• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: School Connectedness dan Dukungan Sosial Teman Sebaya Sebagai Prediktor Subjective Well-Being Siswa SMA Negeri 1 Ambon T2 832010003 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: School Connectedness dan Dukungan Sosial Teman Sebaya Sebagai Prediktor Subjective Well-Being Siswa SMA Negeri 1 Ambon T2 832010003 BAB I"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENGANTAR

Remaja dalam perkembangannya, memiliki keunikan-keunikan yang bisa menjadi potensi dalam pengembangan dirinya ke arah yang lebih baik. Potensi-potensi yang dimiliki, akan mampu dikembangkan apabila well-being-nya diperhatikan dan terpenuhi. Dalam bab ini, akan diuraikan mengenai latar belakang penulis ingin melakukan penelitian mengenai subjective well-being remaja dan mengapa hal ini menjadi penting untuk diteliti.

1.1 LATAR BELAKANG

(2)

mengacu pada fakta bahwa seseorang secara subjektif meyakini bahwa hidupnya layak, menyenangkan, dan baik.

Subjective well-being (selanjutnya disebut SWB) merupakan salah satu ukuran kualitas hidup individu dan masyarakat. Para filsuf telah banyak mendebatkan asal mula dari konsep mengenai hidup yang baik untuk waktu yang sangat lama, dan sampai pada satu kesimpulan yang muncul bahwa hidup yang baik adalah bahagia, tapi sebenarnya tidak cukup hanya dengan individu yang bahagia atau masyarakat yang bahagia saja. Bagaimana seseorang berpikir mengenai hidupnya sendiri merupakan esensi untuk

memahami well-being (Diener, Oishi, & Lucas, 2003). SWB merupakan evaluasi subjektif seseorang mengenai hidupnya sendiri yang meliputi komponen emosional dan komponen kognitif (Diener & Biswas-Diener, 2008).

(3)

dimana individu itu berada sehingga membawa pada perkembangan hidup yang lebih positif.

SMA Negeri 1 telah lama dikenal oleh masyarakat kota Ambon sebagai salah satu SMA favorit dan unggulan di kota Ambon. Banyak siswa dari berbagai daerah di kota Ambon yang memiliki kemampuan unggulan diseleksi untuk bisa lolos dan melakukan aktivitas di sekolah ini. Sebagai sekolah dengan kualitas yang baik, tentunya tuntutan yang dibebankan kepada para siswanya juga berbeda dengan sekolah-sekolah lain pada umumnya. Apalagi sejak 27 Maret 2009, SMA ini telah terpilih sebagai salah

satu dari 10 sekolah di Indonesia yang menjadi sekolah mitra Pemerintah Jerman melalui Lembaga Kebudayaan Jerman, Goethe Institut (Redaksi Berita Sore, 2009).

(4)

Melalui wawancara yang dilakukan dengan beberapa siswa SMA Negeri 1 Ambon pada 25 Maret 2012, ditemukan bahwa usaha para siswa dalam meningkatkan kualitas belajar dan pendidikan mereka didukung dengan keterbukaan dan kenyamanan yang mereka dapatkan di sekolah. Namun demikian, ada pula beberapa guru yang kurang memiliki relasi yang baik dengan para siswa sehingga siswa cenderung kurang menyukai guru-guru tersebut. Selain itu, sejak tahun 2008, SMU Negeri 1 menerapkan pola kegiatan belajar-mengajar dengan metode moving class. Dengan metode ini, siswa merasa ada segi positif yang mereka terima, misalnya mereka memperoleh pengetahuan mengenai pola kehidupan kampus yang juga tidak

(5)

sekitarnya. Mereka merasa senang bisa bertemu dengan orang-orang yang mereka kenal dan melakukan rutinitas yang mereka senangi serta mengembangkan potensi yang mereka miliki baik dalam bidang akademik maupun ekstrakurikuler.

Bertolak dari berbagai pendapat-pendapat di atas, maka dirasakan perlu untuk meneliti lebih jauh mengenai SWB siswa SMA Negeri 1 Ambon. SWB merupakan penilaian subyektif individu mengenai hidupnya sendiri, yang meliputi komponen kogntif dan komponen emosi (Diener, 2008). Remaja, khususnya siswa dengan SWB yang tinggi memiliki

indikator-indikator, antara lain memiliki prestasi belajar yang baik, memiliki hubungan sosial yang baik dengan lingkungannya, terhindar dari perilaku-perilaku yang merusak kesehatan (misalnya, merokok dan kebiasaan meminum-minuman keras), dan memiliki penyesuaian diri yang baik dengan lingkungan (Zullig dkk. dalam Murray-Harvey, 2010).

Kualitas prestasi yang dimiliki oleh para siswa, baik dalam bidang akademik maupun ekstrakurikuler menunjukkan bahwa para siswa mengembangkan potensi diri mereka sebagai anak-anak muda berprestasi untuk memberikan yang terbaik dari apa yang mereka miliki. Dalam hal ini, pencapain yang positif, tentunya berkembang bukan saja karena potensi yang mereka miliki dari dalam dirinya sendiri, namun pula dipengaruhi oleh lingkungannya. Seperti yang diungkapkan oleh Brofenbrenner (dalam Meece dan Eccles, 2010) melalui empat sistem dalam ekologi perkembangan manusia, bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh interaksi dinamis antara level yang majemuk dari lingkungan individu.

(6)

dalam periode waktu ini, peristiwa-peristiwa dan transisi yang berbeda mungkin memengaruhi perkembangan serta well-being mereka. Selama masa kanak-kanak tengah (middle childhood) dan remaja, permasalahan kecil dan masalah sehari-hari kelihatannya menjadi sama dengan pengalaman peristiwa hidup yang penuh tekanan (McCullough, Huebner, & Laughlin, 2000). Namun demikian, remaja juga memiliki kekhasan sebagai orang-orang muda yang memiliki potensi besar yang menarik dan layak untuk terus ditelusuri. Sebagai generasi yang menyimpan banyak potensi untuk berkembang, adalah merupakan hal yang sangat tepat apabila dilakukan penelitian mengenai bagaimana penilaian mereka mengenai SWB-nya.

Selain itu, sejauh penelusuran penulis, penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya lebih banyak meneliti mahasiswa (Wei, Yu-Hsin Liao, Tsun-Yao, dan Shaffer, 2011; Durkin dan Joseph, 2009; Busseri, Sadava, Molnar, DeCourville, 2009), kalangan orang tua (Heo, Lee, McCormick, Pedersen, 2010; Moon dan Mikami, 2007; Schüz, Wurm, Warner, Tesch-Römer, 2009; ), pekerja atau guru (Chan, 2009; Chan, 2010), komunitas orang dewasa (Maltby, Lewis, Day, 2008;) dan orang dengan penyakit tertentu (Pinquart dan Frohlich, 2009). Semua penelitian-penelitian ini dilakukan dengan asumsi bahwa orang dewasa atau orang dengan kondisi tertentu memiliki alasan yang lebih nyata tentang SWB mereka. Selain itu, orang dewasa telah mapan dan mampu untuk menilai bagaimana kepuasan hidup mereka. Jika individu memiliki level well-being yang tinggi, maka mereka akan memiliki kemampuan untuk bertahan dalam tekanan dan mampu mengembangkan perilaku yang adaptif.

(7)

sosio-ekonomi, budaya, dukungan sosial, agama, jender, pendapatan pribadi, pernikahan-perceraian, hubungan sosial dengan orang lain, aktivitas yang dilakukan, dan keamanan diri. Lebih khusus, jika dilihat dalam konteks remaja dan sekolah, beberapa faktor yang penting dalam memengaruhi SWB remaja, antara lain dukungan sosial teman sebaya dan guru (Flaspohler, Elfstrom, Vanderzee, & Sink, 2009), orang tua (del Valle, Bravo & Lopez, 2010), school connectedness (Eccles, Early, Frasier, Belansky & McCarthy, 1997; Steinberg, dalam McNeely, Nonnemaker & Blum, 2002; Libbey, 2004), self-efficacy (Yang, Wang, Li & Teng, 2008). Dari faktor-faktor tersebut, penulis memilih school connectedness dan dukungan sosial teman

sebaya sebagai dua variabel yang akan menjadi prediktor bagi SWB remaja, karena sejauh penelusuran penulis, dukungan sosial teman sebaya dan school coonnectedness merupakan variabel yang masih sedikit diteliti dalam konteks SWB remaja Indonesia, dan siswa di Ambon khususnya.

(8)

ditanamkan dalam pengalaman nyatanya ketika bersekolah. Pengalaman nyatanya yang positif ketika berada di lingkungan sekolah akan membuat anak merasa menjadi bagian dari sekolah dan dengan sendirinya anak akan menanamkan rasa cinta kepada sekolah bukan hanya karena sekolah itu favorit atau diunggulkan, namun karena anak diperlakukan dengan benar oleh orang lain di sekolah. Dengan demikian, anak akan merasa bahwa hubungannya dengan sekolah memberikan dampak positif yang membawa pada kebahagiaan dan kenyamanan dirinya. Lebih daripada itu, seperti yang telah dijelaskan di atas, keterikatan atau adanya hubungan yang baik dengan sekolah, menjadi salah satu kunci utama kesuksesan seorang siswa di

(9)

connectedness yang tinggi juga berasosiasi dengan sosio-emosional yang positif (Bonny, dkk. 2000; McNeely dkk., 2002; Stracuzzi, Mills, 2010). Namun dari kebanyakan penelitian yang dilakukan mengenai school connectedness, sangat sedikit studi yang menggambarkan karakteristik siswa atau ekologi sekolah yang mungkin meningkatkan hubungan siswa dengan sekolahnya, sehingga, penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya belum tentu bisa digeneralisasi kepada siswa SMA Negeri 1 Ambon.

Selain itu, anak dalam pertumbuhannya juga membutuhkan adanya keberadaan teman yang bisa menjadi tempat berbagi. Telah banyak

(10)

lebih senang berbicara dengan orang yang seusia dengan mereka, dan mereka mengindikasikan ketergantungan yang lebih besar pada teman (Arnett, 2003). Dukungan teman sebaya juga telah menjadi variabel yang memberikan pengaruh besar bagi perkembangan remaja. Dukungan teman sebaya telah memiliki hubungan positif dengan self-esteem dan prestasi sekolah siswa, dan berasosiasi negatif dengan komplain-komplain mengenai depresi dan gejala somatik lainnnya seperti sakit kepala dan pusing (Colarossi & Eccles, 2003; Domagala-Zysk, 2006; Torsheim & Wold, 2001; Flaspohler dkk., 2009). Namun demikian, ada juga penelitian yang menemukan bahwa jika dibandingkan dengan dukungan sosial teman sebaya,

dukungan orang tua masih lebih memiliki peran yang penting bagi remaja. Meeus (dalam Del Valle dkk., 2010) dan Meeus dan dekovic (dalam Del Valle, 2010) menjelaskan bahwa dukungan dari orang tua berlanjut menjadi yang paling penting dalam konteks hubungan personal, sementara dukungan teman sebaya lebih relevan dalam waktu senggang saja, sehingga dukungan orang tua merupakan faktor well-being yang krusial dibandingkan teman sebaya pada tahap perkembangan remaja. Dengan alasan dan penemuan teoritis dari penelitian-penelitian sebelumnya, peneliti merasa perlu melakukan penelitian untuk mengetahui school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya sebagai prediktor terhadap SWB siswa.

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Apakah school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya secara simultan menjadi prediktor subjective well-being siswa?

(11)

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya sebagai prediktor subjective well-being siswa.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Sesuai tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Dapat memperkaya konsep atau teori-teori psikologi dan menjadi bukti empiris mengenai subjective well-being remaja, serta diharapkan menjadi acuan bagi penelitian-penelitian yang relevan.

2. Manfaat bagi sekolah (SMU Negeri 1 Ambon)

a. Bagi para guru : memberikan informasi mengenai pengaruh school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya terhadap subjective well-being remaja.

b. Hasil penelitian ini bisa memberikan masukan mengenai pengaruh school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya terhadap subjective well-being siswa, sehingga dapat digunakan sebagai informasi berguna untuk pengembangan diri siswa ke arah yang lebih positif.

3. Manfaat bagi peneliti

Referensi

Dokumen terkait

The increase in solid concentration leads to increase juice density and consistency coefficient, but reduce flow behaviour index and thermal conductivity.. The experimental data

Program pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pemberian alokasi dana desa Desa Beji tahun 2008 sasarannya adalah pada pemberdayaan, penguatan dan, peningkatan serta partisipasi

Penataan Ruang Terbuka Hijau (RIH) (Penataan Taman di Ibu kota Kabupaten dan Kecamatan (Pengadaan konstruksi bangunan pertamanan)).. Kecamatan

gelombang dan gelombang-penuh dengan beban resistif (R) dan resistif-induktif (RL) yang menggunakan sumber satu fasa dan tiga fasa.. Menganalisis hasil penyearah setengah-gelombang

[r]

[r]

Saat itu nama Muhajir ada bersama nama mantan menteri pendidikan di kabinet Gotong Royong Malik Fadjar dan juga Safiq Mugni, Ketua PWM Muhammadiyah Jawa Timur saat ini dan

Kelompok Kerja (Pokja) Bantuan Peningkatan Infrastruktur Transportasi Jalan Non Status di Kabupaten