• Tidak ada hasil yang ditemukan

KADAR KORTISOL, TRIIODOTIRONIN (T 3 ), DAN TIROKSIN (T 4 ) KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis) SELAMA LIMA BELAS HARI PASCATRANSPORTASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KADAR KORTISOL, TRIIODOTIRONIN (T 3 ), DAN TIROKSIN (T 4 ) KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis) SELAMA LIMA BELAS HARI PASCATRANSPORTASI"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

KADAR KORTISOL, TRIIODOTIRONIN (T

3

), DAN

TIROKSIN (T

4

) KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis) SELAMA

LIMA BELAS HARI PASCATRANSPORTASI

MONIKA DANAPARAMITHA ANDRIANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Kadar Kortisol, Triiodotironin (T3), dan Tiroksin (T4) Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) Selama Lima Belas Hari Pascatransportasi adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya-karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2012

Monika Danaparamitha Andriani

(3)

ABSTRACT

MONIKA DANAPARAMITHA ANDRIANI. Cortisol, Thyroxin (T4), and Triiodothyronine (T3) Measurement in Buffalo (Bubalus bubalis) After Transportation and in Fifteen Days Adaptation Periode. Supervised by HERA MAHESHWARI and ANDRYANTO.

Livestock transportation plays an important role in the distribution of buffaloes. Livestock transport may cause stress and pressure that effects the livestock’s health. This research was conducted to find information about the effect of transportation on the levels of cortisol, triiodotironin (T3), and thyroxine (T4) for 15 days post-transportation. The animal used in this research were four female 2-year-old swamp buffaloes. The swamp buffaloes were transported using a small truck. The travel distance was 15 kilometers and it took 2 hours. During acclimatization, buffaloes were given anthelmintic albendazole to eliminate egg worms. All animals were given grass everyday and fresh water was provided ad libitum. Blood was collected at the time of arrival and everyday for 15 days after transportation and measured using Radioimunoassay (RIA) method. Results showed a significant relation (p<0.05) between transport and an increase in cortisol and T4 level on the first day post-transportation. The level of T3 was also increased on the second day post-transportation. Transportation causes stress and therefore change in the metabolic process. After transportation, a decrease in T4 indicates a conversion of T4 to the more active form, T3.

Key words: swamp buffalo, cortisol, triiodothyronine, thyroxine, transportation stress                                          

(4)

RINGKASAN

MONIKA DANAPARAMITHA ANDRIANI. Kadar Kortisol, Triiodotironin (T3), dan Tiroksin (T4) Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) Selama Lima Belas Hari Pascatransportasi. Dibimbing oleh HERA MAHESHWARI dan ANDRYANTO.

Transportasi mempunyai peranan penting dalam pendistribusian kerbau. Transportasi ternak dapat menyebabkan suatu kondisi stres dan tekanan yang berdampak pada kesehatan ternak. Tingkat stres dapat dilihat dari beberapa parameter, diantaranya melalui perubahan kadar hormon kortisol dan hormon tiroid dalam darah. Penelitian ini bertujuan untuk mencari informasi mengenai pengaruh transportasi terhadap kadar kortisol, T3, dan T4 selama lima belas hari pascatransportasi.

Empat ekor kerbau lumpur betina berusia 2 tahun digunakan dalam penelitian ini. Kerbau lumpur mengalami transportasi menggunakan truk bak terbuka selama 2 jam sejauh 15 kilometer. Selama masa aklimatisasi, ternak kerbau kemudian diberikan anti-cacing albendazol untuk menghindari telur cacing dan diberikan vitamin B kompleks. Setiap hari semua ternak diberi pakan rumput dan air minum ad libitum. Darah kemudian diambil pada saat setelah transportasi sampai hari ke-15 dan diukur menggunakan metode radio-immunoassay (RIA). Pengukuran kortisol dilakukan setiap hari, sedangkan pengukuran T3 dan T4 dilakukan setiap dua hari sekali.

Hasil pengukuran kadar kortisol serum menunjukkan adanya pengaruh transportasi terhadap kerbau penelitian yang ditunjukkan melalui kadar kortisol yang meningkat dari kadar kortisol normal literatur. Kadar kortisol tertinggi terjadi pada hari pertama yaitu pada saat hewan baru saja mengalami transportasi dan mulai menurun sejak hari kedua pascatransportasi. Hasil pengukuran kadar triiodotironin (T3) pada serum kerbau menunjukkan hasil konsentrasi T3 yang fluktuatif yaitu meningkat sejak pengukuran pertama sampai pengukuran ke-2 pascatransportasi dan mulai menurun pada pengukuran hari ke-3 dan seterusnya. Hasil pengukuran T4 menunjukkan peningkatan pada hari pertama dan mulai terjadi penurunan kadar T4 sejak pengukuran kedua pascatransportasi. Penurunan

T4 mengindikasikan adanya konversi dari T4 menjadiT3 dengan bentuk lebih aktif

Kondisi demikian disebabkan oleh stres akibat transportasi sehingga proses metabolisme mengalami perubahan.

Kata kunci: kerbau lumpur, kortisol, triiodotironin, tiroksin, stres transportasi   

       

(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(6)

KADAR KORTISOL, TRIIODOTIRONIN (T

3

), DAN

TIROKSIN (T

4

) KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis) SELAMA

LIMABELAS HARI PASCATRANSPORTASI

MONIKA DANAPARAMITHA ANDRIANI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(7)

Judul skripsi : Kadar Kortisol, Triiodotironin (T3), dan Tiroksin (T4) Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) Selama Lima Belas Hari Pascatransportasi

Nama : Monika Danaparamitha Andriani NIM : B04080059

Disetujui oleh

Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc., AIF Pembimbing I

drh. Andriyanto, M.Si Pembimbing II

Diketahui oleh

drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan baik. Judul penelitian yang diambil adalah Kadar Kortisol, Triiodotironin (T3), dan Tiroksin (T4) Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) selama Lima Belas Hari Pascatransportasi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc., AIF dan drh. Andriyanto, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama berlangsungnya penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada kedua orangtua, Bapak drh. Buntaran, MM dan Ibu drh. Yulita Sukardiyanti serta adik Krishna Himawan Subiyanto. Selanjutnya ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Pak Kosasih, Bu Sri, Bu Ida, segenap pegawai di Unit Rehabilitasi Reproduksi FKH IPB dan kepada teman-teman sepenelitian kerbau (Jasmine, Sri, Ayu, Ana, Mato, Asep, Veky) serta kepada semua sahabat Avenzoar 45 yang selalu memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si dan Ronald Tarigan atas bantuan dan dukungannya serta sahabat (Rio, Irin, Lynn, Yoha, Titus, Arca, Rosa, Melinda, Melisa, Wina, Gory, Ester, dan Yensen), tim Kenanga 14, teman-teman KEMAKI, KPMKB, HKSA, serta Persekutuan Fakultas FKH-IPB atas segala dukungan dan persahabatan selama penulis menempuh pendidikan di IPB.

Penulis menyadari bahwa penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih atas semua masukan yang membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat di kemudian hari bagi segenap pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2012

(9)

RIWAYAT HIDUP

Monika Danaparamitha Andriani dilahirkan di Kota Surakarta, Jawa Tengah pada 3 Oktober 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak drh. Buntaran, MM dan ibu drh. Yulita Sukardiyanti.

Tahun 2002 penulis lulus SDN 20 Anjungan, tahun 2005 lulus SMPN 1 Mempawah, dan tahun 2008 lulus SMAN 1 Mempawah Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa progam sarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (Himpro HKSA). Pada tahun 2010-2011, penulis menjabat sebagai ketua Divisi Pendidikan Himpro HKSA. Pada tahun yang sama penulis juga merupakan ketua Divisi Dosen dan Alumni Keluarga Mahasiswa Katolik IPB. Penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Embriologi dan Genetika Hewan, dan Fisiologi Veteriner. Penulis juga aktif dalam paduan suara Gita Klinika FKH IPB dan merupakan reporter dari majalah Vetzone FKH IPB.

(10)

ix

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR xi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Karakteristik Kerbau 3 Kelenjar Adrenal 4 Hormon Adrenokortikal 5 Kelenjar Tiroid 6 Stres 8 Transportasi Ternak 10

Cara Pengukuran Hormon di Darah 15

METODE 16

Waktu dan Tempat 16

Alat dan Bahan 16

Tahap Persiapan 16

Tahap Pelaksanaan 17

Parameter yang Diamati 18

Analisis Data 18

HASIL DAN PEMBAHASAN 19

Kadar Kortisol Kerbau Penelitian selama Lima Belas Hari

Pascatransportasi 19 Kadar Triiodotironin Kerbau Penelitian selama Lima Belas

Hari Pascatransportasi 23

Kadar Tiroksin Kerbau Penelitian selama Lima Belas Hari

Pascatransportasi 25 Respon Hormon Kortisol, Triiodotironin, dan Tiroksin pada

Suhu dan Kelembaban Lingkungan yang Berbeda 28

SIMPULAN DAN SARAN 31

Simpulan 31 Saran 31

(11)

x

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Data Biologis Kerbau 4

2 Kepadatan Ternak Sapi dalam Kendaraan selama Transportasi 11 3 Kadar Metabolit Kortisol Kerbau Penelitian selama Lima

Belas Hari Pascatransportasi 20 4 Kadar Hormon Triiodotironin Kerbau Penelitian selama Lima

Belas Hari Pascatransportasi 24 5 Kadar Hormon Tiroksin Kerbau Penelitian selama Lima

Belas Hari Pascatransportasi 26 6 Hormon Kortisol, Triiodotironin, dan Tiroksin pada Suhu dan

Kelembaban Lingkungan Kandang selama Dua Minggu

(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Kadar Hormon Kortisol Serum selama Lima Belas Hari

Pascatransportasi 21 2 Kadar Hormon Triiodotironin Serum selama Lima Belas Hari

Pascatransportasi 24 3 Kadar Hormon Tiroksin Serum selama Lima Belas Hari

Pascatransportasi 26

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kerbau (Bubalus bubalis) merupakan salah satu komoditas ternak penting Indonesia disamping sapi, kambing, ayam, dan domba. Berdasarkan hasil pendataan sapi potong, sapi perah, dan kerbau (PSPK), populasi kerbau di Indonesia pada tahun 2011 diperkirakan sebanyak 1.305.016 ekor (Direktorat Jenderal Peternakan 2011). Kerbau memiliki peran yang penting dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia diantaranya sebagai penghasil daging, susu, tenaga kerja, pupuk, dan kulit. Kepemilikan kerbau pada beberapa kalangan masyarakat tertentu juga dianggap sebagai penentu status sosial pemilik kerbau (Toelihere et al. 1995).

Menurut Sariubang et al. (2003), hampir 95% dari total populasi kerbau di dunia ditemukan di wilayah tropis. Selain itu, kerbau dikenal juga sebagai ternak Asia karena sebagian besar penyebarannya terkonsentrasi di negara-negara Asia. Hal ini dikarenakan corak masyarakat Asia yang sebagian besar agraris sehingga membutuhkan kerbau sebagai ternak pekerja.

Penyebaran kerbau yang tidak merata di setiap daerah ditambah dengan banyaknya permintaan baik dari pasar domestik, regional, maupun internasional menyebabkan sistem transportasi ternak mempunyai peranan penting dalam pendistribusian ternak. Transportasi ternak dapat menyebabkan suatu kondisi stres atau tercekam. Stres merupakan suatu kondisi pada ternak sebagai akibat dari satu atau lebih sumber stres (stressor) baik dari dalam tubuh ternak itu sendiri ataupun pengaruh dari luar. Transportasi dapat menyebabkan tekanan pada ternak dan dapat menimbulkan efek yang mengganggu pada kesehatan dan kesejahteraan ternak (Borell 2001). Untuk menghindari efek yang kurang baik dalam transportasi ternak, maka manajemen transportasi baik pada sebelum, saat, dan sesudah transportasi ke berbagai daerah tujuan harus diperhatikan.

Tingkat stres dapat dilihat dari beberapa parameter, di antaranya dengan perubahan tingkah laku, perubahan jumlah neutrofil/limfosit, serta perubahan kadar hormon kortisol dan hormon tiroid dalam darah. Peningkatan hormon kortisol mengindikasikan terjadinya stres, sedangkan penurunan hormon kortisol

(14)

2

menyebabkan terjadinya lemah badan, muntah, hipoglikemia, dan diare (Adhiarta & Soetedjo 2009). Selain hormon kortisol, adanya stres juga dapat mempengaruhi sekresi hormon tiroid yaitu triiodotironin (T3) dan tetraiodotironin / tiroksin (T4) dengan berbagai mekanisme (Hangalapura et al. 2004).

Kondisi stres menyebabkan peningkatan sekresi Adrenocorticotropic

Hormone (ACTH) dari kelenjar hipofise anterior yang diikuti dengan peningkatan

sekresi hormon adrenokortikal seperti kortisol dari korteks adrenal. Rangsangan stres merupakan salah satu rangsangan terkuat yang dapat menghalangi umpan balik penghambat kortisol, sehingga akan menyebabkan timbulnya eksaserbasi periodik dari sekresi kortisol di berbagai waktu selama satu hari atau pemanjangan sekresi kortisol dalam keadaan stres kronik (Guyton & Hall 2007).

Menurut Guyton dan Hall (2007), hormon tiroid dapat meningkatkan aktivitas metabolisme selular pada hampir semua jaringan tubuh. Bila seekor hewan diberikan hormon tiroid maka ukuran dan jumlah mitokondria di sebagian besar sel tubuh akan meningkat, sehingga terjadi peningkatan kecepatan pembentukan adenosin trifosfat (ATP) untuk meningkatkan fungsi sel. Pengukuran kadar hormon tiroid seringkali digunakan sebagai parameter metabolisme berkaitan dengan kondisi stres selain pengukuran hormon kortisol.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kadar hormon kortisol dan hormon tiroid (T3 dan T4) sebagai parameter tingkat stres ternak setelah transportasi dan pengaruh lima belas hari pascatransportasi ke habitat baru terhadap kadar hormon kortisol dan hormon tiroid tubuh.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mengumpulkan dan memberikan informasi ilmiah mengenai kondisi ternak pascatransportasi dan gambaran kadar hormon kortisol dan hormon tiroid (T3 dan T4) ternak yang mengalami stres akibat transportasi.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Kerbau

Dalam klasifikasi, kerbau digolongkan dalam kingdom Animalia, filum Chordata, dan kelas Mamalia. Selanjutnya, kerbau termasuk dalam ordo Artiodactyla, famili Bovidae dan genus Bubalus. Spesies kerbau secara umum dikenal sebagai Bubalus bubalis (Feldhamer et al. 1999).

Kerbau di dunia ini dibagi menjadi dua tipe, yaitu tipe Afrika dan tipe Asia. Kerbau tipe Asia diklasifikasi lagi menjadi kerbau liar dan domestikasi. Domestikasi tipe Asia kemudian diklasifikasi menjadi tipe kerbau sungai (river

buffalo) dan tipe kerbau lumpur (swamp buffalo). Morfologi dari kerbau lumpur

tidak sama dengan kerbau sungai. Kerbau lumpur memiliki 48 kromosom, sedangkan tipe kerbau sungai memiliki 50 kromosom. Kerbau lumpur seringkali digunakan sebagai alat pembajak alami pada area sawah di negara-negara Asia Tenggara. Mereka merupakan ternak pekerja dan memegang peranan penting dalam mengurangi pengeluaran untuk bahan bakar. Kerbau lumpur banyak ditemukan di Thailand, Malaysia, Indonesia, Vietnam, dan Filipina, sedangkan kerbau sungai umumnya digunakan untuk menghasilkan susu (1500-3000 l/laktasi selama 300 hari) dan banyak ditemukan di India, Pakistan, Mesir, Italia, dan negara-negara Eropa Tenggara (Ranjhan & Pathak 1993).

Pemanfaatan Kerbau

Kerbau memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sosial-ekonomi di Indonesia. Kerbau diketahui memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan sapi. Diwyanto dan Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa kerbau dapat hidup di agroekosistem dengan ketersediaan pakan yang terbatas. Kerbau juga dapat berkembangbiak dalam rentang kawasan yang luas mulai dari daerah yang basah sampai daerah yang relatif kering.

Dalam usaha pertanian tradisional, kerbau digunakan sebagai ternak pekerja untuk membantu membajak sawah. Selain itu, kerbau dapat menghasilkan daging sebagai sumber protein hewani dan dapat pula menghasilkan susu seperti kerbau Murrah yang banyak terdapat di daerah Sumatera Utara. Bahkan pada beberapa

(16)

4

masyarakat tertentu, kerbau juga dianggap sebagai komoditas yang dapat memberikan kedudukan sosial (social standing) bagi pemiliknya (Toelihere et al 1995). Data biologis kerbau disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Data biologis kerbau (Smith & Soesanto 1988)

Lama hidup 20-30 tahun

Lama kebuntingan 316 hari

Umur dikawinkan 24-36 bulan

Berat dewasa 300-700 kg

Berat lahir 25-40 kg

Suhu (rektal) 37,4 – 38,7°C

Pernafasan 20-23/ menit

Denyut jantung 55-70/menit

Volume darah 50-55 ml/kg Eritrosit 6,4-11,2 × 106/mm3 Leukosit 7,6-13,8 × 106/mm3 Netrofil 24 – 44% Limfosit 43 – 61% Monosit 3 - 12% Eosinofil 1 – 10%

Picked cell volume (PCV) 29 – 44%

Protein plasma 6,4 – 6,1 g/100 ml

Hb (g/ml) 9,5 – 16,2 g/ml

Kolesterol serum 8 – 174

Kelenjar Adrenal

Kelenjar adrenal memegang peranan penting dalam respon hormonal tubuh terhadap kondisi stres. Kelenjar adrenal terdiri atas dua bagian yang berbeda yaitu medulla adrenal dan korteks adrenal. Medulla adrenal mencakup 20% bagian kelenjar adrenal dan secara fungsional berkaitan dengan sistem saraf simpatis dan sekresi hormon-hormon epinefrin dan norepinefrin sebagai respon terhadap rangsangan simpatis. Korteks adrenal mensekresikan hormon adrenokortikoid

(17)

5

(mineralkortikoid, glukokortikoid, dan androgen). Korteks adrenal terdiri atas 3 lapisan yaitu:

1. Zona glomerulosa, mencakup 15% korteks adrenal dan satu-satunya sel yang dapat mensekresikan aldosteron karena mengandung enzim

aldosterone synthase.

2. Zona fasciculata, mencakup 75% korteks adrenal dan mensekresikan kortisol dan kortikosteron, dan androgen serta estrogen dalam jumlah kecil.

3. Zona reticularis, lapis terdalam dan mensekresikan dehydro-epiandrosterone (DHEA) dan androstenedione dalam jumlah besar serta

estrogen dan ACTH dalam jumlah kecil (Guyton & Hall 2007).

Hormon Adrenokortikal

Ada dua jenis hormon adrenokortikal yang utama, yakni glukokortikoid dan mineralkortikoid, yang disekresi oleh korteks adrenal. Hormon kortisol mencakup kira-kira 95% dari seluruh aktivitas glukokortikoid. Menurut Guyton dan Hall (2007), korteks adrenal mensekresi kelompok hormon kortikosteroid yang seluruhnya disintesis dari kolesterol steroid dan dijelaskan sebagai berikut:

a. Glukokortikoid

Kortisol dan kortikosteron adalah glukokortikoid utama yang di produksi dan disekresi oleh korteks adrenal. Kortisol dimetabolisme di hati, yang merupakan tempat utama katabolisme glukokortikoid. Bila hewan atau manusia mendapat berbagai rangsangan yang mengganggu atau berpotensi untuk mengganggu, maka akan terjadi peningkatan adrenokortikotropik (ACTH), akibatnya terjadi peningkatan kadar glukokortikoid dalam darah. Selama stres berat, jumlah ACTH yang disekresikan melebihi jumlah yang diperlukan untuk menghasilkan pengeluaran glukokortikoid yang maksimal (Ganong 2002).

Pada manusia dewasa, pelepasan kortisol maksimal di pagi hari (8.00 pagi) lalu menurun dan mencapai nilai minimun pada malam hari. Ritme ini dapat berubah akibat adanya asupan makanan pada siang hari yang menyebabkan peningkatan sekresi kortisol, namun tidak terganggu oleh asupan makanan pada malam hari serta perubahan waktu tidur. Pada hewan nokturnal seperti tikus

(18)

6

ritmenya terbalik (Norris 2010). Pola konsentrasi kortisol yang tidak konstans selama 24 jam (dalam satu hari) disebut sebagai ritme sirkadian (Guyton & Hall 2007). Ritme sirkadian harus diperhatikan dalam setiap pengukuran kadar hormon kortisol agar tidak terjadi kesalahan dalam interpretasi hasil data.

Pada hewan yang mengalami perjalanan jauh seringkali menjadi stres karena mengalami perubahan temperatur yang ekstrim, keletihan, kekurangan makanan dan minuman, serta ketakutan. Faktor - faktor penyebab stres tersebut dapat merangsang peningkatan sekresi glukokortikoid. Glukokortikoid bersifat imunosupresan sehingga hewan menjadi rentan terinfeksi, penyakit demikian dikenal sebagai “shipping fever” atau “transit fever” (McDonald’s 2003).

Sekresi hormon ACTH akan menyebabkan pembesaran korteks adrenal dan produksi kortisol. Peningkatan kadar kortisol dalam darah selama stres adalah hasil dari peningkatan aktivitas ACTH. ACTH terkadang diistilahkan sebagai hormon adaptasi terhadap kondisi yang tidak biasa khususnya disekresi selama masa adaptasi atau adaptasi sementara (Williamms 1974).

b. Sekresi dan Aksi Hormon Kortisol

Pelepasan kortisol dari korteks adrenal distimulasi oleh ACTH yang dilepaskan oleh kelenjar hipofise anterior. Pelepasan ACTH dari kelenjar hipofise anterior diatur oleh corticotropin releasing hormone (CRH) yang diproduksi oleh hipotalamus dan dilepaskan dari median eminence. Kadar kortisol yang tinggi akan menghambat biosintesis dan sekresi CRH dan ACTH (mekanisme umpan balik negatif). Sistem pengaturan ini disebut hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis. Hati dan ginjal adalah tempat utama inaktivasi, eliminasi, dan katabolisme kortisol, kebanyakan dieliminasi dalam bentuk urin. Inti dari proses eliminasi adalah konversi kortisol dari lipofilik menjadi hidrofilik supaya dapat larut dalam urin (Molina 2010). Pada masa adaptasi yaitu beberapa hari setelah adanya rangsangan penyebab terjadinya stres, kadar hormon kortisol dalam tubuh akan kembali pada kondisi fisiologisnya (Zapata et al. 2004).

Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar endokrin terbesar dalam tubuh. Kelenjar ini terletak tepat di bawah laring pada kedua sisi dan sebelah

(19)

7

anterior trakea. Kelenjar tiroid mensekresi dua macam hormon utama yaitu triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4). Kedua hormon ini sangat berpengaruh pada peningkatan kecepatan metabolisme tubuh. Sekresi kelenjar tiroid terutama diatur oleh tiroid stimulating hormone (TSH) yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior (Guyton & Hall 2007).

Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid

Sel-sel kelenjar tiroid merupakan sel kelenjar khas yang mensekresi protein. Retikulum endoplasma dan badan golgi mensintesis dan mensekresi molekul glikoprotein yang disebut tiroglobulin. Setiap molekul tiroglobulin mengandung sekitar 70 asam amino tirosin. Tiroglobulin merupakan substrat utama yang bergabung dengan iodida untuk membentuk hormon tiroid. Hormon tiroid terbentuk dalam molekul tiroglobulin. Hormon tiroksin dan triiodotironin dibentuk dari asam amino tirosin, yang merupakan sisa dari bagian molekul tiroglobulin selama sintesis hormon tiroid.

Mayoritas hormon aktif metabolisme yang disekresikan oleh kelenjar tiroid adalah hormon tiroksin dan sisanya adalah triiodotironin. Namun pada akhirnya semua tiroksin akan diubah menjadi triiodotironin sehingga keduanya bersifat penting. Secara kualitas kedua hormon tersebut sama, tetapi keduanya berbeda dalam hal kecepatan dan intensitas kerjanya. Triiodotironin memiliki efek empat kali lebih kuat dibandingkan tiroksin, namun jumlahnya didalam darah jauh lebih sedikit dan keberadaannya dalam darah lebih singkat daripada tiroksin (Guyton & Hall 2007).

Menurut Garriga et al. (2006), sekresi hormon tiroid dapat dipengaruhi oleh stres. Selain itu dapat dipengaruhi oleh adanya peningkatan temperatur, aktivitas, peningkatan pergantian kadar glukosa darah, penurunan bobot badan, katabolisme kolesterol, serta peningkatan rangsang pertumbuhan dan kematangan tubuh (Altiner 2006).

Astuti et al. (2009) dalam penelitiannya mengatakan bahwa peningkatan kadar triiodotironin (T3) akan diikuti dengan penurunan kadar tiroksin (T4). Hal ini dimungkinkan karena terjadi peningkatan konversi dari tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3) sebagai hormon aktif.

(20)

8

Fungsi Fisiologis Hormon Tiroid

Efek yang umum dari hormon tiroid adalah untuk mengaktifkan transkripsi inti sejumlah besar gen sehingga meningkatkan sintesis protein, seperti enzim, protein struktural, dan protein transport yang pada akhirnya akan meningkatkan aktivitas fungsional di seluruh tubuh. Meningkatnya sekresi hormon tiroid akan meningkatkan kecepatan sekresi sebagian besar kelenjar endokrin lain. Hormon tiroid juga meningkatkan kecepatan inaktivasi hormon glukokortikoid adrenal oleh hati. Keadaan ini menyebabkan timbulnya peningkatan umpan balik produksi hormon adrenokortikotropik oleh kelenjar hipofisis anterior. Oleh karena itu proses ini pada akhirnya akan meningkatkan kecepatan sekresi glukokortikoid oleh kelenjar adrenal (Guyton & Hall 2007).

Stres

Stres merupakan suatu respons biologis atau fisiologis terhadap stimulus yang tidak menguntungkan baik fisik maupun psikis sehingga mengganggu kondisi homeostasis makhluk hidup. Respon tubuh terhadap stres dimediasi oleh kortisol. Menurut Norris (2010) terdapat tiga fase adaptasi terhadap rangsangan stres, yaitu:

a. Alarm reaction

Pada fase ini termasuk peningkatan stimulasi simpatis termasuk pada korteks adrenal yang diikuti sekresi glukokortikoid (kortisol). Karena adanya aktivasi sekresi glukokortikoid, alarm reaction tidak identik dengan emergency yang lebih menekankan sekresi epinefrin.

b. Stage of resistance

Fase ini ditandai dengan perpanjangan masa sekresi glukokortikoid dan sudah mulai beradaptasi terhadap keberadaan stresful stimuli secara kontinu. Fase ini juga sering ditandai dengan pembesaran kelenjar adrenal, terutama hipertrofi zona fasciculata dan zona reticularis sebagai respon terhadap peningkatan ACTH secara kontinu, hal ini secara umum mengganggu kemampuan sistem berfungsi secara normal. Stres yang kronis dan peningkatan kadar glukokortikoid dalam waktu lama ditandai dengan kehilangan berat badan, penurunan aktivitas reproduksi dan imunosupresi. Jika kondisi ini berlangsung

(21)

9

secara terus menerus dalam jangka waktu lama akan mengantar organisme memasuki fase terakhir yaitu stage of exhaustion.

c. Stage of exhaustion

Fase ini dapat berakhir pada kematian.

Selanjutnya menurut Selye yang dikutip oleh Norris (2010) setiap stresor dapat menimbulkan respons stres yang spesifik, namun setiap stresor tidak mengakibatkan efek yang sama untuk setiap hewan. Contohnya saat beberapa orang mendapat stresor stimuli yang sama, setiap orang mempunyai respon individual yang bervariasi untuk mengatasinya. Beberapa orang diperiksa saat terdapat tekanan dalam dirinya sendiri, sedangkan beberapa orang lain mendapat tekanan dari luar. Kadar plasma epinefrin sama, namun kadar kortisol lebih tinggi pada orang yang mendapat tekanan dari luar.

Status sosial (kedudukan dalam hirarki) mempengaruhi respon fisiologis terhadap stimuli stres. Hewan yang memiliki status sosial rendah memiliki kadar

corticosterone yang lebih tinggi dibanding yang memiliki status sosial tinggi.

Hewan dengan status sosial tinggi memiliki kadar katekolamin yang lebih tinggi sebagai akibat dari aktivitas enzim tyrosine hydroxylase. Enzim ini berperan dalam konversi asam amino tirosin menjadi DOPA, DOPA adalah prekursor dopamin, sedangkan dopamin sendiri adalah prekursor norepinefrin dan epinefrin. Jadi stres pada hewan, khususnya pada pengujian kadar kortisol atau kadar nutrien (asam amino, glukosa) adalah faktor yang harus diperhitungkan. Kondisi laboratorium sendiri dapat mempengaruhi adrenal axis dan hormon-hormon lainnya.

Pelepasan ACTH dari kelenjar hipofise anterior akan ditekan saat kadar glukokortikoid meningkat (mekanisme umpan balik negatif). Namun pada kondisi stres hal ini tidak terjadi karena stresor dapat mengesampingkan mekanisme umpan balik negatif. Umpan balik negatif yang muncul pada awal stres mengurangi ketersediaan ion Ca2+ di intraselular hipofise anterior sehingga pelepasan ACTH harusnya dihambat. Namun pelepasan arginine vasopresin (AVP) tidak terpengaruh oleh mekanisme umpan balik negatif tersebut, akibatnya kadar AVP tetap sehingga tetap merangsang sel-sel kortikotropik di pars distalis hipothalamus yang mengakibatkan pelepasan CRH ke kelenjar hipofise anterior

(22)

10

tetap berlangsung, akibatnya pelepasan glukokortikoid dari korteks adrenal juga tetap berlangsung (Norris 2010).

Transportasi Ternak

Transportasi ternak sangat penting dalam dunia peternakan. Transportasi ternak dilakukan antara lain untuk keperluan pemasaran dalam jumlah yang besar, pengangkutan ke tempat pemotongan, penyediaan bibit ternak ke daerah lain, pengangkutan dari daerah yang kering ke daerah yang memiliki pakan yang bagus, dan karena perubahan kepemilikan (Chambers & Grandin 2001).

Alat Transportasi

Menurut Code of Practice for the Transportation of Cattle in Western

Australia pada tahun 2003, syarat-syarat kendaraan yang digunakan untuk

transportasi ternak meliputi: a. Konstruksi

Kendaraan dan segala kelengkapannya harus kuat untuk mengangkut ternak dan dapat melindungi dari lepasnya atau lompatnya ternak dari kendaraan. Selain itu, bagian kendaraan harus bebas dari halangan dan bahaya yang dapat menyebabkan ternak terluka. Jarak antar dek tempat ternak dalam kendaraan harus cukup untuk ternak, termasuk ternak bertanduk, untuk berdiri pada posisi normal. Beberapa bahan pada batas dek harus terbuat dari bahan yang tidak terlalu keras sehingga dapat mengurangi efek benturan terhadap ternak. Pada bagian permukaan kendaraan harus sesuai untuk pijakan kaki ternak dan tidak terbuat dari bahan licin sehingga tidak akam melukai kaki atau kuku ternak.

b. Ventilasi

Sistem ventilasi pada ruangan tempat ternak berada harus diperhatikan, sistem pembuangan gas pada kendaran tidak boleh mengotori ruangan ternak. Selain itu celah harus cukup untuk sirkulasi udara dalam ruangan sehingga dapat menghindari suhu panas.

(23)

11

Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Transportasi Ternak a. Kepadatan Ternak

Pemilihan kendaraan untuk transportasi ternak harus memperhitungkan ukuran ternak, jenis ternak, jumlah ternak, konstruksi kendaraan, dan luas bak kendaraan yang bertujuan untuk mengukur luasan lantai yang dibutuhkan untuk setiap ekor ternak atau dalam hal ini disebut kepadatan ternak. Pengetahuan mengenai ukuran ternak dan luasan lantai yang dibutuhkan sangat diperlukan dalam persiapan dan manajemen pengangkutan (Canadian Agri-Food Reseach Council 2001).

Menurut Chambers and Grandin (2001), pengamatan secara visual terhadap perbandingan ukuran tubuh ternak dengan luas alat transportasi yang digunakan sangat penting untuk memperkirakan daya tampung pengangkutan. Umumnya daya tampung pengangkutan dihitung berdasarkan luas area per m2 yang dibutuhkan oleh seekor ternak dengan bobot badan tertentu. Menurut Council of

Europe Committee of Ministers (1990), terdapat beberapa pengaturan kepadatan

dalam transportasi ternak yang dijelaskan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kepadatan ternak sapi dalam kendaraan selama transportasi darat Kategori Rataan Bobot Badan Luas Area (m2) / Hewan Pedet ukuran kecil

Pedet ukuran sedang Pedet ukuran besar Sapi ukuran sedang Sapi ukuran besar

Sapi ukuran sangat besar

55 110 200 325 550 > 700 0,30 - 0,40 0,40 - 0,70 0,70 - 0,95 0,95 - 1,30 1,30 - 1,60 [> 1,60] b. Lama Perjalanan

Menurut Chambers dan Grandin (2001) waktu yang dibutuhkan dalam perjalanan merupakan faktor yang mempengaruhi proses transportasi ternak. Perjalanan lebih dari 6 jam perjalanan dapat menyebabkan gangguan pada ternak karena perubahan lingkungan dan dapat menyebabkan efek lingkungan seperti panas dan dingin. Menurut Canadian Agri-Food Reseach Council (2001) ternak

(24)

12

tidak dianjurkan untuk diangkut lebih dari 36 jam perjalanan dan harus diistirahatkan untuk pemberian pakan dan minum apabila perjalanan memerlukan waktu lebih 24 jam perjalanan. Ternak yang tidak diberi pakan dan minum selama transportasi akan mengalami penyusutan bobot badan. Semakin lama proses pengangkutan maka akan semakin besar penyustan bobot badannya, kecuali apabila mereka diistirahatkan dan diberi pakan. Penyusutan bobot badan ini dapat diperkecil dengan pemberian air setelah sampai di tempat tujuan sampai beberapa jam kemudian (Greenwood et al. 1993).

c. Waktu Perjalanan

Waktu dalam pengangkutan ternak sebaiknya pada sepanjang waktu malam dan pada awal pagi hari agar ternak tidak terganggu oleh kelembaban dan suhu lingkungan yang tinggi. Suhu lingkungan dapat meningkatkan resiko tekanan panas dan dapat menyebabkan kematian selama transportasi (Chambers & Grandin 2001).

d. Penanganan dan Pengontrolan Kondisi Transportasi

Penanganan dan pengaturan kondisi transportasi ternak yang baik akan meminimalisir kejadian stres akibat transportasi. Transportasi ternak akan lebih baik ketika mereka tenang dan juga ketika dipisahkan berdasarkan status tanduk, ukuran tubuh, dan umurnya. Pencampuran ternak yang bertanduk akan meningkatkan kehilangan dari memar atau bengkak. Penanganan yang baik pada ternak akan mengurangi perkelahian dan stres pada ternak, sehingga dibutuhkan kecakapan petugas dalam pengaturan ternak pada saat transportasi agar tidak menimbulkan keributan dan kegaduhan (Lampworth 2002).

e. Kesejahteraan Hewan

Menurut Undang-Undang No. 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan, definisi kesejahteraan hewan ialah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia. Menurut Dallas (2006), kesejahteraan hewan (animal welfare) dapat

(25)

13

diukur dengan lima indikator yaitu: bebas dari rasa haus dan lapar, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit, bebas untuk mengekspresikan perilaku normal, dan bebas dari rasa takut dan stres.

Untuk kepentingan kesejahteraan hewan, dilakukan tindakan yang baik dan layak berkaitan dengan penanganan, penempatan, dan pengangkutan hewan. Perlakuan yang kasar dalam penanganan hewan terutama sebelum waktu pemotongan menyebabkan terjadinya suatu kondisi stres pada hewan sehingga akan menghasilkan kualitas daging yang rendah. Penanganan hewan saat pemotongan harus diatur dengan baik untuk mempertahankan standar yang berkualitas karena kesejahteraan hewan merupakan bagian dari kualitas daging (Grandin 2001). Dalam pengangkutan hewan juga harus dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa takut dan tertekan serta bebas dari segala bentuk penganiayaan.

Hal-hal yang Dapat Ditimbulkan Akibat Proses Transportasi Ternak

Transportasi dapat menyebabkan faktor emosi dan stres fisik pada ternak yang dapat mempengaruhi kesehatan ternak tersebut. Menurut Greenwood et al. (1993), tingkat tekanan stres disebabkan oleh lama perjalanan, penanganan selama perjalanan dan penurunan ternak, keterampilan pengemudi kendaraan, kondisi jalan, desain kandang pada kendaraan, kondisi cuaca dan kesehatan serta kondisi dari ternak yang diangkut. Pada kondisi stres transportasi, aktivitas adrenokortikoid meningkat dan ditunjukkan dengan adanya peningkatan kadar kortisol. Kadar glukokortikoid dalam darah merupakan salah satu indikator (good

index) untuk melihat respon hewan terhadap perubahan lingkungan. Kenaikan

kadar kortisol dalam darah sangat bervariasi sehingga sulit untuk menggunakan perbandingan yang mutlak dari berbagai hasil penelitian. Nilai tertinggi yang dicapai kortisol saat stres tergantung pada konsentrasi awalnya.

Faktor stres transportasi ada dua macam yaitu faktor short-acting yang cenderung mempunyai efek emosional ternak dan faktor long-acting yang mengakibatkan efek fisik dan bersifat akumulatif dari waktu ke waktu. Faktor

short-acting meliputi kondisi ternak yang ketakutan karena posisi berdiri yang

(26)

14

pengangkut tidak seimbang dan saat berpijak harus berdesakan dengan ternak lain. Faktor long-acting meliputi suara gaduh, getaran, kontak langsung dengan kendaraan pengangkut atau ternak lain, ternak yang berdiri lama karena lokasi tujuan yang jauh, tidak diberikan pakan dan air yang cukup, serta kelembapan dan temperatur lingkungan (Richardson 2005).

Efek stres pada ternak dapat terjadi sejak proses transportasi dimulai sampai transportasi selesai. Semakin lama proses transportasi tanpa pemberian pakan pada ternak dapat meningkatkan efek stres tersebut dan mengakibatkan perubahan metabolik pada tubuh ternak. Penurunan sistem kekebalan tubuh akibat stres juga menunjukkan efek samping berupa perubahan sistem metabolisme tubuh seperti aktivitas plasma kreatin kinase, perubahan jumlah leukosit serta rasio neutrofil dan limfosit yang pada akhirnya menyebabkan penyusutan bobot badan (Kannan

et al. 2000). Tidak hanya pada kerbau, stres akibat transportasi juga

mempengaruhi sistem fisiologis ternak lain. Menurut Fachrulrozi (2008), semakin lama jarak maka akan semakin besar persentase penyusutan bobot badan ternak kambing selama transportasi. Penelitian lain menyebutkan bahwa stres transportasi mengakibatkan perubahan pada metabolisme otot dan kualitas daging sapi (Odore et al. 2011), serta meningkatkan kejadian penyakit bovine respiratory

disease (Burdick 2011). Stres transportasi juga dapat berpengaruh pada

reproduksi. Menurut Breen dan Karsch (2004), kortisol dapat menekan pulsatile

luteinizing hormone. Hormon ini sangat mempengaruhi mekanisme siklus hormon

estrogen dan progesteron yang berperan penting dalam siklus estrus, sehingga apabila terjadi ketidakseimbangan hormon dalam tubuh maka proses reproduksi juga akan terganggu. Studi lain menyebutkan bahwa stres pada masa neo-natal menyebakan terjadinya penurunan jumlah oosit dan folikel primodial serta perubahan ukuran pada folikel primodial pada mamalia (Manjula & Yajurvedi 2011).

(27)

15

Cara Pengukuran Hormon di Darah

Radioimunoassay (RIA)

Metode RIA menggunakan antibodi yang spesifik terhadap hormon, lalu antibodi ini dalam jumlah kecil dicampur dengan cairan tubuh yang mengandung hormon yang akan diuji. Setelah itu dicampur dengan hormon standar yang sudah dipurifikasi dan ditandai dengan isotop radioaktif. Antibodi yang seharusnya mengikat hormon standar dilabel dengan radioaktif dan hormon yang terdapat dalam cairan tubuh, sehingga ketiga zat ini harus bersaing untuk dapat berikatan dengan antibodi. Setelah ikatan yang terbentuk mencapai keseimbangan, kompleks antibodi-hormon dipisahkan dari larutan, dan jumlah hormon yang dilabel radioaktif yang berikatan dengan antibodi dihitung menggunakan

radioactive counting technique. Jika jumlah hormon radioaktif yang berikatan

dengan antibodi tinggi, maka konsentrasi hormon dalam cairan tubuh sedikit. Sedangkan apabila jumlah hormon radioaktif yang berikatan dengan antibodi rendah, maka konsentrasi hormon dalam cairan tubuh tinggi (Guyton & Hall 2007).

Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

ELISA mengkombinasikan spesifitas antibodi dengan spesifitas enzim. Setiap sumur (well) dilapis dengan antibodi yang spesifik dengan hormon yang ingin diuji (AB1), lalu diikuti sampel atau standar, setelah itu antibodi yang spesifik terhadap hormon namun berikatan di binding sites yang lain (AB2), lalu antibodi ketiga (AB3) berlabel enzim yang mengenali AB2 dan merubah substrat menjadi produk. Perubahan ini dapat dideteksi dengan calorimetric dan

fluorescent optical method. Jumlah hormon yang terdapat pada sampel atau

standar proporsional dengan jumlah produk yang dihasilkan. ELISA lebih banyak digunakan karena tidak menggunakan isotop radioaktif, dapat mengerjakan sampel dalam jumlah banyak sekaligus (96 whales) dan lebih ekonomis dan cukup akurat (Guyton & Hall 2007).

(28)

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan selama dua bulan mulai bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2011 di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pengukuran kadar hormon kortisol dilakukan di Balai Penelitian Ternak (Balitnak), Ciawi Bogor.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah spuid, jarum suntik, tabung, es batu, cool box, dan lemari pendingin. Selain itu juga menggunakan cortisol kit, T3 kit, dan T4 kit

untuk mengetahui kadar hormon kortisol, hormon triiodotironin, dan hormon tiroksin dalam serum. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah serum dari darah kerbau.

Tahap Persiapan

Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini ialah kerbau rawa (Bubalus

bubalis) sebanyak empat ekor yang berjenis kelamin betina berumur sekitar 2

tahun. Kerbau penelitian diperoleh dari daerah Tenjolaya Kabupaten Bogor. Selama penelitian, kerbau percobaan dipelihara di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor di Dramaga.

Perkandangan, Pakan, dan Minum

Kandang penelitian yang digunakan ialah kandang individual. Setiap ekor kerbau menempati kandang yang berukuran 2 x 3 m. Lantai kandang terbuat dari semen. Sekat antarindividu berupa pagar yang terbuat dari besi. Kandang dibersihkan dua kali sehari, yaitu setiap pagi dan sore hari. Pakan yang diberikan ialah rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang berasal dari sekitar kandang. Sementara itu, air minum yang diberikan berasal dari sumur wilayah URR. Pakan dan air minum diletakkan pada tempat khusus sehingga tidak bercampur dengan

(29)

17

kotoran dan urin kerbau-kerbau tersebut. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari pada pagi dan sore hari (setelah kandang kerbau dibersihkan) sedangkan air minum diberikan ad libitum.

Tahap Pelaksanaan Perlakuan

Pada penelitian ini, kerbau penelitian mengalami transportasi sejauh 15 km selama 2 jam menggunakan truk bak terbuka berukuran 3 x 2 m. Selanjutnya selama lima belas hari pascatransportasi, kerbau dibiarkan beraktivitas normal di kandang URR sesuai dengan habitat aslinya di daerah Tenjolaya Bogor dan tidak diberikan perlakuan khusus (aklimatisasi). Aklimatisasi dilakukan untuk memberikan kesempatan bagi kerbau penelitian menyesuaikan diri terhadap perubahan habitat dan aktivitas.

Pada tahap ini, kerbau penelitian diberikan obat cacing Albenz-10® (2,5%) peroral dengan dosis 30 ml/ekor dan vitamin B kompleks. Tujuan pemberian obat cacing ialah agar penelitian ini tidak terpengaruh oleh parasit cacing. Kerbau penelitian dirawat dengan sistem perkandangan individu. Selain itu, kerbau penelitian sesekali digembalakan ke padang rumput untuk mencari makan sendiri. Kerbau hanya dikeluarkan dari kandang saat pengambilan darah pada pagi hari, selama satu jam. Kerbau dimandikan setiap pagi dan sore hari untuk mencegah dehidrasi.

Pengambilan Sampel

Pengambilan darah dilakukan secara teratur setiap pagi hari pukul 07.00 – 08.00 WIB selama 15 hari. Darah diambil sebanyak 5 ml dari Vena jugularis dan dimasukan dalam tabung steril. Kerbau diambil darahnya tanpa perlakuan apapun. Darah didiamkan selama beberapa menit untuk diambil serumnya. Setiap sampel darah dari tabung yang sudah keluar serumnya disimpan dalam cool box berisi es batu. Pengujian sampel serum dilakukan setelah semua pengambilan darah selama 15 hari selesai.

(30)

18

Analisis Sampel

Pengukuran kadar hormon menggunakan radioimunoassay (RIA) kit. Untuk mengetahui kadar hormon kortisol, maka serum dari sampel darah dianalisis dengan menggunakan cortisol [125I] RIA kit. Kit terdiri dari 1 vial tracer (kortisol yang dilabel dengan yodium), 6 vial standar, 1 vial antiserum, 1 vial serum kontrol, dan 2 kotak tube untuk sampel serum. Untuk mengetahui kadar hormon triiodotironin, serum dianalisis dengan menggunakan T3 [125I] RIA kit. Kit ini terdiri dari 1 botol 125I-tracer (dilabel dengan 125I-labelled T3), 1 botol antiserum, 6 vial standar, 1 vial serum kontrol, 2 kotak coated tube. Untuk mengetahui kadar hormon tiroksin, analisis serum menggunakan T4 [125I] RIA kit. Kit ini terdiri dari 1 botol 125I-tracer (dilabel dengan 125I-labelled T4), 1 botol antiserum, 6 vial standar, 1 vial serum kontrol, 2 kotak coated tube. Pengujian dilakukan di Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pembacaan hasil cortisol, T3, dan T4 kit dilakukan di Balai Penelitian Ternak (Balitnak), Ciawi Bogor.

Parameter

Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah kadar kortisol, kadar triiodotironin, dan kadar tiroksin dari serum darah empat kerbau betina mulai hari pertama sampai dengan hari kelima belas pascatransportasi. Untuk pengukuran hormon kortisol diukur setiap hari, sedangkan untuk pengukuran hormon triiodotironin dan tiroksin dilakukan pengukuran setiap dua hari sekali.

Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji analysis of variance (Anova) dan dilanjutkan uji Duncan.

(31)

19

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Kortisol Kerbau Penelitian Selama Lima Belas Hari Pascatransportasi

Ternak yang ditransportasikan akan terpapar oleh stressor psikologis (restraint, handling, dan keberadaan hewan lain) dan fisik (rasa lapar, haus, cedera, kepadatan dan kondisi cuaca). Menurut Hawari (2001), kondisi stres dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah dan emosi, peningkatan aktivitas syaraf simpatis, kekacauan psikologis, perubahan sistem hormonal, dan perubahan laju metabolisme. Berbagai stressor yang terdapat dalam transportasi ternak adalah handling, loading, saat perjalanan dalam kendaraan pengangkut, dan perpindahan ternak ke lingkungan baru. Salah satu indikator fisiologis yang umum dipakai dalam mengukur stres pascatransportasi adalah kadar hormon kortisol dalam darah.

Hasil pengukuran kadar kortisol serum menggunakan metode RIA menunjukkan adanya pengaruh transportasi terhadap kerbau penelitian yang ditunjukkan melalui kadar kortisol yang meningkat dari kadar kortisol normal literatur yaitu sebesar 1,5 µg/dl (Khan et al. 2003). Hal ini sesuai dengan hasil analisis ragam terhadap kadar metabolit kortisol yang menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (p<0,05). Dari hasil pengukuran serum juga dapat dilihat bahwa terjadi penurunan kadar kortisol selama lima belas hari pascatransportasi. Rataan dan simpangan baku kadar kortisol serum yang menggambarkan tingkat stres kerbau selama lima belas hari pascatransportasi disajikan dalam Tabel 3.

(32)

20

Tabel 3 Kadar metabolit kortisol empat kerbau penelitian selama lima belas hari pascatransportasi

Hari Rataan Kadar Kortisol ± Simpangan Baku

1 2,23a ± 1,06 2 0,59cd ± 0,13 3 0,78cd ± 0,29 4 1,02cb ± 0,41 5 0,58cd ± 0,10 6 0,52cd ± 0,19 7 0,46cd ± 0,13 8 0,56cd ± 0,30 9 0,57cd ± 0,16 10 0,44cd ± 0,18 11 0,31d ± 0,07 12 0,47cd ± 0,13 13 0,91cd ± 0,45 14 0,38d ± 0,17 15 0,72cd

Keterangan: Huruf superscript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05)

± 0,51

Nilai Normal 1,5b µg/dl (Khan et al. 2003)

Berdasarkan Tabel 3, kerbau penelitian yang mengalami transportasi menunjukkan peningkatan kadar kortisol dibandingkan dengan kadar kortisol normal literatur yaitu sebesar 1,5 µg/dl (Khan et al. 2003). Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa kadar kortisol tertinggi terjadi pada hari pertama yaitu pada saat hewan baru saja mengalami transportasi. Nilai kortisol pada hari pertama berbeda nyata bila dibandingkan dengan nilai normal kortisol dari literatur (Khan et al. 2003) dan bila dibandingkan terhadap hari-hari lain selama lima belas hari pascatransportasi. Hal ini sesuai dengan penelitian Kannan et al. (2000) yang mengatakan bahwa nilai kortisol akan mulai meningkat sejak preload (ternak dimasukkan ke dalam truk) dan mencapai puncaknya pada jam ke-0 yaitu saat

postload (saat tiba di tujuan), kadar kortisol lalu mulai menurun pada jam ke-1

dan mencapai level dasar 3 jam setelah transportasi. Selanjutnya hewan yang sudah dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan akan mengalami penurunan kadar kortisol (Puspitasari 2008).

(33)

21

Gambar 1 Kadar kortisol serum kerbau selama lima belas pascatransportasi (■)

0 0.5 1 1.5 2 2.5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Kad a r Kortis ol s eru m g/d L ) Waktu (Hari)

Peningkatan kadar kortisol darah disebabkan karena hewan merespon adanya stres transportasi meliputi jenis kendaraan yang digunakan, jumlah hewan yang ditransportasikan, jarak transportasi, panas, dan puasa. Keberadaan stressor

non-thermal seperti suara bising, goncangan, kekurangan pakan dan minum saat

transportasi juga akan meningkatkan kadar kortisol. Pada saat pengangkutan, 4 ekor kerbau penelitian diangkut menggunakan mobil bak terbuka berukuran 2 x 3 meter pada siang hari. Kerbau penelitian mengalami transportasi selama 2 jam dan menempuh jarak sejauh 15 kilometer. Proses transportasi demikian termasuk tipe

short transportation dan dapat menyebabkan kondisi stres pada kerbau penelitian.

Hal ini didukung oleh penelitian Honkavaara et al. (2003) yang menyatakan bahwa konsentrasi kortisol akan meningkat lebih tinggi dan turun secara signifikan pada transportasi dengan periode pendek (kurang lebih 1,5 jam) dibandingkan periode panjang (7-10 jam).

Dalam kondisi stres, kadar kortisol akan menjadi sangat tinggi dikarenakan adanya pengiriman rangsangan ke hipotalamus sehingga hipotalamus akan mensekresi CRH yang dapat merangsang hipofise untuk melepaskan ACTH. Dengan adanya peningkatan sekresi ACTH maka akan merangsang korteks adrenal untuk meningkatkan sekresi kortisol. Selain itu, kortisol akan tetap meningkat karena adanya hambatan negative feedback ke hipotalamus dan hipofise sehingga sekresi CRH dan ACTH tetap berlangsung. Normalnya pelepasan ACTH dari kelenjar hipofise anterior akan ditekan saat kadar glukokortikoid meningkat (negative feedback mechanism). Namun pada kondisi

(34)

22

stres hal ini tidak terjadi karena stressor dapat mengesampingkan negative

feedback mechanism. Negative feedback yang muncul saat awal-awal stres

mengurangi ketersediaan Ca2+ di intraselular hipofise anterior sehingga pelepasan ACTH harusnya dihambat, namun pelepasan AVP tidak terpengaruh oleh mekanisme negative feedback tersebut, akibatnya kadar AVP tetap sehingga tetap merangsang sel-sel kortikotropik di pars distalis hipothalamus yang mengakibatkan pelepasan CRH ke kelenjar hipofise anterior tetap berlangsung, akibatnya pelepasan glukokortikoid dari korteks adrenal tetap berlangsung (Norris 2010).

Dari grafik juga dapat dilihat bahwa penurunan kortisol dimulai sejak hari kedua pascatransportasi. Penurunan kortisol pascatransportasi dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: Pertama, hal ini dimungkinkan karena kerbau penelitian telah mengalami proses adaptasi sehingga sehingga tingkat stres menjadi menurun. Adaptasi merupakan suatu proses tanggapan fisiologis akibat adanya stimulus yang berulang (Clark et al. 1997). Dalam hal ini, kerbau penelitian mulai dapat beradaptasi terhadap lingkungan baru yakni dengan diberikan kandang individu sehingga setiap kerbau mulai menemukan zona nyamannya. Kedua, penurunan kadar kortisol disebabkan karena sekresi ß-endorphin sebagai respon terhadap stres. Mekanisme ini terjadi sebagai konsekuensi karena adanya mekanisme umpan balik untuk melawan rangsang yang terjadi berulang. Kondisi demikian menyebabkan hipofisis pars intermedia (Johnson & Everitt 1994) dan hipofisis pars anterior (Clark et al. 1997) mensekresikan ß-endorphin yang memiliki efek untuk menekan timbulnya stres (Brook & Marshall 1996).

Ketiga, penurunan kortisol dikarenakan kerbau penelitian tidak mendapat stimulus stres yang berulang akibat transportasi. Stimulus akibat transportasi tersebut menyebabkan proses stres berlangsung cepat dan segera menurun kembali. Hal tersebut dapat dihubungkan dengan kecepatan hipotalamus dalam menanggapi stimulus yang diberikan. Sutian (2005) menyatakan bahwa ketika stimulus tidak diberikan berulang maka sekresi kortisol akan menurun.

Kadar kortisol pada hari ketiga dan keempat terlihat meningkat kembali. Peningkatan kadar kortisol setelah terjadi penurunan, kemungkinan disebabkan terjadinya perubahan lingkungan yang mendadak yang belum dapat diatasi dengan

(35)

23

baik oleh kerbau penelitian. Perubahan yang terjadi yaitu perubahan kondisi habitat dari kerbau penelitian yang sebelumnya dibiarkan merumput di lahan luas berubah menjadi kandang berukuran 2 x 3 meter dan tidak terdapat interaksi bebas diantara kerbau-kerbau penelitian tersebut karena dibatasi oleh pagar kandang. Kebiasaan berkubang yang biasanya dilakukan oleh kerbau di daerah asalnya juga tidak dapat dilakukan secara bebas oleh kerbau penelitian. Pada hari-hari berikutnya terlihat bahwa kadar kortisol mulai kembali menurun bertahap. Jika dilihat secara keseluruhan, kadar kortisol cenderung fluktuatif. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan termasuk suhu dan kelembaban kandang yang tidak sama setiap harinya. Menurut Marai dan Haeeb (2010), perubahan suhu dapat menyebabkan perubahan fungsi biologis dari hewan termasuk penurunan nafsu makan, gangguan metabolisme dari sekresi hormon, reaksi enzim, dan metabolit darah.

Kadar Triiodotironin (T3) Kerbau Penelitian Selama Lima Belas Hari

Pascatransportasi

Hormon triiodotironin (T3) dibentuk dari perombakan hormon tiroksin (T4) yang disekresikan oleh kelenjar tiroid. Pembentukan T3 dapat terjadi di luar kelenjar tiroid dengan melibatkan enzim iodotironin-5’-deiodinase. Enzim ini tersebar pada berbagai organ tubuh, terutama pada hati dan usus kandungan enzim ini relatif besar (Nguyen et al. 2003). Menurut Todini (2007) tiroid yang beredar dalam tubuh dapat dianggap sebagai indikator status metabolik dan gizi hewan. Hasil pengukuran kadar hormon triiodotironin kerbau penelitian disajikan dalam Tabel 4.

(36)

24

Tabel 4 Kadar hormon triiodotironin (T3) empat kerbau penelitian selama lima belas hari pascatransportasi

Hari Rataan Triiodotironin ± Simpangan Baku

1 0,08cb ± 0,05

3 0,09b

Keterangan: Huruf superscript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05) ± 0,03 5 0,06cb ± 0,02 7 0,06cb ± 0,02 9 0,04c ± 0,02 11 0,04c ± 0,02 13 0,05cb ± 0,02 15 0,04c ± 0,02

Nilai Normal 0,16a µg/dl (Cinar & Selcuk 2005)

Dari hasil pengukuran kadar triiodotironin (T3) pada serum kerbau diperoleh hasil konsentrasi T3 yang fluktuatif yaitu meningkat sejak pengukuran pertama sampai pengukuran ke-2 pascatransportasi dan mulai menurun pada pengukuran hari ke-3 dan seterusnya. Dari pengujian statistik diperoleh nilai yang berbeda nyata (p<0,05) pada pengukuran pertama dan kedua dan apabila dibandingkan hari-hari lain.

0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.090.1 1 2 3 4 5 6 7 8 Kadar T 3 (µg/dL) Waktu (hari)

Gambar 2 Kadar triiodotironin serum empat kerbau penelitian selama lima belas hari pascatransportasi (■)

Pada Gambar 2 terlihat terjadi kenaikan pada hari kedua diikuti penurunan pada hari berikutnya. Hasil pengukuran demikian dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu Pertama, pada saat proses transportasi hewan seringkali dipuasakan dan tidak diberi minum sehingga tubuh menjadi kekurangan sumber energi. Untuk

(37)

25

memenuhi kebutuhan energi tubuh maka terjadi perombakan cadangan energi dalam tubuh atau disebut dengan glukoneogenesis. Kondisi demikianlah yang akan meningkatkan kadar hormon T3 dalam tubuh. Seperti diketahui bahwa konsentrasi jumlah hormon T3 sangat berkaitan dengan kebutuhan energi dan keseimbangan gizi tubuh. Efek keseluruhan dari hormon T3 adalah untuk meningkatkan metabolik basal tubuh, untuk membuat lebih banyak glukosa tersedia ke sel, untuk merangsang sintesis protein, untuk meningkatkan metabolisme lipid dan untuk merangsang jantung dan saraf (Todini 2007). Oleh karena itu dengan terjadinya peningkatan hormon T3 maka akan terjadi peningkatan metabolisme basal tubuh untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh. Setelah kebutuhan tubuh terpenuhi, maka kadar hormon T3 dalam tubuh akan berangsur-angsur menurun. Kedua, pada saat transportasi hewan mengalami stres yang berakibat pada meningkatnya hormon kortisol sehingga tubuh akan berusaha untuk mengkompensasi stres akut yang terjadi agar tidak menjadi semakin parah yakni dengan mengatur proses metabolisme tubuh sehingga konsentrasi T3 menjadi meningkat. Sementara itu, penurunan yang terjadi setelah hari kedua kemungkinan disebabkan karena hewan telah mampu beradaptasi dengan lingkungan baru, dan juga karena tubuh telah kembali pada metabolisme basal normal karena asupan energi yang cukup.

Kadar Tiroksin (T4) Kerbau Penelitian Selama Lima Belas Hari

Pascatransportasi

Hormon tiroksin (T4) atau tetraiodotironin merupakan hormon tiroid yang terdapat dalam jumlah banyak namun dalam bentuk yang belum aktif (Guyton & Hall 2007). Mayoritas hormon aktif metabolisme yang disekresikan oleh kelenjar tiroid adalah hormon tiroksin dan sisanya adalah triiodotironin. Namun pada akhirnya semua tiroksin akan diubah melalui proses deiodinasi menggunakan enzin 5’-deiodinase menjadi bentuk aktif triiodotironin (Hernandez & Germain 2003). Hasil pengukuran kadar hormon tiroksin kerbau penelitian disajikan dalam Tabel 5.

(38)

26

Tabel 5 Kadar hormon tiroksin empat kerbau penelitian selama lima belas hari pascatransportasi

Hari Rataan Tiroksin ± Simpangan Baku

1 4,21b ± 1,17 3 3,65cb ± 0,39 5 2,75cd ± 1,53 7 2,77cd ± 0,75 9 2,11d ± 1,11 11 2,14d ± 0,81 13 2,29cd ± 0,80 15 1,87d ± 0,73

Nilai Normal 6,22 µg/dl (Cinar & Selcuk 2005) a Keterangan: Hur superscript berbeda pada kolom yan e kan nilai berbeda nyata

(p<0,05)

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa penurunan kadar T4 dimulai sejak pengukuran kedua pascatransportasi. Dari hasil pengujian statistik, penurunan

ahwa kada on tiroksin menurun secara signifikan dan menggambarkan bahw

Gambar 3 Kadar tiroksin serum empat kerbau selama lima belas hari pascatransportasi (■)

Kadar T4 tertinggi pascatransportasi terjadi pada hari pertama, namun nilainya lebih rendah apabila dibandingkan dengan kadar normal T4 yaitu sebesar 6,22 µg/dl (Cinar & Selcuk 2005). Tingginya kadar T pada hari pertama

transportasi, kerbau penelitian diangkut menggunakan truk pengangkut terbuka

uf g sama m nunjuk

yang terjadi pada hari kedua menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05) dibandingkan dengan hari pertama pengambilan sampel. Hal ini menunjukkan

r horm b

a kondisi stres akibat transportasi mulai berkurang.

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 Kadar T 4 (µg/dL ) 1 2 3 4 5 6 7 8 Waktu (hari) 4

(39)

27 deng d w b d erhadap lingk

ormon kortisol yang dijela

an ukuran 2 x 3 meter dan empat ekor kerbau diangkut dengan kondisi berdesakan sehingga kondisi demikian dapat memicu stres akut. Hal ini diperkuat oleh Friedman et al. (1999) dalam studinya yang menyatakan bahwa tingkat hormon tiroid dapat berubah dengan cepat dalam menanggapi stres akut.

Selama lima belas pascatransportasi, diperoleh penurunan T4 yang signifikan imulai dari hari kedua sampai hari terakhir pengukuran kadar T4. Pada rentang aktu ini, kerbau diistirahatkan dan dikandangkan tanpa melakukan aktivitas erat serta dibiarkan beraktivitas bebas di dalam kandang. Sehingga kondisi emikian dapat memudahkan kerbau penelitian untuk menyesuaikan diri t

ungan barunya dan menemukan kondisi homestasisnya.

Hasil perbandingan antara kedua hormon tiroid tersebut (T3 dan T4) menunjukkan adanya perbedaan kadar masing-masing hormon pada hari kedua. Dari grafik dapat dilihat bahwa hormon triiodotironin (T3) mengalami peningkatan sementara hormon tiroksin (T4) mengalami penurunan. Kondisi demikian juga dapat dikaitkan dengan adanya peningkatan h

skan sebagai berikut: pada saat kerbau penelitian tiba di tempat baru setelah mengalami transportasi, terjadi peningkatan kadar hormon kortisol. Hormon kortisol memiliki efek metabolik yakni dapat merangsang proses glukoneogenesis dan mempercepat prosesnya sebesar 6-10 kali lipat (Guyton & Hall 2007). Selain itu kondisi kerbau penelitian yang tidak diberi makan dan minum selama transportasi menyebabkan tubuh kekurangan sumber energi sehingga memacu proses glukoneogenesis dan meningkatkan kadar hormon tiroid. Karena stres yang terjadi bersifat akut, maka efek peningkatan akan terlihat setelah stimulus stres dalam hal ini transportasi dilakukan. Namun kadar hormon T4 justru mengalami penurunan pada hari kedua. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya proses perubahan dari hormon T4 yang belum aktif menjadi hormon yang lebih aktif yaitu hormon T3. Kondisi ini didukung oleh Christiansen et al. (2007) yang menyatakan bahwa peningkatan T3 atau penurunan T4 dapat terjadi karena konversi dari T4 menjadi T3 dengan bentuk yang lebih aktif. Astuti et al (2009) menambahkan bahwa peningkatan kadar T3 akan diikuti oleh penurunan kadar T4. Oleh karena itu, hasil pengukuran hormon T3 mengalami peningkatan pada hari kedua sementara hormon T4 mengalami penurunan karena pada hari-hari awal

(40)

28

i pertama) sampai lima belas hari pascatransportasi sehingga pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan kandang kerbau penelitian

Tabel

(µg/dL) (µg/dL) setelah transportasi, stres yang dialami oleh kerbau penelitian sangat tinggi, hormon kortisol meningkat, dan proses glukoneogenesis juga mengalami peningkatan karena asupan energi yang kurang, sehingga hormon T4 yang semula tidak aktif mengalami konversi menjadi bentuk yang lebih aktif untuk membantu proses metabolisme tubuh.

Respon Hormon Kortisol, Triiodotironin, dan Tiroksin pada Suhu dan Kelembaban Lingkungan yang Berbeda

Secara garis besar, gambaran waktu dalam penelitian ini dimulai setelah transportasi dilakukan (har

diukur selama lima belas hari, disajikan pada Tabel 6.

6 Hormon kortisol, triiodotironin, dan tiroksin pada suhu dan kelembaban lingkungan kandang selama lima belas hari masa adaptasi Hari Suhu (°C) Kelembaban (%) Kortisol (µg/dL) T3 T4 1 27,5 82 2,23a 0,08cb 4,21b 2 24,5 91 0,59cd 3 25 91 0,78cd 0,09b 4 5 24 91 0,58cd 0,06 2,75 3,65cb 26,5 84 1,02cb cb cd 7 6 28 70 0,52cd 28 85 0,46cd 0,06cb 2,77cd 0,04c 2,11 8 27 77 0,56cd 9 26 84 0,57cd d 2 0,04c 2,14 10 6,5 84 0,44cd 11 23,5 91 0,31d d 2 0,05cb 2,29c 12 25 92 0,47cd 13 4,5 84 0,91cd d 0,04c 1,87 14 25 92 0,38d 15 25 92 0,72cd d Rataan   25,7 86

Ketera Huruf cript berbe da kolom ya menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,0

dasarka bel diatas dapat dilih bungan a suhu

kelem an ling an terhad kadar hormon kortisol, triiodotironin, dan

ngan: supers da pa ng sama

5)

Ber n ta at hu antar dan

(41)

29

tirok kerb nelitian selama lima belas hari pascatransportasi. Dari hasil

kelem aban sekitar kandang adalah 86%. Bila dilihat hubungan antara suhu dan kadar

masuk glukosa yang dibutuhkan oleh berbagai jaringan tubuh

us. Bila pusat suhu

sin dari au pe

pengukuran dapat dihitung bahwa rataan suhu adalah sebesar 25,7 °C dan rataan b

hormon kortisol terlihat bahwa pada suhu pada hari pertama relatif tinggi diatas rata-rata yaitu 25,7 °C dan diikuti dengan kadar kortisol yang tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa suhu lingkungan yang tinggi dapat menyebabkan

heat stress. Heat stress merupakan tekanan yang diakibatkan oleh suhu

lingkungan kandang yang berada diatas zona nyaman tubuh atau suhu yang fluktuatif. Faktor yang terkait dengan heat stress dan dapat mempengaruhi kondisi fisiologis adalah suhu lingkungan, kelembaban relatif (% RH) dan energi radiasi. Kelembaban lingkungan yang tinggi dapat memperburuk kondisi heat stress (Marai & Haeeb 2010).

Menurut Marai dan Haeeb (2010), kadar hormon kortisol akan mengalami peningkatan selama kondisi heat stress akut. Hal ini dikarenakan glukokortikoid dapat menyebabkan pengangkutan asam amino dan lemak dari cadangan sel-sel tubuh sehingga dapat segera digunakan sebagai sumber energi dan untuk proses sintesis senyawa lain ter

(glukoneogenesis) (Guyton & Hall 2007). Kondisi ini sejalan dengan meningkatnya kadar hormon T3 pada hari kedua karena adanya peningkatan proses metabolisme tubuh yang disertai meningkatnya konversi dari bentuk tidak aktif yaitu hormon T4 menjadi bentuk yang aktif T3 sehingga kadar T4 justru akan menurun pada hari kedua karena banyaknya konversi yang terjadi.

Sementara pada hari ketiga dan seterusnya perubahan suhu tidak terlalu berpengaruh pada kadar hormon kortisol, triiodotironin, dan tiroksin. Hal ini kemungkinan karena tubuh kerbau penelitian telah mampu beradaptasi terhadap lingkungannya. Secara normal tubuh memiliki mekanisme pengaturan suhu yang terjadi melalui pusat pengaturan suhu yang terletak di hipotalam

hipotalamus mendeteksi bahwa suhu tubuh terlalu panas atau terlalu dingin, hipotalamus akan memberikan prosedur penurunan atau peningkatan suhu yang sesuai agar dapat kembali pada kondisi homeostasisnya (Guyton & Hall 2007). Kondisi demikianlah yang terjadi ketika suhu lingkungan kandang kerbau

(42)

30

penelitian mengalami perubahan yang fluktuatif, secara alami tubuh akan berusaha mengatur kembali suhu tubuh melalui mekanisme termoregulator.

(43)

1  

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Simpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Kadar hormon kortisol, triiodotironin (T3), dan tiroksin (T4) dapat digunakan sebagai indikator stres pada kerbau yang mengalami stres akibat transportasi.

2. Kadar hormon kortisol dan tiroksin (T4) tertinggi terjadi pada hari pertama yaitu pada hari terjadinya transportasi akibat stres akut dan mulai menurun pada hari kedua pascatransportasi.

3. Peningkatan kadar triiodotironin (T3) pada hari kedua karena adanya konversi bentuk tidak aktif (T4) menjadi bentuk aktif (T3).

4. Suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi mempengaruhi peningkatan kadar kortisol, triiodotironin (T3), dan tiroksin (T4).

Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan agar pada saat proses pengangkutan hewan sebaiknya memperhatikan aspek animal welfare sehingga dapat meminimalkan tingkat stres transportasi. Ternak yang ditransportasikan sebaiknya diberikan kesempatan untuk beradaptasi terhadap lingkungan barunya agar tubuh hewan dapat kembali pada kondisi homeostasisnya.

             

(44)

DAFTAR PUSTAKA

Adhiarta IGN, Soetedjo N. 2009. Krisis Adrenal. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Sub Bagian Endokrinologi dan Metabolisme Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS. Hasan Sadikin.

Altiner A. 2006. Study of serum growth hormone, 3,5,3’-triiodothyronin, thyroxin, total protein and fatty acids levels during parturation and early lactation in ewe.

Bull Vet Inst Pulawy 50:85-87.

Astuti P, Sarmin, Asmarani K, Claude MA, Hera M, Sjahfirdi L. 2009. Comparison level of cortisol dan ratio of neutrophil/lymphocytes as acute stress marker to long road transportation of bligon bucks. Di dalam: Widagdo SN, editor. One

World One Health Challenge: Global movement on Zoonotic Disease. Proceedings of the International Seminar on Zoonotic and Tropical Disease;

Yogyakarta, 26-27 June 2009. Yogyakarta: Faculty of Veterinary Medicine University of Gadjah Mada. hlm 57-60.

Breen KM, Karsch FJ. 2004. Does cortisol inhibit pulsatile luteinizing hormone secretion at the hypothalamic or pituitary level?. Endocrinol 145(2):692–698. Borell EHV. 2001. The biology of stress and its application to livestock housing and

transportation assessment. J Anim Sci 79:260–267.

Burdick NC, Carroll JA, Randel R, Willard S, Vann R, Chase CC, Lawhon S, Hulbert LE, Welsh JT. 2011. Influence of temperament and transportation on physiological and endocrinological parameters in bulls. Livestock Sci 139:213– 221.

[CARC] Canadian Agri-Food Research Council. 2001. Recommended code of

practice for the care and handling of farm animals: Transportation. Canada:

Canadian Food Inspection Agency.

Chambers PG, Grandin. 2001. Guidelines for Humane Handling, Transport, and

Slaughter of Livestock. http://www.fao.org [9 Maret 2012].

Christiansen JJ, Djurhuus CB, Gravholt CH, Iversen P, Christiansen JS, Schmitz O, Weeke J, Jørgensen JOL, Møller N. 2007. Effect of cortisol on carbohydrate, lipid, and protein metabolism: studies of acute cortisol withdrawal in adrenocortical failure. J Clin Endrocr Metab 92(9):3553-3559.

Cinar A, Selcuk M. 2005. Effects of chronic fluorosis on thyroxine, triiodothyronine, and protein-bound iodine in cows. Fluoride 38(1):65–68.

Gambar

Tabel 1  Data biologis kerbau (Smith &amp; Soesanto 1988)
Tabel 3  Kadar metabolit kortisol empat kerbau penelitian selama lima belas  hari pascatransportasi
Tabel 4   Kadar hormon triiodotironin (T 3 ) empat kerbau penelitian selama lima  belas hari pascatransportasi
Tabel 5   Kadar hormon tiroksin empat kerbau penelitian selama lima belas hari  pascatransportasi

Referensi

Dokumen terkait