TUGAS AKHIR– TL 141584
STUDI PENGARUH ANHIDRIDA TERHADAP SIFAT
MEKANIK DAN STABILITAS TERMAL CURING
AGENT BARU UNTUK RESIN EPOKSI PADA
APLIKASI PRINTED CIRCUIT BOARD
MUHAMMAD YUNUS NRP. 2713 100 121 Dosen Pembimbing
Dr.Eng Hosta Ardhyananta, S.T., M.Sc Amaliya Rasyida S.T., M.Sc
DEPARTEMEN TEKNIK MATERIAL Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
i TUGAS AKHIR – TL141584
STUDI PENGARUH ANHIDRIDA TERHADAP
SIFAT MEKANIK DAN STABILITAS TERMAL
CURING AGENT BARU UNTUK RESIN EPOKSI
PADA APLIKASI PRINTED CIRCUIT BOARD
MUHAMMAD YUNUS NRP 2713 100 121 Dosen Pembimbing
Dr.Eng Hosta Ardhyananta, S.T., M.Sc. Amaliya Rasyida, S.T., M.Sc.
DEPARTEMEN TEKNIK MATERIAL Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2017
ii
iii FINAL PROJECT – TL141584
STUDY ON THE EFFECT OF ANHYDRIDE ON
MECHANICAL PROPERTIES AND THERMAL
STABILITY NEW CURING AGENT FOR EPOXY
RESIN APPLICATION IN PRINTED CIRCUIT
BOARD
MUHAMMAD YUNUS NRP 2713 100 121 Advisors
Dr.Eng Hosta Ardhyananta, S.T., M.Sc. Amaliya Rasyida, S.T., M.Sc.
MATERIALS ENGINEERING DEPARTMENT Faculty of Industrial Technology Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2017
iv
vi
AGENT BARU UNTUK RESIN EPOKSI PADA
APLIKASI PRINTED CIRCUIT BOARD
TUGAS AKHIR
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
pada
Program Studi S-1 Departemen Teknik Material Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Oleh :
MUHAMMAD YUNUS NRP. 2713 100 121
Disetujui oleh Tim Penguji Tugas Akhir :
1. Dr. Eng Hosta Ardhyananta, S.T., M.Sc. (Pembimbing I) 2. Amaliya Rasyida, S.T., M.Sc. (Pembimbing II)
SURABAYA Juli 2017
vii
viii
UNTUK RESIN EPOKSI PADA APLIKASI PRINTED
CIRCUIT BOARD
Nama Mahasiswa : Muhammad Yunus
NRP : 2713 100 121
Jurusan : Teknik Material FTI-ITS
Dosen Pembimbing : Dr.Eng Hosta Ardhyananta, S.T., M.Sc.
Amaliya Rasyida, ST ,M.Sc. ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan produk polimer berbasis sistem Anhidrida yang memiliki sifat mekanik dan stabilitas termal yang baik pada aplikasi Printed Circuit Board. Produk polimer ini menggunakan bahan dasar epoksi dengan variasi pengisi Pthalic Anhidrida/Maleat Anhidrida, Anilin, Anilin/Maleat Anhidrida, dan Maleat Anhidrida. Pengujian yang dilakukan yaitu uji Scanning Electron Microscope, uji massa jenis, uji Fourier Transform Infrared Spectroscopy, uji kekerasan shore D, uji kekuatan tarik, dan uji Thermogravimetri Analysis. Pengujian sifat kekerasan menunjukan peningkatan nilai kekerasan dengan variasi pengisi Pthalic Anhidrida/Maleat Anhidrida, Anilin, Anilin/Maleat Anhidrida, dan Maleat Anhidrida dengan tertinggi pada variasi Maleat Anhidrida sebesar 81,67 HD.. Pengujian kekuatan tarik menunjukan peningkatan kekuatan tarik terbaik dengan variasi pengisi Maleat Anhidrida dengan kekuatan tarik sebesar 37,94 MPa. Pengujian stabilitas temperatur menunjukan peningkatan dengan variasi Pthalic Anhidrida/Maleat Anhidrida, Anilin, Anilin/Maleat Anhidrida, dan Maleat Anhidrida. Stabilitas temperatur tertinggi terdapat pada variasi pengisi Anilin dengan T5 337.4 OC. Berdasarkan hasil tersebut terdapat pengaruh penambahan jenis asam terhadap sifat mekanik
ix
dan stabilitas termal curing agent baru untuk resin epoksi pada aplikasi printed circuit board.
Kata kunci : Epoksi, Curing Agent, Temperatur, Sifat Mekanik, Stabilitas Termal
x
STABILITY NEW CURING AGENT FOR EPOXY
RESIN APPLICATION IN PRINTED CIRCUIT
BOARD
Student Name : Muhammad Yunus NRP : 2713 100 121
Department : Teknik Material FTI-ITS Advisors : Dr.Eng Hosta Ardhyananta
S.T., M.Sc.
Amaliya Rasyida, S.T., M.Sc. ABSTRACT
This research has done to develop anhydride based polymer product with having good thermal stability and mechanical properties for Printed Circuit Board application. This polymer product was based on epoxy resin and ammonia with the variation of Pthalic Anhydride/Maleic Anhydride, Aniline, Aniline/Maleic Anhydride, and Maleic Anhydride. Test that have been done on this research are Scanning Electron Microscope test, Fourier Transform Infrared Spectroscopy test, Density test, Tensile test, Hardness Test Shore D, and Thermogravimetric Analysis. Hardness test result shows increase on all variation hardness value with highest value of hardness on Maleic Anhydride which value is 81,67 HD. . Tensile test shows increase on all variation tensile value with highest value of tensile on Maleic Anhydride which value is 37,94 MPa. Thermogravimetric Analysis test shows increase of thermal stability on all variation value with highest thermal stability on Aniline which value T5 337.4 OC. Based on the result known that anhydride has effect on mechanical properties and thermal stability new curing agent for epoxy resin application in printed circuit board.
xi
Keywords : Epoxy, Curing Agent, Temperature, Mechanical Properties, Thermal Stability
xii
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir yang berjudul “Studi Pengaruh Sistem Anhidrid Terhadap Sifat Mekanik Dan Stabilitas Termal Curing Agent Baru Untuk Resin Epoksi Pada Aplikasi Printed Circuit Board”. Adapun laporan ini disusun dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan studi di Departemen Teknik Material FTI – Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuniaNya dari awal memulai perkuliahan di ITS hingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir.
2. Kedua orang tua dan keluarga atas semua doa, dukungan moril dan materiil, pengertian dan cinta yang telah diberikan selama ini
3. Bapak Dr. Eng. Hosta Ardhyananta, S.T, M.Sc selaku dosen pembimbing tugas akhir yang telah memberikan bekal yang sangat bermanfaat.
4. Bapak Amaliya Rasyida, S.T., M.Sc. selaku dosen co-pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan dan arahan
5. Bapak Budi Agung Kurniawan, ST, MSc selaku dosen wali yang senantiasa menyemangati
6. Bapak Dr. Agung Purniawan, S.T., M.Eng. selaku Ketua Jurusan Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS. 7. Dosen Tim Penguji Seminar dan Sidang Tugas Akhir. 8. Seluruh dosen dan karyawan Jurusan Teknik Material dan
Metalurgi FTI-ITS.
9. Anggota Laboratorium Inovasi Material yang selalu membantu dalam bertukar pikiran
10. Keluarga HMMT dan MT15 yang selalu membantu selama masa perkuliahan.
xiii
11. Epi dan Dida selaku teman seperjuangan selama pengerjaan Tugas Akhir.
12. Wanda selaku teman yang membantu selama proses pengerjaan Tugas Akhir.
13. Dan seluruh pihak yang telah memberikan partisipasi atas penulisan tugas akhir ini.
Penulis berharap laporan tugas akhir ini mampu membantu pengembangan polimer epoksi di Indonesia. Penyusun menyadari adanya keterbatasan di dalam penyusunan laporan ini. Besar harapan penyusun akan saran, dan kritik yang sifatnya membangun. Penulis berharap tugas akhir ini bermanfaat bagi seluruh pihak yang membaca.
Surabaya, Juli 2017
xiv
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... v
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... xi
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR TABEL ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 2
1.3 Batasan Masalah ... 3
1.4 Tujuan Penelitian ... 3
1.5 Manfaat Penelitian ... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Polimer ... 5
2.2 Epoksi ... 7
2.3 Curing ... 13
2.4 Maleic Andrihid ... 15
2.5 Pthalic Andrihid ... 17
2.6 Anilin ... 20
2.7 Penelitian Sebelumnya ... 21
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 27
3.1 Diagram Alir Penelitian... 27
3.2 Bahan Penelitian ... 28
xv
3.4 Variabel Penelitian ... 31
3.5 Prosedur Penelitian ... 32
3.6 Pengujian ... 32
3.7 Rancangan Penelitian ... 42
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43
4.1 Uji Fourier Transform Infrared Spectroscopy ... 44
4.2 Uji Scanning Electron Microscope ... 47
4.3 Uji Densitas... 50
4.4 Uji Thermogravimetric Analysis ... 52
4.5 Uji Kekerasan ... 55
4.6 Uji Tarik ... 56
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 63
5.1 Kesimpulan ... 63
5.2 Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... xix
xvi
Gambar 2.1 Perbandingan Molecular Weight terhadap Melting
Viscosity ... 7
Gambar 2.2 Struktur Mengeras Epoxy dengan penguatnya (hardener) ... 8
Gambar 2.3 Gugus Epoksi ... 9
Gambar 2.4 Reaksi Epoksi dengan Amina ... 9
Gambar 2.5 Skema sintesis Epoksi Resin ... 10
Gambar 2.6 Skema sintesis Diglycidylether Bisphenol A (DGEBA) Epoksi Resin ... 10
Gambar 2.7 Aplikasi dari Epoksi ... 11
Gambar 2.8 Susunan Epoksi Polimer ... 12
Gambar 2.9 Struktur kimia Maleat Anhidrida ... 16
Gambar 2.10 Struktur kimia Pthalic Anhidrida ... 17
Gambar 2.11 Struktur Kimia Anilin ... 20
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian ... 23
Gambar 3.2 Epoksi Eposchon-A. ... 24
Gambar 3.3 Pthalic Anhidrid ... 24
Gambar 3.4 Anilin ... 25
Gambar 3.5 Maleat Anhidrida ... 26
Gambar 3.6 Ammonia ... 26
Gambar 3.7 Mesin Thermogravimetric Analysis ... 29
Gambar 3.8 Alat Durometer Shore D Hardness Test ... 30
Gambar 3.9 Alat Uji Tarik ... 31
Gambar 3.10 Dimensi Spesimen Uji Tarik ... 32
Gambar 3.11 Kurva Tegangan Regangan ... 33
Gambar 3.12 Mesin Fourier Transform Infrared Spectroscopy 34 Gambar 3.13 Skema alat spektroskopi FTIR... 35
Gambar 3.14 Mesin Scanning Electron Microscope ... 36
Gambar 4.1 Grafik FTIR dari campuran epoksi dengan sistem anhidrid ... 41
Gambar 4.2 Morfologi perbesaran 5000x
xvii
Epoksi/NH3/Anilin; (c) Epoksi/NH3/Anilin/MAH;
(d) Epoksi/NH3/MAH ... 44
Gambar 4.3 Morfologi perbesaran 20.000x (a) Epoksi/NH3/MAH/PAH; (b) Epoksi/NH3/Anilin; (c) Epoksi/NH3/Anilin/MAH; (d) Epoksi/NH3/MAH ... 45
Gambar 4.4 Grafik perbandingan densitas campuran Epoksi dengan Anhidrida ... 47
Gambar 4.5 Kurva TGA campuran epoksi dengan anhidrida 48 Gambar 4.6 Nilai Kekerasan dari Campuran Anhidrida ... 52
Gambar 4.7 Spesimen Uji Tarik ... 52
Gambar 4.8 Nilai Beban Maksimal Uji Tarik ... 52
xviii
Tabel 3.1 Kriteria Dimensi Spesimen Uji Tarik ... 32 Tabel 3.2 Rancangan Penelitian ... 37 Tabel 3.3 Rencana Kegiatan ... 38 Tabel 4.1 Epoksi dengan senyawa anhydride sebagai curing agent ... 39 Tabel 4.2 Puncak serapan, ikatan, dan gugus fungsi epoksi ... 42 Tabel 4.3 Hasil densitas dari campuran epoksi dengan sistem anhidrid ... 46 Tabel 4.4 Hasil pengujian TGA Campuran Epoksi dengan Anhidrida ... 49
xix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Printed Circuit Board (PCB) adalah suatu papan tipis tempat letak komponen elektronika, yang dipasang dan dirangkai, dimana bagian sisinya terbuat dari lapisan tembaga untuk mengatur arus dan perpindahan listrik. PCB terdiri dari satu lapis atau lebih dengan jumlah maksimum sampai 12 lapis. PCB terbuat dari bahan fiber atau sejenisnya pada bagian yang non-conductive. Ketebalan tembaga pada PCB bermacam-macam, antara 35 mikrometer ada juga yang 17-18 mikrometer. Bahan PCB yang lain adalah paper phenolic atau pertinax dari epoksi yang biasanya berwarna coklat, bahan jenis ini lebih populer karena harganya yang lebih murah. PCB yang di pakai untuk through-hole plating biasanya menggunakan bahan fiberglass, karena jamur tidak suka akan bahan ini. Material fiberglass pada PCB lebih kuat dan tidak mudah bengkok di bandingkan yang berbahan pertinax. Epoksi resin merupakan bahan yang dinilai baik digunakan dalam industri PCB disamping bahan fiberglass. Hal ini dikarenakan epoksi resin mudah larut menggunakan bahan-bahan pelarut yang harganya relatif lebih murah dibanding pelarut untuk bahan baku pembuatan PCB yang lain. Selain alasan tersebut, epoksi resin memiliki kelebihan yaitu apabila menggunakan epoksi resin dengan kepadatan ikatan yang lebih tinggi maka akan menghasilkan bahan yang lebih tahan terhadap paparan temperatur yang tinggi (Jawitz and Jawitz, 2007).
Epoksi resin merupakan material thermoset, yaitu resin yang memiliki hasil perkerasan berupa material yang padat dan keras. Epoksi resin memiliki karakteristik adanya dua atau lebih ikatan oksigen-karbon yang terbentuk dari reaksi proses polimerisasi. Polimerisasi ini terjadi pada saat curing (pengerasan) epoxy resin (Jawitz and Jawitz, 2007). Curing agent atau bahan pengeras yang digunakan biasanya antara lain asam amino,
2 poliamida, imidazola, anhidrid, atau ultraviolet. Pengerasan epoksi menggunakan amino dan anhidrid menghasilkan material akhir yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan material fiberglass. Penggunaan asam amino pada pengerasan epoksi resin bersifat sangat fleksibel, yaitu perkerasan dapat diatur sesuai dengan pemilihan jenis asam amino dan perlakuan panas terhadap campuran. Bahan pengeras amino telah menjadi pilihan utama dalam proses pengerasan epoksi resin dan telah dilakukan dalam berbagai jenis. Pada pengerasan menggunakan asam amino, epoksi resin yang dihasilkan tahan terhadap temperatur yang tinggi dan sifat mekanik yang baik. Pengerasan epoksi resin menggunakan anhidrid menghasilkan material yang lebih seimbang antara sifat fisik dan mekanik (Hara, 1990). Keunggulan yang terdapat pada masing-masing bahan pengeras akan sangat baik apabila digabungkan. Namun hingga saat ini pengerasan epoksi resin yang dilakukan masih secara masing-masing antara amino dan anhidrid, sehingga diperlukan studi mengenai pengaruh anhidrid terhadap sifat mekanik dan stabilitas termal curing agent baru untuk resin epoksi pada aplikasi Printed Circuit Board (PCB).
1.2 Perumusan masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pengaruh sistem anhidrid terhadap sifat
mekanik curing agent baru untuk resin epoksi pada aplikasi printed circuit board?
2. Bagaimana pengaruh sistem anhidrid terhadap stabilitas termal curing agent baru untuk resin epoksi pada aplikasi printed circuit board?
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
3 2. Kekasaran permukaan material polimer dianggap
homogen.
3. Pengaruh impuritis pada saat proses pencampuran diabaikan.
4. Perubahan temperatur atmosfer selama proses pencampuran diabaikan.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah: 1. Menganalisis pengaruh sistem anhidrid terhadap sifat
mekanik curing agent baru untuk resin epoksi pada aplikasi printed circuit board.
2. Menganalisis pengaruh sistem anhidrid terhadap stabilitas termal curing agent baru untuk resin epoksi pada aplikasi printed circuit board.
1.5 Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sistem anhidrid terhadap sifat mekanik dan stabilitas termal curing agent baru untuk resin epoksi pada aplikasi printed circuit board. Sehingga didapatkan nilai optimum dari campuran tersebut dan sebagai kandidat bahan PCB yang berguna untuk meningkatkan sifat mekanik dan stabilitas termal bahan PCB. Serta berguna untuk acuan pada penelitian selanjutnya terhadap pengembangan resin epoksi pada aplikasi printed circuit board.
4 (Halaman ini sengaja dikosongkan)
`BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Polimer
Polimer merupakan bahan kimia yang memiliki molekul berukuran besar tersusun dari rangkaian kesatuan pengulangan molekul yang lebih kecil. Molekul polimer atau makromolekul polimer tersusun dari jumlah besar gabungan antara molekul-molekul yang lebih kecil. Molekul kecil penyusun polimer disebut monomer. Polimer dapat terbentuk dari berbagai macam monomer. Pembentukan yang tersusun atas satu jenis polimer disebut dengan homopolimer dan pembentukan polimer dari dua jenis atau lebih polimer disebut dengan kopolimer (MacGregor dkk., 2001) Penggunaan polimer secara komersial pertamakali digunakan pada awal abad ke-20. Namun pada masa Victorian yaitu tahun 1860-an, polimer parkesine menjadi bahan pembuatan barang yang dipergunakan setiap hari seperti misalnya kancing baju, sisir rambut, sikat gigi dan bingkai cermin.
Berdasarkan sumbernya polimer dapat dibagi menjadi polimer alam dan polimer sintetik. Polimer alam adalah polimer yang terjadi melalui proses alami. Polimer alam terdapat dua jenis, yaitu polimer alam anorganik seperti tanah liat, pasir, sol-gel, silika, dan siloksan. Jenis lainnya yaitu polimer alam organik seperti karet alam dan selulosa yang berasal dari tumbuhan, wol dan sutera yang berasal dari hewan, serta asbes yang berasal dari mineral. Polimer alamtelah digunakan sejak masa awal keberadaan manusia sebagai bahan pakaian, peralatan rumah tangga, dan tempat tinggal. Polimer sintetik adalah polimer yang dibuat melalui reaksi kimia seperti karet fiber, nilon, poliester, polisterena, polietilen. Polimer berevolusi dan memiliki berbagai peranan penting bagi manusia hingga saat ini dan telah menjadi bagian sejarah dari perkembangan material (Painter & Coleman, 2009).
6
Berdasarkan struktur rantainya, polimer dapat dibagi menjadi tiga jenis struktur, yaitu Polimer rantai lurus ,
Gambar 2.1 Perbandingan Molecular Weight terhadap Melting Viscosity (Painter & Coleman, 2009) jika pengulangan kesatuan berulang itu lurus (seperti rantai) maka molekul-molekul polimer seringkali digambarkan sebagai molekul rantai atau rantai polimer. Selama proses polimerisasi, tidak semua rantai polimer tumbuh dengan panjang yang sama; sehingga terdapat distribusi panjang rantai atau berat molekul dengan grafik yang dijelaskan pada Gambar 2.1. Polimer bercabang terbentuk dari beberapa rantai lurus atau bercabang yang bergabung melalui sambungan silang kemudian menjadi polimer bersambung silang. Polimer tiga dimensi atau polimer jaringan memiliki bentuk polimer sambung-silang tiga dimensi yang sering disebut polimer jaringan karena sambungan silang tersebar ke beberapa arah. Berdasarkan sifat termal polimer dibagi menjadi dua jenis, yaitu polimer termoplastik dan polimer termoset. Polimer termoplastik memiliki sifat fleksibel yaitu dapat melunak bila dipanaskan dan kaku (mengeras) bila didinginkan. Contoh dari polimer termoplastik adalah polietilen (PE), polipropilen (PP), polivinil klorida (PVC), nilon, dan poliester. Polimer Termoset mempunyai berat molekul yang tinggi, tidak dapat melunak, dan tidak mudah
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
7 larut. Polimer yang termasuk thermoset misalnya polimetan sebagai bahan pengemas dan melamin formaldehida (formika). Berdasarkan komposisinya polimer terdiri dari dua jenis, yaitu Homopolimer, polimer yang disusun oleh satu jenis monomer dan merupakan polimer yang paling sederhana. Heteropolimer (Kopolimer) Polimer yang terbuat dari dua atau lebih monomer. Terdapat beberapa jenis kopolimer, yaitu Kopolimer acak, yaitu sejumlah kesatuan berulang yang berbeda tersusun secara acak rantai polimer. Kopolimer berselang-seling, yaitu beberapa kesatuan berulang yang berbeda berselang-seling dalam rantai polimer. Kopolimer cangkuk/graf/temple, yaitu kelompok satu macam kesatuan berulang tercangkuk pada ruas polimer yang mengandung hanya satu macam kesatuan berulang. (Brown, 2002) 2.2 Epoksi
2.2.1 Sejarah Epoksi
Penemuan epoksi polimer memiliki cerita yang panjang di belakangnya, khususnya pada tahun 1936, ketika Dr. Pierre Castan dari Swiss berhasil dalam melakukan sintesis sebuah epoksi resin berbasis bisphenol A yang dikeraskan dengan phthalic acid anhydride. Kemudian temuan tersebut dipatenkan oleh Ciba, Ltd. dari Switzerland yang kemudian menjadi salah satu dari tiga perusahaan penghasil epoksi resin terbesar di dunia. Kemudian Dr. S.O. Greenlee (USA) mengembangkan epoksi resin dari epichlorohydrin dan diglycidyl ether of Bisphenol A (DGEBA), yang digunakan hingga sekarang, pada 1939. Tujuan dari pengembangan epoksi resin adala untuk menemukan binding agent (agen pengikat) untuk pelapisan yang memiliki sifat ketahanan yang baik terhadap bahan-bahan kimia, tetapi tidak lama kemudian dibuktikan bahwa epoksi secara signifikan memiliki sifat yang jauh lebih bagus dibandingkan jenis tersebut. Sekarang, epoksi digunakan dalam bidang konstruksi pesawat terbang, elektronik,
8
industri otomotif, peralatan makanan, farmasi, manufaktur, offshore dan industri kelautan. Pada umunya, orang lebih mengenal kata epoksi dan dihubungkan dengan sesuatu yang kuat. Pada 1960, Nils Malmgren dan Curt Augustssin mulai untuk meformulasikan dan menghasilkan produk berbahan dasar epoksi dengan penguatnya (hardener). (Brown, 2002)
2.2.2 Struktur Kimia Epoksi
Epoksi resin adalah senyawa yang mengandung lebih dari satu kelompok epoksida dalam satu molekulnya. Kelompok epoksida atau yang sering disebut sebagai kelompok glycidyl inilah yang menjadi alasan pemberian nama Epoksi, Gambar 2.3. Epoksi berasal dari oksigen yang berikatan dengan rantai karbon yang disebut oxide, kata pertama epi yang berarti “the outside of” dan kata kedua berasal dari oxygen, yang kemudian dikenal dengan sebutan epoksi. Gambar 2.2 menunjukkan gugus epoksida dari epoksi resin dengan penguatnya. (Hara, 1990)
Gambar 2.2 Struktur Mengeras Epoxy dengan penguatnya (hardener) (Augustsson, 2004)
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
9 Gambar 2.3 Gugus Epoksi (Augustsson, 2004)
Gambar 2.4 Reaksi Epoksi dengan Amina (Augustsson, 2004) Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.4, epoksi diperoleh dari epichlorohydrin atau dari reaksi epoksidasi langsung dari olefin dengan peracids (asam peroksi). Asam peroksi ini merupakan hasil dari asam karboksilat atau suatu gugus asil yang lain dengan hidrogen peroksida (H2O2) bersama dengan katalis asam yang diperlukan (Gunstone, 1996). Biasanya katalis yang digunakan adalah asam sulfat (H2SO4), asam fosfat (H3PO4), asam nitrat (HNO3), dan asam klorida (HCl) (Dinda, 2008). Seperti yang sudah diketahui bahwa epoksi pertama, dan yang sampai sekarang sering dijumpai dipasaran yaitu Diglycidyl Ether of Bisphenol A (DGEBA), diproduksi dengan mereaksikan epichlorohydrin dengan bisphenol A dalam kondisi tertentu untuk memberikan gugus diglycidyl ether, seperti yang tampak pada Gambar 2.5 dan Gambar 2.6.
10
Gambar 2.5 Skema sintesis Epoksi Resin (Augustsson, 2004)
Gambar 2.6 Skema sintesis Diglycidylether Bisphenol A (DGEBA) Epoksi Resin (Augustsson, 2004) 2.2.3 Sifat Epoksi
Sifat dari resin tergantung pada beberapa faktor seperti struktur pra-polimer, curing agent, stoikiometri antara resin dan pengerasnya (hardener), waktu untuk curing, serta temperatur curing. Secara umum, tanpa memperhatikan jenis dan jumlah hardener, waktu dan temperatur curing, epoksi resin menunjukkan kekuatan dan modulus yang tinggi, serta memiliki sifat ketahanan aus dan ketahanan retak yang tinggi. Epoksi resin juga memiliki sifat listrik yang baik, dengan resistivitas yang tinggi, kekuatan
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
11 dielektrik dan track resistence yang baik terutama pada kelembaban tinggi. Stabil pada temperatur tinggi dan tahan lama. Epoksi resin juga mempu diproses dengan berbagai teknik termoset dengan sedikit penyusutan dan tidak mudah menguap selama proses curing. Pada umumnya Epoksi resin memiliki ketahanan yang baik serta stabilitas dimensi yang baik, akan tetapi aromatik resin rentan terhadap degradasi sinar UV dan juga jenis pelapukan yang lainnya. Pada umumnya Epoksi resin digunakan sebagai bahan pelapis permukaan karena sifat ketahanan terhadap zat kimia, kekuatan mekanik dan memiliki sifat adesif yang baik. Selain digunakan sebagai coating, Epoksi resin juga banyak digunakan pada komponen elektronik seperti resistor, transistor, kapasitor, fiber optik ataupun printed circuit board (PCB)
Gambar 2.7 Aplikasi dari Epoksi (Augustsson, 2004) Epoksi resin juga digunakan sebagai adesif atau perekat yang cukup baik pada bekerja pada temperatur tinggi. Biasanya digunakan untuk menghubungkan bagian sayap dan badan
12
pesawat, dan rotor helikopter. Epoksi resin juga digunakan untuk part mobil. (Hara, 1990) Gambar 2.7 menjelaskan jenis aplikasi dari Epoksi.
Epoksi secara umum mengandung dua gugus epoksi, dan satu primary diamine yang memiliki 4 atom hidrogen reaktif. Susunan dari epoksi polimer dapat dilihat pada gambar 2.8.
Gambar 2.8 Susunan Epoksi Polimer (Augustsson, 2004) Beberapa contoh dari amino yang digunakan sebagai penguat (hardener) dari epoksi resin , yaitu Aliphatic amines, Diethylenetriamine, Triethylenetetramine, Aminoethyl piperazine, Trimethyl hexamethylenediamine, Cycloaliphatic amines, Isophorondiamine, Diamino-dicyclohexylmethane, Aromatic amines, Diaminodiphenylmethane, m-Phenylendiamine. (Painter & Coleman, 2009)
2.3 Curing
Proses curing adalah proses pengeringan bahan-bahan penyusun komposit, baik itu matriknya maupun serat penguatnya. Kecepatan proses curing ini berbeda-beda tergantung dari prosentase katalis yang dipakai dan tergantung dari besarnya panas yang dipakai dalam proses curing. Diharapkan pada proses curing ini bisa mengurangi rongga-rongga yang ada di dalam komposit sehingga dihasilkan komposit yang berkualitas baik. Terdapat
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
13 bermacam-macam proses curing, antara lain dengan: Oven, Minyak Panas, Lampu, Uap Panas, Autoclave, dan Microwave. (Hara, 1990)
Proses Curing dengan Oven menggunakan oven bertenaga listrik atau gas dengan sirkulasi udara panas. Model ini tergolong mahal dan dapat digunakan dalam skala besar. Tekanan sering ditambahkan dalam proses ini dengan shrink tape atau dengan sebuah kantong vacum. Energi yang digunakan jelas lebih besar dibanding proses curing yang lain. Hal ini disebabkan karena energi dipakai untuk memanaskan seluruh ruang termasuk udara, cashing, penyangga oven bahkan lantai juga ikut terkena panas. Proses Curing dengan Minyak Panas sering dipakai pada komposit atau matrik dengan waktu sangat cepat, biasanya membutuhkan waktu kurang dari 15 menit. Minyak panas digunakan untuk mendapatkan pemanasan yang sangat cepat. Suhu curing pada metode ini berkisar antara 150-240°C. Proses Curing dengan Lampu digunakan pada komposit yang permukaannya memantulkan cahaya. Panasnya mencapai sekitar 170°C. Selain mudah digunakan, penanganan yang tepat juga diperlukan agar proses curing bisa merata pada seluruh bahan komposit. Metode lain pada proses ini menggunakan lampu xenon (Pulsed Xenon Lamp), dimana katalis yang dipakai adalah katalis yang peka terhadap cahaya. Proses Curing dengan Steam/Uap memakai uap sebagai sumber panas. Pada proses ini memakai beberapa saluran pipa untuk sirkulasi air dan udara. Pada ujung mandrel besi (alat penggulung serat) terdapat alat pengatur jalannya air dan uap. Setelah katup dibuka, uap panas mengalir dan disirkulasikan melalui mandrel berongga (hollow mandrel) untuk melakukan proses curing. Setelah proses curing selesai, air dingin dialirkan untuk mendinginkan mandrel. Proses Curing dengan Autoclave digunakan untuk mendapatkan komposit berkualitas baik untuk bahan pesawat luar angkasa maka perlu memakai proses curing autoclave, dengan bantuan ruang hampa udara (vacum). Meskipun tidak digunakan dalam produksi massal, cara ini mampu
14
menghasilkan tekanan 1,4 - 2,1 Mpa dan temperatur sekitar 371°C. Kelemahan dari proses curing ini adalah lamanya proses dan tidak dapat digunakan dalam produksi massal. Proses Curing dengan Microwave memberikan keuntungan yang signifikan, terutama pada serat glass dan serat aramid. Panas bisa diserap dengan cepat oleh matrik/resin dan seratnya. Energi yang digunakan dalam proses ini tidak sedikit dan membutuhkan biaya yang cukup besar. Proses curing dengan microwave tidak bisa digunakan pada bahan yang bersifat konduktif, seperti serat karbon. Proses curing memiliki beberapa tujuan ,yaitu memobilitas molekul matrik agar bereaksi secara sempurna, membuang unsur air atau bahan yang mudah menguap lainnya. memberi kesempatan resin untuk mengalir sehingga dicapai distribusi yang merata yang dapat meningkatkan kekuatan tarik komposit. mereaksikan kembali katalis yang tidak bereaksi dibawah suhu kritis. (ASM Handbook, 2001)
2.4 Anhidrida
Anhidrida merupakan senyawa yang digunakan dalam proses pengerasan epoksi resin terutama untuk menghasilkan material penyekat elektronik. Anhidrida memerlukan kondisi pengerasan yang lebih rumit bila disbanding dengan bahan pengeras amino, namun Anhidrida cocok digunakan untuk membentuk material dengan ukuran besar karena memiliki periode reaksi yang panjang dan sifat elektrik, mekanik, dan kimia yang relatif seimbang ketika mengalami peningkatan temperatur.Anhidrida dibagi kedalam tiga jenis Anhidrida sesuai dengan fungsinya yaitu aromatic anhydride, alicyclic anhydride, dan aliphatic anhydride. Aromatic anhydride merupakan jenis anhydride yang biasanya berbentuk padat dan digunakan dalam cat bubuk. Aromatic anhydride larut pada cairan ketika proses pembentukan sehingga penggunaannya lebih sering untuk mempertahankan pelapisan pada kapasitor. Alicyclic anhydride merupakan jenis bahan pengeras berbentuk padat dan paling sering digunakan untuk mengeraskan epoksi resin.
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
15 Methyltetrahydro Pthalic Anhydride, tetrahydro Pthalic Anhydride, methyl nadic anhydride, dan methylhexahtdro anhydride merupakan bahan pengeras dasar pada jenis ini. Aliphatic anhydride merupakan jenis Anhidrida yang ditambahkan sebagai pengeras dan melalui proses dehidrasi. Bahan yang termasuk aliphatic anhydrides dan sering digunakan adalah polycarboxylic anhydride dengan kemampuan fleksibilitas tinggi serta ketahanan terhadap perubahan temperature yang drastic. Aliphatic anhydride dapat digunakan bersamaan jenis Anhidrida yang lain maupun sebagai bahan pengeras tunggal. Jenis Anhidrida yang digunakan untuk pengerasan epoksi resin yang membutuhkan kondisi pengerasan paling sederhana adalah maleat Anhidrida dan pthalic anhidrida (Hara, 1990).
2.5 Maleat Anhidrida
Maleic Anhydride, atau dalam Bahasa Indonesia dikenal
dengan maleat anhidrat adalah salah satu senyawa organik yang memiliki rumus molekul C6H4O3 seperti yang dijelaskan pada Gambar 2.12. Senyawa ini memiliki rantai siklis dan dapat disintesis dengan mengoksidasi benzena (C6H6) atau Butana (C4H10).Maleic Anhydride adalah intermediate product yang artinya Maleic Anhydride merupakan produk yang berfungsi sebagai bahan baku dari produk lainnya. Maleic Anhydride memiliki banyak kegunaan di berbagai industri, namun paling banyak digunakan adalah sebagai bahan baku unsaturated polyester resin. Sekitar 64% dari produksi Maleic Anhydride di dunia terserap pada industry unsaturated polyester resin ini. Sedangkan kegunaan lainnya adalah sebagai alkyl resin, bahan kopolimer, agricultural chemical, dan lubricant additive. Maleic Anhidrida dan maleic acid ester digunakan untuk modifikasi homopolimer pada industri cat. Maleic Anhidrida dapat dihasilkan dengan menggunakan dua proses yang berbeda. Proses pertama yaitu dengan mengoksidasi benzena. Proses ini adalah proses yang pertama kali ditemukannamun seiring berjalannya waktu ditemukan cara lain untuk mendapatkan Maleic Anhydride yaitu
16
dengan mengoksidasi senyawa butana. Proses oksidasi benzena ialah dengan mengoksidasi benzena dengan oksigen yang diperoleh dari udara dengan menggunakan katalis V2O5. Reaksi terjadi pada fase gas dan bersifat eksotermis sehingga biasanya reaksi dijalankan pada reaktor fixed bed multi-tube yang dilengkapi dengan pendingin untuk membawa panas keluar reactor (Weissermel & Arpe, 1997).
Gambar 2.9 Struktur kimia Maleat Anhidrida (Weissermel & Arpe, 1997)
Proses oksidasi butana (C4H10) dengan oksigen untuk memproduksi Maleic Anhydride dilakukan pada temperatur 400-480oC. Katalis Vanadium Fosfor Oksida (VPO) umumnya digunakan sebagai katalis pada proses yang berdasarkan pada oksidasi n-butana. Pembuatan Maleic Anhydride dari oksidasi benzena adalah proses yang dipilih. Kelebihan dari proses oksidasi benzena ialah yield yang lebih tinggi dibandingkan dengan oksidasi butane dan reaksinya yang lebih sederhana dibandingkan dengan oksidasi butana karena benzena sudah berantai siklik seperti Maleic Anhydride sendiri. Kelemahan dari proses ini ialah harga bahan baku benzena yang lebih mahal dibandingkan dengan butana dan kurang ramah lingkungan karena menggunakan benzena yang bersifat toxic (Mc Ketta,1983).
2.6 Pthalic Anhidrida
Penggunaan utama dari Pthalic Anhydride adalah sebagai zat intermediate dalam produksi plastik dan vinyl chloride. Pthalic Anhydride digunakan sebagai bahan baku pembuatan DOP (dioctyl
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
17 phthalate) yang lazim digunakan sebagai zat pelunak atau plasticizer yang dipakai pada proses pembuatan PVC, kulit sintetis dan sebagainya. Selain itu, Pthalic Anhydride memiliki kegunaan yang besar dalam pembuatan UPR (Unsaturated Polyester Resin).
Gambar 2.10 Struktur kimia Pthalic Anhidrida (Vogel, 1979) Pthalic Anhydride memiliki penggunaan yang lebih kecil dalam memproduksi alkyd resin yang digunakan dalam cat dan pernis, pewarna tertentu (anthraquinon, phtalein, rhodamin, phthalasionin, fluorescein), penolak serangga dan urethane polyester polyol, diallyl phthalates dan isotonic anhydride. Industri pemakai Produk jadi yang dihasilkan yaitu Plasticizer PVC, calendering, kulit sintetis, bahan pelapis kawat dan kabel listrik, jok mobil, sandal, sol sepatu, selang air dan lain-lain. Selain itu, pthalic Anhidrida digunakan pada Unsaturated Polyester Resin (UPR) yaitu Genteng/atap, tangki (fibreglass reinforced plastic tank), plywood, produk saniter, suku cadang otomotif, kancing, panel bangunan, kolam renang, perlengkapan kamar mandi, perlengkapan olahraga, peralatan listrik, perlengkapan mebel. Juga pada Alkyd resin Bahan pelapis (coating), alkyd lacquer, cat perlengkapan lalu lintas, cat semi gloss dan gloss, tinta. Pewarna (dyes dan pigmen) Bahan pewarna produk tekstil, insektisida, produk farmasi/kosmetik, bumbu makanan Tetrachloro Pthalic Anhydride dan Tetrabromo Pthalic Anhydride.
18
Pthalic Anhydride pertama kali dibuat oleh Laurent pada tahun 1836 dengan mengoksidasi 1,2,3,4-tetrachloronaphthalene dengan asam nitrat dan disebut naphthaleic. Perkembangan selanjutnya dalam jumlah kecil dibuat sejumlah feedstock orto tersubstitusi dengan proses cair dengan menggunakan pengoksida yang mahal berupa asam nitrat atau kromat dan kalium permanganat. Pada akhir abad ke-19 pembuatan Pthalic Anhydride dipatenkan oleh BASF pada tahun 1896 di Jerman. Berbagai perbaikan proses dengan menggunakan asam sulfat dikembangkan berikut beragam senyawa pengoksidasi dan katalis diujikan, tetapi tidak satu pun dari metode-metode tersebut yang berhasil dan dapat menggantikan proses asam sulfat sampai sebelum Perang Dunia I. Pada tahun 1917 baik di Amerika Serikat maupun Jerman proses katalis fase uap dikembangkan. Penelitian di Jerman dipusatkan pada pengoksidasi pada temperatur rendah yang menghasilkan sistem katalis dengan umur panjang, yield tinggi dan konversi yang rendah. Di Amerika Serikat katalis dikembangkan dengan konversi yang tinggi pada temperatur tinggi tetapi dengan yield yang rendah. Banyak proses pada tahun-tahun awal perkembangan menggunakan sistem fixed bed.
Sistem fluidized bed diperkenalkan di Amerika Serikat oleh SherwinWilliams dan Bedger dengan beberapa perbaikan. Saat ini ada 4 proses reaksi yang berbeda secara mendasar. Reaksi yang pertama yaitu oksidasi fase cair dari orthoxylene yang dikembangkan oleh Rhone Progil di Perancis. Pthalic Anhidrida yang dihasilkan dengan proses ini digunakan untuk bahan baku terephthalate acid oksidasi terjadi pada temperature 150-245°C, menggunakan katalis kombinasi cobalt, mangan, dan garam bromin. Produk yang dihasilkan memiliki kemurnian tinggi dengn menggunakan beberapa dehydrator. Kedua, oksidasi naphthalene dengan udara pada reactor fluidized bed dan memerlukan sejumlah tertentu pengganti katalis prosesnya yaitu dengan naphthalene dilewatkan pada katalis V2O5 dan reaksi terjadi pada temperatur 340-385°C. Kapasitas dalam proses ini dapat dinaikkan dengan
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
19 menaikkan tekanan operasi dan memperpanjang waktu kontak naphthalene dengan katalis. Ketiga, oksidasi naphthalene dengan udara pada reactor fixed bed. Proses ini terjadi pada temperatur 400-475°C. Penggunaan merkuri atau dengan sirkulasi garam lebur untuk mendinginkan reactor menghasilkan produk samping berupa maleic Anhidrida yang didapatkan pada jumlah banyak. Terakhir, oksidasi fase uap dari naphthalene atau oxylene. Pada proses ini, naphthalene atau oxylene direaksikan dengan udara pada temperatur 350-400°C menggunakan katalisator V2O5-T1O2 anatase. (Wang, 1965)
2.7 Anilin
Anilin, fenilamina, atau aminobenzena ialah senyawa organik dengan rumus C6H5NH2. Terdiri dari gugus fenil yang melekat pada gugus amino, anilin merupakan amina aromatik prototipikal. Sebagai prekursor, zat pemula untuk banyak industri zat kimia, kegunaan utamanya ialah dalam pembuatan prekursor untuk poliuretan. Seperti kebanyakan amina volatil, anilin memiliki bau agak tidak menyenangkan dari bau ikan busuk. Anilin mudah menyala, terbakar dengan nyala berasap yang karakteristik dari senyawa aromatik. Anilin terutama diproduksi di industri dalam dua tahapan dari benzena. Pertama, benzena dinitrasi menggunakan campuran asam nitrat dan asam sulfat pekat pada suhu 50 – 60°C, yang memberikan nitrobenzena. Pada tahap kedua, nitrobenzena dihidrogenasi, biasanya pada suhu 200-300°C dengan adanya berbagai katalis logam. C6H5NO3 + 3H2 → C6H5NH2 + 2H2O. Mula-mula, reduksi ini dipengaruhi dengan campuran ferro klorida dan logam besi melalui reduksi Bechamp. Senyawa anilin yang biasa digunakan untuk pengerasan adalah 4,4’-methylenedianiline. Material yang dihasilkan pengerasan epoksi resin senyawa tersebut bersifat tahan terhadap temperatur tinggi. (Rappoport, 2007)
20
Gambar 2.11 Struktur Kimia Anilin (Rappoport, 2007)
Sebagai alternatif, anilin juga dibuat dari fenol dan ammonia, fenol yang berasal dari proses kumena. Dalam perdagangan, tiga merek dagang dari anilin dicirikan, yaitu: minyak anilin untuk warna biru, adalah anilin murni; minyak anilin untuk warna merah, campuran dari anilin kuantitatif ekuimolekul dan orto- dan para-toluidin; serta minyak anilin untuk safranin, yang mengandung anilin dan orto-toluidin, dan diperoleh dari distilat penggabungan fuchsin. Banyak turunan anilin dapat dibuat dengan cara yang sama dari senyawa aromatik yang dinitrasi. Nitrasi diikuti dengan reduksi toluena menghasilkan toluidin. Nitrasi klorobenzena dan turunan terkait dan reduksi dari produk-produk nitrasi meng-hasilkanb turunan anilin, misalnya 4-kloroanilin. (Rappoport, 2007)
2.8 Penelitian Sebelumnya
Penelitian sebelumnya membahas tentang pengaruh poli(amino amid) terhadap kekuatan tarik dan stabilitas termal polimer blend epoksi/poli (amino amid). Tujuan dari penelitian ini adalah Mengetahui proses blend dan proses curing epoksi/ poliamino amid serta pengaruh poliamino amid terhadap kekuatan tarik, dan stabilitas termal polimer blend epoksi/poliamino amid serta morfologinya. Hasil yang didapat adalah perubahan warna dan curing yang tidak sempurna dari berbagai variasi yang ada seperti pada Gambar 2.16. Dan dapat dilihat pada gambar dibawah ini (a).untuk temperatur 75°C, (b) 100°C, (c) 125°C, dan (d) 150°C.
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
21 Berdasarkan tabel diatas, ternyata temperatur yang dipilih masih belum dapat membuat epoksi berpolimerisasi sempurna. Maka kita uji epoksi tersebut dengan pengujian DSC ( Differensial Scanning Calorimetry), karena menurut Fei chen,dkk tahun 2008 untuk mebentuk polimerisasi epoksi harus dilakukan pemanasan melebihi temperature glass-nya. Dan hasil yang didapat , Tg dari epoksi pada temperature 2000 C. Oleh karena itu dibuatlah sampel sampai temperatur 250°C. Dengan tahapan 50°C, 100°C, 150°C, 200°C, dan 250°C. Masing-masing di holding selama 1 jam. Dengan komposisi epoksi yang dicampur 100%, 80%, 60%, 40%, 20% dan 100% Poliamine. Dan ternyata hasilnya adalah epoksi yang terpolimerisasi sempurna dengan poliamin yang berfungsi sebagai hardener hanya terjadi pada komposisi 40%, 60%, dan 80% epoksi. Karena untuk 100% epoksi selama pemanasan tidak mengalami polimerisasi, dan tetap berbentuk liquid seperti pada Gambar 2.17. Bahkan viscositasnya menjadi lebih kecil dari sebelumnya (menjadi lebih encer). Hal ini disebabkan, epoksi adalah monomer yang membutuhkan tambahan jenis polimer lain untuk menjadi penggabungnya (hardener).
Berdasarkan hasil pengujian dan analisis data yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Komposisi polimer blend yang mengalami polimerisasi sempurna dengan proses curing temperatur 250⁰C hanya pada E/PA(20), E/PA(40), dan E/PA(60). Hasil pengujian FTIR menunjukan hasil polimerisasi polimer blend epoksi/poliamino amid mempunyai rantai amin pada daerah serapan 3296 cm-1, dan rantai khas epoksi C-H aromatik pada 1607 cm-1. Temperatur Tg dari bahan epoksi yang digunakan berada pada 200⁰C. Hasil pengujian uji tarik menunjukan bahwa semakin tinggi komposisi pada polimer blend, maka semakin rendah kuat tarik dan modulus Young, akan tetapi akan meningkatkan keuletan dari material tersebut. Penambahan Poliamino amid dapat meningkatkan fleksibilitas polimer epoksi. Hasil Pengujian SEM menunjukan struktur yang homogen pada hasil curing polimer blend epoksi/poliamino amid. Stabilitas
22
termal ditentukan oleh komposisi poliamino amid, semakin tinggi akan semakin rendah sifat stabilitas termalnya (Nurimam, 2012)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian
24
3.2 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Epoksi
Gambar 3.2 Epoksi Eposchon-A
Epoksi merupakan bahan utama untuk campuran polimer ini, yaitu berupa cairan kental berwarna transparan. Epoksi yang ditampilkan pada Gambar 3.2 didapatkan dari PT. Justus Kimiaraya Surabaya dengan tipe Eposchon-A. 2. Pthalic Anhidrid (PAH)
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
25 Pthalic Anhidrid merupakan bahan indikator yang digunakan untuk melihat pengaruhnya terhadap campuran polimer. PAH didapatkan dari PT.Justus Kimiaraya Surabaya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.3. 3. Anilin
Gambar 3.4 Anilin
Anilin merupakan bahan bersifat cair dan menjadi indikator yang digunakan untuk melihat pengaruhnya terhadap campuran polimer, Anilin dalam kemasan botol pada Gambar 3.4 didapatlkan dari PT. Justus Kimiaraya.
4. Maleic Anhydride (MAH)
Maleic Anhydride (MAH) atau Maleat Anhidrida merupakan bahan indikator yang digunakan untuk melihat pengaruhnya terhadap campuran polimer. MAH
26
didapatkan dari PT. Justus Kimiaraya Surabaya. Gambar 3.5 memperlihatkan serbuk MAH yang digunakan dalam campuran.
Gambar 3.5 Maleat Anhidrida 5. Ammonia
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
27 Amoniak adalah gas tak berwarna,baunya menusuk,terdiri atas unsur nitrogen dan hidrogen (NH3),mudah sekali larut
dalam air. Gambar 3.6 menunjukkan amonia pada kemasan botol yang didapatkan dari PT. BRATACO.
3.3 Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Wadah Aluminium
Wadah aluminium digunakan untuk proses pencampuran material.
2. Timbangan Digital
Timbangan digital pocket digunakan untuk menimbang massa bahan campuran.
3. Sendok
Sendok digunakan untuk mengambil material untuk dicampur.
4. Cetakan Kayu
Cetakan Kayu digunakan untuk membuat spesimen pengujian.
5. Thermogravimetric Analysis (TGA)
Digunakan untuk mengukur stabilitas termal dari polimer ini.
6. Scanning Electron Microscope (SEM)
Digunakan untuk melihat struktur morfologi dari polimer ini
7. Oven
Digunakan untuk memanaskan spesimen pada temperatur yang sudah ditentukan.
28
3.4 Variabel Penelitian
Variabel bebas yang digunakan pada penelitian ini adalah komposisi (Pthalic Anhidrid, Maleic Anhidrid, dan Anilin) terhadap matriks Polimer Epoksi dengan presentase matriks epoksi 70%, dan curing agent 30%.
3.5 Prosedur Penelitian
Untuk menghasilkan hasil penelitian yang sesuai dengan harapan, maka penelitian ini memiliki beberapa tahap percobaan yang akan dilakukan hingga didapatkan hasil berupa printed circuit board :
1. Mempersiapkan semua alat dan bahan.
2. Mengukur massa campuran matriks polimer dengan perbandingan komposisi massa (Epoksi/Curing Agent) 70/30 dengan variasi pengisi Pthalic Anhidrid, Maleic Anhidrid, dan Anilin.
3. Mencampurkan matriks epoksi dengan variasi pengisi dan diaduk menggunakan manual mechanical stirrer selama 5 menit hingga homogen pada temperatur kamar.
4. Menuangkan hasil campuran ke dalam cetakan baja untuk dijadikan spesimen sesuai pengujian.
5. Memanaskan campuran pada temperatur 60°C selama 1 jam, temperatur 120°C selama 1 jam, temperature 180°C selama 1 jam, temperatur 200°C selama 1 jam, dan temperature 220°C.
6. Spesimen di-curing di ruangan pada temperatur kamar 6 jam, tanpa ada pemberian laju pemanasan.
7. Melakukan pengujian tarik, kekerasan, SEM, FTIR dan TGA terhadap spesimen.
3.6 Pengujian
1. Pengujian Thermogravimetric Analysis (TGA)
Pengujian TGA dilakukan untuk mengetahui stabilitas termal dari hasil campuran polimer. Pada
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
29 prinsipnya metode ini mengukur berkurangnya massa material ketika dipanaskan dari temperatur kamar hingga temperatur tinggi. Alat TGA dilengkapi dengan timbangan mikro di dalamnya sehingga secara otomatis berat sampel setiap saat bisa terekam dan ditampilkan dalam bentuk grafik. Pelaksanaan pengujian ini dilakukan dengan menempatkan sampel di atas meja putar yang ada di dalam mesin. Selanjutnya dilakukan pengisian data berat awal untuk masing – masing sampel ke dalam sistem komputer di mana berat maksimal 20 mg. Kondisi dalam mesin dialiri udara kering dari tabung gas dengan kecepatan pengaliran tertentu. Program pengoperasian mesin berupa kecepatan pemanasan, jarak temperatur, dan pendinginan dilakukan dengan melalui pemasukan data ke komputer. Analisa dilakukan dengan menaikkan temperatur secara bertahap dan analisa berat terhadap temperatur, sehingga didapatkan kurva hasil pengujian berupa fungsi temperatur terhadap berat sampel.
30
2. Pengujian Kekerasan
Pengujian ini digunakan untuk menganalisis tingkat kekerasan dari sampel polimer. Dimensi spesimen dan prosedur yang dilakukan menggunakan sumber acuan standar ASTM D2240 - Durometer Hardness. Dimana ketebalan minimal sampel yaitu 6 mm. Bentuk durometer dapat dilihat pada Gambar 3.8. Durometer ini bekerja mengukur ketahanan material terhadap penetrasi indentor seperti jarum berpegas. Skala yang digunakan pada pengujian ini adalah dalam nilai Shore D.
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
31 3. Pengujian Kekuatan Tarik
Gambar 3.9 Alat Uji Tarik
Uji tarik yang akan dilakukan pada praktikum ini sesuai dengan standar American Society for Testing Materials (ASTM) D638 tipe I di Laboratorium Farmasi Universitas Airlangga Surabaya. Uji tarik dengan spesimen polimer rigid menggunakan standar ASTM D638 untuk menganalisa perilaku polimer dengan pembebanan hingga kekuatan tarik maksimum dengan dimensi spesimen sebagai berikut :
32
Gambar 3.10 Dimensi Spesimen Uji Tarik. Tabel 3.1 Kriteria Dimensi Spesimen Uji Tarik. Dimensi Tipe I (mm) Tipe II (mm) Tipe III (mm) Tipe V (mm) Toleransi (mm) W 13 6 19 3.18 ± 0.5 L 57 57 57 9.53 ± 0.5 WO 19 19 29 9.53 ± 6.4 LO 165 183 246 63.5 Min G 50 50 50 7.62 ± 0.25 D 115 135 115 25.4 ± 5 R 76 76 76 12.7 ± 1 T ≤ 7 ≤ 7 7 - 14 ≤ 4 -
Hasil pengujian tarik adalah kurva antara ΔF dan Δl. Kemudian akan diubah menjadi kurva engineering stress-strain, seperti gambar di bawah ini :
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
33 Gambar 3.11 Kurva Tegangan Regangan
Untuk mendapatkan kurva engineering stress-strain dari kurva antara ΔF dan Δl adaah dengan persamaan :
𝜎 = 𝐹
𝐴 Persamaan 3.1
𝜀 = ∆𝐿
𝐿 Persamaan 3.2
σ = Engineering Stress (N/mm2 ) F = Beban yang diberikan (N) A = Luas penampang (mm2 )
𝜀 = Strain (tidak bersatuan, dinyatakan dalam persentase) ΔL = Perubahan panjang (mm)
34
4. Pengujian FTIR
Gambar 3.12 Mesin Fourier Transform Infrared Spectroscopy
Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) adalah instrument yang menggunakan prinsip spektroskopi. Spektroskopi yang digunakan adalah spektroskopi inframerah yang dilengkapi dengan transformasi fourier untuk deteksi dan analisis hasil spektrumnya (Anam. 2007). Spektrum inframerah dihasilkan dari pentrasmisian cahaya yang melewati sampel, pengukuran intensitas cahaya dengan detektor dan dibandingkan dengan intensitas tanpa sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Spektrum inframerah yang diperoleh kemudian diplot sebagai intensitas fungsi energi, panjang gelombang (μm) atau bilangan gelombang (cm-1) (Marcott, 1986 dalam Anam 2007).
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
35 Gambar 3.13 Skema alat spektroskopi FTIR
Gambar 3.11 menunjukkan skema alat spektroskopi, angka 1 menunjukkan sumber inframerah yang ditembakkan ke pembagi berkas (beam spliter), lalu inframerah diteruskan ke sampel uji (5), setelah melewati benda uji kemudian melewati sensor inframerah, dan menghasilkan gambar akhir (Anam dkk, 2007). Pada saat amplifikasi sinyal yang menggunakan filter untuk mengurangi frekuensi tinggi, data diubah ke bentuk digital dengan menggunakan konverter analog ke digital dan dikirimkan ke komputer untuk keperluan Fouier-transformation (Stuart, 2004).
Pengujian FTIR dilakukan untuk mengetahui informasi terkait ikatan kimia yang ada. Ikatan kimia tersebut diindikasikan dengan puncak-puncak yang berbeda. Spesimen yang digunakan untuk pengujian FTIR berupa cuplikan kecil dari material yang dibuat. Mesin uji FTIR yang digunakan adalah Nicolet IS10. Sampel diletakkan sample holder,
36
kemudian detector didekatkan pada sampel. Pastikan sampel uji memiliki permukaan yang rata dan ketebalan yang sama. 5. Pengujian Scanning Electron Microscope (SEM)
Mesin SEM digunakan untuk mengetahui morfologi dan ukuran butir serat. Mesin SEM yang digunakan milik laboratorium di Jurusan Teknik Material dan Metalurgi FTI ITS seperti pada Gambar 3.12.
Gambar 3.14 Mesin Scanning Electron Microscope
3.7 Rancangan Penelitian
Untuk memperoleh data yang sistematis, maka dari penelitian ini akan dibuat rancangan penelitian dan rancangan jadwal penelitian seperti pada Tabel 3.2 di bawah.
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
37 Tabel 3.2 Rancangan Penelitian
Jenis Curing Agent Material (%Massa) Matriks Epoksi Katalis Ammonia Curing Agent Maleic Anhidrid + Pthalic Anhidrid 70 5 20+5 Anilin 70 5 25 Anilin + Maleic Anhidrid 70 5 20+5 Maleic Anhidrid 70 5 25
38
Tabel 3.3 Rencana Kegiatan No Kegiatan Minggu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 Eksperimen Pencampuran Bahan x 2 Pembuatan Sampel Pengujian x x 3 Pengujian TGA x x 4 Pengujian Kekerasan x x 5 Pengujian Kekuatan Tarik x x 6 Analisa Data Pengujian dan Pembahasan x x x x 7 Pembuatan Laporan x x 8 Selesai x
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Studi pencampuran antara Epoksi dan Amonia dengan Maleic Anhidrida (MAH), Anilin, dan Phthalic Anhidrida. Campuran amonia dan Maleat anhidrida (MAH), Anilin, dan Phthalic Anhidrida menghasilkan bahwa agen kuring (curing agent/hardener) epoksi memiliki pengaruh terhadap sifat mekanik material pengerasan. Proses pencampuran tersebut memperoleh material polimer epoksi dengan senyawa anyhride pada komposisi Epoksi/Amonia/MAH (70/5/25), Epoksi/Amonia/Anilin (70/5/25), Epoksi/Amonia/Anilin/MAH (70/5/5/20), dan campuran Epoksi/Amonia/PAH/MAH (70/5/5/20). Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh penambahan jenis asam terhadap sifat mekanik dari curing agent baru untuk resin epoksi pada aplikasi printed circuit board dan menganalisis pengaruh penambahan jenis asam terhadap stabilitas termal dari curing agent baru untuk resin epoksi pada aplikasi printed circuit board. Hasil dari pencampuran tersebut dipreparasi untuk kemudian dilakukan karakterisasi dan analisis seperti berikut. Tabel 4.1 menunjukkan campuran-campuran yang sudah dilakukan selama eksperimen, beberapa campuran tidak mengalami curing.
Tabel 4.1 Epoksi dengan senyawa anhidrida sebagai curing agent
NO MATERIAL CURING
AGENT
KETERANGAN
1 EPOKSI Amonia dan
maleic anhidrid
Mengeras 2 EPOKSI Amonia, anilin,
dan maleic anhidrid
40
3 EPOKSI Amonia dan
anilin
Mengeras 4 EPOKSI Amonia, Phthalic
anhidrid, dan maleic anhidrid
Mengeras
5 EPOKSI Amonia dan
Asam Sinamat
Mengeras
6 EPOKSI Amonia dan
Polivinil Alkohol
Tidak Mengeras
7 EPOKSI Amonia dan
Acetic acid
Tidak Mengeras
8 EPOKSI Amonia dan
Gliserol
Tidak Mengeras
9 EPOKSI Amonia dan
asam adipat
Mengeras (berongga) Pada Tabel 4.1 dapat diketahui senyawa anhidrid dapat bercampur dengan curing agent yang lain yaitu amonia. Beberapa curing agent lain yang dicampurkan dengan amonia justru menggagalkan proses pengerasan dengan menggagalkan pengikatan NH3 pada epoksi resin. Keberhasilan campuran ammonia dan anhidrid dapat diaplikasikan sebagai curing agent baru apabila memiliki keunggulan dibandingkan dengan penggunaan secara terpisah. Keunggulan tersebut perlu dibuktikan melalui pengujian material.
4.1 Analisis Uji Fourier Transform Infrared Spectroscopy Analisis FTIR ini bertujuan untuk mengamati gugus fungsi serta ikatan kimia yang terbentuk dari material polimer Epoksi/Ammonia/MAH (70/5/25), Epoksi/ Ammonia/ Anilin (70/5/25), Epoksi/Ammonia/Anilin/MAH (70/5/5/20), dan Epoksi/Ammonia/PAH/MAH (70/5/5/20). Spektrum FTIR
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
41 diperoleh dari permukaan specimen. Analisis dilakukan dengan membandingkan spektrum gugus fungsi dari material polimer Epoksi/Ammonia/MAH (70/5/25), Epoksi/ Ammonia/ Anilin (70/5/25), Epoksi/Ammonia/Anilin/MAH (70/5/5/20), dan Epoksi/Ammonia/PAH/MAH (70/5/5/20).
Pada Gambar 4.1 dapat diketahui bahwa reaksi pencampuran epoksi dan curing agent mengkonsumsi energy yang berbeda-beda. Transmittance (%) merupakan mewakili besarnya transmisi atau perpindahan energi efektif yang terjadi selama reaksi sedangakan Wavenumbers (cm-1) mewakili panjangnya
Gambar 4.1 Grafik FTIR dari campuran epoksi dengan anhidrida
42
gelombang yang dihasilkan pada saat reaksi. Gelombang tersebut memiliki titik-titik puncak yang menandakan terjadinya hambatan transmisi energi efektif dan memiliki arti telah terjadi aktivitas transformasi ikatan. Pada grafik diatas menunjukan bahwa transmisi energi tertinggi terjadi pada saat pencampuran Epoksi/Amonia/MAH yang berarti energi yang digunakan pada proses pengerasan lebih kecil dari campuran lainnya. Sebaliknya, campuran Epoksi/Amonia/MAH/PAH memerlukan energi yang paling besar diantara campuran-campuran lain serta menghasilkan hambatan transmisi energy yang besar ketika terjadi transformasi ikatan.
Tabel 4.2 Puncak Serapan, Ikatan Kimia, dan Gugus Fungsi Epoksi
Gelombang Ikatan Gugus Fungsi
3362.38 O-H and N-H stretching
Amina Primer dan Sekunder 2920.05 C-H stretching Alkana 1718.88 C=O stretching Ester
1653.76 C=C stretching Olefinic compounds
1362.48 H-C-H bending Metil
1178.72 C-O-C stretching Eter 825.71 C=C-H stretching Alifatik tidak jenuh 766.78 C-H deformation Substituted aromatics
Tabel 4.2 menunjukkan gugus fungsi dari campuran epoksi dengan anhidrid. Pada hasil pengujian spektrum FTIR terlihat bahwa dengan penambahan komposisi Maleat anhidrida (MAH) mengakibatkan pemutusan ikatan O-H dan C=C. Hal ini dapat dilihat dari penurunan peak gugus fungsi tersebut seiring dengan penambahan komposisi MAH, PAH, dan Anilin. Pemutusan gugus fungsi tersebut diasumsikan karena ikatan O-H dan C=C pada epoksi berikatan kimia dengan MAH, PAH, dan Anilin yang
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
43 kemudian membuat ikatan dan network baru seperti yang terlihat pada Tabel 4.2. Pemutusan ikatan ini terjadi ketika pencampuran matriks. Sehingga reaksi kimia banyak terjadi pada campuran matriks. Pada ikatan yang terjadi pada uji FTIR membuktikan bahwa campuran yang terjadi adalah campuran epoksi (C2H3O-) yang ditandai dengan adanya ikatan C-H dan C-O-C.
4.2 Analisis Uji Scanning Electron Microscope
Pengujian SEM (Scanning Electron Microscope) menggunakan mesin FEI INSPECT S50 dengan tegangan 10.000 kV dengan hamburan elektron dalam membentuk bayangan. Pengujian dilakukan di Laboratorium Karakteristik Material Departemen Teknik Material Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Adapun cara kerja dari SEM adalah electron gun memproduksi electron beam, anoda menangkap electron beam untuk kemudian diarahkan ke sampel kemudian serangkaian lensa magnetik memfokuskan beam ini dan menembakkan ke sampel, scanner membaca struktur permukaan sampel selanjutnya menangkap sinyal dari secondary dan back scattered electron untuk dikirim ke sistem kontrol sehingga dapat dilihat gambarnya pada monitor dan dapat dicetak bila diperlukan (Michler, 2008).
44
Gambar 4.2 Morfologi perbesaran 5000x (a) Epoksi/NH3/MAH/PAH (b) Epoksi/NH3/Anilin (c)
Epoksi/NH3/Anilin/MAH (d) Epoksi/NH3/MAH
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
45 Gambar 4.3 Morfologi perbesaran 20.000x (a)
Epoksi/NH3/MAH/PAH (b) Epoksi/NH3/Anilin (c) Epoksi/NH3/Anilin/MAH (d) Epoksi/NH3/MAH
Gambar 4.2 dan Gambar 4.3 menunjukkan morfologi dari patahan beberapa campuran. Campuran Epoksi/NH3/Anilin sudah terdispersi secara sempurna karena tidak terjadi aglomerasi pada gambar SEM. Campuran Epoksi/NH3/MAH/PAH, Epoksi/NH3/Anilin/MAH, dan Epoksi/NH3/MAH belum terdispersi secara sempurna karena terjadi aglomerasi di beberapa bagian. Melihat dari bentuk patahannya, patahan yang terjadi berbentuk getas dengan beberapa garis patahan yang memiliki pola tidak beraturan.
(c) (d)
46
4.3 Analisis Uji Densitas
Pengujian dilakukan dengan perhitungan massa dan volume dari masing-masing spesimen komposit dengan menggunakan prinsip Archimedes. Standar pengujiannya menggunakan ASTM D792. Pengujian densitas ini dilaksanakan untuk mengetahui pengaruh variasi penambahan serat terhadap massa jenis dari komposit. Pengujian densitas ini mengacu pada ASTM D792. Tahapan untuk pengujian densitas ini yaitu dimulai dengan mengukur massa masing-masing sampel komposit dengan cara ditimbang diudara, kemudian dilakukan pengukuran massa sampel komposit ketika tercelup dalam air dengan menggunakan sinker berupa tali benang. Setelah didapat nilai massa sampel di udara dan tercelup dalam air, kemudian dilakukan perhitungan untuk mencari densitas masing-masing sampel (Brown, 2002).
Tabel 4.3 menunjukkan data hasil uji densitas pada polimer Epoksi. Pada sampel Epoksi/NH3/MAH/PAH, didapatkan nilai densitas sebesar 1.17 gr/cm3. Kemudian, nilai densitas dari Epoksi/NH3/Anilin ,yaitu 1.25 gr/cm3. Selanjutnya, nilai densitas dari Epoksi/NH3/Anilin/MAH adalah 1.12 gr/cm3. Terakhir, dari nilai densitas Epoksi/NH3/MAH yaitu sebesar 1.24 gr/cm3. Hasil tersebut menunjukan bahwa nilai densitas paling ringan adalah Epoksi/NH3/Anilin/MAH.
Tabel 4.3 Hasil Densitas dari campuran Epoksi dengan anhidrida
Jenis Sampel Densitas
(gr/cm3)
Epoksi+NH3+MAH+PAH 1.17
Epoksi+NH3+Anilin 1.25
Epoksi+NH3+Anilin+MAH 1.12
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material
47 Gambar 4.4 Grafik perbandingan densitas campuran Epoksi
dengan anhidrida
Pada Gambar 4.4 dapat diketahui densitas dari campuran epoksi. Nilai densitas beberapa campuran epoksi memiliki nilai yang mendekati densitas epoksi yaitu 1.56 gr/cm3. Campuran yang memiliki densitas paling ringan yaitu campuran Epoksi/NH3/Anilin/MAH dengan nilai 1.12 gr/cm3. Sehingga dari campuran-campuran tersebut bisa dijadikan bahan lain untuk material PCB yang lebih ringan. Material FR-4 yang menjadi bahan utama PCB saat ini memiliki nilai densitas 1.79gr/cm3. FR-4 lebih padat daripada campuran Epoksi/NH3/MAH/PAH sedangkan pada reaksi NH3 + PAH/MAH menghasilkan polimer Polyimides yang memiliki stabilitas dimensi yang tinggi sehingga dapat meminimalisir patahan ketika proses through hole plating dibandingkan dengan material woven glass(Jawitz & Jawitz, 2007). Sehingga material baru yang dihasilkan dari campuran
0.9 1 1.1 1.2 1.3 1.4 D en si tas (g r/ cm 3)
Variasi Campuran Anhidrida
Nilai Densitas
Epoksi+NH3+MAH+ PAH Epoksi+NH3+Anilin Epoksi+NH3+Anilin+ MAH Epoksi+NH3+MAH48
Epoksi/NH3/MAH/PAH lebih ringan dan lebih stabil dibandingkan material FR-4.
4.4 Uji Thermogravimetric Analysis
Pengujian dilakukan di Laboratorium Terpadu FMIPA Universitas Negeri Surabaya. Pengujian dilakukan berdasarkan standard ASTM E1131. Penyusutan masa pada polimer, terjadi oleh karena lepasnya atom-atom hidrogen dari ikatan hidrocarbon polimer. Terlepasnya atom hidrogen ini disebabkan dari energi input yang berasal dari panas. Terlepasnya hidrogen dari ikatan hidrocarbon akan semakin meningkat dengan kenaikan temperatur sehingga massa polimer semakin lama akan semakin berkurang (Beyler & Hirschler, 2002)