• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDUNG NOMOR : 706/PID/B/2015/PN.BDG TENTANG TINDAK PIDANA PENGOPLOSAN DAGING SAPI DAN CELENG.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDUNG NOMOR : 706/PID/B/2015/PN.BDG TENTANG TINDAK PIDANA PENGOPLOSAN DAGING SAPI DAN CELENG."

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

PENGOPLOSAN DAGING SAPI DAN CELENG

SKRIPSI

Oleh :

Abdul Rohman

NIM : C53212071

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

x DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 14

C. Batasan Masalah ... 15

D. Rumusan Masalah ... 15

E. Kajian Pustaka ... 16

F. Tujuan Penelitian ... 17

G. Kegunaan Penelitian ... 17

H. Definisi Operasional ... 18

I. Metode Penelitian ... 19

J. Sistematika Pembahasan ... 21

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM ... 23

A. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam ... 23

1. Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam ... 23

(7)

xi

B. Tindak Pidana Ta’zi>r ... 26

1. Pengertian Jari>mah Ta’zi>r ... 26

2. Unsur-Unsur Jari>mah Ta’zi>r ... 27

3. Macam-Macam Jari>mah Ta’zi>r ... 29

4. Hukuman Jari>mah Ta’zi>r ... 34

BAB III DESKRIPSI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDUNG NOMOR: 706/PID/B/2015/PN.BDG TENTANG TINDAK PIDANA PENGOPLOSAN DAGING SAPI DAN CELENG ... 46

A. Pengertian Tindak Pidana Pengoplosan Daging Sapi Dan Celeng ... 46

B. Kasus Terjadinya Praktik Tindak Pidana Pengoplosan Daging Sapi dan Celeng ... 47

C. Keterangan Saksi-Saksi Dalam Kasus Tindak Pidana Pengoplosan Daging Sapi Dan Celeng ... 50

D. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Terhadap Tindak Pidana Pengoplosan Daging Sapi Dan Celeng ... 52

E. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bandung Terhadap Tindak Pidana Pengoplosan Daging Sapi Dan Celeng ... 60

BAB IV TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN NOMOR : 706/PID/B/2015/PN.BDG TENTANG TINDAK PIDANA PENGOPLOSAN DAGING SAPI DAN CELENG ... 62

A. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Tentang Perkara Nomor: 706/Pid/B/2015/PN.Bdg Tentang Tindak Pidana Pengoplosan Daging Sapi Dan Celeng ... 62

(8)

xii

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(9)

v ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor : 706/Pid/B/2015/PN.Bdg Tentang Tindak Pidana Pengoplosan Daging Sapi Dan Celeng”, dibuat untuk menjawab dua pertanyaan penelitian. Pertama: Bagaimana putusan hakim Pengadilan Negeri Bandung nomor : 706/Pid/B/2015/PN.Bdg tentang praktik tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng? Kedua: Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan hakim Pengadilan Negeri Bandung nomor :706/Pid/B/2015/PN.Bdg tentang praktik tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng?

Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian pustaka (library research), kajian teks (teks reading) yang bersumber dari PN Bandung yang berupa data putusan, yang selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analisis dengan kerangka pikir deduktif.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa: Pertama, Putusan hakim PN Bandung terhadap pelaku tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng sebagaimana diatur dalam UU No. 08 tahun 1999 pasal 62 ayat (1) tentang perlindungan konsumen jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP serta berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lain. Majelis hakim memutuskan bahwa para pelaku tindak pidana tersebut dihukum penjara selama 2 tahun dan barang-barang bukti yang dimilikinya dirampas oleh negara untuk dimusnahkan. Meskipun hukuman yang diberikan jauh lebih ringan daripada hukuman yang ditetapkan di undang-undang. Namun, hal itu disebabkan karena pertimbangan hakim PN Bandung dalam memutus perkara tersebut didasarkan dari fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan baik itu keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, barang bukti dan petunjuk-petunjuk lain. Selain itu, hakim juga berpedoman kepada aturan pemberian hukuman pidana, ditambah dengan keyakinan hakim yang didasari oleh pertimbangan rasa keadilan yang tumbuh di dalam diri seorang hakim. Kedua, menurut hukum pidana Islam bahwa hukuman yang pantas diberikan kepada pelaku tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng adalah hukuman ta’zi>r yang berupa hukuman penjara dan merampas harta oleh negara untuk dimusnahkan yaitu menghancurkannya (al-itla>f) merupakan Penghancuran terhadap barang-barang dan perbuatan/sifat yang mungkar, dan diharapkan hukuman yang telah diberikan penguasa dalam hal ini majelis hakim dapat memberikan efek jera terhadap pelakunya, agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi.

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana dewasa ini semakin marak terjadi di Indonesia. Hal tersebut berkaitan erat dengan berbagai aspek, khususnya pada aspek ekonomi. Salah satu penyebab maraknya tindak pidana yang terjadi karena kebutuhan ekonomi yang harus terpenuhi secara mendesak, sedangkan lapangan pekerjaan yang tersedia tidak dapat memenuhi semua masyarakat Indonesia untuk bekerja dan memperoleh penghasilan yang tetap.

Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah secara jelas menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Hukum pada dasarnya adalah sesuatu yang abstrak

sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda-beda tentang defenisi hukum, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya.1 Menurut Achmad Ali,

hukum adalah:

Seperangkat kaidah atau ukuran yang tersusun dalam suatu sistem yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum tersebut bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain yang diakui berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benar-benar diberlakukan oleh warga masyarakat sebagai satu keseluruhan dalam kehidupannya. Apabila kaidah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal.2

(11)

Dari berbagai fokus pembahasan ilmu hukum, salah satu dari kajian ilmu hukum yang sangat penting adalah kajian ilmu hukum pidana. Hukum pidana adalah sebagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh di lakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.3

Dilihat dalam garis-garis besarnya dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama atau sumber pokok hukum pidana, hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang memuat atau berisi tentang ketentuan-ketentuan sebagai berikut :4

1. Aturan umum hukum pidana dan yang berkaitan atau berhubungan dengan larangan melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar

larangan itu.

3 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2008), 1.

(12)

2. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi atau harus ada bagi pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya.

3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya: polisi, jaksa, hakim) terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan, dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka atau terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.

Hukum pidana yang mengandung aspek pertama dan kedua disebut hukum pidana materil yang sumber utamanya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP). Sementara itu, hukum pidana yang berisi mengenai aspek ketiga disebut hukum pidana formil yang sumber pokoknya adalah Undang-Undang No. 8 Tahun1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disebut KUHAP).

Hukum pidana dapat dibagi dan dibedakan atas berbagai dasar atau cara berikut ini :5

1. Hukum pidana berdasarkan materi yang diaturnya terdiri atas hukum

pidana materil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materil adalah

(13)

kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman atas pelanggaran pidana. Sementara itu, hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materil terhadap pelanggaran.

2. Atas dasar pada siapa berlakunya hukum pidana, hukum pidana dapat dibedakan antara hukum pidana umum dan hukum pidana khusus dengan penjelasan bahwa hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua warga negara (subjek hukum) dan tidak membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu. Sementara itu, hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dibentuk oleh negara yang hanya dikhususkan berlaku bagi subjek hukum tertentu (Contoh : Buku II KUHP, pidana jabatan yang hanya berlaku bagi pegawai negeri).6

3. Atas dasar sumbernya, hukum pidana dapat dibedakan antara hukum pidana umum dan hukum pidana khusus yang berbeda pengertian dengan hukum pidana umum dan hukum pidana khusus di atas. Hukum pidana umum dalam hal ini adalah semua ketentuan hukum pidana yang terdapat atau bersumber pada kodifikasi7 sehinggadisebut dengan

hukum pidana kodifikasi. Sementara itu, hukum pidana khusus adalah

6 Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 18.

7 Kodifikasi adalah pembukuan hukum Undang-Undang dalam bidang tertentu dengan sistem

(14)

hukum pidana yang bersumberpada peraturan perundang-undangan di luar kodifikasi.

4. Atas dasar wilayah berlakunya hukum, hukum pidana dapat dibedakan antara hukum pidana umum dan hukum pidana lokal. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh pemerintahan negara pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. Sementara itu, hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintahan daerah tersebut.

5. Atas dasar bentuk atau wadahnya, hukum pidana dapat dibedakan menjadi hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis. Hukum pidana tertulis meliputi KUHP dan KUHAP yang merupakan kodifikasi hukum pidana materil dan hukum pidana formil, termasuk hukum pidana tertulis yang bersifat khusus dan hukum pidana yang statusnya lebih rendah dari perundang-undangan pidana daerah (lokal). Hukum pidana adat tidak tertulis adalah sebagian besar hukum adat pidana yang berdasarkan Pasal 5 (3) Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951.8

Salah satu tindak pidana yang marak terjadi dewasa ini adalah tindak

pidana pengoplosan daging sapi dan celeng. Hal ini disebabkan karena tindak pidana tersebut tidaklah sulit dalam melakukannya, hanya dengan

(15)

bermodalkan kemampuan seseorang dalam mengoplos atau mencampurkan daging sapi dan celeng sehingga tidak mudah diketahui oleh orang lain serta meyakinkan orang lain melalui serangkaian kata-kata bohong atau fiktif, bahwa daging yang dijualnya adalah daging sapi sehingga orang lain percaya bahwa daging tersebut adalah halal serta baik untuk dikonsumsi.

Fenomena praktik perbuatan hukum berupa pengoplosan daging sapi dan celeng serta jual beli yang tidak sesuai dengan kaidah hukum merupakan suatu bentuk pidana berupa penipuan dan atau penipuan yang terorganisir, yang melibatkan beberapa pihak untuk melakukan perbuatan tersebut, yaitu pihak penyedia daging celeng yang bekerjasama dengan pihak yang mengoplos daging, pihak yang menampung daging dan pihak yang memasarkan daging tersebut. Umumnya, para pihak pelaku melakukan tindak pidana tersebut demi meraup keuntungan yang banyak.

Adapun contoh kasus terkait dengan tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng sebagaimana yang hendak Penulis teliti adalah terjadinya tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng di lingkup masyarakat kota Bandung. Tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku dalam kasus ini adalah tindak pidana mengoplos daging sapi dan celeng dengan modus menawarkan daging tersebut kepada masyarakat dengan pernyataan daging sapi. Awalnya pelaku membuka usaha penjualan daging sapi mentah dan

(16)

menjualnya kembali setelah di oplos dengan daging sapi seharga Rp. 22.000 sampai dengan Rp. 30.000 per ½ kg, dan untuk setiap plastik berisi 5 buah bakso dijual dengan harga Rp. 4.000 dimana setiap menjual daging mentah dan bakso tersebut mereka mengatakan kepada pembeli atau konsumen daging sapi dan bakso yang dijualnya tersebut adalah daging sapi sehingga masyarakat yang membeli menjadi percaya.

Padahal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sudah mengatur tentang hak dan kewajiban masing- masing konsumen dan pelaku usaha. Pada pasal 4 butir a, tercantum bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Pelanggan juga berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa (butir c).9 Sementara itu, pasal 7 menuliskan kewajiban pelaku usaha, di

antaranya beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya (butir a) serta memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa (butir b).10

Pengoplosan daging melanggar pasal 8 ayat 1 butir h yang berbunyi: "Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana penyataan “halal” yang dicantumkan dalam label".11

9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 4. 10 Ibid., Pasal 7.

(17)

Ketentuan ini merupakan upaya untuk mencegah munculnya berbagai tindakan yang merugikan konsumen karena faktor ketidak tahuan, kedudukan yang tidak seimbang dan sebagainya yang mungkin dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan dengan jalan melanggar hukum.12

Berdasarkan pengamatan penulis, kasus ini terjadi di berbagai wilayah di Indoseia, seperti yang belum lama terjadi di Surabaya yaitu kasus mencampur atau mengoplos daging sapi dan celeng yang kemudian di edarkan dengan berlabel daging sapi impor.13 Kemudian di kabupaten

Bojonegoro Dinas Peternakan dan Perikanan juga menemukan peredaran daging sapi yang dioplos dengan daging celeng di pasar Taji kecamatan Tambak Rejo yang diketahui melalui sampel yang telah diuji di laboratorium Wates Yogyakarta, yang telah beredar di beberapa kecamatan diantaranya Ngraho, Tambakrejo, dan Margomulyo.14

Fenomena ini lantas menjadi lazim dan menjadi hal yang tampak penting untuk diperhatikan. Padahal menurut pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, perbuatan tersebut dapat di ancam dengan

12 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

2010),27.

13 Endan Suhendra, (2 Penjual Daging Celeng Ditetapkan Jadi Tersangka),

http://m.galamedianews.com/nasional/29232/2-penjual-daging-celeng-ditetapkan-jadi-tersangka.html, diakses pada tanggal 27 Juni 2015.

14 Sujatmiko, (Daging Sapi Mahal, Daging Celeng Dijual Rp 80 Ribu per Kilogram),

(18)

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).15

Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:16

a. Perampasan barang tertentu; b. Pengumuman keputusan hakim; c. Pembayaran ganti rugi;

d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;

e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f. Pencabutan izin usaha.

Secara normatif, setiap pelanggaran yang dilakukan produsen, maka kepadanya dikenakan sanksi-sanksi hukum, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana sebagaimana ketentuan di atas. Perbuatan yang bertentangan dengan tujuan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, seperti pengoplosan daging sapi dan celeng dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana.17

Hukum pidana Indonesia memandang, bahwa pengoplosan daging sapi dan celeng merupakan perbuatan yang dapat dipidana karena telah terpenuhinya unsur-unsur perbuatan pidana. Pertama, unsur subyektif, yakni unsur yang berasal dari dalam diri pelaku yang meliputi perbuatan disengaja (dolus) atau karena kelalaian (culpa). Kedua, unsur objektif, yakni unsur yang berasal dari luar diri perilaku yang terdiri atas perbuatan manusia,

15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, Pasal 62 ayat (1). 16 Ibid., Pasal 63.

(19)

akibat perbuatan manusia, kadaan-keadaan, adanya sifat melawan hukum, dan adanya sifat dapat dihukum.18

Bila ada perbuatan pidana yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang dan terpenuhi unsur-unsurnya, maka sanksi akan segera menanti. Sanksi merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan pada keadaan semula manakala terjadi pelanggaran sekaligus sebagai alat preventif bagi pengusaha lainnya sehingga tidak terulang lagi perbuatan yang sama.19 Selain itu, adanya sanksi dalam Undang-Undang perlindungan

konsumen tersebut bermaksud untuk mengarakan pelaku usaha untuk berperilaku taat hukum dalam rangka mensukseskan pembangunan ekonomi nasional.

Sementara itu, tindak pidana dalam hukum pidana Islam dikenal dengan istilah jari>mah, yakni perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang diancam dengan hukuman had atau ta’zi>r. Bagaimana hukum pidana di Indonesia, hukum pidana Islam memandang bahwa suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur umum berlaku untuk semua jari>mah, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk masing-masing jari>mah dan berbeda antara jari>mah yang satu dengan yang lainnya.20

18 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana…, 71.

19 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di ndonesia…,94.

(20)

Djazuli mengemukakan, bahwa unsur-unsur umum untuk jari>mah itu ada

tiga macam, yaitu:21

1. Unsur formal (al-rukn al-syar’i), yaitu adanya nas yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan tersebut.

2. Unsur material (al- rukn al-madi), yaitu adanya unsur perbuatan yang membentuk jarimah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan.

3. Unsur moral (al-rukn al-adabi), yaitu pelaku pidana adalah orang yang dapat menerima kitab atau dapat memahami taklif, artinya pelaku pidana tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas pidana

yang mereka lakukan.

Tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng tersebut belum diatur dalam hukum pidana Islam. Oleh karena itu, tindak pidana tersebut termasuk dalam jari>mah ta’zi>r karena tidak ditentukan didalam Alquran ataupun assunnah, sehingga penjatuhan hukuman jari>mah adalah wewenang ul al-amri (penguasa) berdasarkan dengan kemaslahatan umat.

Hukuman ta’zi>r dimaksudkan untuk mencegah kerusakan dan menolak timbulnya bahaya. Apabila tujuan diadakannya ta’zi>r itu demikian maka jelas sekali hal itu ada dalam Alquran dan assunnah, karena setiap perbuatan

yang merusak dan merugikan orang lain hukumnya tetap dilarang.22

21 A Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Pidana Dalam Islam), (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2000), 3.

(21)

Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Alquran surat al Qashash ayat 77:



















































Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.23

Firman Allah SWT dalam Alquran surat Albaqarah ayat 60:

…..















Artinya :…”Dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan”.24

Peranan ul al-amri dalam menghukum pelaku jari>mah ta’zi>r sangatlah penting. Tingkat pidana jelas akan meningkat bila tidak ada alat yang menjerakannya yang dijalankan oleh para pengelola urusan masyarakat.25

Sebaliknya jika ul-alamri bersikap tegas dengan membuat berbagai peraturan

perundang-undangan terhadap perilaku yang dilarang berdasarkan situasi dan kondisi wilayah yang dipimpinnya, niscaya kemaslahatan akan terjamin.

23 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: Syaamil Quran, 2009), 386. 24 Ibid., 9.

25 Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syariat Islam terjemah oleh Wadi Masturi dan

(22)

Tidak lain dan bukan, tujuan umum dari adanya hukum adalah mewujudkan kemaslahatan bagi kebutuhan-kebutuhan manusia. Pertama, kebutuhan primer, yakni kebutuhan akan agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda. Kedua, kebutuhan sekunder, yakni hilangnya kesulitan dari manusia, ringannya beban yang manusia pikul, dan mudahnya manusia dalam kegiatan muamalah dan ibadah. Ketiga, kebutuhan pelengkap, yakni segala sesuatu yang dapat memperindah keadaan manusia, dapat menjadi sesuatu yang sesuai dengan tuntutan harga diri, dan kemuliaan akhlak.26

Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang timbul adalah semakin maraknya praktik pengoplosan, khususnya pengoplosan daging sapi dan celeng disekitar masyarakat yang menjadi momok bagi masyarakat dalam mengkonsumsi daging yang beredar di pasar. Karena belum adanya Undang-Undang yang mengatur kasus pengoplosan daging secara spesifik, sehingga masih banyak pelaku-pelaku yang masih melakukan praktik pengoplosan tersebut. Oleh karena itulah penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisis lebih lanjut mengenai “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor : 706/Pid/B/2015/PN.Bdg Tentang Tindak Pidana Pengoplosan Daging Sapi Dan Celeng”.

26 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah Hukum Islam terjemah oleh Faiz el-Muttaqin, (Jakarta:

(23)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang masalah diatas, penulis mengidentifikasi beberapa masalah yang timbul sebagai berikut:

1. Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng.

2. Unsur-unsur tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng. 3. Penyertaan dalam tindak pidana menurut hukum pidana Islam

4. Putusan hakim terhadap tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng di pengadilang negeri Bandung.

5. Pengoplosan daging sapi dan celeng yang dilarang oleh pasal 8 butir (h) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

6. Sanksi tindak pidana Pengoplosan daging sapi dan celeng menurut pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

(24)

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan juga bertujuan agar permasalahan ini dapat dikaji dengan baik, maka penulis membatasi penulisan karya tulis ilmiah ini dengan batasan:

1. Putusan hakim terhadap praktik tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng di Pengadilan Negeri Bandung.

2. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan Pengadilan Negeri Bandung nomor :706/Pid/B/2015/PN.Bdg. tentang praktik tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pokok masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana putusan hakim Pengadilan Negeri Bandung nomor :706/Pid/B/2015/PN.Bdg tentang praktik tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng?

(25)

E. Kajian Pustaka

Penelitian yang terkait dengan skripsi ini adalah pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen diantaranya telah di teliti oleh:

Mohammad Nadzir, pada tahun 2003, Jurusan Siyasah Jinayah, dengan

judul “Pelanggaran Terhadap Hukum Perlindungan Konsumen Menurut

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan Hukum Islam (Studi

Perbandingan).” Dalam defenisi operasionalnya, obyek dalam penelitian

tersebut adalahh perlindungan konsumen yang berhubungan dengan produk yang dapat dikonsumsi.27 Metodologi yang digunakan pada penelitian

tersebut adalah library research dengan metode analisis deskriptif.28 Dari

penelitian tersebut didapatkan suatu kesimpulan bahwa fungsi utama Undang-Undang perlindungan konsumen dan hukum Islam adalah sama-sama mengangkat harkat dan martabat kehidupan konsumen dengan cara menetapkan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.29

Dengan demikian, penelitian ini bukan merupakan pengulangan dari penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini menitikberatkan kajiannya pada analisis putusan tindak pidana dan sanksi pengoplosan daging sapi dan celeng menurut hukum pidana Islam. Oleh karena hal tersebut, menjadi

alasan yang cukup kuat bagi penulis bahwa “Tinjauan Hukum Pidana Islam

Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor :

27 Mohammad Nadzir, Pelanggaran Terhadap Hukum Perlindungan Konsumen Menurut

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 dan Hukum Islam (Studi Perbandingan), skripsi, 10.

(26)

706/Pid/B/2015/PN.Bdg Tentang Tindak Pidana Pengoplosan Daging Sapi Dan Celeng” perlu analisis lebih lanjut.

F. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka secara garis besar tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui putusan hakim Pengadilan Negeri Bandung nomor :706/Pid/B/2015/PN.Bdg tentang praktik tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng.

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan hakim Pengadilan Negeri Bandung nomor :706/Pid/B/2015/PN.Bdg tentang praktik tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng.

G. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat mempunyai nilai kegunaan baik dari segi teoritis maupun praktis sebagai berikut:

1. Dari segi teoritis, hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan disiplin ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana Islam pada khususnya tentang tindak pidana pengoplosan. Lebih lanjut, penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam penelitian-penelitian

selanjutnya.

2. Aspek praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan

(27)

informatif, maupun edukatif khususnya bagi masyarakat yang aam akan penegakan hukum yang ada di Indonesia. Selain itu, agar dapat menyadarkan masyarakat bahwa makna hakikat hukum dapat menjadi sumber keadilan, kedamaian, kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah, sebagai tujuan akhir hukum itu sendiri.

H. Definisi Operasional

Untuk memperjelas dan menghindari terjadinya kesalah pahaman dalam menafsirkan kata-kata yang ada dalam pembahasan penulisan skripsi, maka penulis memandang perlu untuk memberikan penjelasan dalam memahami judul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Nomor : 706/Pid/B/2015/PN.Bdg Tentang Tindak Pidana Pengoplosan Daging Sapi Dan Celeng”.” maka perlu dijelaskan beberapa istilah atau kata-kata di dalam judul tersebut:

1. Hukum Pidana Islam : Hukum yang bersumber dari Alquran, hadis, dan pendapat para fuqaha’ yang menghimpun rangkaian pendapat dari

imam Hanafi, Imam Syafi’I, Imam Maliki dan Imam Hambali yang

berkaitan dengan masalah-masalah pidana, khususnya tentang jari>mah

ta’zi>r dan penegakan hukumnya.

2. Pengoplosan : berasal dari bahasa Belanda yaitu "oplossen" yang berarti

"larut". 30 Di Indonesia istilah oplos sering dikonotasikan sebagai usaha

mencampur dengan maksud untuk mengambil keuntungan tanpa

30 Susi Moeimam, Hein Steinhauer, Kamus Belanda-Indonesi. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

(28)

mengindahkan kualitas. Mencampur adalah memadupadankan satu enda dengan satu atau beberapa benda lainnya kemudia diolah dan diproses menjadi benda dengan nama yang lain.31

3. Daging celeng : Daging babi hutan32 yang memiliki rasa yang hampir

mirip dengan daging sapi, dikarenakan celeng tidak diternak, dan diperoleh dengan cara diburu di pedalaman hutan.

Jadi maksud dari judul ini ialah untuk meneliti putusan pengadilan negeri Bandung terhadap pelaku tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng dan juga meninjau tindak pidana tersebut dari sudut pandang hukum pidana Islam.

I. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan hasil dari library research (penelitian kepustakaan). Kemudian, penulis menggunakan literatur untuk melakukan analisis. Dalam metode penelitian ini akan dikemukakan tentang :

1. Data Yang Dikumpulkan

a. Data putusan pengadilan negeri Bandung nomor :

706/Pid/B/2015/PN.Bdg tentang tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng.

b. Data mengenai aturan dan sanksi tindak pidana pengoplosan daging

sapi dan celeng menurut pasal 8 butir (h) jo. pasal 62 ayat (1)

31 Goentoer Albertus, (Mencampur), http: // albertusgoentoer, blogspot.com/2009/04/mencampur.

Diakses pada tanggal 24 April 2009.

32 Wikipedia bahasa Indonesia, (Celeng), https://id.wikipedia.org/wiki/Celeng. diakses pada

(29)

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2. Sumber Data a. Sumber Primer

Sumber data primer putusan nomor : 706/Pid/B/2015/PN.Bdg tentang tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng. Di mana data diperoleh dari pihak yang menangani perkara tersebut yakni hakim dan juga panitera di Pengadilan Negeri Bandung atau melalui website resmi Mahkamah Agung.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah buku-buku yang erat kaitannya dengan judul penelitian ini, diantaranya ialah :

1) Wiryono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung: PT. Eresco , 2002

2) Andi Zainal Abidin. Hukum Pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

3) PAF Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : PT. Cipta Aditya Bakti, 1997.

4) Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

5) Sumber data tersier (penunjang), yaitu bahan yang menunjang

(30)

Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data terkait dengan penelitian ini adalah teknik dokumenter, yaitu penelitian data-data yang diperoleh dari dokumen atau arsip hukum, berupa Putusan Pengadilan Negeri Bandung yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang dipilih oleh penulis. Untuk mendukung data-data di atas penulis menggunakan penelitian kepustakaan yaitu mencari data-data dengan melakukan penelusuran kepustakaan dan menelaahnya.

4. Teknik Analisis Data

Teknik penulisan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif analisis dengan kerangka pikir deduktif, yaitu merupakan teori-teori yang bersifat umum kemudian dihubungkan dengan fakta-fakta tentang pengoplosan daging sapi dan celeng, selanjutnya ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Teknik deskriptif analisis digunakan untuk menguraikan masalah tindak pidana pengoploan daging sapi dan celeng dan relevansinya dengan Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

J. Sistematika Pembahasan

Bertujuan untuk memudakan masalah-masalah dalam studi ini dan dapat dipahami permasalahannya secara sistematis dan lebih terarah, maka

(31)

Bab pertama, merupakan gambaran yang memuat pola dasar penulisan skripsi ini, yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, defenisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, merupakan kajian teoritis tentang pengoplosan daging sapi dan celeng menurut hukum pidana Islam yang meliputi: Dasar hukum Pengoplosan daging sapi dan celeng, sanksi hukum tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng, pengertian dan macam-macam Bentuk

Hukuman Ta’zir.

Bab ketiga, memuat deskripsi data yang berkenaan dengan putusan pengadilan negeri Bandung Nomor : 706/Pid/B/2015/PN.Bdg tentang tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng.

Bab keempat, merupakan tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan pengadilan negeri Bandung Nomor : 706/Pid/B/2015/PN.Bdg tentang tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng.

(32)

23 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG

TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

A. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam

1. Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam

Hukum pidana Islam adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari al quran dan hadits.1 Tindak kriminal dimaksud adalah

tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari al quran dan hadits.

Hukum pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syariat Islam dimaksud secara materi mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya

pelaksana yang berkewajiban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah dimaksud harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.

1 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Lembaga Study Islam dan

(33)

2. Macam-macam Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam

Ditinjau dari aspek bobot hukumannya jari>mah dibagi menjadi 3 macam.

a) jari>mah Hudu>d

jari>mah Hudu>d adalah jarimah yang diancam dengan hukuman

had. Hukuman had sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir

Audah:“Hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh

syara’ dan merupakan hak Allah”.2 jari>mah Hudu>d ini ada tujuh

macam yaitu: jari>mah zina,jari>mah menuduh zina,jari>mah Syurbul Khamr\, jari>mah pencurian, jari>mah hirabah, jari>mah riddah,jari>mah

pemberontakan.

b) jari>mah Qis}as} dan Diyat

Adalah jari>mah yang diancam dengan hukuman qishas dan diat (ganti rugi dari si pelaku kepada si korban atau walinya). Baik qis}as}

maupun diyat keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan

syara’ dan merupakan hak individu.

c) jari>mah ta’zi>r

Adalah jarimah yang hukumannya bersifat mendidik atas

perbuatan dosa yang belum ditetapkan oleh syara` atau hukuman yang diserahkan kepada keputusan Hakim. Penjabaran lebih lanjut

tentang jari>mah ta’zi>r akan dijabarkan di sub bab berikutnya.

(34)

Tindak pidana atau kejahatan dalam masyarakat merupakan suatu perbuatan yang merugikan baik secara individu maupun masyarakat. Sejak zaman awal pemerintahan Islam hal tersebut sudah diperhatikan oleh nabi Muhammad SAW, hal ini dapat dilihat bahwa rasulullah di samping memperhatikan akhlak yang mulia, nabi juga memperhatikan pelembagaan penegakan dan pelestarian dengan memerintahkan setiap orang untuk melaksanakan amar

ma’ru>f nahi> munkar.

Dalam sejumlah hadis nabi diriwayatkan selalu menekankan peran ini bagi setiap muslim. Beliau sendiri, seringkali melakukan inspeksi pasar untuk meninjau apakah para pedagang melakukan

kecurangan atau tidak, setiap kali beliau menemukan orang yang melakukan kecurangan, beliau pasti melarangnya. Tugas ini beliau emban baik dalam kapasitasnya sebagai nabi maupun sebagai kepala negara. Dalam hal ini nabi disebut sebagai al-Muh}tasi>b pertama dalam sejarah Islam. Selanjutnya, ketika tugas-tugas pribadi beliau semakin bertambah, beliau menunjuk sahabat Sa’ad ibn al-‘Ash ibn

Umayyah sebagai al-Muh}tasi>b di Makkah dan Umar Bin Khattab di Madinah.3 Tindakan rasulullah dalam mendelegasikan tugas

al-H}isbah kepada para sahabat dianggap oleh ulama’ fiqh sebagai cikal

bakal wilayah al-H}isbah.

(35)

Tindak pidana pengoplosan pernah dijumpai oleh Umar Bin Khattab namun pengoplosan tersebut merupakan pengoplosan susu dengan air, yang dilakukan oleh seorang Ibu dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang lebih. Dalam memberi hukuman kasus jari>mah tersebut merupakan kewenangan ul al-amri (penguasa) karena belum ditentukan didalam alquran ataupun assunnah.

B. Tindak pidana Ta’zi>r

1. Pengertian Jari>mah Ta’zi>r

Ta’zi>r menurut bahasa berasal dari kata ‘azzara yang mempunyai

persamaan kata dengan mana’awaradda yang artinya mencegah dan menolak; addaba yang artinya mendidik; az}z}ama wawaqqara yang artinya mengagungkan dan menghormati.4

Dari keempat pengertian di atas, yang lebih relevan adalah pengertian addaba (mendidik) dan mana’a waradda (mencegah dan menolak)5 karena ta’zi>r juga berarti hukuman yang berupa memberi

pelajaran. Disebut dengan ta’zi>r karena hukuman tersebut sebenarnya

untuk mencegah dan menghalangi orang yang berbuat jari>mah tersebut untuk tidak mengulangi kejahatannya lagi dan memberikan efek jera.6

4 Ibid., 248. 5 Ibid.

6 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta: PT

(36)

Kata ta’zi>r lebih populer digunakan untuk menunjukkan arti memberi pelajaran dan sanksi hukuman selain hukuman had. Sedangkan

menurut syara’, ta’zi>r adalah hukuman yang diberlakukan terhadap suatu bentuk kemaksiatan atau kejahatan yang tidak diancam dengan hukuman had dan tidak pula kafarat, baik itu kejahatan terhadap hak Allah, seperti makan pada siang hari pada bulan Ramadan. Maupun kejahatan adami, seperti mencuri dengan jumlah curian yang belum mencapai nisab pencurian, pencurian tanpa mengandung unsur al-Hirzu (harta yang dicuri tidak pada tempat penyimpanan yang semestinya), korupsi, pencemaran dan tuduhan selain zina dan sebagainya.7

2. Unsur-Unsur Jari>mah Ta’zi>r

Suatu perbuatan dianggap jari>mah apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur-unsur ini dibagi menjadi dua, yaitu unsur umum dan unsur khusus. Unsur umum adalah unsur yang dianggap sebagai tindak pidana berlaku pada semua jari>mah , sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk masing-masing jari>mah dan berbeda antara jari>mah yang satu dengan yang lain.8

7Wahbahaz-Zuhaili, Fiqih Islam, (Abdul Hayyieal-Kattani, dkk), jilid 7, (Jakarta: Gema Insani,

2007), 523.

8Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam:Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar

(37)

Djazuli mengemukakan, bahwa unsur-unsur umum untuk jari>mah itu

ada tiga macam, yaitu:9

a) Unsur formal (al-rukn al-syar’i), yaitu adanya nas yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan tersebut.

b) Unsur material (al- rukn al-madi), yaitu adanya unsur perbuatan yang membentuk jari>mah , baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan.

c) Unsur moral (al-rukn al-adabi), yaitu pelaku pidana adalah orang yang dapat menerima kitab atau dapat memahami taklif, artinya pelaku pidana tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut

atas pidana yang mereka lakukan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tindak pidana yang tidak ditentukan sanksinya oleh Alquran maupun Hadis disebut sebagai jari>mah ta’zi>r . Contohnya tidak melaksanakan amanah, menggelapkan harta, menghina orang, menghina agama, menjadi saksi palsu, dan suap.10

Adapun syarat supaya hukuman ta’zi>r bisa dijatuhkan adalah hanya syarat berakal saja. Oleh karena itu, hukuman ta’zi>r bisa dijatuhkan kepada setiap orang yang berakal yang melakukan suatu kejahatan yang

tidak memiliki ancaman hukuman had, baik laki-laki maupun

9 A Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Pidana Dalam Islam), (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2000), 3.

(38)

perempuan, muslim maupun kafir, balig atau anak kecil yang sudah berakal (mumayyiz). Karena mereka semua selain anak kecil adalah

termasuk orang yang sudah memiliki kelayakan dan kepatutan untuk dikenai hukuman. Adapun anak kecil yang sudah mumayyiz, maka ia di

ta’zi>r , namun bukan sebagai bentuk hukuman, akan tetapi sebagai

bentuk mendidik dan memberi pelajaran.11

Sedangkan ruang lingkup dalam ta’zi>r yaitu sebagai berikut:12

a) Jari>mah hudud atau qis}as} diyat yang terdapat syubhat dialihkan ke sanksi ta’zi>r .

b) Jari>mah hudud atau qis}as} diyat yang tidak memenuhi syarat akan dijatuhi sanksi ta’zi>r . Contohnya percobaan pencurian, percobaan pembunuhan dan percobaan zina.

c) Jari>mah yang ditentukan Alquran dan Hadis, namun tidak ditentukan sanksinya. Misalnya penghinaan, tidak melaksanakan amanah, saksi palsu, riba, suap, dan pembalakan liar.

d) Jari>mah yang ditentukan ul al-amri untuk kemaslahatan umat, seperti penipuan, pencopetan, pornografi dan pornoaksi, penyelundupan, pembajakan, human trafficking, dan sebagainya.

3. Macam-Macam Jari>mah Ta’zi>r

Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa dilihat dari hak yang dilanggar dalam jari>mah ta’zi>r ada dua bagian, yaitu jari>mah ta’zi>r

11Wahbahaz-Zuhaili, Fiqih Islam..., 531.

(39)

yang menyinggung hak Allah dan jari>mah ta’zi>r yang menyinggung hak individu (adami).

Yang dimaksud dengan kejahatan yang berkaitan dengan hak Allah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Seperti membuat kerusakan di muka bumi, perampokan, pencurian, perzinaan, pemberontakan dan tidak taat kepada ul al-amri . Sedangkan

yang dimaksud dengan kejahatan yang berkaitan dengan hak individu adalah segala sesuatu yang mengancam kemaslahatan bagi seorang manusia, seperti tidak membayar utang dan penghinaan.13

Akan tetapi, ada ulama yang membagi kedua jari>mah ini menjadi dua bagian lagi, yakni jari>mah yang berkaitan dengan campur antara hak Allah dan hak individu di mana yang dominan adalah hak Allah, seperti menuduh zina.Dancampur antara hak Allah dan hak individu di mana yang dominan adalah hak individu, seperti jari>mah pelukaan.14

Jika dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zi>r juga dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut:15

a) Jari>mah ta’zi>r yang berasal dari jari>mah -jari>mah hudud atau qis}as}, tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri.

13 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 166. 14 Ibid.

(40)

b) Jari>mah ta’zi>r yang jenisnya disebutkan dalam nas} syara’tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap, mengurangi takaran dan timbangan.

c) Jari>mah ta’zi>r yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’. Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ul al-amri , seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.

Adapun Abdul Aziz Amir membagi jari>mah ta’zi>r secara rinci kepada beberapa bagian, yaitu:

a) Jari>mah ta’zi>r yang berkaitan dengan pembunuhan

Dalam jari>mah pembunuhan itu diancam dengan hukuman mati, dan bila qis}as}nyadimaafkan maka hukumannya adalah diyatdan bila qis}as} dan diyatnya dimaafkan maka ul al-amri berhak

menjatuhkan ta’zi>r bila hal itu dipandang lebih maslahat.16

b) Jari>mah ta’zi>r yang berkaitan dengan pelukaan

Menurut Imam Malik, hukuman ta’zi>r dapat digabungkan dengan qis}as} dalam jari>mah pelukaan, karena qis}as} merupakan hak

adami (individu), sedangkan ta’zi>r sebagai imbalan atas hak masyarakat. Di samping itu ta’zi>r juga dapat dikenakan terhadap jari>mah pelukaan apabilaqis}as{nyadimaafkan atau tidak bisa dilaksanakan karena suatu sebab yang dibenarkan oleh syara’.17

c) Jari>mah ta’zi>r yang berkaitan dengan kejahatan terhadap

kehormatan dan kerusakan akhlak.

16 Ibid., 256.

(41)

Berkenaan dengan jari>mah ini yang terpenting adalah zina, menuduh zina dan menghina orang. Di antara kasus perzinaan yang diancam dengan ta’zi>r adalah perzinaan yang tidak memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi hukuman had, atau terdapat syubhat dalam pelakunya, perbuatannya atau tempatnya atau menzinai orang yang telah meninggal.18

d) Jari>mah ta’zi>r yang berkaitan dengan harta

Jari>mah yang berkaitan dengan harta adalah jari>mah pencurian

dan perampokan. Apabila kedua jari>mah tersebut syarat-syaratnya telah dipenuhi maka pelaku dikenakan hukuman had. Namun, apabila syarat untuk dikenakannya hukuman had tidak terpenuhi

maka pelaku tidak dikenakan hukuman had, melainkan

hukumanta’zi>r . Jari>mah yang termasuk jenis ini antara lain seperti percobaan pencurian, pencopetan, pencurian yang tidak mencapai batas nisab, melakukan penggelapan dan perjudian. Termasuk pencurian karena adanya syubhat, seperti pencurian oleh keluarga dekat.19

e) Jari>mah ta’zi>r yang berkaitan dengan kemaslahatan individu

Jari>mah ta’zi>r yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain

seperti saksi palsu, berbohong (tidak memberikan keterangan yang

(42)

benar) di depan sidang pengadilan, menyakiti hewan, melanggar hak privacyorang lain (misalnya masuk rumah orang lain tanpa izin).20

f) Jari>mah ta’zi>r yang berkaitan dengan keamanan umum

Jari>mah ta’zi>r yang termasuk dalam kelompok ini adalah

sebagai berikut:21

1) Jari>mah yang mengganggu keamanan negara/pemerintah, seperti spionase dan percobaan kudeta.

2) Suap.

3) Tindakan melampaui batas dari pegawai/pejabat atau lalai dalam menjalankan kewajiban, contohnya seperti penolakan hakim untuk mengadili suatu perkara, atau kesewenang-wenangan hakim dalam memutuskan perkara.

4) Pelayanan yang buruk dari aparatur pemerintah terhadap masyarakat.

5) Melawan petugas pemerintah dan membangkang terhadap peraturan, seperti melawan petugas pajak, penghinaan terhadap pengadilan, dan menganiaya polisi.

6) Melepaskan narapidana dan menyembunyikan buronan

(penjahat).

7) Pemalsuan tanda tangan dan stempel.

(43)

8) Kejahatan yang berkaitan dengan ekonomi, seperti penimbunan bahan-bahan pokok, mengurangi timbangan dan takaran, dan menaikkan harga dengan semena-mena.

4. Hukuman Jari>mah Ta’zi>r

Tujuan dari hukuman ta’zi>r atau sanksi ta’zi>r ialah sebagai preventif (sanksi ta’zi>r harus memberikan dampak positif bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan yang sama dengan terhukum) dan represif (sanksi ta’zi>r harus memberikan dampak positif bagi si terhukum sebagai efek jera agar tidak mengulangi perbuatannya), serta kuratif (sanksi ta’zi>r membawa perbaikan sikap dan perilaku pada si terhukum) dan edukatif (yaitu sanksi ta’zi>r memberikan dampak bagi terhukum untuk mengubah pola hidupnya untuk menjauhi perbuatan maksiat karena tidak senang terhadap kejahatan).22

Adapun macam-macam hukuman ta’zi>r cukup beragam, di antaranya adalah:23

a) Hukuman ta’zi>r yang berkaitan dengan badan

1) Hukuman mati

Dalam jari>mah ta’zi>r , hukuman mati diterapkan oleh para

fukaha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ul al-amri untuk menerapkan hukuman mati sebagai ta’zi>r dalam

(44)

jari>mah -jari>mah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati

apabila jari>mah tersebut berulang-ulang. Contohnya pencurian yang berulang-ulang dan menghina Nabi Muhammad beberapa kali yang dilakukan oleh kafir dhimmi walaupun setelah itu ia masuk Islam.24

Sedangkan pendapat yang membolehkan hukuman mati sebagai sanksi ta’zi>r tertinggi memiliki beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:25

a) Bila si terhukum adalah residivis, yang hukuman-hukuman sebelumnya tidak memberi dampak apa-apa baginya. b) Harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya dampak

kemaslahatan bagi masyarakat serta pencegahan kerusakan yang menyebar di muka bumi.

Kesimpulannya menurut para ulama hukuman mati itu hanya diberikan bagi pelaku jari>mah yang berbahaya sekali, yang berkaitan dengan jiwa, keamanan, dan ketertiban masyarakat atau bila sanksi hudud tidak lagi memberi pengaruh baginya.

2) Hukuman jilid (dera)

Hukuman cambuk (jilid/dera) cukup efektif dalam

memberikan efek jera terhadap pelaku jari>mah ta’zi>r . Hukuman ini dalam jari>mah hudud telah jelas jumlahnya bagi pelaku

(45)

jari>mah zinaghairumuhs}an (zina yang dilakukan oleh orang

yang belum menikah) dan jari>mah qadhaf (menuduh orang berzina). Namun dalam jari>mah ta’zi>r , hakim diberikan kewenangan untuk menetapkan jumlah cambukan disesuaikan dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat kejahatan.26

Kemudian pendapat ulama mengenai jumlah minimal cambukan dalam jari>mah ta’zi>r adalah sebagai berikut:27

a) Ulama Hanafiyah. Batas terendah ta’zi>r harus mampu memberi dampak preventif dan represif.

b) Batas terendah satu kali cambukan.

c) Ibnu Qudamah. Batas terendah tidak dapat ditentukan, diserahkan kepada ijtihad hakim sesuai tindak pidana, pelaku, waktu, dan pelaksanaannya.

d) Pendapat Ibnu Qudamah lebih baik, tetapi perlu tambahan ketetapan hakim, tidak ada lagi perbedaan pendapat.

b) Sanksi ta’zi>r yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang

Dalam sanksi jenis ini yang terpenting ada dua, yaitu hukuman penjara dan hukuman buang (pengasingan).

1) Hukuman Penjara

Dalam bahasa Arab ada dua istilah untuk hukuman penjara, yaitu al-h}absu dan al-sijnu yang keduanya bermakna al-man’u, yaitu mencegah; menahan. Menurut Ibnu Al-Qayyim, al-h}absu

(46)

adalah menahan seseorang untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum, baik itu di rumah, masjid, maupun tempat lain. Demikianlah yang dimaksud dengan al-h}absu di masa Nabi dan Abu Bakar. Akan tetapi setelah wilayah Islam bertambah luas pada masa pemerintahan Umar, ia memberi rumah Syafwan bin Umayyah dengan harga 4.000 dirham untuk dijadikan penjara.28

Hukuman penjara ini dapat merupakan hukuman pokok dan bisa juga sebagai hukuman tambahan dalam ta’zi>r yakni apabila hukuman pokok yang berupa jilid tidak membawa dampak bagi terhukum.29

Alasan memperbolehkan hukuman penjara sebagai ta’zi>r

ialah karena Nabi Muhammad SAW pernah memenjarakan beberapa orang di Madinah dalam tuntutan pembunuhan. Juga

tindakan Khalifah Utsman yang pernah memenjarakan Dhabi’

ibn Al-Harits, salah satu pencuri dari Bani Tamim, sampai ia mati dipenjara. Demikian pula Khalifah Ali pernah memenjarakan Abdullah ibnAz-Zubair di Mekah, ketika ia menolak untuk membaiat Ali.30

Hukuman penjara dalam syariat Islam dibagi kepada dua

bagian, yaitu:

28 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah..., 152. 29 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 206.

(47)

a) Hukuman penjara yang dibatasi waktunya; b) Hukuman penjara yang tidak dibatasi waktunya.

Hukuman penjara terbatas adalah hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini diterapkan untuk jari>mah penghinaan, penjual khamar,

pemakan riba, melanggar kehormatan bulan suci

Ramadandengan berbuka pada siang hari tanpa uzur, mengaliri ladang dengan air dari saluran tetangga tanpa izin, caci mencaci antara dua orang yang berperkara di depan sidang pengadilan, dan saksi palsu.31

Adapun tentang lamanya penjara para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama berpendapat bahwa lamanya penjara adalah dua atau tiga bulan dan sebagian yang lain berpendapat diserahkan kepada hakim.32

Sedangkan hukum penjara seumur hidup adalah hukuman penjara untuk kejahatan-kejahatan yang sangat berbahaya, seperti pembunuhan yang terlepas dari sanksi qis}as}. Sedangkan hukuman penjara yang dibatasi sampai terhukum bertobat sesungguhnya mengandung pendidikan, mirip dengan Lembaga Pemasyarakatan terbukti ada tanda-tanda telah bertobat.

Seseorang dianggap bertobat menurut para ulama bila ia

31 Ibid.

(48)

memperlihatkan tanda-tanda perbaikan perilakunya, karena tobat dalam hati itu tidak dapat diamati.33

2) Hukuman buang (pengasingan)

Dasar hukuman buang adalah firman Allah surah al-Maidah ayat 33 yaitu:

نم ْا ۡوفني ۡوأ

ض ۡر ۡۡٱ

Artinya: ... atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)...34

Meskipun ketentuan hukuman buang dalam ayat tersebut di atas diancamkan kepada pelaku jari>mah hudud, tetapi para u\lamamenerpakan hukuman buang ini dalam jari>mah ta’zi>r

juga. Antara lain disebutkan orang yang memalsukan Alquran dan memalsukan stempel baitul mal, meskipun h\ukuman buang kasus kedua ini sebagai hukuman tambahan, sedangkan hukuman pokoknya adalah jilid.35

Hukuman pengasingan ini dijatuhkan kepada pelaku

jari>mah ta’zi>r yang dikhawatirkan dapat memberikan pengaruh

buruk terhadap masyarakat. Dengan diasingkannya pelaku, mereka akan terhindar dari pengaruh tersebut.36

c) Sanksi ta’zi>r yang berupa harta

33 Ibid., 207.

34 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya…,113. 35 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 209.

(49)

Ada beberapa ulama yang membolehkannya dan ada juga yang tidak sepakat tentang di perbolehkannya sanksi ta’zi>r berupa harta.

Ulamayang membolehkannya yaitu Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam

Malik dan Imam Ahmad. Sedangkan yang tidak membolehkannya yaitu imam Abu Hanifah dan Muhammad.37

Hukuman ta’zi>r dengan mengambil harta bukan berarti mengambil harta pelaku untuk diri hakim atau untuk kas negara, melainkan menahannya untuk sementara waktu. Adapun jika pelaku tidak dapat diharapkan untuk bertaubat, hakim dapat menyerahkan harta tersebut untuk kepentingan yang mengandung maslahat.38

Imam Ibn Taimiyah membagi hukuman ta’zi>r berupa harta ini kepada tiga bagian, dengan memerhatikan athar (pengaruhnya) terhadap harta, yaitu:

1) Menghancurkannya (al-itla>f)

Penghancuran terhadap barang sebagai hukuman ta’zi>r

berlaku dalam barang-barang dan perbuatan/sifat yang mungkar. Contohnya seperti:39

a) Penghancuran patung milik orang Islam.

b) Penghancuran alat-alat musik/permainan yang mengandung kemaksiatan.

37 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 210.

(50)

c) Penghancuran alat dan tempat minum khamar. Khalifah Umar pernah memutuskan membakar kios/warung tempat dijualnya minuman keras (khamar) milik Ruwaisyid, dan Umar memanggilnya Fuwaisiq, bukan Ruwaisyid.Demikian pula khalifah Ali pernah memutuskan membakar kompleks/kampung yang di sana dijual khamar. Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dalam mazhab Hambali, Malik, dan lain-lainnya.

d) Khalifah Umar pernah menumpahkan susu yang bercampur dengan air untuk dijual, karena apabila susu dicampur dengan air maka sulit mengetahui kadar susu dari airnya. Meskipun demikian ada ulama yang berpendapat bahwa al-itla>f itu bukan dengan cara menghancurkan, melainkan

diberikan kepada fakir miskin bila harta tersebut halal dimakan.40

2) Mengubahnya (al-ghayi>r)

Hukuman ta’zi>r yang berupa mengubah harta pelaku, antara lain mengubah patung yang disembah oleh orang muslim dengan cara memotong bagian kepalanya sehingga mirip pohon atau vas bunga.41

3) Memilikinya (al-tamli>k)

40 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 212.

(51)

Hukuman ta’zi>r berupa pemilikan harta penjahat (pelaku), antara lain seperti keputusan Rasulullah SAW melipatgandakan denda bagi seorang yang mencuri buah-buahan, di samping hukuman jilid. Demikian pula keputusan Khalifah Umar yang melipatgandakan denda bagi orang yang menggelapkan barang temuan.42

d) Hukuman-hukuman ta’zi>r yang lain

Di antara sanksi-sanksi ta’zi>r yang tidak termasuk ke dalam ketiga kelompok yang telah dijelaskan di atas adalah:

1) Peringatan keras

Peringatan keras ini contohnya seperti diucapkan hakim kepada pelaku jari>mah : “Telah sampai kepadaku bahwa kamu melakukan kejahatan.... oleh karena itu jangan kau lakukan lagi

hal itu”. Peringatan ini bisa dilakukan oleh utusan pengadilan.43

2) Dihadirkan di hadapan sidang

Pemanggilan pelaku ke pengadilan ditambah dengan peringatan keras yang disampaikan langsung oleh hakim, bagi orang tertentu sudah cukup merupakan hukuman yang efektif, karena sebagian orang ada yang merasa takut dan gemetar dalam menghadapi meja hijau. Adapun terhadap pelaku yang telah berulang-ulang melakukan perbuatan pidana atau jari>mah

yang sangat berbahaya, maka hakim tidak menerapkan

(52)

hukuman tersebut, melainkan hukuman lain yang sepadan dengan perbuatannya, seperti jilid atau penjara.44

3) Celaan

Celaan ini menurut al-Mawardi dilakukan dengan cara memalingkan muka menunjukkan ketidaksenangan atau menurut ulama lain juga bisa dengan muka masam dan senyum sinis, seperti dilakukan oleh Umar.45

Sanksi ini dan sanksi peringatan keras seperti yang dijelaskan sebelumnya dijatuhkan terhadap orang-orang yang melakukan maksiat karena kurang mampunya mengendalikan diri, bukan karena kebiasaannya melakukan kejahatan, jadi ia hanya tergelincir saja dan tidak sering terjadi.46

4) Nasihat

Hukuman nasihat ini seperti halnya hukuman peringatan keras dan dihadirkan di depan pengadilan, merupakan hukuman yang diterapkan untuk pelaku-pelaku pemula yang tidak melakukan tindak pidana, bukan karena kebiasaan melainkan karena kelalaian. Di samping itu, hakim berkeyakinan bahwa hukuman tersebut cukup sebagai pelajaran bagi pelaku semacam itu. Apabila menurut keyakinan hakim hukuman

tersebut tidak dapat menjerakan pelaku karena sudah berulang

44 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana...,267. 45 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 216.

(53)

kali melakukan jari>mah maka hakim dapat menjatuhkan hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya.47

5) Pengucilan

Hukuman ta’zi>r berupa pengucilan ini diberlakukan apabila membawa kemaslahatan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat tertentu. Dalam sistem masyarakat yang terbuka hukuman ini sulit sekali untuk dilaksanakan, sebab masing-masing anggota masyarakat tidak acuh terhadap anggota masyarakat lainnya. Akan tetapi, kalau pengucilan itu dalam bentuk tidak diikutsertakan dalam kegiatan kemasyarakatan, mungkin bisa dilaksanakan dengan efektif.48

6) Pemecatan

Sanksi ta’zi>r yang berupa pemecatan dari tugas ini biasa diberlakukan terhadap setiap pegawai yang melakukan jari>mah ,

baik yang berkaitan dengan yang lainnya, seperti para pegawai yang mengkhianati tugas yang dibebankan kepadanya. Contohnya menerima suap, korupsi, menerima pegawai yang tidak memenuhi persyaratan tapi semata-mata karena menyukainya saja, melakukan kezaliman terhadap bawahannya, melarikan diri dari medan perang bagi seorang tentara,

mengambil harta dari terdakwa dengan maksud untuk membebaskan, hakim yang tidak mau memutuskan perkara atau

(54)

melakukan jari>mah hudud, dipecat (sebagai hukuman tambahan).49

7) Diumumkan kesalahannya secara terbuka, seperti diberitakan dimedia cetak atau elektronik.50

Jari>mah -jari>mah yang bisa dikenakan hukuman ini adalah

sebagai berikut: a) Saksi palsu. b) Pencurian.

c) Kerusakan akhlak.

d) Kesewenang-wenangan hakim.

e) Dan menjual barang-barang yang diharamkan seperti bangkai dan babi.

Penerapan hukuman ini tidak dimaksudkan untuk menyebarluaskan kejahatan dan kejelekan pelaku, melainkan untuk mengobati mentalnya supaya di masa yang akan datang, ia berubah menjadi orang baik, tidak mengulangi perbuatannya dan tidak pula melakukan kejahatan yang baru.51

49 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 220.

(55)

46 BAB III

DESKRIPSI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDUNG NOMOR: 706/PID/B/2015/PN.BDG TENTANG TINDAK PIDANA

PENGOPLOSAN DAGING SAPI DAN CELENG

A. Pengertian Tindak Pidana Pengoplosan Daging Sapi Dan Celeng

Berkaitan dengan pemenuhan makanan yang aman, bermutu, bergizi dan

tersedia secara cukup, utamanya dalam pemenuhan makanan daging sapi,

tidak tertutup kemungkinan terdapat upaya-upaya yang tidak jujur dari

pelaku usaha dalam menghasilkan daging sapi tersebut sehingga daging sapi

yang diterima oleh masyarakat tidak memenuhi syarat : aman, bermutu dan

bergizi, akhirnya akan menimbulkan kerugian bagi konsumen. Sebagai

antisipasinya para konsumen dituntut untuk bersikap kritis dan cerdas dalam

mencermati pemilihan daging yang akan dikonsumsi.

Untuk menyatukan persepsi dalam pembahasan tentang pengoplosan

daging, maka perlu diberikan pembatasan pengertian tentang “oplos”. Dari

berbagai literatur yang ditelusuri, kata oplos berasal dari bahasa Belanda1,

yaitu : “oplossen” yang berarti “larut”. Di Indonesia istilah “oplos” sering

dikonotasikan sebagai usaha mencampur dengan maksud untuk mengambil

keuntungan tanpa mengindahkan kualitas. Mencampur adalah

1 Susi Moeimam, Hein Steinhauer, Kamus Belanda-Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka

(56)

memadupadankan satu benda dengan satu atau beberapa benda lainnya

kemudian diolah dan diproses menjadi benda dengan nama yang lain.2

Rahardi Ramelan, menyatakan mencampur dalam arti kata “blending”,

merupakan usaha yang biasa dilakukan di dalam perdagangan, khusunya

komoditi pertanian untuk mendapatkan komposisi dan rasa khas maupun

kualitas yang diinginkan konsumen, penggilingan besar melakukan blending

untuk mendapatkan kualitas dan harga yang tepat dan memakai merek atau

brand tertentu untuk memudahkan pemasarannya.3 Demikian juga yang

dilakukan pedagang daging sapi yang dicampur dengan daging babi, mereka

melakukan blending untuk menghasilkan daging yang banyak dengan harga

yang terjangkau bagi konsumen walaupun dengan cara melanggar hukum.

B. Kasus Terjadinya Praktik Tindak Pidana Pengoplosan Daging Sapi dan

Celeng

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai bagaimana kronologis

terjadinya peristiwa pengoplosan daging sapi dan celeng yang dilakukan oleh

pelaku tindak pidana. Isi pokok kasus terjadinya praktik tindak pidana

pengoplosan daging sapi dan celeng adalah sebagai berikut.

Dengan identitas terdakwa:

1. Nama lengkap : TATI ALIAS AI BINTI OYOD

2 Goentoer Albertus, (Mencampur), http: // albertusgoentoer,

blogspot.com/2009/04/mencampur. Diakses tanggal 24 April 2009.

3 Rahardi Ramelan, (Oplos Atau Blending), http://www.leapidea.com/presentation?id=93. di

(57)

Tempatlahir : Bandung

Umur/tanggal lahir : 45 tahun/9 Mei 1970

Jenis Kelamin : Perempuan

Kebangsaan : Indonesia

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

Tempat Tinggal : Jl. Margaasih Rt 07/10 Kel. Cijawura Kec. Buah

Batu Kota Bandung

2. Nama lengkap : BUDIYANTO BIN IRHASAN

Tempatlahir : Bandung

Umur/tanggal lahir : 40 tahun/26 Maret 1975

Jenis Kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Agam a : Islam

Pekerjaan : Karyawan Swasta

Tempat Tinggal : Jl. Margaasih Rt 07/10 Kel. Cijawura Kec. Buah

Batu: Kota Bandung

Bahwa

Referensi

Dokumen terkait

Karena kadar feritin bisa meningkat dipengaruhi oleh faktor yang lain diantaranya proses inflamasi, abnormalitas liver dan keganasan, selain itu banyak faktor yang berperan

Penegakan hukum terhadap pidana di pasar modal yang dilakukan oleh badan otoritas di bidang pasar modal dan lembaga keuangan, Bapepam-LK sekarang ada pada Otoritas Jasa

Berdasarkan uji validitas tersebut di atas menunjukkan bahwa nilai r hitung dan setiap item pernyataan kuesioner lebih besar darl r tabel sebesar 0,304 dengan n = 44 dan α =

Telah banyak riset yang membuktikan bahwa rokok sangat menyebabkan ketergantungan, di samping menyebabkan banyak tipe kanker, penyakit jantung, penyakit pernapasan,

25:44 Lalu merekapun akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit,

Gambar V.4 Diagram Boxplot untuk variabel Attitude Tahap Intention pada Consumer Decision Model Jika dilihat melalui diagram boxplot dibawah ini, perancangan pesan

Pengaplikasian standar peneapan hygene dan sanitasi di kitchen sundara Four Season Resort at Jimbaran Bay ternayata belum secara sempurna diteapkan oleh para karyawan

kebutuhan petani yang sangat mendesak, karena dengan menjual produksi karet kepada pedagang pengumpul, petani akan menerima uang secara langsung, sedangkan apabila