• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menjadi landasan utama dalam pelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya memberikan peluang lebih besar kepada daerah untuk mengelola keuangan daerahnya dengan mengoptimalkan potensi yang dimiliki daerah, baik menyangkut sumber daya manusia maupun sumber daya lain yang menjadi kekayaan daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah diharapkan mampu mendorong kemandirian pemerintah daerah dan mengurangi ketergantungan secara bertahap terhadap pemerintah pusat, terutama dalam pengelolaan keuangan daerah.

Pengelolaan keuangan daerah yang baik berpengaruh terhadap kemandirian dan kemajuan suatu daerah. Kebijakan pengelolaan keuangan daerah tidak terlepas dari kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, aturan kewenangannya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan

(2)

secara luas kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola keuangannya dalam rangka mengembangkan dan membangun daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan prioritas di daerah masing-masing termasuk dalam penyusunan dan pengalokasian dana yang dimiliki secara efektif dan efisien.

Desentralisasi fiskal diikuti konsekuensi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang merujuk prinsip uang mengikuti fungsi (money follow function), artinya setiap bentuk penyerahan kewenangan harus diikuti penyerahan pendanaan untuk melaksanakan kewenangan yang mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Bentuk perimbangan keuangan mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004). Tujuan ekonomi yang hendak dicapai melalui desentralisasi fiskal adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik yang lebih merata dan memadai dengan cara memperpendek jarak antara penyedia layanan publik dengan masyarakat lokal (Kusnandar dan Siswantoro, 2011).

Perubahan paradigma pengelolaan keuangan daerah yang ada dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah ekonomis, efektivitas dan efisiensi pengelolaan keuangan daerah baik dari sisi pendapatan maupun belanja. Inti perubahan paradigma pengelolaan keuangan daerah adalah mempertajam esensi pengelolaan keuangan daerah dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menyangkut penjabaran terhadap hak dan kewajiban daerah dalam

(3)

pengelolaan keuangan publik (BPPK, 2009), seperti dikutip oleh Ardhini (2011). Kondisi ini akan mempengaruhi prinsip pengelolaan, mekanisme penyusunan, pelaksanaan dan penatausahaan, pengendalian dan pengawasan serta pertanggungjawaban keuangan daerah (BPPK, 2009). Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menyebutkan bahwa pendapatan dan belanja daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada prestasi kerja dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan tujuan akhir yang diharapkan dari kegiatan dan program pemerintah daerah. Pendekatan kinerja akan mencerminkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan daerah dalam rangka penyediaan dan pemenuhan pelayanan publik yang memadai. Kesesuaian antara masukan (input) dengan keluaran (output) optimal yang dapat dihasilkan dari program dan kegiatan pemerintah diwujudkan dalam efisiensi. Keefektivan diwujudkan dengan kesesuaian antara keluaran (output) dengan ekspektasi masyarakat daerah terhadap pemenuhan kuantitas dan kualitas layanan publik yang dihasilkan dari program dan kegiatan pemerintah daerah.

Pengelolaan keuangan daerah terangkum dalam dokumen keuangan yang mengikat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta DPRD yang disebut anggaran publik (APBD). Anggaran publik merupakan media utama pemerintah daerah dalam mengalokasikan sumber daya yang dimiliki untuk menjalankan pemerintahan sekaligus menjadi media untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam menggunakan anggaran. APBD merupakan dokumen rencana keuangan yang menjadi dasar pengelolaan keuangan daerah dan pedoman bagi

(4)

pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada publik dalam masa satu tahun anggaran. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana kegiatan pemerintah daerah yang dituangkan dalam bentuk angka dan batas maksimal untuk periode anggaran (Halim, 2002). Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah.

Anggaran pemerintah daerah yang tertuang dalam APBD merupakan bentuk keluaran (output) dari pengalokasian sumber daya (Abdullah dan Halim, 2006). Idealnya di dalam anggaran tercermin kebutuhan masyarakat dengan berbagai potensi dan sumber daya yang dimiliki serta pengeluaran untuk membiayai kebutuhan tersebut. Menurut pendapat Key (1940), seperti dikutip oleh Abdullah dan Halim (2006), keterbatasan sumber daya merupakan permasalahan mendasar dalam penganggaran sektor publik. Keterbatasan sumber daya menjadi pangkal masalah utama dan mekanisme terpenting dalam pengalokasian anggaran di pemerintahan. Keterbatasan sumber daya menyebabkan proses pembuatan keputusan pengalokasian menjadi sangat dinamis, terlebih lagi dalam kondisi terdapat banyak pihak dengan kepentingan dan preferensi yang berbeda (Rubin, 1993), seperti dikutip oleh Abdullah dan Halim (2006). Keterbatasan sumber daya menjadikan proses pengalokasian menjadi dinamis sehingga membutuhkan suatu manajemen pengeluaran publik yang mampu mengendalikan pola konsumsi sumber daya ekonomi yang tepat

(5)

sasaran yang terangkum dalam anggaran belanja publik (local government

spending).

Sumber daya terbatas menuntut pemerintah daerah berfikir bagaimana mengalokasikan penerimaan yang terbatas untuk membiayai berbagai macam belanja agar pengeluaran tersebut mampu menghasilkan nilai ekonomi di masa yang akan datang. Kebijakan pengelolaan keuangan yang dapat diterapkan pemerintah untuk mengatasi keterbatasan sumber daya yaitu dengan manajemen pengeluaran publik melalui belanja publik yang bersifat produktif di segala lini. Belanja publik produktif berarti belanja pemerintah daerah yang mampu menghasilkan dan menyediakan pelayanan publik yang lebih baik sehingga mampu menjadi daya ungkit bagi pertumbuhan perekonomian, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Belanja publik yang diharapkan mampu mewakili sifat produktivitas yaitu belanja modal.

Belanja modal digunakan untuk membiayai segala kebutuhan masyarakat daerah akan fasilitas, sarana dan prasarana publik dan pembangunan infrastruktur daerah yang dapat meningkatkan produktivitas masyarakat dan iklim investasi di daerah. Belanja modal digunakan pemerintah daerah untuk pemenuhan dan penambahan aset tetap yang dapat mendukung dan memperlancar tugas pemerintahan dalam rangka memberikan pelayanan publik yang memadai. Menurut pendapat Saragih (2003), seperti dikutip oleh Darwanto dan Yustikasari (2007), pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misalnya untuk melakukan aktivitas pembangunan. Sejalan dengan pendapat tersebut, menurut Stine (1994), seperti dikutip oleh Darwanto dan Yustikasari

(6)

(2007), penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program-program layanan publik. Kedua pendapat tersebut menyiratkan peran penting pemanfaatan belanja modal untuk kepentingan publik.

Peran penting belanja modal belum diimbangi dengan pengelolaan belanja modal yang memadai di daerah. Realisasi belanja modal pada akhir tahun seringkali di bawah target atau lebih rendah dari anggarannya (Dirjen Perimbangan Kemenkeu, 2013). Kondisi ini kadang bertolak belakang dengan kondisi realisasi penerimaan yang mengalami surplus di akhir tahun yang disebabkan oleh pelampauan realisasi pendapatan (PAD, Dana Perimbangan, Lain-lain Pendapatan) dari pagu anggarannya (Dirjen Perimbangan Kemenkeu, 2013). Padahal besarnya realisasi belanja modal yang sesuai dengan anggarannya menunjukkan berjalannya program dan kegiatan pemerintah secara efektif dan efisien yang ditujukan untuk pelayanan publik dan daya ungkit bagi pertumbuhan ekonomi di daerah. Kondisi ini ditengarai menandakan adanya penyerapan belanja modal yang rendah dan atau saat terjadi penambahan pendapatan yang cukup signifikan dari PAD maupun transfer dari pemerintah pusat, pemerintah daerah belum mampu mengejar peningkatan belanja modal atau sederhananya, pemerintah daerah belum cukup mampu melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk menyerap pelampauan pendapatan ke dalam belanja khususnya belanja modal (Dirjen Perimbangan Kemenkeu, 2013). Salah satu hal yang cukup memprihatinkan yaitu rata-rata belanja yang mengalami pelampauan target belanja dari pagu yang dianggarkan adalah belanja pegawai tidak langsung atau dikenal dengan gaji PNSD. Belanja pegawai tidak langsung memiliki elastisitas

(7)

yang tinggi dalam menyerap anggaran, padahal jenis belanja ini tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan dan pelayanan publik serta tidak memiliki daya ungkit terhadap pertumbuhan ekonomi dan produktivitas perekonomian di daerah.

Pengelolaan belanja modal yang belum optimal perlu menjadi perhatian pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk mengatasi kendala tersebut. Kendala kurangnya penyerapan anggaran belanja modal di daerah menjadi permasalahan yang cukup kompleks karena selain melibatkan pengelolaan keuangan dan kebijakan yang bersifat teknis di daerah, peran pemerintah pusat dalam mengambil kebijakan dan aturan mengenai dana transfer diharapkan mampu meminimalkan kendala tersebut. Pengoptimalan sumber pendapatan yang diterima dan pemanfaatan dana menganggur (idle fund) untuk pendanaan belanja modal perlu dilakukan pemerintah daerah agar masalah kurang terserapnya belanja modal dapat diminimalkan. Pemerintah daerah dituntut lebih cerdas dan kreatif dalam mengelola anggaran secara optimal bila dihadapkan dengan berbagai keterbatasan dan hambatan dalam penyerapan belanja daerah khususnya belanja modal yaitu dengan tetap berpegang teguh pada koridor peraturan tertinggi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Penyerapan belanja modal yang tinggi menandakan pemerintah daerah mampu mengelola keuangan di sisi belanja secara lebih efisien dan efektif sehingga kewajiban pemerintah dalam menyediakan pelayanan publik yang memadai akan terpenuhi dan stimulasi dalam meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas perekonomian daerah dapat terwujud.

(8)

Pengoptimalan pendanaan untuk belanja modal dapat berasal dari sumber pendapatan daerah itu sendiri (PAD), dana perimbangan dari pemerintah pusat (DAK, DAU, DBH) dan penerimaan pembiayaan (SiLPA tahun sebelumnya, pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan yang dipisahkan, penerimaan pinjaman, penerimaan kembali pemberian pinjaman). Penelitian yang dilakukan terbatas pada pengujian pengaruh variabel bebas (sumber pendapatan dan penerimaan pembiayaan) terhadap variabel terikat (belanja modal dan pertumbuhan ekonomi) bukan untuk memprediksi dan mencari solusi secara teknis dan kongkrit mengenai permasalahan rendahnya penyerapan belanja modal. Penelitian ini menggunakan sumber pendanaan yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun sebelumnya, Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun sebelumnya dan Selisih Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya sebagai variabel independen dan realisasi belanja modal sebagai variabel dependen. Penelitian juga menguji pengaruh realisasi belanja modal sebagai variabel independen dan pertumbuhan ekonomi tahun berikutnya sebagai variabel dependen.

Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan besar kepada daerah untuk menggali potensi yang dimiliki sebagai sumber pendapatan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah. Sumber pendapatan daerah yang dapat digali potensinya adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. PAD bertujuan memberikan keleluasaan kepada daerah dalam mengoptimalkan potensi pendanaan daerah dalam pelaksanaan otonomi

(9)

daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi fiskal. PAD menjadi salah satu sumber pendanaan pemerintah daerah untuk pembangunan dan penyediaan infrastruktur daerah yang dibiayai dari belanja modal. PAD merupakan sumber pendapatan yang dapat digali, diperkirakan dan masih dalam pengendalian pemerintah daerah. Pemerintah daerah cenderung menganggarkan PAD lebih rendah dari potensi pendapatan asli daerah yang sebenarnya, akibatnya pada akhir tahun realisasi PAD cenderung lebih besar daripada anggarannya (Dirjen Perimbangan Kemenkeu, 2013). Kondisi ini menjadi salah satu pencetus kurang optimalnya penggunaan pendanaan (PAD) untuk membiayai belanja modal sehingga penyerapan belanja modal tidak efektif. Pemanfaatan PAD secara optimal ditengarai memberikan pengaruh positif terhadap realisasi belanja modal. Penyerapan belanja modal yang optimal akan memperlancar dan merealisasikan kegiatan dan program pemerintah daerah untuk menyediaan sarana dan prasarana publik serta infrastruktur daerah yang memadai sehingga diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan menjadi daya ungkit bagi pertumbuhan ekonomi dan produktivitas masyarakat di daerah.

Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur urusan pemerintahan dalam pengelolaan keuangan daerah. Urusan pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah daerah disertai penyerahan keuangan yang terwujud dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yaitu melalui dana perimbangan (UU No. 33/2004). Dana perimbangan selain dimaksudkan membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber

(10)

pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah serta mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-daerah. Salah satu sumber pendanaan daerah yang memiliki peran penting dalam pembiayaan infrastruktur, sarana prasarana dan kebutuhan khusus daerah yang berasal dari dana perimbangan adalah Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Alokasi Khusus (DAK) diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebagai wujud dana perimbangan keuangan dengan tujuan untuk membantu membiayai kegiatan khusus di daerah yang menjadi urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat untuk mendorong percepatan pembangunan daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004).

Ketidakpastian besaran alokasi penerimaan DAK secara bertahap setiap tahunnya sebagai dana transfer ke daerah menjadikan pemerintah daerah mengalokasikan DAK dengan perkiraan di bawah realisasinya (Dirjen Perimbangan Kemenkeu, 2013). Kondisi ini menjadikan realisasi DAK di akhir tahun menjadi lebih besar daripada anggarannya. Realisasi DAK di akhir tahun yang cenderung lebih besar daripada pagu anggarannya membuat sumber dana ini belum mampu secara optimal dimanfaatkan untuk membiayai belanja modal. Pemanfaatan sumber pendanaan DAK secara optimal untuk membiayai belanja modal ditengarai mampu memberikan pengaruh positif terhadap realisasi belanja modal sehingga dapat meningkatkan penyerapan belanja modal yang berkontribusi secara langsung terhadap pelayanan publik dan perekonomian di daerah.

(11)

Selisih Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) tahun bersangkutan akan menjadi Selisih Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya yang masuk dalam struktur penerimaan pembiayaan pada tahun berikutnya. SiLPA tahun sebelumnya memiliki sumber dana yang cukup besar. Pelampauan pendapatan ataupun penghematan belanja pada realisasi APBD sebelumnya akan menghasilkan sisa dana yang disebut SiLPA. Keberadaan SiLPA menjadi dilema bagi pengelolaan keuangan daerah, karena besarnya SiLPA bisa mengindikasikan hal yang positif maupun negatif. Indikasi SiLPA yang positif berasal dari efisiensi dan efektivitas anggaran sehingga mampu menghasilkan sisa dana bersih, namun SiLPA seperti ini jarang dihasilkan oleh pemerintah kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Indikasi SiLPA yang negatif berasal dari sisa penggunaan anggaran yang tidak disebabkan oleh efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran. Hal ini berarti SiLPA yang terbentuk disebabkan oleh ketidakcermatan dalam penyusunan anggaran dan lemah dalam pelaksanaan anggaran sehingga program dan kegiatan yang telah direncanakan tidak dapat terlaksana secara optimal. Dana SiLPA yang terlalu besar harus dihindari, karena pada dasarnya SiLPA merupakan dana menganggur (idle fund), apabila tidak dimanfaatkan secara cermat, tidak akan memberikan efek pengganda (multiplier effect) bagi perekonomian daerah. Melihat fakta mengenai SiLPA, pengelolaan SiLPA yang tepat perlu dilakukan oleh pemerintah daerah. SiLPA yang besar harus diminimalkan, salah satunya yaitu dengan pengoptimalan penggunaan SiLPA tahun sebelumnya untuk meningkatkan penyerapan belanja modal. Penggunaan SiLPA tahun sebelumnya ditengarai memberikan pengaruh positif terhadap

(12)

realisasi belanja modal. Pemanfaatan SiLPA tahun sebelumnya untuk meningkatkan penyerapan belanja modal diharapkan dapat memberikan efek stimulasi bagi peningkatan pelayanan publik serta pertumbuhan dan produktivitas perekonomian di daerah.

Desentralisasi fiskal diamanatkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diharapkan mampu memberikan kebebasan untuk membuat perencanaan, pengelolaan keuangan dan pengambilan kebijakan yang dapat berpengaruh pada kemajuan daerahnya masing-masing. Kemajuan daerah yang ingin dicapai pemerintah daerah dapat dilihat salah satunya dari keberhasilan pemerintah daerah dalam meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerahnya. Pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses yang mencerminkan aspek dinamis dari suatu perekonomian yaitu bagaimana suatu perekonomian itu berkembang dan berubah dari waktu ke waktu (Boediono, 1999). Kemajuan suatu daerah dapat ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang baik, salah satu faktor yang mempengaruhi adalah investasi modal yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam bentuk belanja modal. Pemerintah daerah melakukan investasi dalam bentuk belanja modal bertujuan untuk memberikan dan menyediakan pelayanan publik yang memadai yang mampu menstimulasi pertumbuhan ekonomi di daerah.

Belanja modal digunakan untuk membiayai pembangunan dan perbaikan infrastruktur serta sarana prasarana daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang sifatnya menaikkan produktivitas masyarakat. Tersedianya berbagai sarana dan prasarana publik serta perbaikan kualitas jasa pelayanan diharapkan mampu menciptakan efisiensi dan efektivitas di berbagai sektor sehingga menaikkan

(13)

produktivitas masyarakat dan memicu pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Manfaat belanja modal yang besar terhadap pelayanan publik dan pertumbuhan ekonomi daerah, menjadikan masalah penyerapan belanja modal penting untuk diperbaiki dan ditingkatkan oleh semua pihak terkait. Realisasi belanja modal yang optimal diharapkan mampu memberikan efek pengganda terhadap pertumbuhan ekonomi di tahun mendatang.

Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Darwanto dan Yustikasari (2007) yang menguji pengaruh pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap pengalokasian anggaran belanja modal serta penelitian yang dilakukan oleh Adi (2006) mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerah, belanja pembangunan (belanja modal) dan Pendapatan Asli Daerah. Perbedaan penelitian ini dengan kedua penelitian sebelumnya yaitu penelitian ini tidak menggunakan Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai faktor yang berpengaruh terhadap belanja modal dan menggantinya dengan dana perimbangan lainnya yaitu Dana Alokasi Khusus (DAK) yang fungsinya lebih mendukung peran belanja modal. Penelitian ini ditambahkan faktor lain yang ditengarai berpengaruh terhadap realisasi belanja modal yaitu Selisih Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA).

Menurut hasil penelitian dari Lembaga Penelitian SMERU (2008), salah satu sumber utama belanja modal terutama untuk pembangunan sarana dan prasarana fisik, pemerintah daerah mengandalkan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Alokasi Umum sebagai dana perimbangan tidak digunakan dalam penelitian karena perannya sebagian besar digunakan untuk membiayai gaji pegawai negeri

(14)

dan belanja birokrasi (Lembaga Penelitian SMERU, 2008). Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kusnandar dan Siswantoro (2011), menemukan secara statistik DAU tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja modal sehingga hasil penelitian sejalan dengan penelitian Lembaga Penelitian SMERU.

Penelitian ini menggunakan data realisasi PAD tahun sebelumnya, DAK tahun sebelumnya dan SiLPA tahun sebelumnya sebagai variabel yang ditengarai mempengaruhi realisasi belanja modal. Peran realisasi belanja modal diteliti melalui pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi di tahun mendatang. Penelitian menggunakan empat tahun periode anggaran Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali yaitu tahun 2008 sampai tahun 2011. Regional kabupaten/kota di Jawa dan Bali dipilih dalam sampel penelitian karena memiliki karakteristik ekonomi dan geografis yang hampir sama (Abdullah dan Halim, 2004). Regional geografi merupakan suatu bagian dari kewilayahan yang memiliki karakteristik geografis dan fisiologis yang hampir sama. Regional Jawa dan Bali secara geografis dan ekonomi rata-rata memiliki kesamaan dalam aspek fisik (letak geografis, fisiografis, klimatoligis), aspek sumber daya manusia, persebaran sumber daya alam, sistem mata pencaharian serta pemerataan pembangunan infrastruktur dan ekonomi. Keterbatasan potensi sumber daya alam membuat kabupaten dan kota di Jawa dan Bali relatif lebih mengandalkan potensi penerimaan lain, khususnya yang bersumber dari pajak dan retribusi daerah (Kuncoro, 2004), seperti dikutip oleh Darwanto dan Yustikasari (2007). Pemilihan periode waktu yang lebih panjang diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih lengkap dalam penelitian. Periode waktu yang panjang menjadikan data

(15)

lebih banyak dan informasi lebih lengkap sehingga akan menghasilkan derajat kebebasan (degreess of freedom) yang lebih besar dan mampu meningkatkan presisi dari estimasi penelitian.

1.2 Rumusan Masalah

Kemampuan pengelolaan keuangan daerah berupa manajemen pengeluaran publik yang tepat mempunyai peran vital dalam kebijakan belanja publik. Kebijakan belanja publik akan mempengaruhi kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan kewajibannya yaitu memberikan dan menyediakan pelayanan publik yang memadai serta menciptakan daya ungkit bagi pertumbuhan dan produktivitas perekonomian di daerah. Keterbatasan sumber daya yang menjadi permasalahan mendasar dalam penganggaran menjadi pertimbangan dan fokus pemerintah daerah dalam mengalokasikan belanja publik yang bersifat produktif yaitu belanja modal. Belanja modal yang dikeluarkan pemerintah daerah diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik melalui penyediaan sarana prasarana publik yang memadai dan pembangunan infrastruktur yang mempermudah mobilitas masyarakat dan mendorong iklim investasi di daerah sehingga belanja modal mempunyai peran sebagai daya ungkit bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di daerah.

Peran penting belanja modal sering terkendala oleh penyerapan belanja modal yang rendah atau tidak elastis. Penyerapan belanja modal yang tidak elastis menjadikan pemanfaatan dana yang digunakan untuk membiayai belanja modal kurang optimal, akibatnya program dan kegiatan yang direncanakan dan dibiayai oleh belanja modal tidak semuanya dapat terealisasi dalam satu tahun anggaran.

(16)

Kendala ini harus disikapi secara cermat oleh pemerintah daerah yaitu dengan melakukan langkah-langkah kongkrit untuk meningkatkan penyerapan belanja modal. Pengoptimalan sumber pendanaan dan dana yang menganggur untuk meningkatkan penyerapan belanja modal perlu dipertimbangkan pemerintah daerah dengan berpegang pada aturan perundangan yaitu Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 mengenai Keuangan Negara.

Penelitian ini menggunakan sumber pendanaan yang berasal dari PAD, DAK dan SiLPA untuk menguji pengaruh positif terhadap realisasi belanja modal. Peran realisasi belanja modal sebagai daya ungkit bagi perekonomian daerah juga perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah melalui pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Berdasarkan rumusan masalah penelitian, pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap realisasi belanja modal?

2. Apakah Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap realisasi belanja modal?

3. Apakah Selisih Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap realisasi belanja modal?

4. Apakah realisasi belanja modal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi tahun mendatang?

1.3 Tujuan Penelitian

Latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan memberikan arah dan tujuan dalam penelitian, yaitu memberikan bukti empiris mengenai:

(17)

1. Pengaruh positif Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun sebelumnya terhadap realisasi belanja modal.

2. Pengaruh positif Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun sebelumnya terhadap realisasi belanja modal.

3. Pengaruh positif Selisih Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya terhadap realisasi belanja modal.

4. Pengaruh positif realisasi belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi tahun mendatang.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, antara lain:

1. Bagi pemerintah daerah, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan bukti empiris mengenai pentingnya peran belanja modal dalam peningkatan pelayanan publik dan daya ungkit perekonomian daerah melalui pertumbuhan ekonomi di daerah. Peran belanja modal secara optimal diperlukan komitmen jangka panjang oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk mengatasi kendala penyerapan belanja modal yang tidak elastis. Pemanfaatan sumber dana yang lebih optimal diharapkan dapat meningkatkan penyerapan belanja modal. Banyak yang perlu diperbaiki baik dari segi pengelolaan keuangan maupun kebijakan non keuangan yang diharapkan dapat membantu peningkatan penyerapan belanja modal. Pemerintah daerah juga harus mengefisienkan belanja pegawai yang cenderung sangat elastis terhadap penyerapan anggaran, padahal belanja pegawai tidak bersentuhan langsung

(18)

dengan kepentingan publik, sehingga dengan efisiensi belanja pegawai, anggaran yang ada dapat dialokasikan untuk belanja yang bersifat produktif. 2. Bagi penelitian selanjutnya, hasil penelitian diharapkan dapat berguna sebagai

khazanah pengetahuan dan pengembangan wacana dalam penelitian mengenai pengelolaan keuangan daerah yang fokus pada belanja publik yaitu belanja modal dan faktor-faktor yang mempengaruhi termasuk mengatasi kendala dalam mengoptimalkan pendanaan dan penyerapan belanja modal. Permasalahan dan kendala dalam penyerapan belanja modal yang kompleks diharapkan dapat ditemukan jalan keluar yang tepat dan memberikan kontribusi yang relevan bagi perbaikan pengelolaan belanja publik sebagai daya ungkit bagi pertumbuhan perekonomian daerah melalui kajian secara lebih komprehensif pada penelitian selanjutnya.

1.5 Sistematika Penulisan Penelitian

Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi pemaparan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah yang diteliti, tujuan penelitian yang dilakukan, manfaat dari penelitian dan sistematika penulisan penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi uraian mengenai landasan teori yang digunakan sebagai dasar acuan penelitian, penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian yang dilakukan, kerangka pemikiran penelitian dan pengembangan hipotesis penelitian.

(19)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini berisi uraian mengenai sampel penelitian, jenis dan sumber data penelitian, definisi operasional variabel penelitian, metode pengumpulan data dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian.

BAB IV HASIL DAN ANALISIS DATA

Bab ini berisi uraian mengenai deskripsi objek penelitian, analisis data dan interpretasi hasil analisis data.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan, keterbatasan dan rekomendasi dari hasil penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan al Suyuthi dalam kitab “al Asybāh wa al nadhāir” ketika berbicara tentang kaidah ini mengomentari bahwa segi kemustahaban keluar dari sebuah perbedaan dalam

Perkembangan kota-kota di Indonesia pada umumnya bermuara pada meningkatnya jumlah penduduk, dan meningkatnya berbagai kebutuhan akan fasilitas kehidupan. Perkembangan

 Wilayah dengan curah hujan lebih dari 2.000 milimeter/tahun (sangat lembab) dengan bulan kering 2-4 bulan, meliputi daerah Kecamatan Selo, Ampel, Cepogo, Musuk,

Kesimpulan yang didapat dari kajian yang dilakukan adalah (1) bahwa penerapan semantic web untuk proses pencarian informasi raw material sebagai bahan produksi

Anak berkebutuhan khusus yang harus mendapatkan layanan pendidikan intensif ialah : (1) Tunanetra, (2) Tunarungu, (3) Tunawicara, (4) Tunagrahita, yaitu anak dengan

AS merupakan salah seorang korban aliran Komar. Ia sebelumnya bekerja di pesantren Az-Zaitun sebagai guru honorer bahasa Inggris. Pekerjaan ini telah dijalaninya selama 5

banyak digunakan perusahaan dalam melatih tenaga kerjanya. Para karyawan mempelajari pekerjaan sambil mengerjakannya secara langsung. Kebanyakan perusahaan menggunakan

Dari hasil kajian studi kasus ini diharapkan dapat dijadikan dasar dalam pengembangan kopi liberika di lahan gambut Kabupaten Tanjung Jabung Barat