• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.PerspektifParadigma Kajian - Kredibilitas Pendidik Institusi Pendidikan Formal dan Nonformal di Mata Siswa (Studi Kasus Kredibilitas Pendidik Institusi Pendidikan Formal dan Nonformal di Mata Siswa Kelas 12 SMA Santo Thomas 2 Med

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.PerspektifParadigma Kajian - Kredibilitas Pendidik Institusi Pendidikan Formal dan Nonformal di Mata Siswa (Studi Kasus Kredibilitas Pendidik Institusi Pendidikan Formal dan Nonformal di Mata Siswa Kelas 12 SMA Santo Thomas 2 Med"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

2.1.Perspektif/Paradigma Kajian

Setiap penelitian memerlukan paradigma teori dan model teori sebagai dasar dalam menyusun kerangka pemikiran. Paradigma adalah pandangan dalam kepercayaan yang telah diterima dan disepakati bersama oleh masyarakat ilmuan berkaitan dengan teori suatu keilmuan (Sudjana, 2004:5). Paradigma secara garis besar adalah cara pandang atau seperangkat asumsi seseorang terhadap suatu realitas yang akan mempengaruhinya dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku. Paradigma akan mempengaruhi cara pandang seseorang dalam melihat realitas dan bagaimana cara menyikapinya.

Paradigma merupakan perspektif riset yang digunakan peneliti yang berisi bagaimana peneliti melihat realita, bagaimana mempelajari fenomena, cara-cara yang digunakan dalam menginterpretasikan temuan (Chariri, 2009:120). Paradigma tersusun atas tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya dalam menanggapi suatu realita. Perspektif atau paradigma yang peneliti gunakan dalam peneitian ini adalah paradigma positivisme.

2.1.1.Paradigma Positivisme

Positivisme pada dasarnya, merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran empirisme yang didukung oleh filsuf Inggris seperti Locke, Berkeley, dan Hume. Empirisme ini menjadi sumber filosofis bagi positivisme, terutama pandangan objektivistik mereka terhadap ilmu pengetahuan. Menurut empirisme, seperti yang telah diakui bersama, realitas adalah segala sesuatu yang hadir melalui data sensasi, atau dengan kata lain, pengetahuan kita harus berawal dari verifikasi empiris. Keyakinan dasar paradigma ini adalah paham ontologi realisme, yang menyatakan bahwa realitas ada dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws) yang tujuan utamanya adalah untuk mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya (Wignjosoebroto, 2005:95-96).

(2)

yang dipikirkan untuk menentukan kebenaran hendaknya memerlukan realitas sebagai sesuatu yang eksis, sebagai suatu objek yang harus dilepaskan dari sembarang macam prakonsepsi metafisis yang subjektif sifatnya (Anwar dan Adang, 2008:46). Paradigma ini memandang bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui oleh seseorang adalah apa yang tertangkap oleh panca indera. Panca indera dianggap merupakan satu-satunya yang membekali akal manusia dengan konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan.

Paradigma positivisme menekankan objektivitas bahwa fenomena dunia dapat dijelaskan dengan hukum-hukum yang objektif, rasional, dan dapat diuji. Oleh karena itu, objek kajian dari positivisme ini pada umumnya konkret dan individual sifatnya. Pada dasarnya, positivisme mengharuskan setiap konsep yang digunakan untuk didefinisikan secara operasional dengan menentukan aspek pembatasan serta ukuran-ukuran tertentu. Oleh karena itu dalam positivisme diakui bahwa operasionalisasi konsep-konsep menjadi langkah penting dalam penelitian ilmiah. Dalam positivisme, istilah atau konsep yang digunakan harus didefinisikan secara spesifik agar dengan itu peneliti dapat melakukan pengukuran-pengukuran (Pawito, 2008:50).

Bagi positivisme, seluruh aktivitas ilmiah menggunakan metode yang sama dalam mempelajari dan mencari jawaban serta mengembangkan teori. Dunia nyata berisi hal-hal yang bersifat berulang-ulang dalam aturan maupun urutan tertentu sehingga dapat dicari hukum sebab akibatnya. Dengan demikian, teori dalam pemahaman ini terbentuk dari seperangkat hukum universal yang berlaku. Sarana metode positivisme adalah pengamatan, perbandingan, eksperimen, dan metode historis (Danandjaja, 2012:13).

(3)

dimana menekankan terhadap keteraturan dari peristiwa-peristiwa alam; mekanisme, dimana semua gejala alam dianggap dapat dijelaskan secara mekanikal-determinisme (Anwar dan Adang, 2008:50).

Positivisme menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh ilmu-ilmu manusia maupun alam sehingga dapat disebut sebagai ilmu-ilmu pengetahuan yang benar, yakni eksplanatoris dan prediktif. Beranjak dari kriteria tersebut maka ilmu-ilmu harus memiliki pandangan positivistik sebagai berikut: Pertama, Objektif. Teori-teori tentang semesta haruslah bebaas nilai. Kedua, fenomenalisme. Ilmu pengetahuan hanya membicarakan tentang semesta yang teramati. Ketiga, reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta keras yang dapat diamati. Keempat, naturalisme. Alam semesta adalah objek-objek yang bergerak secara

mekanis (Bungin, 2006:10).

Positivisme lebih menekankan pembahasan singkat sehingga peneliti harus berani membangun teori-teori atau konsep dasar kemudian disesuaikan dengan kondisi lapangan. Paradigma inilah yang digunakan peneliti sebagai pandangan dasar untuk melihat dan menganalisis kredibilitas pendidik institusi pendidikan formal dan pendidik institusi pendidikan nonformal di mata siswa Ganesha Operation yang bersekolah di SMA Santo Thomas 2 Medan.

2.2.Kerangka Teori

Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti harus menyusun suatu kerangka teori. Kerangka teori merupakan landasan berpikir untuk menggunakan sudut pandang apa yang digunakan peneliti dalam menyoroti permasalahan yang akan diteliti.

Oleh karena itu, peneliti dalam pelaksanaan penelitian menggunakan teori-teori yang relevan dengan permasalahan, yaitu:

2.2.1.Public Speaking

(4)

Public speaking atau seni berbicara di depan umum adalah komunikasi yang

dilakukan secara lisan tentang sesuatu hal atau topik di hadapan banyak orang. Berbicara di depan umum merupakan kegiatan yang pada dasarnya dilakukan dalam rangka komunikasi (Sukadji, 2004:5). Berbicara di depan umum artinya menyampaikan pesan pada orang-orang yang latar belakangnya berbeda. Menurut David Zarefsky dalam bukunya Public Speaking: Strategies for Success, Public Speaking adalah suatu proses komunikasi yang berkelanjutan dimana pesan dan

lambang bersirkulasi ulang secara terus menerus antara pembicara dan para pendengarnya. Tujuannya antara lain untuk mempengaruhi, mengajak, mendidik, mengubah opini, memberikan penjelasan, dan memberikan informasi kepada masyarakat di tempat tertentu (Zarefsky, 2002:5).

Public speaking juga dapat diartikan sebagai suatu proses berbicara kepada

sekelompok orang secara sengaja serta ditujukan untuk menginformasikan, mempengaruhi, atau menghibur pendengar. Secara sederhana, Public speaking merupakan keahlian berbicara dalam berbagai keadaan dan situasi di depan sejumlah orang (Danandjaja, 2011:108).

Filsuf Yunani, Aristoteles, membahas mengenai prinsip-prinsip public speaking yang efektif dalam bukunya Rhetoric. Bagi Aristoteles, persuasi berpusat

pada tiga prinsip public speaking yang efektif, yaitu Ethos atau kredibilitas pembicara, pathos atau daya tarik emosional pembicara, dan logos atau daya tarik logis pembicara. Ethos merujuk pada karakter, intelegensi, dan niat baik yang dipersepsikan dari seorang pembicara katika hal-hal ini ditunjukkan melalui public speaking. Pathos berkaitan dengan emosi yang dimunculkan dari para pendengar

seperti rasa bahagia, sakit, benci, atau takut. Logos adalah bukti-bukti logis yang digunakan oleh pembicara, termasuk didalamnya argumen, rasionalisasi, dan bahasa yang jelas (West dan Turner, 2008:9).

2.2.2. Komunikator

(5)

peranan mereka dalam proses komunikasi. Menurut Hovland (1953), karakteristik sumber berperan dalam memengaruhi penerimaan awal pada pihak penerima pesan, namun memiliki efek minimal dalam jangka panjang tergantung dari seberapa dapat dipercaya sumber yang menyampaikan informasi tersebut. Sumber yang dapat dipercaya (credible) akan dapat memperkuat nilai informasi yang disampaikan (Morrisan dan Wardhany, 2009:18).

Langkah pertama yang dilakukan oleh seorang komunikator dalam proses komunikasi adalah ideation, yaitu penciptaan satu gagasan atau pemilihan seperangkat informasi untuk dikomunikasikan. Ideation ini merupakan landasan bagi suatu pesan yang akan disampaikan. Langkah selanjutnya dalam penciptaan suatu pesan adalah encoding, yaitu komunikator menerjemahkan informasi atau gagasan dalam wujud kata-kata, tanda-tanda atau labang-lambang yang disengaja untuk menyampaikan informasi dan diharapkan mempunyai efek terhadap orang lain (Bungin, 2008:255-256).

Proses komunikasi yang terjalin di lingkungan kelas melibatkan interaksi komunikasi antara pendidik dan siswa. Dalam hal ini baik pendidik maupun siswa dapat berperan sebagai komunikator mengingat proses komunikasi yang terjadi di dalam kelas dapat berubah sewaktu-waktu menjadi komunikasi dua arah. Apabila diadakan diskusi dan tanya jawab di dalam kelas, siwa bisa saja berperan sebagai komunikator dan pendidik sebagai komunikan yang mendengarkan pesan yang disampaikan oleh siswa sehingga peran komunikator di kelas tidak terbatas hanya pada pendidik saja. Namun peran pendidik sebagai komunikator di dalam kelas tetap saja menjadi sesuatu yang penting yang perlu diperhatikan.

2.2.2.1.Teori Kredibilitas Sumber

(6)

Teori ini menegaskan bahwa status, kehandalan, dan keahlian sumber menambah bobot kualitas pesan. Sumber atau komunikator yang memiliki hal tersebut sekaligus akan menambah bobot sumber dalam proses komunikasi. Hovland juga berpendapat walaupun komunikator yang kredibel dapat memengaruhi keberhasilan proses komunikasi, namun dampak komunikator terhadap penerima pesan bervariasi dari satu situasi kepada situasi lainnya, dari satu topik ke topik lainnya dan dari satu waktu ke waktu lainnya. Namun demikian, setidaknya komunikator yang memiliki kredibilitas tinggi dapat memberikan pengaruh kepada penerima pesan dalam hal daya penerimaan awal dari suatu pesan (Morrisan dan Wardhany, 2009:18).

2.2.2.2.Kredibilitas

Kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikan tentang sifat-sifat komunikator. Kredibilitas menurut Aristoteles (dalam Cangara, 2004:87), bisa diperoleh jika seseorang memiliki kekuatan dan daya tarik baik dari karakter pribadinya maupun dari argumentasi yang diucapkannya. Dengan demikian, untuk menjadi seorang komunikator yang efektif harus memiliki kredibilitas yang tinggi.

Kredibilitas berkenaan dengan dua komponen penting yaitu keahlian dan keadaan dapat dipercaya. Keahlian disini bergantung pada latihan, pengalaman, kemampuan, intelegensi, pencapaian profesional, dan status sosial. Seorang komunikator yang ahli atau pakar dalam bidangnya tentu akan lebih menarik perhatian komunikan; Sedangkan keadaan dapat dipercaya adalah tingkatan dimana komunikator dipahami sebagai sumber yang objektif (Tan, 1981: 105).

Menurut bentuknya kredibilitas dapat dibedakan atas tiga macam, yakni: a.) Initial Credibility (Prior Ethos)

(7)

b.) Derived Credibility

Derived credibility adalah kredibilitas yang diperoleh seseorang pada saat

komunikasi berlangsung. Derived credibility dibentuk oleh topik yang dipilih, cara penyampaian, teknik-teknik pengembangan pokok bahasan, dan bahasa yang dipergunakan, serta organisasi pesan atau sistematika yang dipakai. c.) Terminal Credibility (Intrinsic Ethos)

Terminal credibility atau intrinsic ethos adalah kredibilitas yang diperoleh seorang komunikator setelah pendengar atau pembaca mengikuti ulasannya. Dalam hal ini seorang komunikator yang ingin memperoleh kredibilitas perlu memiliki pengetahuan yang dalam, pengalaman yang luas, kekuasaan yang dipatuhi dan status sosial yang dihargai. Selain pelaku persepsi dan topik yang dibahas, faktor situasi juga mempengaruhi intrinsic ethos, meskipun belum banyak penelitian yang dilakukan untuk mengamati pengaruh situasi pada persepsi komunikan mengenai komunikator (Rakhmat, 2005:259). Kredibilitas seorang komunikator bisa berubah bila terjadi perubahan khalayak, topik, dan waktu. Artinya kredibilitas seorang pembicara pada suatu tempat belum tentu bisa sama di tepat lain kalau khalayaknya berubah. Demikian pula halnya dengan perubahan topik dan waktu. Seorang komunikator bisa saja menguasai topik tertentu, tetapi belum tentu dengan topik yang lain (Cangara, 2004:89).

Komponen-komponen dalam kredibilitas antara lain: a. Keahlian (Expertise)

Keahlian adalah kesan yang dibentuk komunikan tentang kemampuan komunikator dalam hubungannya dengan topik yang dibicarakan. Komunikator yang dinilai tinggi pada keahlian dianggap sebagai cerdas, mampu, ahli, tahu banyak, berpengalaman, atau terlatih. Tentu sebaliknya, komunikator yang dinilai rendah pada keahlian dianggap tidak berpengalaman, tidak tahu, atau bodoh.

b. Kepercayaan (Trustworthiness)

(8)

tidak adil, dan tidak etis? Aristoteles menyebutnya ”good moral character”. Quintillianus menulis “Orang baik berbicara baik”.

c. Dinamisme (Dynamism)

Menurut Koehlr, Annatol, dan Aplbaum komponen kredibilitas ditambah dengan dinamisme yang berkenaan dengan cara berkomunikasi, bergairah, bersemangat, aktif, tegas, dan berani. Dinamisme memperkokoh kesan keahlian dan kepercayaan.

d. Sosiabilitas (sociability)

Sosiabiitas adalah kesan komunikan tentang komunikator sebagai orang yang periang dan suka bergaul.

e. Koorientasi (co-orientation)

Koorientasi adalah kesan komunikan tentang komunikator sebagai orang yang mewakili kelompok dan nilai-nilai dari komunikan.

f. Kharisma

Menunjukkan suatu sifat luar biasa yang dimiliki komunikator yang menarik dan mengendalikan komunikan seperti magnet menarik benda-benda sekitarnya. Karisma terletak pada persepsi komunikan.

g. Daya Tarik (Attractiveness)

Secara umum konsep ini meliputi penampilan fisik dan identifikasi psikologis. Pada konteks ini daya tarik berbeda dengan kharisma. Seseorang mungkin saja menarik, namun tidak memiliki kharisma, dan sebaliknya. Daya tarik dibagi menjadi dua yakni, daya tarik fisik dan daya tarik psikologis. Daya tarik fisik berkenaan dengan penampilan fisik, orang yang memiliki daya tarik fisik secara sosial lebih mendapat perhatian, lebih dihargai, lebih diterima, lebih banyak mendapat umpan balik positif pada setiap awal interaksi yang dilakukan; sedangkan daya tarik psikologis biasanya menyangkut kesamaan (similarity). Kesamaan antara komunikan dan komunikator dapat meningkatkan daya tarik yang membuat komunikasi lebih efektif (Rakhmat, 2005:260).

2.2.3.Komunikasi Kelompok

(9)

kebergantungan), mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut, meskipun setiap anggota boleh jadi memiliki peran berbeda. Dengan demikian dapat dipahami bahwa komunikasi kelompok adalah komunikasi yang berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok (Mulyana, 2010:82).

Michael Burgoon (dalam Wiryanto, 2005:46-47) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi yang secara tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah. Komunikasi kelompok dibagi menjadi dua yaitu komunikasi kelompok kecil dan komunikasi kelompok besar.

Komunikasi pendidikan atau komunikasi yang terjalin di dalam kelas antara pendidik dan siswa-siswinya tergolong sebagai komunikasi kelompok besar. Komunikasi kelompok besar atau komunikasi publik adalah komunikasi antara seorang pembicara dengan sejumlah besar orang sebagai khalayak komunikannya. Komunikasi kelompok menuntut persiapan pesan yang cermat, keberanian, dan kemampuan menghadapi sejumlah besar orang. Daya tarik fisik pembicara bahakan sering merupakan faktor penting yang menentukan efektivitas pesan, selain keahlian dan sifat dapat dipercaya pembicara (Mulyana 2010: 82).

Ciri-ciri komunikasi kelompok besar adalah terjadi di tempat umum, biasanya di auditorium, kelas, tempat ibadah atau tempat lainnya yang dihadiri sejumlah besar orang; merupakan peristiwa sosial yang biasanya telah direncanakan; terdapat agenda; dan beberapa orang ditunjuk untuk menjalankan fungsi-fungsi khusus. Komunikasi publik sering bertujuan memberikan penerangan, menghibur, memberikan penghormatan, atau membujuk (Mulyana 2010:83). Komunikasi yang terjadi di dalam kelas baik di sekolah maupun di bimbingan belajar merupakan komunikasi kelompok besar yang dalam pelaksanaannya pada keadaan tertentu melibatkan komunikasi dua arah, misalnya apabila diadakan diskusi dimana ada interaksi antara pendidik dan siswanya atau pada saat pendidik dan siswa melakukan tanya-jawab.

2.2.4.Komunikasi Pendidikan

(10)

belajar. Atas dasar pengertian tersebut maka tujuan utama komunikasi yang terorganisasi dan berkelanjutan itu adalah timbulnya kegiatan belajar. Pendidikan dan komunikasi memiliki kaitan yang sangat erat, segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan tidak akan dapat berjalan tanpa adanya komunikasi. Ketika seseorang belajar, berpengalaman, maka orang tersebut melakukan dan membutuhkan komunikasi. Komunikasi memegang peranan dan dalam pemantapan pembelajaran dan perilaku yang diharapkan, hubungan antara pendidik dengan peserta didik, dan penyampaian instruksi, termasuk di dalamnya bertanya, dan pemberian feedback bagi individu.

Pada hakekatnya, komunikasi pendidikan dapat diartikan sebagai proses komunikasi yang terjadi dalam lingkungan pendidikan baik secara teoritis maupun secara praktis. Komunikasi pendidikan adalah proses komunikasi yang dirancang dan dipersiapkan secara khusus untuk tujuan-tujuan penyampaian pesan atau informasi pendidikan. Komunikasi pendidikan menekankan interaksi dua pihak atau multi pihak, yaitu guru, siswa, dan lingkungannya sehingga terjadi hubungan dialogis dan interaksional melalui dialog. Guru atau pendidik berperan dalam menciptakan dialog dengan dasar saling mempercayai dan saling membantu. Sedangkan siswa diajak untuk menghayati nilai sosial budaya yang ada di masyarakat (TPIP FIP-UPI, 2007:61).

Driyakara (dalam Koesoema, 2007:62) memahami pendidikan dalam konteks tindakan komunikatif. Pendidikan tidak lain merupakan sebuah proses komunikasi yang autentik antarmakhluk yang berada. Ia memandang pendidikan sebagai komunikasi eksistensia manusiawi yang autentik kepada manusia-muda supaya dimiliki, dilanjutkan, dan disempurnakan. Komunikasi ini terlaksana dalam kesatuan interpersonal antara pendidik dan anak didik.

2.2.5.Konsep Pendidikan

(11)

utuh, melalui berbagai macam dimensi yang dimilikinya (religius, moral, personal, sosial, kultural, temporal, institusional, relasional, dll.) demi proses penyempurnaan dirinya secara terus menerus dalam memaknai hidup dan sejarahnya di dunia ini dalam kebersamaan dengan orang lain (Koesoema, 2007:63).

Martin Buber memiliki pemahaman pendidikan bukan hanya melengkapi apa yang kurang dalam kodrat kita, melainkan lebih sebagai sebuah perjumpaan yang menumbuhkan. Pendidikan tidak dapat dilepaskan dari perhatian adanya keberadaan orang lain yang ikut campur dan memengaruhi pembentukan diri kita. Pendidikan dengan demikian memiliki tujuan pokok untuk membentuk pribadi agar memiliki “karakter mulia” (Koesoema, 2007:62).

Pendidikan secara umum dapat dipahami sebagai usaha sadar yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pendidikan (instansi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan lainnya) untuk mempersiapkan generasi yang lebih baik di masa yang akan datang. Secara khusus, pendidikan dilakukan oleh pelaksana pendidikan yaitu pendidik (guru, tutor, pelatih, instruktur) terhadap peserta didik untuk mempersiapkan peserta didik agar lebih mampu menghadapi tugas, pekerjaan, dan kehidupannya di masa depan.

Secara normatif ada tiga tujuan pendidikan. Pertama, sebagai pedoman arah bagi proses pendidikan. Sebagai pedoman arah tujuan pendidikan bersifat direktif dan orientasional bagi lembaga pendidikan. Dengan demikian kegiatan pendidikan memiliki arah, dan arah ini akan memberikan hasil-hasil tertentu atas campur tangan pendidikan. Kedua, tidak sekadar mengarahkan proses pendidikan, melainkan semestinya juga menjadi sumber motivasi yang menggerakkan insan pendidikan untuk mengarahkan seluruh waktu dan tenaganya pada tujuan tersebut. Pendidikan bukan sekadar menjadi orientasi secara kelembagaan, melainkan juga menjadi motivasi bagi setiap individu yang terlibat di dalam dunia pendidikan. Ketiga, menjadi dasar atau kriteria untuk melaksanakan sebuah evaluasi bagi kinerja pendidikan (Koesoema, 2007:64-66).

(12)

Pendidikan Formal

Pendidikan formal adalah kegiatan yang sistematis, berstruktur, bertingkat, berjenjang, dimulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setaraf dengannya; termasuk kedalamnya ialah kegiatan studi yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan profesional, yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus (Sudjana, 2004:79). Pendidikan formal memiliki program yang berurutan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan dan dapat diterapkan secara seragam di semua tempat yang memiliki kondisi sama. Tujuan program pendidikan formal adalah untuk membekali peserta didik dengan kemampuan umum untuk kehidupan masa depan. Pendidikan formal berorientasi pada ijazah, artinya hasil akhir belajar ditandai dengan pengesahan kemampuan melalui ijazah, dengan kata lain ganjaran atas keberhasilan terutama diperoleh pada akhir program (TPIP FIP-UPI, 2007:20).

Pada pendidikan formal memerlukan seleksi penerimaan peserta didik, peserta didik diseleksi dengan persyaratan ketat (ujian) guna mengetahui kemampuan yang diperlukan. Berdasarkan aspek waktu, pendidikan formal memerlukan waktu yang relatif lama, jarang selesai dalam satu tahun; sering melampaui batas waktu yang ditetapkan, kadang-kadang diselesaikan lebih dari sepuluh tahun. Satu jenjang menjadi syarat untuk mengikuti jenjang yang lebih tinggi. Pendidikan formal berorientasi ke masa depan, dan menggunakan waktu penuh serta terus menerus. Berdasarkan proses pembelajarannya, pendidikan formal dipusatkan di lingkungan sekolah dan terlepas dari lingkungan kehidupan peserta didik di masyarakat (TPIP FIP-UPI, 2007:20-21).

Pendidikan Nonformal

(13)

ketat bagi peserta didiknya sebagaimana persyaratan yang berlaku bagi peserta didik pendidikan formal (TPIP FIP-UPI, 2007:13).

Sebagaimana dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 26 ayat 1 dan 2 dijelaskan bahwa pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik (warga belajar) dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilanfungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

Hoxeng (1973), Srinivasan (1977), dan pakar pendidikan lainnya menggolongkan program-program pendidikan nonformal ke dalam beberapa kategori yaitu: Pertama, pendekatan yang berpusat pada isi program, dimana isi program pendidikan nonformal disusun dan digunakan untuk mentransfer pengetahuan, keterampilan, dan sikap baru dalam bidang tertentu dan untuk membantu peserta didik agar mereka dapat mengadopsi hal-hal tersebut; Kedua, pendekatan yang diarahkan pada pemusatan perhatian terhadap pemecahan masalah, dimana peserta didik dibantu agar mereka mampu menghimpun dan menggunakan informasi yang tepat dalam menemukan masalah serta pemecahannya dalam kehidupan sehari-hari; Ketiga, pendekatan pengembangan sumber daya manusia dan perencanaan kreatif,

dimana diarahkan untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan merencanakan yang terdapat pada diri peserta didik sehingga mereka dapat berfungsi lebih dinamis dan efektif (dalam TPIP FIP-UPI, 2007:16).

(14)

sesuai dengan kesempatan peserta didik. Berdasarkan proses pembelajarannya, pendidikan nonformal dipusatkan di lingkungan masyarakat dan lembaga. Kegiatan belajar dapat dilakukan di berbagai lingkungan atau satuan pendidikan nonformal seperti sanggar kegiatan belajar, pusat latihan, dan sebagainya (TPIP FIP-UPI, 2007:20-21).

Bimbingan Belajar

Secara etimologis bimbingan berasal dari kata bimbing yang dalam bahasa inggris disebut guidance yang berarti mengarahkan, membantu, mengatur, atau menuntun. Bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada seorang individu dari setiap unsur, untuk menolong dirinya dalam mengatur kegiatan-kegiatan hidupnya, mengembangkan pendirian atau pandangan hidupnya, membuat putusan-putusan, dan memikul beban hidupnya sendiri (Purwanto, 2008).

Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri; dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan; berdasarkan norma yang berlaku (Prayitno dan Amti, 2001:99).

Bimbingan belajar adalah suatu proses pemberian bantuan terus-menerus dan sistematis kepada individu atau peserta didik dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kaitannya dengan kegiatan belajar (Ahmadi, 2007:111). Bimbingan belajar adalah suatu proses pemberian bantuan dari pendidik kepada siswa dengan cara mengembangkan suasana belajar yang kondusif dan menumbuhkan kemampuan agar siswa dapat mengatasi serta terhindar dari kesulitan belajar yang mungkin dihadapinya sehingga mencapai hasil belajar yang optimal.

(15)

teknik belajar yang efektif, memantapkan diri dalam memperdalam pelajaran tertentu, berusaha memperoleh informasi mengenai berbagai hal dalam rangka mengembangkan wawasan yang lebih luas, dan memiliki kesiapan mental serta kemampuan untuk menghadapi ujian (Yusuf, 2009:37-52).

Secara garis besar bimbingan belajar adalah wadah dalam menambah waktu belajar dengan bimbingan dari para pendidik yang berkompeten dan merupakan kegiatan penunjang kurikulum. Bimbingan belajar dikategorikan kedalam ekstrakurikuler atau kegiatan yang dilakukan diluar sekolah atau di tengah-tengah masyarakat yang bertujuan untuk membantu siswa dalam memenuhi kebutuhannya akan pendidikan. Bimbingan belajar erat kaitannya dengan pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan terkait. Bimbingan belajar nonformal dianggap sangat potensial dalam meningkatkan hasil belajar siswa.

Pendidik

Dalam kegiatan pendidikan, pendidik memegang peranan penting dalam mengembangkan kecakapan dan kepribadian siswa. Pendidik atau guru merupakan jabatan atau profesi yang membutuhkan keahlian khusus. Pendidik adalah unsur penting di dalam keseluruhan sistem pendidikan. Di dalam pendidikan, guru mempunyai beberapa tugas pokok yang harus dilaksanakan, yaitu tugas profesional, tugas kemasyarakatan, dan tugas manusiawi. Tugas profesional adalah tugas yang berhubungan dengan profesinya. Tugas profesional ini meliputi tugas untuk mendidik, mengajar, dan melatih. Mendidik mempunyai arti untuk meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar mempunyai arti untuk meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta teknologi, dan tugas melatih mempunyai arti untuk mengembangkan keterampilan; Tugas manusiawi merupakan tugas sebagai seorang manusia. Pendidik dalam hal ini harus bisa menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua bagi siswa serta harus bisa menarik simpati siswa dan menjadi idola bagi siswa; Tugas kemasyarakatan adalah tugas sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang berfungsi sebagai pencipta masa depan dan penggerak kemampuan (http://www.informasi-pendidikan.com).

(16)

pembelajaran, serta mampu membimbing siswa untuk terlibat dalam proses belajar secara produktif.

Siswa

Siswa atau peserta didik merupakan sebutan untuk anak didik pada jenjang pendidikan dasar dan juga menengah. Menurut pasal 1 ayat 4 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:

“peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu.”

(17)

2.3.Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Siswa Kredibilitas

Pendidik

Institusi Pendidikan

Formal

Institusi Pendidikan

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Hasil : Hasil menunjukkan bahwa di bangsal rawat inap Marwah dan Arafah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, mayoritas kecerdasan spiritual perawat dalam klasifikasi tinggi yaitu

Secara umumnya, kajian ini bertujuan meninjau prestasi pelajar dalam menulis sistem ejaan jawi terkini yang telah dikemaskini oleh Dewan Bahasa dan Pustaka..

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pasien yang di berikan pendekatan spiritual terhadap prilaku spiritual dengan yang tidak di berikan

Mereka yang tidak tertarik untuk mengelola, tetap harus bekerja sama dengan para manajer karena jika anda bergelut dalam sebuah organisasi , kemungkinan besar Anda akan memikul

Kesimpulan dari penelitian ini adalah waktu pelepasan tourniquet dapat mempengaruhi kadar kalium dan disarankan untuk bagi tenaga medis untuk melepaskan tourniquet

Dalam   masalah   ini   yang   lebih   kuat   menurut   saya adalah pendapat bahwa penghasilan yang mencapai nisab wajib diambil zakatnya,   sebagaimana yang dikatakan

NAMA-NAMA PELAMAR YANG DINYATAKAN LULUS SELEKSI ADMINISTRASINALIDASI ADMINISTRASI DOKUMEN DAN BERHAK UNTUK MENGIKUTI SELEKSI KOMPOTENSI DASAR (SKD) DENGAN SISTEM COMPUTER ASSISTED

P: Langkah apa sajakah yang dilakukan dalam proses pelaksanaan metode SEFT Total Solution dalam menangani remaja korban perkosaan?. I: Yang pertama melakukan