• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN SOSIAL PADA MASYARAKAT TORAJA SOCIAL RELATIONS IN THE TORAJA COMMUNITY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN SOSIAL PADA MASYARAKAT TORAJA SOCIAL RELATIONS IN THE TORAJA COMMUNITY"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Toraja pada masa dahulu dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo, artinya negeri dengan bentuk pemerintahan dan kemasyarakatannya adalah satu dan bulat, bagaikan bulatnya bulan dan matahari. Istilah nama Toraja sendiri di artikan dalam beberapa definisi dan selalu dihubungkan dengan tiga arah mata angin, misalnya To Riaja nama ini diberikan oleh orang Bugis di Kerajaan

HUBUNGAN SOSIAL PADA MASYARAKAT TORAJA 1945-1947

SOCIAL RELATIONS IN THE TORAJA COMMUNITY 1945-1947

Fajar Sidiq Limola, Ilham Daeng Makkelo, Amrullah Amir

Prodi Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, Makassar

Pos-el: limolafajar@gmail.com

ABSTRACT

This research aims to provide an overview of Torajan social relationship, particularly in 1945-1947 when the Dutch took over the government. Toraja is an area with abundant social history, one of them is its social structure. The existence of society groups living in Toraja are related to one another. The relationship between society in their social life is very important, considering that in their daily lives they impose a class system in treating people in Tana Toraja, even it still survives until now. The method used in this research is the historical method ang the initial data collection uses archival and literature studies. The result of this research indicates that the traditional social life of Toraja with a class system, such as Kaunan or slaves and others, is still ongoing, even though the Dutch has abolished the status of slaves in their administrative areas. Besides, this research also shows that the government group is treated as a separate social group by the local people in Toraja.

Keywords: Toraja, social history, nobility, Kaunan.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang hubungan sosial masyarakat Toraja, terutama pada tahun 1945-1947 ketika Belanda mengambil alih pemerintahan. Toraja merupakan wilayah dengan khazanah sejarah sosial yang melimpah, salah satunya adalah struktur sosial masyarakatnya. Keberadaan golongan-golongan masyarakat yang hidup di Toraja saling berkaitan satu dengan yang lain. Hubungan antarmasyarakat pada masalah kehidupan sosial sangat penting, mengingat dalam kehidupan sehari-hari mereka memberlakukan sistem kelas-kelas dalam memperlakukan setiap insan di Tana Toraja, bahkan hal tersebut bertahan sampai sekarang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah dan pengambilan data awal menggunakan studi arsip dan kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehidupan sosial tradisional Toraja dengan sistem kelas, seperti Kaunan atau budak dan lainnya, masih terus berlangsung, meskipun Belanda menghapus status budak dalam wilayah administratifnya. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa kelompok pemerintah diperlakukan oleh masyarakat lokal Toraja sebagai golongan sosial tersendiri.

Kata Kunci : Toraja, Sejarah Sosial, Bangsawan, Kaunan.

Sidenreng yang mengenal orang Toraja sebagai orang – orang yang berasal dari Riaja, di atas, di Utara. Asal – usul kedua kemudian disebutkan bahwa Toraja berasal dari istiah To Rajang yang kemudian di artikan sebagai orang – orang dari sebelah Barat, nama ini diberikan oleh orang Bugis yang bermukim di daerah pesisir Luwu, sebelah Timur kawasan pegunungan Toraja. Istilah lainnya untuk mengenal Toraja yaitu Tau Raya yang berarti seorang yang datang dari Utara, istilah ini diberikan oleh orang Makassar

(2)

di kerajaan Gowa. Penjelasan lain mengenai istilah Toraja adalah tana to raya yang berarti tanah para raja dimana penjelasan demikian sesuai dengan budaya masyarakat Toraja yaitu derajat kebangsawanan merupakan inti sebuah masyarakat, nama Toraja pula dapat dimengerti sebagai kebiasaan orang Luwu dan Palopo untuk menyebut orang-orang yang datang dari arah pegunungan ke pesisir to ri ajang yang mempunyai arti “orang-orang yang berasal dari aliran sungai bagian atas di sebelah Barat.

Toraja ini kemudian menjadi wilayah bagian dari Luwu, oleh pemerintah Belanda sebagai rekayasa administrasi.1 Pada tahun

1905 – 1906 administrasi dan tatanan politik Belanda menjadikan wilayah Toraja sebagai bagian Afdeeling Luwu. Pada tahun 1911 terjadi perubahan wilayah di Sulawesi Selatan dan Tenggara kedalam satu wilayah pemerintahan yang kemudian dikenal dengan istilah Gouvernement Celebes en Onderhoorigheden (Pemerintahan Sulawesi dan daerah bawahannya). Wilayah di Sulawesi Selatan dan Tenggara ini kemudian dibagi kedalam tujuh bagian pemerintahan ( Afdeeling ) yaitu Makassar, Bantaeng, Bone, Pare-Pare, Luwu, Mandar, dan Buton.2 Toraja dimasukkan

kedalam Afdeeling Luwu.

Perubahan tata negara dan reformasi birokrasi berdampak pada penghapusan kerajaan di wilayah Sulawesi Selatan yang dahulunya merupakan kerajaan sekutu dalam satu wilayah pemerintahan dan kekuasaan langsung. Reformasi birokrasi berawal pada tahun 1867 dengan tujuan efesiensi lebih besar yang pelan-pelan berubah mengarah ke arah unifikasi kepegawaian Eropa dan Pribumi, dimulai dengan penataan kekuasaan Gubernemen Hindia Belanda dalam lingkungan daerah Gubernur Celebes dan bawahannya. Reformasi birokrasi yang dimaksud ini adalah perubahan secara fungsional maupun

1 Terance.W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja. (Yogyakarta: Ombak, 2016), hlm 84.

2 Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik

& Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942. (Yogyakarta: Ombak, 2002), hlm. 83.

struktural dalam sistem pemerintahan, berupa penghapusan dan penataan kembali di dalam tatanan pemerintahan. Bentuk pemerintahan bercorak kerajaan dan konfederasi ditiadakan. Demikian halnya dengan aturan dan peraturan lama digantikan dengan peraturan baru yang ditetapkan pemerintah.

Berubahnya sistem pemerintahan di Sulawesi Selatan juga memberikan dampak perubahan di wilayah Toraja, meskipun wilayah tersebut tidak dipimpin oleh salah seorang raja, karena di setiap kampung memiliki Parenge masing-masing. Meskipun demikian, setiap kampung tersebut memiliki pelapisan masyarakat yang telah terstruktur, hadirnya elite politik Belanda memberikan pengaruh perubahan hubungan antara lapisan masyarakat. Dalam hal ini kontak yang terjadi antara masing-masing masyarakat dipengaruhi kedudukannya dalam hierarki masyarakat.

Pelapisan masyarakat atau stratifikasi sosial selalu dianggap penting untuk dipergunakan dalam mencari latar belakang pandangan hidup, watak atau sifat – sifat mendasar bahkan dapat mengungkap hubungan – hubungan kejadian dalam masyarakat yang menyangkut tingkah laku segenap kegiatan dalam masyarakat.3 Dalam masyarakat

Toraja awalnya hanya mengenal kedudukan-kedudukan seperti stratifikasi sosial masyarakat Sulawesi Selatan pada umum nya seperti Bangsawan, Tau Maradeka, dan Ata, sama hal nya dengan kondisi sosial di beberapa wilayah di Sulawesi Selatan. Untuk mendapatkan gelar bangsawan yaitu dengan menurut pertalian kekerabatan dalam dua golongan didasarkan pada prinsip keturunan dan prinsip perkawinan, sedangkan Ata diakibatkan karena kalah dalam peperangan, karena perampasan, dan karena putusan pengadilan.4

Kondisi lapisan masyarakat Toraja dalam pelafalannya memiliki perbedaan dengan masyarakat umum Sulawesi seperti bangsawan

3 H. A. Mattulada. Latoa, Antropologi Politik Orang

Bugis. (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015) hlm. 28.

(3)

dikenal sebagai Puang atau Tomokaka, lapisan menengah dan Ata (budak) disebut Kaunan atau To Sandang (budak hutang).5 Namun

yang menarik dari lapisan masyarakat ini seluruh masyarakat hidup secara rukun, ini terlihat di pemukiman Toraja yang ditandai dengan keberagamannya. Sebuah Tondok misalnya semua masyarakat terhubung secara langsung satu sama lain beserta dengan bawahan – bawahannya, sedangkan kota juga memperlihatkan keberagamannya bukan saja mengenai keakraban sesama masyarakat asli Toraja melainkan juga menyangkut etnis dan jenis pekerjaan6.

Budak sendiri di Indonesia sejak 1860 telah dilarang keberadaannya oleh VOC kala itu. Sedangkan di Toraja informasi mengenai penghapusan Kaunan atau budak mulai dihapuskan karena larangan dari pemerintah kolonial dan desakan dari agama yang memandang semua manusia memiliki derajat yang sama. Sehingga pemerintah setempat melarang peredaran budak di wilayah masing-masing.

Melihat uraian singkat tersebut, yang menjadi pokok permasalahan penelitian ini adalah bagaimana melihat kehidupan sosial masyarakat Toraja pada kurun waktu 1945-1947 mengingat masa tersebut salah satu kebijakan yang diberlakukan adalah penghapusan budak. Apakah dalam masyarakat Toraja masa tersebut Kaunan keberadaannya betul sudah tidak ada, jika tidak ada atau ada lantas bagaimana hubungan sesama masyarakat Toraja yang masih memegang teguh tradisi lokal ditambah bagaimana pemerintah Belanda hidup

5 Op.cit. Terence W Bigalke., hlm 124.

6 Ibid. disamping rumah pejabat distrik Belanda, sejumlah pegawai tinggal di Makale. Mereka adalah orang Manado dan Ambon yang beragama Kristen. Penduduk lainnya kebanyakan orang Bugis yang beragama Islam. Adapula sejumlah orang Toraja diantara mereka, beberapa diantaranya bekerja dengan pemerintah, sementara yang lainnya merupakan penerjemah, pelayan yang menjaga kuda, dan sejenisnya. Kampung – kampung Toraja tersebar di seberang perbukitan, mengelilingi pemukiman ini, sama seperti di Rantepao”. Baca selengkapnya., hlm 97-98.

di tengah masyarakat lokal tersebut. Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut.

METODE

Penelitian ini menggunakan tahapan-tahapan dalam metode sejarah, pengambilan data awal menggunakan studi arsip dan kepustakaan. Pengumpulan arsip sumber primer yang berhubungan dengan arsip dan berhubungan dengan periode pemerintahan Hindia Belanda diperoleh dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan. Arsip-arsip tersebut antara lain Laporan Serah Terima J. M. Van Lijf periode 23 Juli 1946 sampai 23 Juni 1947 tentang Onderafdeling Toraja dari Kontrolir pemerintah dalam lepas jabatan. Berikutnya Catatan Gubernur Sulawesi D. F. Van Braam Moris tentang Kerajaan Luwu (1888). Selanjutnya, Surat dari Kontrolir Makale/Rantepao kepada Asisten Residen Luwu tentang kelemahan Kepala Distrik Tikala saudara Tiro Tombolangi. Data tambahan diperoleh dari buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian.

PEMBAHASAN

Hubungan Bangsawan dengan Kaunan

Aluk Todolo yang mengakar dalam masyarakat adat Toraja mempunyai peranan yang sangat penting dalam tatanan masyarakat adat Toraja. menyusul kehadiran agama dan modernitas. Hal tersebut mengakibatkan sebagian besar masyarakat Toraja menganut agama Nasrani yang kemudian memengaruhi sistem hukum dalam masyarakat adatnya. Namun, pada kenyataannya kehidupan masyarakat Toraja masih terpengaruh oleh kebiasaan-kebiasaan leluhurnya baik dalam perkawinan, upacara kematian bahkan dalam pembagian warisan.7

Dalam budaya nenek moyang masyarakat Toraja yaitu Aluk Todolo, terdapat stratifikasi

7 Oktavianus Patiung. Kedudukan Anak Kaunan Yang

Diangkat Oleh To Parenge (Kaum Bangsawan) Dalam Pembagian Warisan Masyarakat Tondon di Kabupaten Toraja. (Makassar: Unhas, 2013), hlm. 3.

(4)

sosial yang sangat berbeda dalam seluruh aktivitas atau kegiatanya. Adapun pelapisan masyarakat terdiri atas Bangsawan, Tau Maradeka , dan Ata. Bangsawan adalah orang-orang yang memiliki kedudukan paling tinggi. Bangsawan di Toraja terbagi atas tiga yaitu:

a. Para Puang, yaitu keturunan murni dari silsilah para tomanurung

b. Anak Disese, yang berasal dari perkawinan orang–orang dari silsilah para tomanurung dengan wanita keturunan Tomakaka, Madikka, atau Parenge

c. Tomakaka yaitu bangsawan yang dianggap sebagai saudara yang lebih tua. Tomokaka terdiri atas tiga yaitu:

1. To makaka Banu, adalah keturunan dari pendiri pertama sebuah kampong. 2. Tomakaka Matallo adalah mereka

yang diangkat menjadi tomakaka dengan persetujuan kepala.

3. dan Tomokaka Balau adalah keturunan Tomakaka dan wanita dari golongan yang lebih rendah.

Selanjutnya Tau Maradeka yang di Toraja di kenal To Tanga di tempat lain di sebut sebagai To Sama yaitu mereka yang kedudukannya tidak di anggap sebagai Tomakaka. Namun, bukan juga sebagai Ata , posisinya berada di tengah – tengah, lapisan to tanga ini merupakan lapisan yang dimiliki kebanyakan masyarakat. Terakhir Ata yang di Toraja dikenal dengan sebutan Kaunan yaitu kelompok yang dulunya merupakan golongan Budak. Kaunan ini dapat dibagi menjadi empat kelompok yang terdiri atas:

1. Kaunan Bulan yaitu budak rumah, mereka membayar hutangnya dengan bekerja. 2. Kaunan Indan yaitu mereka yang menjadi

budak karena memiliki hutang, namun mereka dapat melepaskan diri dengan membayar kembali hutangnya.

3. Kaunan Mengkaranduk yaitu mereka yang tidak mampu melindungi dirinya, istri dan anak–anaknya, kemudian menempatkan dirinya dengan harta

miliknya di bawah perlindungan orang lain. Hal ini dilakukan dengan upacara pengesahan dengan mempersembahkan seekor babi di hadapan saksi – saksi. 4. Kaunan Tai Masuk yaitu mereka yang

menjadi budak pada seorang budak lainnya atau pembayar hutang, Inilah kedudukan kelompok budak yang paling rendah.8

Namun pada zaman kolonial hal itu dilarang karena penyebaran agama Nasrani tidak mengenal perbedaan kasta. Akan tetapi, dalam praktiknya masyarakat adat Toraja tetap membedakan kasta dalam masyarakatnya.9

Terkhusus untuk budak istilah ini sangat dilarang dalam pemerintah Belanda tetapi tetap saja budak atau Kaunan dalam istilah masyarakat Toraja tetap ada. Selain karna faktor keturunan, para golongan Kaunan tidak bisa lepas dari ketergantungan dengan tuannya yang mana hubungan tersebut menghasilkan istilah patron klien.

Dalam konsep Marxian Patron merupakan kelas yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi, sehingga ia dapat melakukan ekploitasi terhadap klien yang banyak menggunakan alat produksi yang dimiliki patron. Masih dalam konsepsi Marxian, patron akan mengeluarkan modalnya untuk dua hal, yaitu membeli alat-alat produksi dan sebagian lagi untuk membeli tenaga kerja (klien). Klien tidak mempunyai apa-apa kecuali menjual tenaga kerja mereka.10

Hubungan patron-klien tersebut tidak saja terbatas pada eksploitasi tetapi sampai kepada tingkat ketergantungan yang tinggi.11 Ketergantungan

8 J. M. Van lijf. Laporan Serah Terima mengenai

Onderafdeling Tana Toraja dari Kontrolir pemerintah dalam yang lepas jabatan 23 juli 1946 sampai 23 juni 1947. (Makassar: Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah

Propinsi Sulawesi Selatan, 2004), hlm. 83-84. 9 Loc. It. Oktavianus Patiung.

10 Anthony Brewer, Kajian Kritis Das Kapital Karl

Marx (Jakarta: Teplok Press, 1999), hlm. 58.

11 Dalam hubungan patron-klient semacam ini, Peter Flynn mengkategorikannya sebagai culture of

powerless (budaya ketidakberdayaan), di mana sedikit

sekali orang yang merasakan kenikmatan sebagai klien. Baca Peter Flynn, “Class, Clientelisme, and Coercion: Some Mechanism of Internal Dependency and Control”,

(5)

yang dimulai dari satu aspek sosial umumnya berkembang menjadi ketergantungan yang luas dan mencakup beberapa aspek kehidupan sosial lainnya. Dalam hal ini Bangsawan Toraja bertindak sebagai patron dan Kaunan sebagai klien.

Persekutuan antara patron dan klien merupakan hubungan saling tergantung. Dalam kaitan ini, aspek ketergantungan yang cukup menarik adalah sisi ketergantungan klien kepada patron. Sisi ketergantungan semacam ini karena adanya hutang budi klien kepada patron yang muncul selama hubungan pertukaran berlangsung.

Perlakuan dan jasa besar yang dilakukan oleh Kaunan kepada tuannya biasanya membuat hubungan antara Kaunan dengan tuannya menjadi sangat dekat. Hal ini membuat kaum bangsawan sering mengangkat anak dari Kaunan untuk menjadi anak angkatnya. Akan tetapi dalam dalam pembagian warisan, kadangkala anak Kaunan tidak mendapatkan bagian harta warisan ketika ia tidak melaksanakan pengorbanan berupa pemotongan kerbau atau babi ketika orang tua angkatnya meninggal. Pengangkatan yang dilakukan oleh Toparengnge’ terhadap anak Kaunan bertujuan untuk memberikan legitimasi kepada kaum hamba ini agar tidak diambil oleh orang lain sebagai hambanya. Selain itu, dengan adanya pengangkatan seperti ini akan membuat anak Kaunan lebih rajin dalam mengabdi kepada Toparengnge’ sebagai tuannya dan sekaligus sebagai orang tua angkatnya serta dapat mengerjakan atau mengelolah sawah, kebun dan menggembalakan ternak dari Toparengnge.12

Statusnya sebagai anak mengakibatkan anak Kaunan dapat mewaris dari Toparengnge’ sebagai orang tua angkatnya dengan hak terbatas namun kewajiban tidak terbatas. Anak Kaunan mendapat warisan yang di ba’gi yaitu warisan yang dikhususkan atau diistimewakan dan diberikan pada saat pewaris masih dalam keadaan hidup. Harta yang diberikan berupa

Journal of Commonwealth and Comparative Politics, Vol. 12 No. 2 (1974), hlm. 151.

12 Oktavianus Patiung. Ibid, hlm 6.

sawah dan tanah untuk tempat membangun rumah. Dikatakan khusus atau istimewa karena walaupun ia telah menerima warisan pada saat orang tua angkatnya masih hidup, anak Kaunan juga masih bisa mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya telah meninggal, tentu saja setelah anak ini melakukan pengorbanan berupa pemotongan kerbau atau babi pada saat upacara kematian Toparengnge’ atau orang tua angkatnya. Bagian warisannya tersebut diberikan atau tidak diberikan tergantung pada kesepakatan anak kandung Toparengnge’. Dari haknya di atas timbul pula kewajiban anak Kaunan yaitu mengabdi kepada Toparengnge dan keluarganya baik itu dalam upacara-upacara rambu tuka’, rambu solo’ maupun dalam kehidupan sehari-hari13.

Adanya hak mewaris yang dimiliki oleh anak Kaunan, tentunya menimbulkan kewajiban yang harus dilakukan oleh anak tersebut. Selain memberikan pengorbanan pada saat Toparengnge’ meninggal, anak Kaunan juga berkewajiban untuk menghormati dan menghargai serta menjunjung tinggi martabat dari Toparengnge’ beserta keluarganya selain sebagai keluarga sekaligus sebagai tuannya. Anak ini juga harus turut berpartisipasi dalam setiap upacara-upacara adat yang dilakukan oleh Toparengnge’ tersebut.14

Semenjak Belanda masuk ke wilayah Sulawesi Selatan banyak struktur sosial yang berubah salah satu di antaranya adalah penghapusan istilah budak dalam strata sosial masyarakat. Penghapusan istilah budak merupakan kebijakan Belanda yang memberikan keleluasaan kepada budak untuk tidak terikat lagi dengan tuannya atau dalam hal ini para bangsawan.

Pemerintah Belanda menerapkan kebijakan tersebut di seluruh Sulawesi Selatan tidak terkeculi Toraja. Dalam masyarakat Toraja, kebijakan tersebut memang telah tersiarkan tapi tidak berlangsung secara ideal sesuai dengan harapan. Istilah budak atau dalam bahasa Toraja

13 Op. Cit, hlm. 8. 14 Loc. It. Hlm. 6.

(6)

dikenal dengan kaunan masih terus nampak dipermukaan, meskipun semenjak kebijakan tersebut di terapkan eksistensi Kaunan mulai sedikit demi sedikit mulai berkurang.

Salah satu contoh masalah patron klien yaitu indikasi bahwa Kaunan masih menjadi sebuah strata adalah pembagian dan prosesi pengelolaan tanah. Walaupun tanah di sekitar Toraja sangat cukup luas, banyak masyarakat yang tidak memiliki sebidang tanah sehingga hanya bergantung kepada para pemilik tanah. Tanah maupun sawah–sawah sebagian besar merupakan milik para bangsawan sedangkan, masyarakat tidak memiliki lahan meskipun ada pada umumnya lahan mereka merupakan lahan yang palik buruk dan sedikit menghasilkan produksi.

Para pemilik tanah yang merupakan bangsawan memberikan perintah kepada para Kaunan untuk mengerjakan tanah tersebut. Para Kaunan berlomba dalam menggarap tanah subur karna hasil produksinya juga sangat memuaskan sehingga para penggarap nantinya mendapatkan bagian yang tidak sedikit pula. Keadaan tersebut memberikan dampak kepada hubungan antara para penggarap tanah dengan pemilik tanah.

Dalam situasi tersebut akhirnya memunculkan ketergantungan kedua belah pihak, para penggarap terus mengharapkan agar tanah tersebut tetap meraka yang garap di tahun selanjutnya, karena tahun berikutnya belum tentu mereka yang menggarap tanah tersebut. Oleh karena itu, demi mendapatkan kesempatan tersebut para penggarap terkadang banyak melakukan hal–hal lain di luar konsentrasi mereka mengenai mengelolah tanah.15

Hubungan Penguasa Kolonial dengan Bangsawan dan Kaunan

Kedatangan kembali Belanda di Toraja melalui kendaraan NICA disertai dengan perhitungan yang lebih matang, dalam

15 Heddy Shri Ahimsa Putra, Patron dan Klien di

Sulawesi Selatan “Sebuah Kajian Fungsional Struktural“.

(Yogyakarta: Kepel Press, 2007), hlm. 119-121.

kedatangannya kali ini Toraja merangkul seluruh lapisan masyarakat. Pengaruh paling besar dalam tatanan masyarakat Toraja adalah strata sosial .

Hubungan dengan bangsawan merupakan hubungan paling harmonis yang dilaksanakan oleh penguasa Kolonial Belanda apabila dibandingkan dengan lapisan sosial lainnya. hal ini jelas merupakan langkah selektif yang diambil mengingat bangsawan memiliki kekuatan tersendiri dalam tatanan masyarakat Toraja.

Penguasa Kolonial Belanda memberikan banyak kerjasama dan kemudahan dalam berbagai urusan sehingga bangsawan membuka tangan dan bersimpati terhadap mereka. Salah satu tempat istimewa yang diterima bangsawan terletak pada peraturan memberikan hak pilih dalam proses pemilihan umum.

Memberikan hak pilih dalam sebuah pemilihan secara demokratis umumnya setiap masyarakat memiliki hak dan kewajiban untuk memilih, tanpa mengenal strata sosial. Sebelumnya di Toraja, pemerintah Belanda memberikan hak tersebut kepada seluruh laki – laki dewasa dalam lapisan masyarakat Toraja. Hal tersebut telah mengakar sebelum adanya protes dari golongan bangsawan untuk mencabut hak pilih masyarakat biasa dan Kaunan. Hal ini dilakukan oleh para bangsawan, karena jumlah masyarakat biasa dan Kaunan sangat banyak, sehingga secara matematis mereka akan memilih pemimpin yang memiliki kesamaan dengan golongan mereka meskipun tidak memilik karakteristik sorang pemimpin.

Protes tersebut merupakan salah satu tolok ukur hubungan antara penguasa kolonial dengan bangsawan telah berjalan harmonis. Tuntutan tersebut jelas diakomodir pemerintah Belanda, mereka bersepakat untuk mencabut hak pilih Tau Maradeka dan Kaunan, kebijakan tersebut semakin ditegaskan setelah pemerintah swapraja mengambil alih seluruh tugas dan kerja pemerintahan.

Kebijakan selanjutnya yaitu menerapkan peraturan pemilihan, para pemuka masyarakat

(7)

lapisan bawah memiliki hak untuk memilih para kepala lembang, sementara kepala kampung memiliki hak untuk memilih kepala kompleks perkampungan. Dalam hal ini seluruh kepala kampung maupun pemuka masyarakat merupakan masyarakat yang berasal dari golongan bangsawan. Hasil dari pemilihan tersebut secara otomatis telah didukung oleh para pemuka adat.16

Dalam sistem pemerintahan Lembang bisa saja terdapat perbedaan antara lembang, karena adat-istiadat yang berlaku di masing-masing Lembang memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Namun struktur pemerintahan yang dimiliki terdapat kesamaan antara Lembang yaitu: Kepala Lembang sebagai pimpinan tertinggi, kapala Lembang membawahi kepala kampung, dan struktur yang paling bawah adalah Saroan (atau setingkat RT sekarang). Kepala Lembang dipilih dari strata sosial tertinggi di masyarakat atau yang dimaksudkan adalah para bangsawan, biasanya mereka juga orang kaya dan berpendidikan dalam hal ini masyarakat biasa atau tau maradeka tetapi secara garis besar hak ekslusif selalu diperuntukkan kepada para bangsawan. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Belanda sebelumnya yang memberi prioritas pada masyarakat strata atas mengecap pendidikan lebih dari strata sosial lainnya.17

Pemilihan Kepala Lembang langsung oleh masyarakat. Setelah didahului pencalonan oleh masyarakat menurut kriteria yang ditetapkan. Calon kepala lembang harus memenuhi minimal 3 syarat utama yaitu: berdasarkan keturunan berasal dari strata atas, kekayaan, dan keterampilan atau wawasan. Syarat lainnya seperti: tingkat pendidikan, dan tidak pernah terlibat langsung atau tidak

16 J. M. Van lijf, Laporan Serah Terima mengenai

Onderafdeling Tana Toraja dari Kontrolir pemerintah dalam yang lepas jabatan 23 juli 1946 sampai 23 juni 1947. (Makassar: Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah

Propinsi Sulawesi Selatan, 2004), hlm. 162 - 164.

17 Reprisal Mody, Tinjauan Hukum Terhadap

Lembang Sebagai Desa Adat di Tana Toraja Menurut Undang – Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan Pelaksanaannya. (Makassar: Unhas, 2016), hlm. 73.

langsung organisasi terlarang. Organisasi yang dimaksudkan adalah organisasi ekstrimis yang secara langsung dilarang oleh pemerintah Belanda dan tidak bermain judi. Perlu diketahui hal ini hanya bersifat formal, semenjak Belanda masuk ke Toraja kegiatan seperti ini merupakan salah satu larangan, namun kebijakan tersebut seperti mentah di tangan para bangsawan karena Belanda terkadang memberikan konpensasi kepada para bangsawan untuk bermain judi termasuk adu ayam.18

Tarik menarik dalam penentuan kriteria pemilihan kapala lembang sebenarnya tidak terlepas dari strata sosial yang masih kuat di masyarakat Toraja. Sampai saat ini strata sosial terbawah tidak pernah menjadi pimpinan di Toraja meskipun orang tersebut berpendidikan tinggi dan kaya. Kepala Lembang sangat berwibawa di hadapan masyarakatnya. Setiap upacara adat yang berlangsung di Lembang selalu dihadiri oleh kapala lembang serta aparatnya, mereka selalu duduk ditempat yang paling terhormat, karena mereka aparat pemerintahan dan berasal dari strata teratas. Seluruh hak – hak ekslusif tersebut menjadikan para bangsawan sebagian memberikan dukungan kepada Belanda.19

Hubungan dengan para bangsawan sangat diperhatikan Belanda, hal ini untuk terus memperoleh simpati dari mereka. misalnya Ketua Tongkonan Ada’, Puang Makale, Andreal Duma Andilolo selalu bersikap bekerja sama dengan Belanda yang didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang bijaksana. Dengan cara tersebut ketua Tongkonan Ada’ tersebut bisa memperoleh penghargaan dari pihak Pemerintah Belanda. Sedangkan anggota - anggota Tongkonan Ada’ lainnya yang juga merupakan bangsawan termasuk Ampu Lembang Pangala’ memberikan apresiasi terhadap pemerintah Belanda.20

Tongkonan Ada’ tidak bisa menutup diri bahwa di dalam tubuh lembaga tersebut

18 Ibid., hlm. 74. 19 Loc.It. 20 Op.cit., hlm. 196.

(8)

terdapat dua kekuatan besar. Selain para anggota yang pro terhadap Belanda adapula yang tidak sepemahan seperti Puang Sangala’dan Mengkendek. Untuk kedua bangsawan tersebut mereka memihak propaganda republik,21

karna pada masa tersebut adalah peralihan kemerdekaan dari penjajahan

Pengaruh Belanda dalam kultur masyarakarat Toraja menyeluruh ke dalam lapisan masyarakat, sehingga dalam penguasaannya tidak saja hanya berhubungan pada salah satu lapisan saja tetapi seluruh lapisan termasuk para budak atau yang lebih dikenal dengan Kaunan. Salah satu tradisi yang paling berpengaruh dalam masyarakat Toraja adalah upacara pesta kematian. Upacara tersebut terdiri atas beberapa proses salah satunya yaitu proses membalut jenazah, Seorang pembalut jenazah disebut To Mebalun.

To Mebalun berasal dari golongan Kaunan atau budak. Apabila seseorang membutuhkan tenaganya dalam suatu hal, yang dimaksudkan adalah proses kematian maka orang yang membutuhkan tenaga mereka akan melempari rumah To Mebalun dengan batu sebanyak tiga kali. Masyarakat Toraja pada lapisan sosial lainnya tidak diperbolehkan masuk kedalam rumah tersebut karena To Mebalun diharuskan untuk hidup menyendiri. Sedangkan, untuk menghormati kedudukan para pembalut jenazah yang langsung berhubungan dengan mayat pihak belanda memberikan kebebasan kepada mereka untuk terlepas dari pajak jalan, kerja rodi, dan pinonto

21 Menurut pemerintah Belanda gerakan tersebut mendukung kemerdekaan Indonesia, untuk wilayah Toraja persebarannnya masuk melalui jalur Luwu utamanya Palopo. Pada masa peralihan kemerdekaan tersebut, Indonesia mengalami tumpang tindih kekuasaan hal ini di karenakan di Jakarta telah di umumkan bahwa Indonesia telah dinyatakatan telah merdeka melalui pembacaan Proklamasi, namun di beberapa wilayah Indonesia masih ada beberapa kekuasaan yang menguasai daerah tersebut termasuk Toraja sehingga upaya – upaya tersebut di jadikan sebagai pemerintah Belanda sebagai propaganda Republik. Fajar Sidiq. Pemerintahan Belanda di Toraja

(1945–1947). (Makassar: Unhas, 2017), hlm. 61.

(kewajiban keja rodi untuk kepentingan kepala pemerintahan).22

PENUTUP

Kondisi Toraja pasca kedatangan kembali Belanda pada tahun 1945-1947 masih tetap dengan fondasi masyarakat lokal Toraja sebelumnya. Meskipun kedatangannya kali ini merupakan untuk kedua kalinya peran Aluk Todolo yang merupakan agama nenek moyang Masyarakat Toraja masih mengakar.

Agama Kristen telah disiarkan dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam tatanan masyarakat Toraja, hanya saja tradisi lokal yang kuat berakibat masyarakat masih hidup dengan memegang teguh prinsip lokal tersebut. Dari studi ini dapat dilihat kebijakan penghapusan budak di seluruh Indonesia memang telah sampai di Toraja namun dalam kehidupan masyarakatnya, status Kaunan masih tetap marak. Ditemukan juga bahwa kedatangan kembali Belanda struktur lapisan sosial tidak mengalami perubahan tetapi kehidupan sosial masyarakat banyak mengalami perubahan.

Hubungan penguasa Belanda dengan para bangsawan berjalan dengan baik, Tongkonan Ada’ yang anggota - anggota di dalamnya merupakan para kepala Lembang dan para Puang menerima Belanda dengan tangan terbuka. Hak – hak ekslusif yang diberikan Belanda kepada para bangsawan menjadi alasan utama. Meskipun tidak bisa ditepiskan bahwa terdapat eksodus oleh beberapa bangsawan lainnya untuk menolak Belanda. Penolakan tersebut terlihat dengan munculnya gerakan – gerakan ekstrimis dan propaganda republik. Secara keseluruhan para bangsawan memberikan tempat kepada Belanda, sehingga kerja sama antara kedua belah pihak berjalan sesuai dengan harapan mereka masing – masing.

Kaunan yang merupakan lapisan terbawah dalam masyarakat Toraja memeliki hubungan erat dengan para bangsawan. Penghapusan budak merupakan salah satu kebijakan pemerintah Belanda, dalam masyarakat Toraja

(9)

kebijakan tersebut tidak berlangsung hal ini karena para budak atau Kaunan telah terikat dengan para tuannya yaitu bangsawan, disatu sisi Bangsawan selalu membutuhkan Kaunan untuk membantu mereka dalam bekerja, sedangkan Kaunan mendapatkan imbalan bukan sebagai budak tetapi sebagai pengikut, istilah ini dikenal dengan patron klien.

Para penguasa kolonial bukan hanya berhubungan secara langsung dengan bangsawan tetapi juga memberikan perhatian kepada para Kaunan. Kebijakan penghapusan budak dan pembebasan kerja sebagai buruh kepada golongan Kaunan yang mengurus jenazah merupakan bentuk perhatian Belanda kepada golongan ini. Pendekatan Belanda kepada berbagai lapisan masyarakat digunakan untuk menanamkan simpati sehingga menjaga eksistensi politik, sosial dan administratif. Akhirnya, masalah - masalah sosial masyarakat yang berhubungan dengan pemerintahan Belanda pasca kedatangannya kembali di Toraja memberikan pengaruh terhadap pola perilaku masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Bigalke, Terence W. (2016). Sejarah Sosial Tana Toraja. Yogyakarta: Ombak.

Cicm, G. Van Schie. (2000). Gereja Katolik di Toraja dan Luwu. Jakarta: Obor.

Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan. Laporan Serah Terima J. M. Van Lijf periode 23 Juli 1946-23 Juni 1947. Makassar: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan. Fahmid, Imam Mujahidin. (2012). Identitas

Dalam Kekuasaan. Makassar: Ininnawa. Furnivall, J. S. (2009). Hindia Belanda Studi

Tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom Institute.

Hefni, Moh. 2009. “Patron-Client Relationship Pada Masyarakat Madura” dalam Karsa Vol. 14 Nomor 1. Madura: Institut Agama Islam Negeri Madura.

Mattulada. (1995). Latoa Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Makassar: Hasanuddin University Press.

--- (1998) Sejarah Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Hasanuddin University Press.

Mody, Reprisal. “Tinjauan Hukum Terhadap Lembang Sebagai Desa Adat di Tana Toraja Menurut Undang – Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan Pelaksanaannya” Skripsi Universitas Hasanuddin. Makassar: Universitas Hasanuddin, 2016.

Moris, D. F. Van Braam. (2007). Kerajaan Luwu: Catatan Gubernur Celebes, Kerajaan Luwu. Makassar: Toaccae.

Paeni, Muchlis. dkk. (1984). Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makassar 1900-1950. Ujung Pandang: BPSNT.

Pasanda, Arrang Allo. (1995). Pong Tiku Pahlawan Tana Toraja, Pejuang Anti Kolonialisme Belanda 1905-1907. Jakarta : Fajarbaru Sinarpratama.

Patiung, Oktavianus. “Kedudukan Anak Kaunan Yang Diangkat Oleh To Parenge (Kaum Bangsawan) Dalam Pembagian Warisan Masyarakat Tondon di Kabupaten Toraja” Skripsi Universitas Hasanuddin. Makassar: Universitas Hasanuddin, 2013. Perlas, Cristian. (2008). Manusia Bugis.

Jakarta: Nalar.

Poelinggomang, Edward L. (2004). Perubahan Politik & Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942. Yokyakarta: Ombak.

Tana Toraja I No. 138. Makassar: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan.

Tana Toraja I No. 148. Makassar: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan.

Tana Toraja I No. 149. Makassar: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan.

(10)

Tandilintin, L T. (1981). Toraja Sebuah Penggalian Sejarah dan Budaya. Toraja: Yayasan Lepongan Bulan.

Shri Ahimsa Putra, Heddy. (2007). Patron dan Klien di Sulawesi Selatan: Sebuah Kajian Fungsional Struktural. Yogyakarta: Kepel Press.

Sidiq, Fajar. “Pemerintahan Belanda di Toraja (1945–1947” Skripsi Universitas Hasanuddin. Makassar: Universitas Hasanuddin, 2017.

Sjamsuddin, Helius. (1996). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Sutherland, Heather. (1983). Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan.

Suwanto, Soetinah. (2012). Pendidikan Nasional II Indonesia. Makassar : Stensil Batu Putih.

Zed, Mestika. (1991). Sejarah, Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi: Pendidikan Kolonial dan Masalah Distribusi Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Gramedia.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan maka perlu dilakukan perancangan ulang tata letak fasilitas produksi menggunakan metode SLP dengan bantuan

Penerapan metode fuzzy pada sistem diterapkan pada pemanfaatan sensor suhu lingkungan, sensor suhu tubuh, dan sensor tekanan darah sebagai input-an yang akan

Telah dilakukan pemantauan korosi pada sistem pendingin Sekunder Reaktor RSG-GAS dengan cara pengamatan terhadap laju korosi dengan menggunakan coupon corrotion yang dipasang

Perlu dipertimbangkan untuk membuat daftar unit kerja yang sudah terfasilitasi dengan sistem aplikasi (sesuai dengan permintaannya) lengkap dengan jenis

Pemanfaatannya (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.. Hendaknya sebuah media pembelajaran akan lebih baik apabila dapat memberi pengaruh yang besar terhadap alat indera.

Pertumbuhan tajuk yang tinggi pada kombinasi porositas media 61–65% dengan interval penyiraman 6 hari + PPA (Tabel 3), disebabkan ketersediaan air yang optimal akibat

Beberapa penelitian telah dilakukan sebelumnya yaitu oleh Alam (2014)tentang penentuan kondisi optimum ekstraksi ion Pb(II) menggunakan teknik emulsi membran cair yang

Suplement Standarisasi Biaya Kegiatan Dan Honorarium, Biaya Pemeliharaan Dan Standarisasi Harga Pengadaan Barang Kebutuhan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah Tahun 2005