TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAK
PIDANA PUTUSAN NOMOR 244/PID.B/2014/PN.SBY
DI PENGADILAN NEGERI SURABAYA
SKRIPSI
Oleh:
Anna Biizatika C33211061
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM
PRODI SIYASAH JINAYAH
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi ini membahas Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak Pidana Putusan Nomor 244/PID.B/2014/PN.Sby Di Pengadilan Negeri Surabaya. yang dilatar belakangi terdakwa Tjong Suwun yang melanggar pasal 263 ayat (2) tentang tindak pidana pemalsuan surat yang dalam pasal tersebut dikenakan hukuman paling lama 6 (enam) tahun penjara menjadi 5 (lima) bulan penjara. Dimaksudkan untuk menjawab rumusan masalah : 1). Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap putusan nomor 244/PID.B/2014/Pn.Sby 2). Analisis hukum Islam terhadap pertimbangan hukum
hakim terhadap putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor
244/PID.B/2014/PN.Sby.
Jenis penelitian ini adalah dokumentasi yaitu penelitian yang diambil dari data Putusan Pengadilan Ngeri Surabaya, untuk mendukung data peneliti menggunakan penelitian kepustakaan yaitu melakukan penelusuran kepustakaan, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif – Analitis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang pertama, bahwa pertimbangan hukum yang dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri Surabaya dalam putusan nomor 244/PID.B/2014/Pn.Sby yaitu hakim dalam menjatuhkan hukuman melihat dari berat ringannya tindak pidana yang dilakukan. Dengan demikian tuntutan yang dijatuhkan oleh jaksa yang menuntut 6 (enam) tahun penjara berubah menjadi 5 (lima) bulan penjara. Yang kedua, menurut hukum pidana Islam tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa termasuk dalam jarimah ta’zir yang hukumannya sama seperti yang dilakukan oleh sahabat nabi yang memalsukan setemp[el baitul mal dan diberi hukuman jilid dan pengasingan.
upaya penyusunan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca
pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
SAMPUL DALAM... i
PERNYATAAN KEASLIAN... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
PENGESAHAN……… iv
PERSEMBAHAN………. V MOTTO……… vii
ABSTRAK... viii
KATA PENGANTAR... ix
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TRANSLITERASI... xiv
BAB I PENDAHULUAN... 1
A.Latar Belakang…... 1
B.Identifikasi Masalah…... 9
C.Batasa Masalah…... 10
E. Tujuan Penelitian………... 11
F. Kajian Pustaka…………..…... 12
G.Kegunaan Penelitian... 13
H.Definisi Operasinal…... 14
I. Metode Penelitian……... 15
J. Sistematika Pembahasan………...………... 18
BAB II TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM ………...…………... 21
A.Definisi Tindak Pidana Pemalsuan Surat…... 21
B.Pemalsuan Surat Menurut Hukum Pidana Islam…... 23
C.Pengertian Jarimah Ta’zir…... 25
D.Dasar Hukum Disyariatkan Hukuman Ta’zir... 28
E. Pembagian Jarimah Ta’zir…………..………... 29
F. Macam – Macam Sanksi Hukuman Ta’zir………. 32
BAB III PUTUSAN PENGADILAN SURABYA NOMOR 244/PID.B/2014/PN.SBY TENTANG TINDAK PIDANA SENGAJA MEMAKAI SURAT PALSU... 39
A.Deskripsi Terjadinya Tindak Pidana Sengaja Memakai Surat Palsu... 39
B.Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 244/PID.B/2014/PN.Sby Tentang Tindak Pidana Sengaja Memakai Surat Palsu………...……... 42
BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI SURABAYA NOMOR
244/PID.B/2014/PN.SBY TENTANG TINDAK PIDANA
SENGAJA MEMAKAI SURAT PALSU... 56
A.Analisis Sanksi Dalam Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 244/PID.B/2014/PN.Sby Tentang Tindak Pidana Sengaja Memakai Surat Palsu... 56
B.Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 244/PID.B/2014/PN.Sby Tentang Tindak Pidana Sengaja Memakai Surat Palsu... 61
BAB V PENUTUP... 67
A.Kesimpulan... 67
B.Saran... 68
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TRANSLITERASI
Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut :
A. Konsonan
No Arab Indonesia Arab Indonesia
1
ا
‘ط
t}2
ب
bظ
z}3
ت
tع
‘4
ث
thغ
Gh5
ج
jف
F6
ح
h}ق
q7
خ
khك
k8
د
dل
l9
ذ
dhم
m10
ر
rت
n11
ز
zو
w12
س
Sه
h13
ش
Shء
’
15
ض
d}Sumber : Kate L.Turabian. A Manual of Writers of Term Papers, Disertation (Chicago and London): The University of Chicago Press, 1987).
B. Vokal
1. Vokal Tunggal (monoftong)
Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia
ــــــــ fath}ah a
ــــــــ kasrah i
ــــــــ kasrah U
Catatan: Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku jika
hamzah berharakat sukun atau didahului oleh huruf yang berharakat
sukun. Contoh: iqtida’ )
ءاضتقا
(2. Vokal Rangkap (diftong)
Tanda dan Huruf Baca
Nama Indonesia Keterangan
يــ fath}ah dan ya’ ay a dan y
وـــ fath}ah dan wawu aw a dan w
Contoh : bayna
)نب(
: mawdu‘
)عوضوم(
3. Vokal Panjang (mad)
Tanda dan Huruf Baca
Nama Indonesia Keterangan اــــــــ fath}ah dan alif a> a dan garis di atas ىـــــــ kasrah dan ya’ i> i dan garis di atas وـــــــــ d}ammah dan wawu u> u dan garis di atas
Contoh : jinayah )
َْةَياَن ِج
(: jarimah
)
َْةَِْْرَج
(
4. Ta’ Marbutah
Transliterasi untuk ta’ marbutah ada dua :
a. Jika hidup (menjadi mudaf) transliterasinya adalah t. b. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalah h.
Contoh : shari‘at al-Islam )
مَاسااَةعيرش
(: shari‘ah islamiyah )
ةيمَاساَةعيرش
(5. Penulisan Huruf Kapital
Penulisan huruf besar dan kecil pada kata, phrase (ungkapan) atau kalimat yang ditulis dengan transliterasi Arab-Indonesia mengikuti
ketentuan penulisan yang berlaku dalam tulisan. Huruf awal (initial latter) untuk nama diri, tempat, judul buku, lembaga dan yang lain ditulis dengan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan dalam kehidupan manusia senantiasa berkembang
seiring dengan tumbuh kembangnya manusia, ia merupakan persoalan
yang dialami oleh manusia dari waktu ke waktu. Dalam Islam, sejak
peradaban kejadian manusia dimana sejak Adam dan Hawa diciptakan
kejahatan itu sudah mulai ada, terbukti dilakukannya pelanggaran oleh
Adam dan Hawa atas perintah Allah Swt.1 Menyatakan bahwa Adam tidak
mempunyai kemampuan yang kuat untuk menjalankan perintah-Nya,
sebagaimana firman-Nya dalam Al-qur’an surat Taha ayat 115 yang
berbunyi sebagai berikut :
Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, Maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak kami dapati padanya kemauan yang kuat.2
Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia suatu perbuatan
dikategorikan sebagai “kejahatan” apabila perbuatan itu memenuhi tiga
unsur yaitu, pertama : perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau
undang – undang, kedua : perbuatan mana yang dilakukan dengan sengaja,
ketiga : perbuatan mana diancam dengan hukuman. Dengan kata lain
1
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jindi Al-Islami, Cet. 14 (Beirut: Ar-Risalah, 1998), 66.
2 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannaya, (Surabaya: Mekar Surabaya, 2004),
2
dikatakan sebagai kejahatan apabila dalam perbuatan tersebut terdapat
unsur kesengajaan dan kerugian yang ditimbulkan serta harus ada undang
– undang yang menentukan.3
Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat kejahatan
pemalsuan adalah berupa kejahatan yang didalamnya mengandung unsur
keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (obyek), padahal
sesungguhnya bertentangan dengan sebenarnya. Perbuata pemalsuan
ternyata merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap 2 (dua) norma dasar
yaitu :4
1. Kebenaraan atau kepercayaan yang kebenaranya dapat tergolong
kelompok kejahatan penipuan.
2. Ketertiban masyarakat yang pelanggarannya tergolong dalam
kelompok kejahatan terhadap Negara dan kejahatan umum.
Di dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, kejahatan
mengenai pemalsuan dimuat dalam buku II yang kemudian
dikelompokkan menjadi 4 golongan yang didasarkan atas objek kejahatan
diantaranya, kejahatan sumpah palsu (Bab IX), kejahatan pemalsuan uang
(Bab X), kejahatan pemalsuan materai dan merek (Bab XI), dan kejahatan
pemalsuan surat (Bab XII).5
Perbuatan pemalsuan dapat digolongkan pertama - tama dalam
kejahatan penipuan, sehingga tidak semua perbuatan adalah pemalsuan.
3
Abd. Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokat atas Hak Asasi Perempuan), 28.
4
Adami Chazawi, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, 5.
5
3
Perbuatan pemalsuan tergolong kelompok kejahatan penipuan apabila
seseorang memberikan gambaran tentang sesuatu keadaan atas barang
(misalnya surat) seakan - akan asli atau benar, sedangkan sesungguhnya
keaslian atau kebenaran tersebut tidak dimilikinya.6
Tindak pidana pemalsuan surat atau membuat surat palsu
merupakan tindakan yang sangat terela dan tidak bermoral, sehingga jal ini
sangat bertentangan dengan Hukum Islam dan Hukum Positif. Dalam
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, kejahatan pemalsuan surat diatur
dalam pasal 263 ayat (1) dan (2), diantaranya sebagai berikut :7
(1) “Barangsiapa membuat seara tidak benar atau memalsukan surat yang
dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau
yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud
untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah –
olah isinya benar dan tidak dipalsukan, diancam, jika pemakaian
tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan
pidana penjara paling lama enam tahun”.
(2) “Dianam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja
memakai surat yang isinya tidak benar atau yang palsu, seolah – olah
benar dan tidak dipalsukan, jika pemakaian surat itu dapat
menimbulkan kerugian”.
Tindak pidana pemalsuan surat itu sendiri dapat digolongkan
dalam spesifiknya yang lebih khusus yaitu :8
1. Tindak pidana pemalsuan surat dalam bentuk pokok
6
Ibid., 9.
7
Dr. Andi Hamzah, SH, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan KUHAP, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 105.
8
4
2. Tindak pidana pemalsuan surat khusus
3. Tindak pidana pemalsuan surat otentik dengan isi keterangan palsu
4. Tindak pidana pemalsuan surat keterangan dokter
5. Tindak pidana pemalsuan surat ketengan kelakuan baik
6. Tindak pidana pemalsuan keterangan jalan dan ijin masuk bagi orang
asing
7. Tindak pidana pemalsuan pengantar kerbau dan sapi
8. Penyimpanan barang atau bahan untuk dipergunakan dalam pemalsuan
surat khusus
Membuat surat palsu adalah membuat sebuah surat yang seluruh
atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan
dengan yang sebenarnya. Membuat surat palsu ini dapat berupa :9
1. Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruhnya isi surat tidak
sesuai atau bertentangan dengan kebenaran (intellectual valschheid).
2. Membuat surat seolah - olah surat itu berasal dari orang lain selain
sipembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut
dengan pemalsuan materiil (materiele valschheid). Palsunya surat atau
tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat sutrat.
Dari rumusan pasal diatas, tidak setiap tindakan memuat surat
palsu dikenakan hukuman, tetapi diadakan pembatasan, yaitu dibatasi pada
dua jenis surat :
9
5
1. Surat yang dapat menimbulkan suatu hak atau suatu perikatan atau
suatu pembebasan hutang seperti surat perjanjian, surat jual beli, surat
sewa menyewa, surat penukaran barang, dan sebagainya.
2. Surat yang ditujukan untuk membuktikan suatu kejadian, yang
dimaksud dengan bukti adalah karena sifatnya surat itu memiliki
kekuatan pembuktian (bewijskraht), sedangkan sesuatu hal adalah
berupa kejadian atau peristiwa dalam, peristiwa mana mempunyai
suatu akibat hukum.
Hukum Islam syariatkan oleh Allah dengan tujuan pertama
merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia, baik
kemaslahatan individu atau masyarakat. Kemaslahatan yang ingin
diwujudkan dalam hukum islam menyangkut seluruh aspek dharuriyat
(primer), hajjiyat (sekunder), maupun (stabilitas sosial).10
Dalam hukum positif yang terdapat didalam Kitab Undang -
undang hukum pidana (KUHP) pasal 263 melakukan kesalahan dalam
perbuatan tindak pidana pemalsuan surat dan merugikan orang lain dan
Negara maka dapat dipidana paling lama 15 (lima belas) tahun penjara.
Sedangkan di dalam hukum Islam orang yang melakukan prbuata tindak
pidana pemalsuan surat maka akan terkena hukuman ta’zir. Ta’zir adalah
hukuman yang ditetapkan syara’ dan diserahkan sepenuhnya oleh ulil
amri untuk menetapkannya, sedangkan para ulama’ fiqih mendefinisikan
sebagai hukuman yang wajib menjadi hak Allah dan Bani Adam pada
10
6
tiap kemaksiatan yang tidak mempunyai putusan tertentu dan tidak pula
kafarahnya.11 Hukuman ta’zir ini jenisnya beragam namun secara garis
besar dapat dibagi. Hukuan takzir yang berkaitan dengan 4 (empat)
kelompo yaitu :12
1. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang seperti
hukuman penjara dan hukuman pengasingan
2. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan,
perampokan harta dan penghancuran barang
3. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan badan seperti hukuman mati
dan hukuman jilid
4. Hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri dan kemaslahatan umum.
Berdasarkan jenis - jenis hukuman ta’zir tersebut di atas, maka
hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pemalsuan surat adalah
hukuman jilid dan hukuman pengasingan. Umar Ibn Al-Khattab terhadap
Mu’an Ibn Zaidah yang memalsukan stempel Bait al-mal. Demikian pula
terhadap tindak pidana pemalsuan Al–qur’an. Khalifah Umar Ibn
Al-Khattab mengasingan Mu’an Ibn Zaidah setelah sebelumnya dikenakan
hukuman ta’zir.13
Contoh lain segaja memakai surat palsu yang terjadi di desa sedati
gedekec. Sedati kab.sidoarjo yang dilakukan oleh terdakwa Tjong Suwun
antara tanggal 13 Oktober 2007 sampai dengan 12 Februari 2008 atau
11
A, Ruway Ar-Ruhaly, Fikih Umar 2, Penerjemahan, Basalamah, cet I. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsan, 1994), 110.
12
A. Rahman i. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (syara), Cet I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 292.
13
7
setidak – tidaknya antara bulan Oktober 2007 sampai dengan Februari
2008 atau pada waktu – waktu tertentu setidak – tidaknya masih dalam
tahun 2007 smpai dengan tahun 2008 bertempat di kantor Dinas Pekerjaan
Umum Bina Marga Propinsi jawa Timur jl. Gayungan Kebonsari No. 167
Surabaya atau setidak – tidaknya disuatu tempat tertentu yang masih
termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Surabaya yang berhak
memeriksa dan mengadili perkara ini, dengan sengaja memakai surat palsu
atau yang di palsukan seoral – olah asli maka kalau mempergunakannya
dapat menimbulkan kerugian.
Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP tentang Tindak Pidana Pemalsuan surat.
Bahwa oleh karena perbuatan terdakwa telah terbukti memenuhi semua
unsur tindak pidana dari pasal yang didakwakan dalam dakwaan dan alat
bukti yang diajukan dipersidangan telah memenuhi syarat dua alat bukti
yang sah seperti ditentukan dalam pasal 183 KUHAP dimana antara alat
bukti yang satu dengan alat bukti lainnya terdapat hubungan yang saling
berkaitan erat, sehingga menimbulkan keyakinan bagi Majelis bahwa
benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwa turut serta melakukan
tindak pidana tersebut. Menyatakan terdakwa TJONG SUWUN telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“SENGAJA MEMAKAI SURAT PALSU ATAU YANG DIPASUKAN
SEOLAH – OLAH ASLI". Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh
8
Berdasarkan contoh kasus yang dipaparkan di atas maka, dapat
ditarik kesimpulan bahwasanya perbuatan memalsukan surat merupakan
perbuatan dusta (bohong), karena pada dasarnya perbuatan tersebut
terdapat perbuatan dusta yakni dengan tidak memberikan surat keterangan
yang sebenarnya atau sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan
seolah - olah sah maka kalau mempergunakannya dapat menimbulkan
kerugian. Didalam al-Quran sejumlah ayat yang melarang dengan tegas
untuk tidak berbuat dusta (al-Kidzb).14 Sebagaimana di dalam firman
Allah surat An-Nahl ayat 116 :
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan Ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.
Asapun surat al-Qur’an tentang perbuatan dusta adalah surat Al-Hajj ayat
30, ditegaskan :
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah. Maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan Telah dihalalkan bagi kamu semua
binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu
14
9
keharamannya, Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.15
Perbuatan - perbuatan yang termasuk dalam kelompok yang
hukumannya dapat dijatuhkan apabila dikehendaki oleh kemaslahatan
umum, tidak bisa ditentukan jenisnya, karena perbuatan tersebut tidak
diharamkan karena zatnya melainkan karena sifatya. Apabila sifat tersebut
ada, maka perbuatannya diharamkan, dan apabila sifat tersebut tidak ada
maka perbuatan mubah. Sifat yang menjadi alasan (Illat) dikenakannya
hukuman atas perbuatan tersebut adalah membahayakan atau merugikan
kepentingan umum, maka perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelaku
dikenakkan hukuman. Akan tetapi, apabila dalam perbuatan tersebut tidak
ada unsur merugikan kepentingan umum maka perbuatan tersebut bukan
jarimah dan pelaku tidak dikenakan hukuman.16
Melihat beberapa permasalahan mengenai pemalsuan surat tersebut
itulah yang menarik perhatian penulis serta menjadi alasan bagi penulis
untuk menulis judul skripsi: “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap
Tindak Pidana Putusan Nomor 244/PID.B/2014/PN.Sby. Di Pengadilan
Negeri Surabaya.
B. Identifikasi
Dari paparan latar belakang di atas dapat diketahui bahwa pokok
yang ingin dikaji adalah :
1. Pengertian tindak pidana pemalsuan surat
15
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 516.
16
10
2. Pengertian tindak pidana pemalsua menurut hukum Islam
3. Sanksi pidana sengaja memakai surat palsu
4. Dasar hukum hakim Pengadilan Negeri Surabaya tentang tindak
pidana sengaja memakai surat palsu.
5. Deskripsi tindak pidana sengaja memakai surat palsu oleh hakim
Pengadilan Negeri Surabaya dalam putusan Nomor
244/PID.B/2014/PN.Sby.
6. Analisis hukum Islam terhadap tindak pidana sengaja memakai surat
palsu dalam putusan Nomor 244/PID.B/2014/PN.Sby, persepektif
fiqih.
Berdasarkan identifikasi di atas, maka ditetapkan batasan masalah
yang perlu dikaji. Studi dibatasi pada masalah yaitu Tindak pidana sengaja
memakai surat palsu dalam putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor
244/ PID.B/2014/PN.Sby, persepektif fiqih jinayah.
C. Batasan Masalah
Masalah tindak pidana sengaja memakai surat palsu masih
memuat suatu masalah yang bersifat umum dan global, sehingga
diperlukan suatu pembatasan masalah dalam pembahasannya. Dan dalam
hal ini batasan masalahnya adalah:
1. Dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan hukuman
terhadap putusan nomor 244/PID.B/2014/Pn.Sby?
2. Analisis hukum Islam terhadap pertimbangan hukum hakim putusan
11
D. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, agar lebih
praktis dan operasional, maka penulis mengambil beberapa rumusan
masalah yang akan dibahas yaitu sebagai berikut:17
1. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan hukuman
terhadap putusan nomor 244/PID.B/2014/Pn.Sby?
2. Analisis hukum Islam terhadap pertimbangan hukum hakim terhadap
putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 244/PID.B/2014/PN.Sby?
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka ujuan penelitian yang
hendak dicapai sejalan dengan pertanyaan – pertanyaan di atas yaitu :
1. Untuk mengetahui sanksi hukuman tindak pidana sengaja memakai
surat palsu terhadap putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor
244/PID.B/2014/PN.Sby.
2. Untuk mengetahui analisis hukum Islam terhadap sanksi hukuman
tindak pidana sengaja memakai surat palsu terhadap putusan
Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 244/PID.B/2014/PN.Sby.
F. Kajian Pustaka
Berkaitan dengan tema tindak pidana pemalusan dokumen pernah
dibahas oleh Mahasiswa Fakultas Syariah yang bernama Eni Farida Akbar
17
12
dengan judul “Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah Oleh Calon Anggota
Legislatif Dalam Perspektif Hukum Pidana Di Indonesia dan Hukum
Pidana Islam (Studi Putusan Di Pengadilan Negeri Surabaya)” pada tahun
2005. Adapun hasil temuan dari skripsi Eni Farida tersebut adalah
kejahatan tidak pidana pemalsuan ijazah oleh calon anggota legistatif,
maka undang – undang yang digunakan adalah Undang – Undang Nomor
12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum pasal 137 ayat (4) dan (7).
Penelitian selanjutnya “Putusan Pengadilan negeri Sidoarjo Nomor
653/Pid.B/2004/PN.Sda tentang tindak pidana pemalsuan surat pernyataan
jual beli tanah ditinjau dari hukum pidana islam” pada tahun 2005.
Adapun temuan dari penelitian ini adalah kejahatan tindak pidana
pemalsuan surat jual beli tanah dengan perkara Nomor
653/Pid.B/2004/PN.Sda, yang melanggar pasal 263 ayat (1) KUHP dengan
dijatuhi hukuman relatif meringankan bagi pelaku, sehingga dengan
putusan hakim yang menjatuhkan putusan 6 (enam) bulan penjara tidak
memberikan efek jera.18
Selanjutnya, penelitian tindak pidana pemalsuan surat dalam
pandangan hukum Islam. Pada skripsi ini, penulis menguraikan masalah
yang diajukan dalam penelitian mengenai definisi pemalsuan dokumen
18 Novvi Dina Mawarti, Skripsi “Putusan Pengadilan negeri Sidoarjo Nomor
13
dan pandangan hukum Islam terhadap sanksi pelaku tindak pidana tersebut
dalam Pengadian Negeri Depok.19
Perbedaan dari beberapa penelitian diatas yaitu, bahwasanya pada
skripsi ini penulis meneliti tentang sanksi hukuman tindak pidana sengaja
memakai surat palsu dan melanggar pasal 263 ayat (2) KUHP. Sedangkan
penelitian pemalsuan ijazah penulis meneliti tentang pengertian pemalsuan
ijazah menurut hukum positif dan hukum Islam dan pemalsuan surat jual
beli tanah dan tindak pidana pemalsuan dokumen dan pandangan hukum
Islam terhadap sanksi bagi pelaku tindak pidana dalam pengadilan Negeri
Depok adalah penulis meneliti tentang pertimbangan hukum hakim dan
melanggar pasal 263 ayat (1) KUHP.
G. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan ada nilai guna pada dua aspek :
1. Aspek kelimuan (teoritis), dapat dijadikan pedoman untuk menyusun
hipotesis penulis berikutnya, bila ada kesamaan dengan masalah ini,
dan memperluas khasanah ilmu pengetahuan tentang tindak pidana
yang berkaitan dengan masalah tindak pidana pemalsuan dokumen.
2. Aspek terapan praktis
a. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pertimbangan dan dapat bermanfaat khususnya bagi penegak
hukum di Indonesia.
19
14
b. Untuk menambah kesadaran mayarakat tentang penegakan sanksi
hukum tindak pidana pemalsuan dokumen, terutama bagi yang
beragama Islam.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan penyuluhan hukum
kepada masyarakat.
H. Definisi Operasional
Judul skripsi ini adalah “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap
Tindak Pidana Putusan Nomor 244/PID.B/2014/PN.Sby. Di Pengadilan
Negeri Surabaya”. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, agar
tidak terjadi kesalahpahaman di dalam memahami maksud ataupun arti
dari judul diatas maka perlu dijelaskan arti sebagaiu berikut :
Hukum pidana Islam adalah syariat Allah yang mengandung
kemaslahatan bagi kegidupan manusia, terutama syariat Allah yang
mengatur tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketertiban
umum,serta tindakan melawan peraturan-peraturan yang yang bersumber
dari al-Quran dan Hadis.
Putusan Pengadilan Negeri Surabaya adalah pernyataan hakim
yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim
dalamsidang terbuka dan untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan
perkara gugatan (kontensius).20
20
15
Kejahatan pemalsuan surat adalah berupa kejahatan yang
didalamnya mengandung unsur keadaan ketidak benaran atau palsu dalam
suatu objek, yang sesuatu tampak dari luar yang seolah – olah benar
adanya, padahal sebenarnya bertentangan dengan kebenarannya. Perbuatan
ini dapat berupa penghapusan kalimat, angka, kata dan dapat berupa
penambahan satu kalimat.21
I. Metode Penelitian
Metode Penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam
penelitian skripsi ini, karena metode penelitian dapat menentukan
langkah-langkah dari suatu penulisan. Adapun metode penelitian yang dipakai
sebagai dasar penulisa ini sebagai berikut :
1. Data yang diperoleh
a. Data yang ada kaitannya dengan tindak pidana pemalsuan surat
b. Data yang ada kaitannya dengan hukum pidana Islam tentang tindak
pidana pemalsuan surat
c. Data yang diambil dari putusa Pengadilan Negeri Surabaya Nomor
244/PID.B/2014/PN.Sby
2. Jenis data dan sumber
Data adalah hasil pencatatan penelitian baik berupa fakta dan
data yang diperoleh baik dari sumber sekunder maupun sumber primer.
Data-data yang dikumpulkan dalam penulisan skripsi ini adalah data
21
16
Kualitatif. Data kualitatif adalah penelitian yang data umumnya dalam
bentuk narasi atau gambar-gambar.
Untuk mendukung tercapainya data penelitian di atas, sumber
data merupakan bagian dari skripsi yang akan menentukan keontetikan
skripsi, berkenaan dengan skripsi ini sumber data yang dihimpun dari :
a. Sumber Primer
Dokumentasi pada tingkat pertama dalam acara biasa Putusan
Pengadilan Negeri Surabay Nomor 244/PID.B/2014/PN.Sby.
tentang tindak pidana sengaja memakai surat palsu yang lakukan
oleh terdakwa TJONG SUWUN dan dikenakkan pasal 263 ayat (2)
KUHP dengan menjatuhkan hukuman penjara 5 (lima) bulan.22
b. Sumber Sekunder
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang berupa kitab
– kitab atau bahan bacaan lain yang memiliki keterkaitan dengan
bahan skripsi, misalnya :
1) Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannaya
2) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia
3) Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual karangan
Abd. Wahid dan Muhammad Irfan
4) Kejahatan Mengenai Pemalsuan karangan Adami Chazawi
22
17
5) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan KUHAP karangan
Dr. Andi Hamzah,SH
6) Fiqh Jinayah karangan A. Djazuli
7) Fiqh Sunnah, jilid 10, karangan Sayyid Sabiq
8) Asas-Asas Hukum Pidana, karangan Moeljatno
9) Fikih Umar 2 Penerjemahan, Basalamah karangan A, Ruway
Ar-Ruhaly
10)Asas-Asas Hukum Pidana Islam karangan Ahmad Hanafi
11)Shahih Sunan Tirmidzi Muhammad Nashiruddin Al-Albani
12)Azas – Azas hukum Pidana di Indonsia, wirjono Prodjodikoro
13)At-Tasyri’ Al-Jindi Al-Islami, Abdul Qadir Audah
14)Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (syara) karangan A.
Rahman
15)Menggagas Hukum pidana Islam, Topo Santoso
3. Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian dikumpulkan dengan teknik pengumpulan
Dokumentasi yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan
menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen
tertulis maupun elektronik.23
4. Teknik Pengolahan Data
23
18
Setelah seluruh data terkumpul kemudian dianalisis dengan
tahapan – tahapan sebagai berikut :
a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap semua data yang telah
diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kevalidan, kejelasan
makna, keselarasan dan kesesuaian antara data primer dan
sekunder tentang pemalsuan dokumen dalam putusan
No.244/PID.B/2014/PN.Sby. Persepektif fiqih jinaya.
b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematiskan data – data
yang telah diperoleh tentang tindak pidana sengaja memakai surat
palsu dalam putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor
244/PID.B/2014/PN.Sby.
c. Analyzing, yaitu tahapan analisis terhadap data, mengenai hukuman
Tindak pidana sengaja memakai surat palsu dalam putusan
Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 244/PID.B/2014/PN.Sby.
Persepektif fiqih jinayah. 24
J. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan masalah – masalah dalam
penulisan skripsi ini dan agar dipahami permasalahannya seara sistematis,
maka pemabahasannya disusun dalam bab – bab yang masing – masing
bab mengandung sub bab, sehingga tergambar keterkaitan yang sistematis.
Berikut ini akan penulis gambarkan mengenai sistematika
pembahasannyayang terdiri :
24
19
Bab I : Pendahuluan, bab ini merupakan gambaran tentang skripsi, yang
berisi tentang latar belakang masalah, identifikasi dan batasan
masala, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian,
kegunaan hasil penelitian, kajian pustaka, definisi operasional,
metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II : Bab ini membahas tentang hukuman ta’zir, secara umum
menurut fiqih jinayah mulai dari apa yang dimaksud tindak
pidana pemalsuan, sanksi apa yang harus diterapkan dalam
tindak pidana pemalsuan, dasar apa yang harus digunakan dalam
putusan tindak pidana pemalsuan.
Bab III : Memuat tentang penyelesaian atau penetapan tindak pidana
pemalsuan di Pengadilan Negeri Surabaya. Bab ini menjelaskan
tentang deskripsi putusan Pengadian Negeri Surabaya Nomor
244/PID.B/2014/PN.Sby, dasar hukum pertimbangan hukum
hakim Pengadilan Negeri Surabaya, yang mengabulkan
hukuman tindak pidana pemalsuan dalam putusan Nomor
244/PID.B/2014/PN.Sby.
Bab IV : Memuat fiqih jinayah tentang hukuman tindak pidana sengaja
memakai surat palsu putusan Pengadilan Negeri Surabaya
Nomor 244/PID.B/2014/PN.Sby. Bab ini mengemukakan
analisis terhadap dasar pertimbangan hukum hakim Pengadilan
Negeri Surabaya tindak pidana pemalsuan putusan Nomor
20
pidana pemalsuan Pegadila Negeri Surabaya putusa Nomor
244/PID.B/2014/PN.Sby.
Bab V : Penutup. Bab ini mengemukakan kesimpulan dari semua
jawaban atas semua permasalahan yang dibahas dalam skripsi
ini, sedangkan saran dikemukakan untuk memberi masukan
kepada pengadilan negeri Surabaya dan lembaga penegak
hukum yang terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam
21
BAB II
TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT MENURUT HUKUM
POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Definisi Tindak Pidana Pemalsuan Surat
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, di
dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat
penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu
sendiri. Terjemahan atas istilah strafbaar feit ke dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan dengan berbagai istilah misalnya tindak pidana, delik,
peristiwa pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan pidana, dan
sebagainya.
Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap
kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri
sendiri atau orang lain. Suatu pergaulan hidup yang teratur dalam masyarakat
yang maju dan teratur tidak dapat berlangsung lama tanpa adanya jaminan
kebenaran atas beberapa bukti surat dan dokumen-dokumen lainnya.
Karenanya perbuatan pemalsuan merupakan ancaman bagi kelangsungan
hidup dari masyarakat tersebut.
Menurut Adam Chazawi mengemukakan bahwa : Pemalsuan adalah
berupa kejahatan yang didalamnya mengandung unsur keadaan
22
dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan
dengan yang sebenarnya.25
Menurut Topo Santoso mengemukakan bahwa : Suatu perbuatan
pemalsuan dapat dihukum apabila terjadi perkosaan terhadap jaminan atau
kepercayaan dalam hal mana :
1. Pelaku mempunyai niat atau maksud untuk mempergunakan sesuatu
barang yang tidak benar dengan menggambarkan keadaan barang yang
tidak benar itu seolah – olah benar atau mempergunakan sesuatu barang
yang tidak asli seolah – olah asli, hingga orang lain percaya bahwa barang
tersebut adalah benar dan asli dan karenanya orang lain terperdaya.
2. Unsur niat atau maksud tidak perlu mengikuti unsur menguntungkan diri
sendiri atau orang lain (sebaliknya dari berbagai jenis perbuatan penipuan).
3. Tetapi perbuatan tersebut harus menimbulkan suatu bahaya umum yang
khusus dalam pemalsuan tulisan atau surat dan sebagainya dirumuskan
dengan mensyaratkan “kemungkinan kerugian” dihubungkan dengan sifat
daripada tulisan atau surat tersebut.
Surat adalah segala macam tulisan, baik yang ditulis dengan tangan,
maupun diketik atau dicetak dengan menggunakan arti (makna). Meskipun
KUHP tidak memberikan definisi secara jelas tentang apa yang dimaksud
dengan surat, tetapi dengan memperhatikan rumusan Pasal 263 (1) KUHP,
mka dapatlah diketahui pengertian surat.
25
23
Adapun rumusan Pasal 263 (1) KUHP sebagai berikut : Barang
membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan suatu
hak, suatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang
boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan
maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan
surat-surat itu seolah-olah surat-surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau
mempergunakannya dapat mendatangkan suatu kerugian dihukum karena
pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun”.26
Pemalsuan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang mempunyai
tujuan untuk meniru, menciptakan suatu benda yang sifatnya tidak asli lagi
atau membuat suatu benda kehilangan keabsahannya. Sama halnya dengan
membuat surat palsu, pemalsuan surat dapat terjadi terhadap sebagian atau
seluruh isi surat, juga pada tanda tangan pada si pembuat surat.
B. Pemalsuan Surat Menurut Hukum Pidana Islam
Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah.
Fikih jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau
perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang
dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil - dalil
hukum yang terperinci dari Al-Qur’an dan Hadist. Tindakan kriminal
dimaksud, adalah tindakan – tindakan kejahatan yang mengganggu umum
serta tindakan melawan peraturan perundang – undangan yang bersumber dari
26
24
Al-Hadist. Hukum pidana Islam merupakan Syari’at Allah yang mengandung
kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat.27
Dalam hukum Islam ada dua istilah yang kerap digunakan untuk
tindak pidana, yaitu jinayah dan jarimah. Dapat dikatakan bahwa kata
jinayah yang digunakan para fuqaha’ adalah sama dengan yang diartikan
istilah jarimah. Definisi jinayah didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis
antara lain dipaparkan di bawah ini:
a. Abdul Qodir’ Audah memberikan definisi jinayah sebagai berikut :
َسَتْكِإاَم ِرَش ْنِم ُءْرَمْلا ِْيِْجَياَمِل ُمْسِا ًةَغُل ُةَياَِجْلَا
ٌءاَوَس اًعْرَش ٌمَرَحُم ٌمْسِإ اًح ََِط ْصِاَو .َُب
. َكِلَذ ُرْ يَغ ْوَا ٍلاَمْوَا ٍسْفَ ن َلَع ُلْعِفلا َعَق َو
“Jinayah menurut bahasa merupakan nama bagi suatu perbuatan jelek
seseorang. Adapun menurut istilah adalah nama bagi suatu perbuatan yang diharamkan syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta
benda, maupun selain jiwa dan harta benda”.28
b. Sedangkan Imam Mawardi mengatakan istilah jarimah adalah :
.ِرْيِزْعَ ت ْوَا ًدَهِب اَهْ َع ُهاَرَجَز ٌةَيِعْرَش ٌتَراْوُظْحَم
Segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan yang diancam dengan hukumanhad atau ta’zir).29
Larangan-larangan itu adakalanya berupa mengerjakan perbuatan
yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintah. Dengan kata
lain, melakukan atau tidak melakukan. Suatu perbuatan yang membawa
kepada hukuman yang ditentukan oleh syariat adalah kejahatan. Definisi
tersebut mengandung arti bahwa tiada suatu perbuatan baik secara aktif
27
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam. ( Jakarta : Sinar grafika, 2007), 1.
28
Hakim Rahmad, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). (Bandung : Pustaka Setia, 2000), 12.
29
25
maupun pasif dihitung sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran, kecuali
hukuman yang khusus untuk perbuatan atau tidak berbuat itu telah ditentukan
dalam syariat.30 Dari definisi diatas tidak ada hukum khusus bagi pelaku
tindak pidana pemalsuan surat, akan tetapi tindak pidana tersebut dikenakan
hukuman ta’zir seperti yang dilakukan oleh khalifah Umar Ibn Khattab
terhadap Mu’an Ibn Zaidah yang memalsukan stempel Baital al – Maal.
Demikian pula dengan tindak pidana pemalsuan Al – Qur’an, umar Ibn al –
Khattab mengasingksan Mu’an Ibn Zaidah setelah sebelumnya dikenakan
hukuman ta’zir.
C. Pengertian Jarimah Ta’zir
Jarimah Ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman
Ta’zir. Pengertian Ta’zir berasal dari kata
َ رِزْعَ ي
َ
-
َ
ََرَزَع
yang secaraetimologis berarti
َ عْنَمْلاَودرلا
,
yaitu menolak dan mencegah. Akan tetapimenurut istilah, Imam Al Mawardi sebagaimana dikutip oleh M.Nurul
Irfan menjelaskan bahwa ta’zir adalah hukuman bagi tindak pidana yang
belum ditentukan hukumannya oleh shara’ yang bersifat mendidik.31
Maksud dari “mendidik” disini adalah untuk mencegah terjadinya maksiat
pada masa yang akan datang.32
Secara ringkas dikatakan bahwa hukuman ta’zir adalah hukuman
yang belum ditetapkan oleh shara’, melainkan diserahkan kepada ulil amri,
30
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam-Penegakan Syariat Islam Dalam Wacana dan Agenda. (Jakarta : Gema Insani, 2003), 20.
31
M.Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), 136.
32
26
baik penentuan maupun pelaksanaanya. Dalam penentuan hukuman
tersebut, penguasa hanya menetapkan hukumannya secara global saja.
Artinya pembuat undang – undang tidak menetapkan hukuman untuk
masing – masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan sejumlah
hukuman, dari yang seringan – ringannya hingga yang seberat –
beratnya.33
Hakim diperkenankan untuk mempertimbangkan baik untuk bentuk
hukuman yang akan dikenakan maupun kadarnya. Bentuk hukuman
dengan kebijaksanaan ini diberikan dengan pertimbangan khusus tentang
berbagai faktor yang mempengaruhi perubahan sosial dalam peradaban
manusia dan bervariasi berdasarkan pada keanekaragaman metode yang
dipergunakan pengadilan ataupun jenis tindak pidana yang dapat
ditunjukan dalam undang – undang.34
Syara’ tidak menentukan macam – macam hukuman untuk setiap
jarimah ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang
paling ringan hingga paling berat. Hakim diberi kebebasan untuk memilih
hukuman mana yang sesuai. Dengan demikian sanksi ta’zir tidak
mempunyai batas tertentu.35
Tidak adanya ketentuan mengenai macam-macam hukuman dari
jarimah ta’zir dikarenakan jarimah ini berkaitan dengan perkembangan
masyarakat dan kemaslahatannya, dan kemaslahatan tersebut selalu
33
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam ( Fikih Jinayah), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 19.
34 Abdur Rahman I Doi,Tindak Pidana Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 14. 35
27
berubah dan berkembang. Sesuatu dapat dianggap maslahat pada suatu
waktu, belum tentu dianggap maslahat pula pada waktu yang lain.
Demikian pula sesuatu dianggap maslahat pada suatu tempat, belum tentu
dianggap maslahat pula pada tempat lain.36 Penerapan hukuman ta’zir
berbeda-beda, baik status pelaku, maupun hal lainnya. Terkait teknis
pelaksanaan hukuman ta’zir terdapat hadith berikut:
ْنَع
َةَشِئاَع
َيِضَر
َُللا
اَهْ َع
ْتَلاَق
َلاَق
ُلْوُسَر
ا
َِلل
ىَلَص
َُللا
ِْيَلَع
َمَلَسَو
اوُلْ يِقَأ
يِوَذ
ِتاَئْيَهْلا
اَرَ ثَع
ْمِهِت
َِّإ
َدْوُدُحْلا
.
Dari Aisyah ra. Bahwa Nabi Saw bersabda, “Ringankanlah
hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah hudud. (HR. Ahmad).37
Pemberian kekuasaan dalam menentukan bentuk jarimah ini kepada
penguasa agar mereka merasa leluasa mengatur pemerintahan sesuai
dengan kondisi dan situasi wilayahnya, serta kemaslahatan daerahnya
masing-masing. 38
Maksud dari dilakukannya ta’zir adalah agar si pelaku mau
menghentikan kejahatannya dan hukum Allah tidak dilanggarnya.
Pelaksanaan hukuman ta’zir bagi imam sama dengan pelaksanaan sanksi
hudud. Adapun orangtua terhadap anaknya, suami terhadap istrinya,
36
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2013), 75
37
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 3, terjemahan Nor Hasanuddin, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), 493
38
28
majikan terhadap budaknya, hanya sebatas pada sanksi ta’zir, tidak sampai
pada sanksi hudud.39
D. Dasar Hukum disyariatkannya Hukuman Ta’zir
Al-Qur’an dan al-Hadith tidak menjelaskan secara terperinci baik
dari segi bentuk jarimah maupun bentuk hukumannya. Dasar hukum
disyariatkannya sanksi bagi pelaku jarimah ta’zir menggunakan kaidah
sebagai berikut:
ْةَحَلْصَمْلا َعَم ُرْوُدَي ُرْ يِزْعَ تلَا
Hukum Ta’zir berlaku sesuai dengan tuntutan kemaslahatan.40Maksud dari penjelasan tersebut adalah hukum ta’zir didasarkan
pada pertimbangan kemaslahatan dengan tetap mengacu kepada prinsip
keadilan dalam masyarakat.
Dasar hukum disyariatkannya hukuman ta’zir terdapat pada
beberapa hadith Nabi dan tindakan sahabat. Adapun hadith yang dijadikan
dasar adanya jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:
ْنَع
ِزْهَ ب
ِنْب
ٍميِكَح
ْنَع
ِيِبَأ
ْنَع
ِِدَج
,
َنَأ
َيِبَلا
ىَلَص
َُللا
ِْيَلَع
َمَلَسَو
َسَبَح
ًَُجَر
يِف
ٍةَمْهُ ت
.
Dari Bahz Ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw menahan seseorang karena disangka melakukan kesalahan. (HR. al-Tirmizi)41
Hadith tersebut menjelaskan tentang tindakan Rasulullah yang
menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan
39
Ibid, 147.
40
Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah: Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 49.
41
29
untuk memudahkan boleh lebih dari sepuluh kali cambukan. Untuk
membedakan dengan jarimah hudud, dengan batas hukuman ini maka
dapat diketahui mana jarimah hudud dan mana yang termasuk jarimah
ta’zir karena jarimah hudud dalam segi hukuman telah ditentukan secara
jelas baik jenis jarimah maupun sanksinya, sedangkan jarimah ta’zir
adalah jarimah yang hukumannya belum ditentukan oleh shara’ dan
diserahkan kepada ulil amri untuk menetapkannya.42
Sanksi jarimah ta’zir secara penuh terletak pada wewenang
penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Pertimbangan paling
utama adalah tentang akhlak. Misalnya saja pelanggaran terhadap lalu
lintas, dan pelanggaran lain yang sanksi hukumnya tidak ditetapkan oleh
nas. Dalam menetapkan sanksi hukuman terhadap jarimah ta’zir, acuan
utama penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi
segenap anggota masyarakat dari segala hal yang membahayakan.
Di samping itu penegakan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip shar’i
(nas).43
E. Pembagian Jarimah Ta’zir
Berikut adalah wilayah pembagian Jarimah Ta’zir:
1. Jarimah Hudud atau Qisas dan Diyat yang terdapat shubhat, dialihkan
ke sanksi ta’zir, seperti:
a. Orangtua yang mencuri harta anaknya. Dalilnya, yaitu:
42
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit TERAS), 182-183.
43
30
ْنَع
ِرِباَج
ِنْب
ِدْبَع
َِللا
َنَأ
ًَُجَر
َلاَق
اَي
َلوُسَر
َِللا
َنِإ
يِل
ًّاَم
اًدَلَوَو
َنِإَو
يِبَأ
ُديِرُي
ْنَأ
َحاَتْجَي
يِلاَم
َلاَقَ ف
َتْنَأ
َكُلاَمَو
َكيِبَِِ
Dari Jabir bin Abdullah berkata, "Seseorang lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, aku mempunyai harta dan anak, sementara ayahku juga membutuhkan hartaku." Maka beliau bersabda: "Engkau dan hartamu milik ayahmu." (HR. Ibnu Majah)44
b. Orangtua yang membunuh anaknya. Dalilnya, yaitu:
ْنَع
ٍدِاَجُم
َلاَق
َفَذَح
ٌلُجَر
اًْ با
َُل
ٍفْيَسِب
َُلَ تَقَ ف
َعِفُرَ ف
ىَلِإ
َرَمُع
َلاَقَ ف
َّْوَل
يِنَأ
َس
ُتْعِم
َلوُسَر
َِللا
ىَلَص
َُللا
ِْيَلَع
َمَلَسَو
ُلوُقَ ي
َّ
ُداَقُ ي
ُدِلاَوْلا
ْنِم
ِِدَلَو
َكُتْلَ تَقَل
َلْبَ ق
ْنَأ
َحَرْ بَ ت
Dari Mujahid dia berkata, seorang lelaki menebas anaknya dengan pedang sehingga membunuhnya, kemudian perihal tersebut diangkat kepada Umar, maka Umar berkata, seandainya aku tidak mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda: "Seorang bapak tidak diqishash karena membunuh anaknya "Niscaya aku akan membunuhmu sebelum kamu bermalam." (HR. Ahmad)45
Ada dua Hadith yang menggambarkan bahwa jarimah
Hudud, Qisas dan Diyat dialihkan kepada sanksi ta’zir. Hadist
pertama menjelaskan tentang seseorang yang mencuri sesuatu yang
dia miliki bersama orang lain, maka hukuman hudud bagi
pencurian menjadi tidak valid, karena dalam kasus tersebut
persangkaan tentang hak ayah terhadap hak milik anaknya muncul,
berdasarkan hadith di atas.46 Sedangkan Hadith kedua melarang
pelaksanaan Qisas terhadap seorang ayah yang membunuh
anaknya. Dengan adanya kedua hadith ini menimbulkan shubhat
44
Lidwa Pustaka Software Kitab 9 Imam Hadith, Kitab Ibnu Majah, bab Hak Lelaki Atas Anak dan Hartanya, Hadith No.2282
45
Lidwa Pustaka Software Kitab 9 Imam Hadith, Kitab Musnad Ahmad, Hadith No.94
46
31
bagi pelaksanaan qisas dan had.47 Jarimah hudud atau qisas dan
diyat yang tidak memenuhi syarat akan dijatuhi sanksi ta’zir.
Misalnya percobaan pembunuhan, percobaan pencurian dan
percobaan zina.
2. Jarimah yang ditentukan al-Qur’an dan al-Hadith, namun tidak
ditentukan sanksinya. Seperti penghinaan, tidak melaksanakan
amanah, saksi palsu, riba, suap, dan pembalakan liar.
3. Jarimah yang ditentukan ulil amri untuk kemaslahatan umat, seperti
penipuan, pencopetan, pornografi dan pornoaksi, penyelundupan dan
money laundry.
Jarimah ta’zir apabila dilihat dari hak yang dilanggar dibagi menjadi
dua48:
1. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah, yaitu semua perbuatan
yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Misalnya, berbuat
kerusakan di muka bumi, pencurian yang tidak memenuhi syarat baik
itu formil, materil dan moril, mencium wanita yang bukan
muhrimnya, penimbunan bahan-bahan pokok, dan penyelundupan.
2. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak perorangan (individu), yang
setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian pada orang tertentu,
bukan orang banyak. Contohnya pada penghinaan, penipuan, dan
melanggar hak privasi milik orang lain (memasuki rumah orang lain
tanpa izin).
47
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah..., 144.
48
32
F. Macam-Macam Sanksi Hukuman Ta’zir
Ada beberapa macam sanksi hukuman pada Jarimah Ta’zir, antara
lain49:
1. Hukuman Ta’zir yang berkaitan dengan badan.
Hukuman Ta’zir yang berkaitan dengan badan terdapat dua jenis,
yakni hukuman mati dan jilid.
a. Hukuman Mati.
Hukuman mati umumnya diterapkan sebagai hukuman qisas
untuk pembunuhan sengaja, dan sebagai hukuman had untuk jarimah
hirabah, zina muhsan, riddah, dan jarimah pemberontakan, untuk
jarimah ta’zir, tentang hukuman mati sendiri ada beberapa pendapat
dari para fuqaha.50
Mazhab Hanafi membolehkan sanksi ta’zir dengan hukuman
mati tetapi dengan syarat bila perbuatan itu dilakukan secara
berulang-ulang. Contohnya adalah berulang-ulang mencuri setelah
dijatuhi hukuman dan menghina Nabi Saw. bila dilakukan oleh
kelompok non-muslim meskipun setelah itu ia masuk islam. Di
samping syarat berulang-ulang juga ada syarat lain, yaitu bila
hukuman mati itu akan membawa kemaslahatan bagi masyarakat.
Mazhab Maliki juga membolehkan hukuman mati sebagai
sanksi ta’zir yang tertinggi. Mereka memberi contoh sanksi bagi
49
Ibid, 147-148.
50
33
spionase dan orang yang melakukan kerusakan di muka bumi.
Demikian juga mazhab Shafi’i, sebagian mazhab Shafi’iyah
membolehkan hukuman mati, seperti dalam kasus homoseks.51
Sebagian ulama Hanabilah juga membolehkan penjatuhan
hukuman mati sebagai sanksi ta’zir tertinggi. Mereka memberi
contoh sanksi terhadap orang-orang yang melakukan kerusakan di
muka bumi.
b. Hukuman Jilid
Hukuman jilid dalam jarimah hudud, baik zina maupun
tuduhan zina dan sebagainya telah disepakati oleh para ulama.
Adapun hukuman jilid pada pidana ta’zir juga berdasarkan
al-Qur’an dan Hadith dan Ijma’. Dalam al-Qur’an misalnya adalah
pada surat an-Nisa’ ayat 34:
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari – cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.52
Meskipun pada ayat diatas ta’zir tidak dijatuhkan oleh ulil
amri, melainkan oleh suami. Adapun hadith yang menunjukkan
51
A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2000), 192-193.
52
34
bolehnya ta’zir dengan jilid adalah hadith Abu Burdah yang
mendengar langsung bahwa Nabi Saw. berkata :
َثَدَح ُاَبَأ َنَأ ٍرِباَج ُنْب ِنَمْحَرلا ُدْبَع يَِثَدَح
َلاَق َيِراَصْنَِْا َةَدْرُ ب اَبَأ َعِمَس َُنَأ ُ
َمَلَسَو ِْيَلَع َُللا ىَلَص َيِبَلا ُتْعِمَس
ُلوُقَ ي
“
َِّإ ٍطاَوْسَأ ِةَرْشَع َقْوَ ف اوُدِلْجَت َّ
َِللا ِدوُدُح ْنِم ٍدَح يِف
”
Kemudian Sulaiman bin Yasar menghadap ke kami dan berkata; Abdurrahman bin Jabir telah menceritakan kepadaku; bahwa bapaknya telah menceritakan kepadanya, bahwasanya dia telah mendengar Abu Burdah Al Anshari berkata; aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian menjilid diatas sepuluh cambukan, kecuali dalam salah satu hukuman had Allah." (HR. Bukhari)53
Para Khulafa al-Rashidin dan para khalifah setelah mereka
menerapkan jilid sebagai sanksi ta’zir. Menurut para ulama,
contoh-contoh maksiat yang dikenai sanksi ta’zir jilid adalah percobaan
perzinaan, pencurian yang tidak mencapai nis}ab, jarimah-jarimah
yang diancam dengan had namun terdapat shubhat.54
2. Hukuman Ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang.
Sanksi Hukuman Ta’zir jenis ini ada dua macam yaitu penjara dan
hukuman buang/pengasingan.
a. Hukum Penjara.
Menurut bahasa al-Habsu itu menahan. Menurut Ibnu Qayyim
sebagaimana dikutip oleh A.Djazuli, al-Habsu adalah menahan
seseorang untuk tidak melakukan perbuatan hukum, baik tahanan itu
di rumah, di mesjid, maupun di tempat lain. Seperti itulah yang
53
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 3, terjemahan Nor Hasanuddin..., 492.
54
35
dimaksud dengan al-Habsu di masa Nabi dan Abu Bakar. Akan
tetapi, setelah umat islam berkembang dan meluas pada masa Umar,
maka Umar membeli rumah Syafwan bin Umayyah untuk dijadikan
sebagai penjara.55
Atas dasar tindakan umar tersebutlah para ulama
membolehkan Ulil Amri untuk membuat penjara. Selain tindakan
Umar, para ulama mendasarkan kebolehannya kepada tindakan Ali
yang memenjarakan Abdullah bin Zubai di Mekkah serta sunnah
Rasulullah, yakni beliau menahan seseorang yang tertuduh (untuk
menunggu proses persidangan) sebagaimana yang sudah diterangkan
dalam hadith:
ْنَع
ِزْهَ ب
ِنْب
ٍميِكَح
ْنَع
ِيِبَأ
ْنَع
ِِدَج
,
َنَأ
َيِبَلا
ىَلَص
َُللا
ِْيَلَع
َمَلَسَو
َسَبَح
ًَُجَر
يِف
ٍةَمْهُ ت
.
Dari Bahz Ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw menahan seseorang karena disangka melakukan kesalahan. (HR. al-Tirmizi)56
Dalam syari’at islam sendiri, hukuman penjara dibagi menjadi
dua yaitu penjara terbatas dan penjara tidak terbatas.
Hukuman penjara terbatas adalah hukuman penjara yang lama
waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini
diterapkan pada jarimah penghinaan, penjual khamr, pemakai riba
dan saksi palsu. Adapun lama hukuman penjara tidak ada
55
Ibid, 204.
56
36
kesepakatan diantara para ulama’, melainkan menjadi wewenang
hakim, tergantung jenis jarimah dan pelakunya.57
Hukuman penjara tidak terbatas adalah hukuman penjara yang
tidak dibatasi waktunya, melainkan berlangsung terus hingga pelaku
yang terhukum mati, atau setidaknya hingga dia bertaubat. Dalam
istilah lain dikenal juga dengan hukuman penjara seumur hidup.
Hukuman penjara tidak terbatas ditujukan kepada pelaku tindak
pidana yang sangat berbahaya misalnya pada orang yang dituduh
membunuh dan mencuri.58
b. Hukum Buang/Pengasingan.
Dasar hukuman buang terdapat pada Firman Allah QS.
Al-Ma’idah ayat 33:
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di
57
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia..., 203.
58
37
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS al-Maidah: 33)59
Meskipun ketentuan hukuman buang dalam ayat tersebut di
atas diancamkan kepada pelaku jarimah hudud, tetapi para ulama
menerapkan hukuman buang ini dalam jarimah ta’zir juga. Antara
lain disebutkan orang yang memalsukan al-Quran dan memalsukan
stempel baitul mal, meskipun hukuman buang kasus kedua ini
sebagai hukuman tambahan, sedangkan hukuman pokoknya adalah
jilid. Tampaknya hukuman buang ini dijatuhkan kepada
pelaku-pelaku jarimah yang dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain,
sehingga pelakunya harus dibuang untuk menghindarkan
pengaruh-pengaruh tersebut.60
Adapun mengenai tempat pengasingan, fuqaha berpendapat
sebagai berikut61:
1) Menurut Imam Malik bin Anas, pengasingan artinya membuang
(menjauhkan) pelaku dari negara Islam ke negara non Islam.
2) Menurut Umar bin Abdul Aziz dan Said bin Jubayyir,
pengasingan artinya dibuang dari satu kota ke kota lain.
3) Menurut Imam al-Syafi’i, jarak antara kota asal dan kota
pengasingan sama seperti perjalanan s}alat qas}ar. Sebab,
apabila pelaku diasingkan di daerah sendiri, pengasingan itu
untuk menjauhkannya dari keluarga dan tempat tinggal.
59 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...,
164.
60
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah..., 156.
61
38
4) Menurut Imam Abu Hanifah, dan satu pendapat dari Imam
Malik, pengasingan berarti dipenjarakan.
Berbeda dari pendapat diatas, Umar mengasingkan pelaku dari
Madinah ke Syam, Utsman mengasingkan pelaku dari Madinah ke
Mesir, dan Ali mengasingkan pelaku dari Madinah ke Bas}rah. Apa
yang dilakukan sahabat ini menunjukkan pengasingan itu masih di
negara muslim.
Adapun lama pembuangan menurut Imam Abu Hanifah adalah
satu tahun, menurut Imam Malik bisa lebih dari satu tahun, menurut
sebagian Syafi’iyah dan Hanabilah tidak boleh melebihi satu tahun
dan menurut sebagian Syafi’iyah dan Hanabilah yang lain
membolehkan lebih dari satu tahun apabila hukum buang itu sebagai
sanksi hukum terhadap jarimah ta’zir.Maksud hukuman buang ini
adalah untuk memberikan pelajaran bagi terdakwa pelaku jarimah
dan sudah tentu ditetapkan sehubungan dengan kejahatan-kejahatan
yang sangat membahayakan dan dapat mempengaruhi anggota
masyarakat yang lain. 62
62
39
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN SURABAYA NOMOR
244/PID.B/2014/PN.Sby TENTANG KEJAHATAN SENGAJA
MEMAKAI SURAT PALSU
A. Deskripsi Terjadinya Tindak Pidana Sengaja Memakai Surat Palsu
Bahwa trdakwa TJONG SUWUN antara tanggal 13 Oktober 2007
sampai dengan 12 Februari 2008 atau setidak – tidaknya antara bulan Oktober
2007 sampai dengan bulan Februari 2008 atau padawaktu – waktu teretntu
setidak – tidaknya msih dalam tahun 2007 sampai dengan tahun 2008
bertempat dikantor dinas Peketjaan Umum Bina Marga Propinsi Jawa Timuyr
jl. Gayung Kebonsari No. 167 Surabaya atau setidak – tidaknya di suatu
tempat tentenru yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri
Surabaya yang berhak memeriksa dan mengadili perkarain, dengan sengaja
memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah – olah asli maka kalau
mempergunakaanya dapat menimbulkan kerugian, perbuatan mana dilakukan
dengan cara – cara sebagai berikut :
1. Bahwasanya pada tanggal 13 Oktober 2007 terdakwa TJONG SUWUN
memberikan kuasanya kepada YAPI KUSUMA untuk
meminta/membuat/minta dibuatkan keterangan dan laporan di kantor –
40
sedati/Badan Pertanahan Nasional Kab. Sidoarjo dan Tingkat I Jawa
Timur, PU Bina Marga Tk. I Jatim/Kepolisian/Notaris PPAT serta
Pengadilan Negeri Sidoarjo dan Surabaya terkait dengan pembelian 1
(satu) bidang tanah sawah seluas 3.140 m2 di desa Sedati Gede Kec.
Sedati Kab. Sidoarjo, SHM No. 211 tertulis atas nama SALMAN
HAROEN sebagaimana Surat Kuasa tanggal 13 Oktober 2007 dengan
dilampirkan kwitansi pembelian tanggal 27 Juni 2005 sebesar Rp.
314.000.000,-, ikatan jual beli dan kuasa No. 03 dan 04 tanggal 30
Agustus 2006 yang dibuat oleh Notaris PANGGODOA, SH yang
selanjutnya Surat Kuasa tanggal 13 Oktober 2007 dan Akte Pengikat Jual
Beli No. 03 dan Surat Kuasa Menjual No. 04 yang dibuat oleh Notaris
PANGGODO, SH tersebutpada tanggal 12 Februari dipergunakan oleh
YAPI KUSUMA untuk mengambil sertifikat Hak Milik No. 211 atas nama
SALMAN HAROEN dikantor Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga
Proponsi Jawa Timur jl. Gayung Kebonsari No. 167 Surabaya dan
berdasarkan dokumen tersebut Pihak Pekerjaan Umum Bina Marga
Propinsi Jawa Timur yang dalam hal ini adalah asisten umum yang dijabat
o;eh ZAENALN FATAH (alamarhum) dengan di bantu stafnyabernama
KRISWAHYUDIN (almarhum) menyerahkan asli SHM No. 211 atas
nama SALMAN HAROEN tersebut kepada YAPI KUSUMA.
2. Bahwa Akte Pengikat Jual Beli No.03 dan Surat Kuasa Menjual No. 04
yang dinuat Notaris PANGGODO, SH digunakan oleh YAPI KUSUMA
41
untuk mengambil Sertifikat Hak Milik No. 211 atas nama SALMAN
HAROEN di kantor Dinas Pekerjaan Umum Bina MargaPropinsi jawa
Timur tersebut palsu karena Notaris PANGGODO, SH tidakpernah
membuat (mengeluarkan) maupun menandatangani Akte Jual Bli No. 03
dan Surat Kuasa Menjual No. 04Tahun 2006 dan tidak tercatat dalam buku
register kenotarisan (buku buku reportorio) Notaris PANGGODO,
Shpadahal baikterdakwa maupun SALMAN HAROEN tidak pernah
datang ke Notaris PANGGODO, SH untuk menandatangani Akter
tersebut, SALMAN HAROEN menjual aebidang tanah seluas 3.140 m2
sesuai dengan Sertifikat Hak Milik No. 211 tersebut kepada BUDI
KURNIAWAN sesuai Akte Jual Beli No. 33/2007 yang dibuat oleh Camat
Sedati (Drs. M. MORO SETYO YONO, MM) selaku Oejabat Pembuat
Akte Tanah sehingga tanah tersebut adalah menjadi hak milik dari BUDI
KURNIAWAN.
3. Bahwa karena perbuatan terdakwamenggunakan surat palsu
tersebutakhirnya menimbulkankerugian terhadap BUDI KURNIAWAN
dan SALMAN HAROEN sebesar sekitar Rp. 171.200.000,-