• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kadar Kortisol Kerbau Penelitian Selama Lima Belas Hari Pascatransportasi

Ternak yang ditransportasikan akan terpapar oleh stressor psikologis (restraint, handling, dan keberadaan hewan lain) dan fisik (rasa lapar, haus, cedera, kepadatan dan kondisi cuaca). Menurut Hawari (2001), kondisi stres dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah dan emosi, peningkatan aktivitas syaraf simpatis, kekacauan psikologis, perubahan sistem hormonal, dan perubahan laju metabolisme. Berbagai stressor yang terdapat dalam transportasi ternak adalah handling, loading, saat perjalanan dalam kendaraan pengangkut, dan perpindahan ternak ke lingkungan baru. Salah satu indikator fisiologis yang umum dipakai dalam mengukur stres pascatransportasi adalah kadar hormon kortisol dalam darah.

Hasil pengukuran kadar kortisol serum menggunakan metode RIA menunjukkan adanya pengaruh transportasi terhadap kerbau penelitian yang ditunjukkan melalui kadar kortisol yang meningkat dari kadar kortisol normal literatur yaitu sebesar 1,5 µg/dl (Khan et al. 2003). Hal ini sesuai dengan hasil analisis ragam terhadap kadar metabolit kortisol yang menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (p<0,05). Dari hasil pengukuran serum juga dapat dilihat bahwa terjadi penurunan kadar kortisol selama lima belas hari pascatransportasi. Rataan dan simpangan baku kadar kortisol serum yang menggambarkan tingkat stres kerbau selama lima belas hari pascatransportasi disajikan dalam Tabel 3.

20

Tabel 3 Kadar metabolit kortisol empat kerbau penelitian selama lima belas hari pascatransportasi

Hari Rataan Kadar Kortisol ± Simpangan Baku

1 2,23a ± 1,06 2 0,59cd ± 0,13 3 0,78cd ± 0,29 4 1,02cb ± 0,41 5 0,58cd ± 0,10 6 0,52cd ± 0,19 7 0,46cd ± 0,13 8 0,56cd ± 0,30 9 0,57cd ± 0,16 10 0,44cd ± 0,18 11 0,31d ± 0,07 12 0,47cd ± 0,13 13 0,91cd ± 0,45 14 0,38d ± 0,17 15 0,72cd

Keterangan: Huruf superscript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05)

± 0,51

Nilai Normal 1,5b µg/dl (Khan et al. 2003)

Berdasarkan Tabel 3, kerbau penelitian yang mengalami transportasi menunjukkan peningkatan kadar kortisol dibandingkan dengan kadar kortisol normal literatur yaitu sebesar 1,5 µg/dl (Khan et al. 2003). Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa kadar kortisol tertinggi terjadi pada hari pertama yaitu pada saat hewan baru saja mengalami transportasi. Nilai kortisol pada hari pertama berbeda nyata bila dibandingkan dengan nilai normal kortisol dari literatur (Khan et al. 2003) dan bila dibandingkan terhadap hari-hari lain selama lima belas hari pascatransportasi. Hal ini sesuai dengan penelitian Kannan et al. (2000) yang mengatakan bahwa nilai kortisol akan mulai meningkat sejak preload (ternak dimasukkan ke dalam truk) dan mencapai puncaknya pada jam ke-0 yaitu saat

postload (saat tiba di tujuan), kadar kortisol lalu mulai menurun pada jam ke-1

dan mencapai level dasar 3 jam setelah transportasi. Selanjutnya hewan yang sudah dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan akan mengalami penurunan kadar kortisol (Puspitasari 2008).

21

Gambar 1 Kadar kortisol serum kerbau selama lima belas pascatransportasi (■)

0 0.5 1 1.5 2 2.5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Kad a r Kortis ol s eru m g/d L ) Waktu (Hari)

Peningkatan kadar kortisol darah disebabkan karena hewan merespon adanya stres transportasi meliputi jenis kendaraan yang digunakan, jumlah hewan yang ditransportasikan, jarak transportasi, panas, dan puasa. Keberadaan stressor

non-thermal seperti suara bising, goncangan, kekurangan pakan dan minum saat

transportasi juga akan meningkatkan kadar kortisol. Pada saat pengangkutan, 4 ekor kerbau penelitian diangkut menggunakan mobil bak terbuka berukuran 2 x 3 meter pada siang hari. Kerbau penelitian mengalami transportasi selama 2 jam dan menempuh jarak sejauh 15 kilometer. Proses transportasi demikian termasuk tipe

short transportation dan dapat menyebabkan kondisi stres pada kerbau penelitian.

Hal ini didukung oleh penelitian Honkavaara et al. (2003) yang menyatakan bahwa konsentrasi kortisol akan meningkat lebih tinggi dan turun secara signifikan pada transportasi dengan periode pendek (kurang lebih 1,5 jam) dibandingkan periode panjang (7-10 jam).

Dalam kondisi stres, kadar kortisol akan menjadi sangat tinggi dikarenakan adanya pengiriman rangsangan ke hipotalamus sehingga hipotalamus akan mensekresi CRH yang dapat merangsang hipofise untuk melepaskan ACTH. Dengan adanya peningkatan sekresi ACTH maka akan merangsang korteks adrenal untuk meningkatkan sekresi kortisol. Selain itu, kortisol akan tetap meningkat karena adanya hambatan negative feedback ke hipotalamus dan hipofise sehingga sekresi CRH dan ACTH tetap berlangsung. Normalnya pelepasan ACTH dari kelenjar hipofise anterior akan ditekan saat kadar glukokortikoid meningkat (negative feedback mechanism). Namun pada kondisi

22

stres hal ini tidak terjadi karena stressor dapat mengesampingkan negative

feedback mechanism. Negative feedback yang muncul saat awal-awal stres

mengurangi ketersediaan Ca2+ di intraselular hipofise anterior sehingga pelepasan ACTH harusnya dihambat, namun pelepasan AVP tidak terpengaruh oleh mekanisme negative feedback tersebut, akibatnya kadar AVP tetap sehingga tetap merangsang sel-sel kortikotropik di pars distalis hipothalamus yang mengakibatkan pelepasan CRH ke kelenjar hipofise anterior tetap berlangsung, akibatnya pelepasan glukokortikoid dari korteks adrenal tetap berlangsung (Norris 2010).

Dari grafik juga dapat dilihat bahwa penurunan kortisol dimulai sejak hari kedua pascatransportasi. Penurunan kortisol pascatransportasi dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: Pertama, hal ini dimungkinkan karena kerbau penelitian telah mengalami proses adaptasi sehingga sehingga tingkat stres menjadi menurun. Adaptasi merupakan suatu proses tanggapan fisiologis akibat adanya stimulus yang berulang (Clark et al. 1997). Dalam hal ini, kerbau penelitian mulai dapat beradaptasi terhadap lingkungan baru yakni dengan diberikan kandang individu sehingga setiap kerbau mulai menemukan zona nyamannya. Kedua, penurunan kadar kortisol disebabkan karena sekresi ß-endorphin sebagai respon terhadap stres. Mekanisme ini terjadi sebagai konsekuensi karena adanya mekanisme umpan balik untuk melawan rangsang yang terjadi berulang. Kondisi demikian menyebabkan hipofisis pars intermedia (Johnson & Everitt 1994) dan hipofisis pars anterior (Clark et al. 1997) mensekresikan ß-endorphin yang memiliki efek untuk menekan timbulnya stres (Brook & Marshall 1996).

Ketiga, penurunan kortisol dikarenakan kerbau penelitian tidak mendapat stimulus stres yang berulang akibat transportasi. Stimulus akibat transportasi tersebut menyebabkan proses stres berlangsung cepat dan segera menurun kembali. Hal tersebut dapat dihubungkan dengan kecepatan hipotalamus dalam menanggapi stimulus yang diberikan. Sutian (2005) menyatakan bahwa ketika stimulus tidak diberikan berulang maka sekresi kortisol akan menurun.

Kadar kortisol pada hari ketiga dan keempat terlihat meningkat kembali. Peningkatan kadar kortisol setelah terjadi penurunan, kemungkinan disebabkan terjadinya perubahan lingkungan yang mendadak yang belum dapat diatasi dengan

23

baik oleh kerbau penelitian. Perubahan yang terjadi yaitu perubahan kondisi habitat dari kerbau penelitian yang sebelumnya dibiarkan merumput di lahan luas berubah menjadi kandang berukuran 2 x 3 meter dan tidak terdapat interaksi bebas diantara kerbau-kerbau penelitian tersebut karena dibatasi oleh pagar kandang. Kebiasaan berkubang yang biasanya dilakukan oleh kerbau di daerah asalnya juga tidak dapat dilakukan secara bebas oleh kerbau penelitian. Pada hari-hari berikutnya terlihat bahwa kadar kortisol mulai kembali menurun bertahap. Jika dilihat secara keseluruhan, kadar kortisol cenderung fluktuatif. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan termasuk suhu dan kelembaban kandang yang tidak sama setiap harinya. Menurut Marai dan Haeeb (2010), perubahan suhu dapat menyebabkan perubahan fungsi biologis dari hewan termasuk penurunan nafsu makan, gangguan metabolisme dari sekresi hormon, reaksi enzim, dan metabolit darah.

Kadar Triiodotironin (T3) Kerbau Penelitian Selama Lima Belas Hari Pascatransportasi

Hormon triiodotironin (T3) dibentuk dari perombakan hormon tiroksin (T4) yang disekresikan oleh kelenjar tiroid. Pembentukan T3 dapat terjadi di luar kelenjar tiroid dengan melibatkan enzim iodotironin-5’-deiodinase. Enzim ini tersebar pada berbagai organ tubuh, terutama pada hati dan usus kandungan enzim ini relatif besar (Nguyen et al. 2003). Menurut Todini (2007) tiroid yang beredar dalam tubuh dapat dianggap sebagai indikator status metabolik dan gizi hewan. Hasil pengukuran kadar hormon triiodotironin kerbau penelitian disajikan dalam Tabel 4.

24

Tabel 4 Kadar hormon triiodotironin (T3) empat kerbau penelitian selama lima belas hari pascatransportasi

Hari Rataan Triiodotironin ± Simpangan Baku

1 0,08cb ± 0,05

3 0,09b

Keterangan: Huruf superscript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05) ± 0,03 5 0,06cb ± 0,02 7 0,06cb ± 0,02 9 0,04c ± 0,02 11 0,04c ± 0,02 13 0,05cb ± 0,02 15 0,04c ± 0,02

Nilai Normal 0,16a µg/dl (Cinar & Selcuk 2005)

Dari hasil pengukuran kadar triiodotironin (T3) pada serum kerbau diperoleh hasil konsentrasi T3 yang fluktuatif yaitu meningkat sejak pengukuran pertama sampai pengukuran ke-2 pascatransportasi dan mulai menurun pada pengukuran hari ke-3 dan seterusnya. Dari pengujian statistik diperoleh nilai yang berbeda nyata (p<0,05) pada pengukuran pertama dan kedua dan apabila dibandingkan hari-hari lain.

0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.090.1 1 2 3 4 5 6 7 8 Kadar T 3 (µg/dL) Waktu (hari)

Gambar 2 Kadar triiodotironin serum empat kerbau penelitian selama lima belas hari pascatransportasi (■)

Pada Gambar 2 terlihat terjadi kenaikan pada hari kedua diikuti penurunan pada hari berikutnya. Hasil pengukuran demikian dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu Pertama, pada saat proses transportasi hewan seringkali dipuasakan dan tidak diberi minum sehingga tubuh menjadi kekurangan sumber energi. Untuk

25

memenuhi kebutuhan energi tubuh maka terjadi perombakan cadangan energi dalam tubuh atau disebut dengan glukoneogenesis. Kondisi demikianlah yang akan meningkatkan kadar hormon T3 dalam tubuh. Seperti diketahui bahwa konsentrasi jumlah hormon T3 sangat berkaitan dengan kebutuhan energi dan keseimbangan gizi tubuh. Efek keseluruhan dari hormon T3 adalah untuk meningkatkan metabolik basal tubuh, untuk membuat lebih banyak glukosa tersedia ke sel, untuk merangsang sintesis protein, untuk meningkatkan metabolisme lipid dan untuk merangsang jantung dan saraf (Todini 2007). Oleh karena itu dengan terjadinya peningkatan hormon T3 maka akan terjadi peningkatan metabolisme basal tubuh untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh. Setelah kebutuhan tubuh terpenuhi, maka kadar hormon T3 dalam tubuh akan berangsur-angsur menurun. Kedua, pada saat transportasi hewan mengalami stres yang berakibat pada meningkatnya hormon kortisol sehingga tubuh akan berusaha untuk mengkompensasi stres akut yang terjadi agar tidak menjadi semakin parah yakni dengan mengatur proses metabolisme tubuh sehingga konsentrasi T3 menjadi meningkat. Sementara itu, penurunan yang terjadi setelah hari kedua kemungkinan disebabkan karena hewan telah mampu beradaptasi dengan lingkungan baru, dan juga karena tubuh telah kembali pada metabolisme basal normal karena asupan energi yang cukup.

Kadar Tiroksin (T4) Kerbau Penelitian Selama Lima Belas Hari Pascatransportasi

Hormon tiroksin (T4) atau tetraiodotironin merupakan hormon tiroid yang terdapat dalam jumlah banyak namun dalam bentuk yang belum aktif (Guyton & Hall 2007). Mayoritas hormon aktif metabolisme yang disekresikan oleh kelenjar tiroid adalah hormon tiroksin dan sisanya adalah triiodotironin. Namun pada akhirnya semua tiroksin akan diubah melalui proses deiodinasi menggunakan enzin 5’-deiodinase menjadi bentuk aktif triiodotironin (Hernandez & Germain 2003). Hasil pengukuran kadar hormon tiroksin kerbau penelitian disajikan dalam Tabel 5.

26

Tabel 5 Kadar hormon tiroksin empat kerbau penelitian selama lima belas hari pascatransportasi

Hari Rataan Tiroksin ± Simpangan Baku

1 4,21b ± 1,17 3 3,65cb ± 0,39 5 2,75cd ± 1,53 7 2,77cd ± 0,75 9 2,11d ± 1,11 11 2,14d ± 0,81 13 2,29cd ± 0,80 15 1,87d ± 0,73

Nilai Normal 6,22 µg/dl (Cinar & Selcuk 2005) a Keterangan: Hur superscript berbeda pada kolom yan e kan nilai berbeda nyata

(p<0,05)

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa penurunan kadar T4 dimulai sejak pengukuran kedua pascatransportasi. Dari hasil pengujian statistik, penurunan

ahwa kada on tiroksin menurun secara signifikan dan menggambarkan bahw

Gambar 3 Kadar tiroksin serum empat kerbau selama lima belas hari pascatransportasi (■)

Kadar T4 tertinggi pascatransportasi terjadi pada hari pertama, namun nilainya lebih rendah apabila dibandingkan dengan kadar normal T4 yaitu sebesar 6,22 µg/dl (Cinar & Selcuk 2005). Tingginya kadar T pada hari pertama

transportasi, kerbau penelitian diangkut menggunakan truk pengangkut terbuka

uf g sama m nunjuk

yang terjadi pada hari kedua menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05) dibandingkan dengan hari pertama pengambilan sampel. Hal ini menunjukkan

r horm b

a kondisi stres akibat transportasi mulai berkurang.

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 Kadar T 4 (µg/dL ) 1 2 3 4 5 6 7 8 Waktu (hari) 4

27 deng d w b d erhadap lingk

ormon kortisol yang dijela

an ukuran 2 x 3 meter dan empat ekor kerbau diangkut dengan kondisi berdesakan sehingga kondisi demikian dapat memicu stres akut. Hal ini diperkuat oleh Friedman et al. (1999) dalam studinya yang menyatakan bahwa tingkat hormon tiroid dapat berubah dengan cepat dalam menanggapi stres akut.

Selama lima belas pascatransportasi, diperoleh penurunan T4 yang signifikan imulai dari hari kedua sampai hari terakhir pengukuran kadar T4. Pada rentang aktu ini, kerbau diistirahatkan dan dikandangkan tanpa melakukan aktivitas erat serta dibiarkan beraktivitas bebas di dalam kandang. Sehingga kondisi emikian dapat memudahkan kerbau penelitian untuk menyesuaikan diri t

ungan barunya dan menemukan kondisi homestasisnya.

Hasil perbandingan antara kedua hormon tiroid tersebut (T3 dan T4) menunjukkan adanya perbedaan kadar masing-masing hormon pada hari kedua. Dari grafik dapat dilihat bahwa hormon triiodotironin (T3) mengalami peningkatan sementara hormon tiroksin (T4) mengalami penurunan. Kondisi demikian juga dapat dikaitkan dengan adanya peningkatan h

skan sebagai berikut: pada saat kerbau penelitian tiba di tempat baru setelah mengalami transportasi, terjadi peningkatan kadar hormon kortisol. Hormon kortisol memiliki efek metabolik yakni dapat merangsang proses glukoneogenesis dan mempercepat prosesnya sebesar 6-10 kali lipat (Guyton & Hall 2007). Selain itu kondisi kerbau penelitian yang tidak diberi makan dan minum selama transportasi menyebabkan tubuh kekurangan sumber energi sehingga memacu proses glukoneogenesis dan meningkatkan kadar hormon tiroid. Karena stres yang terjadi bersifat akut, maka efek peningkatan akan terlihat setelah stimulus stres dalam hal ini transportasi dilakukan. Namun kadar hormon T4 justru mengalami penurunan pada hari kedua. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya proses perubahan dari hormon T4 yang belum aktif menjadi hormon yang lebih aktif yaitu hormon T3. Kondisi ini didukung oleh Christiansen et al. (2007) yang menyatakan bahwa peningkatan T3 atau penurunan T4 dapat terjadi karena konversi dari T4 menjadi T3 dengan bentuk yang lebih aktif. Astuti et al (2009) menambahkan bahwa peningkatan kadar T3 akan diikuti oleh penurunan kadar T4. Oleh karena itu, hasil pengukuran hormon T3 mengalami peningkatan pada hari kedua sementara hormon T4 mengalami penurunan karena pada hari-hari awal

28

i pertama) sampai lima belas hari pascatransportasi sehingga pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan kandang kerbau penelitian

Tabel

(µg/dL) (µg/dL) setelah transportasi, stres yang dialami oleh kerbau penelitian sangat tinggi, hormon kortisol meningkat, dan proses glukoneogenesis juga mengalami peningkatan karena asupan energi yang kurang, sehingga hormon T4 yang semula tidak aktif mengalami konversi menjadi bentuk yang lebih aktif untuk membantu proses metabolisme tubuh.

Respon Hormon Kortisol, Triiodotironin, dan Tiroksin pada Suhu dan Kelembaban Lingkungan yang Berbeda

Secara garis besar, gambaran waktu dalam penelitian ini dimulai setelah transportasi dilakukan (har

diukur selama lima belas hari, disajikan pada Tabel 6.

6 Hormon kortisol, triiodotironin, dan tiroksin pada suhu dan kelembaban lingkungan kandang selama lima belas hari masa adaptasi Hari Suhu (°C) Kelembaban (%) Kortisol (µg/dL) T3 T4 1 27,5 82 2,23a 0,08cb 4,21b 2 24,5 91 0,59cd 3 25 91 0,78cd 0,09b 4 5 24 91 0,58cd 0,06 2,75 3,65cb 26,5 84 1,02cb cb cd 7 6 28 70 0,52cd 28 85 0,46cd 0,06cb 2,77cd 0,04c 2,11 8 27 77 0,56cd 9 26 84 0,57cd d 2 0,04c 2,14 10 6,5 84 0,44cd 11 23,5 91 0,31d d 2 0,05cb 2,29c 12 25 92 0,47cd 13 4,5 84 0,91cd d 0,04c 1,87 14 25 92 0,38d 15 25 92 0,72cd d Rataan   25,7 86

Ketera Huruf cript berbe da kolom ya menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,0

dasarka bel diatas dapat dilih bungan a suhu

kelem an ling an terhad kadar hormon kortisol, triiodotironin, dan

ngan: supers da pa ng sama

5)

Ber n ta at hu antar dan

29

tirok kerb nelitian selama lima belas hari pascatransportasi. Dari hasil

kelem aban sekitar kandang adalah 86%. Bila dilihat hubungan antara suhu dan kadar

masuk glukosa yang dibutuhkan oleh berbagai jaringan tubuh

us. Bila pusat suhu

sin dari au pe

pengukuran dapat dihitung bahwa rataan suhu adalah sebesar 25,7 °C dan rataan b

hormon kortisol terlihat bahwa pada suhu pada hari pertama relatif tinggi diatas rata-rata yaitu 25,7 °C dan diikuti dengan kadar kortisol yang tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa suhu lingkungan yang tinggi dapat menyebabkan

heat stress. Heat stress merupakan tekanan yang diakibatkan oleh suhu

lingkungan kandang yang berada diatas zona nyaman tubuh atau suhu yang fluktuatif. Faktor yang terkait dengan heat stress dan dapat mempengaruhi kondisi fisiologis adalah suhu lingkungan, kelembaban relatif (% RH) dan energi radiasi. Kelembaban lingkungan yang tinggi dapat memperburuk kondisi heat stress (Marai & Haeeb 2010).

Menurut Marai dan Haeeb (2010), kadar hormon kortisol akan mengalami peningkatan selama kondisi heat stress akut. Hal ini dikarenakan glukokortikoid dapat menyebabkan pengangkutan asam amino dan lemak dari cadangan sel-sel tubuh sehingga dapat segera digunakan sebagai sumber energi dan untuk proses sintesis senyawa lain ter

(glukoneogenesis) (Guyton & Hall 2007). Kondisi ini sejalan dengan meningkatnya kadar hormon T3 pada hari kedua karena adanya peningkatan proses metabolisme tubuh yang disertai meningkatnya konversi dari bentuk tidak aktif yaitu hormon T4 menjadi bentuk yang aktif T3 sehingga kadar T4 justru akan menurun pada hari kedua karena banyaknya konversi yang terjadi.

Sementara pada hari ketiga dan seterusnya perubahan suhu tidak terlalu berpengaruh pada kadar hormon kortisol, triiodotironin, dan tiroksin. Hal ini kemungkinan karena tubuh kerbau penelitian telah mampu beradaptasi terhadap lingkungannya. Secara normal tubuh memiliki mekanisme pengaturan suhu yang terjadi melalui pusat pengaturan suhu yang terletak di hipotalam

hipotalamus mendeteksi bahwa suhu tubuh terlalu panas atau terlalu dingin, hipotalamus akan memberikan prosedur penurunan atau peningkatan suhu yang sesuai agar dapat kembali pada kondisi homeostasisnya (Guyton & Hall 2007). Kondisi demikianlah yang terjadi ketika suhu lingkungan kandang kerbau

30

penelitian mengalami perubahan yang fluktuatif, secara alami tubuh akan berusaha mengatur kembali suhu tubuh melalui mekanisme termoregulator.

1  

Dokumen terkait