• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUKU PANDUAN 4 MONUMEN PANCASILA SAKTI TAMBAH DAMI PASEBAN 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BUKU PANDUAN 4 MONUMEN PANCASILA SAKTI TAMBAH DAMI PASEBAN 1"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)

MARKAS BESAR

TENTARA NASIONAL INDONESIA

CILANGKAP - JAKARTA TIMUR

2013

MUSEUM DIORAMA PASEBAN

MONUMEN PANCASILA SAKTI

LUBANG BUAYA

TENTARA NASIONAL INDONESIA

(112)
(113)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas ridho dan rahmatnya Buku Katalog ini dapat diterbitkan dengan telah selesainya renovasi Gedung Paseban Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya Pondok Gede, Jakarta Timur, Renovasi Gedung Paseban merupakan satu bentuk nyata perhatian pimpinan negara dan pimpinan TNI terhadap pentingnya suatu tempat bersejarah yang tidak saja setiap tahun digunakan sebagai tempat penyelenggaraan secara nasional “Hari Peringatan Kesaktian (Hapsak) Pancasila pada 1 Oktober“ tetapi juga sebagai tempat bersejarah terjadinya peristiwa tersebut.

Renovasi Gedung Paseban ini selain memberikan tampilan yang berbeda pada bentuk fisik gedung tetapi juga memberikan visualisasi peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965 yang lebih lengkap, mulai dari rapat-rapat persiapan pemberontakan, penculikan dan pembunuhan secara keji pada tujuh Perwira TNI AD, penumpasannya oleh TNI/ABRI dan masyarakat, pengangkatan jenazah dari Sumur Maut serta pemakaman jenazah tujuh pahlawan revolusi yang tertuang dalam 16 diorama.

Besar harapan kami dengan telah direnovasinya Gedung Paseban dan penyajian 16 diorama museum tersebut, penyelenggaraan Hari Peringatan Kesaktian Pancasila dapat lebih lancar, dan bangsa Indonesia khususnya generasi muda bangsa yang tidak menyaksikan peristiwa tersebut, dapat mengetahui dan memahami secara lengkap tragedi yang pernah menimpa bangsa Indonesia tahun 1965, yaitu peristiwa Pemberontakan G 30 S/PKI. Sehingga kehadiran museum ini diharapkan mampu membangkitkan kesadaran dan kewaspadaan bangsa Indonesia terhadap bahaya komunis yang bersifat laten.

(114)

FOREWORD

Thank God we pray to the Almighty God, for the blessing and grace this Catalogue can be published with the completion of Paseban building renovations on Pancasila Sakti Monument Lubang Buaya Pondok Gede, East Jakarta. Renovation of Paseban Building is real attention from the state as well as military leaders toward the importance of a historical place that is not just every year is used as the venue for the national "Memorial Day Miracle (Hapsak) Pancasila on October 1," but also as a

heritage site of the incident.

This Renovation Besides providing a different look on the physical form of building but also provide visualization of events uprising G 30 S / PKI 1965 is more complete, ranging from preparatory meetings rebellion, kidnapping and brutally murder the seven Army officers, crushing by TNI / ABRI and people, lifting the bodies of the Well of Death and funeral of seven heroes of the revolution set forth in 16 dioramas.

We hope by this renovation and 16 dioramas presentation, the implementation of Pancasila Memorial Day Miracle can be more smoothly, and the Indonesian people, especially the young generation who did not witness the incident, to know and fully understand the tragedies that befall the nation of Indonesia in 1965, the event uprising G 30 S / PKI. So that museum attendance is expected to raise the awareness and vigilance of Indonesia against latent danger of communism.

(115)

DIORAMA 1

RAPAT-RAPAT PERSIAPAN PEMBERONTAKAN G 30 S/PKI

(116)

RAPAT-RAPAT PERSIAPAN PEMBERONTAKAN G 30 S/PKI

Dalam rangka melancarkan jalan bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk meraih kekuasaan, maka dibentuklah Biro Khusus PKI yang diketuai oleh Syam Kamaruzaman dan beranggotakan Pono dan Waluyo. Mereka berada langsung di bawah Ketua PKI D.N. Aidit.

Pada pertengahan bulan Agustus 1965 sekembalinya D.N. Aidit dari RRC, ia memerintahkan Sjam Kamaruzaman menyusun sebuah konsep

gerakan militer untuk melakukan “pukulan” terhadap apa yang menamakan dirinya “Dewan Jenderal” seperi yang diisukan PKI. Pada ininya D.N. Aidit meminta Biro Khusus untuk membuat suatu konsep gerakan terbatas sesuai dengan pola pemikiran PKI dalam bidang poliik, militer, informasi dan observasi. Selain itu Sjam ditugaskan pula untuk menyusun konsep “Dewan Revolusi” yang berfungsi sebagai lembaga teringgi

Negara setelah kekuasaan berhasil direbut.

Konsep ini dapat diselesaikan oleh Sjam Kamaruzaman pada Agustus 1965, kemudian melaporkannya kepada DN. Aidit sebagai Ketua CC PKI guna mendapatkan petunjuk lebih lanjut. Isi konsep gerakan itu yaitu: Pertama, gerakan terbatas yang merupakan gerakan militer. Kedua, sasaran

utama adalah para jenderal yang disebut Dewan Jenderal. Keiga, menguasai instalasi vital seperi: RRI, PTT (Telkom) dan PJKA. Keempat, ada iga orang militer calon pimpinan gerakan yaitu Letkol Untung S., Kolonel Inf Laief dan Mayor (U) Suyono. Kelima, organisasi gerakan terbagi dalam iga bagian yaitu militer, poliik dan observasi. Keenam, memanggil kepala Biro Khusus Daerah untuk menerima instruksi Sjam Kamaruzaman tentang

persiapan dan kesiapan terakhir kekuatan yang akan digunakan.

Pada bulan September 1965 Ketua CC PKI D.N. Aidit memerintahkan Syam Kamaruzaman untuk menyusun suatu rencana pemberontakan. Diputuskan bahwa gerakan perebutan kekuasaan akan dipimpin langsung oleh DN. Aidit, sedangkan Sjam Kamaruzaman ditetapkan sebagai pimpinan pelaksana gerakan, Pono sebagai wakil pimpinan gerakan dan Bono sebagai pimpinan bagian observasi. Selanjutnya DN. Aidit memerintahkan Sjam Kamaruzaman untuk mengadakan persiapan-persiapan terakhir menjelang pelaksanaan gerakan. Syam mengadakan rapat sebanyak 16 kali dengan Pono dan Waluyo, anggota Pimpinan Biro Khusus Pusat, Kepala Biro Khusus Daerah, dan oknum-oknum ABRI yang sudah dibina PKI. Kesimpulan rapat tersebut adalah gerakan ini harus dibantu dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dalam suatu rapat dengan oknum ABRI dibahas masalah pelaksanaan yang melipui personel, logisik, pembagian tugas, pembagian sektor,

dan sasaran gerakan serta konsep “Dewan Revolusi”. Rapat terakhir yang diadakan pada tanggal 29 September 1965 memutuskan gerakan diberi nama “Gerakan 30 September”, hari H dan jam J, Jumat 1 Oktober 1965 dini hari. Sasaran pertama menculik tujuh Perwira Tinggi TNI AD.

PREPARATORY MEETINGS OF THE SEPTEMBER 30 MOVEMENT/

INDONESIAN COMMUNIST PARTY (PKI) REBELLION

In order to smooth the way for seizing power, Indonesian Communist party (PKI) formed a special bureau, which its members: Syam Kamaruzaman, Pono and Waluyo. They were directly under PKI’s leader D.N. Aidit.

In mid-August 1965 after returning Aidit from RRC, he ordered Sjam Kamaruzaman to develop a concept of military movement to do “a blow” to what was calling it’s self the general Council as issued by PKI. In essence, D.N. Aidit asked the special bureau to create a concept of restricted movement accordance with the pattern of PKI in politics, Military, information and observation. Beside, Sjam also assigned to make a concept of “Revolution Council” which functioned as a high state institution after power had been won.

This concept succeeded to be completed by Sjam in August 1965, and then handed it over to Aidit as the leader of CC PKI for further instructions. Contents of the concept were: the first, limited movement which was a military movement. Second, the main targets were the generals called Generals Council. Third, to control vital installations like Indonesian Republic Radio (RRI) Telecommunication (PTT), and Train services company (PJKA). Fourth, there were three military candidates of the movement leaders like; Lieutenant Colonel Untung S., Colonel Infantry Latief and Major Air Force Suyono. Fifth, movement organization was divided into three parts namely military, politics, and observation. Sixth, called a special bureau chief regional to accept the instruction of Sjam about final preparation and readiness to use force. In September 1965 the leader of CC PKI D.N. Aidit ordered Syam Kamaruzaman as the leader of the bureau to draw up a plan of rebellion. For this purpose, Syam convened 16 times with Pono, Waluyo, members of leadership of central special bureau, chief of regional special bureau, and TNI members who had been fostered by PKI. The conclusion of the meeting was the movement needed to be supported by troops from central Java and west Java.

(117)

DIORAMA 2

LATIHAN SUKARELAWAN PKI DI LUBANG BUAYA

(118)

LATIHAN SUKARELAWAN PKI DI LUBANG BUAYA

Dalam upaya menumbangkan pemerintah Republik Indonesia yang sah, PKI mempersiapkan diri dengan mengadakan laihan kemiliteran bagi para anggotanya. Dalih yang digunakan ialah melaih para sukarelawan dalam rangka konfrontasi terhadap Malaysia.

PKI juga menuntut agar pemerintah membentuk Angkatan ke-5 dengan cara mempersenjatai buruh dan tani. Konsepsi tentang “Angkatan ke V” yang dicetuskan oleh D.N. Aidit ini meniru konsep dari pemimpin-pemimpin Republik Rakyat Cina yakni mempersenjatai buruh dan tani.

Agar idak menimbulkan kecurigaan, dalih yang digunakan dalam melaih para sukarelawan adalah untuk mengganyang Neo Kolonialisme (Nekolim). Sehingga dengan diam-diam sejumlah anggota yang mereka sebut Sukarelawan Kita (Sukta) dilaih

di Desa Lubang Buaya, Jakarta. Mereka terdiri dari pemuda dan pemudi PKI, buruh dan tani, serta kelompok lain dalam partai

komunis. Laihan para sukarelawan PKI tersebut diadakan dari tanggal 5 Juli sampai 30 September 1965. Dalam laihan kemiliteran ini diajarkan mulai dari laihan baris berbaris, bongkar pasang senjata, dan teknik bertempur.

Mereka berjumlah 3.700 anggota yang dibagi menjadi tujuh gelombang. Selain di Desa Lubang Buaya, laihan juga diadakan di Rawa Binong, lebih kurang 2 kilometer sebelah selatan Desa Lubang Buaya. Di tempat ini hanya 26 anggota yang dilaih untuk kader-kader khusus PKI. Laihan ini mendapat dukungan dari Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan Udara

(Dan Men P3U) Mayor Udara Sudjono, berupa peralatan, makanan dan pakaian.

PKI’S VOLUNTEERS TRAINING IN LUBANG BUAYA

In an effort to overthrow the legitimate government of the Republic of Indonesia. For the preparation of the rebellion, PKI held a military training for their members. The pretext to be used was to train volunteers in order to make a confrontation against Malaysia.

PKI demanded government to form a 5th force by arming the workers and peasants. The concept of a 5th force which initiated by Aidit actually imitated from the RRC leaders concept.

So as not to arouse suspicion, the pretext to be used was to train volunteers to crush Neo-Colonialism (Nekolim) so quietly some members that they called our volunteers were trained in Lubang Buaya, Jakarta. They consisted of PKI’s young men and women, workers and peasants, and also other groups within the communist party. The training was held on 5 July to 30 September 1965. In the military training they were trained of drill regulations, disassembly of weapons, and combat techniques.

(119)

DIORAMA 3

JENAZAH PARA PERWIRA ANGKATAN DARAT

DIMASUKKAN KE DALAM SUMUR MAUT

(120)

JENAZAH PARA PERWIRA ANGKATAN DARAT

DIMASUKKAN KE DALAM SUMUR MAUT

Dini hari 1 Oktober 1965, tujuh Perwira TNI AD diculik dan dibunuh oleh G 30 S/PKI yang kemudian dibawa ke desa Lubang Buaya Jakarta. Tiga diantaranya dibunuh di kediamannya, yaitu Letjen Ahmad Yani, Mayjen M.T. Harjono, dan Brigjen D.I. Pandjaitan. Sedangkan empat orang lainnya diculik dari rumahnya dan dibawa dalam keadaan masih hidup dengan kondisi mata ditutup kain berwarna merah dan tangan diikat ke belakang dengan tali. Keempatnya kemudian disiksa dan dibunuh secara kejam di dalam

sebuah rumah. Mereka itu adalah Mayjen R. Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen Soetojo S., dan Letu P.A. Tendean.

Selanjutnya semua jenazah diseret dan dimasukkan ke sebuah sumur berdiameter 75 cm dan kedalaman 12 m dengan posisi kepala di bawah. Jenazah Mayjen R. Soeprapto bersama Mayjen S. Parman diikat menjadi satu. Setelah semua jenazah dimasukkan

ke dalam sumur, kemudian ditembaki secara beruntun. Selanjutnya untuk menghilangkan jejak, sumur diimbun dengan tanah dan

sampah.

THE CORPSES OF ARMY OFFICERS GOT INTO A WELL OF DEATH

Predawn, October 1, 1965, 7 army officers were kidnapped and killed by September 30 Movement/PKI and to be brought to Lubang Buaya village East Jakarta. Three of the officers were killed at their homes, they were: Lieutenant General Ahmad Yani, Major General M.T. Harjono, and Brigadier General D.I. Panjaitan. While the other four officers were kidnapped and brought alive with eyes covered by red cloth and hands tied with rope backward. Those who still alive were tortured and brutally murdered in a house. They were: Major General R. Soeprapto, Major General S. Parman, Brigadier General Soetojo S., and First Lieutenant P.A. Tendean.

The kidnappers then dragged all the dead bodies and dumped them into an old well in diameter of 75 centimeters and 12 meters deep with head under. Major general R. Soeprapto's body and Major general S. Parman tied together. After all the bodies got into the well, the kidnappers pointed their guns and shot several times into the well. To eliminate traces, the kidnappers filled the well with soil and rubbish

(121)

DIORAMA 4

PENGAMANAN LANUMA HALIM PERDANAKUSUMA

(122)

PENGAMANAN LANUMA HALIM PERDANAKUSUMA

Pengamanan Pangkalan Utama (Lanuma) Halim Perdanakusuma merupakan bagian dari operasi penumpasan pemberontakan

G 30 S/PKI yang telah menculik dan membunuh 6 orang perwira inggi dan 1 orang perwira pertama TNI AD serta menguasai beberapa obyek vital. Dalam keadaan gening Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayjen TNI

Soeharto mengambil langkah memimpin operasi penumpasan G 30 S/PKI. Sasaran utamanya adalah merebut kembali obyek vital yang sudah dikuasai pemberontak. Salah satu diantaranya adalah Lanuma Halim Perdanakusuma. Operasi pengamanan ini

bertujuan idak hanya membebaskan pangkalan dari kekuasaan pemberontak, tetapi juga untuk mencari lokasi disembunyikannya

para perwira TNI AD yang diculik.

Pukul 01.00 tanggal 2 Oktober 1965 Pangkostrad mengeluarkan perintah untuk segera mengamankan Lanuma Halim PK karena diduga kekuatan G 30 S/PKI Batalyon 454/Diponegoro, 1 kompi Batalyon 530/Brawijaya dan kesatuan Brigif I Kodam V/Jaya berpusat di pangkalan tersebut. Pasukan yang diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut adalah pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pimpinan Kolonel Inf. Sarwo Edhi Wibowo, yang bermarkas di Cijantung. Pasukan ini diperkuat oleh 1 batalyon 328/Siliwangi, 1 kompi tank dan 1 kompi panser Batalyon Kavaleri I. Dalam melaksanakan tugas operasi, diperintahkan untuk menghindarkan pertumpahan darah, pengrusakan pesawat dan aset negara lainnya yang berada di sekitar pangkalan udara.

Tanggal 2 Oktober 1965 pasukan operasi pengamanan mulai bergerak pukul 03.00 dari Markas Kostrad di Jalan Merdeka Timur

melalui Patung Pak Tani, ke arah Senen, Jainegara, Klender, selanjutnya menuju Halim PK. Mereka iba di lokasi sasaran sekitar

pukul 06.00. Tembak menembak pun tak dapat dielakkan. Gugur 2 orang anggota TNI Angkatan Udara yaitu Sertu Supardi dan Pratu Toegimin di Depo Perminyakan. Pertempuran yang lebih besar dapat diredam setelah terjadinya komunikasi antara pimpinan

RPKAD, Lanuma Halim PK, dan Batalyon 454/Diponegoro. Tembak menembak berhasil dihenikan atas jasa Komodor Dewanto

dan Kapten Udara Kundimang. Pasukan RPKAD akhirnya dapat menguasai hanggar Skuadron 31/Angkut Berat, hanggar Skuadron 3/Angkut Sedang, hanggar Skuadron 17/VIP, Menara dan fasilitas pangkalan lainnya. Pasukan pemberontak akhirnya dibubarkan oleh komandan masing-masing dan melarikan diri keluar dari lokasi Lanuma Halim PK. Pukul 06.10 Lanuma Halim PK berhasil diamankan oleh RPKAD dan pasukan pendukung lainnya dari kekuasaan pasukan G 30 S/PKI.

.

SECURING HALIM PERDANA KUSUMA MAIN AIRBASE

Securing main airbase (Halim Perdanakusuma) was part of the TNI operation to crush PKI that had kidnapped and killed 6 army high rank officers, one firts officer and also controlled the vital objects. In a precarious state, Commander of the Army Strategic Reserve Command (Pangkostrad) Major General Soeharto led the crushing operation. The main Targets were to take over the vital objects which had controlled by the rebellion. One of it was Halim Perdanakusuma main airbase (Lanuma Halim Perdanakusuma). This operation was aimed not only to free Halim but also to find out the location where the generals were hidden and kidnapped by the PKI.

At 01:00 AM. On October 2, 1965, Commander of the Army Strategic Reserve Command (Kostrad) Major General Soeharto issued an order to secure Halim Perdana Kusuma main airbase considering that the PKI forces concentrated there. RPKAD (Regiment of the Army Para Command) which based in Cijantung was ordered to carry out the task, who led by Colonel Sarwo Edhi Wibowo. This troop was reinforced by one battalion Para Kujang/Siliwangi and one company of cavalry Panzer. In the operation was ordered to avoid bloodshed, destruction of aircraft and other state assets around Halim.

(123)

DIORAMA 5

PENGANGKATAN JENAZAH DARI SUMUR MAUT

(124)

PENGANGKATAN JENAZAH DARI SUMUR MAUT

Proses pencarian tujuh perwira TNI-AD yang diculik dan dibunuh oleh G 30 S/PKI pada dini hari 1 Oktober 1965 berhasil ditemukan di Desa Lubang Buaya. Penemuan lokasi penculikan ini atas informasi dari Agen Polisi Tingkat II Sukitman, yang ikut diculik G 30 S/ PKI namun berhasil meloloskan diri. Pasukan RPKAD dibawah pimpinan Danyon I Mayor C.I. Santosa menemukan lokasi sumur tua pada 3 Oktober 1965 sekitar pukul 16.00.

Selanjutnya dengan dibantu warga sekitar dilaksanakan penggalian. Setelah dipasikan bahwa di dalamnya terdapat jenazah, penggalian kemudian dihenikan, mengingat hari sudah larut malam.

Proses pengangkatan jenazah tujuh perwira TNI-AD dari dalam sumur tua dengan diameter 75 Cm dan kedalaman 12 meter dilaksanakan tanggal 4 Oktober 1965 oleh pasukan RPKAD dan KIPAM (Kesatuan Intai Para Amphibi) KKO AL pimpinan Kapten KKO Winanto. Pengangkatan jenazah dari dalam sumur melibatkan pasukan KIPAM karena sumur cukup dalam dan berbau busuk. Peralatan utama yang dipakai untuk mengangkat jenazah dari dalam sumur tua berupa peralatan selam (masker dan tabung gas) dan tali tambang. Pangkostrad Mayjen Soeharto memimpin langsung pengangkatan jenazah dari dalam sumur tua di Desa Lubang

Buaya. Jenazah yang berhasil diangkat pertama kali yaitu jenazah Letu P.A. Tendean pada pukul 12.05 WIB. Pukul 12.30 dua

jenazah berhasil diangkat sekaligus karena dalam keadaan terikat menjadi satu yaitu jenazah Mayjen S. Parman dan jenazah Mayjen R. Soeprapto. Selanjutnya berturut-turut berhasil diangkat jenazah Mayjen M.T. Haryono, jenazah Brigjen Soetojo S. Jenazah Letjen A. Yani berhasil diangkat pukul 13.20 WIB dan yang paling terakhir diangkat yaitu jenazah Brigjen TNI D.I. Pandjaitan pada pukul

13.40 WIB. Selanjutnya, satu persatu jenazah dimasukkan ke dalam pei untuk dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD)

Gatot Soebroto untuk divisum.

THE REMOVAL OF THE CORPSES FROM THE WELL OF DEATH

Searching process of the seven army officers which kidnapped and murdered by PKI finally succeeded to be found in the Lubang Buaya Village. Based on the information from Police Agent II Sukitman, who was also kidnapped by PKI but managed to escape. RPKAD troop led by battalion commander I Major C.I. Santoso found the location of the old well, on October 3, 1965 at around 16:00 PM.

The excavation started which helped by local people until evening. After it was sure that inside the well there were bodies, excavation was stopped.

(125)

DIORAMA 6

UPACARA PEMBERANGKATAN JENAZAH KE TMP KALIBATA JAKARTA

(126)

UPACARA PEMBERANGKATAN JENAZAH KE TMP KALIBATA JAKARTA

Setelah tujuh jenazah Perwira TNI AD selesai divisum dan dimandikan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta, pada malam hari 4 Oktober 1965 ketujuh jenazah disemayamkan di ruang bawah sebelah kanan Markas Besar Angkatan Darat (MBAD)

Selanjutnya pada tanggal 5 Oktober 1965 diadakan upacara pemberangkatan tujuh jenazah perwira TNI AD di MBAD dengan

inspektur upacara Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasuion. Atas jasa-jasanya pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan revolusi dan menaikan pangkatnya satu ingkat lebih inggi dari pangkat semula

Masing-masing jenazah pahlawan revolusi diletakkan di atas panser Saraceen dan dijaga oleh seorang perwira TNI-AD. Tepat pukul 10.00 WIB, dengan diringi tembakan salvo dan suara genderang ketujuh jenazah Pahlawan Revolusi, diberangkatkan menuju TMP Kalibata. Konvoi iring-iringan ini didahului dengan barisan kendaraan pengawal kehormatan, kemudian panser pertama membawa

Jenazah Letjen A. Yani yang dijaga Letjen Djaikusumo, kemudian diikui jenazah Pahlawan Revolusi lainnya.

Iring iringan kendaraan jenazah berangkat dari MBAD di jalan Merdeka Utara, dengan rute jalan Merdeka Timur, Cikini Raya,

Salemba Raya, Matraman Raya, Jainegara, Cawang, Pancoran dan TMP Kalibata yang ditempuh selama lebih kurang dua jam.

Masyarakat Jakarta yang ingin memberikan penghormatan terakhir kepada Pahlawan Revolusi memenuhi sepanjang jalan yang dilalui

iring-iringan jenazah tersebut. Keika memasuki pintu gerbang TMP Kalibata, jenazah Pahlawan Revolusi mendapat pengawalan

kehormatan yang dilakukan kavaleri TNI-AD dan taruna AKABRI

Pemakaman pahlawan revolusi dilakukan dengan upacara kebesaran militer dan berindak sebagai inspektur upacara Pangkostrad Mayjen Soeharto. Pemakaman diawali dengan tembakan salvo, kemudian secara perlahan-lahan satu persatu pei jenazah Pahlawan Revolusi diturunkan ke liang lahat. Pei jenazah Jenderal A. Yani yang pertama dimasukkan, kemudian disusul dengan penurunan pei jenazah Letjen R. Soeprapto, Letjen M.T. Haryono, Letjen S. Parman, Mayjen D.I. Pandjaitan, Mayjen Soetojo S. dan Kapten

Czi P.A. Tendean

DEPARTURE CEREMONY OF 7 CORPSES TO KALIBATA HEROES CEMETERY

After seven army officers bodies were vised and bathed at RSPAD Gatot Soebroto. At night on October 1965 seven bodies buried in the basement right next to Army Headquarters (MBAD).

On October 5, 1965 a departure ceremony of the seven army officers corpses were held at Army headquarters and as the inspector of ceremony was Coordinator Minister of Defence Security/Chief of Staff of Armed Forces General A.H. Nasution. Of their services, the government of Indonesia conferred honorary degrees upon them titles of Revolution Heroes and raised their rank one level higher than before.

Each corpse was laid on the panzer saraceen which guarded by one army officer. At 10:00 AM, accompanied by a salvo firing and sound of drums, the seven dead bodies started to go to the Kalibata Cemetery Heroes (TMP Kalibata). Convoy of hearses preceded by honor guard vehicle. The first panzer brought Lieutenant General A. Yani's body and followed by other six panzers. The hearse convoy departed from Army Headquarters at Merdeka Utara Street, with the route of Merdeka Timur Street, Cikini Raya, Jatinegara, Cawang, Pancoran, and TMP Kalibata which took about two hours. Along the way, it was crowded by the Jakarta people who wished to give their last respects to the revolution heroes.

(127)

DIORAMA 7

PENCULIKAN JENDERAL A.H. NASUTION

(128)

PENCULIKAN JENDERAL A.H. NASUTION

Sekitar pukul 03.00 WIB dini hari 1 Oktober 1965 pasukan yang bertugas menculik Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasuion berangkat dari Desa Lubang

Buaya pertama kali. Pasukan ini dipimpin oleh Pelda Djahurub dari Resimen Cakrabirawa, yang terdiri dari 1 peleton Brigif 1 Kodam V/Jaya, 1 regu Cakrabirawa, 1 peleton dari Yon 530/Brawijaya, 1 peleton dari Yon 454/Diponegoro, 1 peleton PGT dan 1 peleton sukarelawan. Mereka menggunakan 3 truk dan 2 jeep. Kekuatan

pasukan ini adalah yang terbesar sampai lebih kurang 100 orang, karena Jenderal A.H. Nasuion dianggap sasaran yang paling pening.

Sebelum memasuki rumah Jenderal A.H. Nasuion, gerombolan penculik melumpuhkan regu pengawal rumah Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. Leimena yang letaknya berdekatan dengan rumah Jenderal A.H. Nasuion. Dalam perisiwa itu seorang pengawal Aipda Karel Satsuit Tubun gugur karena ditembak

salah satu penculik.

Di depan kediaman Jenderal A.H. Nasuion di Jalan Teuku Umar No. 40 Jakarta, pasukan penculik bergerak menuju halaman. Pengawal rumah Jenderal A.H. Nasuion yang berada di halaman idak curiga karena mereka memakai seragam Pasukan Pengawal Istana, Resimen Cakrabirawa. Sekitar 30 pasukan penculik

bergerak masuk pekarangan dan menyergap para pengawal yang berada di pekarangan. Sebagian pasukan penculik mengepung rumah dan memblokir jalan. Sementara sekitar 15 penculik lainnya masuk ke dalam rumah.

Terbukanya pintu ruang tamu dan terdengarnya suara gaduh menyebabkan Istri Jenderal A.H. Nasuion membuka pintu kamar, dan melihat seorang anggota Cakrabirawa siap untuk menembak. Merasa curiga, Istri Jenderal A.H. Nasuion segera menutup kembali pintu kamarnya. Kemudian memberitahu Jenderal A.H. Nasuion. Keika Jenderal A.H. Nasuion membuka pintu, beberapa tembakan diarahkan kepadanya. Jenderal A.H. Nasuion menjatuhkan diri ke lantai untuk menghindari tembakan. Kemudian Istri Jenderal A.H. Nasuion secara spontan segera menutup pintu kamar dan menguncinya. Mendengar suara gaduh tersebut, ibu dan adik perempuan Jenderal A.H. Nasuion yang bernama Mardiyah masuk ke kamar idur Jenderal A.H. Nasuion melalui pintu kamar sebelah. Mardiyah kemudian segera mengambil Ade Irma Suryani yang masih berumur 5 tahun untuk diselamatkan ke tempat lain. Namun, karena panik ia membuka pintu kamar utama. Keika

ia membuka pintu, anggota Cakrabirawa telah menunggu dan menembaknya sehingga mengenai Ade Irma Suryani.

Tembakan-tembakan yang dilepaskan dari luar pintu ternyata satu peluru menyerempet mengenai kepala Istri Jenderal A.H. Nasuion dan satu lagi mengenai dada yang menyebabkan goresan di kulit. Dalam keadaan yang demikian, Istri Jenderal A.H. Nasuion kemudian menyarankan Jenderal A.H. Nasuion untuk segera lari ke luar melalui pintu yang lain. Selanjutnya Jenderal A.H. Nasuion ke samping rumah dan naik ke tembok pagar yang berbatasan dengan Kedutaan Besar Irak. Keika Jenderal A.H. Nasuion melompai tembok, penculik sempat melepaskan tembakan tetapi idak mengenainya. Keika berada di atas tembok dan melihat anaknya, Ade Irma Suryani tertembak, ia bermaksud kembali, tetapi Istri Jenderal A.H. Nasuion memberi isyarat agar menyelamatkan diri. Jenderal A.H. Nasuion

kemudian melompat dan berhasil menyelamatkan diri.

THE KIDNAPPING OF GENERAL A.H. NASUTION

At around 3:00 AM, October 1, 1965, a troop assigned to kidnap the Coordinator Minister of Defense and Security (Menko Hankam)/Chief of Staff of the Indonesian Armed Forces (Kasab) General A.H. Nasution departed from lubang Buaya firstly. This troops were led by Warant Officert Djahurub from Cakrabirawa Regimen and comprised of some troops such as Infantry Brigade 1 Military Regional Command (Kodam) V/Jaya, Cakrabirawa troop, Battalion 530th/ Brawijaya, Battalion 454th/ Diponegoro, Fast Movement Troop (PGT) and volunteer troop. Each of them consisted of one platoon, except Cakrabirawa was only one team. They drove 3 trucks and 2 jeeps. This was the most numerous troops for about a hundred people because General Nasution was the most important target.

Before entering the General Nasution’s residence, the kidnappers demolished the home guard of Deputy Prime Minister II (Waperdam) Dr. Leimena which was so close with General Nasution’s residence. On that incident, a guard named Aipda Karel Satsuit Tubun was shot and killed by the kidnapper.

In front of General A.H. Nasution’s residence at Teuku Umar Street No. 40 Jakarta, the kidnapper troops moved into the yard. The home guards at the yard did not suspect anything because they wore Cakrabirawa uniform (the President Guard forces).

Around 30 soldiers moved into the yard and demolished the guards. Most kidnappers surrounded the house and blocked the road. Meanwhile 15 others entered the house.

The opening of living room door and noisy sound had caused the wife of General A.H. Nasution opened the bedroom door. She saw a member of Cakrabirawa who ready to shoot. In suspicious, General A.H. Nasution’s wife immediately closed the door and told her husband. When General A.H. Nasution opened the door, several shots were fired him. He dropped himself to the floor in avoiding gunfire. Then the wife of General Nasution spontaneously closed and locked the door. Because of the noise, the mother and sister of General Nasution named Mardiyah came into Nasution’s room through the next room door. Mardiyah then immediately took Ade Irma Suryani, the Nasution’s daughter who was still 5 years old to be saved elsewhere. Unfortunately, she opened the main door because of panic. When she opened the door, the Cakrabirawa soldier have waited and then shot which caused Ade Irma Suryani got shot.

(129)

DIORAMA 8

PENCULIKAN LETNAN JENDERAL AHMAD YANI

(130)

PENCULIKAN LETNAN JENDERAL AHMAD YANI

Sikap tegasnya yang menentang usulan PKI tentang pembentukan Angkatan V, menjadikan Men/Pangad Letnan Jenderal Ahmad Yani menjadi target utama penculikan gerombolan G 30 S/PKI. Pasukan yang menculik Letjen A. Yani berangkat dari Desa Lubang Buaya pada tanggal 1 Oktober 1965 dipimpin oleh Peltu Mukidjan dengan kekuatan 1 peleton Brigif 1 Kodam V/Jaya, 1 regu Cakrabirawa, 1 peleton Batalyon 530/Brawijaya, 1 peleton Batalyon 454/Diponegoro, 1 regu Pasukan Gerak Tjepat, dan 2 regu sukarelawan. Mereka berangkat dengan menggunakan 2 truk dan 2 bus.

Seiba ditempat kediaman Letjen A. Yani, di Jalan Lembang D 58 Jakarta, Peltu Mukidjan yang didampingi Sersan Raswad serta beberapa anggota Cakrabirawa segera melucui regu pengawal yang idak curiga dengan kedatangan pasukan penculik.

Mereka kemudian mengetuk pintu yang dibukakan oleh putra Letjen A. Yani bernama Edi yang berumur tujuh tahun. Pimpinan pasukan penculik kemudian menyuruh Edi untuk membangunkan ayahnya dan memberitahu bahwa ada utusan presiden yang memerintahkan untuk datang ke Istana.

Letjen A. Yani yang masih mengenakan pakaian piyama biru kemudian menemui para penculik. Sersan Raswad mengatakan bahwa Letjen A. Yani diperintahkan segera menghadap presiden. Letjen Ahmad Yani menyanggupi dan akan mandi terlebih dahulu.

Saat Letjen A. Yani membalikkan tubuhnya, salah seorang penculik, Praka Dokrin mengatakan idak perlu, sehingga menimbulkan

kemarahan Letjen A. Yani dan langsung menamparnya. Selanjutnya Letjen A. Yani kembali ke dalam rumah dan menutup pintu. Saat itulah Sersan Raswad memerintahkan Kopda Gijadi yang berdiri disamping Praka Dokrin untuk menembak Letjen A. Yani dengan senapan Thomson hingga tewas. Kemudian jenazah Letjen TNI A. Yani diseret oleh Praka Wagimin ke pekarangan dan dilemparkan ke dalam salah satu truk selanjutnya dibawa ke Desa Lubang Buaya.

THE KIDNAPPING OF LIEUTENANT GENERAL AHMAD YANI

The firmly decision of Minister/ Army Commander in Chief, Lieutentant General Ahmad Yani to oppose the establishment of 5th Force had caused him as kidnapping main target of the September 30th Movement of Indonesian Communist Party (PKI). The troop which tasked to kidnap The Minister/Commander in Chief of Army Lieutenant General A. Yani departed from Lubang Buaya Village on October 1, 1965 led by Chief Warrant Officer Mukidjan with one platoon of 1st infantry Brigade Kodam V/ Jaya, one team of Cakrabirawa, one platoon of Battalion 530th/Brawijaya, one platoon of Battalion 454th/Diponegoro, one team of PGT, and two teams of volunteers. They drove 2 trucks and 2 buses.

Upon arrival at the General A. Yani's home, at Lembang Street D58, Jakarta, the leader of the troop, accompanied by the Second Sergeant Raswad and some of the troops immediately disarmed homeguards who were not suspicious of the troop’s arrival. After that the kidnappers knocked on the door and Edi, General A. Yani’s son who was still seven years old opened the door. The kidnapper's leader then asked the son to wake his father up and told that there was a President guard who wanted the general to come to the palace.

(131)

DIORAMA 9

PENCULIKAN MAYOR JENDERAL R. SOEPRAPTO

(132)

PENCULIKAN MAYOR JENDERAL R. SOEPRAPTO

Penculikan Depui II Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Mayjen R. Soeprapto dilakukan dini hari

1 Oktober 1965 di kediaman Jalan Besuki No. 19, Jakarta Pusat. Pasukan penculik berkekuatan 2 regu. Regu 1 dipimpin

Serka Sulaiman dan regu 2 dipimpin Serda Sukiman. Pasukan ini merupakan bagian dari Pasukan Pasopai yang bertugas menculik para Jenderal Angkatan Darat di bawah pimpinan Letu Dul Arief. Pimpinan pasukan Pasopai ini ikut dalam

pasukan penculik Mayjen R. Soeprapto ini.

Keika terdengar seorang penculik membuka pintu pagar, saat itu Mayjen R. Soeprapto belum idur karena sedang

sakit gigi. Kemudian Mayjen R. Soeprapto menanyakan siapa di luar dan dijawab bahwa mereka anggota Cakrabirawa.

Mayjen R. Soeprapto dan istrinya idak menaruh rasa curiga dan keluar dari kamarnya. Keika Mayjen R. Soeprapto

membuka pintu rumah, beberapa orang anggota Cakrabirawa sudah menunggu di teras. Serka Sulaiman mengatakan bahwa Mayjen R. Soeprapto diperintahkan segera menghadap presiden. Mayjen R. Soeprapto menyanggupi, tetapi

akan menggani pakaian terlebih dahulu. Namun, para penculik idak mengijinkan. Mayjen R. Soeprapto ditodong dan

dipaksa ke luar. Beberapa orang memegang tangan Mayjen R. Soeprapto dan memaksanya naik ke salah satu truk yang tersedia. Kemudian pasukan penculik membawa Mayjen R. Soeprapto ke Desa Lubang Buaya.

THE KIDNAPPING OF MAJOR GENERAL R. SOEPRAPTO

The kidnapping of Major General R. Soeprapto, the Second Deputy of Minister/ Commander in Chief of Army, was executed at dawn on October 1, 1965 at Basuki street number 19, Central Jakarta. The kidnapper’s troop consisted of two teams, the first team led by Chief Sergeant Sulaiman and the second team led by Sergeant Sukiman. First Lieutenant Dul Arief, a leader of the whole kidnapper’s troop of the army generals, called Pasopati troop, involved in the kidnapping of Major General R. Soeprapto.

(133)

DIORAMA 10

PENCULIKAN MAYOR JENDERAL M.T. HARJONO

(134)

PENCULIKAN MAYOR JENDERAL M.T. HARJONO

Keika G 30 S/PKI melancarkan aksinya Mayjen M.T. Harjono menjabat sebagai Depui III Men/Pangad. Ia sangat keras menentang rencana PKI untuk menasakomkan ABRI dan rencana PKI untuk membentuk angkatan ke V. Oleh sebab itu ia masuk dalam datar

musuh PKI yang harus dilenyapkan.

Operasi penculikan Mayjen M.T. Harjono dilaksanakan dini hari 1 Oktober 1965, dipimpin oleh Serka Bungkus dari Resimen Cakrabirawa dengan kekuatan 3 regu dari Yon 530/Brawijaya. Para penculik berangkat dari Lubang Buaya pukul 03.30 WIB menuju

kediaman Mayjen M.T. Harjono di jalan Prambanan No. 8 Jakarta. Seibanya di kediaman, para penculik kemudian berpencar menjadi iga kelompok sesuai tugas yang sudah ditentukan.

Pemimpin penculik mengetuk pintu rumah dan Istri Mayjen M.T. Harjono yang membukakannya. Serka Bungkus menyampaikan

bahwa Mayjen M.T. Harjono diperintahkan segera untuk menghadap presiden. Keika pesan tersebut disampaikan, Mayjen M.T.

Harjono menolak dan menyuruh mereka agar kembali lagi pada pukul 08.00 WIB. Namun, pesan yang disampaikan Istri Mayjen M.T. Harjono itu ditolak dan pimpinan penculik tetap memaksa. Setelah mendengar jawaban penculik dari istrinya, Mayjen M.T. Harjono merasa ada sesuatu yang mencurigakan, sehingga menyuruh istri dan anak-anaknya untuk berpindah ke kamar sebelah.

Para penculik marah dan berteriak agar Mayjen M.T. Harjono segera ke luar. Karena permintaannya idak dipenuhi, para penculik

mendobrak dan menembaki pintu kamar, sehingga pintu terbuka dan kamar dalam keadaan gelap. Para penculik selanjutnya masuk

dengan senjata siap tembak dan salah seorang diantaranya membakar surat kabar untuk menerangi ruangan. Pada deik-deik yang menegangkan tersebut Mayjen M.T. Harjono berusaha merebut senjata dari salah seorang penculik, namun idak berhasil, bahkan ia diikam dengan sangkur oleh penculik lainnya. Tembakan Serka Bungkus akhirnya menyebabkan Mayjen M.T. Harjono tewas sekeika.

Selanjutnya jenazah Mayjen M.T. Harjono diseret ke luar dan dilemparkan ke atas truk untuk dibawa ke Desa Lubang Buaya.

THE KIDNAPPING OF MAJOR GENERAL M.T. HARJONO

Mayor General M.T. Harjono was Deputy III of Minister/ Commander in Chief of Army when the tragedy of September 30th Movement of Indonesian Communist Party (PKI). He really opposed PKI planning in conducting Nasakom (Nationalist Religion Communist) to Indonesian Republic Armed Forces (ABRI) and forming of the 5th Force. Therefore he became the PKI’s enemy and listed as a target to be killed.

The kidnapping of Major General M.T. Harjono was conducted at dawn on October 1, 1965 and led by Chief Sergeant Bungkus from Cakrabirawa Regimen who supported by three teams of Battalion 530th/Brawijaya. They departed from Lubang Buaya village at 3.30 A.M. to Major General M.T. Harjono's residence at Prambanan street number 8, Jakarta. After arrived, they were spread out into three teams according to the planned task.

The kidnappers’ leader knocked on the door and it was opened by Mrs. Harjono. Sergeant Bungkus told her that Major General M.T. Harjono was called by president. When the message was delivered to her husband, the general refused and ordered the troop to come back again at 8 AM. The refusal had made the kidnapper’s leader forced to come in. After He heard the soldier’s answer from his wife, Major General M.T. Harjono was suspicious and asked his wife and the children to go into another room.

(135)

DIORAMA 11

PENCULIKAN MAYOR JENDERAL S. PARMAN

(136)

PENCULIKAN MAYOR JENDERAL S. PARMAN

Pasukan penculik pimpinan Serma Satar, yang terdiri atas 1 regu Cakrabirawa dan 1 regu Yon 530/Brawijaya, memasuki pekarangan rumah Asisten I Men/Pangad Mayjen S. Parman di Jalan Serang No. 32 Jakarta Pusat, dengan

melompat pagar pada dini hari 1 Oktober 1965. Keika mendengar suara gaduh di luar, Mayjen S. Parman terbangun

karena mengira ada pencurian di rumah tetangga, kemudian ia membangunkan istrinya. Mayjen S. Parman yang masih

mengenakan pakaian idur membuka pintu dan merasa heran melihat banyak anggota Cakrabirawa berada di halaman

rumahnya.

Pemimpin penculik menyampaikan bahwa Mayjen S. Parman diperintahkan segera menghadap presiden, karena

keadaan negara sedang gening. Mayjen S. Parman menyanggupi lalu menuju ke kamar untuk bergani pakaian dinas, yang diikui para penculik dengan sangkur terhunus. Melihat ingkah laku yang idak wajar, Istri Mayjen S. Parman curiga

dan menanyakan surat perintah mereka.

Selanjutnya Mayjen S. Parman berpesan kepada istrinya agar melaporkan kepada Men/Pangad Letjen A. Yani.

Namun, keika Istri Mayjen S. Parman akan menelpon, salah seorang penculik mendahuluinya dengan mengambil

pesawat telepon secara paksa hingga kabelnya putus. Akhirnya, pasukan penculik memaksa Mayjen S. Parman masuk ke kendaraan untuk dibawa ke Desa Lubang Buaya.

THE KIDNAPPING OF MAJOR GENERAL S. PARMAN

The kidnapper’s troop, which led by Master Sergeant Satar comprising of one team of Cakrabirawa and one team of battalion 530th/Brawijaya, entered the yard of the Major General S. Parman’s house at Serang street number 32, Central Jakarta, by jumping the fence in the early morning on October 1, 1965.

As heard noises outside, Major General S. Parman, the First Assistant of Minister/Commander in Chief of Army, woke up because he thought there was a thief at neighbor’s home and he woke his wife up. Major General S. Parman who was still wearing pajamas opened the door and surprised because he saw a number of Cakrabirawa’s troop were in his yard.

The kidnappers’ leader said that the general was ordered to meet president because the state was precarious. Major General S. Parman agreed and went into his room to wear his uniform followed by the kidnappers with unsheathed bayonet. Mrs. Parman felt something wrong and asked the letter order.

(137)

DIORAMA 12

PENCULIKAN BRIGADIR JENDERAL D.I. PANDJAITAN

(138)

PENCULIKAN BRIGADIR JENDERAL D.I. PANDJAITAN

Dini hari sekitar pukul 03.30 pada 1 Oktober 1965, rumah Brigjen D.I. Panjaitan di Jalan Sultan Hasanudin No.52, Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta didatangi sejumlah orang bersenjata lengkap. Mereka adalah pasukan penculik berkekuatan 1 regu dari kesatuan Brigif l/Kodam V/Jaya dan 1 regu Yon 454/Diponegoro di bawah pimpinan Serma Sukardjo.

Pasukan penculik segera mengepung kediaman Brigjen D.I. Panjaitan, dengan cara melompat pagar halaman sebelah kiri, menuju ke pavilyun. Mereka membuka paksa pintu pavilyun yang terkunci dengan tembakan dan masuk. Pasukan penculik mengancam anggota keluarga serta menembak ke segala arah sehingga mengakibatkan salah seorang anggota keluarga tewas dan perabotan dalam rumah hancur. Para penculik memerintahkan Brigjen D.I. Pandjaitan untuk segera turun dan menghadap presiden.

Di bawah todongan senjata para penculik, Brigjen D.I. Panjaitan berjalan ke luar rumah dengan mengenakan pakaian seragam lengkap dihiasi tanda jasanya. Dalam kondisi yang mencekam, ia menyempatkan diri untuk berdoa. Karena

mendapat perlakuan kasar dan penghinaan, secara iba iba Brigjen D.I. Panjaitan mencabut pistol dan mencoba untuk

menembak. Namun Brigjen D.I. Panjaitan lebih dahulu ditembak kepalanya hingga tewas. Merasa belum puas, pasukan penculik masih menembaki tubuh Brigjen D.I. Panjaitan. Jenazahnya kemudian diseret dan dilemparkan ke atas truk untuk selanjutnya dibawa ke desa Lubang Buaya

THE KIDNAPPING OF BRIGADIER GENERAL D.I. PANDJAITAN

At dawn around 3.30 a.m on October 1, 1965, residence of Brigadier General D.I. Pandjaitan at Sultan Hasanuddin Street in Block M, Kebayoran Baru, and Jakarta was visited by a group of people armed. They were kidnapper’s stroops that consisted of a group of infantry Brigade I/Kodam V/Jaya and a group of battallion 454th/Diponegoro under the command of Sergeant Major Sukardjo.

The kidnappers quickly surrounded the house after jumping through the left fence and approached the pavillion. They opened forcely the locked door with fire. They came in, threaten the family and shot to all direction, resulting one of the family members killed and destroyed the furnitures in the house. The kidnappers ordered the General went down and facing president soon.

(139)

DIORAMA 13

PENCULIKAN BRIGADIR JENDERAL SOETOJO S.

(140)

PENCULIKAN BRIGADIR JENDERAL SOETOJO S.

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, pasukan penculik Oditur Jenderal Militer/Inspektur Kehakiman AD, Brigjen Soetojo S. berangkat dari Desa Lubang Buaya berkekuatan 1 peleton Resimen Cakrabirawa dipimpin oleh Serma Surono. Pasukan

ini dibagi dalam 3 regu. Regu 1 dipimpin oleh Serda Soedibjo, regu 2 dipimpin Serda Ngaidjo dan regu 3 dipimpin Kopda

Dasuki.

Sesampainya di kediaman Brigjen Soetojo S. Jalan Sumenep No.17 Jakarta, pasukan penculik menyebar sesuai dengan rencana. Regu 1 yang bertugas menculik Brigjen Soetojo S. masuk dari arah depan dan belakang.

Brigjen Soetojo S terbangun karena mendengar kegaduhan di dalam rumah dan menanyakan dari dalam kamar

idenitas mereka dan dijawab bahwa mereka tamu dari Malang, kemudian mereka mengatakan lagi hansip dari Hotel

Indonesia. Sebagian penculik dari regu 1 tersebut melalui pintu samping masuk garasi. Dengan menodongkan bayonet kepada pembantu rumah tangga keluarga Brigjen Soetojo S, para penculik memaksa agar diserahkan kunci ruang tengah.

Selanjutnya mereka menggedor pintu kamar idur dan mendesak dengan keras agar pintu dibuka. Keika Brigjen Soetojo

S membuka pintu, 2 orang penculik, Serda Sudibjo dan Pratu Sumardi, masuk dan menyampaikan perintah kepada Brigjen Soetojo S untuk segera menghadap presiden. Kedua penculik bersenjata tersebut segera mengapit Brigjen Soetojo S. dan membawanya ke luar untuk dinaikkan ke kendaraan, selanjutnya dibawa ke Desa Lubang Buaya

THE KIDNAPPING OF BRIGADIER GENERAL SOETOJO S.

At dawn, On October 1, 1965, one platoon of Cakrabirawa Regiment led by Sergeant Major Surono departed from Lubang Buaya to kidnap the Military Judge Advocate / Justice’s Inspector of Army, Brigadier General Soetojo Siswomihardjo. The platoon was divided into three teams. Team one led by Sergeant Soedibjo, team two led by Sergeant Ngatijo, and the last team led by Corporal Dasuki.

After they arrived in residence of Brigadier General Soetojo S at Sumenep Street No. 17, Central Jakarta, the kidnappers then spread just as they had planned. Team one, whose duty was to kidnap the general, came into the house both from the front and back house.

(141)

DIORAMA 14

PENCULIKAN LETNAN SATU CZI P.A. TENDEAN

(142)

PENCULIKAN LETNAN SATU CZI P.A. TENDEAN

Keika mendengar suara letusan senjata di kediaman Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasuion pada

1 Oktober 1965 dinihari, Letu Czi P.A. Tendean, ajudan Jenderal A.H. Nasuion, yang pada malam itu menginap

di pavilyun terbangun. Dengan mengenakan celana hijau dan jaket coklat serta bersenjata garand, Letu Czi

P.A. Tendean ke luar dari pavilyun untuk memeriksa keadaan. Sesampainya di halaman, Letu Czi P.A. Tendean

langsung disergap dan dilucui senjatanya oleh pasukan penculik, karena dikira Jenderal A.H. Nasuion. Keika

ditanyakan kepada para penjaga yang sudah dilucui tentang kebenaran Jenderal A.H. Nasuion, idak ada

yang memberi jawaban.

Setelah melihat Letu Czi P.A. Tendean, pemimpin pasukan penculik, Pelda Djahurup, merasa yakin bahwa

yang ditangkap adalah Jenderal A.H. Nasuion. Selanjutnya ia meniup peluit tanda berkumpul. Setelah itu Letu

Czi P.A. Tendean digiring dengan tangan terikat ke belakang dan didorong dengan todongan laras senapan ke

dalam kendaraan untuk dibawa ke desa Lubang Buaya

THE KIDNAPPING OF FIRST LIEUTENANT CZI P.A. TENDEAN

Some gunshots at Coordinator Minister of Defence and Security/Chief of Staff of Armed Forces (Menko

Hankam/Kasab) General A.H. Nasution’s house on October 1, 1965, caused the Nasution's personal

aide, First Lieutenant P.A. Tendean who were sleeping in the pavillion, woke up. By wearing green pants

and a brown jacket with Garand armed, First Lieutenant P.A. Tendean, went outside to check on the

situation. When he was in the yard, he immediately ambushed and disarmed by the kidnappers, because

they thought that First Lt. Tendean was General Nasution. For making sure, the kidnappers asked to the

disarmed guards if he was really General Nasution, but no one answered.

(143)

DIORAMA 15

TERTEMBAKNYA AJUN INSPEKTUR POLISI TINGKAT I K.S. TUBUN

(144)

TERTEMBAKNYA AJUN INSPEKTUR POLISI TINGKAT I K.S. TUBUN

Pasukan yang hendak menculik Jenderal A.H. Nasuion dipimpin oleh Pelda Djahurub mulai bergerak dari

Desa Lubang Buaya Jakarta pada 1 Oktober 1965 dini hari. Untuk mengamankan jalannya penculikan, pasukan

disebar dan sebagian masuk ke halaman rumah Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II DR. Leimena di Jalan

Teuku Umar No.34 Jakarta yang letaknya berdekatan dengan kediaman Jenderal A.H. Nasuion.

Pasukan penculik yang masuk ke kediaman Waperdam II DR Leimena, bertemu dengan salah seorang

regu pengawal, Ajun Inspektur Polisi Tingkat I Karel Satsuit Tubun yang sedang bertugas jaga dan bersenjata.

Selanjutnya pasukan penculik berusaha merebut senjatanya, tetapi Ajun Inspektur Polisi Tingkat I K.S. Tubun

dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan. Pada saat mempertahankan senjatanya itulah, Ajun

Inspektur Polisi Tingkat I K.S. Tubun ditembak dari jarak dekat dan tewas sekeika.

Berdasarkan Surat Keputusan Presiden/Pangi ABRI/KOTI No. 114/KOTI/1965, Ajun Inspektur Polisi Tingkat

I K.S. Tubun dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Revolusi dan pangkatnya dinaikkan satu ingkat lebih inggi

menjadi Ajun Inspektur Polisi Tingkat II Anumerta

THE INCIDENT SHOT OF POLICE ADJUNCT INSPECTOR LEVEL I K.S. TUBUN

A troop, which wanted to kidnap and kill General A.H. Nasution led by Warrant Officer Djahurub, moved

from Lubang Buaya Village on October 1, 1965. To secure the kidnapping operation area, the team was

spread. Some of them got into front yard of the Deputy Prime Minister (Waperdam) II DR. Leimena's

house at Jalan Teuku Umar Number 34, Central Jakarta which located near to the General A.H. Nasution's

house.

The kidnapper's whose entered the Deputy Prime Minister DR. Leimena, met one of the house guards of

Waperdam II DR. Leimena, Police Adjunct Inspector Level I Karel Satsuit Tubun who was on duty and armed.

Then, the team then tried to grab his gun, but he defended hard. At that time, one of the kidnappers shot

K.S. Tubun to dead from a close range.

(145)

DIORAMA 16

TERTEMBAKNYA ADE IRMA SURYANI NASUTION

(146)

TERTEMBAKNYA ADE IRMA SURYANI NASUTION

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, ibu dan adik perempuan Jenderal A.H. Nasuion, Mardiyah, mendengar

suara tembakan di dalam rumah. Dengan segera mereka masuk ke kamar idur Jenderal A.H. Nasuion melalui

pintu kamar sebelah. Di dalam kamar, Mardiyah dengan cepat mengambil dan menggendong Ade Irma Suryani

Nasuion untuk diselamatkan ke kamar sebelah. Karena situasi panik, Mardiyah membuka pintu utama kamar.

Melihat pintu dibuka, salah satu anggota Cakrabirawa menembak beberapa kali dan iga peluru diantaranya

mengenai Ade Irma Suryani Nasuion.

Istri Jenderal A.H. Nasuion kemudian mengambil anaknya yang berlumuran darah dari gendongan

Mardiyah. Luka di perut dan paha Ade Irma Suryani ternyata terus mengeluarkan darah. Dalam keadaan

masih menggendong Ade Irma Suryani, Istri Jenderal A.H. Nasuion bermaksud menelepon Pangdam V/Jaya,

Mayjen Umar Wirahadikusumah, namun kabel telepon telah diputus.

Selanjutnya Istri Jenderal A.H. Nasuion membawa Ade Irma Suryani ke RSPAD dan mendapat perawatan

selama enam hari. Pada 6 Oktober 1965 pukul 21.00, Ade Irma Suryani Nasuion meninggal dunia. Keesokan

harinya, ia dimakamkan di TPU Blok P Kebayoran Baru, Jakarta dengan upacara militer yang dipimpin oleh

Pangdam V/Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah

THE INCIDENT SHOT OF ADE IRMA SURYANI NASUTION

At dawn, on October 1, 1965, General Nasution’s mother and his sister, Mardiyah, heard gunshots

inside their home, then they rushed into Nasution’s bedroom through a connecting door. Inside the room,

Mardiyah rapidly took and carried Ade Irma Suryani to be saved to their room. Because of panic, she

opened the main door of the room. After the door opened, one of the cakrabirawa troops shot several

times and three bullets hit Ade Irma Suryani.

Seen this, General Nasution’s wife took and carried her 5-year old daughter who covered in blood

of Mardiyah’s arms. Ade Irma’s stomach and thighs were wounded and continuous bleeding. In that

situation, Mrs. Nasution tried to call Commander of Military Regional Command (Pangdam) V/Jaya Major

General Umar Wirahadikusuma, but the phone cable had been broken.

(147)

Mengucapkan selamat atas direnovasinya

MUSEUM DIORAMA PASEBAN

di

MONUMEN PANCASILA SAKTI

LUBANG BUAYA

Jl. Tegal Senggotan 53 Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55181

Tel. 0274 387 058, 0811 292 237

(148)

MARKAS BESAR

TENTARA NASIONAL INDONESIA

CILANGKAP - JAKARTA TIMUR

2013

MUSEUM DIORAMA PASEBAN

MONUMEN PANCASILA SAKTI

LUBANG BUAYA

TENTARA NASIONAL INDONESIA

PUSAT SEJARAH

(149)

Referensi

Dokumen terkait