• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.Sila & Moral 1. Sila (dalam agama Buddha)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "3.Sila & Moral 1. Sila (dalam agama Buddha)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

3.Sila & Moral

1. Sila (dalam agama Buddha)

Sila adalah etika atau moral yang dilakukan berdasarkan cetana atau kehendak. Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ETHOS yang artinya kebiasaan atau adat. Oleh karena itu etika sering dijelaskan sebagai moral. Dalam pandangan Buddhis sila memiliki banyak arti antara lain: norma (kaidah), peraturan, perintah, sikap, keadaan, perilaku, sopan santun, dan sebagainya.

Buddhagosa dalam Kitab Visuddhimagga menafsirkan sila sebagai berikut :

 Sila menunjukkan sikap batin(cetana)

 Sila menunjukkan penghindaran (virati) yang merupakan unsur batin (cetasika)

 Sila menunjukkan pengendalian diri (samvara)

 Sila menunjukkan tiada pelanggaran pada peraturan yang telah ditetapkan (avitikhama)

Sila pertama kali diajarkan Buddha kepada lima orang petapa yang bernama Kon ṇd ṇañña, Vappa, Bhaddiya, Mahānāma, dan Assaji ketika menyampaikan khotbah pertama di Taman Rusa Isipatana.

Dalam khotbah tersebut dijelaskan tentang jalan menuju lenyapnya dukkha yang dinamakan jalan tengah.

Dalam jalan tengah sila memiliki kelompok Ucapan benar, Perbuatan benar dan Mata Pencaharian benar. Sila merupakan dasar yang paling utama dalam

pengamalan kehidupan beragama.

Dengan memiliki agama merupakan langkah awal yang sangat penting untuk mencapai kehidupan yang luhur. Hal tersebut disampaikan dalam Kitab Samyutta Nikaya V, 143, antara lain : “ Apakah permulaan dari batin yang luhur ? Sila yang sempurna “

(2)

CIRI, FUNGSI, WUJUD DAN SEBAB TERDEKAT DARI SILA 1. Ciri Sila (Lakkhana) adalah ketertiban dan ketenangan

2. Fungsi (rasa) adalah untuk menhancurkan yang salah (dussiliya) dan menjaga agar orang tetap tidak bersalah (ancajja)

3. Wujud sila (paccupatthana) adalah kesucian (soceyya)

4. Sebab terdekat adalah Hiri dan Ottapa, hiri adalah perasaan malu untuk berbuat jahat atau kesalahan, ottapa ada perasaan takut akan akibat dari perbuatan jahat. Hiri dan Ottapa disebut Lokapaladhamma atau pelindung dunia.

Sila atau kemoralan dalam agama Buddha dapat disebut dalam berbagai macam pengertian antara lain: sebagai mengatur (silana) yaitu mengkoordinasikan (samadhana), berarti menyelaraskan perbuatan jasmani, dan sebagainya, dengan sila atau menunjang (upadharana), juga berarti sebagai dasar (adhara) karena berfungsi sebagai dasar bagi keadaan-keadaan yang baik atau menguntungkan. Sila juga mengandung pengertian kepala (siras), juga mengandung pengertian dingin (Sitala) (Vism.i, 1996;10).

Sila dalam Patisambhida dikatakan sebagai Kehendak (cetana) yaitu kehendak yang hadir dalam batin seseorang untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup dan sebagainya, atau seseorang yang menjalankan kewajiban (melatih

pengendalian diri, yaitu tujuh kehendak yang (menyertai tujuh pertama) dari

sepuluh jalan perbuatan/kamma seseorang yang menjauhkan diri dari pembunuhan makhluk hidup, dan sebagainya (Vism.1).

Sila sebagai corak batin (cetasika) adalah keadaan yang berpaling dari dalam diri seseorang yang menghindari pembunuhan makhluk hidup dan sebagainya, meliputi tiga macam keadaan yang meliputi tiada ketamakan, tiada itikad jahat, dan

memiliki pandangan benar. Sila sebagai pengendalian (samvara) harus dipahami sebagai pengendalian dengan lima cara yaitu:

(1) Pengendalian terhadap peraturan kebhikkhuan (patimokkha-samvara) (2) Pengendalian dengan perhatian murni (sati-samvara)

(3) Perhatian dengan Pengetahuan (ñana-samvara) (4) Pengendalian dengan Kesabaran (khanti-samvara) (5) Pengendalian dengan semangat (viriya-samvara).

(3)

Sila sebagai tidak melanggar (avitikkama-samvara) adalah tidak melakukan pelanggaran dengan jasmani dan ucapan, tidak melanggar, peraturan latihan yang telah berlaku (Vism.l).

Pahala melaksanakan sila, antara lain : 1. Bebas dari penyesalan

2. Menimbulkan kegembiraan 3. Menghilangkan kegiuran (piti) 4. Mendapatkan ketenangan (Passadi)

5. Mudah memusatankan pikiran (Ekaggata) 6. Memiliki pengetahuan tentang kebenaran

7. Memunculkan kesadaran yang kuat tentang kebenaran 8. Memiliki pengetahuan yang luas

9. Pikiran tenang dan terkendali

10. Tidak terpengaruh oleh kleadaan apapun 11. Tidak mudah marah

Teliti dalam mengerjakan segala sesuatu, dll BENTUK -BENTUK SILA

Dalam Visuddimagga,sila-sila yang banyak itu dikelompokkan atas lima klasifikasi dan masing-masing klasifikasi itu terdiri lagi atas beberapa bagian dengan

keterangan rinci.

* Klasifikasi pertama, terdiri dari satu bagian dan terdiri dari satu kelompok: semua sila yang bertujuandan membawa kepada peningkatan batin yang luhur. * Klasifikasi kedua, terdiri dari tujuh bagian, masing-masing bagian terdiri dari dua kelompok sila:

1. Caritta-sila dan varitta sila

Melakukan yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha adalah caritta –sila dan tidak melakukan apa yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha adalah varitta-sila.

(4)

Pola perilaku kehidupan keviharaan yang luhur adalah abhisamacarika,sedangkan adibrahamacarika adalah kondisi awal untuk Jalan Kehidupan Suci(magga

brahmacariya). Abhisamacarika-sila adalah peraturan kecil yang berada di luar adibrahamacarika-sila.

3. Viratti-sila dan Aviratti-sila

Suatu sila yang bercorak pantangan (cetasika viratti). Pantangan yang merupakan unsur utama untuk timbulnya sila adalah viratti-sila.

Aviratti-sila adalah suatu sila yang bercorak kehendak (aviratti-sila) dan kehendak ini merupakan unsur utama untuk timbulnya sila. Jadi, bukan karena

pantangan,melainkan karena kehendak untuk tidak melakukan yang bertentangan dengan sila.

4. Nissita-sila dan Anissita-sila

Nissita-sila adalah sila yang berkaitan dengan keinginan atau pandangan salah. Sedangkan anissita-sila adalah sila yang tidak berkaitan dengan keinginan dan pandangan salah.

5. Kalapariyanta-sila dan Apanakotika-sila

Sila yang pelakunya bertekad untuk melaksanakannya dalam jangka waktu yang terbatas disebut kalapariyanta, bila pelakunya bertekad melaksanakan suatu sila untuk seumur hidupnya adalah apanakotika.

6. Sapariyanta-sila dan Apariyanta

Sapariyanta-sila adalah sila yang dilanggar demi untuk

keuntungan,kemashyuran,sanak keluarga,anggota badan,dan hidup. Sila yang dilaksanakan dengan konsisten meskipun harus mengorbankan jiwanya adalah apariyanta-sila.

7. Lokiya-sila dan Lokuttara-sila

Sila yang disertai oleh kekuatan batin (asava) adalah lokiya-sila dan sila yang bebas dari semua kekotoran batin (anasava) disebut lokuttara-sila.

* Klsifikasi ketiga, terdiri dari lima bagian, masing-masing bagian terdiri dari tiga kelompok sila:

(5)

Sila yang dilaksanakan untuk kemasyuran,kedudukan dan sebagainya disebut hina-sila;bila dilaksanakan demi hasil kebajikan adalah majjima-sila;yang dilaksanakan dengan pengertian bahwa sila itu sudah sewajarnya, sudah sepatutnya dilaksanakan disebut panita-sila.

2. Attadhitapateyya-sila,lokadhipateyya-sila,dan dhammadhi-pateyya-sila. Attadhipateyya-sila adalah sila yang dilaksanakan untuk kehormatan bagi dirinya sendiri karena kedudukannya dan untuk menghargai dirinya sendiri. Sila yang dilaksanakan berdasarkan pertimbangan untuk pendapat umum disebut

Lokadhipateyya-sila. Dan bila sila dilaksanakan demi menghormati Dharma adalah Dhammadhipateyya-sila.

3. Paramattha-sila,aparamattha-sila,dan patipassadhi-sila

Nissita-sila ialah sila yang berkaitan dengan (tanha) dan pandangan salah (micca-ditthi. Sila-sila yang termasuk ke dalam nissita-sila adalah paramattha-sila. Aparamattha-sila adalah sila yang sedikit dicemari oleh keingian dan pandangan salah dari seorang perumah-tangga yanh bajik,dan sila dari orang suci yang masih harus melatih diri lagi dinamakan aparamattha-sila. Sila dari Arahat, orang suci yang tidak perlu lagi melatih diri disebut patipassadhi-sila.

4. Vissuddha-sila,avisuddha-sila,dan vematika-sila

Visuddha-sila adalah sila dari seseorang yang telah dibersihkan kembali setelah terjadi penggaran sila. Sila dari seseorang yang telah dilanggarnya,tetapi ia tidak membersihkannya kembali adalah avisuddha-sila. Dan suatu sila yang

dilaksanakan oleh seseorang yang ragu-ragu apakah sudah terjadi pelanggaran,atau sampai taraf yang bagaimanakah yang telah terjadi, atau apakah dirinya telah melakukan pelanggaran disebut vematika-sila.

5. Sekha-sila,asekha-sila,dan nevasekha-nasekha-sila

Sila dari mereka yang telah mencapai Sotapanna-magga sampai dengan Aarahanta-magga adalah sekha-sila. Sila dari mereka yang telah mencapai Arahanta-phala adalah adalah asekha-sila. Sedangkan yang selebihnya yang tidak termasuk ke dalam sekha-sila dan asekha-sila dinamakan nevasekha-nasekha-sila.

* Klasifikasi keempat,terdiri dari empat bagian,masing-masing bagian terdiri empat bagian sila:

1. Hanabhagiya-sila, tithibhagiya-sila, visesabhagiya-sila,dan nibedabhagiya-sila

Hanabhagiya-sila adalah sila dari seseorang yang jatuh dari suatu kedudukan sila karena kecerobohan. Sila dari seseorang yang tetap dimana ia berada,tidak

(6)

mengalami kejatuhan adalah thitibhagiya-sila. Sila dari seseorang yang mendapat kemajuan dalam kehidupan keagamaan karena silanya disebut visesabhagiya-sila. Dan Sila dari seseorang yang dapat mengembangkan pandangan terang sehingga dapat melihat hakikat fenomena alam sebagaimana adanya disebut

nibbedabhagiya-sila.

2. Bikkhu-sila,bikkhuni-sila,anupasampanna-sila, dan gahattha-sila

Semua peraturan-pelatihan yang ditetapkan oleh Sang Buddha untuk para Bhikkhu adalah Bhikkhu-sila. Untuk para Bhikkhuni adalah Bhikkhuni-sila. Dasa

sikkhapada untuk para samanera dan samaneri adalah anupasam-panna-sila, sedangkan gahattha sila adalah pancasila atau atthangika uposatha yang dilaksanakan pada waktu tertentu, khususnya pada hari uposatha

3. Pakatti-sila, acara-sila, dhammata-sila, pubbahetuka-Sila Pakati sila tidak lain dari pancasila, ialah suatu sila alamiah yang berlaku di mana-mana tanpa dibatasi zaman. Acara sila adalah tradisi yang terdapat dalam masyarakat tertentu yang mencakup semua tatatertib, peraturan, tata susila, tatanan masyarakat dan lain-lain semacam itu yang terdapat dalam diri seseorang, keluarga dan

masyarakat.

Dhammata-sila adalah sila yang luar biasa yang hanya terdapat dalam peristiwa alam yang luar biasa, misalnya sila yang dilaksanakan oleh ibu yang sedang

mengandung bodhisattva-salah satunya adalah tidak melakukan hubungan kelamin atau tindakan yang menuruti keinginan nafsu-berahi.

Sila yang luhur dari makhluk suci yang timbul dari pengamalan hidupnya yang lalu disebut pubbahetuka-sila.

4. Patimokkha-samvara-sila, indiya-samvara-sila, ajivapari-suddhi-sila, dan paccaya-sannissita-silla patimokkha-samvar-sila. Sila berupa pengendalian panca indria: mata, telinga, hidung, lidah , dan kulit atau sentuhan jasmani disebut indriaya-samvara-sila.

Ajivaparisuddhi-sila adalah sila berupa penghindaran memperoleh kebutuhan hidup dengan mata pencaharian yang salah, seperti : penipuan atau

memperdayakan orang lain (kuhana), menjilat (lapana), membisu (nemittikata), pemaksaan (nippesikata), memberi sedikit dengan harapan memperoleh balasan yang lebih banyak (labhena labham nijigimsana).

Sila beruapa penggunaan empat kebutuhan pokok: jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan yang sesuai dengan fungsinya yang pokok dan kehidupan sebagai samana/petapa disebut paccayasannissita-sila.

(7)

Keempat kelompok sila tersebut di atas khusus untuk para Bhikkhu dan Bhikkhuni. Sila-sila ini juga dilaksanakan oleh samanera dan samaneri, tetapi tidak seluas yang dilaksanakan oleh para bhikku dan bhikkuni.

* Klasifikasi kelima terdiri dari dua bagian, masing-masing bagian terdiri dari lima kelompok sila:

1. Pariyamtaparisuddhi-sila (sila yang terbatas penyuciannya). Sila ini bukan untuk orang yang telah menjalani upasampada menjadi bhikku atau bhikkhuni. Apariyantaparisuddhi-sila (sila yang tidak terbatas penyuciannya) adalah sila untuk orang yang telah mengalami upasampada menjadi bhikkhu dan bhikkhuni.

Paripwmaparisuddhi-sila (sila yang paripurna penyuciannya) adalah sila orang duniawi yang baik karena silanya bersih dari keinginan dan pendangan-salah, atau sila yang bukan merupakan nissita-sila.

Aparamatthaparisuddhi-sila (sila dari sekha-puggala yang masih memerlukan penyucian) adalah sila dari ariyapuggala mulai dari sotapanna-magga sampai dengan Arahanta-mangga yang masih memerlukan latihan untuk kesempurnaan sila.

Patipasaddhiparisudhi-sila (sila yang tidak memerlukan latihan lagi) adalah sila dari seoarng arahat.

2. Pahana-sila (sila meninggalkan), veramani-sila (sila menghindari), cetana-sila (cetana-sila kehendak atau kemauan), sanvara-cetana-sila ( cetana-sila pengendalain diri), dan avitkkama-sila (sila pelanggaran).

2. Definisi Moral

Moral berasal dari bahasa Latin mos yang berarti:

 Ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban:sinonim dengan akhlak, budi pekerti, dan susila.

 Kondisi mental yang membuat mereka tetap berani, bersemangat, bergairah, dan berdisiplin, isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan.

(8)

Menurut bahasa Pali, “sila” dalam pengertian luas adalah “etika” dan dalam pengertian sempitnya adalah “moral”.

Moral dalam Agama Buddha yang dipersepsikan sebagai sila bertujuan praktis untuk menuntun orang menuju tujuan akhir yaitu kebahagiaan tertinggi. Setiap individu bertanggung jawab pada keberuntungan maupun ketidak-beruntungannya sendiri, sehingga ia harus mengusahakan pembebasannya sendiri melalui

pemahaman dan usaha. Teori etika atau moralitas umat Buddha terungkap secara praktis dalam berbagai prinsip sebagai panduan umum untuk menunjukkan arah menuju pembebasan akhir, dengan perimbangan antara moralitas negatif yang melarang dan moralitas positif yang menganjurkan. Prinsip-prinsip moralitas tersebut dapat kita temukan dalam nasehat Buddha (Buddha Ovada) kepada para siswaNya yang berbunyi:

"Jangan berbuat kejahatan, berbuat kebajikan, sucikan hati dan pikiran ... "(Dh. 183).

3. Dasar dasar pelaksanaan Sila

Pelaksanaan Sila

A. Dengan Pengendalian Diri (Samvara)

1. Patimokkha Samvara : mentaati peraturan atau disiplin yang telah ditentukan. 2. Sati Samvara : mengendalikan diri dengan Perhatian yang Benar.

3. Nana Samvara : mengendalikan diri dengan Pengetahuan. 4. Khanti Samvara : mengendalikan diri dengan Kesabaran.

5. Viriya Samvara : mengendalikan diri dengan kekuatan semangat atau kemauan. Cara untuk mengendalikan diri dari segala perbuatan, ucapan, dan pikiran yang tidak baik, dapat juga digolongkan dalam tiga cara, yaitu sbb :

1. Sikkhapada : melaksanakan latihan-latihan pengendalian diri seperti melaksanakan Panca Sila, Atthanga Sila, Dasa Sila, dll.

2. Carita Sila : dengan jalan melaksanakan hal-hal yang baik, seperti berdana, merawat orang tua, menolong makhluk lain, dan sebagainya yang berhubungan dengan kebajikan.

3. Varitta Sila : dengan jalan menghindari hal-hal yang tidak baik, seperti tidak bergaul dengan orang jahat, tidak melakukan hal-hal yang dilarang, dsb.

(9)

B. Dengan Pantangan (Viratti)

Mereka yang dapat menjauhkan diri dari kejahatan-kejahatan, dapat dikatakan telah mematuhi Sila. Perbuatan menahan diri yang demikian itu, disebut Viratti, dan terdiri dari tiga tingkatan, yaitu :

1. Sampatti Viratti (Pantangan Seketika)

Pantangan seketika adalah pantangan dari seseorang tanpa rencana terlebih dahulu untuk menahan diri dari melakukan perbuatan jahat. Walaupun ada kesempatan untuk melakukannya, dia cukup kuat untuk menahan diri dari godaan. Jadi dia tidak membunuh, mencuri, berzinah, berbohong, atau meminum minuman keras, karena menurut hematnya perbuatan itu tidak pantas dilakukan.

2. Samadana Viratti (Pantangan karena Janji)

Pantangan ini dijalankan karena suatu janji (kaul). Misalnya umat Buddha yang telah berjanji melaksanakan Panca Sila, juga para bhikkhu dan bhikkhuni dalam menjalankan Sila-sila mereka. Fungsi pantangan disini adalah untuk memenuhi janji tersebut.

3. Samuccheda Viratti (Pantangan Mutlak)

Pantangan Mutlak adalah pantangan melalui penghancuran semua sebab yang akan membawa pada pelanggaran. Ini menunjukkan sifat dari seorang Arahat, yang mutlak tidak akan melanggar sila-sila ini pada saat ia telah mencapai Penerangan Sempurna.

3.1. Sati dan Sampajanna

Sati artinya perhatian, kewaspadaan, dan ingatan. Lawan dari sati adalah lupa. Akibat dari lemahnya sati(perhatian) adalah kehancuran.

Misalnya : Anda mempunyai janji penting untuk interview pekerjaan, namun Anda melupakannya.

Sang Buddha menyabdakan : "Sati Sabbattha Patthiya : perhatian diperlukan dalam setiap kondisi dan tempat". Mengapa kita bisa bangun lebih awal, ikut kebhaktian, ingat janji yang telah diutarakan, melunasi utang tepat waktunya, belajar dengan sungguh sungguh dikala ujian, makan obat secara rutin dikala sakit dan

seterusnya…? Semuanya bisa terlaksana dengan baik, tidaklah terlepas karena "sati: perhatian" yang dimiliki, masih stabil keberadaannya. Lawan dari Sati adalah lupa. Jadi konsekwensi (resiko) dari lemahnya sati (perhatian) adalah kehancuran, misalnya: dikala ada rapat penting, kita terlambat atau lupa menghadirinya, lupa

(10)

melunasi utang, lupa makan atau berobat dan seterusnya. Selanjutnya, apakah yg bakal terjadi…? Semua bentuk kemalangan kemalangan yg tidak semestinya, pasti akan muncul kepermukaan. Jadi, sati (perhatian) selain bermanfaat agar kita

terhindari dari perbuatan perbuatan yang tidak baik, juga bisa mencegah atau mengurangi diri kita, dari serangan serangan karma yang mungkin saja, akan matang disaat tersebut. Dengan dimilikinya sati (perhatian), kita tidak akan mudah terpedaya atau terdorong ke lembah dukkha (derita) sebagai akibat dari tindakan salah yang diperbuat. Disamping itu, sati juga akan mempe-teguh bathin kita, untuk senantiasa mau menyemai, menabur atau menanam kebajikan sebanyak banyaknya. "Na pa-ram napi atta-nam-Vihimsati sama hito : Orang yang BATHIN nya teguh, tidak akan MENGANIAYA orang lain maupun diri sendiri",

demikianlah yg disabdakan oleh Sang Buddha. Satu hal yang pasti, bahwa sati yang telah terbina dengan baik, tidak akan mudah luntur dan hancur, walaupun sakit bertahun tahun, kurang makan, mengalami proses penuaan atau kematian yang datang menjelang. Tetapi bukanlah berarti bahwa sati yang telah terbina dengan baik, akan permanen keberadaanya didalam diri kita. Sati harus dibina terus menerus dan sekali kita lengah, maka sati akan rapuh dan mudah sekali mengalami kehancuran. Salah satu penyebab hancurnya Sati adalah jika kita terlena sehingga melanggar sila ke V dari Pancasila Buddhis, yang isinya adalah sebagai berikut: "Surameraya majja pama-da-tthana veramani sikha-padang

samadiyami : Kami berjanji/bertekad untuk menghindari memakan atau meminum segala sesuatu, yang mana bisa menyebabkan hilangnya kesadaran diri (mabuk )". Dizaman yang serba praktis dan materialitis ini, apapun bisa dijumpai dan

didapatkan, asalkan memiliki sejumlah materi. Disinyalir saat ini, minuman minuman yang berkadar alkohol rendah sampai yang tinggi atau obat obat

penenang (terlarang) yang mana bisa membuat sipemakai "on/fly" seketika, adalah hal yang umum dijumpai atau didapatkan, di tempat tempat hiburan malam. Nach, bagi yang bathinnya tidak terbina dengan baik serta terbius akan nikmatnya

(menurut pengakuan si bodoh yang telah mencoba) benda benda terlarang ini, akan segera memakainya. Pemakaian obat obat terlarang ini, akan mempercepat

hancurnya sati. Dan bathin yang satinya telah hancur, akan mudah sekali

terjerumus ke liang derita, sebagai akibat dari perbuatan perbuatan tercela yang dilakukan. Dikala mabuk atau istilah ngetopnya saat ini adalah lagi "on/fly", semua tindakan, baik melalui ucapan maupun tin-dakan badan jasmani yg sifatnya tercela adalah hal umumnya dijumpai. Dia tidak akan ada lagi rasa malu atau segan, untuk mau melakukan perbuatan perbuatan jahat, baginya berbicara kasar (jorok),

mencuri, menyiksa, menipu dan bahkan membunuh adalah hal yang biasa. Sebagai akhir dari lemahnya sati adalah penderitaan yang berlarut larut dan akan jauh dari kebahagiaan. Didalam sabda Nya, Sang Buddha menyabdakan bahwa salah satu cara agar sati ini terawat dengan baik adalah dengan menghindari orang bodoh

(11)

(jahat). " Na bhaje papake mitte: Janganlah bergaul dengan teman yang jahat ", demikianlah yang selalu ditegaskan Sang Buddha. Bergaul dengan orang jahat, tiada manfaat yang bisa diraih, selain dari pada penderitaan yang

berkesinambungan. Bergaul dengan orang jahat, sama ibaratnya dengan kertas wangi yang membungkusi kotoran busuk. Setelah kotoran tersebut dibuang maka sisa aroma busuknya, akan tetap melekat dikertas tersebut, disamping wanginya hilang.

Singkatnya dikatakan, tiada manfaat sama sekali bergaul dengan orang jahat, selain dari pada penderitaan yang ditimbulkan. Selanjutnya, ditekankan pula bahwa sati akan semakin kuat keberadaannya di bathin kita, jika sering mempraktekkan meditasi (pemusatan pikiran pada suatu sasaran tertentu).

Sampajanna artinya menyadari. maksudnya disini adalah menyadari dengan baik apapun yang berlaku pada keseluruhan indera.

Misalnya dikala melihat, bathinnya sadar betul akan apa yang sedang dilihat, sehingga tidak sampai menimbulkan kemerosotan bathin.

Di Buddhis di kenal enam indera kesadaran 1. Cakkhu vinnana : kesadaran mata

2. Sota Vinnana : kesadaran telinga 3. Ghana vinnana : kesadaran hidung 4. Jivha vinnana : kesadaram lidah

5. Kaya vinnana : kesadaran badan jasmani 6. Mano vinnana : kesadaran pikiran

Sampa-janna dalam hal ini adalah menyadari dengan baik, dikala melihat bathinnya sadar betul akan apa yang sedang dilihat, sehingga tidak sampai menimbulkan kemerosotan bathin. Disaat mendengar, apakah sesuatu yang

sifatnya pujian atau gossip belaka, bathin harus sadar sepenuhnya akan makna dari suara tersebut, sehingga tidak sampai terperdaya, untuk emosi/marah. Begitu juga dikala mencium aroma, bathin harus senantiasa sadar akan apa yang tercium, sehingga tidak spontanitas mengeluarkan komentar yang tidak seyogianya

dilontarkan. Disaat merasakan sesuatu, apakah manis, pahit, asin atau asam; bathin harus sadar akan hal ini. Selanjutnya dikala tubuh merasakan sentuhan, apakah yang lembut atau kasar; bathin harus menyadari akan maknanya. Kemudian, disaat

(12)

pikiran berkreasi atau memutuskan suatu permasalahan, sadarilah apa yang seharusnya diputuskan, agar tidak menimbulkan kerugian di kedua sisi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Didalam kitab suci Patikavagga diuraikan empat ciri khas dari sampajanna, yang terdiri dari:

1) Sadar akan manfaat dari perbuatan yang sedang dilakukan.

2) Sadar bahwa perbuatan yang sedang dilakukan, sesuai atau tidak dengan diri sendiri.

3) Sadar bahwa perbuatan yang sedang dilakukan, akan menimbulkan sukkha (kebahagiaan) atau dukkha (penderitaan).

4) Sadar bahwa perbuatan yang sedang dilakukan, merupakan kebodohan atau kepandaian.

Jadi manfaat dari dimilikinya Sampajanna ini adalah agar kita sadar dan tidak terlena, akan apa yang berlangsung pada diri kita. Disaat memegang pisau, kita sadar akan apa yang sedang dipegang, sehingga tidak mencelakai orang lain atau diri sendiri. Disaat mengendarai mobil, kitapun harus sadar akan apa yang

seharusnya diperbuat, sehingga tidak terjadi kecelakaan. Diceritakan pada masa kehidupan Sang Buddha, terdapat seorang umat yang sangat berbakti dan

senantiasa menimbun kebajikan. Umat tersebut bernamaVisakha, seorang wanita yang telah divisudhikan menjadi seorang Upasika. Ia adalah pemimpin dari para upasika yang sangat berkeyakinan dan berbakti, terhadap Sang buddha. Dia telah berhasil mendirikan sebuah Vihara yang sangat indah, kemudian di persembahkan kepada Sang Buddha, sebagai wujud dari rasa cinta kasih dan bhaktinya. Pada waktu Vihara itu selesai di bangun, dia sangat bahagia dan gembira sekali. Diajaknya, anak dan cucunya berbaris rapi, berjalan mengelilingi Vihara sambil menyanyikan lagu lagu yang merdu sekali. Orang orang yang menyaksikan

kejadian ini, sangat kagum dan terharu bathinnya. Kemudian mereka menceritakan kepada Sang Buddha, semua kejadian yang mengharukan tersebut. Berkenan dengan peristiwa ini, Sang Buddha bersabda : "Bagaikan sebuah karangan yang dirangkai dengan beraneka macam bunga, demkian pula halnya dengan

KEBAJIKAN, harus dilaksanakan sebanyak mungkin oleh orang yang hidup di dunia fana ini". Selanjutnya, dikisahkan pula, ada seorang Bhikkhu yang bernama Yang Arya Maha Kassapa yang sangat mulia karena perbuatan perbuatan baiknya. Beliau sangat memperhatikan keadaan dan kehidupan orang miskin. Bilamana beliau pergi berkelana dan mengumpulkan dana, beliau selalu memberi

kesempatan kepada fakir miskin, terlebih dahulu. Pada suatu hari diceritakan, Sakka atau Batara Indra, raja dari para dewa turun dari alam kedewaan, ke atas mayapada ini dengan menyamar sebagai tukang tenun yang miskin. Tukang tenun itu lalu menghampiri Yang Ariya Maha Kassapa dan memberikan dana kepada

(13)

beliau. Hal ini diketahui oleh Sang Buddha dan beliau lalu memuji Yang Ariya Maha Kassapa, sambil menyatakan bahwa sampai Batara Indra turun ke atas mayapada ini, karena beliau sangat tertarik dengan kebajikan Yang Ariya Maha Kassapa.

Selanjutnya Sang buddha bersabda : " Sesungguhnya tiada seberapa nilainya keharuman tagara dan kayu cendana. Keharuman orang yang

BERPRIKEBAJIKAN membubung tinggi sampai ke alam dewa. Sesungguhnya sangat mulia KEBAJIKAN itu." Dari dua kisah yang singkat ini, jelaslah bagi kita semua bahwa kebajikan yang diperbuat, pasti akan memberikan kebahagian dan kesejahteraan.

3.2. Hiri dan Ottapa

Hiri adalah hal yang dijunjung oleh mereka yang menghargai martabat dan kehormatan mereka. Sedangkan Ottappa adalah hal yang dijunjung oleh mereka yang menghormati orang tua, guru, teman, dan anggota keluarga lainnya.

Penjelasan lebih lanjut adalah sebagai berikut :

Ketika seseorang beralasan : “ Saya berasal dari keluarga baik-baik, jadi tidak seharusnya saya melakukan tindakan yang tidak terpuji, tidak pantas bagi saya berpenghidupan sebagai nelayan atau pemburu binatang.” Demikian, dia merasa malu untuk melakukan penghidupan yang tidak benar dan dia selalu

mengembangkan kehormatan keluarga atau marganya.

Seseorang yang terpelajar juga berpendapat “ Kita adalah orang terpelajar, kita seharusnya merasa malu melakukan tindakan tidak baik. Kita seharusnya menghindarkan diri dari pembunuhan, pencurian, dan sebagainya.”

Para orang tua juga beralasan :” Kita sudah tua, dan sepantasnya bersikap dewasa serta bijaksana. Jika kita berbuat buruk, kita akan jatuh ke situasi yang

memalukan.”

Ketiga contoh tersebut menunjukkan peranan penting hiri, suatu faktor mental positif, yang ada pada orang yang menghargai martabat dan kehormatan.

Mereka yang memikirkan orang lain juga akan berpikir : “ Jika saya melakukan kejahatan, keluarga, teman, kerabat, guru akan disalahkan karena perbuatan saya. Oleh karena itu saya tidak akan melakukan kejahatan apa pun. Saya akan

menghindari kejahatan.” Ini merupakan contoh yang baik untuk Ottappa. Jadi seseorang bisa memiliki hiri dan ottappa dengan mencoba memikirkan orang lain

(14)

dengan dasar simpati dan memegang kehormatan dan martabat kenalan dekatnya. Namun jika Anda tidak memiliki pertimbangan simpati terhadap keluarga, guru, dan lain-lain. Anda kekurangan hiri dan ottappa, dan akibatnya akan melakukan banyak perbuatan buruk dalam hidup Anda.

Hiri dan Ottappa melindungi Anda dari perbuatan amoral, mencegah anak berbuat tak pantas kepada ibunya, atau mencegah saudara laki-laki berbuat asusila terhadap saudara perempuannya. Keduanya dijuluki sebagai penjaga dunia-Lokapala

Dhamma: hiri dan ottappa melindungi Anda dari perbuatan amoral. Jadu keduanya adalah murni dan postif, yang disebut juga dengan “Sukka Dhamma”. Kedua Dhamma tersebut menjaga manusia agar selalu dalam disiplin moral dan pengendalian moral yang membedakan manusia dengan binatang.

Tanpa adanya hiri dan ottappa, manusia akan tenggelam dalam kejahatan, dan tak ada bedanya dengan binatang. Dewasa ini malah banyak orang yang kurang punya hiri dan ottappa, sebagai contoh dari cara berpakaian, cara makan, dan kelakuan yang kurang senonoh. Jika hal ini dibiarkan berkembang, dunia segera berakhir dalam keruntuhan.

Hiri dan Ottappa Palsu

Meskipun hiri dan ottappa adalah faktor mental positif (kusala cetasika), ada juga hiri dan ottappa yang palsu. Malu dan takut melakukan kejahatan, pantang

melakukan perbuatan salah (duccarita) adalah karena hiri dan ottapa sejati. Malu dan takut untuk menjalankan sila, mengunjungi pagoda dan vihara, mendengarkan uraian Dhamma, berbicara di depan umum, bekerja kasar (tidak malu hidup tanpa pekerjaan dan mati kelaparan), atau malu dan takut seorang pemuda untuk bertemu dengan seorang gadis, adalah contoh-contoh hiri dan ottappa palsu. Dalam

kenyataannya mereka hanya berpura-pura dan memelihara kesombongan yang tak berguna. Menurut abhidhamma semua contoh tersebut tergolong dalam tanha. Empat Hal dimana Rasa Malu Harus Disingkirkan

Dalam berbagai buku disebutkan ada empat hal dimana rasa malu harus disingkirkan :

1. Dalam melakukan perdagangan

2. Dalam belajar dibawah bimbingan guru. 3. Dalam hal makan

(15)

4. Dalam hal cinta

Keempat hal tersebut hanya untuk menegaskan bahwa seseorang harus mantap dalam melakukan sesuatu yang bermanfaat.

Contoh lain dari hiri dan ottappa adalah takut dengan pengadilan dan hukuman. Sungkan pergi ke toilet semasa perjalanan, takut dengan anjing, takut dengan hantu, takut dengan tempat yang belum dikenal, takut pada lawan jenis, takut pada saudara dan orang tua, takut berbicara di hadapan para sesepuh, dan sebagainya, adalah bukan hiri dan ottappa yang sebenarnya. Itu semua adalah semata-mata karena kurangnya kepercayaan diri dan merupakan keadaan buruk (akusala) yang terdorong oleh domanassa (Penderitaan batin).

Jalan Tengah

Penjelasan diatas akan menjernihkan kenyataan bahwa hanya hiri dan ottappa sejatilah yang harus dikembangkan. Tidak perlu merasa malu dan takut untuk melakukan perbuatan yang bermanfaat, tetapi tidak berarti seseorang harus ceroboh dan nekat dalam semua kasus. Kecerobohan akan membawa

ketidakhormatan kepada orang tua, kemarahan, kebencian, dan kesombongan. keberanian dan ketidaktakutan berbuat kebaikan patut di puji, sedangkan kecerobohan dan ketidakhormatan adalah hal yang tidak pantas.

Kenekatan, ketidakhormatan, dan keberanian sia-sia adalah hal yang tidak diinginkan; seseorang harus mantap dan tidak takut hanya dalam melakukan perbuatan baik. Malu dan takut secara berlebihan juga tidak diinginkan. Ada jalan tengah yang harus diikuti oleh semua orang. Seseorang semestinya merasa takut dalam lingkungan di mana dia seyogianya merasa takut; seseorang harus takut dengan perbuatan jahat.

Buddha berkata ;” Abhayitabbe bhayanti, bhayitabbe na bayare.”-Kebanyakan orang takut terhadap sesuatu yang tidak perlu ditakuti dan tidak takut terhadap sesuatu yang seharusnya ditakuti.

4. Pembagian Sila

4.1. Sila menurut jenisnya 4.1.1.Pakati Sila

Pakati Sila artinya sila alamiah (sila yang tidak dibuat oleh manusia). Contohnya hukum tertib kosmis (utu, bija, kamma, dhamma, citta niyama)

(16)

4.1.2.Pannati Sila

Pannati Sila adalah sila yang dibuat oleh manusia berdasarkan kesepakatan atas dasa tujuan tertentu. Contoh : peraturan kebhikkhuan, adat istiadat, peraturan Negara, dan lain-lain

4.2. Sila menurut cara pelaksanaannya 4.2.1.Sikkhapada sila

Sikkhapada sila yaitu melakukan latihan pengendalian diri.

4.2.2.Carita Sila

Carita sila yaitu sila dalam aspek positif (mengembangkan 10 perbuatan baik).

10 jenis perbuatan baik / karma baik

1. Gemar beramal dan bermurah hati, akibatnya adalah diperolehnya kekayaan dalam kehidupan ini atau kehidupan yang akan datang.

2. Hidup bersusila, akibatnya adalah penitisan dalam keluarga luhur yang keadaannya bahagia.

3. Sering melakukan meditasi, akibatnya adalah penitisan di alam bahagia. 4. Berendah hati dan hormat, akibatnya adalah penitisan dalam keluarga luhur 5. Berbakti, akibatnya akan diperoleh penghargaan dari masyarakat

6. Cenderung untuk membagi kebahagiaan kepada orang lain.

7. Bersimpati terhadap kebahagiaan orang lain, akibatnya adalah menyebabkan terlahir dalam lingkungan yang menggembirakan.

8. Sering mendengarkan Dharma, akibatnya adalah berbuah dengan bertambahnya kebahagian.

9. Gemar menyebarkan Dharma, akibatnya adalah berbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan

10.Meluruskan pandangan orang lain yang keliru, akibatnya berbuah dengan diperkuatnya keyakinan.

(17)

4.2.3.Varita Sila

Varita sila yaitu sila dalam aspek negatif (10 karma buruk)

1. Pembunuhan, akibatnya pendek umur, berpenyakitan, senantiasa dalam

kesedihan karena terpisah dari keadaan atau orang yang dicintai, dalam hidupnya senantiasa berada dalam ketakutan.

2. Pencurian, akibatnya kemiskinan, dinista dan dihina, dirangsang oleh keinginan yang senantiasa tidak tercapai, penghidupannya senantiasa tergantung kepada orang lain.

3. Perbuatan asusila, akibatnya mempunyai banyak musuh, beristri atau suami yang tidak disenangi, terlahir sebagai pria atau wanita yang tidak normal perasaan seks-nya.

4. Berdusta, akibatnya menjadi sasaran penghinaan, tidak dipercaya khalayak ramai.

5. Bergunjing, akibatnya kehilangan teman-teman tanpa sebab yang berarti. 6. Kata-kata atau ucapan kasar dan kotor, akibatnya sering didakwa yang bukan-bukan oleh orang lain.

7. Omong kosong, akibatnya bertubuh cacat, berbicara tidak tegas, tidak dipercaya oleh khalayak ramai.

8. Keserakahan, akibatnya tidak tercapai keinginan yang sangat diharap-harapkan. 9. Dendam, kemauan jahat/niat untuk mencelakakan makhluk lain, akibatnya rupa buruk, macam-macam penyakit, watak tercela.

10. Pandangan salah, akibatnya tidak melihat keadaan yang sewajarnya, kurang bijaksana, kurang cerdas, penyakit yang lama sembuhnya, pendapat yang tercela.

5. Empat Sila untuk kemurnian anggota Sangha (Catuparisuddhi Sila)

1. Indriya Samvara Sila (kemoralan dengan mengendalikan indera)

2. Patimokkha Samvara Sila (kemoralan dengan pengendalian melalui peraturan moralitas awam atau bhikkhu, Patimokka Sila)

(18)

3. Ajiva Parisuddhi Sila (kemoralan dalam pengendalian mendapatkan/

menggunakan kebutuhan penghidupan, seperti makanan, obat, pakaian, tempat tinggal)

4. Paccayasannissita Sila (kemoralan dg pegendalian untuk tidak mempergunakan 4 kebutuhan pokok(jubah,makanan, tempat tinggal, obat2an) karena keserakahan).

6.Sila menurut jumlah latihannya 6.1.Cula Sila

Cula Sila adalah cara pengendalian diri dari segala perbuatan dan ucapan yang tidak baik. Disebut Cula Sila karena jumlah sila tersebut paling sedikit yaitu lima sila yang dilaksanakan oleh umat biasa atau upasaka dan upasika.

6.2.Majjhima Sila

Majjhima Sila adalah sila yang sedang dalam jumlah peraturun. Sila ini terdiri dari sepuluh latihan (Dasasila) dilaksanakan oleh samanera.

6.3.Maha Sila

Maha Sila adalah sila yang banyak/berat dalam jumlah peraturan. Sila ini disebut Patimokkhasila dilaksanakan oleh para bhikkhu berjumlah 227 latihan dan bhikkhuni berjumlah 311 latihan.

7. Sila menurut jenis orang yang melaksanakan

Sila menurut jenis orang yang melaksanakan terdiri dari 3 macam, yaitu :

a. Sila upasaka-upasika adalah pancasila Buddhis. Bila kelima sila ini dilaksanakan dengan sungguh-sungguh maka akan memiliki 5 macam kekayaan, al:

• Keyakinan terhadap Triratna dan diri sendiri • Kemurnian sila dan pelaksanaannya

• Keyakinan terhadap hukum karma • Mencari kebaikan di dalam dhamma • Berbuat baik sesuai dengan dhamma

(19)

b. Sila bagi Samanera-samaneri adalah majjhima sila (sila menengah). Untuk aliran Theravada melaksanakan 10 sila dan 75 sekhiya. Untuk aliran Mahayana

melaksanakan 10 sila dan 100 siksakaranya.

c. Sila para bhikkhu dan bhikkhuni disebut patimokkhasila atau panita sila (sila yang tinggi). Sila bagi bhikkhu Theravada berjumlah 227 sila, bhikkhuni 311 sila. Khusus sila bagi para bhikkhuni Theravada telah dihapuskan sejak tahun 1257 m karena dalam aliran Theravada tidak ada lagi sangha bhikkhuni. Sila bagi bhikkhu Mahayana berjumlah 250 sila dan bhikkhuni 348 sila.

7.1.Sila Upasaka-Upasika

Gahattha Sila

Sila bagi para umat awam, yaitu Panca Sila atau Atthanga Sila (pada waktu-waktu tertentu).

Atthanga Sila

Delapan Sila atau Atthanga Sila merupakan praktik latihan disiplin diri. Ada

sebagaian Upasaka-Upasika seumur hidupnya mempraktikkan 8 sila, ada juga yang hanya mempraktikkan 8 sila pada hari tertentu di tanggal 1, 8 15, 22/23 atau 2X sebulan pada waktu bulan gelap dan bulan terang di hari Uposattha.

Uposattha berarti “masuk untuk diam” yang berarti kepatuhan kepada sila. Delapan Peraturan yang terdapat dalam Atthanga Sila, antara lain:

1. Pannatipata veramani sikkhapadam samadiyami

Aku bertekad akan melatih diri menghindari membunuh makhluk hidup 2. Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami

Aku bertekad akan melatih diri menghindari mengambil barang yang tidak diberikan

3. Abrahmacariya veramani sikkhapadam samadiyami

Aku bertekad akan melatih diri menghindari berbuat asusila (hubungan kelamin) 4. Musavada veramani sikkhapadam samadiyami

Aku bertekad akan melatih diri menghindari berkata bohong

(20)

Aku bertekad akan melatih diri menghindari segala minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan

6. Vikala bhojana veramani sikkhapadam samadiyami

Aku bertekad akan melatih diri menghindari makan makanan pada waktu yang salah (setelah jam 12 siang)

7. Naccagitavadita visukadassana, malagandhavilepanna dharanamandana vibhusanatthana veramani sikkhapadam samadiyami

Aku bertekad akan melatih diri menghindari menari, menyanyi, bermain music, dan melihat pertunjukkan, memakai kalungan bunga, perhiasan, wangi-wangian dan kosmetik untuk menghiasi dan mempercantik diri

8. Ucca sayana mahasayana veramani sikkhapadam samadiyami

Aku bertekad akan melatih diri menghindari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan mewah

7.2.Sila bagi Samanera-samaneri

Anupasampanna Sila

Sila bagi para samanera dan samaneri, yaitu Dasa Sila. Dasa Sila

1. Panatipata Veramani Sikkhapadam Samadiyami

Aku bertekad untuk melatih diri menghindari pembunuhan.

2. Adinnadana Veramani Sikkhapadam Samadiyami

Aku bertekad untuk melatih diri menghindari mengambil barang yang

tidak diberikan.

3. Kamesu Micchacara Veramani Sikhapadam Samadiyami(umat

Buddha biasa)

Aku bertekad untuk melatih diri menghindari perbuatan asusila.

Abrahmacariya Veramani Sikhapadam Samadiyami (untuk Bhikkhu)

4. Musavada Veramani Sikkhapadam Samadiyami

(21)

5. Surameraya Majjapamadatthana Veramani Sikkhapadam Samadiyami

Aku bertekad untuk melatih diri menghindari segala minuman keras

yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran.

6. Vikalabhojana Veramani Sikhapadam Samadiyami

Aku bertekad untuk melatih diri menghindari makan makanan setelah

tengah hari.

7. Naccagitavadita Visukadassana Malagandhavilepana

Dharanamandana Vibhusanatthana Veramani Sikkhapadam Samadiyami

Aku bertekad untuk melatih diri menghindari untuk tidak menari,

menyanyi, bermain musik serta pergi melihat tontonan-tontonan.

8. Malagandhavilepana Dharanamandana vibhusanatthana Veramani

Sikhapadam Samadiyami

Aku bertekad untuk melatih diri menghindari pemakaian

bunga-bungaan, wangi-wangian,& alat kosmetik untuk tujuan menghias &

mempercantik tubuh.

9. Uccasayana Mahasayana Veramani Sikkhapadam Samadiyami

Aku bertekad untuk melatih diri menghindari penggunaan tempat tidur

dan tempat duduk yang tinggi dan mewah.

10.Jataruparajata Patiggahana Veramani Sikhapadam Samadiyami

Aku bertekad untuk melatih diri menghindari menerima emas dan perak

(uang).

7.3.Sila Para bhikkhu-bhikkhuni

Bhikkhu Sila

Semua tata tertib yang ditetapkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu. Bhikkhu Sila ada 227, yaitu Patimokkha Sila.

Para bhikkhu menjalankan/mempraktikkan Patimokkha setiap harinya,

yaitu: Parajika 4, Sanghadisesa 13, Aniyata 2, Nissagiya Pacittiya 30,

(22)

Suddhika Paccittiya 92, Patidesaniya 4, Sekhiyavatta 75, Adhikarana

Samatha 7.

Bhikkhuni Sila

Semua tata tertib yang ditetapkan oleh Sang Buddha kepada para

bhikkhuni. Bikkhuni Sila ada 311, yaitu Patimokkha Sila untuk

Bhikkhuni.

7.4.Bodhisatva Sila

Peraturan Bodhisattva berasal dari Tapasilavrata yang diuraikan di dalam

Mahasimbhanada Sutra, dan salah satu pasalnya menuntut memakan

sayuranis.

Bodhisattva Sila adalah suatu perpaduan (gabungan) antara Pratimoksa

dengan peraturan kebhikshuan untuk tata kelakuan umum dari bhikshu

yang mengabdikan dirinya pada Buddhisme Utara demi

memperkembangkan mereka sendiri ke dalam suatu

Bodhisattva-Sangha.

Peraturan ini tidak hanya diperuntukkan bagi anggota Bodhisattva

Sangha, tetapi juga untuk perumah tangga yang disebut

Grastha-Bodhisattva.

Peraturan Bodhisattva diambil dari Teks Tionghoa Brahmajala Sutra

yang diterjemahkan loleh Kumarajiva yang berisi 58 Pasal dan

diklasifikasikan dalam 2 bagian, yaitu:

1. Garukapatti 10

2. Lahukapatti 48

Garukapatti 10

(Kesalahan berat)

Membunuh

Mencuri

(23)

Mengumbar diri dalam hubungan kelamin

Penyombongan diri palsu

Berniaga dalam minuman keras

Membuat tuduhan palsu

Membanggakan diri sendiri

Mengotori moral

Kosong dari rasa hati nurani.

Menjelek-jelekkan Tri Ratna

Lahukapatti 48

Seorang Bhikshu yang tidak sopan terhadap pendiksanya, sesame

pendiksanya atau seniornya.

Seorang Bhikshu yang meminum minuman keras atau sesuatu yang

memabukkan

Seorang Bhikshu yang memakan daging hewan

Seorang Bhikshu yang memakan 5 macam akar pedas yang terlarang,

yang menimbulkan Raga (Nafsu dan sebagainya)

Seorang Bhikshu yang tidak menasehati sesame Bhikshu agar

melakukan pengakuan kesalahan secara teratur.

Seorang Bhikshu yang menolak permintaan upaca pemberian amal atau

upacara kepada pengkhotbah Buddha Dharma.

Seorang Bhikshu yang melalaikan pelajaran Buddha Dharma

Seorang Bhikshu yang menjelek-jelekkan atau menentang Buddha

Dharma

Seorang Bhikshu yang tidak memberikan bantuan kepada orang sakit

yang meminta bantuannya

(24)

Seorang Bhikshu yang memiliki senjata yang dapat menyebabkan

pembunuhan makhluk lain atau hewan.

Seorang Bhikshu yang mengembangkan diri sebagai diplomat, duta atau

utusan dalam urusan perundingan internasional.

Seorang Bhikshu yang denga diri sendiri atau melalui petunjuknya

melakukan perbuatan immoral yang menyebabkan penderitaan makhluk

lain ( perbudakan, pembantaian hewan, dll)

Seorang Bhikshu yang menyebabkan menurunnya nama baik orang lain

dan meningkatkan nama baik sendiri.

Seorang Bhikshu yang membakar hutan yang dapat menyebabkan

kebakaran besar

Seorang Bhikshu yang berbicara secara mengutuk atau menyindir

Seorang Bhikshu yang dengan samara-samar berbicara demi

keuntungannya sendiri

Seorang Bhikshu yang menggunakan gaya bicara yang memaksa agar

diberi pemberian

Seorang Bhikshu yang dengan tidak benar menyombongkan

kepintarannya atau pahala-pahalanya.

Seorang Bhikshu yang tidak dapat dipercaya ucapannya (tidak dapat

diandalkan)

Seorang Bhikshu yang tidak mempunyai belas kasihan kepada binatang

dan tidak menyelamatkan mereka dari bahaya maut.

Seorang Bhikshu yang melakukan balas dendam

Seorang Bhikshu yang congkak dan tinggi hati

Seorang Bhikshu yang membanggakan pengetahuannya

Seorang Bhikshu yang malas mempelajari Buddha Dharma

Seorang Bhikshu yang merusak keselarasan dari sesama Bhikshu.

Seorang Bhikshu yang serakah dan mementingkan diri sendiri

(25)

Seorang Bhikshu yang mengalihkan kekayaan seseorang kepada dirinya

sendiri

Seorang Bhikshu yang mengalihkan kekayaan seseorang kepada orang

lain yang disenanginya

Seorang Bhikshu yang minuman pengasih

Seorang Bhikshu yang bertindak sebagai perantara jodoh

Seorang Bhikshu yang tidak membebaskan seseorang dari perbudakan

meskipun dia bias berbuat demikian

Seorang Bhikshu yang berniaga senjata, baik melalui tangannya sendiri

maupun dengan petunjuknya

Seorang Bhikshu yang pergi untuk melihat suatu pasuka besar bersenjata

yang siap untuk berperang

Seorang Bhikshu yang tidak mempunyai kesabaran dalam menjalankan

peraturan

Seorang Bhikshu yang melanggar janji kebhikshuannya

Seorang Bhikshu yang gagal untuk menjalankan aturan kebhikshuan.

Seorang Bhikshu yang melakukan Dhutanga-vrata (hidup dihutan untuk

perenungan keagamaan) atau Aranyaka (hidup di hutan) dan tinggal di

suatu tempat yang berbahaya

Seorang Bhikshu yang tidak membawa diri dengan kerendahan hati serta

tidak menghormati Bhikshu yang tua.

Seorang Bhikshu yang tidak menanam suatu sebab yang baik untuk

suatu akibat yang baik

Seorang Bhikshu yang dalam melakukan pentahbisan (pendiksaan)

dengan pikiran condong pada keuntungan

Seorang Bhikshu yang mengajarkan Dharma untuk keuntungan uang

Seorang Bhikshu yang melakukan Sangha Karma (Pengakuan

(26)

Seorang Bhikshu yang sengaja berbuat bertentangan dengan Vinaya

Seorang Bhikshu yang tidak menghormati Kitab Suci Buddhis

Seorang Bhikshu yang tidak memberitahukan pengetahuan Dharma

demi membebaskan orang dari penderitaan

Seorang Bhikshu yang duduk di suatu tempat yang lebih rendah dan

mengajarkan Dharma kepada mereka yang duduk di suatu tempat yang

lebih tinggi

Seorang Bhikshu yang menyerah pada permintaan atasannya yang

menurut Dharma tidak benar

Seorang Bhikshu yang melanggar Vinaya.

8. Sila Menurut besar – kecil tujuan atau maknanya

1. Hina Sila

Suatu tata tertib yang dilaksanakan dengan kemauan, pikiran, semangat,

dan amatan yang rendah; yaitu dilaksanakan dengan mengharapkan

pengikut atau kedudukan.

2. Majjhima Sila

Dilaksanakan dengan mendambakan jasa kebajikan.

3. Panita Sila

Dilaksanakan dengan pengertian bahwa ini adalah suatu hal yang

benar-benar patut dilaksanakan.

Dalam artian lain lagi, Sila yang dilaksanakan dengan mengharapkan

harta kekayaan disebut Hina Sila; yang dilaksanakan untuk meraih

‘pembebasan’ bagi diri sendiri disebut Majjhima Sila; dan yang

dilaksanakan demi ‘pembebasan’ makhluk-makhluk lain disebut Panita

Sila.

(27)

Pancasila adalah lima latihan kemoralan yang wajib dilaksanakan oleh kita (umat Buddha) semua dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila (Lima latihan kemoralan) terdiri dari :

a. Panatipata Veramani artinya melatih untuk menghindari membunuh

b. Adinnadana Veramani artinya melatih untuk menghindari mengambil barang yang tidak diberikan (mencuri)

c. Kamesumicchacara Veramani artinya melatih diri untuk menghindari berbuat asusila (berhubungan kelamin yang bukan sebagai suami/istri)

d. Musavada Veramani artinya melatih untuk menghindari berkata kasar/berbohong/ memfitnah/omong kosong.

e. Suramerayamajjapamadatthana Veramani artinya melatih untuk menghindari mengkonsumsi obat-obatan terlarang.

Syarat terjadinya pelanggaran lima sila:

a. Syarat terjadinya pembunuhan adalah : adanya makhluk hidup, tahu bahwa makhluk itu hidup, ada niat/kehendak untuk membunuh, ada usaha untuk membunuh, makhluk tersebut mati/lenyap.

b. Syarat terjadinya terjadinya pencurian adalah : adanya barang, tahu bahwa barang itu, milik orang lain, ada niat/ kehendak untuk mengambil, ada usaha, barang tersebut berpindah tempat.

c. Syarat terjadinya perbuatan asusila adalah : ada obyek, ada niat untuk melakukan, ada usaha melakukan, berhasil melakukan.

d. Syarat terjadinya berkata kasar/berbohong/ memfitnah/omong kosong adalah : ada hal yang tida benar, ada niat untuk menyampaikan, ada usaha, ada orang lain yang percaya.

e. Syarat terjadinya karena minuman keras, adalah: adanya barang yang

memabukan, mempunyai niat untuk meminum, melakukan usaha untuk minum, terjadi mabuk

Akibat Pelanggaran Pancasila

a. Akibat buruk dari membunuh yaitu: umur pendek, sering sakit-sakitan, selalu bersedih karena berpisah dengan yang dicintai, selalu ketakutan

(28)

b. Akibat buruk dari mencuri yaitu: kemiskinan, penderitaan, kekecewaan, hidup tergantung pada pihak lain

c. Akibat berbuat asusila yaitu: mempunyai banyak musuh, mendapat suami atu istri yang tidak diinginkan, lahir dengan keadaan biologis yang tidak sempurna d. Akibat ucapan tidak benar:

• Berbohong yaitu: menjadi sasaran fitnah dan cacimakian, tidak dipercaya,mulut berbau

• Akibat memfitnah: pecahnya persahabatan tanpa sebab

• Akibat berkata kasar: dibenci pihak lain walaupun tidak mutlak salah, memiliki suara parau

• Akibat bergunjing adaah: cacat aat tubuh, sering bicara tidak masuk akal sehingga orang lain tidak percaya

e. Akibat Minum-minuman yang memabukkan Akibat dibicarakan banyak orang, kecerdasan menurun, tergantung pada orang lain pelanggaran sila ke 5 akan mengakibat melanggar 4 sila lainnya

Pancadharma adalah lima kebaikan atau kesunyataan yang harus dilaksanakan oleh para siswa Sang Buddha Gotama, yang terdiri dari :

1. Metta – Karuna adalah cinta kasih dan belas kasihan terhadap semua makhluk. Kalau seseorang dapat melaksanakan metta – karuna dengan baik, maka ia akan dapat menghindari pembunuhan makhluk hidup, sehingga sila I dalam Pancasila Buddhis akan akan dapat dilaksanakan dengan baik.

2. Samma-Ajiva adalah matapencaharian benar, maksudnya adalah mencari penghidupan dengan cara yang baik, yaitu :

Ø tidak mengakibatkan pembunuhan

Ø wajar dan halal (bukan hasil pencurian, mencopet dan merampok) Ø tidak berdasarkan penipuan

Ø tidak berdasarkan ilmu yang rendah seperti meramal, perdukunan, dll

Jika kita dapat melaksanakan dhamma kedua ini dengan baik, maka kita akan dapat melaksanakan sila ke II dalam Pancasila Buddhis.

3. Santutthi artinya puas dengan apa yang dimiliki. Puas disini adalah puas dalam hal hawa nafsu. (Contoh : jika sudah punya istri harus puas dengan istri tersebut

(29)

dan tidak melakukan perjinahan dengan orang lain). Jika kita dapat melaksanakan hal tersebut maka kita dapat melaksanakan sila ke III dalam Pancasila Buddhis. 4. Sacca artinya kebenaran atau kejujuran. Jujur disini berhubungan dengan pembicaraan seseorang terhadap orang lain yang disertai kehendak/niat. 5. Sati-Sampajanna artinya ingat dan waspada

Jika kita selalu ingat pada jenis-jenis makan dan minuman yang dapat menimbulkan lenyapnya kesadaran serta tidak akan terjerat oleh semua hal

Referensi

Dokumen terkait