73, 82.
23 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 2002, Penemuan Hukum (Suatu Pengantar),
xxxv
a. Noscitur a socis, yaitu arti suatu perkataan harus dinilai dari ikatannya dalam kumpulan-kumpulannya;
b. Ejusdem generis. Asas ini mengandung makna of the same class. Jadi suatu perkataan yang digunakan dalam lingkungan atau kelompok yang sama.
c. Expressum facit cassare tacitum, yaitu bahwa kata-kata yang dicantumkan secara tegas mengakhiri pencarian mengenai maksud dari suatu perundang-undangan. Misalnya, apabila di muka peraturan telah memerinci tentang „pedagang, tenaga terampil, pekerja atau orang lain apapun‟, maka kata „orang lain apapun‟ harus diartikan dalam kategori orang-orang yang telah disebutkan sebelumnya itu.24
2. Interpretasi Historis
Interpretasi historis atau interpretasi sejarah dibedakan menjadi “sejarah hukum” dan “sejarah undang-undang”. Dalam interpretasi sejarah hukum, suatu ketentuan aturan hukum (undang-undang) dicari arti atau maknanya dari sejarah perkembangan suatu lembaga hukum atau figur hukum. Sedangkan dalam interpretasi sejarah undang-undang, makna atau arti dari suatu ketentuan aturan hukum (undang-undang) dicari dengan cara menelusuri sejarah terbentuknya undang-undang tersebut.25
Makna ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan dapat juga ditafsirkan dengan cara meneliti sejarah pembentukan peraturan itu
24 Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan
Manusia dan Hukum, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal.97-98. Lihat juga pendapat Ahli Philipus M. Hadjon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006 (tentang permohonan pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
25
sendiri. Penafsiran ini dikenal dengan interpretasi historis. Ada 2 (dua) macam interpretasi historis, yaitu: penafsiran menurut sejarah undang-undang; dan penafsiran menurut sejarah hukum.
Dengan penafsiran menurut sejarah undang-undang hendak dicari maksud ketentuan undang-undang seperti yang dilihat atau dikehendaki oleh pembentuk undang-undang pada waktu pembentukkannya. Pikiran yang mendasari metode interpretasi ini ialah bahwa undang-undang adalah kehendak pembentuk undang yang tercantum dalam teks undang-undang. Interpretasi menurut sejarah undang-undang ini disebut juga interpretasi subjektif, karena penafsir menempatkan diri pada pandangan subjektif pembentuk undang-undang, sebagai lawan interpretasi menurut bahasa yang disebut metode objektif. Sedangkan, metode interpretasi yang hendak memahami undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukum disebut dengan interpretasi menurut sejarah hukum.26
3. Interpretasi Teleologis/Sosiologis
Interpretasi sistematis adalah suatu penafsiran untuk menentukan arti atau makna suatu ketentuan peraturan hukum (undang-undang) dengan cara mengkaitkannya dengan ketentuan pasal-pasal lainnya.27 Interpretasi teleologis atau sosiologis adalah apabila makna undang-undang ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau tidak sesuai lagi, diterapkan pada peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya
26 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op.cit., hal.17-18. 27
xxxvii
undang tersebut dikenal atau tidak. Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Jadi peraturan hukum yang lama disesuaikan dengan keadaan baru atau dengan kata lain peraturan yang lama dibuat aktual.28
4. Interpretasi Komparatif
Interpretasi komparatif atau perbandingan merupakan metode penafsiran yang dilakukan dengan jalan memperbandingkan antara beberapa aturan hukum. Tujuan hakim memperbandingkan adalah dimaksudkan untuk mencari kejelasan mengenai makna dari suatu ketentuan undang-undang.29 Interpretasi perbandingan dapat dilakukan dengan jalan membandingkan penerapan asas-asas hukumnya (rechtsbeginselen) dalam peraturan perundang-undangan yang lain dan/atau aturan hukumnya (rechtsregel), di samping perbandingan tentang latar belakang atau sejarah pembentukan hukumnya.
5. Interpretasi Futuristik/Antisipatif
Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.30 Dengan demikian, interpretasi ini lebih bersifat ius constituendum (hukum atau undang-undang yang dicitakan) daripada ius constitutum (hukum atau undang-undang yang berlaku pada saat sekarang).
28 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op.cit., hal. 15-16. 29 Ibid, hal.19.
30
6. Interpretasi Restriktif
Interpretasi restriktif adalah penjelasan atau penafsiran yang bersifat membatasi. Untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang, ruang lingkup ketentuan itu dibatasi. Prinsip yang digunakan dalam metode penafsiran ini adalah prinsip lex certa, bahwa suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (lex stricta), atau dengan kata lain suatu ketentuan perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan itu sendiri.
7. Interpretasi Ekstensif
Interpretasi ekstensif adalah penjelasan yang bersifat melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh interpretasi gramatikal.31 Interpretasi ekstensif merupakan metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batas-batas yang biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal.32 Jadi, maksudnya adalah bahwa interpretasi ekstensif ini digunakan dengan maksud untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dengan cara melampaui batas yang diberikan oleh interpretasi gramatikal.
8. Interpretasi Autentik
Interpretasi autentik dalam bahasa Belanda disebut sebagai volledig
bewijs opleverend, yang berarti bahwa interpretasi autentik ini “...
memberikan keterangan atau pembuktian yang sempurna, yang sah atau yang
31 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op.cit., hal.19-20.
32 Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
xxxix resmi”.33
Penafsiran autentik ini dilakukan oleh pembuat undang-undang itu sendiri, jadi hakim tidak diperkenankan untuk melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan dalam pengertiannya dalam undang-undang itu sendiri.
9. Interpretasi Interdisipliner
Johnny Ibrahim dalam bukunya mengungkapkan bahwa metode interpretasi interdisipliner dilakukan oleh hakim apabila ia melakukan analisis terhadap kasus yang ternyata substansinya menyangkut berbagai disiplin atau bidang kekhususan dalam lingkup ilmu hukum, seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi atau hukum internasional. Hakim akan melakukan penafsiran yang disandarkan pada harmonisasi logika yang bersumber pada asas-asas hukum lebih dari satu cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum.34 Sebagai contoh, interpretasi atas pasal yang menyangkut tindak pidana “korupsi”, dimana hakim dapat menafsirkan ketentuan pasal tersebut dari berbagai disiplin yaitu hukum pidana, administrasi negara, dan hukum perdata.
10. Interpretasi Multidisipliner
Dalam metode interpretasi multidisipliner, selain menangani dan berusaha membuat terang suatu kasus yang dihadapinya, seorang hakim juga harus mempelajari dan mempertimbangkan berbagai masukan dari disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum.35 Hal ini berarti hakim membutuhkan bantuan dari disiplin ilmu yang lain dalam menjatuhkan putusan, demi membuat suatu
33
Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum (Upaya Meweujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan), UII Press, Yogyakarta, hal.118.
34 Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia,
Malang, hal.48.
35
putusan yang adil dan memberi kepastian hukum. Biasanya dalam melakukan interpretasi multidisipliner tersebut, hakim akan mendatangkan para ahli atau pakar dalam disiplin ilmu terkait untuk dimintakan keterangan mereka sebagai saksi ahli yang memberikan keterangan di bawah sumpah.
.6.1.2 Teori Perlindungan Hukum
Teori perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa perlindungan hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya.36 Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.37 Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang
36 Philipus M. Hadjon, 2011, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia. Bina Ilmu,
Surabaya, hal.205. (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon I).
37Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja
xli
lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.38
Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum. Meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.39
Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban.40 Menurut pendapat Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta tentang fungsi hukum untuk memberi perlindungan adalah bahwa hukum itu ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian manusia untuk menciptakan kondisi yang melindungi dan memajukan martabat manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani kehidupan yang wajar sesuai dengan martabatnya.41
Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi yang salah satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi setiap Warga
38 Sunaryati Hartono, 2001, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Penerbit
Alumni, Bandung, hal. 29.
39
Satjipto Raharjo, Op.cit, hal. 53.
40Supanto, 2014, Perlindungan Hukum Wanita, http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/,
diakses tanggal 10 November 2015.
41Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, 2004, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, PT.
Negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam UUD NRI 1945, untuk itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan kedudukan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Dalam konteks Ilmu Hukum, konsep perlindungan hukum sering dimaknai sebagai suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada proses litigasi dan/atau non litigasi.
Dengan demikian Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:42
1. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.
2. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan
42
xliii
perlindungan kepada masyarakat. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum. Selanjutnya hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap individu dalam masyarakat.
Teori ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas rumusan masalah yang kedua mengingat pada dasarnya sertipikat hak atas tanah dimaksudkan untuk memberi perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah.
Teori perlindungan hukum juga dapat digunakan untuk membahas perlindungan atas terjadinya norma konflik antara Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 2 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 dengan Pasal 37 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 yang mendasar penelitian ini.
.6.1.3 Konsep Kepemilikan Hak Atas Tanah
Konsep yang dianut dalam hukum perdata adalah bahwa hak kepemilikan atas tanah merupakan hubungan hukum kepemilikan secara hakiki diakui keberadaannya, dijunjung tinggi, dihormati, dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun juga. Hak kepemilikan merupakan sumber kehidupan dan penghidupan bagi pemiliknya, oleh karena itu orang yang mempunyai hak yang sah secara hukum harus mendapatkan perlindungan oleh negara. Hak milik (property right) merupakan suatu hak yang mempunyai hubungan kepemilikan yang tertinggi tingkatannya dibandingkan dengan hak-hak kepemilikan lainnya. Hubungan tanah dengan pemiliknya menimbulkan hak dan kewajiban maupun wewenang atas tanah yang dihaki secara luas. Konsep ini akan dipergunakan dalam membahas rumusan masalah yang pertama sehingga diperoleh gambaran sejauhmana seorang
pemegang hak atas tanah yang sertipikat hak atas tanahnya diperoleh dengan memenuhi prosedur yang telah ditentukan mendapat perlindungan sebagai pemiliknya.
.6.1.4 Konsep Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah, merupakan perintah dari Pasal 19 UUPA. Lembaga pendaftaran tanah dalam sejarah pertanahan di Indonesia dan yang berlaku secara nasional adalah dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Peraturan Pemerintah ini kemudian disempurnakan dengan munculnya PP No. 24 Tahun 1997.
Pengertian Pendaftaran Tanah di dalam Pasal 1 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah :
“Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”
Pengumpulan keterangan atau data dimaksud meliputi:43
a. Data fisik, yaitu mengenai tanahnya: lokasinya, batas-batasnya, luasnya bangunan dan tanaman yang ada di atasnya;
b. Data Yuridis, yaitu mengenai haknya: haknya apa, siapa pemegang haknya, ada atau tidak hak pihak lain di atasnya;
Menyangkut cara pendataran tanah dilakukan dengan dua cara yaitu: a. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah
yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu
43 Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
xlv
desa/kelurahan. Pendaftaran tanah secara sistematik diselenggarakan atas prakarsa pemerintah berdasarkan pada suatu rencana kerja jangka panjang dan tahunan serta dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. Dalam hal suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik, pendaftarannya dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sporadik.44 b. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas obyek pendafataran tanah yang bersangkutan dan kuasanya.
Dalam menyelenggarakan hak atas tanah dikenal dua asas, yaitu :45 a. Asas Spesialis
Asas spesialitas ini dapat kita lihat dengan adanya data fisik. Data fisik tersebut berisi tentang luas tanah yang menjadi subyek hak, letak tanah tersebut, dan juga penunjukkan batas-batas secara tegas.
b. Asas publisitas
Asas publisitas ini tercermin dari adanya data yuridis mengenai hak atas tanah seperti subyek hak nama pemegang hak atas tanah, peralihan hak atas tanah serta pembebanannya.
Tentang fungsi Pokok dari pendaftaran tanah ialah, untuk memperoleh alat pembuktian yang kuat tentang sahnya perbuatan hukum tertentu, pendaftaran mempunya fungsi lain, yaitu untuk memenuhi sahnya perbuatan hukum itu. Artinya, tanpa dilakukan pendaftaran, perbuatan hukum itu tidak terjadi dengan sah menurut hukum.46
Selanjutnya tujuan pendaftaran tanah, menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah :
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk itu kepada pemegang haknya diberikan sertipikat sebagai surat tanda buktinya.
44 Ibid, hal. 75. 45 Ibid, hal. 78.
46 Irawan Soerojo, 2002, Kepastian Hukum hak Atas Tanah Di Indonesia, Arloka,
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk Pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Tujuan pendaftaran tanah juga untuk menghimpun dan menyediakani informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang tanah dipertegas dangan dimungkinkannya menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, pembukuan bidang-bidang tanah yang data fisik atau data yuridisnya belum lengkap atau masih bersengketa, walaupun untuk tanah-tanah yang demikian belum dikeluarkan sertipikat tanda bukti haknya.47
Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dijelaskan juga sejauh mana kekuatan pembuktian sertipikat yang dinyatakan sebagai alat bukti yang kuat oleh UUPA.
Menurut Bambang Eko HN sistem publikasi pendaftaran tanah meliputi:48 a. Sistem Publikasi Positif
Di dalam sistem publikasi positip sertipikat merupakan alat bukti mutlak, artinya tidak bisa diganggu gugat karena sekali di daftar tidak bisa di rubah. Buku tanah di dalam sertipikat tersebut adalah segala-galanya atau
the register is everything.
b. Sistem Publikasi Negatif
Sistem ini alat bukti sertipikat berkedudukan sebagai bukti yang kuat, artinya selama tidak bisa dibuktikan sebaliknya oleh orang lain maka pemegang sertipikat mendapat perlindungan hukum. Apabila orang lain bisa membuktikan, maka orang lain tersebut yang mendapatkan perlindungan hukum dengan sertipikat tersebut bisa dirubah dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan, sehingga hasil akhir pihak ke tiga yang benar tadi mendapat sertipikat yang sudah di rubah.
c. Sistem Publikasi Yang Dipergunakan di Indonesia
Berdasarkan UUPA jo PP 24/1997 di Indonesia cenderung menggunakan sistem publikasi yang negatif karena berdasarkan sejarah di Indonesia sistem adminstrasi pertanahannya masih belum tertib administrasi. Dalam praktek Indonesia memilih publikasi negatif tapi tidak sistem publikasi negatif murni tetapi menganut unsur-unsur yang positif. Bukti mengandung unsur positif :49
1) Dalam melakukan pendaftaran sebelum terbit sertipikat dilakukan pengumuman terlebih dahulu
2) Melakukan pengecekan secara fisik di lapangan. Dalam pengecekan akan dicocokkan dengan pemilik yang berbatasan yang disebut cara
47 Boedi Harsono, Op.Cit, hal.72.
48 Bambang Eko HN, 2010, Pembakuan Pendaftaran Tanah, BPN, Jakarta, hal. 3. 49 AP. Parlindungan, 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
xlvii
contradictoire de limitie, dengan demikian cara pilihan sistem
publikasi pendaftaran tanah yang digunakan adalah sistem Publikasi Negatif mengandung unsur-unsur Positif. Maksudnya adalah karena selain mengandung unsur sistem publikasi negatif (yaitu negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan), juga mengandung unsur positif yaitu adanya kewajiban bagi pejabat tanah untuk aktif dalam proses pendaftaran tanah. Sistem Negatif yang mengandung unsur-unsur Positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Sistem publikasi yang digunakan bukan sistem publikasi negatif murni. Sebab sistem publikasi negatif murni tidak akan menggunakan sistem pendaftaran hak. Juga tidak akan ada pernyataan seperti dalam pasal-pasal Undang-Undang Pokok Agraria tersebut, bahwa sertipikat merupakan alat bukti yang kuat.
Uraian tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa dalam sistem pendaftaran tanah dikenal adanya sistem publikasi, yaitu sistem publikasi negatif dan sistem publikasi positif. Sistem publikasi negatif maksudnya adalah negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam sertipikat, oleh karena itu belum tentu seseorang yang telah tertulis namanya pada sertipikat adalah mutlak sebagai pemilik, sedang sistem publikasi positif adalah sebaliknya. Tetapi manapun yang digunakan sebenarnya tidak menjadi persoalan, karena baik sistem publikasi negatif maupun sistem publikasi positif sama-sama memiliki keuntungan dan kelemahan.
Indonesia tidak menganut secara mutlak negatif dan tidak pula positif, mengingat tanah di Negara ini lebih banyak belum terdaftar dan tunduk pada hukum adat yang tidak mementingkan pendaftaran tanahnya saat itu. Sistem pendaftaran tanah di Indonesia, dikategorikan menganut sistem campuran keduanya, yaitu sistem negatif yang bertendensi positif, maksudnya Negara tidak menjamin mutlak kebenaran data yang disajikan dalam sertipikat, namun selama tidak ada orang lain yang mengajukan gugatan ke pengadilan yang merasa lebih berhak, maka data dalam sertipikat adalah tanda bukti hak yang kuat.
.6.1.5 Konsep Sertipikat Hak Atas Tanah
Di dalam hukum Agraria pengertian sertipikat pada dasarnya merupakan abstraksi dari daftar umum hak atas tanah dan merupakan satu-satunya pembuktian formal hak atas tanah, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa sertipikat merupakan turunan atau salinan dari Buku Tanah dan Surat Ukur.50
Menurut definisi formalnya, sertipikat hak atas tanah merupakan surat tanda bukti hak atas tanah atau satuan rumah susun. Kekuatan berlakunya sertipikat telah ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA dan Pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997, yakni sertipikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Sertipikat tanah membuktikan bahwa pemegang hak mempunyai sesuatu hak atas bidang tanah tertentu. Data fisik mencakup keterangan mengenai letak, batas, dan luas tanah. Data yuridis mencakup keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Data fisik dan data yuridis dalam Buku Tanah diuraikan dalam bentuk Daftar, sedangkan data fisik dalam surat ukur disajikan dalam Peta dan Uraian. Dalam surat ukur dicantumkan keadaan, letak, luas, dan batas tanah yang bersangkutan.51
Sertipikat hak atas tanah merupakan bentuk Keputusan Tata Usaha Negara jika memperhatikan ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun
50 Benny Bosu, 1987, Perkembangan Terbaru Sertipikat (Tanah, Tanggungan dan
Condominium), cet. 1, PT. Mediatama Saptakarya, Jakarta, hal. 1.
51 Adrian Sutedi, 2007, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, cet.3, Sinar
xlix
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyebutkan:
Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.52
Dengan demikian sertipikat hak atas tanah merupakan:
a. Keputusan Badan atau Pejabat Negara, yakni Keputusan Kepala Kantor Pertanahan
b. maksud isi tulisan sertipikat intinya berisi jenis hak (misal hak milik atau hak guna bangunan), lokasi/alamat tanah, luas tanah, batas tanah, nomor sertipikat, surat ukur dan nomor surat ukur dan sebagainya
c. tulisan itu ditujukan kepada orang, sekumpulan orang atau badan hukum sebagai pemegang hak atas tanah.
Kedudukan tentang sertipikat tanah di dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Sertipikat Tanah disebutkan bahwa :
(1) Sertipikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku, apabila data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
(2) Dalam hal ada suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat menuntut pelaksanaan atas hak tersebut apabila dalam 5 tahun sejak diterbitkannya sertipikat telah mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang hak sertipikat dan kepala kantor pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan melakukan penguasaan atau penerbitan sertipikat tersebut.”
52
Sedangkan tentang Pendaftaran Tanah di dalam Pasal 19 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa:
“Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.” Jadi sertipikat dimaksud berlaku sebagai alat bukti yang kuat, bukan suatu alat bukti yang mutlak dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai keterangan yang benar.
Sebagai alat bukti yang kuat maka sertipikat mempunyai manfaat sebagai berikut :
a. Menjamin kepastian hukum karena dapat melindungi pemilik sertipikat terhadap gangguan pihak lain serta menghindarkan sengketa dengan pihak lain.
b. Mempermudah usaha memperoleh kredit dengan tanah bersertipikat sebagai jaminan.
c. Dengan adanya surat ukur dalam sertipikat maka luas tanah sudah pasti, sehingga untuk penetapan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) akan lebih adil.53
Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa sertipikat tanah selain dapat memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah, sertipikat tanah juga memberikan kepastian dalam luas tanah seperti yang tercantum dalam sertipikat. Selain itu sertipikat tanah juga dapat digunakan
53 Maria S.W. Sumarjono, 1982, Puspita Serangkum Aneka Masalah Hukum Agraria,
li
sebagai agunan kredit untuk mendapatkan modal usaha atau keperluan lainnya dan dapat digunakan untuk penetapan pengenaan PBB.
Selanjutnya tentang fungsi sertipikat Hak Atas Tanah (HAT) dapat dijelaskan bahwa produk akhir dari kegiatan pendaftaran tanah adalah penerbitan sertipikat hak atas tanah, mempunyai banyak fungsi bagi pemiliknya, antara lain:
a) Sertipikat hak atas tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat. Inilah yang merupakan fungsi utama diterbitkannya sertipikat sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c tentang Pendaftaran Tanah UUPA. Penerbitan sertipikat dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya. Dan sebagai alat bukti, sertipikat merupakan pegangan yang kuat dalam hal pembuktian hak miliknya karena dikeluarkan oleh instansi yang sah dan berwenang secara hukum.54 Seseorang atau badan hukum akan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas suatu bidang tanah, apabila telah jelas namanya tercantum dalam sertipikat itu. Juga dapat dibuktikan mengenai keadaan-keadaan dari tanahnya itu misalnya luas, batas-batasnya, bangungan-bangunan yang ada, jenis haknya beserta bebanbeban yang ada pada hak atas tanah itu, dan sebagainya.
b) Sertipikat hak atas tanah memberikan kepercayaan bagi pihak bank/kreditor untuk memberikan pinjaman uang kepada pemiliknya dalam hal pemilik sertipikat membutuhkan modal untuk pengembangan usahanya. Sertipikat berguna sebagai jaminan akan eksistensi hak itu.
54