• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN HUMAS PEMERINTAHAN KOTA YOGYAKARTA DALAM SOSIALISASI TAGLINE JOGJA ISTIMEWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN HUMAS PEMERINTAHAN KOTA YOGYAKARTA DALAM SOSIALISASI TAGLINE JOGJA ISTIMEWA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN HUMAS PEMERINTAHAN KOTA YOGYAKARTA

DALAM SOSIALISASI TAGLINE “JOGJA ISTIMEWA”

Oleh: Frizki Yulianti Nurnisya, S.IP, M.Si

Adhianty Nurjanah, S.Sos, M.Si

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta E-mail: frizkinurnisya@umy.ac.id

adhianty.nurjanah@yahoo.co.id, adhianty@umy.ac.id

Abstrak

Setelah 14 tahun, tepatnya tahun 2001 tagline “never ending asia” menjadi konten promosi Yogyakarta, maka pada tahun 2015 pihak pemerintahan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengubah tagline tersebut. Proses rebranding tersebut tidak berjalan mulus, karena hasil tagline karya Markplus Inc. mengalami pro dan kontra di kalangan masyarakat. Pasca kritik, muncullah solusi bersama dari tim 11 yang terdiri dari para praktisi, akademisi, pemerintah hingga budayawan untuk membuat branding baru, yakni “jogja istimewa”. Kini branding tersebut harus dihidupkan oleh dukungan banyak pihak agar tidak menjadi “branding kosong”.Salah satu pilar yang diharapkan mampu mensosialisasikan branding tersebut ialah Humas Pemerintahan Kota Yogyakarta yang berada di Jalan Kenari, Timoho, Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus.Penelitian ini lebih mengarah kepada paradigma positivistik karena paradigma ini berkenaan dengan pencarian atau penemuan hukum sebab-akibat yang dapat digunakan dalam konteks dan waktu yang berbeda (Daymon, 2002:11).Hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah referensi bagi para humas terutama humas di bidang pemerintahan untuk lebih meningkatkan kemampuan dalam membangun city branding bagi wilayahnya masing-masing.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa hasil sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Humas Pemerintahan Kota Yogyakarta belum optimal.Ada banyak faktor yang meyebabkan kurang maksimalnya peran Humas Pemkot Yoyakarta dalam sosialisasi branding baru “jogja istimewa”. Salah satu faktor tersebut ialah Humas Pemerintah Kota Yogyakarta hanya sebagai pelaksana saja tidak dilibatkan secara langsung dan yang paling berperan adalah Bappeda DIY dan Pemerintah Provinsi DIY, sehingga mereka tidak bisa dengan leluasa merancang program yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Perlu kesadaran bersama baik ditingkat pemerintahan maupun swasta, bahwa public relations memegang peranan penting dalam aspek sosialiasi kepada stakeholder. Maka mereka perlu diberikan peluang dan kesempatan mengembangkan rancangan program demi rancangan program PR yang efektif.

(2)

Abstract

For 14 years, precisely in 2001 tagline "never ending asia" become promotional content of Yogyakarta, then in 2015 the government modify the tagline. The rebranding process is not running smoothly, the taglines that made by Markplus Inc. are weighing the pros and cons among the people. Post-criticism arose joint solution of Tim 11, consisting of practitioners, academics, government to artists try to create a new branding, namely "jogja istimewa". The branding now is turned on by the support of many pilars in order not to be an "empty branding" and end up useless. One of the pillars that are expected to disseminate the branding is Government Public Relations of Yogyakarta that is located in Jalan Kenari, Timoho, and Yogyakarta.

This research uses qualitative descriptive and using the case-study method. This study leads to the positivistic paradigm for discovery of the law of cause and effect can be used in contexts and at different times (Daymon, 2002: 11). The results of this study are expected to adding a reference to the public relations, especially in the government sector to further improve the ability to create a city branding for their regions.

The results of this research found that the socialization conducted by the Public Relations Department of the City Government of Yogyakarta is not optimal. There are many factors that cause lack of PR role Government PR of. One of these factors is the Government Public Relations Yogyakarta only as implementers. So they are very restrained when designing programs that fit with their needs. Mutual awareness at both public and private is needed, that public relations plays an important role in the socialization aspect to stakeholders. So that, they need to be given the opportunity and the chance to develop a draft program for the sake of effective PR program design.

Keywords: The Role of Public Relations, Socialization, Rebranding.

A. PENDAHULUAN

Sejak tahun 2001 Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menggunakan tagline “never ending asia” untuk menggambarkan nilai-nilai keberagaman Yogyakarta kepada masyarakat luas terutama masyarakat di luar negeri. Pemilihan tagline tersebut dianggap mampu memberikan pemahaman kepada orang asing dan mampu menarik minat para wisatawan asing untuk datang ke Yogyakarta.Asal muasal pemilihan tagline tersebut dikarenakan pasca krisis moneter sehingga untuk menambah pendapatan devisa negara terutama pemerintahan di DIY, maka dituntut untuk menarik minat wisatawan asing berkunjung ke Yogyakarta. Pihak pemerintahan gencar memperkenalkan Yogyakarta kepada masyarakat dunia, tak heran jika kemudian tagline tersebut pun menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa percakapan internasional.

Setelah 14 tahun “never ending asia”menjadi konten promosi Yogyakarta, maka pada tahun 2015 pihak pemerintahan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengubah tagline tersebut. Apalagi moment tersebut diperkuat dengan adanya Undang-undang Keistimewaan (UUK) disahkan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merasa perlu untuk melakukan perubahan terhadap predikat / tagline Kota Yogyakarta dengan melakukan rebranding. Masing menggandeng agensi iklan yang samasaat membuat tagline “never ending asia”, yakni Hermawan Kartajaya, pakar marketing sekaligus CEO dan founder Markplus Inc maka dibuatlah tagline yang terbaru.

(3)

Sayangnya, rancangan logo terbaru Hermawan mendapat banyak kritikan dari masyarakat Yogyakarta karena dianggap tidak mengilhami ciri khas kota budaya ini. Tak lama kemudian munculah ledekan kritik “Togua” yang merupakan efek kesalahan komunikasi visual tulisan “Jogja” yang dirancang oleh Pemprov DIY melalui Hermawan Kartajaya selaku pembuat logo. Tidak hanya memberikan kritikan, maka para budayawan Yogyakarta pun berkumpul untuk membentuk tim sebelas yang terdiri dari akademisi, praktisi, pekerja kreatif dan tokoh masyarakat Yogyakarta guna merancang logo dan tagline yang sangat mewakili keistimewaan Yogyakarta.

Tim 11 ini juga diharapkan akan menjadi formatur awal untuk merealisasikan terbentuknya dewan yang akan mengawal proses city branding yang melibatkan seluruh ekosistem masyarakat Kota Yogyakarta, tujuannya agar tidak hanya menghasilkan logo dan slogan baru bagi Kota Yogyakarta, tetapi juga sosialisasi nilai dan semangat baru kepada warga Yogyakarta yang sesuai dengan visi misi pemerintah daerah yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta Yang Lebih Berkarakter, Berbudaya, Maju, Mandiri dan Sejahtera Menyongsong Peradaban Baru. Sri Sultan Hamengkubowono X sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta juga berharap tagline yang dirancang, dipilih dan melibatkan masyarakat umum maka juga harus diimplementasikan secara nyata oleh masyarakat umum, jangan sampai terbengkalai menjadi tagline kosong.

Agar implementasi rebranding tersebut berjalan dengan baik maka, proses sosialisasi perlu dilakukan oleh Pemprov DIY agar masyarakat luas bisa mengenali dan mampu menghidupkan “jogja istimewa” dalam kehidupannya sehari-hari.

Sebagai salah satu SKPD di lingkungan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, menarik untuk menyimak peran Humas Pemerintahan Kota Yogyakarta sebagai komunikator dan mediator antara pemerintahan dan masyarakat di Kota Yogyakarta dalam melakukan sosialisasi tagline “Jogja Istimewa”. Meskipun Kota Yogyakarta memiliki wilayah paling sempit dibandingkan 4 kabupatan lainnya, yakni “hanya” terdiri dari 3.250 hektar yang terbagi menajdi 14 kecamatan, 45 kelurahan dan dihuni oleh 428.282 jiwa namun Pemerintahan Kota Yogyakarta layak menjadi perhatian utama karena pusat pemerintahan dan pusat wisatawan berada di Pemerintahan Kota Yogyakarta, maka perlu diamati bagaimana peran dan pelaksanaan tugas humas Pemerintahan Kota Yogyakarta dalam mensosialisasikan tagline terbaru “jogja istimewa” di lingkungannya.

Menurut Aji Sularso, humas yang bekerja di bidang pemerintahan lebih banyak mengacu pada pembentukan dan pemeliharaan hubungan dengan anggota organisasi dan pihak-pihak yang berkepentingan dengannya. Padahal ia tidak hanya membangun dan mempertahankan citra positif departemennya, tetapi juga harus mencerminkan citra pemerintahan dan citra negara di mata internasional. Apalagi dalam konteks penelitian ini lekat kaitannya dengan memperkuat city branding dari Yogyakarta, sebelum meyakinkan masyarakat luas akan keistimewaan “jogja istimewa” selayaknya pihak humas pemerintahan di lingkungan Pemprov Yogyakarta sudah meyakinkan diri tentang keistimewaan-keistimewaan Yogyakarta.

Sedangkan untuk memperkenalkan keunggulan kota kita kepada masyarakat bagi Silih Agung Wasesa, founder Asia PR, hal yang harus dilakukan ialah merancang komunikasi sesuai dengan target sasaran sebab kinerja humas pemerintahan tidak akan

(4)

efektif jika mengeneralisasi kebutuhan target sasaran. Wasesa bahkan membagi target sasaran menjadi 5 audiens, yakni penduduk potensial, turis, pelajar dan mahasiswa, investor dan pusat aktivitas bisnis yang memiliki karekter informasi berbeda-beda sehingga pesan komunikasinya juga harus lebih spesifik (Wasesa, 2010:202).

Untuk melakukan sosialisasi, maka humas menggunakan berbagai varian media komunikasi baik melalui media sosial maupun media konvensional seperti periklanan.Jika merujuk pada Sean Brierley dalam bukunya The Advertising Handbook menjelaskan di dalam perkembangan media massa, advertising terbagi menjadi dua bagian yakni above-the-line (contohnya iklan di TV, bioskop, radio, koran dan majalah) dan below-the-line (contohnya direct mail, sponsorship, sales promotions, merchandisingdan public relations). Bierley membagi istilah above-the-line adalah ketika sebuah agensi mendapatkan komisi karena membeli ruang (bentuknya space iklan di media cetak ataupun slot di media elektronik) dari pemilik media, sedangkan below-the-line adalah ketika agensi mengeluarkan uang untuk pelaksanaannya.

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas , penelitian ini ingin mengetahui bagaimana peran humas Pemerintahan Kota Yogyakarta dalam menso-sialisasikan tagline “jogja istimewa” sebagai branding Yogyakarta.

B. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Dasar Humas Pemerintahan

Menurut Ruslan (2011:111) Humas pemerintah mempunyai peran yang sangat besar dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan. Ada dua peran yang dimainkan oleh Humas Pemerintah, yaitu: (1) peran taktis (jangka pendek) dan (2). Peran strategis (jangka panjang). Dalam peran taktis (jangka pendek), Humas pemerintah berupaya memberikan pesan-pesan dan informasi yang efektif dapat memotifasi rakyat dan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap rakyat melalui pesan-pesan yang disampaikan. Dalam pesan jangka panjang (peran strategis) Humas pemerintah berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan, dalam memberikan proses sumbang saran, gagasan dan ide yang kreatif secara cemerlang untuk melaksanakan program lembaga yang bersangkutan.

Humas merupakan suatu bentuk komunikasi yang berlaku terhadap semua jenis organisasi, baik yang bersifat komersial atau bertujuan mencari keuntungan (profit) maupun perusahaan non komersial yang tidak mencari keuntungan.Tidak perduli apakah organisasi tersebut berada di sektor pemerintahan maupun sektor swasta.Berdasarkan penjabaran di atas, dapat dipahami bahwa Humas adalah salah satu usaha untuk menciptakan hubungan yang harmonis dan menguntungkan antara organisasi dengan publik dengan menumbuhkan saling pengertian antara organisasi dengan publiknya.

Adapun menurut Betty Wahyu Nilasari (2012:7) dalam bukunya Humas Peme-rintah, secara garis besar tujuan Humas Pemerintah menyangkut tiga hal yaitu:

a. Reputasi dan citra: tugas humas tidak lepas dari reputasi dan citra, ini artinya asumsi bahwa citra yang positif akan berkaitan dengan tingginya akses publik terhadap output dari organisasi tersebut.

(5)

b. Jembatan komunikasi: humas menjadi komunikator dan mediator dalam penyampaian aspirasi kepemerintah.

c. Mutual benefit relationship: humas harus menjamin bahwa pemerintah berada dalam operasinya memiliki niat baik dalam mewujudkan tanggung jawab social dan diekspresikan melalui hubungan yang saling menguntungkan diantara pemerintah dan publik.

Sedangkan fungsi Humas pemerintah Menurut Edward L Bernays dalam (Nilasari: 9), yaitu:

a. Memberikan penerangan kepada masyarakat

b. Melakukan persuasi untuk mengubah sikap dan perbuatan masyarakat secara langsung, dan

c. Berupaya untuk mengintegrasikan sikap dan perbuatan suatu badan atau lembaga sesuai dengan sikap dan perbuatan masyarakat atau sebaliknya.

Dalam berkomunikasi dengan publiknya, Humas Pemerintah melakukan proses komunikasi diantaranya sebagai berikut: (1). komunikasi secara internal, yaitu proses komunikasi yang menunjukan pertukaran informasi antara manjemen organiasi dengan publik internal. Berusaha membangun hubungan harmonis dalam suatu organisasi dalam mewujudkan produktifitas kerja. (2). Komunikasi secara eksternal yaitu proses komunikasi yang merupakan pertukaran informasi dengan publik eksternal, yaitu: pelanggan, masyarakat, penyalur, pengedar, pemasok dan kelompok publik. (Nilasari, 20012:43-44).

Perbedaan yang paling pokok antara humas di instansi pemerintahan dengan non pemerintah terletak pada tidak adanya unsur komersial, meskipun humas pemerintahan jika melakukan kegiatan publikasi, promosi dan periklanan namun humas pemerintahan lebih menekankan pada public service (Sularso: 2006:27). Humas pemerintahan melakukan kegiatan public relations dengan tujuan untuk memberikan pelayanan baik mengenai informasi maupun menggalang partisipasi masyarakat untuk meyukseskan kebijakan-kebijakan yang telah diputuskan pihak pemerintahan dengan memegang teguh prinsip keterbukaan.Masyakarakat di era kerterbukaan informasi berhak mendapatkan informasi yang benar dan tidak diskriminatif jadi humas harus melaksanakan tugasnya demi memberikan pelayanan optimal.

Untuk melaksanakan fungsi dan tugas sebagai seorang humas di bidang pemerintahan maka humas tersebut harus memiliki kemampuan sebagai berikut:

1. Mengamati dan menganalisis setiap persoalan yang menjadi kepentingan instansi dan stakeholdernya

2. Mampu menjalin komunikasi dua arah dengan setiap publiknya

3. Mampu mempengaruhi dan menciptakan opini publik yang mendukung program instansinya

4. Mampu membangun hubungan baik dan kerjasama yang kondusif dengan berbagai pihak.

2. Konsep Dasar Sosialisasi

Sosialisasi menurut Broom dalam Soekamto (2005) dapat dilihat berdasarkan dua sudut pandang, yaitu dari sudut masyarakat dan individu. Sosialisasi dari sudut pandang

(6)

masyarakat yaitu sebuah proses penyelarasan individu baru anggota masyarakat ke dalam pandangan hidup yang terorganisasi dan mengajarkan tradisi-tradisi budaya masya-rakatnya. Dengan kata lain sosialisasi dalah sebuah tindakan yang mengubah kondisi manusia dari human-animal menjadi human-being untuk menjadi makhluk sosial dan anggota masyarakat sesuai dengan kebudayaannya.

Sedangkan dari sudut individual, sosialisasi merupakan proses mengembangkan diri melalui interaksi dengan orang lain dalam memperoleh indentitas, mengembangkan nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi. Dalam hal ini, sosialisasi adalah suatu proses mendapatkan pembentukan sikap atau untuk berperilaku sesuai dengan prilaku kolompoknya. Adapun dalam hal ini proses sosialisasi khususnya untuk kegiatan Humas Pemerintah lebih kepada bagaimana proses mengenalkan, mengkampanyekan suatu program pemerintah melalui interaksi untuk memperoleh identitas, mengembangkan nilai-nilai dan aspirasi kepada masyarakat.

Proses sosialisasi bisa dilakukan dengan mengkombinasikan teknik promosi untuk pemasaran, yaitu:

1. Periklanan

Periklanan dilakukan dengan membeli space atau spot di media komersial, baik di media elektronik (televisi, radio, internet); media cetak (surat kabar, majalah, bulletin), maupun media luar ruang (billboard, baliho, spanduk, videotron) 2. Personal Selling

Melakukan penjualan secara langsung bertemu dengan calon konsumen.Misalkan dengan memanfaatkan keberadaan SPG (Sales Promotion Girl) untuk mem-perkenalkan produk kita langsung kepada konsumen atau menggunakan operator guna menghubungi calon konsumen melalui telepon.

3. Publikasi

Berbeda dengan iklan, meskipun tetap untuk memperkenalkan produk namun pada kegiatan lebih menekankan pada edukasi kepada calon konsumen melalui tulisan artikel, feature, ataupun advertorial di surat kabar, majalah, leaflet, brosur ataupun booklet agar mengenal lebih dalam mengenai produk yang ditawarkan. 4. Exhibition

Ialah melakukan kegiatan pemasaran pada kegiatan spesial tertentu yang dilakukan bersama-sama dengan pihak lain yang bisa jadi merupakan kompetitor perusahaan kita.

Hal terpenting dalam proses sosialisasi, apapun media komunikasinya baik dalam iklan maupun public relations, yang terpenting pesannya konsisten tidak saling tumpang tindih sehingga menimbulkan kontradiksi pemahaman pesan komunikasi.

C. Metodologi Penelitian

Jenis penelitian kualilatif akan digunakan dalam penelitian ini, dalam tingkatan sederhana diartikan bahwa penelitian kualilatif akan lebih cenderung menggunakan kata-kata sebagai unit analisis. Penelitian ini lebih mengarah kepada paradigma positivistik karena paradigm ini berkenaan dengan pencarian atau penemuan hukum sebab-akibat

(7)

yang dapat digunakan dalam konteks dan waktu yang berbeda (Daymon, 2002:11).Hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah referensi bagi para humas terutama humas di bidang pemerintahan untuk lebih meningkatkan kemampuan dalam membangun city branding bagi wilayahnya masing-masing.

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus yang akan menyoroti berbagai faktor yang mengatur komunikasi, menggambarkan keunikannya sekaligus memberikan pemahaman mendalam mengenai kasus yang akan diamati. Dipilihnya metode studi kasus sebab menurut Daymon dalam riset kualitatif di bidang Public Relations, studi kasus memiliki peran sentral pada riset yang akan menghasilkan teori, menguji teori, memungkinkan penegasan temuan riset lain bahkan memetakan teori-teori yang belum terdokumentasikan dengan baik.

Tehnik pengumpulan data menggunakan data primer yakni wawancara kepada informan terkait yang dipilih secara purposive demi memenuhi kebutuhan penelitian, sedangkan data sekunder yakni menggunakan teknik studi pustaka dan dokumentasi guna mengkonfirmasi dan memperkuat data untuk dianalisis. Analisis data yang bersifat kualitatif mengharuskan peneliti untuk melakukan aktivitas secara serempak dengan pengumpulan data, interpretasi data dan menulis laporan penelitian. (Creswell,2009: 145). Dengan demikian analisis data tidak dilakukan secara terpisah dengan pengumpulan data, tetapi merupakan kegiatan yang dilakukan bersama-sama. Selama pengumpulan data, peneliti bergerak secara interaktif dalam 3 komponen analisis yaitu reduksi data, sajian data dan simpulan akhir/verifikasi (Sutopo, 2002: 186).

D. Hasil dan Pembahasan

1. Kemunculan Logo dan Tagline “jogja istimewa”

Semenjak Undang-Undang No 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, pemerintahan Provinsi DIY segera berbenah diri untuk me-ngukuhkan keistimewaanya. Selama 13 tahun Provinsi DIY menggunakan branding “Jogja Never Ending Asia” yang dirancang oleh pakar pemasaran, Hermawan Kartajaya.

 

Gambar 1.Branding KotaYogya Tahun 2001-2014

Perubahan branding yang dilakukan Pemprov DIY memang merupakan perintah dari Gubernur DIY, Sultan Hamengkubuwono X. Jika di tahun 2001 dilaksanakan karena adanya kebijakan otonomi daerah, maka kali ini perubahan dilakukan karena adanya Undang-Undang yang melegalkan keistimewaan Yogyakarta.

(8)

Untuk perubahan design yang dilakukan, pihak Pemerintahan Provinsi DIY kembali menyerahkan kepada Hermawan Kartajaya yang dulu juga merancang design logo Yogyakarta. Akan tetapi, banyak polemik yang kemudian muncul di masyarakat Yogyakarta bahkan sebelum logo tersebut diluncurkan.

Gambar 1. Logo Rancangan Hermawan Kartajay

Logo rancangan tim dari Hermawan Kartajaya yang merupakan seorang pakar marketing bahkan juga menjabat sebagai CEO dan founder Markplus Inc. diklaim telah disusun berdasarkan ciri keistimewaan Yogyakarta yang berlandaskan pada Sabda Tama Sultan dan arah pembangunan Jogja Renaisans. Logo ini merupakan wujud dari visi Sultan Jogja tentang pembangunan dan perubahan Jogja ke depan atauJogja’s Renaissanceyang menggambarkan langkah Jogja menuju peradaban baru di bidang pendidikan, pariwisata, teknologi, pangan, energi, ekonomi, kesehatan, keterlindungan warga, tata ruang dan lingkungan. Bahkan Hermawan juga menampilkan tiga opsi tagline, A Whole New Life, New Life Hamony dan The Living Harmony.

Sayangnya, rancangan logo baru tersebut banyak dikritik masyarakat karena sebagai sebagian masyarakat menilai bahwa ukuran font yang cenderung kurus/tipis tersebut tidak merepresentasikan masyarakat Yogyakarta.Bahkan beberapa orang kemudian membaca tulisan tersebut bukan “Jogja” melainkan “Togua” yang pada akhirnya menimbulkan kritikan mencemooh logo baru tersebut di berbagai media termasuk media sosial seperti Twitter.

(9)

Gambar 2. “Togua” Menjadi Trending Topic di Twitter

Sebagai pusat pendidikan dan daerah yang sarat dengan seni bahkan menghasilkan seniman internasional, banyak masyarakat yang tidak hanya mengkritik logo tersebut namun juga ikut sumbang saran “urun rembug” mengatasi persoalan logo ini. Karena tingginya antusias maka masyarakat Yogyakarta secara mandiri dan gotong royong mencoba untuk membantu pemerintahan Yogyakarta untuk melakukan rebrandingkota Yogyakarta.

(10)

Akhirnya dibentuklah tim 11, yakni mereka yang terdiri dari berbagai kalangan agar mampu mewakili aspirasi seluruh masyarakat Yogyakarta. Adapun kesebelas (11) orang tersebut ialah1:

1. HerryZudianto, mantan Walikota Jogja yang juga ditunjuk sebagai Ketua Tim 11. 2. Butet Kartaredjasa (Seniman), putra seniman besar Bagong Kussudiardjo. Butet juga dikenal sebagai seniman yang vokal terhadap berbagai permasalahan, baik di tingkat lokal maupun nasional.

3. SumboTinarbuko, dosen Prodi Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Sekolah Pascasarjana ISI Jogja. Sumbo merupakan perwakilan dari Jogja Darurat Logo, sebuah gerakan akar rumput untuk menampung masukan maupun sumbangan logo alternatif.

4. Ong Hari Wahyu, seniman asal Jogja ini juga bergabung dengan Asosiasi Desain Grafis Indonesia (ADGI) Jogja. Ong merupkan art director di Film Daun di Atas Bantal.

5. Ahmad Noor Arief, direktur PT Aseli Dagadu Djogja. Dagadu dikenal sebagai produsen aneka produk yang berciri khas Jogja.

6. Marzuki Mohammad, di akun twitternya, @killthedj, Marzuki menyebut dirinya sebagai petani yang nyambi nge-rap di unit hip hop agraris; Jogja Hip Hop Foundation. Marzuki juga yang menciptakan lagu Jogja Istimewa saat perjuangan Undang-undang Keistimewaan (UUK).

7. dr. Tandean Arif Wibowo (IMA Jogja), Direktur Utama RS Panti Nugroho. Tandean sekaligus perwakilan dari Indonesia Marketing Association (IMA) Jogja.

8. Waizly Darwin, CEO muda media Marketeers sekaligus perwakilan dari MarkPlus Inc.

9. M. Suyanto, dosen sekaligus pendiri Amikom Jogja. Selain dikenal sebagai pendidik, Suyanto merupakan wiraswasta.

10. Fitriani Kuroda, Direktur PT Yarsilk Gora Mahottama Fitriani Kuroda. Seorang eksportir benang sutra ke Jepang sekaligus Secretary general Jogja International Heritage Walk.

11. M. Arief Budiman (P31 Jogja/ADGI), CEO dan Pendiri perusahaan periklanan PT Petaumpet. Perusahaan yang didirikan Arief pernah diganjar sebagai The Most Creative Agency di Pinasthika Ad.Festival 2003, 2005 dan 2006.

Tim Sebelas inilah yang menciptakan branding baru “jogja istimewa” yang digunakan sebagai rebranding Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 2015 hingga sekarang.

      

1

(11)

Gambar 5. Branding Kota Yogya Tahun 2013 - Sekarang

Berdasarkan pada booklet rebranding yang dilansir Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, rebranding ini memiliki banyak makna yang filosofis. Penggunaan font yang berlandaskan aksara Jawa merupakan simbol dari kekuatan akar budaya masyarakat Yogyakarta.Menggunakan tulisan huruf kecil semua untuk penulisan “jogja” dikarenakan simbol dari egaliterisme, kesederajatan dan persaudaraan. Sedangkan pengunaan warna merah bata merupakan perlambang keraton dan spirit keberanian untuk mewarnai zaman baru (masa depan) berbekal akar budaya masa lalu yang diperkaya kearifan lokal yang genuine.Penggunaan warna merah di atas warna putih juga sebagai tanda bahwa Yogyakarta selalu menyimpan ruh ke-Indonesiaan yang berdiri kokoh di atas sejarah panjan kebudayaan unggul Nusantara.Diantara huruf “o” dan huruf “j” terdapat huruf “g” yang ditulis seperti angka “9” yang merupakan perwakilan 9 renaisance yang dimanifestasikan dalam slogan gerakan “Jogja Gumregah” dalam bidang: 1. Pendidikan; 2. Pariwisata; 3. Teknologi; 4. Ekonomi; 5. Energi; 6. Pangan; 7. Kesehatan; 8. Keterlindungan Warga; 9. Tata Ruang dan Lingkungan.

Selain itu brandingkota Yogyamenggunakan tagline “istimewa” yang berarti pembeda dan lebih baik di banding yang lainnya. Tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai tagline karena menginginkan masyarakat Yogyakarta menjadi bangga dengan bahasa ibu yakni Bahasa Indonesia. Selain memiliki logo dan tagline, sebagai pendamping juga terdapat 9 ikon khusus yang mencerminkan Yogyakarta yakni: 1. Beringin Kembar; 2. Tugu; 3. Andong; 4. Wayang; 5. Keraton; 6. Becak; 7. Merapi; 8. Pantai; dan 9. Lampu Antik. Ikon tersebut dipilih karena merupakan ciri yang melekat pada Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga dalam penulisan logo dan tagline Yogyakarta maka bisa dilengkapi dengan ikon tersebut. Dengan demikian, inilah rebranding terbaru dari Daerah Istimewa Yogyakarta yang harus disosialisasikan kepada seluruh masyarakat Yogyakarta termasuk masyarakat Indonesia dan mancanegara.

(12)

           

Gambar 6. Ikon “jogja istimewa”

2. Peran Humas Pemerintahan Kota dalam Sosialisasi Logo dan Tagline

“jogja istimewa

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2008, Biro Umum, Humas dan Protokol Sekretariat Daerah Daerah Istimewa Yogyakartamempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan dan menko-ordinasikan pengelolaan administrasi perkantoran, tata usaha pimpinan, rumah tangga, kendaraan, sandi dan telekomunikasi, keprotokolan serta kehumasan. Dalam hal ini Humas Pemerintah Kota Daerah Istimewa Yogyakarta berkewajiban dalam hal perumusan kebijakan yang menyangkut kepentingan publik internal maupun eksternalnya. Akan tetapi dalam sosialisasi tagline baru “jogja istimewa”, yang menentukan dan sekaligus sebagai penanggungjawab rebranding “jogja istimewa” adalah Badan Perencanaan Pembanguan Daerah (BAPPEDA) kota Yogyakarta.

Pemerintahan Kota Yogyakarta tentu mempunyai kewajiban untuk mendukung kebijakan yang telah ditentukan oleh Pemerintahan Provinsi DIY.Salah satu kebijakan tersebut ialah melakukan rebranding Yogyakarta dari “never ending asia”menjadi “jogja istimewa”. Proses sosialisasi ini dimulai dengan penerimaan perintah dari atasan.

“Kami sebagai Humas Pemkot Yogyakarta, tidak terlibat langsung saat proses pembuatan rebranding Yogyakarta. Karena proyek ini dilakukan oleh tim sebelas atas koordinasi dari Bappeda dan Pemerintahan Provinsi DIY. Kami hanya mendapat anjuran agar melakukan sosialisasi dengan menggunakan media sosialisasi di semua lini.” (wawancara dengan Tri Hastono MM, Kepala Humas Pemkot Yogya, tanggal 25 Februari 2016)

Dari penjelasan Tri Hastono MM di atas maka dapat disimpulkan bahwa peran Humas Pemerintah Kota Yogyakarta dalam sosialisasi tagline baru kota Yogyakarta, hanya sebagai pelaksana/implementator saja untuk memperkenalkan adanya branding baru kota Yogyakarta saja tetapi tidak dilibatkan secara langsung. Tentu hal ini amat disayangkan karena posisi humas dalam sebuah instansi memiliki peranan penting karena ia adalah orang yang memiliki perpanjangan telinga untuk mendengar pendapat dari

(13)

seluruh stakeholder, tak berlebihan jika kemudian Humas dianggap bisa memiliki pertimbangan yang lebih matang karena bisa berada diantara kepentingan seluruh stakeholder.

Hal yang disampaikan oleh Tri Hastono MM selaku humas Pemerintahan Kota Yogyakarta juga telah terkonfirmasi oleh Ec Sukarmi, MM Humas Sekda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,

“Kami tidak melakukan koordinasi secara formal dengan pihak SKPD di tingkat 2 karena dianggap tidak efisien, sehingga proses koordinasi dilakukan hanya menggunakan telpon, sms, dan whatsapp” (Hasil Wawancara Ec Sukarmi MM, Humas Sekda Provinsi DIY, 6 April 2016)

Hal yang disampaikan oleh Ec Sukarmi MM selaras dengan Tri Hastono MM dalam proses sosialisasi tagline “jogja istimewa” maka tidak ada koordinasi formal yang dilakukan baik di SKPD tingkat 1 maupun tingkat 2. Ketiadaan koordinasi tersebut bisa menimbulkan perbedaan interpretasi dalam memahami dan mengimplementasikan makna dari tagline.Alih-alih memberikan sosialisasi kepada masyarakat, di tingkat internal pemerintahan saja bisa terjadi pemahamanan yang berbeda. Menilik dari data tersebut maka apa yang disampaikan oleh Nilasari bahwa seorang humas pemerintahan harus menjalin komunikasi secara internal, yaitu merancang proses komunikasi dengan tujuan pertukaran informasi antara manjemen organiasi dengan publik internal, membangun hubungan harmonis mewujudkan produktifitas kerja, tidak akan tercapai.

Peran yang dilakukan Humas Pemerintah Kota Yogyakarta juga hanya peran taktis (jangka pendek) yakni berupaya memberikan pesan-pesan dan informasi yang efektif agar dapat memiliki pengaruh bagi rakyat melalui pesan-pesan yang disampaikan. Dalam pelaksanaan sosialisasi branding baruYogyakarta, Humas Pemkot Yogyakarta tidak memiliki peran jangka panjang (peran strategis) karena ia tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, memberikan proses sumbang saran, gagasan dan ide yang kreatif untuk melaksanakan program institusi yang bersangkutan. Humas Pemerintah Kota Yogyakarta hanya diberikan kekuasaan untuk merancang dan menentukan alat / media komunikasi apa yang akan digunakan untuk melakukan proses sosialiasi.

“Kami di Pemerintahan kota Yogyakarta juga tidak menerima distribusi pesan secara utuh.Apa yang ingin disosialisasikan? Apakah hanya logo dan filosofi logonya saja? Ataukah ada kebijakan formal dari perubahan branding tersebut?” Kami hanya diberi kewenangan untuk ikut membantu proses sosialialisasinya saja dengan berbagai media komunikasi yang ada. (Wa-wancara dengan Tri Hastono MM, Kepala Humas Pemkot Yogya, tanggal 25 Februari 2016).

Dari kutipan wawancara tersebut sebenarnya Tri Hastono MM telah melakukan refleksi atas alur komunikasi yang tersendat di instansi pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, terutama dalam sosialisasi branding “jogja istimewa” ini.Kurangnya koordinasi dari pihak Pemerintahan Provinsi menyebabkan ketiadaan informasi komprehensif atas kebijakkan ini. Tidak ada surat keputusan ataupun peraturan

(14)

pemerintah yang jelas untuk mengatur proses sosialisasi, semua diserahkan pada Pemerintahan di Kota dan Kabupaten untuk berinisiatif menggunakan semua media komunikasi yang mereka miliki sehingga semua berjalan sesuai dengan kreatifitas masing-masing tanpa memiliki standar tertentu.

Tri Hastono MM juga menyadari adanya ketidak-konsistenan dari Pemerintahan Provinsi DIY dalam proses sosialisasi ini karena dalam instansi Pemprov DIY sendiri nyatanya tidak melaksanakan ketentuan dalam rebranding tersebut. Misalkan dalam proses rebranding “jogja istimewa” terdapat cara pengaplikasian logo baru di surat resmi kop pemerintahan ataupun map resmi pemerintahan, akan tetapi hingga kini di tahun 2016 surat dan map dari Pemprov DIY tidak menggunakan aplikasi dari logo dan tagline yang telah diresmikan 5 Januari 2015 lalu.

“tagline jogja istimewa juga harus didukung regulatif, tidak ada ikon bentor harusnya becak sehingga apa dukungan pemerintah terhadap becak biasa? Harus ada Pergub atau surat perintah yang mengingkat SPKD tingkat 2 untuk kompak mensosialisasikan,”(wawancara dengan Tri Hastono MM, Kepala Humas Pemkot Yogya, tanggal 25 Februari 2016).

Akhirnya humas Pemkot Yogyakarta secara mandiri dan inisiatif melakukan sosialialisasi kepada masyarakat kota Yogyakarta menggunakan berbagai media komunikasi konvensional diantaranya dengan pemasangan baliho di beberapa titik di Kota Yogyakarta, melakukan jumpa pers dengan media lokal seperti SKH Kedaulatan Rakyat, SKH Harian Jogja, SKH Tribun, ,termasuk mengadakan talkshow bekerjasama dengan TVRI Jogja , Jogja TV, ADI TV dan RRI serta bekerjasama dengan komunitas Sego Gurih yang merupakan komunitas budaya lokal kota Yogyakarta untuk memperkenalkan kepada masyarakat luas terkait dengan perubahan branding “jogja istimewa.”

“Kami mulai mengadakan acara Greget Kampung, mini drama kemasan sedikit guyon seperti Bangun Desa, acara Greget Kampung, diproduksi tim kreatif sendiri meski diputar di TVRI, di lokasi langsung tidak bicara sampah malah di studio. Ngobrol Seputar Jogja di RBTV, Obrolan Balai Kota dengan edisi wayang kertas maka kita munculkan atribut wayang mulai dari host dan tamu hingga diharapkan ada nuansa Yogya sebagai implementasi tidak langsung dari tagline tersebut,” (wawancara dengan Tri Hastono MM, Kepala Humas Pemkot Yogya, tanggal 25 Februari 2016).

Dalam konsep sosialisasi dijelaskan bahwa kita bisa menggunakan banyak sekali communication tools namun humas pemerintahan Kota Yogyakarta lebih fokus pada periklanan dan publikasi dengan melakukan kerjasama pihak ketiga yakni media massa terutama media cetak dan media televisi di wilayah regional Yogyakarta. Tindakan yang sudah diambil oleh pihak pemerintahan tersebut bisa diapresiasi karena sebagai salah satu lembaga yang berada di bawah pemerintahan Provinsi Yogyakarta meskipun tidak disertai distribusi serta peraturan yang mengikat mengenai sosialisasi tagline “jogja istimewa” namun mereka tetap berupaya agar hal program sosialisasi tersebut berjalan dengan sempurna.

(15)

Pada awalnya masyarakat Yogyakarta bisa mengenal logo dan tagline terbaru Yogyakarta dari adanya kegiatan Jogja Gumregah yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan DIY. Berbagai acara disusun dalam rangkaian kegiatan tersebut, mulai dari pagelaran budaya hingga kirab budaya diupayakan dalam rangka “Launching Gerakan Budaya Citizen Branding Jogja Istimewa” sekaligus memperkenalkan logo dan tagline “jogja istimewa”. Bahkan sehari sebelum pelaksanaan acara launching tersebut, muncul pula para relawan yang menyediakan sablon gratis bertuliskan “jogja istimewa”.2

Gambar7. Relawan Sablon Gratis “jogja istimewa” di Titik Nol Yogya

Pada kegiatan sablon gratis ini, masyarakat Yogyakarta cukup menyediakan kaos polos yang akan disablon kemudian menentukan posisi dimana sablon bertulisan “jogja istimewa” akan diletakkan, setelah itu mereka akan diberikan kupon pengambilan kaos untuk kemudian ditukarkan dengan kaos mereka yang telah bertuliskan “jogja istimewa” tanpa perlu membayar sepeserpun.

Setelah kegiatan Jogja Gumregah tersebut, memang tidak muncul aplikasi lain yang dilakukan pihak pemerintahan untuk melakukan sosialisasi selain menggunakan media periklanan dan kerjasama dengan media massa. Pihak humas Pemerintah Kota Yogyakarta pun tidak terlindungi oleh sebuah payung hukum seperti Pergub untuk bisa mengikat stakeholder agar melaksanakan spirit dari tagline “jogja istimewa”.

Akhirnya tagline “jogja istimewa” dimanfaatkan oleh para pekerja industri kreatif, meskipun tidak mendapatkan anjuran, pengarahan ataupun aturan dari pihak pemerintahan, namun nyatanya mereka secara mandiri mau menggunakan logo dan tagline “jogja istimewa” dalam alat-alat dan media promosinya. Salah satu contohnya misalkan wirausahawan Saptuari Sugiharto yang terinspirasi untuk berbisnis kaos dengan design kocak dengan label usaha Jogist yakni akronim dari “jogya istimewa”.

      

2Relawan Sablon Gratis Kaos “Jogja Istimewa”,

(16)

Gambar 8. Salah Satu Design Kaos “jogja istimewa” di Jogist

Sama halnya dengan Surat Kabar Harian “Harian Jogja” yang merancang sebuah rubrik mengenai Yogyakarta yang cara penulisan Yogya-nya menggunakan font dan warna dari tagline “jogja istimewa”.

Gambar 9. Font dan Warna “jogja istimewa” di SKH Harian Jogja

Keputusan tersebut dibuat tanpa adanya himbauan, kerjasama ataupun perintah dari pihak pemerintahan sebab hal tersebut merupakan inisiatif mandiri dari para pemimpin redaksi SKH Harian Jogja.

“Sama sekali tidak ada kerja sama dengan pemerintah DIY atau pemkot. Ini murni ide dari tim redaksi untuk memanfaatkan momentum yang sedang in pada waktu itu. Harian Jogja yang merupakan bagian dari elemen di DIY, tentu saja harus turut mengkampanyekan ikon baru Jogja dan kebetulan tepat waktunya dengan pergantian rubrikasi,” (hasil wawancara Anton Wahyu Prihartono M.Si, Pemred Harian Jogja, Rabu 9 November 2016)

Dari pernyataan Anton Wahyu selaku Pemimpin Redaksi SKH Harjo dan apa yang dilakukan Saptuari Sugiarto dengan label Jogist tersebut bisa menjadi refleksi pihak

(17)

pemerintahan bahwa semua elemen di DIY ini sejatinya mau bergotong royong untuk mensosialisasikan logo dan tagline “jogja istimewa”, bahkan secara mandiri mereka mau melaksanakan dan memanfaatkan logo dan tagline tersebut dalam kegiatan promosi mereka. Amat disayangkan jika dalam sosialisasi “jogja istimewa” ini, pihak pemerintah tidak memanfaatkan kecintaan masyarakat Yogya yang memang istimewa. Padahal sudah semestinya Pemerintah Kota Yogyakarta dalam hal ini Humas Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki peran penting dalam sosialisasi tagline baru “jogja istimewa” kepada masyarakat kota Yogyakarta.

E. Penutup

1. Kesimpulan

a. Rebranding “jogja istimewa” merupakan bentuk respon dari dinamika masyarakat terkait penyematan Undang – Undang No 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

b. Dalam sosialisasi tagline baru “jogja istimewa” Humas Pemerintah Kota Yogyakarta hanya sebagai pelaksana saja tidak dilibatkan secara langsung dan yang paling berperan adalah Bappeda DIY dan Pemerintah Provinsi DIY.

c. Sosialisasi tagline “jogja istimewa” belum dilaksanakan secara optimal baik dari level perencanaan hingga evaluasi.

2. Saran

a. Perlunya kordinasi antar Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota Yogyakarta khususnya dalam hal sosialisasi tagline “jogja istimewa” sehingga seluruh masyarakat luas tidak hanya tahu tetapi juga memahami nilai-nilai mulia yang terkandung dalam tagline “jogja istimewa” tersebut sehingga Daerah IstimewaYogyakarta yang lebih berkarakter, berbudaya, maju, mandiri dan sejahtera menyongsong peradaban baru dapat terwujud.

b. Perlunya perundangan ataupun surat keputusan berkaitan dengan program sosialisasi agar pihak pelaksana sosialisasi terutama Pemeritahan bisa memiliki pegangan hukum untuk melaksanakan program tersebut.

c. Perlunya evaluasi terkait dengan proses sosialisasi yang sudah dilaksanakan, dan hasil evaluasi dapat digunakan sebagai acuan perancangan kegiatan lain yang menunjang proses sosialisasi secara berkelanjutan.

Daftar Pustaka

Abdullah, Aceng (2001). Press Relations: Kiat Berhubungan dengan Media Massa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Baskin, Otis , Craig Aronoff and Dan Lattimore (1997). Public Relations The Profession and Practic. Mc Graw Hill

(18)

Bungin, Burhan (2005). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Komunikasi, Ekonomi dan Kebijakan Publik Serta Ilmu-ilmu Sosial lainnya. Prenada Media : Jakarta

Cutlip, Scott M , Allen H.Center dan Glen M.Broom. (2006) Effective Public Relations. Jakarta: Prenada Media Group

De Lozier, Laura Grunig and James Grunig (1995). Manager's Guide to Excellence in Public Relations and Communication Management: Lawrence Earlbaum Associates

Daymon, Christine & Immy Holloway. 2008. Metode-Metode Riset Kualilatif dalam Public Relations dan Marketing Communication (terjh). Yogyakarta: Bentang Grunig, James E, and E. Hunt (1984). Managing Public Relations. Harcourt : Brace

Jovanovich College Publishers.

Iriantara, Yosal. (2005). Media Relations: Konsep, Pendekatan dan Praktik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media

Nazir, Muhammad (1988). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia

Nurudin, Hubungan Media, Konsep dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada Moleong J, Lexy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Ruslan, Rusady (2003). Manajemen PR dan Media Komunikasi, Jakarta : Raja Grafindo

Persada

Wardhani, Diah (2008). Media Relations (Sarana Membangun Reputasi Organisasi). Yogyakarta: Graha Ilmu

Gambar

Gambar 1. Logo Rancangan Hermawan Kartajay
Gambar 3. Poster Jogja Darurat Logo
Gambar 5. Branding Kota Yogya Tahun 2013 - Sekarang
Gambar 6. Ikon “jogja istimewa”
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penilaian masyarakat pembangunan riko cukup efektif pada item pertanyaan: bangunan memberikan rasa nyaman, rehabilitasi hunian cepat, jangka waktu pembangunan,

kuat,sehingga CV Bali Aquarium akan dikenal sebagai perusahaan pembudidayaan terumbu karang yang ikut menjaga kelestarian terumbu karang dengan tenaga kerja yang berkualitas yang

Berdasarkan hasil observasi awal yang penulis lakukan di SD Negeri 18 Banda Aceh tepatnya di kelas VI, penulis melihat kurangnya respon siswa terhadap materi pelajaran yang

Maraknya kegiatan penangkapan ikan secara ilegal yang terjadi di laut Indonesia semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang dilansir Kementerian Kelautan dan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan memberikan kontribusi pada pengembangan disiplin ilmu ekonomi dan bisnis, di antaranya melalui penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalil hukum Permohonan Praperadilan terhadap keabsahan penghentian penyidikan dalam perkara penipuan oleh

• Retas Budaya bekerja sama dengan institusi ataupun organisasi.. yang memiliki koleksi budaya untuk

Khusus untuk kebijakan akuntansi yang terkait dengan Akuntansi Aset Tetap telah dilakukan penyesuaian yang mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108