IMPEMENTASI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN TAMBANG DAN MINERAL PADA WILAYAH GALANG BATANG KECAMATAN GUNUNG KIJANG
TAHUN 2014
NASKAH PUBLIKASI
Oleh:
WIDIA ZUHELVA NIM : 110565201195
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG
IMPEMENTASI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN TAMBANG DAN MINERAL PADA WILAYAH GALANG BATANG KECAMATAN GUNUNG KIJANG
TAHUN 2014 WIDIA ZUHELVA
Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji
A B S T R A K
Salah satu jenis pertambangan di Kabupaten Bintan yang tidak memiliki izin adalah pertambangan rakyat. Pertambangan rakyat yaitu usaha pertambangan bahan galian yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau gotong royong dengan peralatan sederhana. Kebanyakan masyarakat melakukan pertambangan pasir secara illegal. Tambang pasir darat (tradisional) masih menjadi primadona di Kabupaten Bintan, karena wilayahnya masih banyak terdapat pasir yang bernilai ekonomis tinggi. Oknum-oknum tertentu banyak yang bermain didalamnya dengan melakukan penambangan liar, sementara izinnya tidak ada.
Tujuan penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mengetahui Impementasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Tambang Dan Mineral Pada Wilayah Galang batang Kecamatan Bintan Timur. Pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian Deskriptif Kualitatif. Dalam penelitian ini informan terdiri dari 5 orang. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data deskriptif kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dianalisa bahwa implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2012 tentang pengelolaan pertambangan mineral pada Galang Batang belum berjalan dengan baik. sosialisasi belum optimal dilakukan karena masyarakat hingga saat ini banyak yang tidak tahu tentang sanksi dan dampak yang ditimbulkan dari aktivitas mereka kemudian tidak adanya standar kerja yang ada yang khusus dibuat untuk menjalankan kebijakan tersebut.
A B S T R A C T
One type of mining at Bintan Regency is an unlicensed Mining is the people. Mining the mining venture, namely people's minerals is done by local people are petty or mutual with simple equipment. Most communities do sand mining illegally. Mine sand land (traditional) is still a prima donna in Bintan, because there is still a lot of territory of sand worth the economic high. Persons of certain persons therein who play a lot by doing a wild, while mining permissions do not exist.
The purpose of this research is basically to find out the implementation of applicable local County Bintan number 1 in 2012 About the management of the Mines and minerals In the region of Bintan Timur Subdistrict stem Loop. In this study the author uses Descriptive types of Qualitative research. Informants in this study consists of 5 people. Data analysis techniques used in this research is descriptive qualitative data analysis techniques.
Based on the results of the study so it can be analyzed that the implementation regulations of the District number 1 travel guide in 2012 about Mineral Mining Management In Galang Rods have not gone well. socialization not optimal due to the community until now many do not know about the sanctions and the impact caused from their activity then the lack of a standard of work that specifically made to run the policy.
I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Aktifitas pertambangan dianggap seperti uang logam yang memiliki dua sisi yang saling berlawanan, yaitu sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sektor ini mendukung pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak lingkungan, pertambangan terbuka dapat mengubah secara total baik iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang disingkirkan. Secara ekonomi, kegiatan penambangan mampu mendatangkan keuntungan yang sangat besar yaitu mendatangkan devisa dan menyerap tenaga kerja sangat banyak dan bagi Kabupaten/Kota bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan kewajiban pengusaha membayar retribusi dan lain-lain. Namun, pada realisasinya penambangan itu dilakukan secara ilegal yaitu tanpa ada izin dari pemerintah daerah. Sementara itu penambangan terus menerus dilakukan oleh masyarakat setempat tanpa mempertimbangkan dampak dan manfaat dari penambangan tersebut.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), Masyarakat lokal yang melakukan kegiatan penambangan pasir di daerah tersebut kurang memperdulikan masalah pelestarian fungsi lingkungan hidup dan reklamasi lahan pasca eksploitasi serta dalam melakukan kegiatan penambangan harus memperhatikan sejumlah elemen dasar
praktik pembangunan berkelanjutan, baik ekonomi, sosial dan lingkungan hidup serta memperhatikan bidang-bidang lain terutama yang berkaitan langsung dengan dampaknya.
Tambang pasir darat (tradisional) masih menjadi primadona di Kabupaten Bintan, karena wilayahnya masih banyak terdapat pasir yang bernilai ekonomis tinggi. Oknum-oknum tertentu banyak yang bermain didalamnya dengan melakukan penambangan liar, sementara izinnya tidak ada. Ketika penambangan yang dilakukan adalah penambangan yang tanpa izin para penambang tradisional (liar) ini tidak mudah untuk diatur dan diarahkan. Misalnya mereka melakukan penambangan di setiap bagian tanpa ada batas-batas yang yang jelas, sehingga ingin mendesain pengolahan limbahnya menjadi sangat susah.
Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Kemudian pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta pertambangan mineral dan batubara. Pertambangan Mineral sebagai sumber daya alam yang tidak
terbarukan, pengelolaanya harus dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna dalam rangka sebagai salah satu penunjang pembangunan daerah maupun nasional. Pengelolaan pertambangan mineral perlu dilakukan secara efektif dan efisien agar dampak negatif terhadap lingkungan hidup dapat terkendali sehingga kemampuan daya dukung lingkungan tetap terpelihara.
Perda Bintan No. 1 Tahun 2012 tentang pengelolaan tambang dan mineral ini dibuat atas pertimbangan bahwa pengelolaan pertambangan mineral sebagai upaya pemanfaatan sumber daya mineral, energi dan bahan galian memiliki dampak terhadap lingkungan hidup baik fisik, sosial, budaya, maupun kesejahteraan masyarakat, sehingga dalam pengelolaannya perlu memperhatikan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Tujuannya dari Perda ini tertuang pada Bab III Pasal 2 yaitu pengaturan pengelolaan pertambangan mineral dalam Peraturan Daerah ini merupakan pedoman dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, pengendalian dan pendayagunaan bahan galian tambang mineral. Dalam Perda ini ruang lingkup pengelolaan yaitu perizinan, kemudian Eksplorasi yaitu tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup, kemudian Konstruksi, dimana konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk
melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan. Kemudian bentuk pengelolaan yang lain adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang selanjutnya disebut amdal, adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Dan terakhir yang masuk dalam ruang lingkup pengelolaan adalah Reklamasi yaitu kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.
Pertambangan (Rakyat adalah kegiatan penambangan berizin/legal (IPR) yang'dilakukan oleh masyarakat dengan peralatan sederhana dan dilakukan dalam sebuah wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) (UU No.4 tahun 2009) . Sedangkan pertambangan illegal adalah Pertambangan Ilegal, lebih tepatnya penggalian ilegal, pada umumnya dilakukan oleh masyarakat dengan peralatan yang sederhana, Tidak berizin dan tidak berwawasan lingkungan dan keselamatan serta melibatkan pemodal dan pedagang. Pada kasus tertentu, terdapat juga pertambangan illegal yang'dilakukan oleh perusahaan.
Namun pada kenyataannya, penambangan yang terjadi selama ini tidak sesuai dengan Perda yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Ketidaksesuaian peraturan dan pelaksanaan, dapat dilihat dari
penambangan yang ada saat ini. Para penambang cenderung hanya menggali dan meninggalkan bekas galian pasir begitu saja. Para penambang mengabaikan adanya reklamasi dan ijin. Praktik penambangan ilegal telah menenggelamkan sedikitnya tiga pulau yakni Koyang, Telang dan Siolong. Kemudian, para penambang dengan bebas merusak lingkungan dengan menambang habis bauksit dari perut bumi Pulau Buton, Desa Air Glubi yang termasuk Kecamatan Bintan Pesisir, Kabupaten Bintan. (Sumber : Laporan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bintan, 2013)
Salah satu jenis pertambangan di Kabupaten Bintan yang tidak memiliki izin adalah Pertambangan Rakyat. Pertambangan rakyat yaitu usaha pertambangan bahan galian yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau gotong royong dengan peralatan sederhana untuk mata pencaharian sendiri namun kebanyakan masyarakat tidak memiliki izin. Kebanyakan masyarakat melakukan pertambangan pasir secara illegal. Pertambangan pasir merupakan salah satu eksploitasi sumber daya alam yang banyak dijumpai. Selain berpotensi menyebabkan erosi, pertambangan pasir juga rawan menyebabkan kerusakan ekosistem di wilayah pertambangan. Aktivitas tambang pasir juga terjadi di beberapa kecamatan lain di Bintan, diantaranya adalah di daerah Sakera, Busung, Ekang, Kawal, dan Tembeling serta di desa Kelong. Meski aktivitas penambangan dilakukan serampangan dan sebagian besar tampak jelas dari jalan umum. Namun belum ada tidakan dari pihak keamanan.
Dalam Perda Bintan No. 1 tahun 2012 ini dijelaskan bahwa Izin Pertambangan Rakyat diberikan kepada masyarakat setempat untuk menyelenggarakan usaha pertambangan mineral guna meningkatkan perekonomian masyarakat berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Kegiatan pertambangan rakyat dikelompokkan sebagai berikut: pertambangan mineral logam, pertambangan mineral bukan logam, pertambangan batuan. Pertambangan rakyat merupakan suatu usaha di bidang pertambangan bahan galian golongan C yang dilakukan oleh masyarakat setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong royong dengan menggunakan alat sederhana yang semata-mata untuk penghidupan sehari-hari.
Dalam Perda Bintan No. 1 tahun 2012 pasal 31 tercantum bahwa izin pertambangan rakyat diberikan kepada masyarakat setempat untuk menyeleggarakan usaha pertambangan mineral guna meningkatkan perekonomian masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertambangan Rakyat dilaksanakan dalam sebuah Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Dan setiap usaha pertambangan rakyat pada Wilayah Pertambangan Rakyat (WRP) baru dapat dilaksanakan setelah mendapatkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan masyarakat berhak mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian
akibat pertambangan yang menyalahi ketentuan.
Warga yang ingin melakukan penambangan pasir tradisonal harus melaporkannya ke pihak Kecamatan setempat. Setelah itu meminta izin ke Dinas Pertambangan Dan Energi Bintan dan Bappeda Bintan untuk diberikan rekomendasinya. Namun bila ada warga yang tidak mendapatkan izin dari instansi terkait, maka dianggap illegal dan harus ditertibkan sesuai dengan aturan. Pihak Distamben telah melaporkan kegiatan penambangan liar ke polisi dan instansi terkait lainnya. Menurut rencana, dalam waktu dekat aksi penambangan liar itu akan kembali ditertibkan oleh Dinas Pertambangan Dan Energi.
Keterbatasan pengetahuan membuat masyarakat lokal hanya mementingkan keuntungan semata tanpa memperhatikan kelayakan lingkungan hidup dan masyarakat sekitar. Gejala-gejala yang terjadi seperti yang dikemukaan di atas menunjukkan bahwa aktivitas usaha penambangan pasir kurang atau tidak dilaksanakan sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.
Fenomena yang terjadi di Galang Batang dalam praktiknya banyak penambangan pasir. Penambangan rakyat tersebut tidak memiliki izin. Selama ini, karena tidak mendapat izin selain daerah tidak mendapatkan hasil atau pendapatan asli daerah (PAD), lingkungan juga rusak. Ironisnya, penambang pun tak dapat kepastian dan kenyamanan berusaha. Hal ini tentu saja diindikasi bahwa implementasi Perda ini belum berjalan dengan baik karena masih banyak kegiatan
pertambangan yang terjadi tidak sesuai dengan aturan yang berlaku khususnya di Galang Batang, di kawasan Galang Batang menggunakan alat berat. Dengan kedalaman galian kira-kira mencapai 10 meter lebih, selain itu ada juga yang menggunakan cara tradisonal. Tambang pasir yang terbanyak terjadi di Galang batang ada sekitar 40 tempat penambangan pasir. Penambangan pasir secara serampangan itu menggunakan mesin pompa biasa dan dibanyak dilakukan oleh para pendatang yang masuk ke Galang batang.
Berdasarkan latar belakang masalah yang ada maka dalam penelitian ini diambil dengan judul Impementasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Tambang Dan Mineral Pada Wilayah Galang batang Kecamatan Gunung Kijang Tahun 2014
B. Perumusan Masalah
Hutan mangrove di Kabupaten Bintan Dari uraian rumusan masalah diatas, maka dalam penelitian ini menarik sebuah perumusan sebagai berikut : “Bagaimanakah Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Tambang Dan Mineral Pada Wilayah Galang batang Kecamatan Gunung Kijang Tahun 2014?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan penelitian ini adalah Untuk
Mengetahui Impementasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Tambang Dan Mineral Pada Wilayah Galang batang Kecamatan Gunung Kijang Tahun 2014.
2. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Praktis : Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah Kabupaten Bintan khususnya bagi Dinas Pertambangan Dan Energi Kabupaten Bintan dalam Pelaksanaan Pengelolaan Tambang Dan Mineral Oleh Dinas Pertambangan Dan Energi Kabupaten Bintan 2. Kegunaan Akademis : Sebagai
bahan acuan bagi peneliti berikutnya apabila memiliki permasalahan yang sama, untuk pengembangan ilmu pengetahuan sosial khususnya dalam kebijakan pemerintah. D. Konsep Operasional
Konsep operasional adalah upaya mendefinisikan atau membatasi ruang lingkup masalah penelitian sesuai dengan variabel dan indikator yang telah ditetapkan berdasarkan teori yang nantinya akan diterapkan dalam melaksanakan pengukuran di lapangan, sehingga tidak terjadi perbedaan penafsiran dalam menganalisa penelitian ini. Konsep-konsep tersebut dioperasionalkan agar hasil dari penelitian yang akan dilakukan dapat lebih mencapai tujuan, maka untuk membuat batasan pembahasan atau konsep operasional, maka dalam penelitian ini mengacu pada pendapat yaitu pendapat Van Meter dan Van
Horn dalam Subarsono (2008:99) dengan dimensi sebagi berikut :
1. Standar dan sasaran kebijakan Pelaksanaan kebijakan akan berjalan dengan baik apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Hal ini dapat dilihat dari indikator sebagai berikut :
a. Isi kebijakan sudah jelas dan dapat dipahami oleh implementor sebagai pelaksana kebijakan.
b. Kebijakan ini diketahui oleh masyarakat Galang Batang 2. Sumber daya
Untuk menjalankan kebijakan sangat dibutuhkan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan kebijakan, adanya sumber daya manusia yang menjamin bahwa kebijakan dapat diarahkan kepada sebagaimana yang diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melaksanakan kebijakan. ketersediaan sumber daya ini dapat di ukur dari indikator sebagai berikut: Sumber daya manusia seperti pegawai yang memahami tentang tujuan dan sasaran adanya perda tersebut hingga dapat melaksanakannya dengan baik saat di lapangan.
3. Hubungan antar organisasi
Koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan merupakan sebuah
mekanisme yang dapat diterapkan, semakin baik koordinasi yang dilakukan dalam pelaksanaan kebijakan kepada masyarakat maka kebijakan akan dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini dapat dilihat dari indikator : Adanya koordinasi yang dilakukan oleh pihak pemerintah dengan tokoh masyarakat, serta RT, RW Lurah serta pihak Kecamatan.
4. Karekteristik Agen Pelaksana Mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi kebijakan hal ini dapat dilihat dari indikator : Adanya struktur organisasi yang jelas di Dinas Pertambangan dan energi tentang tanggungjawab serta tugas yang jelas mengenai pegawai yang khusus menjalankan kebijakan ini. 5. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik
Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi permasalan yang dapat memicu kegagalan Implementasi. Karena itu upaya mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eskternal seperti adanya bantuan yang diberikan kepada masyarakat khususnya masyarakat nelayan. 6. Disposisi Implementor
Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni: respon
implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemaunnya untuk melaksanakan kebijakan. dan intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor. Hal ini dapat dilihat dari indikator : kejujuran pegawai dalam kebijaka E. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Diskriptif Kualitatif. Penelitian deskiptif yaitu berusaha untuk menjelaskan suatu fenomena secara diskriptif untuk melakukan analisis serta menilai mengenai fenomena atau gejala tentang Pelaksanaan Pengelolaan Tambang Dan Mineral Oleh Dinas Pertambangan Dan Energi Kabupaten Bintan
F. Teknik Analisis Data
Pada prinsipnya analisis merupakan proses mengolah data dan menyusun data secara sistematis untuk mempermudah dibaca dan di interpretasikan. Untuk mewujudkan ini peneliti menggunakan analisis data secara kualitatif. Metode ini digunakan untuk menjelaskan data yang telah disusun dalam kalimat-kalimat yang mengandung pengertian dan dapat disimpulkan. Dengan analisis secara kualitatif, peneliti berharap dapat memberikan penjelasan yang akan mudah untuk dicerna dan dimengerti oleh masyarakat.
Adapun tahap-tahap analisis adalah dimulai dengan cara, antara lain :
a. Pengumpulan data, peneliti mencatat semua data secara objektif sesuai dengan hasil observasi dan wawancara dilapangan. b. Menelaah seluruh data
yang tersedia dari berbagai sumber yang telah dipelajari.
c. Mengadakan reduksi data dengan membuat abstraksi yaitu rangkuman inti, proses dan pernyataan perlu dijaga sehinggaa tetap berada didalamnya. d. Menyusun data tersebut
kedalam satuan-satuan yang selanjutnya satuan tersebut dikategorisasikan pada langkah berikutnya. e. Mengadakan pemeriksaan keabsahan data. f. Penyajian data, sekumpulan informasi yang telah tersusun dan memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
II. LANDASAN TEORI
Salah satu unsur penting dalam siklus kebijakan publik adalah menyangkut implementasi kebijakan yang memegang peran penting bagi keberhasilan kebijakan publik. Tugas pokok pemerintah adalah menciptakan kebijakan melalui berbagai kebijakan publik. Kebijakan akan tercapai jika kebijakan yang dibuat dapat
terimplementasikan atau dapat dilaksanakan secara baik. Keberhasilan implementasi suatu kebijakan ditentukan oleh banyak variable atau faktor, baik menyangkut isi kebijakan yang diimplementasikan, pelaksanaan kebijakan, maupun lingkungan di mana kebijakan tersebut diimplementasikan (kelompok sasaran).
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa dalam langkah awal pelaksanaan kebijakan adalah pengidentifikasian masalah serta formulasi terhadap kebijakan yang akan dirumuskan sehingga kebijakan itu dapat dijalankan sesuai sasarannya. Tidak hanya itu pengawasan dan evaluasi adalah langkah akhir yang dapat menentukan berhasil atau tidaknya sebuah kebijakan untuk dijalankan.
Menurut Winarno (2012:144) Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik bekerja bersama-sama menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan. Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu dampak (outcome).
Pendapat lain dikemukakan oleh Dunn (2000:109) menjabarkan bahwa implementasi kebijakan merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih hubungan (termasuk keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah yang diformulasikan ke dalam bidang-bidang
kesehatan, kesejahteraan sosial, ekonomi, dll.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut diatas, dapat disimpulkan implementasi kebijakan publik adalah suatu tindakan pejabat pemerintah atau lembaga pemerintah dalam menyediakan sarana untuk melaksanakan progam yang telah ditetapkan sehingga program tersebut dapat menimbulkan dampak terhadap tercapainya tujuan. Implementasi kebijakan merupakan tahap kedua setelah pembuatan atau pengembangan kebijakan. Nugroho (2003:158) mengemukakan bahwa: “implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Dari kedua pendapat ahli ini yang perlu ditekankan adalah bahwa tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan atau diidentifikasikan oleh keputusan-keputusan kebijaksanaan.”
Nugroho (2003:158) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Dari kedua pendapat ahli ini yang perlu ditekankan adalah bahwa tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan atau diidentifikasikan oleh keputusan-keputusan kebijaksanaan.
Selanjutnya menurut Mazmanian Sabatier (dalam Wahab, 2001:108) bahwa tahap dalam proses implementasi kebijakan yaitu
a. Keluaran Kebijakan (keputusan)
Merupakan penterjemahan penjabaran dalam bentuk peraturan peraturan khusus, prosedur pelaksanaan yang baku untuk memproses kasus-kasus tertentu, keputusan penyelesaian sengketa (menyangkut perizinan dan sebagainya), dan keputusan penyelesaian sengketa.
b. Kepatuhan Kelompok Sasaran Merupakan suatu sikap ketaatan secara konsisten dari pelaksana atau pengguna (aparat pemerintah dan masyarakat) terhadap keluaran kebijakan yang telah di tetapkan, sikap tersebut dicerminkan dalam prilaku antara lain :
1. Tidak melanggar aturan yang telah digariskan
2. Jika ada pelanggaran masih terbatas pada pelanggaran yang terkena sanksi
3. Sikap mengatur keabsahan (legitimasi) perundang-undangan yang bersangkutan dan tidak merasa dirugikan dari peraturan tersebut.
c. Dampak Nyata kebijakan
Hasil nyata antara perubahan prilaku dengan kelompok sasaran dengan tercapainya tujuan yang telah digariskan. Hal ini berarti bahwa keluaran kebijakan sudah berjalan dengan undang-undang. Kelompok sasaran benar-benar patuh.
d. Persepsi terhadap dampak yaitu penilaian atau pemahaman yang didasarkan pada nilai-nilai tertentu yang dapat diatur atau dirasakan manfaatnya oleh kelompok-kelompok
masyarakat atau lembaga-lembaga tertentu terhadap dampak nyata pelaksanaan kebijakan.
e. Revisi kebijakan
merupakan upaya-upaya penyesuaian atau tindak lanjut terhadap kekeliruan atau kegagalan pelaksanaan kebijakan, dengan jalan merubah secara mendasar kebijakan tersebut.
Di sini kebijakan yang menyangkut banyak kepentingan yang berbeda akan lebih sulit diimplementasikan dibanding yang menyangkut sedikit kepentingan. Oleh karenanya tinggi-rendahnya intensitas keterlibatan berbagai pihak (politisi, pengusaha, masyarakat, kelompok sasaran dan sebagainya) dalam implementasi kebijakan akan berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan.
Menurut pendapat diatas jelas dipaparkan bahwa dalam sebuah pelaksanaan kebijakan juga terdapat proses dan tahapan agar kebijakan tersebut dapat mencapai tujuannya. Setelah kebijakan dikeluarkan, kemudian melihat dari sasaran kelompok kebijakan, apakah kebijakan memiliki suatu dampak dan apabila ditemukan kekeliruan atau kegagalan akan di lakukan revisi terhadap kebijakan tersebut. Lima langkah
tersebut merupakan tahapan yang diharapkan jika semua tahapan dapat dilalui maka pelaksanaan kebijakan akan lebih mudah mencapai tujuannya.
Implementasi akan menentukan berhasil atau tidaknya kebijakan dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Implementasi dapat dimulai dari kondisi abstrak dan sebuah pertanyaan tentang apakah syarat agar implementasi kebijakan dapat berhasil. Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu implementasi kebijakan publik perlu diketahui variabel atau faktor-faktor penentunya. Untuk menggambarkan secara jelas variabel atau faktor-faktor yang berpengaruh penting terhadap implementasi kebijakan publik serta guna penyederhanaan pemahaman, maka akan digunakan model-model implementasi kebijakan. Edwards III berpendapat dalam model implementasi kebijakannya bahwa keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh faktor, oleh karena itu ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan, seperti yang dijelaskan oleh Edwards III (Subarsono 2008 : 90 ) yaitu :
1. Komunikasi
Keberhasilan Implementasi Kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaarn kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.
2. Sumber Daya
Sumber daya dapat berwujud sumber daya manusia, yakni kompetensi implementor dan sumber daya financial, sumber daya adalah faktor penting untuk mengimplementasi kebijakan agar efektif.
3. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis 4. Struktur Birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Kerja sama yang baik dalam birokrasi dan struktur yang kondusif akan membuat pelaksanaan kebijakan efektif. Berdasarkan pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan rumit. Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi
berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan.
Komponen lain dalam kebijakan dapat diketahui yaitu sumber daya, sumber daya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yang diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana.
Van Meter dan Van Horn (dalam Winarno 2012:146) mengatakan bahwa : “implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.
Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan”.
III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kelurahan Kijang Kota Pulau Bintan dibentuk oleh batuan dasar vulkanikliparit (porfir kuarsa) yang diduga berumur Permo-Karbon, dengan komposisi yang sama dengan liparit daerah Jambi (Bothe, 1925 dalam Kusnama dan Sutisna, 1994). Formasi batuan dapat ini di sebandingkan pula dengan Formasi Pahang Volcanic Series dari Semenanjung Malaya. Batuan dasar tersebut diterobos oleh batuan beku berumur Yura yang terdiri atas granit dan diorit yang membentuk daerah perbukitan. Batuan beku lain berupa andesit berumur Miosen yang ditemukan menerobos granit, sementara formasi batuan dengan sebaran cukup luas berupa batupasirtufan yang diduga berumur Miosen-Pliosen. Morfologi daerah penambangan umumnya memiliki kemiringan lereng antara 50- 150 dengan sungai-sungai mempunyai stadium tua, aliran sungai laminer dan tidak ditemukan jeram. Struktur geologi di daerah ini berupa lipatan dan sesar. Secara tektonik daerah tinjauan termasuk ke dalam Lajur Karimata yang terletak di sebelah timur Lajur Timah.
Di bagian selatan P.Bintan ini selain terdapat sumber daya bahan galian bauksit juga memiliki komoditas
bahan galian lainnya yang berpotensi untuk dikembangkan; di antaranya granit, andesit, pasir, pasir kuarsa serta tailing hasil pengolahan bauksit (Rohmana, 2007). Endapan bauksit di daerah Bintan ditemukan pada tahun 1924 dan pihak pertama yang memanfaatkannya adalah perusahaan Belanda, NV Nederlansch Indische Bauxiet Exploitatie Maatschapij (NV NIBEM), dari tahun 1935 sampai 1942. Pada tahun 1942 sampai 1945, usaha ini diambil alih Jepang melalui perusahaan Furukawa Co Ltd, dan tahun 1959 usaha ini kembali ditangani NV NIBEM. Setelah tahun 1959, kegiatan pertambangan bauksit di daerah ini diambil alih Pemerintah Republik Indonesia dengan mendirikan PT Pertambangan Bauksit Indonesia (PERBAKI), dan kemudian dilebur menjadi PN Pertambangan Bauksit Indonesia yang berada di lingkungan BPU PERTAMBUN. Tahun 1968 bersama-sama dengan BPU PERTAMBUN, PN, PT, dan proyek-proyek lainnya dalam lingkungan BPU PERTAMBUN dilebur ke dalam PN. Aneka Tambang (Persero) yang kemudian menjadi PT. Aneka Tambang (Lahar dkk, 2003). Sebaran bahan galian bauksit (lempung alumina) tersebar secara luas di wilayah Pulau Bintan dan sekitarnya. Bauksit merupakan hasil proses pelapukan dari batuan granit yang merupakan batuan dasar dari P. Bintan, umumnya tersebar pada morfologi dataran sampai dengan landai yang memungkinkan proses pelapukan dapat berlangsung intensif. Berdasarkan data PT. Aneka Tambang membagi kualitas cadangan bauksit menjadi 3 (tiga) kategori A, B dan C.
Terdapat beberapa wilayah bekas tambang di P. Bintan di antaranya P. Koyang, daerah Wacopek, daerah Tanjung Pinang dan sekitarnya. Daerah tersebut merupakan wilayah bekas tambang bauksit PT. Aneka Tambang, dimana terdapat bijih bauksit tertinggal dengan ketebalan sampai batuan dasar sekitar 40 hingga 50 cm (rata-rata 45 cm), sedangkan bahan galian bijih bauksit sebelum ditambang mempunyai ketebalan 1 – 5 meter. Bekas tambang di daerah Tanjung Pinang dan sekitarnya, telah menjadi wilayah perkantoran, perumahan padat penduduk dan pertokoan.
Penambangan bauksit dilakukan menggunakan sistem tambang terbuka, dengan metode berjenjang yang terbagi dalam beberapa blok. Kemajuan penambangan setiap blok disesuaikan dengan rencana penambangan pada peta tambang. Dalam pembagian blok, penambangan direncanakan. Sebelum penambangan bauksit, terlebih dahulu dilakukan pembersihan lokal (land clearing) dari tumbuh-tumbuhan yang terdapat di atas endapan bijih bauksit. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam operasi selanjutnya yaitu kegiatan pengupasan lapisan penutup yang umumnya memiliki ketebalan 0,2 meter. Untuk melaksanakan kegiatan pengupasan lapisan penutup digunakan bulldozer, sedangkan untuk penggalian endapan bauksit digunakan alat gali muat excavator yang selanjutnya dituangkan/dimuatkan ke alat angkut dump truck. Untuk mengoptimalkan perolehan, bauksit kadar rendah dicampur (mixing) dengan bijih bauksit kadar tinggi, hal ini dapat
berfungsi juga untuk memperpanjang umur tambang. Untuk menghindari pengotoran dari batuan dasar yang ikut tergali pada saat penambangan bauksit, maka penggalian dilakukan dengan menyisakan bauksit setebal 40 – 50 cm di atas batuan dasarnya. Selain menghindari tercampurnya bauksit dengan batuan dasar, sisa tanah mengandung bauksit juga berfungsi untuk penanaman pohon reklamasi.
IV. ANALISA DATA DAN
PEMBAHASAN
1. Standar dan sasaran kebijakan Dari hasil wawancara yang dilakukan dapat dianalisa bahwa dalam perda tersebut, perusahaan dan aparat pemerintahan diharapkan tidak lagi dapat membuat kejahatan atau pengrusakan lingkungan hidup. Dalam Perda tersebut jelas mengatur tentang para perusahaan, aparat pemerintah bahwa sudah ada aturan tegas yang dan sanksi yang tegas jika masih melakukan pengelolaan pertambangan tidak sesuai aturan. Namun pihak perusahaan atau swasta mengaku tidak mengetahui secara pasti apa yang tertuang didalam perda tersebut. Sehingga mereka masih saja sering melakukan penyimpangan-penyimpangan.
Pemerintah akan segera menindak tegas aktivitas penambangan bauksit secara ilegal di Tanjungkruing, Desa Teluksasah, Seri Kuala Lobam, dan Galang Batang yang masih tetap beroperasi meski telah dihentikan beberapa waktu lalu. Dihentikannya aktivitas penambangan tersebut karena sudah menyalahi aturan. Salah satunya, wilayah Galang Batang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bintan
adalah daerah industri dan tidak ada lahan pertambangan. Dan kalau memang di lahan tersebut rencananya ada investasi di bidang industri, maka diharapkan pihak pengelola mengurus izinnya sesuai dengan prosedur dan tidak bisa disalahgunakan.
Dinas Pertambangan dan Energi (Distemben) Bintan, menghentikan kegiatan penambangan di Galang Batang karena diduga belum mengantongi izin. Wilayah pertambangan yang ada di Bintan hanya meliputi wilayah Gunung kijang dan Bintan Timur. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan, membutuhkan adanya pemahaman standart dan tujuan kebijakan dari masing-masing individu yang bertanggung jawab melaksanakannya. Oleh karena itu standard dan tujuan kebijakan harus dikomunikasikan dengan jelas agar tidak menimbulkan distorsi implementasi. Kemudian Berdasarkan hasil wawancara dengan informan dapat dianalisa bahwa sosialisasi sudah dilakukan kepada masyarakat dan pihak terkait, namun banyak masyarakat di Galang Batang ini tidak memahaminya bahkan banyak dari mereka yang tidak tahu. Pernyataan yang sama juga didapatkan dari informan yang mengatakan bahwa untuk setiap Perda selalu disosialisasikan apalagi Perda yang memang harus dipublikasikan. Seperti Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dibutuhkan banyak dukungan dari berbagai pihak, seperti masyarakat, dan pihak swasta. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
2. Sumber daya
Berdasarkan hasil wawancara . Pegawai Distamben sudah sangat memahami dan sesuai dengan tugasnya masing-masing. Berdasarkan hasil observasi mengenai sumber daya maka ditemukan bahwa sumber daya manusia yang menjalankan kebijakan ini pada umumnya adalah keeluruh pegawai Distamben Kabupaten Bintan, namun yang langsung mengawasi berjumlah 7 orang, dengan kompetensi yang di dapatkan melalui pelatihan, penyuluhan mengenai isi dari Perda pengelolaan pertambangan, kemudian sanksi, serta evaluasi terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral.
Kemudian dalam sumber daya anggaran Alokasi dana untuk tahun 2015 yaitu untuk program pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup Rp. 1.721.250.151, untuk program perlindungan dan konservasi sumber daya alam Rp. 530.204.000, untuk program rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber daya alam Rp. 102.000.400, program peningkatan kualitas dan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup Rp. 414.200.000, dan program peningkatan pengendalian polusi Rp. 141.000.000. Semua anggaran bersumber dari APBD Kabupaten Bintan. Tidak hanya itu fasilitas juga menjadi salah satu yang penting dalam pelaksanaan perda ini, yang sudah ada saat ini adalah pos pengaduan, kemudian layanan informasi.
3. Hubungan antar organisasi
Dari hasil observasi yang dilakukan maka dapat dijelaskan bahwa pertambangan masih dilakukan di Galang Batang. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Bintan mengaku awalnya pertambangan itu hendak dibawa keluar dengan menggunakan tongkang. Namun karena tidak memiliki izin, Distamben lalu menghentikannya. Terkait dengan ribuan pasir yang ditumpuk didekat pelabuhan tersebut, pihak Distamben sudah memanggil tokoh masyarakat, Badan Lingkungan Hidup (BLH) dan instansi terkait lainnya untuk menjelaskan bahwa di wilayah tersebut tidak boleh dilakukan penambangan rakyat yang ilegal. Sementara itu, dari data yang diperoleh anggota Komisi I DPRD Bintan mengatakan Komisi I sudah pernah turun ke lapangan untuk memantau aktifitas penambagan bauksit di sekitar area tersebut. Setelah turun dan berkoordinasi dengan instasi terkait lainnya akhirnya aktifitas penambangan dihentikan. Kita akan turun kembali ke lokasi tersebut untuk mengecek apakah memang sudah berhenti total atau masih melakukan penambangan.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dianalisa bahwa hubungan antar organisasi selama ini berjalan baik, tidak hanya pihak Distamben Kabupaten Bintan bekerja sama dengan satpol PP selaku penegak perda, Kepolisian juga diikutkan jika terjadi penyimpangan dan jika harus ada tindak lanjuti, BLH juga merupakan badan pemerintah yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan lingkungan hidup dan LSM yang turut membantu dan sejauh ini
semua memahami tentang perda tersebut. Hubungan antar organisasi ini semakin meningkat karena perlu adanya kerjasama dan sinergi dalam menuntaskan penambangan liar di Kabupaten Bintan khususnya di Galang Batang, mulai dari pelaksanaan, razia, hingga pengawasan.
4. Karekteristik Agen Pelaksana Keberhasilan kebijakan pemerintah akan tercapai salah satunya harus memiliki standar kerja dalam pelaksnaaan kebijakan. Para implementor haruslah menentapkan standar kerja agar kebijakan tersebut dapat berjalan sesuai dengan tujuan dan isi dari kebijakan tersebut. Sama halnya dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral haruslah ada standar kerja yang berguna agar para implementor dapat bekerja sesuai dengan apa yang diinginkan.
Dari hasil observasi dapat diketahui bahwa tidak adanya standar kerja yang ada yang khusus dibuat untuk menjalankan kebijakan tersebut, pentingnya standar kerja merupakan hal yang harus diperhatikan oleh Distamben Kabupaten Bintan agar pekerjaan yang berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan ini dapat berjalan sebagaimana mestnya. Berdasarkan hasil observasi juga tidak dilihat adanya SOP dalam pelaksanaan kebijakan ini, hal ini dapat memberikan kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan kebijakan Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral ini tidak adanya Standar Operating Prosedure (SOP)
yang dibuat untuk pelaksanaan kebijakan ini.
5. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan maka dapat dianalisa bahwa kondisi masyarakat di Galang Batang ini memang sangat mempengaruhi pelaksanaan perda tersebut, karena sebagian masyarakat tidak siap meninggalkan penambangan illegal yang baginya adalah sebuah mata pencaharian. Sulit untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan pertambangan yang dilakukan, terutama kegiatan pengelolaan lingkungan.
Dengan adanya perda ini maka banyak penambang yang akhirnya kehilangan mata pencaharian hal ini berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat Galang Batang. Pendapatan mereka tidak lagi sebanyak sebelum adanya perda ini, karena dahulu sanksi tidak tegas dan mereka tetap bisa mencari nafkah dengan menambang pasir tersebut tanpa memikirkan dampak dari kegiatan tersebut. Hal ini juga berdampak pada kehidupan sosial karena banyak masyarakat di Galang Batang yang akhirnya terjerat dengan kemiskinan. Jika dilihat dari berbagai sisi perda ini membawa dampak yang baik bagi lingkungan namun membawa dampak negatif bagi sebagian masyarakat, karena pendapatan yang mereka dapatkan tidak lagi sebanyak sebelum keluarnya perda ini.
6. Disposisi Implementor
Berdasarkan observasi yang dilakukan berkaitan dengan dukungan yang
diberikan pegawai terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral agar terlaksana dengan baik dapat diketahui bahwa seluruh pegawai umumnya sudah mengetahui tentang kebijakan ini dan sudah terdapat masalah yang ditampung dan sedang dalam pengerjaan untuk diselesaikan. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai sudah memberikan dukungan terhadap kebijakan ini, yang mana selain pegawai Distamben Kabupaten Bintan sedang melaksanakan penyelesaian terhadap persoalan pertambangan, pegawai juga umunya mengetahui tentang kebijakan ini untuk selanjutnya dilaksanakan sebagaimana mestinya
V. PENUTUP A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dianalisa bahwa implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral Pada Galang Batang belum berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat bahwa penambangan masih terus ada di wilayah tersebut, dan semua penambangan secara umum tidak memiliki izin atau illegal. Walaupun dari hasil wawancara yang dilakukan secara keseluruhan isi dan tujuan dari Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral hidup sudah jelas. Namun sosialisasi belum optimal dilakukan karena masyarakat hingga saat ini banyak yang tidak tahu tentang sanksi dan dampak yang ditimbulkan dari aktivitas mereka.
Dinas pertambangan dan energi Kabupaten Bintan sudah membagi tugas para pegawainya termasuk dalam melaksanakan Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral tersebut namun memang tidak semua implementor dapat menjalankannya dengan baik. Para pegawai diturunkan untuk mengawasi, serta melakukan peninjauan terhadap kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan. Apabila terjadi penyimpangan para pegawai wajib melaporkan dan menindaklanjuti sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral.
Tidak adanya standar kerja yang ada yang khusus dibuat untuk menjalankan kebijakan tersebut, pentingnya standar kerja merupakan hal yang harus diperhatikan oleh Distamben Kabupaten Bintan agar pekerjaan yang berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan ini dapat berjalan sebagaimana mestinya. Masyarakat di Galang Batang belum siap untuk melaksanakan perda penambangan. Pertambangan Rakyat adalah satu usaha pertambangan bahan-bahan galian yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri hingga sangat sulit menertibkan di wilayah tersebut.
B. Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sebaiknya ada sosialisasi khusus mengenai Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral di Galang Batang yang dikhususnya untuk masyarakat. 2. Seharusnya dalam
pelaksanaan di lapangan khususnya di Desa Galang Batang ada standar operasional yang dibuat sebagai turunan dari Perda Nomor 1 Tahun 2012, agar para implementor dapat menjalankannya dengan lebih baik karena dianggap SOP merupakan penjelasan dari Perda yang telah ada, baik untuk Dinas Pertambangan maupun untuk para instansi terkait. 3. Mengingat kegiatan
penambangan ini berhubungan dengan mata pencaharian masyarakat Galang Batang maka dibutuhkan kebijakan lain yang dibuat oleh pemerintah untuk membantu masyarakat keluar dari kegiatan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Said Zainal. 2002. Kebijakan Publik. Jakarta : Yayasan Pancur Siwah. Agustino, Leo. 2008. Dasar-dasar
Kebijakan Publik. Bandung : CV Alfabetha
Arikunto, Suhaisimi. 2006. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineke Cipta.
Dunn, W William. 2000. Analisa kebijakan. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Labolo, Muhammad. 2005.
Memahami Ilmu
Pemerintahan. Jakarta : Grafindo Persada.
Napitupulu, Paimin. 2007. Menuju Pemerintahan. Bandung: PT. Alumni.
Ndraha, Taliziduhu.2003,
Kybernology Ilmu
pemerintahan Baru. Jakarta: Rineke Cipta.
Nugroho, Riant D. 2003. Kebijakan Publik Formulasi Implementasi dan Evaluasi. Jakarta : PT.Elex Media Komputindo
Muta’ali, Luthfi. 2012. Kajian Daya Dukung Lingkungan Untuk Perencanaan Pengembangan Wilayah Kabupaten Kebumen. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. Sedarmayanti, 2004, Good Government (Pemerintahan yang baik); Bandung: CV. Mandar Maju.
Sugiyono, 2005. Metode Penelitian Administrasi Negara, Bandung : Alfabeta.
Subarsono. 2008. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Syafaruddin. 2008. Efektivitas
Kebijakan Pendidikan. Jakarta Rieneka Cipta Wahab. Solichin Abdul. 2001.
Analisis Kebijaksanaan:
dari Formula ke
Implementasi
Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Winarno, Budi. 2012. Kebijakan
Publik, Teori dan Proses. Jakarta: PT. Buku Kita. Perundang-undangan:
Undang – Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ( UU PPLH ).
Perda Bintan No.1 Tahun 2012 tentang pengelolaan pertambangan mineral. Perda Bintan No 7 Tahun 2008
tentang pembentukan organisasi dinas daerah Kabupaten Bintan Website : http://wikileaks-wikileaksindonesia.blogspot. com/2012/03/bisnis-pasir-indonesia-singapura.html