• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI MODEL CO-MANAGEMENT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI MODEL CO-MANAGEMENT"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

67 DOI: https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2021.01401.4

PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT

MELALUI MODEL CO-MANAGEMENT

Josef Mario Monteiro, Jimmy Pello

Fakultas Hukum, Universitas Nusa Cendana Email: [email protected] Abstract

This research examines the Lamaholot customary law as an idea or unwritten customary idea but contain ethics and morals, in the form of a belief system, rituals, abstinence, and sanctions, which are then accommodated into a co-model management. This research becomes important to assist the top law enforcement fisheries management violations committed by traditional fishermen in the district East Flores and Lembata Regency, East Nusa Tenggara Province. This empirical legal research uses a statutory approach, the concept of legal anthropology with a socio-legal perspective, and cases. The results shows the number of cases of violations of fisheries management by traditional fishermen still high in the last few years. This proves that law enforcement has not been effective both from the structure, legal substance and culture. To overcome this, it is necessary to re-institutionalize customary law through a co-management model, namely the local government and law enforcement agencies forming a partnership model with customary stakeholders or functionaries to function re-belief systems, rituals, customary sanctions and mechanisms in the enforcement process law against traditional fishermen who exploit fishery resources illegally.

Key words: fisherman, fishery, custom, management

Abstrak

Penelitian ini mengkaji hukum adat Lamaholot sebagai ide atau gagasan adat yang tidak tertulis tetapi mengandung etika dan moral berupa sistem kepercayaan, ritual, pantangan, dan sanksi, yang selanjutnya diakomodir ke dalam sebuah model co-management. Penelitian ini penting dilakukan untuk membantu penegakan hukum atas pelanggaran pengelolaan perikanan yang dilakukan oleh nelayan tradisional di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian hukum empiris ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, konsep antropologi hukum dengan perspektif sosio-legal, dan kasus. Hasil penelitian menunjukkan beberapa tahun terakhir jumlah kasus pelanggaran pengelolaan perikanan oleh nelayan tradisional masih tinggi. Hal ini membuktikan penegakan hukumnya belum efektif baik dari struktur, substansi dan budaya hukum. Untuk mengatasinya perlu pelembagaan kembali hukum adat melalui model co-management dimana pemerintah daerah dan lembaga penegak hukum membentuk model kemitraan dengan pemangku atau fungsionaris adat untuk memfungsikan kembali sistem kepercayaan, ritual, sanksi adat dan mekanisme dalam proses penegakan hukum terhadap nelayan tradisional yang memanfaatkan sumber daya perikanan secara ilegal

(2)

Latar Belakang

Sumber daya perikanan merupakan salah satu sumber sumber daya alam1 yang penting bagi hajat hidup masyarakat dan memiliki potensi untuk dijadikan sebagai penggerak utama (prime mover) ekonomi masyarakat. Akan tetapi, di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dalam kenyataannya masih terdapat permasalahan hukum berupa pelanggaran pengelolaan perikanan yang dilakukan oleh nelayan tradisional2 dalam bentuk penangkapan ikan secara ilegal sehingga merusak ekosistem laut seperti terumbu karang.

Pada dasarnya terdapat beberapa kegiatan manusia yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang, yakni penambangan atau pengambilan karang, penangkapan ikan dengan penggunaan bahan peledak, racun, bubu, jaring, pancing, dan pencemaran (minyak bumi, limbah industri dan rumah tangga, pengembangan daerah wisata, dan sedimentasi.3 Sehubungan dengan keadaan itu, khusus di perairan laut Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata, nelayan

tradisional sering melakukan penangkapan ikan menggunakan bom ikan, bius ikan, potasium, dan alat tangkap pursene. Akibatnya mengancam kelestarian ekosistem pesisir dan perairan di Kabupaten Flores Timur dan Lembata terutama terumbu karang.4

Jika disimak pelaku pelanggaran pengelolaan perikanan yakni nelayan tradisional, ada hal yang menarik bahwa para nelayan tradisional di kedua kabupaten tersebut adalah bagian dari masyarakat adat Lamaholot, sehingga perilaku nelayan tradisional dipengaruhi juga oleh hukum adat Lamaholot. Hukum adat Lamaholot pada hakikatnya merupakan idea atau gagasan yang mengadung norma atau kaidah tidak tertulis, yang bentuknya sistem kepercayaan, pantangan, ritual, dan sanksi adat. Oleh karena itu, dilihat dari kenyataan bahwa penangkapan ikan menggunakan bom ikan, bius ikan, potassium oleh nelayan tradisional, dari perspektif hukum adat Lamholot merupakan perbuatan yang tercela yang dapat menimbulkan bencana berupa kutukan roh penjaga laut bagi masyarakat, dalam wujud tidak diperolehnya hasil tangkapan

1 Definisi sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan non hayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem (Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).

2 Definisi nelayan tradisional adalah nelayan yang menggunakan kapal tanpa mesin, dilakukan secara turun menurun, memiliki daerah penangkapan ikan yang tetap dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Penjelasan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil).

3 Haruddin A, Edi Purwanto, Sri Budiastuti, “Dampak Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Terhadap Hasil Penangkapan Ikan oleh Nelayan secara Tradisional di Pulau Siompu Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara”, Jurnal Ekosains Lingkungan Hidup Vol. III, No. 3, (November 2011): 33.

4 Bandingkan dengan laporan LIPI 2017 dalam harian umum Kompas, 7 Juni 2017 yang menyebutkan bahwa dari 2,5, juta hektar luas terumbu karang di Indonesia, terdapat 35,15 persen terumbu karang dalam kondisi rusak, sedangkan WWF Solar Alor Project Nusa Tenggara Timur dalam penelitiannya tahun 2012 menyebutkan bahwa kondisi kesehatan terumbu karang di perairan laut Kabupaten Flores Timur teridentifikasi dalam kondisi yang buruk (< 50%), dengan rata-rata 21% yang tersisa masih dalam kondisi sehat

(3)

ikan dalam jumlah yang cukup. Akan tetapi, hukum adat Lamaholot ini belum difungsikan oleh pemerintah daerah kabupaten dan aparat penegak hukum dalam mendukung upaya mengatasi pelanggaran pengelolaan perikanan yang dilakukan oleh nelayan tradisional. Salah satu contoh adalah Peraturan Bupati Kabupaten Flores Timur Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Perairan Kabupaten Flores Timur. Sistematika dari Perbup tersebut terdiri atas 9 bab dan 23 pasal. Adapun aspek-aspek yang diatur, yakni: ketentuan umum; maksud dan tujuan; ruang lingkup; kelembagaan; master plan pengelolaan perikanan berkelanjutan; pengawasan dan evaluasi; peran serta masyarakat; pembiayaan; dan penutup.5

Berdasarkan beberapa aspek tersebut, belum menunjukan hukum adat Lamaholot dilembagakan dalam pengaturan pengelolaan perikanan. Hal ini seperti pada aspek kelembagaan, yang mengatur tim pengelolaan perikanan berkelanjutan terdiri atas Dinas Perikanan Flores Timur, Instansi terkait di Kabupaten Flores Timur, Lembaga Swadaya Masyarakat Perikanan, Akademisi, Kelompok Nelayan, dan Asosiasi perikanan. Dengan demikian, tidak ada unsur pemangku atau

fungsionaris adat yang dilibatkan dalam tim pengelolaan perikanan.

Oleh karena itu perlu melibatkan partisipasi pemangku atau fungsionaris adat Lamaholot yang memahami alam seperti gunung, laut, ikan, dan sebagainya, hidup

Nitun yaitu roh penjaga alam dan Lera Wulan Tana Ekan sebagai wujud tertinggi. Alam yang

dilihat sebagai penjelmaan wujud tertinggi atau roh-roh halus itu untuk melestarikannya dibuatlah ritus-ritus persembahan seperti ritus menanam, ritus berburu, ritus untuk menangkap ikan, dan lain sebagainya. Ritus-ritus mengungkapkan pemujaan bahwa segala sesuatu yang ada didunia adalah kepunyaan wujud tertinggi yang nampak dalam ungkapan

Lera Wulan Tanah Ekan Guti Na-en: Tuhan

mengambil pulang miliknya.7 Adanya ritus-ritus termasuk ritus-ritus penangkapan ikan tersebut menunjukan karateristik hukum adat Lamaholot yakni perilaku masyarakat adat yang mematuhi perintah dan larangan tentang baik buruknya perilaku manusia serta sanksi adat apabila merusak sumber daya alam laut dan ikan.

Kekhasan tersebut menjadikan hukum adat Lamaholot sebagai pranata, artinya hukum adat Lamaholot menjadi pola dalam

5 Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2014 didasarkan beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan; Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.29/MEN/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan di bidang Penangkapan Ikan; Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Flores Timur Tahun 2012-2016

6 Wawancara dengan Ahmad Daud sebagai salah satu pemangku adat Lamaholot yang berasal dari desa Lamahala Jaya di kecamatan Adonara Timur kabupaten Flores Timur, 26 Juli 2018

(4)

perilaku masyarakat nelayan tradisional. Contoh masyarakat nelayan tradisional di Kecamatan Wulandoni Kabupaten Lembata, yang melakukan pola kepercayaan ritual untuk mendapatkan hasil ikan dan keselamatan selama melaut. Masyarakat nelayan tradisional di desa Pantai Harapan memiliki kebiasaan untuk melakukan ritual, yakni: (a) Bito Berue, yakni ritual yang dilakukan oleh nelayan tradisional sebelum menggunakan sampan/ juku baru. Acara ini biasanya dilakukan di pantai dengan menggunakan bahan-bahan seperti ayam jantan yang jenggernya masih utuh. Jengger ayam dipotong oleh tua adat laut (Aho Male), lalu darahnya dioles disekeling sampan/juku baru; (b) Lepa Nua Dewe, ritual ini dilakukan untuk melepas pukat yang ukurannya kecil yang dalam bahasa setempat disebut noro. Jenis pukat ini merupakan alat tangkap tradisional nelayan setempat untuk menangkap ikan serdin dan tembang biasanya pada musim-musim tertentu selalu muncul di perairan laut setempat dalam jumlah yang sangat banyak; (c) Bruhu Brito, merupakan suatu tradisi oleh nelayan tradisional sebelum melepas pukat baru untuk menangkap jenis ikan selain tembang; dan (d) Tula Lou Wate, upacara ini merupakan tradisi dalam memberi makan kepada ”leluhur di laut” dengan maksud memanggil ikan agar ikan dapat berkumpul dan memberikan hasil tangkapan yang banyak. Semua jenis ritual tersebut di atas dilakukan oleh pemangku adat yang dalam bahasa masyarakat setempat disebut

Aho Male. Masyarakat setempat tampaknya

sangat patuh dan taat terhadap sistem kepercayaan ritual. Hal yang menarik di sini adalah meskipun sistim kepercayaan ritual lebih banyak pada usaha penangkapan ikan, namun dalam ritual tersebut diwanti-wanti oleh Aho Male bahwa tidak boleh menangkap ikan dalam jumlah yang sangat banyak.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dengan melakukan pengkajian terhadap kekhasan hukum adat Lamaholot yang mempengaruhi perilaku masyarakat nelayan tradisional, dapat dibangun suatu gagasan konstruksi struktur legal yang monodualistik yaitu menyatukan pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat adat. Konstruksi struktur legal yang didasarkan sistem budaya Lamaholot ini diharapkan dapat mengejewantahkan norma hukum adat yang telah hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat adat dan telah diwariskan serta dipraktekkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Sistem budaya tersebut memandang manusia dan alam termasuk laut dan sumber daya ikan harus dijaga keselarasannya, sebab jika tidak dijaga akan menimbulkan kesulitan bagi masyarakat dalam memperoleh sumber mata pencaharian.

Permasalahan

Sebagai permasalahan dalam tulisan ini adalah: (1) ketidakefektivan penegakan hukum terhadap pelanggaran pengelolaan perikanan; (2) keberadaan hukum adat Lamaholot mengatur pengelolaan perikanan yang belum difungsikan; dan (3) hukum

(5)

adat Lamaholot dilembagakan dalam model co-management guna membantu penegakan hukum pengelolaan perikanan.

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris dengan kajian dari antropologi hukum dengan perspektif sosio- legal. Kajian antroplogi hukum bertolak dari konsep pluralisme hukum sebagai sistem hukum dimana unsur-unsur hukumnya berasal dari sumber yang berbeda, salah satunya adalah hukum adat yang diakui oleh sistem hukum negara serta diterapkan dalam sebuah masyarakat.8 Terkait dengan hal itu, penelitian ini dilakukan terhadap pranata adat dan hukum adat Lamaholot sebagai suatu sistem nilai budaya yang dianggap bernilai dalam kehidupan.9 Selanjutnya, pendekatan sosio

legal yaitu mengkaji ide atau gagasan hukum

adat dalam suatu sistem sosial. Realitas hukum adat sebagai norma atau kaidah hukum tidak tertulis eksis dalam alam pikiran masyarakat adat yang sarat dengan makna simbolik. Karena itu penelitian terhadap konteks hukum, dan bukannya teks hukum sebab jika meneliti teks hukum akan sulit “ditangkap” lewat pengamatan dan pengukuran.10

Sumber data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh dari populasi yakni

nelayan tradisional sebagai anggota kesatuan masyarakat hukum adat Lamaholot di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata, sedangkan sampel adalah nelayan tradisional di Desa Lamahala Jaya Kecamatan Adonara Timur Kabupaten Flores Timur dan di Desa Lamalera Bawah (B) di Kecamatan Wulandoni Kabupaten Lembata. Teknik yang digunakan adalah pengamatan terhadap perilaku masyarakat adat dalam melakukan ritual, dan wawancara secara semi-terstruktur (semi structured interview), yaitu wawancara yang menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka yang diikuti dengan pertanyaan lanjutan untuk lebih menggali informasi secara lebih mendalam. Kemudian dikumpulkan juga data sekunder melalui studi kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Data yang telah diperoleh dianalisis secara deskripsi kualitatif berdasarkan penalaran yang bersifat deduktif-induktif.

PEMBAHASAN

A. Penegakan Hukum Terhadap

Pelanggaran Pengelolaan Perikanan

Penegakan hukum (law enforcement) secara konsepsional diartikan kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang

8 Ade Saptomo, Penyelesaian Sengketa Tanah Berjenjang Naik Bertangga Turun dalam Masyarakat Minangkabau (Sebuah Penelitian Antroplogi Hukum dengan Perspektif Socio-Legal), Penelitian Hukum Interdisipliner sebuah Pengantar menuju sosio-legal, (Yogyakarta: Thefa Media, 2016), hlm. 33.

9 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm. 4 dan 6. 10 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Konsep dan Metode, (Malang: Setara Press, 2013), hlm. 127.

(6)

mantap dan mengejawantah serta sikap tindak sebagai rangkain penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.11 Sehubungan dengan hal tersebut, Lawrence.M.Friedman mengemukakan tiga model yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum, yaitu struktur, substansi, dan budaya hukum. Pendekatan ketiga model tersebut dimaksudkan agar hukum dapat bekerja dengan baik dan efektif dalam masyarakat yang diaturnya. Adapun unsur struktural menurut Lawrence M.Friedman menyatakan bahwa The structure of a system

is its skeletal frame work it is the permanent shape, the institutional body of the system,

sedangkan unsur substansi dikatakannya

Substance is composed substantive rules and rules about how institution should behave.12 Selanjutnya faktor budaya atau kultur dimaksudkan adanya kesadaran hukum (keinsyafan) anggota masyarakat untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang dilanggar, melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai warga masyarakat, dan mengerti akibat-akibat hukumnya jika melanggar hukum.13 Model pendekatan yang sama

juga dikemukakan oleh Robert B.Seidman14 bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat melibatkan beberapa unsur atau aspek yang saling memiliki keterkaitan sebagai suatu sistem. Beberapa aspek tersebut yaitu lembaga pembuat hukum (law making institutions); lembaga sanksi (sanction activity institution); pemegang peran (role occupant); kekuatan societal personal (societal personal force); budaya hukum (legal cultural); serta unsur-unsur hukum yang sedang berjalan.

Berkaitan dengan penegakan hukum dalam pengelolaan perikanan, dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan dari kedua pendapat tersebut; Aspek pertama, yakni struktur hukum yakni lembaga yang berwenang melakukan penegakan hukum. Berdasarkan penelusuran ditemukan operasi pengamanan oleh Polisi Air Nusa Tenggara Timur, dan Dinas Perikanan di perairan laut daerah di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata sering dilakukan. Hal ini didukung juga dengan kebijakan pemerintah daerah untuk menindak tegas pelaku pengeboman ikan, seperti yang dilakukan pemerintah daerah Kabupaten Flores Timur dengan membakar kapal pengeboman ikan

11 Dadin E. Saputra, “Hubungan Antara Equality Before the Law dalam Penegakan Hukum di Indonesia dengan Harmonisasi Konflik Antar Lembaga Penegak Hukum”, Syariah Jurnal Ilmu Hukum Vol. 15, No. 1, (Juni 2015): 6

12 Edi Warman, “Paradoks Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi di Indonesia”, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 8, No. 1, (Mei 2012): 47.

13 Didiek Sukriono, “Penguatan Budaya Hukum dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik sebagai Upaya Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum Padjajaran Vol. 1, No. 2, (2014): 234.

14 Gunarto, “Optimalisasi Kepemilikan Saham Perusahaan oleh Serikat Pekerja untuk Meningkatkan Kesejahteraan Pekerja di PT.Fiscous South Pasific”, Jurnal Ilmiah Sultan Agung Vol. 49, No. 125, (November, 2011): 8

(7)

berdasarkan putusan pengadilan.15 Akan tetapi, upaya tersebut dinilai masih belum efektif, karena di beberapa lokasi perairan laut daerah Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata masih marak terjadi bom ikan dan sebagainya. Berikut ini dipaparkan data kasus pelanggaran pengelolaan perikanan:

a. Kabupaten Flores Timur

Kasus penangkapan ikan secara ilegal telah menjadi ancaman bagi kelestarian lingkungan laut terutama ekosistem terumbu karang di wilayah perairan laut Kabupaten Flores Timur. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa nelayan tradisional pada umumnya menggunakan potasium dan bahan peledak (bom ikan) dalam penangkapan ikan di beberapa wilayah perairan laut Kabupaten Flores Timur.16 Bahkan menurut Paul L. Kedang selaku Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) cabang Flores Timur, menjelaskan bahwa penggunaan potasium dan bom ikan banyak beroperasi di daerah pesisir perairan laut Flores Timur. Pada tahun 2018 terdapat kasus nelayan tradisional di perairan laut Likotuden yang membawa 8 (delapan) karung potasium. Jika satu karung beratnya 25 kg, maka totalnya 200 karung, akibat potasium merusak terumbu karang dan

biota laut.17 Keluhan lainnya dikemukakan oleh Benediktus Basa Jawan sebagai Kepala Desa Bubu Atagamu, Kecamatan Solor Selatan, yang mengatakan bahwa aksi pengeboman ikan marak terjadi di perairan Solor Selatan, sehingga mengakibatkan rusaknya keanekaragaman hayati di sekitar perairan Solor Selatan.18

b. Kabupaten Lembata

Beberapa kasus dapat dikemukakan antara lain belasan kapal nelayan yang beroperasi di perairan laut Lewoleba tanpa mengantongi izin dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata.19 Selanjutnya kasus penangkapan ikan dengan menggunakan racun yang mematikan ikan dan biota laut lainnya oleh 15 nelayan asal Bima (15 Juli 2016). Modus yang digunakan para nelayan itu yakni menebarkan racun pada beberapa titik berkumpulnya ikan. Seusai menyiram racun mereka menyelam secara bergantian mengambil ikan, lobster, teripang dan lainnya yang pingsan atau mabuk racun20 selain itu, ditemukan juga kasus penangkapan ikan menggunakan alat bantu kompresor (9 Mei 2017) yang dilakukan oleh enam orang warga dari Desa Bajo Pulau, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mereka menangkap

15 Dokumentasi Semiloka tentang Menjaga Keanekaragaman Hayati Perairan Solor Selatan, Flores Timur yang digelar Yayasan Tanah Ile Boleng (YTIB) bersama Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial dan Pemda Flotim, di Desa Bubu Atagamu, 13 Juni 2017, Sekretariat Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur, diambil 24 Juli 2018

16 Berita dalam Dokumentasi dan Publikasi Sekretariat Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur, diambil 25 Juli 2018

17 Ibid. 18 Ibid.

19 Berita dalam Dokumentasi dan Publikasi Sekretariat Dinas Perikanan Kabupaten Lembata, diambil 25 Juli 2018

(8)

ikan dengan menggunakan kompresor di perairan laut Desa Jontona, Kecamatan Ile Ape Kabupaten Lembata.21 Ada juga kasus pemboman ikan seperti terjadi di pantai Bobu Kecamatan Lebatukan yang dilakukan oleh nelayan tradisional dari Ende, Maumere, Alor, dan Flores Timur. Aksi pemboman ikan selalu disaksikan warga setempat, namun warga tidak dapat berbuat apa-apa menghadapinya karena tidak memiliki fasilitas untuk mengejar atau membatasi aksi nelayan liar dari luar Lembata itu. Berdasarkan laporan masyarakat, setelah melakukan pemboman, para oknum pelaku biasanya memacu perahu motornya menuju perairan Alor karena jarak dari pantai Bobu ke perairan laut Kabupaten Alor lebih dekat, dibandingkan dengan jarak ke daerah lain.22

Aspek Kedua, yakni substansi hukum,

yaitu aturan hukum yang mengatur perilaku nelayan mengelola perikanan. Berdasarkan penelusuran terhadap produk hukum daerah di bidang perikanan tidak ditemukan peraturan daerah atau peraturan bupati di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata yang mengatur pengelolaan perikanan oleh nelayan, seperti: (1) zona penangkapan ikan bagi para nelayan, misalnya nelayan Pole dan Line; (2) ukuran kapal yang digunakan nelayan seperti 3 GT; (3) zona bagan dan rumpon; (4)

penggunaan alat tangkap ramah lingkungan; (5) lalu lintas perdagangan di perairan laut agar terpenuhinya kebutuhan ikan bagi masyarakat dengan harga yang relatif terjangkau; dan (6) perlindungan terumbu karang.23

Aspek Ketiga, yakni budaya hukum sebagai sikap dan perilaku masyarakat untuk menaati aturan hukum. Terdapat kecenderungan nelayan tidak mempedulikan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, sehingga menunjukan rendahnya kesadaran nelayan untuk menaati aturan hukum. Padahal budaya hukum merupakan suatu unsur esensial dalam mengubah suatu struktur yang statis dan sekaligus merupakan suatu kumpulan norma yang menjadi hukum yang hidup (living law). Akan tetapi, ada hal yang menarik bahwa nelayan tradisonal dalam aktivitas menangkap ikan lebih menaati hukum adat Lamaholot yang mengandung kearifan lokal. Apabila disimak kehidupan nelayan di desa-desa nelayan pada kedua kabupaten, menunjukan hukum adat Lamahlot memengaruhi perilaku nelayan dalam mengelola sumber daya perikanan. Dengan demikian, nelayan menjunjung tinggi tradisi budaya berupa sistem kepercayaan, ritual, pantangan, dan sanksi adat.

21 Berita dalam Dokumentasi dan Publikasi Sekretariat Dinas Perikanan Kabupaten Lembata, diambil 27 Juli 2018

22 Ibid.

23 Bandingkan dengan Peraturan Desa Birawan di Kecamatan Ilebura Kabupaten Flores Timur yang mengatur perlindungan terumbu karang. Desa di pantai selatan Flores Timur ini melalui peraturan desa melarang masyarakatnya untuk: (1) berkarang; (2) menggunakan pola penangkapan ikan karang pakai besi tajam; (3) menangkap ikan dengan menggunakan racun akar kayu; dan (4) menangkap ikan di kawasan konservasi. Sumber berita: Harian Umum Pos Kupang, 8 September 2018

(9)

B. Pengelolaan Perikanan Menurut Hukum Adat Lamaholot

1. Kabupaten Flores Timur

Pada hakikatnya hukum adat yang mengandung kearifan lokal merupakan bagian dari kebudayaan dan secara lebih spesifik merupakan bagian dari sistem pengetahuan tradisional. Kearifan lokal disebut juga local

genious, yang terdiri atas beberapa nilai

universal yaitu historis, sistem kepercayaan, etika, estetika, sains, dan teknologi.24 Secara substansi, pokok-pokok isi dari kearifan lokal meliputi: konsep lokal, cerita rakyat, sistem kepercayaan berupa ritual keagamaan, dan berbagai pantangan dan anjuran yang terwujud sebagai sistem perilaku dan kebiasaan publik. Berkaitan dengan pengelolaan perikanan di Kecamatan Adonara Timur khususnya di Desa Lamahala Jaya dan desa yang berbatasan dengannya yaitu Desa Terong, kearifan lokal dalam mengelola perikanan menekankan harmonsasi, keseimbangan, dan keberlanjutan. Hal ini tidak terlepas dari alam pikir masyarakat nelayan tradisional yang memandang bahwa hukum adat Lamaholot bercorak religius magis, yang mengajarkan bahwa tugas manusia adalah untuk menjaga keseimbangan kehidupan alam semesta, dan jika perilaku manusia menjadi serakah dengan merusak keseimbangan alam, atau tidak selaras dengan alam, maka akan terjadi kegoncangan dalam alam semesta yang dapat berupa bencana alam.

Sehubungan dengan sistim kepercayan masyarakat nelayan tradisional dalam mengelola perikanan dapatlah dikatakan merupakan semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Oleh karenanya sistim kepercayaan bukan hanya menyangkut pengetahuan atau pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologi. Seluruh sistim kepercayaan ini dihayati, dipraktikan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam dan yang gaib.

Melalui kajian terhadap hukum adat Lamaholot yang berkembang dalam kehidupan nelayan tradisional di Desa Lamahala Jaya dan Desa Terong, diketahui bahwa dalam sejarahnya nelayan tradisional memandang kehidupan baik di darat maupun di laut masing-masing memiliki Nitun yaitu roh penjaga alam sebagai wujud tertinggi. Oleh karenanya dalam memanfaatkan sumber daya ikan di laut, nelayan tradisional harus meminta izin atau memintah restu dari Nitun. Apabila

24 I Wayan Geriya, Konsep dan Strategi Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Penataan Lingkungan Hidup Daerah Bali, Makalah Seminar Nasional, (Denpasar: Lemlit Universitas Udayana, 2005), hlm. 3

(10)

para nelayan menangkap ikan tanpa meminta izin pada Nitun akan menimbulkan bencana pada nelayan tradisional. Keadaan yang sama juga terjadi pada nelayan tradisional apabila dalam menangkap ikan menggunakan bahan-bahan yang merusak ekosistem laut dan ikan, seperti bom ikan, dan lain sebagainya maka akan mendapat kutukan dari Nitun.

Pelaksanaan ketentuan adat tersebut dilakukan melalui upacara adat yang ditujukan pada Nitun, dan dilengkapi dengan bahan-bahan sesajian seperti: telur, nasi kuning, kunyit, tembakau yang digulung dalam daun lontar, sirih dan pinang serta perahu yang di buat dari daun lontar. Semua bahan upacara adat tersebut berjumlah ganjil, dan pada saat dilakukan upacara, bahan sesajian di bungkus dengan daun koli dan diletakan di dalam perahu. Sebelum bahan-bahan sesajian dilepas ke laut, pemangku adat memanjatkan doa sambil wajahnya menghadap ke arah barat laut pada saat tengelamnya matahari. Penyampaian doa menggunakan bahasa setempat, seperti pada bahasa adat di desa Lamahala berikut ini:

lauha”ridepadaialapetanaheka go lodo go tutu tapanmari go oreoladoreko”onoto”u-To’umusipihakagetana, go lodolaukaimobu-kasi pita balikara, goi no go lolon mitewai-nabelauhodeumalamakmo, go kaiko’ori-buko’oratuh, olanoino”oraine, sihari here ileno’owaisilewaketekaika’agelekatlewotana. Go menu moene’Ika’ame, raeile di go

gelekatlauhari di go gelekatkodaka’arogohu, kirika’arowahaka.25

Berdasarkan fakta tersebut, maka tidak dapat dipungkiri bahwa hukum adat Lamaholot di kabupaten Flores Timur, erat kaitannya dengan komponen rasionalitas adat berupa kepercayaan, pantangan, dan anjuran yang dijunjung tinggi sebagai pedoman perilaku.

2. Kabupaten Lembata

Masyarakat nelayan tradisional di Kabupaten Lembata memiliki hukum adat Lamaholot yang mengadung potensi dan kekayaan sistim kepercayaan yang cukup banyak. Kepercayaan tersebut dianut sebagai suatu bentuk peradaban dan sistim nilai serta pranata yang berkaitan dengan usaha pengelolaan perikanan. Kekayaan kepercayaan tersebut menuntun mereka untuk selalu hidup selaras, harmonis dengan alam lingkungannya. Lamalera merupakan sebuah wilayah terdapat di Kecamatan Wulandoni yang terletak disebelah selatan bagian barat pulau Lembata. Lamalera memiliki dua desa yang berdekatan yakni Desa Lamalera Atas (A) dan Desa Lamalera Bawah (B). Adapun suku Lamalera terdiri atas beberapa suku, antara lain: Ebang, Wujon, Tenaor, Tufaona, Lika Telo (3 suku pendiri Lamalera: (1) Blikololong (Puhuu); (2) Lewotuka (Levo Tuka); dan (3) Bataona (Batfor, Dediona. Sulaona)), Tapaoona, dan lain-lain.26 Masyarakat Lamalera merupakan masyarakat

25 Wawancara dengan Ahmad Daud sebagai Pemangku Adat desa Lamahala Jaya di kecamatan Adonara Timur Kabupaten Flores Timur, dikatakan bahwa ritual adat dengan menggunakan bahasa adat ini dilakukan beberapa tahun yang silam, saat itu nelayan tradisional melakukan kesalahan dalam mengelola lingkungan laut sehingga nelayan tidak mendapatkan ikan, 26 Juli 2018.

(11)

yang memandang laut dan darat mempunyai hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik. Hal ini senada dengan yang dikatakan Barker bahwa perilaku dan lingkungan merupakan dua hal yang saling menentukan dan tidak dapat dipisahkan. Apa yang dilakukan seseorang di darat akan mempengaruhi apa yang akan terjadi di laut, begitu pun sebaliknya. Pengetahuan mereka terhadap hubungan laut dan alam memunculkan persepsi bahwa prilaku yang sesuai dengan norma yang dianut harus selalu dilakukan agar ekosistem selalu stabil dan dapat dimanfatkan secara berkelanjutan. Keyakinan ini pula yang menjadikan prosesi penangkapan paus yang merupakan mata pencaharian utama di Lamalera mengandung nilai dan norma yang khas. Masyarakat Lamalera merupakan masyarakat dengan tradisi yang dipengaruhi oleh ajaran Katolik. Hal ini dimungkinkan karena daerah Lamalera termasuk salahsatu daerah penyebaran Katolik pertama di Indonesia yang dibawa oleh bangsa Portugis pada abad ke 16 Masehi.27

Secara sosio-kultural peradaban masyarakat nelayan tradisional di Desa Lamalera A dan B tidak berbeda, karena pada dasarnya berasal dari asal usul yang sama. Masyarakat nelayan tradisional Lamalera memiliki keunikan tersendiri terutama dalam hubungan dengan aktivitas melaut. Sistim kepercayaan yang sudah menjadi budaya di

Lamalera adalah budaya penangkapan ikan paus secara tradisional. Budaya ini sudah lama dimiliki dimulai sejak zaman nenek moyang dan tetap dipegang teguh oleh setiap anggota masyarakat nelayan dan berlangsung sampai sekarang.Dalam hal penangkapan ikan paus tradisi dan budaya ini terus diwariskan ke generasi berikutnya.

Sistim kepercayaan yang terdapat di desa lamalera adalah sistem kepercayaan dalam bentuk ritual dan upacara adat. Sistim kepercayaan tersebut merupakan suatu perpaduan yang sinergis dan harmonis antara adat dan religius serta harus dilakukan secara teliti, ketat, sempurna dan benar. Sistim kepercayaan berupa ritual dan upacara adat dimaksud dimulai dari proses pembuatan perahu tradisional khusus digunakan penagkapan ikan paus yang dalam bahasa setempat disebut peledang, penyiapan peralatan dan sarana penunjang, peralatan penangkapan ikan paus, proses turun ke laut, pantangan-pantangan dan larangan-larangan yang harus dihindari serta tatacara pembagian hasil tangkapan.

Aktvitas dan musim penangkapan ikan paus yang dikenal dengan istilah Leffa Nuang (musim turun ke laut), yang dilasanakan setiap tahun dan biasanya dimulai sejak bulan Mei sampai dengan bulan Oktober. Beberapa upacara adat dan tahapan penting yang dilakukan pada Leffa Nuang adalah sebagai berikut:28 pertama, Upacara Tobu Nama Fatta,

27 Nendah Kurniasari dan Elly Reswati, “Kearifan Lokal Masyarakat Lamalera: sebuah Ekspresi Hubungan Manusia dengan Laut”, Buletin Riset Sosek Kelautan dan Perikanan Vol. 6, No.2, (2011): 31

28 Wawancara dengan A. Bataona sebagai Pemangku Adat desa Lamalera B kecamatan Wulandoni Kabupaten Lembata, 28 Juli 2018

(12)

para Tua Adat Lamalera berkumpul bersama dengan semua nelayan di sebuah Kapel (Kne’) sejenis gereja Katolik yang berukuran kecil yang dibangun persis di pinggir pantai Lamalera. Pada Tobu Nama Fatta dibicarakan hal-hal yang prinsip yang berkaitan dengan aturan melaut. Selain itu juga semacam forum evaluasi terhadap berbagai kegiatan, hambatan para nelayan Lamalera pada musim penangkapan sebelumnya serta upaya-upaya dan strategi yang harus diantisipasi dan dihadapi nelayan pada musim penangkapan sekarang. Setelah upacara ini para Tua Adat akan menghadap Tuan Tanah Lamalera untuk meminta restu sehingga Leffa Nuang dapat dimulai.

C. Pelembagaan Hukum Adat Lamaholot Melalui Model

Co-Management

Hukum adat Lamaholot memiliki peluang untuk dihidupkan dan ditumbuh kembangkan kembali sehingga dapat mengatur kehidupan dan menjadi pranata, norma dan aturan yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan. Berdasarkan hasil penelusuran terhadap dokumentasi dan publikasi pada Sekretariat Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata, ditemukan adanya persepsi nelayan tradisional untuk mematuhi nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan perikanan, baik itu pantangan, ritual adat

maupun sanksi adat. Cara pandang demikian menurut hemat peneliti memberi makna positif dalam menunjang program kebijakan pengelolaan perikanan berkelanjutan Dinas Perikanan dan penegakan hukum terhadap pengelolaan perikanan di Kabupaten Flores Timur dan Lembata.

Selain itu, dengan persepsi nelayan tradisional seperti itu memperlihatkan kesadaran nelayan akan pentingnya menjaga kelestarian laut dan perikanan sebagai penopang kehidupan mereka. Oleh karena itu, cara pandang seperti ini hendaknya menjadi salah satu instrumen penting dalam memobilisasi kekuatan sosial nelayan tradisional guna mendukung penegakan hukum pengelolaan perikanan. Selain itu, aspek tersebut dapat dijadikan juga pintu masuk atau jembatan yang menghubungkan antara program dan kegiatan pemerintah daerah dengan apa yang menjadi kebutuhan nelayan tradisional. Dengan demikian, program yang direncanakan pemerintah daerah (Dinas Perikanan) diyakini akan dapat berjalan dengan cepat dan tepat sasaran sehingga memberikan dampak terhadap keberhasilan dan keberlanjutan program kebijakan pengelolaan perikanan dan penegakan hukum yang maksimal.29

Sehubungan dengan hal tersebut, hukum adat Lamaholot perlu dilembagakan sebagai

29 Program pembangunan perikanan pada Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata antara lain, yaitu: (1) pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir seperti meningkatkan produksi perikanan laut, penyediaan dan rehabilitasi sarana dan prasarana pengawasan pengendalian sumber daya kelautan antara lain seperti gelar operasi pengamanan sumber daya laut wilayah perairan; dan (2) perlindungan dan konservasi sumber daya alam yaitu program pemberdayaan ekonomi masyarakat dalam pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan.

(13)

pranata kebudayaan dalam hukum daerah yang mengatur pengelolaan perikanan. Masyarakat adat sebagai suatu organisasi persekutuan hukum, saling terkait dan menyatu bagaikan satu pribadi hukum yang berjiwa dan memiliki harta benda material maupun immaterial,30 keberadaannya telah diakui negara di dalam ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perekmbangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Terkait dengan pranata kebudayaan, menurut Koentjaraningrat adalah kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya. Wujud dari kebudayaan itu adalah: (a) wujud ideal; (b) wujud kelakuan; dan (c) wujud fisik. Suatu sistem aktivitas khas dari kelakuan berpola (wujud kedua dari kebudayaan) beserta komponen-komponennya ialah sistem norma dan tata kelakuannya (wujud pertama dari kebudayaan) dan peralatannya (wujud ketiga dari kebudayaan), ditambah dengan manusia dan personel yang melaksanakan kelakuan berpola, itulah yang merupakan suatu pranata atau institution.31 Terkait dengan hal itu, hukum adat Lamaholot secara konseptual dapat digolongkan ke dalam pranata kebudayaan

religious institutions, yakni pranata yang

berkaitan dengan kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan dan alam gaib.32

Adapun melembagakan hukum adat Lamholot menurut teori Bohanan yaitu “pelembagaan kembali” (reinstituonalization), dan “pelembagaan ganda” (double

nstituonalization). Kedua teori model ini

menjelaskan bagaimana keragaman hukum adat suku-suku lokal, dilembagakan kembali atau dilembagakan untuk kedua kalinya ke dalam sistem hukum negara nasional, sehingga berlaku sah dalam seluruh wilayah negara dan terhadap setiap warga negaranya.33 Pentingnya pelembagaan kembali hukum adat Lamaholot merupakan penegasan dari fungsinya sebagai

religious law dan kebiasaan.

Bentuk hukum adat sebagai religious law dan kebiasaan yang dilembagakan adalah ritual adat, pantangan adat dan sanksi adat serta peranan fungsionaris adat dalam mengawasi perilaku nelayan tradisional dalam mematuhi norma adat. Pelembagaan kembali norma hukum adat yang dilakukan oleh fungsionaris adat menunjukan adanya penjiwaan hukum adat (volkgeist), yang tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat adat. Keadaan ini menurut teori realitas dari Van Vollenhoven dipengaruhi pula oleh kepercayaan masyarakat adat yang bercorak magis-religius.34 Dengan demikian, norma

30 Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan dan Agraria, (Bandung: STPN Press, 2012): 301

31 Koenjtraningrat, Op.cit, hlm. 14-15 32 Koenjtraningrat, Op.cit, hlm. 17

33 Herman Soesangobeng, Op.cit, hlm. 302

34 Erman Rajagukguk, Ridwan Khairandy (Ed), Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia, 75Tahun Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH, ML, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001, hlm. 496

(14)

hukum adat yang dilembagakan kembali itu diharapkan mendapatkan penyelesaian terbaik dalam penanganan konflik (pelanggaran) pemanfaatan sumber daya ikan.35

Gagasan pelembagaan kembali hukum adat Lamaholot seyogianya membantu pemerintah daerah, dan aparat penegak hukum yang secara nyata belum efektif mengatasi pelanggaran pengelolaan perikanan daerah. Sebagai bukti regulasi daerah seperti Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Perairan Kabupaten Flores Timur belum efektif ditegakan karena pendekatan yang digunakan sentralisitik artinya hanya terpusat pada Tim Terpadu Pengelolaan Perikanan yang dibentuk pemerintah daerah, dan mengesampingan peran serta pemangku atau fungsionaris adat.36

Berangkat dari kenyataan tersebut, maka penulis menggagas konsep co-management, sebagai pendekatan partisipatif, artinya melibatkan secara partisipatif masyarakat adat sebagai bagian dari sistem integral negara dalam mengelola sumber daya alam seperti sumber daya air, hutan, perikanan, di perairan darat maupun pesisir laut. Konsep ini dimunculkan dari keprihatinan penulis terhadap kelemahan pemerintah daerah Kabupaten Flores Timur dan Lembata yang selama ini hanya membentuk Tim Terpadu

yang terdiri dari unsur pemerintah, penegak hukum, dan asosiasi nelayan, sedangkan mengabaikan fungsionaris atau pemangku adat. Akan tetapi pengawasan terhadap pelanggaran pengelolaan perikanan oleh Tim Terpadu belum efektif, yang disebabkan koordinasinya kurang berjalan optimal.

Konsep co-management, digunakan untuk menghindari peran yang dominan, dan berlebihan dari salah satu pihak dalam pengawasan pengelolaan perikanan yakni pemerintah daerah, sehingga mengabaikan pihak lain, yakni fungsionaris atau pemangku adat. Co-management dapat menyatukan stakeholder terkait dalam proses pengawasan dan pengendalian terhadap pelanggaran pengelolaan perikanan. Untuk itu, terdapat beberapa aspek yang menjadi substansi pengaturan dengan menggunakan model co-management, yaitu: (1) ruang lingkup pengawasan dan pengendalian dilakukan melalui penyebaran informasi kepada masyarakat nelayan tradisional tentang pentingnya kelestarian sumber daya perikanan; (2) pengawasan dan pengendalian terhadap aktivitas dan pemanfaatan sumber daya perikanan yang dilakukan oleh nelayan tradisional dalam kawasan wilayah tangkap dan budidaya perikanan; (3) kelembagaan pengawasan dan pengendalian terdiri atas: Dinas Perikanan, Satuan Pengawas PSDKP,

35 Bandingkan dengan Ni Made Jaya Senastri, “Fungsionalisasi Kearifan Lokal sebagai Wujud Pluralisme Hukum dalam Pelestarian Lingkungan di Desa Tenganan Pegringsingan”, Jurnal Konstitusi Vol. 1, No. 1, (November 2012): 88

36 Abdia Yas, dkk, Potret Pluralisme Hukum dalam Penyelesaian Konflik Sumber Daya Alam, Pengalaman dan Perspektif, (Jakarta: Huma, 2007), hlm. 1

(15)

Pos Pengamat TNI Angkatan Laut, Polisi Perairan dan Udara Kepolisian Daerah NTT, Kepolisian Resort kabupaten, Satuan Polisi Pamong Praja; dan (4) peran serta masyarakat adat dalam pengawasan dan pengendalian pengelolaan perikanan. adapun tahapan kegiatan pengawasan dan pengendalian dapat dilakukan dengan menetapkan perencanaan sebagai pemilihan serangkaian kegiatan dan pemutusan selanjutnya apa yang harus dilakukan, kapan, bagaimana, dan oleh siapa. Perencanaan yang baik dapat dicapai dengan mempertimbangkan kondisi pada waktu mendatang. Ada beberapa langkah yang dilalui dalam tingkatan proses perencanaan yaitu: (a) rencana kerja jangka pendek atau kerja tahunan adalah rencana yang ditetapkan dengan batas waktu yang mencakup satu tahun; (b) rencana kerja jangka menegah dengan batas waktu antara jangka panjang dan jangka pendek; dan (c) rencana kerja jangka panjang yaitu rencana yang ditetapkan dengan batas waktu berkisar tiga tahunan. Selanjutnya, proses pengawasan dan pengendalian, dituangkan dalam bentuk standar prosedur operasional (SOP) sebagai suatu patokan untuk penilaian tujuan, sasaran, dan target pelaksanaan. Untuk melaksanakan SPO perlu menentukan waktu pelaksanaan operasional artinya menentukan pelaksanaan kegiatan berdasarkan periode waktu berapa kali (how often), apakah setiap hari atau setiap

minggu atau setiap bulan atau setiap tahun. Selain itu, hendak diperhatikan juga kegiatan dilakukan melalui pengamatan (observasi) dan berdasarkan laporan.

PENUTUP Kesimpulan

Penegakan hukum oleh pemerintah daerah bersama aparat penegak hukum di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata dalam mengatasi pelanggaran pengelolaan perikanan oleh nelayan tradisional, dinilai belum efektif baik dari aspek struktur, substansi, dan budaya hukum. Oleh karena itu, hukum adat Lamaholot yang mengandung kearifan lokal perlu difungsikan lagi karena mempengaruhi perilaku nelayan tradisional dalam pengelolaan perikanan. Diharapkan hukum adat Lamaholot dapat mendukung pengelolaan perikanan secara berkelanjutan bagi pemerintah kabupaten karena dapat menghubungkan program dan kegiatan pemerintah daerah dengan apa yang menjadi kebutuhan nelayan tradisional. Untuk itu perlu melembagakan hukum adat Lamaholot melalui model co-management sebagai alternatif solusi bagi masyarakat adat menjadi mitra bagi pemerintah kabupaten dan aparat penegak hukum dalam mengatasi pelanggaran pengelolaan perikanan.

(16)

Buku

Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas,

dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia,

1981

Rajagukguk, Erman. dan Ridwan Khairandy (Ed). Hukum dan Lingkungan Hidup di

Indonesia, 75Tahun Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH, ML. Jakarta:

Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000

Soesangobeng, Herman. Filosofi, Asas,

Ajaran, Teori Hukum Pertanahan dan Agraria. Bandung: STPN Press, 2012. Warassih, Esmi. Dkk. Penelitian Hukum

Interdisipliner sebuah pengantar menuju Sosio-Legal. Yogyakarta: Thefa

Media, 2016

Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum Konsep

dan Metode. Malang: Setara Press,

2013.

Yas, Abdia. Dkk. Potret Pluralisme Hukum

dalam Penyelesaian Konflik Sumber Daya Alam, Pengalaman dan Perspektif. Jakarta: Huma, 2007.

Jurnal

Saputra, Dadin E. “Hubungan Antara Equality Before the Law dalam Penegakan Hukum di Indonesia dengan Harmonisasi Konflik Antar Lembaga Penegak Hukum”. Syariah Jurnal Ilmu

Hukum Vol. 15, No. 1, (Juni, 2015)

Sukriono, Didiek. “Penguatan Budaya Hukum dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik sebagai Upaya Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia”.

Jurnal Ilmu Hukum Padjajaran Vol. 1, No. 2, (2014)

Warman, Edi. “Paradoks Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi di Indonesia”. Jurnal Kriminologi

Indonesia Vol. 8, No. 1, (Mei, 2012).

Gunarto. “Optimalisasi Kepemilikan Saham Perusahaan oleh Serikat Pekerja untuk Meningkatkan Kesejahteraan Pekerja di PT.Fiscous South Pasific”. Jurnal

Ilmiah Sultan Agung Vol. 49, No. 125, (November, 2011)

A, Haruddin. Dkk. “Dampak Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Terhadap Hasil Penangkapan Ikan oleh Nelayan secara Tradisional di Pulau Siompu Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara”. Jurnal Ekosains Jurnal

Ilmiah Lingkungan Hidup Vol. III, No. 3, (November, 2011)

Kurniasari, Nendah dan Elly Reswati. “Kearifan Lokal Masyarakat Lamalera: sebuah Ekspresi Hubungan Manusia dengan Laut”. Buletin Riset Sosek

Kelautan dan Perikanan Vol. 6, No.2,

(2011).

Senastri, Ni Made Jaya. “Fungsionalisasi

Kearifan Lokal sebagai Wujud

(17)

Pluralisme Hukum dalam Pelestarian Lingkungan di Desa Tenganan Pegringsingan”. Jurnal Konstitusi Vol. 1, No. 1, (November, 2012)

Makalah

Wayan Geriya, I. Konsep dan Strategi

Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Penataan Lingkungan Hidup Daerah Bali. Makalah Seminar Nasional.

Denpasar: Lemlit Universitas Udayana, 2005.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2014 Nomor 2 Tambahan Lembaran Negara Reppublik Indonesia Nomor 5490

Referensi

Dokumen terkait

maka Pejabat Pengadaan Dinas Perhubungan Komunikasi Informasi dan Telematika Aceh Tahun Anggaran 2013 menyampaikan Pengumuman Pemenang pada paket tersebut diatas sebagai berikut

1. Tingkat persepsi konsumen dalam keputusan pembelian buah pepaya california di pasar swalayan yang dilakukan di Toserba Yogya Ciamis tergolong ke dalam kategori

Dari penelitian yang dilakukan pada lansia di Puskesmas Towuntu Timur, di dapatkan bahwa ada hubungan antara nyeri gout arthritis dengan kemandirian lansia, didapatkan

Pemikiran Keynesian Baru tetap mempertahankan tradisi dari Keynesian yaitu adanya kekakuan dalam harga dan upah nominal, sehingga Keynesian baru berusaha untuk mencari penjelasan

Hal ini dapat di deteksi sejak anak usia pra sekolah atau sekolah dasar, walaupun banyak juga yang terdeteksi saat remaja.. Akibat terlambat terdeteksi,

(2) Mengetahui kelayakan media p embelajaran akuntansi berbasis Adobe Flash Cs6 untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas X Akuntansi SMK Muhammadiyah Delanggu.. (3)

Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara pengetahuan dan sikap sebelum dan sesudah edukasi pada kelompok intervensi (pengetahuan: p= 0,002;

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Pendidikan. Oleh