• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISOLASI, KARAKTERISASI, DAN UJI PATOGENISITAS BAKTERI VIBRIO YANG DIISOLASI DARI LARVA ABALON SAKIT DI HATCHERI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ISOLASI, KARAKTERISASI, DAN UJI PATOGENISITAS BAKTERI VIBRIO YANG DIISOLASI DARI LARVA ABALON SAKIT DI HATCHERI"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Pembenihan abalon dari spesies Haliotis squamata baru dimulai beberapa tahun belakangan ini dan kematian abalon secara massal sering terjadi tanpa diketahui penyebabnya. Suatu penelitian untuk mengetahui tingkat patogenisitas bakteri vibrio terhadap yuwana abalon (H. squamata) telah dilakukan di laboratorium patologi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali. Tahap pertama dari peneltian ini adalah mengisolasi bakteri vibrio dari yuwana abalon sakit menggunakan media Thiosulfate Citrate Bile Salt Sucrose (TCBS) agar, yaitu media spesifik untuk bakteri vibrio. Bakteri yang tumbuh dominan selanjutnya dimurnikan dan diidentifikasi berdasarkan uji biologis dan biokimia. Uji virulensi dilakukan dengan cara menginfeksikan isolat bakteri dengan berbagai kepadatan (konsentrasi akhir 103–106 CFU/mL) terhadap masing-masing 20 ekor yuwana abalon yang dipelihara dalam stoples kaca berisi 1 L air laut yang sudah disaring dengan ultra-membran filter (0,05 μm). Setiap perlakuan diulang 3 kali. Pengamatan dilakukan terhadap kematian larva selama 3 hari pemeliharaan. Dari penelitian diperoleh 3 isolat vibrio dan berdasarkan karakternya ketiga isolat diidentifikasi sebagai Vibrio cincinnatiensis. Hasil uji virulensi menunjukkan bahwa ketiga isolat patogen pada yuwana abalon. Rata-rata mortalitas setelah tiga hari pemeliharaan untuk isolat–1, isolat–2, dan isolat–3 pada perlakuan kepadatan bakteri 106 CFU/mL adalah 13,33%; 18,33%; dan 21,67%; sedangkan mortalitas pada kelompok kontrol hanya 3,33%.

KATA KUNCI: abalon, Haliotis squamata, vibriosis, Vibrio cincinnatiensis PENDAHULUAN

Abalon, Haliotis spp. merupakan komoditas perikanan yang bernilai ekonomis tinggi. Untuk memenuhi permintaan pasar akan abalon ukuran konsumsi tidak dapat lagi mengandalkan hasil tangkapan dari alam melainkan harus melalui usaha budidaya. Di Cina usaha budidaya abalone telah berkembang dengan pesat sejak tahun 1986 (Yang & Ting, 1986 dalam Cai et al., 2006). Di antara berbagai spesies yang dibudidayakan, Haliotis diversicolor supertexta merupakan yang paling penting secara komersial (Cheng et al., 2002 dalam Cai et al., 2006). Sejak akhir tahun 2000 budidaya abalon menghadapi masalah serius di Cina yaitu terjadinya kematian massal dan kegagalan penempelan larva di kolam-kolam pembesaran (Lee et al., 2001 dalam Cai et al., 2006). Tahun 2002 kematian massal (di atas 90%) juga terjadi pada post larva umur antara 7 dan 30 hari secara mendadak sehingga banyak usaha budidaya abalon ditutup (Cai et al., 2006) Penyebab kematian abalon tersebut telah diidentifikasi sebagai Vibrio parahaemolyticus (Cai et al., 2006). Vibrio memang sudah dikenal sebagai ancaman utama dalam budidaya laut (Egidius, 1987; Austin & Austin, 1993; Anguiano-Beltran et al., 1998).

Di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL) Gondol, Bali, pembenihan abalon, Haliotis squamata mulai dikembangkan sejak tahun 2006 melalui kerja sama dengan perusahaan swasta “Maritech” dari Jepang dan melalui dana APBN. Abalon dipilih karena spesies ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, terutama di Jepang. Di Jepang, H. squamata dikenal dengan nama ‘tokobushi”. Sampai saat ini penelitian abalon di Gondol sudah sampai tahap pembesaran benih di keramba jaring apung (KJA). Namun demikian induk abalon yang baru ditangkap dari alam dan larva/benih yang dihasilkan sering mengalami kematian setelah dipelihara di hatcheri BBRPBL Gondol, Bali.

Peluang keberhasilan pembenihan abalon untuk daerah tropis cukup besar mengingat Thailand sebelumnya telah berhasil membenihkan Haliotis asinina secara massal (Singhagraiwan & Masanori, 1993). Mengingat abalon adalah spesies yang baru dikembangkan di Indonesia maka disadari informasi tentang penyakit masih sangat minim. Berdasarkan literatur yang sudah ada diketahui bahwa salah

ISOLASI, KARAKTERISASI, DAN UJI PATOGENISITAS BAKTERI VIBRIO YANG DIISOLASI

DARI LARVA ABALON SAKIT DI HATCHERI

Zafran, Indah Mastuti, dan Yasmina Nirmala Asih Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut

Jl. Br. Gondol Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng, Kotak Pos 140 Singaraja, Bali 81101 E-mail: rimgdl@indosat.net.id

(2)

satu penyakit yang sering menyerang abalon adalah vibriosis. Diduga abalon yang hidup di Indone-sia juga rentan terhadap vibriosis.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan isolat vibrio dari abalon sakit, mengetahui spesiesnya, dan mengetahui tingkat patogenisitasnya terhadap yuwana abalon, Haliotis squamata. BAHAN DAN METODE

Isolasi Bakteri

Sepuluh ekor abalon sakit diambil dengan pipet steril dan dimasukkan ke dalam petridish steril berisi 0,5 mL PBS steril dan dicuci beberapa kali dengan PBS. Larva selanjutnya digerus dalam tabung steril berisi 0,5 mL PBS steril. Setelah melalui serangkaian pengenceran 10 kali maka 100 μL dari masing-masing pengenceran diinokulasikan pada media Marine Agar (MA) dan Thiosulphate Citrate Bile Salt Sucrose (TCBS) agar dan diinkubasi pada suhu 27°C. Setelah 2–3 hari inkubasi, masing-masing koloni yang terlihat dominan dan berbeda morfologinya dipindahkan ke media baru sehingga didapatkan isolat murni. Isolat murni tersebut selanjutnya disimpan dalam Marine Broth yang ditambah 10% glycerol pada suhu –20°C.

Identifikasi Bakteri

Isolat bakteri diidentifikasi secara biologis dan biokimia di Laboratorium Penyakit Ikan Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada Yogyakarta, berpedoman pada Holt et al. (1994).

Uji Patogenisitas

Yuwana abalon sehat (dilihat secara visual) umur sekitar dua bulan (panjang cangkang sekitar 0,9 cm) diambil dan dibawa ke laboratorum patologi BBRPBL Gondol. Yuwana abalon selanjutnya ditempatkan dalam sebuah botol volume 2 L dan dicuci dengan 500 mL air laut steril (dengan cara diautoclave) yang mengandung antibiotik Vet Strep (dengan bahan aktif Streptomycin dan Dihydros-treptomycin) 3 mg/L.dan selanjutnya direndam selama 6 jam. Setelah yuwana bebas bakteri, yaitu setelah melalui uji dengan menginokulasikan pada media tumbuh bakteri, barulah yuwana siap digunakan untuk uji virulensi.

Uji patogenisitas dilakukan dengan cara menempatkan masing-masing 20 ekor yuwana abalon ke dalam 2 L beacker yang berisi 1 L air laut yang sudah disaring dengan ultra membrane filter (0,05 μm) pada suhu kamar. Ke dalam masing-masing beacker tersebut selanjutnya diinokulasikan bakteri uji dengan berbagai kepadatan (bakteri umur 24 jam, konsentrasi akhir 103–106 CFU/mL). Sedangkan untuk kontrol hanya ditambah PBS. Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi BBRPBL Gondol, Bali dalam Rancangan Acak Lengkap dengan 3 ulangan. Mortalitas diamati tiap hari selama 3 hari. Re-isolasi dan identifkasi bakteri juga dilakukan terhadap yuwana yang sakit sebagai konfirmasi penyebab kematian yuwana abalon.

HASIL DAN BAHASAN Isolasi Bakteri

Dari abalon sakit telah diisolasi tiga isolat vibrio yang terlihat dominan tumbuh pada media agar TCBS dengan membentuk koloni berwarna kuning. Karakteristik ketiga isolat tersebut disajikan dalam Tabel 1. Secara visual isolat–1 membentuk koloni paling besar di antara ketiga isolat uji dengan bentuk pinggir koloni yang bergerigi pada media TCBS; Sedangkan isolat–3 adalah paling kecil dan pinggirannya terlihat rata seperti isolat–2.

Identifikasi Bakteri

Hasil pengujian biologi dan biokimia menunjukkan bahwa ketiga isolat menunjukkan karakter yang sama kecuali untuk uji pada media TSIA di mana isolat–2 memberikan reaksi berbeda dengan isolat–1 dan isolat–3. Ketiga isolat adalah Gram-negatif, berbentuk batang pendek, oksidase dan katalase positif, fakultatif anaerobik, dan sensitif terhadap 0/129. Data hasil uji menunjukkan kemiripan yang mencapai 95% dengan karakter Vibrio cincinnatiensis yang dikemukakan oleh Holt et al. (1994).

(3)

Hasil yang berbeda antara ketiga isolat dengan V. cincinnatiensis hanya pada pemanfaatan sorbitol di mana ketiga isolat yang dipakai dalam penelitian ini mampu memanfaatkan sorbitol sedangkan menurut Holt et al. (1994) bakteri V. cincinnatiensis tidak mampu memanfaatkan sorbitol. Hasil lengkap uji biologi dan uji kimia ketiga isolat disajikan dalam Tabel 1. Berdasarkan karakter tersebut ketiga isolat diidentifikasi sebagai Vibrio cincinnatiensis. Spesies tersebut belum pernah dilaporkan sebelumnya patogen pada abalon, V. cincinnatiensis pertama kali dilaporkan pada manusia penderita meningitis

Karakteristik Isolat Isolat Isolat (Holt V. cincinnatiensis et al., 1994)

Bentuk sel Batang pendek Batang pendek Batang pendek Batang

Gram - - -

-Motility + + + +

Aerobiosis Facultative anaerob Facultative anaerob Facultative anaerob Facultative anaerob

O/F F F F F Pertumbuhan pada 30°C + + + + Gelatinase - - - -Oksidasi + + + + Indole production - - - -Katalase/Catalase + + + + Pemanfaatan Trehalose + + + + D-Glucose + + + + Maltose + + + + D-Mannose + + + + Galactose + + + ND Lactose - - - -Mannitol + + + + Sorbitol + + + -Sucrose + + + + D-Xylose + + + + Ornithin - - - -Simmon Citrate + + + + Asculin - - - ND Raffinose - - - ND Lysine decarboxylase - - - ND

TSIA Acid/Acid Catalis/Acid Acid/Acid ND

Sensitivitas 0/129 S S S S Novobiocin (200 μg) S S S ND OTC (200 μg) S S S ND Erythromycin (50 μg) S S S ND Morfologi koloni

- Warna TCBS Kuning Kuning Kuning ND

- Bentuk/form on TSA salt Circulair Circulair Circulair ND Similaritas terhadap Vibrio

cincinnatiensis 19/20 karakter = 95% 19/20 karakter = 95% 19/20 karakter = 95%

Tabel 1. Karakteristik biologi dan biokimia 3 isolat Vibrio yang diisolasi dari abalon sakit dibandingkan dengan Vibrio cincinnatiensis

(4)

di Cincinnati, Ohio (Brayton et al., 1986). Pada tahun 1999 bakteri V. cincinnatiensis diisolasi dari kerang Mytilus galloprovincialis di Italia (Ripabelli et al., 1999).

Uji Patogenisitas

Hasil uji patogenisitas menunjukkan bahwa ketiga isolat vibrio adalah patogen bagi abalon, terutama isolat–2 dan isolat–3. Mortalitas abalon yang diberi perlakuan infeksi bakteri terlihat meningkat sesuai dengan peningkatan kepadatan bakteri dan waktu pemeliharaan. Setelah tiga hari pemeliharaan dengan perlakuan kepadatan bakteri 106 CFU/mL, mortalitas pada perlakuan isolat–1, isolat–2, dan isolat–3 masing-masing adalah 13,33%; 18,33%; dan 21,67%. Sedangkan pada kontrol mortalitas larva setelah tiga hari pemeliharaan hanya 3,33%. Data lengkap mortalitas larva pada masing-masing perlakuan disajikan dalam Tabel 2. Tingkat patogenisitas ketiga isolat vibrio yang digunakan dalam penelitian ini tampaknya tidak setinggi Vibrio parahaemolyticus yang diisolasi dari H. diversicolor supertexta di mana LD50 dari bakteri tersebut sangat rendah (< 103 CFU/mL) dalam waktu pemeliharaan hanya tiga hari (Cai et al., 2006). Namun demikian dari penelitian ini terindikasi bahwa keberadaan vibrio tetap menjadi ancaman serius bagi budidaya abalon (H. squamata) karena dapat menimbulkan penurunan sintasan secara signifikan.

Gejala klinis abalon yang sakit/mati pada perlakuan infeksi bakteri vibrio terlihat sama dengan gejala klinis pada kasus kematian alami, yaitu daging abalon jadi putih dan mengkerut sehingga bagian pinggir cangkang terlihat kosong. Kematian mulai terlihat pada hari kedua pasca inokulasi bakteri uji ke dalam air media pemeliharaan abalon. Abalon sakit/mati mudah dibedakan dari abalon sehat dengan cara menyentuh tubuh abalon dengan benda padat berupa sendok atau pinset. Abalon hidup/sehat akan menempel dengan kuat pada substrat atau wadah penelitian, sedangkan yang lemah/mati akan lepas dari substrat. Bahkan dengan hanya memiringkan wadah penelitian saja abalon sakit/mati akan terbawa bersama gerakan air.

Kematian massal abalon akibat infeksi vibrio (vibriosis) sebetulnya bukan informasi baru. Berbagai spesies vibrio telah dilaporkan sebagai patogen pada berbagai spesies abalon, antara lain Vibrio alginolyticus pada Haliotis rufescens (Anguiano-Beltran et al., 1998), V. carchariae pada H. tuberculata (Nicolas et al., 2000), V. harveyi dan V. splendidus I pada H. iris (Bower, 2003), dan V. parahaemolyticus pada H. diversicolor supertexta (Liu et al., 2000; Cai et al., 2006). Ancaman kematian oleh vibriosis kelihatannya tidak hanya pada abalon stadia larva/pasca-larva tapi juga pada abalon dewasa. Zafran

24 jam 48 jam 72 jam

1 106 0.00 5.00 13,33 ± 2,89 105 0.00 3,33 8,33 ± 2,89 104 0.00 1,67 5,00 ± 0 103 0.00 0.00 1,67 ± 2,89 2 106 0.00 13,33 18,33 ± 5,77 105 0.00 6,67 13,33 ± 5,77 104 0.00 1,67 11,67 ± 5,77 103 0.00 0.00 5,00 ± 0 3 106 0.00 16,67 21,67 ± 2,89 105 0.00 8,33 13,33 ± 5,77 104 0.00 6,67 8,33 ± 5,77 103 0.00 1,67 3,33 ± 2,89 Kontrol - 0.00 1,67 3,33 ± 2,89 Mortalitas (%) Dosis (CFU/mL) Isolat

Tabel 2. Patogenisitas tiga isolat vibrio terhadap yuwana abalon, Haliotis squamata

(5)

& Susanto (2007) melaporkan bahwa induk H. squamata juga rentan terhadap vibrio yang diisolasi dari abalon yang mengalami borok. Ke depan, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui spesies apa saja dari vibrio yang jadi patogen pada H. squamata, khususnya di Indonesia.

Untuk mencegah kematian abalon akibat vibriosis maka keberadaan vibrio dalam lingkungan pemeliharaan abalon perlu dikendalikan, antara lain dengan penerapan “biosecurity”. Selain itu, perlu dicari obat/antibiotik yang tepat dan efektif untuk pengendalian vibriosis pada abalon. Beberapa peneliti melaporkan bahwa kasus kematian massal abalon akibat vibriosis berkaitan erat dengan peningkatan suhu air (Anguiano-Beltran et al., 1998; Liu et al., 2000; Lee et al., 2001 dalam Cai et al., 2006; Raimondi et al., 2002). Karena itu, kestabilan suhu air pemeliharaan abalon pada level opti-mum, terutama di hatcheri, perlu mendapat perhatian serius guna mencegah terjadinya kematian abalon yang dipelihara akibat vibriosis.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa bakteri yang diisolasi dari abalon (Haliotis squamata) sakit adalah bersifat patogen terhadap yuwana abalon. Berdasarkan karakter biologi dan biokimianya ketiga isolat yang diuji diidentifkasi sebagai Vibrio cincinnatiensis. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui spesies lain dari vibrio yang patogen pada abalon, baik pada larva di hatcheri maupun pada pembesaran.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dibiayai dari Dana Hibah Penelitian bagi peneliti dan perekayasa kerja sama Depdiknas dan DKP Tahun 2009. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Muhamad Ansyari dan Slamet Haryanto sebagai teknisi Laboratorium Patologi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali atas bantuannya sehingga penelitian ini dapat berjalan lancar sesuai rencana.

DAFTAR ACUAN

Anguiano-Beltran, C., Searcy, B.R., & Lizarraga, P.M.L.. 1998. Pathogenic effects of Vibrio algynolyticus on larvae and postlarvae of the red abalone, Haliotis rufescens. Dis. Aquat. Org., 33: 119–122. Austin, B. & Austin, D.A. 1993. Vibrionaceae representative. In : Austin, B & Austin, D.A. (Eds.),

Bacte-rial Fish Pathogens: Diseases in farmed and wild fish. Ellis Horwood Ltd, Chichester, p. 265–307. Bower, S.M. 2003. Update on emerging abalone diseases and techniques for health assassment. J. of

Shellfish Research, 22: 805–810.

Brayton, P.R., Bode, R.B., Colwell, R.R., Mac Donell, M.T., Hall, H.L., Grimes, D.J., West, P.A., & Bryant, T.N. 1986. Vibrio cincinnatiensis sp. Nov., new human pathogen. J. of Clinical Microbiology, 23(1): 104–108.

Cai, J., Han, Y., & Wang, Z. 2006. Isolation of Vibrio parahaemolyticus from abalone (Haliotis diversicolor supertexta L.) postlarvae associated with mass mortalities. Aquaculture, 257:161–166.

Cheng, Q.Z., Hu, X.G., Gao, A.G., & Yang, J.Y. 2002. Studies on the technology for mass production of abalone breeding. Mar. Sci. Bull., 4: 82–86.

Egidius, E. 1987. Vibriosis: pathogenicity and pathology. Aquaculture, 67: 15–28.

Holt, J.G., Krieg, N.R., Sneath, P.H.A., Staley, J.T., & Williams, S.T. 1994. Bergey’s Manual of Determi-native Bacteriology, Ninth Edition. Maryland. USA. 787 pp.

Liu, P.C., Chen, Y.E., Huang, C.Y., & Lee, K.K. 2000. Virulence of Vibrio parahaemolyticus isolated from cultured small abalone, Haliotis diversicolor supertexta, with withering syndrome. Let. Appl. Microbiol., 31(6): 433–437.

Nicolas, J.L., Basuyaux, D., Mazurie, J., & Thebault, A. 2002. Vibrio carchariae, a pathogen of the abalone Haliotis tuberculata. Dis. Aquat. Org., 50: 35–43.

Raimondi, P.T., Wilson, C.M., Ambrose, R.F., Engle, J.M., & Minchinton, T.E. 2002. Continued declines of black abalone along the coast of California: are mass mortalities related to El Niño events?. Mar. Ecol. Prog. Ser., 242: 143–152.

Ripabelli, G., Sammarcoa, M.L., Grasso, G.M., Fanellia, I., Capriolib, A., & Luzzic, I. 1999. Occurrence of Vibrio and other pathogenic bacteria in Mytilus galloprovincialis (mussels) harvested from Adriatic

(6)

Sea, Italy. International J. of Food Microbiology, 49: 43–48.

Singhagraiwan, T. & Masanori, D. 1993. Seed production and culture of a tropical abalone, Haliotis asinina Linn. The Eastern Marine Fisheries Development Center (EMDEC) of Thailand & The Japan International Cooperation Agency (JICA). 32 pp.

Yang, H.H. & Ting, Y.Y. 1986. Artificial propagation and culture of abalone (Haliotis diversicolor supertexta, Lischke). Bull. Taiwan Fish. Res. Inst., 40: 195–201.

Zafran & Susanto, B. 2007. Infeksi Vibrio pada induk abalone (Haliotis squamata) di hatchery (Suatu Studi Pendahuluan). Prosiding Konferensi Aquaculture Indonesia, Surabaya, 5–7 Juni 2007, MAI, hlm. 73–76.

Gambar

Tabel 1. Karakteristik biologi dan biokimia 3 isolat Vibrio yang diisolasi dari abalon sakit dibandingkan dengan Vibrio cincinnatiensis
Tabel 2. Patogenisitas tiga isolat vibrio terhadap yuwana abalon, Haliotis squamata

Referensi

Dokumen terkait

Berdasatrkan analisis spasial distribusi suhu permukaan diketahui bahwa karateristik pola distribusi suhu permukaan di wilayah DKI Jakarta menunjukkan pola di wilayah pusat

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa zeolit teraktivasi dengan kadar 3% (b/b) dari minyak yang diesterifikasi memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan lebih

Banyak universitas memilih siswa untuk menjadi komite disiplin (komdis), biasanya komdis ada saat pelaksanaan orientasi kampus untuk menertibkan mahasiswa baru. Dalam

Berdasarkan usia, nilai persentase tingkat afektif pada kategori tinggi lebih banyak diberikan oleh responden dalam kelompok usia di bawah 20 tahun (50%)

Karena graf gear Gn memuat graf roda Wn yang mempunyai 2n sisi dan ada tambahan sebuah titik diantara tiap-tiap pasangan dari titik-titik graf yang terhubung langsung pada sikel

Kesadaran masyarakat desa Rowosari terhadap pendidikan tergolong kurang, karena pengaruh lingkungan yang tidak mendukung pendidikan.Sebagian besar penduduknya memilih untuk

(Asli/Endemik) KABUPATEN/ KOTA 4.576,13 Biawan, Lais, Tapah, Toman, Entukan, Bauk, Baung, Gabus, Kaloi, Patik KABUPATEN KAPUAS HULU.. Nanga Palin Embaloh Hilir KABUPATEN

Berdasarkan pada berbagai hasil analisis yang dilakukan terhadap senyawa hasil sintesis maka dapat disimpulkan bahwa asam sinamat dapat disintesis dari asam malonat