• Tidak ada hasil yang ditemukan

jurnal online jpips desember 2016 olahraga tradisional menyipet dan balogo di masyarakat kota palangka raya abdul rahman azahari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "jurnal online jpips desember 2016 olahraga tradisional menyipet dan balogo di masyarakat kota palangka raya abdul rahman azahari"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

41

OLAHRAGA TRADISIONAL MENYIPET DAN BALOGO DI MASYARAKAT KOTA PALANGKA RAYA

Oleh:

Abd Rahman Azahari

Dosen FKIP Universitas Palangka Raya

ABSTRACT

Culture of the past has been duly preserved and developed as well as cultural richness can also be a tourismobject. Culture festivalas a form of preservation in addition also the promotion of various cultural forms that exist for the benefit of tourism development. One of local or traditional cultural wealth is a traditional sport such as manyipet and balogo.In order concept and planning of the government indeveloping and preserving traditional sports manyipetwas good enough, because it was included in the curriculum of local curriculum (Muatan Lokal) already exists invitational events, the winner of the invitational represent to follow Isen Mulang Culture Festival, and the winner was sent to participate the championship level, namely the International Borneo Sipet Tournament (BOST) whis was held in Pontianak in West Kalimantan which will also be promoted a t the ASEAN Tourism Forum (ATF).

The formulation of the problem is (1) How the traditional sports activities of manyipet and balogo in the Palangka Raya society? Focusing first festival and conservation efforts that include: Festival manyipet and balogo, Invitational manyipet and balogo, Curriculum manyipet and balogo, Development of manyipet and balogo.The second focus includes the development of capabilities that consists of several indicators, namely: technical ability, the ability of strategy, tactics capability. The third focus is the cultural education that includes an attitude of sportsmanship and chivalry. The fourth focus is developing psychosocial skills include communication and empathy. (2) The second problem is the traditional sports activities of manyipet and balogo in the Palangkarayasociety with focus in internal and external factors.

Through qualitative approach grounded research model, and analysis of coding with the withdrawal of informants purposive sampling technique. Based on the analysis, it produced some findings, propositions minor and major propositions, namely: lack of funding, infrastructure, facilities, coordination between institutions, technology and globalization advance cause of the declining sprit of practicing and performing and the shift from traditional sport religious motifs into traditional sporting achievement and profit patterned.

The attention of the government, resulting in a lack of passion invitational practicing and performing the cause of the condition of the traditional sport become too timid to live, but unwilling to die.

The conclusions of this study are as follows

1. Traditional Sports menyipet and balogo is a cultural wealth of Dayak society in Palangkaraya, those often participate in cultural festivals isen Mulang.

2. Menyipet and balogo is full of various teachings and noble values.

3. The efforts of preservation and development of local culture through festivals and added into local curriculum.

4. The efforts of preservation and development was less supported by financial support, complete facilities and infrastructure, education and training activities for teachers,and lack of invitation.

(2)

42

6. The players of balogo and menyipet sport usualy the older people, so gradually the sport will be destroyed in tune with the aging of the players.

7. The younger generation does not like menyipet and balogo sport because they feel it cannot support their income or may not be back alive in the future.

8. The constraints faced in traditional sport of menyipet and balogo in society of Palangka raya city can be grouped into two, they are internal constraints and external constraints. Internal constraints were such as monotonous, low value creativity, and boring, have a high degree of difficulty. External constraints include a lack of coordination between agencies, departments of education (curriculum), professional coaching, and training infrastructure limitations.

Implications of the study as follows: reviewed from the aspects of social action, so the results of this study reinforce the theory of action Parsons, that "all social actions undertaken by traditional sports players, municipalities, students and teachers in the town of Palangka Raya in traditional sports menyipet and balogo always base to a predetermined goal, which is to achieve the feat in Isen Mulang cultural festival held once a year throughout Central Kalimantan province.

Reviewed from Max Weber's theory of social action and symbolic interactionist theory Hebert Mead, the results of this study reinforce the view of Weber and Mead, that anyaction by individuals or groups always thought positive and negative aspects that will occur from the action, and the ability to predict for the futuret, although in a simple form, in accordance with the level of knowledge.

Reviewed from the symbolic interactionist theory, the results of this study reinforce the view Mead, that the city of Palangka Raya society action in the process of developing and preserving traditional sports ofmanyipet andbalogo was greatly influenced by the reality on the field and logical thinking ahead about the traditional sports and the interaction between them in the environment or society.phenomenological theory is always traying to understand the culture through cultural view of the owner or the culprit.

There are three cultural phenomenon they are ideas,activities and artifact.Those cultural phenomenon if the noteon a line to the three sta tes of culture as contained in the definition of culture Koentjaraningrat. Ideas is equal to the system of ideas,activities isequal to the action,and the last is artifact which identical with the human work.

Keywords: Social Interaction, Social Action and Traditional Sports

Abstrak

(3)

43

Adapun rumusan masalahnya adalah (1) bagaimana kegiatan olahraga tradisional menyipet dan balogo di masyarakat Kota Palangka Raya ? dengan fokus pertama festival dan upaya pelestarian yang meliputi : Festival menyipet dan balogo, Invitasi menyipet dan balogo, Kurikulum menyipet dan balogo, Pengembangan menyipet dan balogo. Fokus kedua meliputi pengembangan kemampuan yang terdiri dari beberapa indikator, yaitu : kemampuan teknik, kemampuan strategi, kemampuan taktik. Fokus ketiga adalah pendidikan budaya yang meliputi sikap sportivitas dan sikap ksatria. Fokus ke empat pengembangan keterampilan psikososial yang meliputi komunikasi dan empati. Masalah kedua adalah kegiatan olahraga tradisional menyipet dan balogo di masyarakat Kota Palangka Raya dengan fokus faktor internal dan eksternal.

Melalui pendekatan kualitatif dengan model penelitian grounded, dan analisis coding dengan teknik penarikan informan purposive sampling. Berdasarkan analisis tersebut maka dihasilkan beberapa temuan, proposisi minor dan proposisi mayor yaitu : Terbatasnya dukungan dana, sarana prasarana, koordinasi antar institusi pemerintah, kemajuan tekhnologi dan globalisasi berakibat pada menurunnya semangat berlatih dan berprestasi dan terjadinya pergeseran dari olahraga tradisional yang bermotif religi menjadi olahraga tradisional yang bermotif prestasi dan keuntungan.

Adapun yang menjadi kesimpulan dalam penelitian ini adalah :

1. Olahraga tradisional menyipet dan balogo merupakan kekayaan budaya masyarakat Dayak di Palangka Raya dan sering diikutsertakan dalam Festival Budaya Isen Mulang. 2. Menyipet dan Balogo sarat dengan berbagai ajaran dan nilai-nilai luhur.

3. Upaya pelestarian dan pengembangan budaya lokal melalui berbagai festival dan memasukan ke dalam kurikulum muatan lokal.

4. Upaya pelestarian dan pengembangan kurang didukung oleh dukungan dana, kelengkapan fasilitas dan sarana/prasarana, kegiatan pendidikan dan latihan bagi guru, kurangnya invitasi.

5. olahraga tradisional menyipet dan balogo hanya ada pada acara perayaan ulang tahun kota Palangka Raya dan Festival Budaya Isen Mulang saja.

6. Para pemain olahraga menyipet dan balogo rata-rata sudah tua, sehingga secara perlahan olahraga tersebut akan musnah seirama dengan semakin tuanya para pemainnya.

7. Generasi muda kurang menyenangi olahraga tradisional menyipet dan balogo sebab tidak bisa diharapkan untuk menjadi pekerjaan atau sandaran hidup dimasa mendatang.

8. Kendala-kendala yang dihadapi dalam kegiatan olahraga tradisional menyipet dan balogo di masyarakat Kota Palangka Raya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kendala internal dan kendala eksternal. Kendala internal misalnya adalah monoton, nilai kreativitas rendah, dan membosankan, memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Kendala eksternalnya antara lain kurang adanya koordinasi antar instansi, Dinas Pendidikan (Kurikulum), kepelatihan yang profesional, keterbatasan sarana prasarana latihan.

Implikasi penelitian sebagai berikut : ditinjau dari aspek tindakan sosial, maka hasil penelitian ini memperkuat teori tindakan sosial Parsons, yaitu “semua tindakan sosial yang dilakukan oleh pemain olahraga tradisional, pemerintah kota, siswa dan guru di kota Palangka Raya dalam olahraga tradisional menyipet dan balogo selalu mendasarkan kepada suatu tujuan yang telah ditentukan, yaitu untuk meraih prestasi dalam Festival Budaya Isen Mulang yang diadakan setahun sekali se Provinsi Kalimantan Tengah.

(4)

44

Ditinjau dari teori interaksionis simbolik, maka hasil penelitian ini memperkuat pandangan Mead, bahwa tindakan masyarakat kota Palangka Raya dalam proses mengembangkan dan melestarikan olahraga tradisional menyipet dan balogo sangat dipengaruhi realita di lapangan dan berpikir logis kedepan tentang olahraga tradisional tersebut serta proses interaksi diantara mereka dalam lingkungan atau komunitasnya. Teori fenomenologi selalu berusaha untuk memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau pelakunya.

Terdapat tiga gejala kebudayaan yakni ideas, activities dan artifact. Ketiga gejala kebudayaan ini jika diperhatikan sejajar dengan tiga wujud kebudayaan sebagaimana tercantum dalam definisi kebudayaan Koentjaraningrat. Ideas (gagasan-gagasan) sejajar dengan sistem gagasan, activities (aktivitas) sejajar dengan tindakan, dan terakhir artifact yang seanalog dengan hasil karya manusia.

Kata Kunci : Interaksi Sosial, Tindakan Sosial dan Olahraga Tradisional

PENDAHULUAN

Didalam olahraga tradisional, apapun jenisnya selalu mengandung ajaran-ajaran luhur dari pemiliknya, dan hal tersebut sebagai upaya pembentukan karakter bagi pemiliknya. Olahraga tradisional tidak hanya sekedar menggerakkan anggota tubuh dengan tujuan agar menjadi bugar dan sehat, namun juga mencoba meresapi perilaku moral dan bentuk penanaman perilaku moral dan nilai-nilai dari pemilik olahraga tradisional tersebut.

Olahraga tradisional tidak hanya sekedar membantuk tubuh menjadi sehat melainkan juga bisa sebagai alat membela diri jika diserang atau menghadapi suatu tindak kejahatan, seperti halnya pencak silat, dan termasuk juga menyipet atau juga disebut menyumpit. Oleh karena itu olahraga tradisional juga merupakan bentuk dari pendidikan jasmani.

Olahraga tradisional banyak mengandung keunikan-keunikan, yang sudah jarang atau mungkin tidak ditemui dalam masyarakat modern. Sebab olahraga tradisional juga bisa dikatakan sebagai olahraga masyarakat pada zaman dahulu atau olahraga tradisional merupakan cerminan dari budaya masyarakat dulu. Keunikan-keunikan tersebut tidak hanya menjadi sesuatu yang menarik dan enak ditonton, tetapi juga merupakan sajian yang mungkin tidak dijumpai di tempat lain. Oleh karena itu olahraga tradisional juga bisa menjadi objek wisata yang disajikan kepada para wisatawan. Orang datang ke suatu daerah bukan hanya sekedar ingin berolahraga tradisional tersebut juga ingin menikmati keunikannya dan sebagai ragam budaya bangsa. Masyarakat Kalimantan tengah yang suku Dayak sebagai penduduk asli, sudah tentu sangat kaya dengan ragam budayanya, dan salah satunya adalah olahraga tradisional.

Olahraga tradisional sudah menempati posisi yang penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kota Palangka Raya bahkan meningkatnya minat masyarakat ditunjukkan dengan semakin bertambahnya club-club atau kelompok-kelompok dari berbagai cabang olahraga termasuk kegiatan olahraga tradisional. Di Kalimantan Tengah juga terdapat banyak sekali olahraga tradisional namun yang sering dipertandingkan dalam event-event wisata atau pekan seni dan budaya di Kalimantan Tengah diantaranya: Meyipet, Sepak Sawut, Bagasing, Balogo, Besey kambe, Magaruhi, Meneweng dan Menyila Kayu yang saat ini menjadi ajang untuk menarik perhatian masyarakat luas.

(5)

45

salah satu cara berburu di hutan, karena pada saat itu belum dikenal dan diketahui berburu dengan senjata api, sehingga berburu menangkap burung, kijang, babi dengan menggunakan sipet (sumpit). Demikian juga dengan besey kambe (mendayung atau berperahu), merupakan salah satu aktivitas yang tidak mungkin ditinggalkan oleh masyarakat Dayak, sebab mereka pada umumnya bermukim di tepi sungai, dan perahu merupakan satu-satunya kendaraan atau sarana transportasi, baik ke ladang, mencari ikan maupun bepergian, demikian juga dengan yang lainnya, dan dalam perkembangannya menjadi olahraga tradisional yang sering ditampilkan pada acara-acara tertentu, seperti dilombakan dalam kaitannya dengan kegiatan wisata dan pesta budaya.

Palangka Raya sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Tengah tumbuh dan berkembang bukan saja sebagai pusat pemerintahan saja tetapi juga menjadi pusat ekonomi, pusat politik regional kalimantan tengah, pusat pendidikan yang sekaligus menjadi pusat budaya dan agent perubahan sosial budaya. Sudah bisa dipastikan bahwa masyarakatnya yang beragam, dan hingar bingar kehidupan kota menjadi karakter tersendiri dalam kehidupan kota. Hal tersebut berpengaruh pada kehidupan budaya masyarakatnya, sehingga tidak dijumpai lagi kehidupan masyarakat yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan bersahaja sebagai masyarakat tradisional, melainkan tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat modern. Nilai-nilai sosial secara perlahan bergeser berganti menjadi nilai-nilai modern, sikap kebersamaan dan bergeser menjadi sikap individualistis dan sendi-sendi kehidupan juga bergeser menjadi tonggak kehidupan modern.

Secara lambat tapi pasti dan seiring dengan perkembangan zaman dan arus modernisasi (kemajuan teknologi) hal tersebut tidak lagi menjadi sarana pekerjaan dan transportasi. Sebab dewasa ini hampir setiap sarana transportasi sudah menggunakan teknologi, seperti kendaraan bermotor maupun perahu bermotor. Dalam perkembangannya hal tersebut menjadi olahraga tradisional.

Olahraga tradisional sarat dengan nilai-nilai budya, hal tersebut lebih disebabkan karena olahraga tersebut berakar dari budaya. Demikian juga dengan olahraga tradisional menyipet dan balogo. Pada olahraga menyipet, dulunya merupakan alat mata pencaharian yaitu peralatan berburu dan sekaligus sebagai peralatan untuk melindungi diri dari serangan musuh arau binatang buas. Namun seiring dengan perkembangan teknologi dan semakin menipisnya wilayah hutun/berburu, maka sipet tersebut mengalami pergeseran atau perubahan pemanfaatannya, dulu menjadi senjata atau alat berburu bergeser atau berubah menjadi alat olahraga (menyipet dan balogo). Sikap dan jiwa patriotisme tersebut tersalurkan menjadi sikap sportif, jujur dan berjiwa besar dalam olahraga tradisional menyipet dan balogo. Namun tidak demikian dengan balogo. Olahraga tradisional Balogo lahir sebagai permainan pengisi aktu luang sehabis bekerja memanen padi atau tanaman pertanian lain. Olahraga tradisional sarat dengan nilai-nilai budya, hal tersebut lebih disebabkan karena olahraga tersebut berakar dari budaya. Demikian juga dengan olahraga tradisional menyipet dan balogo. Pada olahraga menyipet, dulunya merupakan alat mata pencaharian yaitu peralatan berburu dan sekaligus sebagai peralatan untuk melindungi diri dari serangan musuh arau binatang buas. Namun seiring dengan perkembangan teknologi dan semakin menipisnya wilayah hutun/berburu, maka sipet tersebut mengalami pergeseran atau perubahan pemanfaatannya, dulu menjadi senjata atau alat berburu bergeser atau berubah menjadi alat olahraga (menyipet dan balogo). Sikap dan jiwa patriotisme tersebut tersalurkan menjadi sikap sportif, jujur dan berjiwa besar dalam olahraga tradisional menyipet dan balogo. Namun tidak demikian dengan balogo. Olahraga tradisional Balogo lahir sebagai permainan pengisi aktu luang sehabis bekerja memanen padi atau tanaman pertanian lain.

(6)

46 2.1. Tinjauan Tentang Kebudayaan

Mempelajari tentang nilai-nilai sosial budaya suatu masyarakat tentu saja juga harus mempelajari kebudayaannya, karena tidak ada masyarakat tanpa budaya dan tidak ada budaya tanpa masyarakat sebagai wadah pendukungnya. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Seokanto S, (1999) merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (Material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarny, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat.

Koentjaraningrat , (1990:180) mendefinisikan kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kebudayaan adalah segala tindakan yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar (learned behavior), (A. Hoebel, 1958 : 152-153). Jika dikaji tentang konsep kebudayaan tersebut di atas, maka terdapat dua hal penting, yaitu aktivitas manusia, dan kegiatan belajar. A. L Krober dan c. Kluckhohn (1952) mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pola tingkah laku, baik eksplisit maupun implisit yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudan dalam benda-benda materi. Kata kebudayaan berasal dari kata Sansakerta Buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi dan akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal, Koentjaraningrat (1990:181). P.J . Zoetmulder (1951) mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan yang majemuk budi-daya , yang berarti “daya dari budi”.

2.2. Wujud Kebudayaan

Dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya kebudayaan memiliki tiga wujud yaitu, (1) kompleks ide, gagasan, nilai, peraturan; (2) kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat; (3) benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1990). Ide dan gagasan manusia yang hidup dalam suatu masyarakat memberi jiwa kepada masyarakat yang bersangkutan. Ide atau gagasan ini sering disebut sebagai sistem budaya atau cultural sistem, sistem budaya ini antara lain terbentuk adat atau adat istiadat. Bentuk kebudayaan yang kedua yaitu sistem sosial yang terkait dengan tindakan manusia yang telah terpola. Sedangkan wujud yang ketiga dari kebudayaan merupakan kebudayaan fisik, sebagai hasil karya manusia.

Berbicara tentang budaya, dalam hal ini budaya dipandang sebagai cara hidup dapat dirumuskan sebagai interaksi yang saling meneguhkan antara kultural bias (nilai dan norma yang diyakini) dan sosial practice (hubungan sosial) (Thompson, 1990). Way of life (cara hidup) merupakan kombinasi dari “hubungan sosial dan nilai atau norma yang diayakini” (Thompson, 1990). Tumbuhnya budaya sebagai way of life (cara hidup) tergantung pada hubungan yang saling mendukung antara kultural dan hubungan sosial.

Budaya sebagai cara hidup dan bentuk keorganisasian serta persepsi secara koheren, maka nilai dan norma tidak lagi terpisah dari struktur dan tindakan melainkan merupakan bagian dari tindakan itu sendiri. Pilihan mengenai hubungan sosial tertentu akan melahirkan cara pandang tertentu terhadap sekitarnya, orang yang mengikuti pola hubungan sosial tertentu melahirkan nilai dan kepercayaan yang tertentu pula, dan sebaliknya tentang pandangan dunia melegitimasi pola hubungan sosial yang sesuai dengan pandangan dunia tersebut.

2.3.Unsur-unsur Kebudayaan

(7)

47

sebenarnya suatu masyarakat yang luas selalu dapat kita perinci ke dalam pranata-pranata yang khusus. Sejajar dengan itu suatu kebudayaan yang luas selalu dapat pula kita rinci ke dalam unsur-unsurnya yang khusus. C. Kluckhohn dalam sebuah karangan berjudul Universal Categories of Culture (1953) mengambil sari dari berbagai kerangka tentang unsur-unsur kebudayaan universal yang ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat kita lihat sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah: (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, (7) kesenian.

2.4. Nilai-Nilai Budaya dalam Masyarakat

Di dalam kehidupan masyarakat terjadi dinamika hubungan satu sama lain yang di tentukan oleh kekuatan pengikatnya dan dikenal dengan nilai-nilai atau norma. Koentjaraningrat (1997), menjelaskan untuk dapat membedakan kekuatan pengikat dalam masyarakat tersebut, secara sosiologi dikenal adanya empat pengertian, yakni : Cara (usage), yakni kebiasaan seseorang yang disengaja atau tidak dianggap lumrah untuk dirinya, tetapi menjadi tidak lumrah untuk orang lain.

Penyimpangan terhadap kebiasaan semacam ini hanya terletak pada kesantunan atau tidak. Demikian juga dengan kebiasaan (folksway), yang menurut Mac Iver and Page (1967) merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat, misalnya kebiasaan menghormati orang yang lebih tua sudah merupakan kebiasaan yang dihormati. Nilai-nilai sosial tata kelakuan (mores) kebiasaan yang hidup dalam interaksi manusia, yang dijaga dan dilindungi, bahkan dia menjadi alat pengawas atau kontrol dalam masyarakat. Kemudian adat istiadat (custom).

Jiwa kekerabatan sebagai salah satu nilai budaya Kalimantan Tengah, sudah mendarah daging dalam masyarakat dan umumnya sifat luas serta bertopang pada ikatan darah. Semuanya itu disadari oleh kebersamaan yang sudah dibangun dalam lingkup rumah adat sebagai pusat dan yang mengatur segala kegiatan masyarakat. Adanya ikatan ini mempertebal rasa solidaritas antara mereka. Hal ini jelas tampak dalam pesta-pesta, dalam upacara-upacara adat atau bila menghadapi bahaya yang mengancam suku, dan pada melaksanakan sesuatu bagi kepentingan seseorang atau bersama.

Nilai budaya melalui rumah adat yang juga menonjol adalah cara-cara di dalam mencari nafkah yang mendorong dan menyebabkan Masyarakat Kalimantan Tengah memiliki cara pikir sosial-kolektif. Dalam hal ini pertanian misalnya, ada banyak tanah garapan adalah milik suku, walau di zaman ini sistem serupa itu agaknya semakin berkurang tersebab meningkatnya penduduk dan karena setiap keluarga, ingin mempunyai tanah garapan sendiri. Tetapi milik bersama atas tanah yang mendorong rasa persatuan dan keterikatan dalam masyarakat. Banyak tanah pertanian Masyarakat Kalimantan Tengah terdiri dari dataran tinggi, rendah dan bukit-bukit serta hutan belantara. Sebagian tenah dipakai untuk perladangan, meski ada sebagian kecil saja yang gersang dan kering.

2.5.Kebudayaan Sebagai Cara Hidup

Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1986) dideskripsikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kebudayaan dapat dibedakan dalam tiga wujud yakni:

(1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan,

(2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas tindakan berpola oleh manusia dalam masyarakat; dan

(3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. 2.6. Pengertian Dayak

(8)

48

seluruh Indonesia, setiap orang yang mendengar kata Dayak, sudah tentu pandangannya tertuju kepada salah satu suku di Indonesia yang mendiami Kalimantan. Apakah arti kata Dayak itu yang sebenarnya? O.K. Rahmat dan R. Sunardi, mengatakan bahwa kata Dayak adalah satu perkataan menamakan stamstam yang tidak beragama Islam yang mendiami -pedalaman Kalimantan. Istilah ini sendiri diberikan oleh bangsa di pesisir Kalimantan yang berarti gunung.

Bila Bangsa Melayu yang mendiami pesisir Kalimantan yang memberi istilah Dayak kepada stam-stam yang tidak beragama Islam yang mendiami pedalaman Kalimantan dan berarti orang gunung, maka timbul suatu pertanyaan, siapakah orang Melayu itu? Bila dilihat dari arti yang umum, tidak lain, yang dinamakan bangsa Melayu pada waktu itu adalah orang-orang yang berasal dari Melayu dan berbahasa Melayu. Akan tetapi apabila yang dimaksud dengan orang Melayu adalah orang Dayak yang telah menganut agama Islam, akan terasa ada yang janggal. Bila dilihat dari sisi orang Dayak sendiri, yang disebut orang Melayu ialah orang-orang yang berasal dari daerah Melayu dan para pendatang lainnya, selain Tionghoa, yang tinggal di Kalimantan. Muncul lagi pertanyaan, apakah ada kata Dayak dalam bahasa Melayu yang artinya orang gunung?

Sampai saat ini belum pernah ada kamus yang menyatakan bahwa Dayak berarti orang gunung. Kemungkinan pengertian kata Dayak sama dengan orang gunung, disebabkan karena sebagian besar orang-orang Dayak tinggal di udik-udik sungai yang tanahnya bergunung-gunung, tetapi bukan berarti bahwa kata Dayak berarti orang gunung. Di samping nama Dayak, kita kenal juga istilah Dyak yang merujuk pula pada pengertian Dayak. Istilah Dyak ini diberikan oleh orang-orang Inggris kepada suku-suku Dayak di Kalimantan Utara.

Suku Dayak di Kalimantan, tersebar di seluruh pulau Kalimantan, hidup berpencar, di hulu-hulu sungai, di gunung-gunung, lembah dan kaki bukit. Untuk menyebut identitas diri, menyebut tempat asal, mereka memakai daerah aliran sungai besar di mana mereka bertempat tinggal. Misalnya yang berasal dari daerah Sungai Barito, mereka me-nyebut diri sebagai uluh Barito, demikian pula yang berasal dari daerah aliran Sungai Kahayan, uluh Kahayan. Ada uluh Katingan, uluh Kapuas dan sebagainya.

Dayak juga dapat berarti Sahawung. Suatu organisasi orang-orang Dayak, diberi nama Partai Daya. Dengan demikian kata Dayak dan Daya, dalam bahasa Ngaju, menunjukkan kata sifat dan menunjukkan pula suatu kekuatan. Demikian pula kata Sahawung, yang berarti sifat kepahlawanan seseorang, gagah perkasa, dan tidak kenal menyerah. Kalau kita hubungkan sifat orang-orang Dayak di masa lalu, yang terkenal dengan semboyan Menteng Ureh Mamut, yang berarti seseorang yang mempunyai kekuatan gagah berani dan tidak kenal menyerah, maka nama Daya Sahawung lebih condong kepada kata sifat. Dalam bahasa Sangen, Dayak berarti bakena yang artinya gagah, cantik.

2.7. Pengertian dan Konsep Olahraga Masyarakat

Sebagaimana diuraikan diatas, maka pada olahraga masyarakat di luar negeri disebut sebagai "sport for all". Sport for All di dunia yang tumbuh dan berkembang sejak tahun 1970-an, te1ah meluas di segala penjuru dunia. Organisasi-organisasi sport for all telah dibentuk baik tingkat internasional, regional, continental, nasional maupun local. Yang menjadi masalah adalah apa sebenarnya pengertian akan sport for all itu dan apa yang mennjadi konsep akan berkembangnya sport for all di dunia.

(9)

49

adalah agar semua penduduk di dunia ini, tanpa membedakan usia, jenis kelamin, status kaya atau miskin bisa mendapatkan pelayanan kesehatan.

Suatu tujuan yang amat mulia akan tetapi hasilnya pun masih jauh dari harapan, karena beragamnya masyarakat dimana mereka tinggal, masih terdapatnya perbedaan menyolok antara Negara kaya dan miskin serta perbedaan status kaya miskin pada suatu masyarakat dalam satu Negara. Pendek kata Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bergerak di bidang kesehatan pun masih belum mampu untuk mengatasi sepenuhnya kendala untuk merealisasikan gerakan "health for all". Demikian pula gerakan dalam merealisasikan "sport for all". Meskipun telah banyak organisasi olahraga masyarakat yang terlibat dan bertujuan untuk merealisasikannya, namun hasilnya juga masih belum memuaskan.

Adapun konsep yang mendasari mengapa orang berpaling pada olahraga masyarakat atau sport for all sebagai salah satu pilihan untuk dikembangkan, dapat di inventarisasi sebagai berikut : berkurangnya gerakan fisik manusia dalam kehidupan modern dewasa ini, sebagai akibat kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, sehingga kehidupan manusia dimudahkan dengan memencet tombol untuk mencapai tujuannya. Dalam hal ini dapat diberikan contoh tersedianya lift dalam gedung bertingkat, tombol remote control untuk tidak perlu berjalan mendekati pesawat televise untuk memindah channel ataupun mengatur volume suara, tersedianya telepon selular sebagai pilihan untuk tidak selalu tergantung pada telepon rumah, dan masih banyak contoh yang lain lagi.

Olahraga masyarakat sudah merupakan kebutuhan masyarakat banyak, selain sangat bermanfaat untuk masyarakat banyak guna memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kebugaran, sehingga banyak Negara telah meyakini bahwa dengan memasyarakatkan olahraga akan, dapat menekan atau mengurangi anggaran di bidang kesehatan suatu Negara. Sebagai reaksi atas gerakan olimpic. Sebagaimana diketahui gerakan olimpik telah berangsur-angsur mendapatkan pupularitasnya, sejak pad tahun 1886 olympiade modern yang pertama diadakan di kota Athena, Yunani. Sejak tahun 1984, yaitu pada olympiade ke 23 di Los Angeles, Amerika Serikat, ollympiade telah dikelola secara "kodern management", yang dapat menghasilkan untung besar bagi panitia sampai ratusan Juta U.S. Dollar. Sejak itu' Negara-negara berlomba-lomba untuk menjadi tuan rumah olympiade, bahkan sudah cenderung kearah komersialisasi. Pada dasarnya ollympiade yang hanya mempertandingkan 28 cabang olahraga itu, irengetrapkan seleksi yang ketat bagi atlet yang akan berlaga d i kancah olympiade yang diikuti hanya kurang lebih 10.000 orang dari hampir 200 negara. Seleksi yang ketat dan inemprioritaskan atlit-atlit muda yang punya bakat tinggi, pada cabang olahraga yang hanya 28 cabang itu dirasakan sangat membatasi keikutsertaan masyarakat banyak. Oleh karena itu sebagai reaksi atas berkembangnya gerakan olimpik tersebut di ciptakan olahraga masyarakat, yang tidak membatasi peserta, baik dari segi umur, jenis kelamin, keanggotaan pada organisasi nasional/internasional tertentu, dan lain-lain.

2.8. Pengertian Olahraga Tradisional

Olahraga tradisional merupakan bagian dan hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat yang disebut dengan kebudayaan. Kebudayaan sendiri pada dasarnya merupakan kemampuan manusia untuk menyesuaikan din secara aktif terhadap lingkungannya. Oleh karena itu kebudayaan merupakan pola bagi tingkah laku yang nyata maupun yang abstrak, dan diperoleh serta diwariskan melalui proses belajar dengan menggunakan lambang-lambang.

(10)

50

bahwa hujan yang diharapkannya akan turun ketika mereka mau berkorban mengeluarkan darahnya. Untuk itulah, mereka melakukan permainan “perisaian” hingga salah satu diantara mereka mengeluarkan darah akibat cambukan lawan.

2.10. Manfaat Olahraga Tradisional

Olahraga tradisional sebagai hasil budaya merupakan wujud dan jati diri bangsa. Olahraga tradisional dalam kemunculannya dapat menjadi terapi atas krisis jati diri bangsa. (Dwi Arbaningsih 2003) menyebutnya dengan istilah pada saat bangsa Indonesia mengidap amnesia sosial, lupa akan jati dirinya. Dalam statusnya sebagai sebuah permainan, olahraga tradisional dapat mengembangkan intelegensia praktis, pendidikan budaya (culture education), dan keterampilan psikososial.

a. Pengembangan intelegensia praktis

Sebagai suatu permainan, olahnaga tradisional menuntut adanya kemampuan teknik, strategi dan taktik. Teknik, strategi, dan taktik dapat dilakukan dengan baik manakala tersedia kemampuan intelegensia praktis yang memadai, atau sebaliknya kemampuan intelegensia menjadi berkembang manakala dirangsang oleh tuntutan kemampuan teknik, strategi, dan taktik dalam suatu permainan. Arbiningsih mencontohkan, bahwa di dalam permainan gobak sodor (hadang) terdapat pola pikir mempertahankan wilayah dari serangan musuh. Didalam upaya mempertahankan wilayah, maka perlu memiliki jiwa patriotisme, nasionalis, dan keberanian untuk membela tanah air. Karakter ini tidak bisa datang begitu saja, tetapi harus ditanamkan dididik melalui sistem pendidikan yang tepat guna. Nilai-nilai nasionalis, keberanian dan patriotisme serta semangat untuk membela wilayah ini tidak sekedar dihafal, tetapi harus dipraktekkan melalui latihan dan simulasi pada hari-hari tertentu. b. Pendidikan Budaya (culture education)

Sebagai permainan tradisional yang diwariskan secara turun temurun, olahraga tradisional dapat dijadikan sebagai alat pendidikan dalam menanamkan budaya kepada masyarakat. Selain itu, olahraga tradisional yang di dalamnya mengandung unsur menang dan kalah dapat dijadikan alat dalam menanamkan budaya sportivitas atau “ksatria”, yaitu siap menerima kemenangan tanpa rasa sombong dan menerima kekalahan tanpa rasa sakit hati dan mencari-cari alasan.

Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya.

c. Pengembangan Keterampilan Psikososial

Sebagai suatu permainan, olahraga tradisional melibatkan orang lain dalam pelaksanaannya. Keterlibatan orang lain dapat terjadi proses sosialisasi dan komunikasi antara sesama di sinilah dapat berkembang-nya keterampilan psikososial seperti: komunikasi, asertivitas, dan empati. Adanya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, olahraga tradisional sangat tepat untuk dijadikan bahan ajar dalam pendidikan jasmani. Dalam fungsinya sebagai bahan ajar, olahraga tradisional juga dapat dijadikan bentuk permainan bagi anak-anak dan masyarakat dalam mengisi waktu luang atau kegiatan rekreasi. Permainan rakyat yang telah dibakukan sebagai olahraga tradisional tentu telah dikaji kandungan nilai gerak dan fisiologisnya. Dengan demikian olahraga tradisional dapat dijadikan bentuk latihan untuk meningkatkan kemampuan gerak dan kebugaran jasmani.

(11)

51

olahraga tradisional di Indonesia dapat dijadikan salah satu sajian yang menghibur bagi para wisatawan. Hal mi mengandung makna bahwa olahraga tradisional dapat menyuburkan industri pariwisata yang akan berdampak pada kegiatan ekonomi masyarakat dan bangsa Indonesia.

2.11. Perspektif Sistem Teknologi Tradisional

Tentang sistem teknologi tradisional tersebut tokoh budaya Indonesia Koentjaraningrat menjelaskan bahwa terdapat 8 macam sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik digunakan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat petani di daerah pedesaan. Ke delapan sistem peralatan tersebut adalah : (1) alat-alat produksi; (2) senjata; (3) wadah; (4) alat untuk membuat api; (5) makanan, minuman, bahan pembangkit gairah dan jamu; (6) pakaian dan perhiasan; (7) tempat berlindung dan rumah; (8) alat-alat trasnportasi (2005: 23).

Suatu deskripsi etnografi sudah memadai apabila ke delapan unsur kebudayaan fisik itu tercantum di dalamnya. Ahli budaya lain JJ. Honigmann dalam bukunya The world Of Man (1959: 290) menjelaskan bahwa teknologi adalah “...segala tindakan baku ang digunakan manusa untuk mengubah aloam, termasuk tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain.” Oleh karena itu teknologi adalah cara manusia membuat, memakai dan memelihara seluruh peralatannya, dan bahkan bertindak selama hidupnya. Teknologi tradisional adalah teknologi yang dihasilkan manusia adalah teknologi yang sederhana, baik itu bersifat tunggal, misalnya kalau di Pulau Kalimantan dikenal dengan sumpit (sipet) mupun yang dibuat secara massal (alat tenun bukan mesin).

Berdasarkan pada penggunaannya, alat-alat produksi dalam budaya tradisional dapat dikelompokkan sebagai berikut : (1) alat potong; (2) alat tusuk; (3) alat untuk melubangi; (4) alat pukul; (5) alat giling; (6) alat peraga; (7) alat untuk membuat api; (8) alat untuk meniup api; (9) alat pertanian; (10) alat penangkapan ikan dan lain sebagainya. Alat-alat produksi tersebut di atas sampai sekarang masih kita gunakan dan diproduksi terus, hakekatnya tetap yaitu sebagai alat-alkat produksi, peralatan kerja yang membantu pekerjaan manusia, namun bentuknya atau desainnya yang berbeda.

Sumpit di Kalimantan bagi suku Dayak) sebagai teknologi tradisional yang berfungsi sebagai senjata dan alat bekerja yaitu untuk berburu (menangkap burung, kera, babi hutan, kijang dan lain sebagainya). Namun dewasa ini sumpit sudah tidak sepopuler dulu sebagai alat berburu (sebab sudah ada senjata). Penggunaan sumpit dalam berburu adalah dengan ditiup dan ujung dari anak sumpit sudah dibubuhi racan, jadi kekuatan sumpit terletak pada kemampuan manusia meniupnya.

2.12. Kegiatan Olahraga Tradisional

Ada empat tahapan utama dalam kegiatan olahraga tradisional, yaitu perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengawasan.

2.13.1.Perencanaan

Perencanaan yaitu usaha untuk menemukan jawaban yang meyakinkan terhadap lima pertanyaan pokok, yaitu:

a. Apa program pembinaan dan pengembangan olahraga tradisional yang akan diterapkan dikarenakan dalam satu kurun waktu tertentu di masa yang akan datang?

b. Siapa yang akan bertanggung jawab pada setiap bentuk kegiatan dan kepada siapa ia mempertanggungjawabkan pekerjaannya?

c. Prosedur, mekanisme dan metode kerja yang bagaimana yang akan digunakan dalam pembinaan dan pengembangan olahraga tradisional secara strategis?

d. Apakah ada penjadwalan kegiatan yang jelas dan yang hams ditaati di dalam pembinaan dan pengembangan olahraga tradisional?

(12)

52

Pengelola olahraga tradisional yang telah menyusun perencanaan dengan baik dan tepat berarti sudah 30 % melakukan pelestarian; sisanya 50 % adalah pelaksanaan program, dan 20 % evaluasi. Hal ini mengandung makna bahwa perencanaan merupakan hal yang penting dan menjadi bagian integral yang tak terpisahkan dalam kegiatan olahraga tradisional.

2.13.Kegiatan

Program kegiatan dimaksudkan sebagai upaya menjaga keberadaan suatu jenis olahraga tradisional. Program ini dilakukan melalui upaya memperkenalkan olahraga tradisional kepada seluruh lapisan masyarakat dan menjadikan olahraga Tradisional sebagai bentuk latihan jasmani bagi masyarakat. Program kegiatan dilakukan dalam bentuk festival, invitasi, dan memasukkan suatu jenis olahraga tradisional sebagai muatan lokal, materi pelajaran pendidikan jasmani di sekolah.

a. Festival

Festival, dari bahasa Latin berasal dari kata dasar "festa" atau pesta dalam bahasa Indonesia. Festival biasanya berarti "pesta besar" atau sebuah acara meriah yang diadakan dalam rangka memperingati sesuatu, atau juga bisa diartikan dengan hari atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa penting atau bersejarah, atau pesta rakyat (W.J.S Purwadarminta: Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka). Bisa pula berarti sayembara atau perlombaan.

Festival olahraga tradisional bagi pelaku merupakan ajang kreasi dan unjuk kebolehan, dan bagi pengelola merupakan tempat aktualisasi atas program yang dilakukannya, dan bagi masyarakat merupakan tempat mengenal berbagai jenis olahraga tradisional. Dalam festival dapat dijadikan upaya sosialisasi, sehingga olahraga tradisional semakin dikenal masyarakat yang muaranya akan dipraktikkan oleh sebagai bentuk latihan jasmani dalam mencapai tingkat kebugaran yang baik.

b. Invitasi Olahraga Tradisional

Invitasi merupakan mata rantai kegiatan kejuaraan dalam cabang olahraga. Kejuaraan invitasi lebih bersifat tidak resmi, diadakan atas dasar undangan untuk berprestasi, sesuai dengan arti kata invitare (mengundang). Tujuan utama invitasi ialah menguatkan tali persahabatan antar atlit pada cabang tersebut. Karena tidak memburu prestasi semata-mata, kerapkali kejuaraan invitasi seringkali dipakaai untuk pemansan, uji coba untuk memantau kemampuan atlit .

c. Suplementasi Kurikulum

Menyadari bahwa olahraga tradisional merupakan warisan budaya yang sarat dengan ajaran nilai-nilai luhur yang merupakan karakter dan jati diri suku yang memilikinya, maka upaya mewariskan pada generasi berikutnya menjadi prioritas. Bentuk dan cara untuk melstarikan budaya leluhur tersebut salah satunya dengan cara memasukkanya ke dalam kurikulum muatan lokal. Hal ini mengingat sebagian besar generasi penerus merupakan anak yang berada yang sedang mengikuti proses pendidikan di sekolah. Diterapkannya olahraga tradisional sebagai muatan lokal materi pelajaran berarti terdapat upaya memperkenalkan dan mewariskan olahraga tradisional kepada generasi penerus.

d. Pengembangan

(13)

53

pertandingan/perlombaan dan peralatan, sehingga jenis olahraga tersebut memenuhi syarat keselamatan dan layak untuk dipertandingkan/perlombakan. Program pembakuan dilakukan melalui proses kajian secara teoretik dan empirik.

- Kajian Teoritik

Kajian teoritik merupakan langkah awal dalam upaya pembakuan. Dari kajian ini akan didapatkan informasi tentang kelayakan suatu jenis olahraga tradisional sebagai suatu bentuk latihan jasmani; kelayakan dalam statusnya sebagai bentuk permainan yang mengandung arti olahraga dan budaya tradisi.

- Kajian Empirik

Kajian empirik perlu dilakukan mengingat tidak semua hal yang layak secara teoritik akan layak pula secara empirik. Sebagai contoh adalah kelayakan lebar lapangan hadang yang lebarnya 9 meter, lebar tersebut secara teoritik sudah ditetapkan berdasarkan data rata-rata panjang lengan dan kelincahan anak, ternyata secara empiric sangat sulit bagi anak untuk mempertahankan wilayahnya dari serangan lawan. Keadaan seperti ini manjadikan permainan kurang menarik mengingat tidak ada persaingan yang ketat.

2.15. Olahraga Menyipet dan Balogo

2.15.1. Sipet/Menyipet (Menyumpit/Bermain Sumpit)

Sipet (Sumpitan), Merupakan sebuah senjata utama selain Mandau, bagi suku Dayak. Umumnya terbuat dari kayu ulin. Bentuknya bulat dibor dengan diameter 2-3 cm, panjang 1,5 – 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ - ¾ cm yang digunakan untuk memasukan ‘damek’ (bahasa Dayak Ngaju), bahasa Indonesia ‘damak’ yaitu anak sumpitan dengan bentuk bulat, berdiameter kurang dari 1cm. Anak sumpit dapat terbuat dari lidi pelepah rigel/handiwung ( sedang/sejenis palm hutan ) atau bisa juga dari bambu yang diraut, yang salah satu ujungnya berbentuk seperti kerucut yang terbuat dari kayu massanya ringan dari kayu pelawi atau batang taberu yang dikeringkan (bahasa Indonesia tamberau). Ini namanya ‘pimping damek’ berfungsi sebagai sayap kendali supaya anak sumpit dapat melesat dengan lurus atau sebagai penyeimbang saat lepas dari rombak sipet (lobang sumpit).

[image:13.595.109.480.463.644.2]

Gambar 2.1. Gambar horisontal Sipet, senjata sekaligus alat olahraga menyipet

Gambar 2.2. Tempat menyimpan damek

(14)

54

bahasa Dayak Ngaju mata tombak itu disebut ‘sangguh’ sipet jika pada jaman dahulu berfungsi untuk menombak binatang buruan.

Dahulu ‘sangguh sipet’ ini terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah dianyam, ‘simpei sipet’. Kelengkapan lain pada sumpitan ini yaitu disebut ‘telep’ menyimpan ‘ipu’ (ipuh atau racun damak). Dahulu dalam proses pembuatan sumpit atau sipet dilakukan dengan dua cara yaitu pertama keterampilan tangan dari sang pembuat. Cara kedua, yaitu dengan menggunakan tenaga dari alam dengan memanfaatkan kekuatan arus air riam (air jeram) yang dibuat menjadi semacam kincir penumpuk padi. Harga jual sumpit atau sipet telah ditentukan oleh hukum adat, yaitu sebesar ‘jipen ije atau due halamaung taheta’ (senilai satu buah atau dua buah guci antik yang baru). Menurut kepercayaan suku Dayak sumpit atau sipet ini tidak boleh digunakan untuk membunuh sesama. Sumpit atau sipet hanya dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti berburu.

Sipet ini tidak diperkenankan atau pantang diinjak-injak apalagi dipotong dengan parang karena jika hal tersebut dilakukan artinya melanggar hukum adat, yang dapat mengakibatkan pelakunya akan ‘impautang’ (dituntut / didenda dalam rapat adat) dari segi penggunaannya sumpit atau sipet ini memiliki keunggulan tersendiri karena dapat digunakan sebagai senjata jarak jauh dan tidak merusak alam karena bahan pembuatannya yang alami. 2.15.2. Logo / Balogo (Bermain Logo)

Permainan Balogo ini mengandung mitos sekaligus filosofi yang luhur sebagai tradisi permainan yang diwariskan nenek moyang Suku Dayak Kalimantan Tengah. Pada kehidupan masa lalu Suku Dayak di Kalimantan Tengah, permainan balogo itu merupakan permainan yang dipercaya bisa mengukur tingkat kesuburan (keberuntungan) kehidupan mereka. Tradisi permainan balogo ini memang ada hampir di seluruh wilayah Kalimantan Tengah kendati tidak diketahui jelas sejak kapan tradisi itu mulai berjalan. Dimasyarakat setempat, permainan ini bersifat musiman.

Biasanya digelar setelah masa panen padi dan upacara Tiwah. Usai upacara Tiwah di mana para pesertanya dianggap telah banyak ‘membuang’ harta, masyarakat lantas mencoba mereka-reka tingkat keberuntungannya di kemudian hari. Setelah menggelar upacara Tiwah, sama artinya itu, telah membuang harta. Guna mengukur apakah kita masih punya rejeki setelah upacara Tiwah itu, dipermainkan permainan balogo. Balogo itu, pada awalnya merupakan permainan orang per orang.

[image:14.595.164.269.609.713.2]

Sifatnya permainan coba-coba bagi setiap orang yang ikut bermain. Jika pada suatu pertandingan ternyata hasilnya seseorang menang., berarti seseorang itu akan lebih dulu sukses, gampang rejekinya disbanding peserta yang lain. Demikianlah tentang mtosnya. Nama permainan balogo diambil dari kata logo, yaitu bermain dengan menggunakan alat logo. Logo terbuat dari bahan tempurung kelapa dengan ukuran garis tengah sekitar 5-7 cm dn tebal antara 1-2 cm dan kebanyakan dibuat berlapis dua yang direkatkan dengan bahan aspal atau dempul supaya berat dan kuat.

Gambar 2.3. Macam-macam bentuk Logo

(15)
[image:15.595.113.233.71.264.2]

55 Gambar 2.4. Struktur permainan Balogo

Bentuk alat logo ini bermacam-macam, ada yang berbentuk bere (labi-labi/bulus), bajuku (penyu), sagitelo (segitiga), bentuk kaliangan (layang-layang), dan dawen sirih (daun sirih bundar). Dalam permainnya harus dibantu dengan sebuah alat yang disebut ‘ungkang’ (panapak) atau kadang-kadang beberapa daerah ada yang menyebutnya dengan campa yakni stik atau alat pemukul yang panjangnya sekitar 40 cm dengan lebar 2 cm terbuat dari bilah bambu atau bilah kayu.

Fungsi ‘ ungkang’ (panapak) atau campa ini adalah untuk mendorong logo agar bisa meluncur dan merobohkan logo pihak lawan yang dipasang saat bermain. Permainan balogo ini bisa dilakukan satu lawan satu atau secara beregu. Jika dimainkan secara beregu, maka jumlah pemain yaitu “naik” (yang melakukan permainan) harus sama dengan jumlah pemain yang “pasang” (pemain yang logonya dipasang untuk dirobohkan). Jumlah pemain beregu minimal 2 orang dan maksimal 5 orang.

Jumlah logo yang dimainkan sebanyak jumlah pemain yang disepakati dalam permainan. Cara memasang logo ini adalah didirikan berderet ke belakang pada garis-garis melintang. Karena inti dari permainan balogo ini adalah keterampilan memainkan logo agar bisa merobohkan logo lawan yang dipasang. Regu yang paling banyak dapat merobohkan lawan, mereka itulah pemenangnya.

2.16.1.Teori Tindakan Sosial

Dalam rngka membedah permasalahan dalam penelitian ini, maka diperlukan teori-teori sosial, dalam hal ini teori tindakan sosial Parsons menjadi teori utama. Dalam teori tindakan sosial terdapat beberapa pemikiran Parson dalam menganalisis fenomena sosial (Johnson Doyle, 1981; Priyono. H. 2002), antara lain :

Pertama, elemen dasar untuk suatu tindakan sosial adalah bersifat voluntaristik (tindakan sosial yang berdasarkan nilai-nilai sosial yang dianut bersama secara sukarela dan diterima atau diakui oleh anggota masyarakat).

Kedua, Kerangka tujuan (mens-ends framework) sebagai alat analisis yang terdiri dari (1) setiap tindakan itu memiliki tujuan, (2) tindakan terjadi dalam suatu situasi, dan (3) secara normatif tindakan itu diatur sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan. Jadi, tindakan itu dilihat sebagai satuan kenyataan sosial yang paling kecil dan paling fundamental (Johnson, D. 1981; Abraham, 1982).

(16)

56

Kelima, ada tiga parameter teoritis tentang tindakan individu dalam tindakan sosial, yaitu : (a) individu benar-benar memiliki kebebasan untuk memilih alat dan tujuan yang akan dicapai dan lebih mementingkan keuntungan (paham kaum ulititarism); (b) pilihan-pilihan individu dalam bertindak sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya (paham positive anti intelektual); (c) pilihan-pilihan individu dalam bertindak diatur dan dipengaruhi oleh norma dan nilai-nilai bersama yang telah disepakati bersama (paham kaum idealisme). Posisi pemikiran Parsons tentang tindakan sosial adalah memadukan ketiga paham tersebut (Hamilton, 1990).

2.16.2.Teori Kebudayaan a. Kebudayaan

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Definisi tersebut jika ditelusuri lebih jauh mempertimbangkan arah-arahan yang disampaikan Kroeber dan Talcott Parson yang menginginkan pembedaan secara tegas antara sisi gagasan dan sisi tindakan dalam kebudayaan.

Terdapat tiga gejala kebudayaan yakni ideas, activities dan artifact. Ketiga gejala kebudayaan ini jika diperhatikan sejajar dengan tiga wujud kebudayaan sebagaimana tercantum dalam definisi kebudayaan Koentjaraningrat. Ideas (gagasan-gagasan) sejajar dengan sistem gagasan, activities (aktivitas) sejajar dengan tindakan, dan terakhir artifact yang seanalog dengan hasil karya manusia. Dalam bukunya Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Koentjaraningrat membuat tipe-tipe masyarakat atau dalam istilahnya "tipe-tipe sosial-budaya" yang mengklasifikasikan masyarakat Indonesia ke dalam kelompok-kelompok tersebut. Koentjaraningrat menyebut adanya 6 tipe mulai dari masyarakat berdasarkan sistem berkebun yang sederhana, bercocok tanam di sawah, bercocok tanam di sawah tetapi dengan diferensiasi dan stratifikasi yang sedang, hingga masyarakat perkotaan bahkan metropolitan dengan ciri-ciri yang kompleks.

b. Adat- Istiadat

Sistim Nilai Budaya, Pandangan Hidup, dan Ideologi. Sistem nilai budaya. merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat, karena nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah pada warga masyarakat.

Pandangan hidup, biasanya mengandung sebagian dari nilai-nilai yang dianut oleh sebagian individu dan golongan-golongan dalam masyarakat.Konsep ideologi. Konsep ini juga merupakan suatu sistem hidup atau cita-cita, yang ingin sekali dicapai oleh banyak individu dalam masyarakat. Adat Istiadat, Norma dan Hukum, Telah dipelajari bahwa nilai budaya sebagai pedoman yang member arah dan orientasi terhadap hidup bersifat amat umum.

2.16.3.Teori Interaksionisme Simbolik

Gagasan-gagasan tentang interaksi sosial bisa dirujukkan dengan baik dalam teori interaksionisme simbolik. Teori ini unik dalam sosiologi yang sering dilihat sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat secara umum. Sementar teori interaksionisme simbolik mempelajari mengenai individu. Namun demikian pengertian individu di sini adalah mereka yang membentuk masyarakat.

(17)

57

kehidupan sosial. Artinya, dengan melihat, menggambarkan, serta menganalisis hubungan sosial antar manusia berarti bisa dilihat tingkatan kehidupan sosial yang lebih luas. Dalam perkembangan sosiologi, obyek perhatian hubungan sosial adalah kajian yang termasuk baru.

Oleh karena itu, setelah mempelajari skup makro masyarakat, para sosiolog mengalihkan perhatian pada wilayah mikro.

Keadaan ini dipelopori dengan menguatnya perspektif interaksionisme simbolik. Dengan tokoh seperti George H. Mead, Herbert Blumer, Erving Goffman dan Howard Becker. Di sini ditegaskan bahwa hubungan sosial bukanlah barang yang sekali jadi, melainkan dibentuk dengan interpretasi para aktor yang mengambil makna di dalamnya. Interaksi bermakna aktor saling mengambil catatan, saling mengkomunikasikan dan saling menginterpretasikan sepanjang terus berjalan. Oleh karena itu, hampir semua bentuk interaksi sosial adalah simbolik. Proses interaksi simbolik berarti bahwa dalam membuat keputusan dan berkaitan langsung dengan aliran tindakan yang terus menerus. Dalam hal ini Blumer menyatakan:

[image:17.595.76.508.453.677.2]

Symbolic interaction involves interpretation, or ascertaining the meaning of actions or remarks of the other person, and definition, or conveying indications to another person as to how he is to act. Human association consist of process of such interpretation and definition. Through this process the participants fit their own acts to the ongoing acts of one another and guide others in doing so.(Artinya: interaksicnisme simbolik terdiri atas interpretasi, atau memastikan arti-arti tindakan atau perkataan orang lain dan definisi atau menyampaikan petunjuk pada orang lain seperti bagaimana ia berlaku. Kumpulan manusia terdiri atas proses seperti interpretasi dan definisi. Lewat proses ini para partisipan menjadikan tindakan mereka pada aktivitas yang tidak pernah henti satu dengan lain dui memberikan petunjuk pasangannya itu untuk melakukan sebagaimana yang dikehendaki.

Gambar 1

Simbol dan Pengambilan Peran dalam Teori Interaksionisme Simbolik

(Sumber: Wallme dan Alison, 1980)

Goffman menjelaskan bahwa dalam melakukan hubungan sosial bisa dikaji beberapa hal sebagai berikut.

a. Ungkapan-ungkapan yang tersirat, yaitu ungkapan, baik direkayasa atau tidak yang menunjukkan teateris, jenis-jenis kontekstual dan non verbal, baik direkayasa ataukah tidak. Dalam interaksi sosial bukan saja yang dilihat apa kata/kalimat dalam interaksi

Interaksi

Aksi

Obyek Sosial

Simbol sebagai-sebagai ciri khusus

Bahasa sebagai ciri khusus dari simbol

Penafsiran atas situasi

(18)

58

tersebut. Melainkan, perasaan yang kuat dimainkan. Maka ungkapan-ungkapan mimik wajah, syarat, kualitas tindakan dapat menunjukkan maksud. Hubungan sosial bisa dikatakan terdiri atas komunikasi non-verbal dan verbal.

b. Setiap aktor yang sedang berpartisipasi akan mengatur perasaan-perasaan yang sebenarnya dari mengkomunikasikan pandangan situasi tersebut. Sehingga orang lain akan menerimanya. Jadi demi keberlangsungan, hubungan sosial ada semacam konsensus pura-pura, di mana setiap partisipan menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.

c. Dalam penampilan hubungan sosial seorang aktor dapat membohongi dirinya sendiri sebagaimana motif-motif dia yang sebenarnya, dan ia juga dapat membohongi orang lain. Dalam penampilan aktor akan selalu menyesuaikan dan memisah-misahkan penonton yang dilihatnya. Dalam hubungan sosial aktor akan memisah-misahkan penonton agar, ia bisa berlaku tepat.

d. Ketika individu bekerjasama untuk menyusun penampilan secara rutin, maka mereka membuat team pertunjukan. Penampilan ini bisa dibuat dengan status silang antar pemain. Goffman menjelaskan agar fakta-fakta bisa disembunyikan, maka penampilan kita membutuhkan wilayah-wilayah yang terpisah. Wilayah depan adalah suatu wilayah dimana team tersebut menghadirkan penampilan mereka, sebagaimana dikehendaki para penonton. Sedangkan wilayah belakang adalah suatu tempat di mana kesan-kesan yang dibentuk melalui penampilan berbeda dengan permasalahan yang sebenarnya. Impression manajemen (pengaturan kesan-kesan) adalah pada saat para aktor kembali ke daerah panggung belakang, karena pada saat itulah seseorang akan mendeteksi karakter yang mengesankan dan tersembunyi.

2.16.4.Teori Fenomenologi

Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.

(19)

59 2.17. Kerangka Konseptual

Kerangka Konseptual Penelitian

Masyarakat Olahraga Tradisional Meyipet dan Balogo di Masyarakat Kota Palangka Raya

Wawancara, Dokumentasi Observasi

Teori Utama adalah - Teori Tindakan Sosial

Teori Pendukung : - Teori Budaya - Interaksionisme Simbolik,

- Teori Fenomenologi

-, Penentuan Informan

dengan Purposive

-Tokoh masyarakat, - Kepala Disbudpar - Kepala Disdikpora - Guru Olahraga. - Siswa/club - Pelatih

- Atlit

Fokus

A.1. Kegiatan Olahraga Tradisional Menyipet dan Balogo di Masyarakat Kota Palangka Raya :

- Festival - Invitasi

- Suplemen Kurikulum - Pengembangan

2. Pengembangan Kemampuan Motorik :

- Kemampuan Tehnik - Kemampuan Strategi - Kemampuan Taktik 3. Pendidikan Budaya: - Sikap Sportivitas - Sikap Kesatria

4. Pengembangan Keterampilan Psikososial:

- Komunikasi - Empati

B.Kendala – kendala dalam Kegiatan Olahraga Tradisional Meyipet dan Balogo di Masyarakat Kota Palangka Raya :

- Internal - eksternal.

(20)

60

METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan. pendekatan kualitatif dan diharapkan mendapatkan hasil yang mendalam (insight) sekaligus menyeluruh (holistic). Dikatakan demikian, karena menurut Muhadji pendekatan kualitatif dilandasi filsafat fenomenologi, yang melahirkan beberapa istilah, seperti naturalistik oleh Guba, etnometodologi oleh Bogdan, dan interaksionisme simbolik oleh Blumer, dan masing-masing mempunyai kekhasan dalam menjalankan penelitiannya.

Pendekatan kualitatif karena sifat data (jenis informasi) yang dikumpulkan bersifat kualitatif. Alasan memakai pendekatan naturalistik karena situasi lapangan penelitian bersifat natural, wajar, atau sebagaimana adanya (natural setting), tanpa manipulasi dan tidak diatur dengan eksperimen atau test. Penelitian kualitatif sangat menekankan pemilihan latar alamiah, karena fenomena yang dikaji, apapun bentuknya, punya makna yang hakiki bila berada dalam konteksnya yang asli atau alamiah.

Pemilihan metode kualitatif tersebut dengan pertimbangan : Pertama metode kualitatif memiliki keunggulan, antara lain (i) lebih melihat proses daripada produk dari objek penelitiannya; (ii) sebagai upaya pemahaman penelitian perilaku dan penelitian motivasional, (iii) menggunakan analisis data secara induktif; (iii) untuk meneliti latar belakang fenomena yang tidak dapat diteliti dengan menggunakan penelitian kuantitatif, (iv) untuk meneliti sesuatu secara mendalam (v) untuk meneliti sesuatu latar belakang misalnya tentang motivasi, peranan, nilai, sikap dan persepsi, (vi) dimanfaatkan peneliti yang ingin meneliti sesuatu dari segi prosesnya (Moleong, J. Lexi. 2004 : 7).

Kedua, peneliti berusaha mendeskripsikan dan memahami masyarakat yang menjadi sasaran pengamatan tadi lebih dipandang sebagai subyek yang memiliki kreativitas, pendapat, sikap, dan cita-cita tentang diri mereka sendiri atau dunia luar.

Ketiga, Sifat dari permasalahan yang diteliti lebih sesuai jika digunakan pendekatan kualitatif daripada pendekatan kuantitatif, sebab sifat permasalahan yang menghendaki data yang dikumpulkan bersifat data kualitatif tentang kegiatan olahraga tradisional meyipet dan balogo, dan kendala-kendala dalam kegiatan olahraga tradisional tersebut.

Keempat, sifat dari permasalahan dalam penelitian ini dan tujuan yang hendak diperoleh yaitu tentang kajian fenomena dari olahraga tradisional yang hendak mengungkap dibalik yang tampak dari fenomena tersebut yang sulit dipahami oleh metode kuantitatif. Realita fenomena sosial sering tampil dalam kondisi yang normal, kompleks, jamak dan

Analisis Data : Grounded Temuan Penelitian

(21)

61

dinamik, oleh karena itu kajian dengan menggunakan pendekatan kualitatif akan lebih proporsional.

Kelima, karena penelitian ini merupakan kajian fenomenologi maka hal tersebut termasuk di dalam jenis penelitian definisi sosial dan materi penelitian menyangkut budaya maka analisis penelitian yang proporsional adalah dengan strategi analisis penelitian Grounded Theory yang dikembangkan oleh Strauss dan Corbin, yaitu melalui prosedur open coding (perspektif emik).

Paradigma definisi sosial. Sebagaimana yang dikemukakan dalam paradigma definisi sosial bahwa teori interaksionisme simbolik dan fenomenologi masuk di dalam kategorinya. Teori interaksionisme simbolik menurut Blumer dalam hal ini sudah digunakan untuk memahami interaksi yang terjadi dalam kegiatan olahraga tradisional.

3.2. Penentuan Informan

Salah satu karakter dari penelitian kualitatif adalah mendasarkan pada realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks, dan didalamnya mengandung regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi. Oleh karena itu data atau informasi ditelusuri seluas-luasnya dan sedalam mungkin sesuai dengan variasi yang ada, sehingga fenomena yang diteliti dapat berlangsung secara utuh. Dalam prosedur penentuan informan yang terpenting adalah bagaimana dapat menemukan informan kunci (key informan) atau situasi sosial tertentu yang syarat informasi sesuai dengan fokus penelitian dengan benar sesuai secara metodologi.

Penentuan informan, berperan penting dan menentukan terhadap keberhasilan penelitian. Memperhatikan kenyataan sosial dan realita bahwa peneliti adalah dosen Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi, dan aspek lain bahwa peneliti juga orang asli Kalimantan Tengah yang dari kecil sampai sekarang dibesarkan di Kalteng, dan sekaligus sebagai pelaku olahraga tradisional tersebut. Maka penentuan informan yang sesuai dengan metodologi dan pendekatan kualitatif adalah purposive (Sanggar Kanto dalam Burhan Bungin, 2003: 51). yaitu penentuan informan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu (sesuai dengan metodologis). Adapun pertimbangan dimaksud antara lain, (1), (2) pengambil kebijakan (Dinas Budaya dan Pariwisata), dan (Guru Olahraga).

3.3.Fokus Penelitian

A. 1. Kegiatan olahraga tradisional menyipet dan balogo di masyarakat Kota Palangka B. Raya.

a. Festival menyipet dan balogo b. Invitasi menyipet dan balogo

c. Suplemen Kurikulum menyipet dan balogo d. Pengembangan menyipet dan balogo 2. Pengembangan Kemampuan Motorik

a. Kemampuan teknik b. Kemampuan strategi c. Kemampuan taktik. 3. Pendidikan Budaya

a. Sikap sportivitas b. Sikap Kesatria

4. Pengembangan Keterampilan Psikososial a. Komunikasi

b. Empati

B. Kendala-kendala dalam Kegiatan olahraga tradisional menyipet dan balogo di masyarakat Kota Palangka Raya.

(22)

62 3.4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Masyarakat Kota Palangka Raya Provinsi Kalimantan Tengah, dengan alasan :

3.4.1. Memiliki penduduk yang beragam baik itu suku, asal usul, agama dan budaya, namun hidup secara harmonis, masing-masing dapat melaksanakan hak dan kewajiban sosial budaya (tanpa harus terganggu).

3.4.2. Ancaman pengaruh teknologi, budaya dan globalisasi lebih besar, jika dibandingkan dengan pedesaan, yang secara faktual masih terpelihara dan eksis olahraga tradisional menyipet dan balogo tersebut.

3.4.3. Kehidupan kota lebih berkarakter individualistis, dan materialistis, sehingga penghargaan yerhadap penggunaan waktu untuk mengejar dan mengumpulkan materi lebih dihargai.

3.5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data untuk menjawab permasalahan penelitian ini adalah menggunakan instrumen pendekatan kualitatif sebagai berikut:

a. Instrumen utama adalah peneliti sendiri dengan menggunakan berfikir analisis mampu membuat/menarik kesimpulan/verifikasi terhadap fenomena yang diteliti; b. Instrumen bantu adalah teridiri dari sarana-sarana atau alat-alat yang dapat

membantu si peneliti (instrumen utama) dalam menarik kesimpulan atau membuat verifikasi terhadap fenomena yang diteliti.

3.6. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi sebagaimana pendapat Bogdarn dan Taylor (dalam Baharuddin, 2005;79) maka pengumpulan data akan dilakukan dengan pengamatan (observasi), wawancara mendalam, dan melakukan tilikan dokumen yang relevan.

Dalam hal ini peneliti akan terjun langsung ke lapangan untuk mengamati, melakukan wawancara mendalam, dan melakukan tilik dokumen untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan. Secara operasional, pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan sebagai berikut :

3.6.1. Observasi

Observasi atau pengamatan dapat diklasifikasikan atas pengamatan melalui cara berperan serta dan yang tidak berperan serta. Pada pengamatan tanpa peran serta, pengamat hanya melakukan satu fungsi, yaitu mengadakan pengamatan. Pengamatan berperan serta melakukan dua peranan sekaligus, yaitu sebagai pengamat dan sekaligus menjadi anggota resmi dari kelompok yang diamati (Moleong, 1991;126-127). Dalam penelitian ini pengamatan dilakukan pada setiap ada kegiatan yang menyajikan tentang olahraga tradisional khususnya Menyipet dan Balogo di Kota Palangka Raya Kalimantan Tengah.

3.6.2. Wawancara

(23)

63

memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota. Dengan mengacu kepada fokus penelitian, wawancara akan dilakukan terhadap informan kunci yang terdiri dari pengambil keputusan dan kebijakan kaitannya dengan budaya dan olahraga tradisional (Disbudpar), guru pendidikan jasmani dan Olahraga, tokoh masyarakat.

3.6.3. Dokumentasi

Moleong (1991;161) menjelaskan bahwa dokumen digunakan dalam penelitian karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan. Dalam penelitian ini dokumen yang akan ditilik mencakup dokumen-dokumen kebijakan yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan kaitannya dengan olahraga tradisional.

Langkah-langkah pengumpulan data tersebut di atas bukan merupakan urutan yang kaku tetapi teknik-teknik itu secara operasional bersifat fleksibel sesuai situasi, kondisi, dan tuntutan di lapangan. Dalam hal ini tetap harus terjaga konsistensi dan kecermatan penggunaan teknik-teknik tersebut sehingga informasi yang diperoleh terjaga kualitasnya dan memenuhi standar kredibilitas, standar transferabilitas, standar dependabilitas dan standar konfirmabilitas yang dipersyaratkan dalam penelitian kualitatif.

3.7. Sumber Informasi

Menurut Lufland dan Lofland (Moleong, 1993; 112) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sedangkan Arikunto (1997;107) menjelaskan bahwa untuk mempermudah identifikasi sumber data penelitian dapat disingkat 3P, yaitu Person (sumber data berupa orang), Place (sumber data tempat), dan Paper (sumber data berupa simbol). 3.8. Teknik Analisis Data

Menurut Patton yang dikutip Moleong, (2002), analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satu uraian dasar. Analisis data pertama-tama bermaksud mengorganisasikan data. Semua data yang terkumpul yang terdiri dari catatan lapangan dan komentar peneliti, gambar foto, dokumen berupa laporan, biografi, artikel, dan sebagainya diatur, diurutkan, dikelompokkan, diberi kode, dan kemudian dikategorisasikan. Pengorganisasian dan pengelolaan data tersebut minimal dapat menemukan tema dan proposisi sebagai teori substantif.

Mengingat pendekatan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, maka antara kegiatan pengumpulan data dan analisis data tidak mungkin dipisahkan satu sama lain, berlangsung simultan atau serempak dan terus menerus (Noeng Muhajir, 1990), sebelum, selama dan sesudah pengumpulan data.

(24)

64

Kerangka Analisis Penelitian

3.9. Keabsahan Data Penelitian

olahraga tradisonal Menyipet dan Balogo di Masyarakat Kota Palangka Raya

Fokus

A.1. Kegiatan Olahraga Tradisional Menyipet dan Balogo di Masyarakat Kota Palangka Raya : - festival

- Invitasi

- Suplemen Kurikulum - Pengembangan

2. Pengembangan Kemamuan Motorik : - Kemampuan Tehnik

- Kemampuan Strategi - Kemampuan Taktik 3. Pendidikan Budaya: - Sikap Sportivitas - Sikap Kesatria

4. Pengembangan Keterampilan Psikososial:

- Komunikasi - Empati

B. Kendala – kendala dalam Kegiatan Olahraga Tradisional Meyipet dan Balogo di Masyarakat Kota Palangka Raya :

- Internal - Eksternal.

Temuan-temuan

PROPOSISI Analisis Grounded Teori Utama

- Teori Tindakan Sosial

Teori Pendukung : - Teori Budaya - Teori Interaksionis

Simbolik

- Teori Fenomenologi

(25)

65

Untuk memperoleh keabsahan hasil penelitian, penulis menggunakan langkah-langkah sebagaimana yang dikemukakan ole

Gambar

Gambar 2.2.  Tempat menyimpan damek  Sedangkan ujungnya yang lain adalah mata anak sumpit
Gambar 2.3. Macam-macam bentuk Logo
Gambar 2.4. Struktur permainan Balogo
Gambar 1 Simbol dan Pengambilan Peran dalam Teori Interaksionisme Simbolik

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu diperlukan sebuah lembaga pembiayaan ekspor independen yang mampu mendukung pembiayaan ekspor berbiaya murah terhadap usaha kecil dan menengah, layaknya

Adanya pembentukan pengurus kegiatan diatas sangat dimungkinkan masyarakat akan lebih mudah untuk melakukan kegiatan, karena masing-masing pengurus telah

KARYA CIPTA UTAMA GUGUR TEKNIS.. P6

FAKUI.IAS HUI(UM UIIIYERSITAS SURABAYA.

Melakukan analisis kondisi saat ini ( existing ) menggunakan Gang Process Chart yang bertujuan untuk mengetahui berapa banyaknya work in process yang terjadi,

Permasalahan penurunan citra dari kawasan pasar ikan sunda kelapa ini menjadi dasar untuk merancang kawasan pasar ikan yang berbasis konsep revitalisasi sehingga citra

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran kunci determinasi berpengaruh terhadap

Mengacu pada hasil analisis data yang telah dilakukan, maka pada bagian pembahasan akan dijabarkan tentang deskripsi pengaruh variabel kreativitas iklan, daya tarik iklan