• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tongkonan Sangulele sebagai Solidaritas Kekristenan Tana Toraja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tongkonan Sangulele sebagai Solidaritas Kekristenan Tana Toraja"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

i

TONGKONAN SANGULELE SEBAGAI SOLIDARITAS KEKRISTENAN TANA TORAJA

Oleh:

Erqyn Paula Lebang 712012058

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi

guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si. Teol)

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

MOTTO

“Banyaklah rancangan di hati manusia,

tetapi keputusan TUHANlah yang terlaksana”

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus, untuk berkat dan rahmat-Nya yang senantiasa tercurah dalam hidupku, terkhususnya ketika saya berkuliah. Hanya karena kebaikkan-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Akhir (TA) ini. Tuhan Yesus juga membantu saya melalui pihak-pihak yang berperan penting dalam selama masa perkuliahan di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Oleh karena itu, ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada:

1. UKSW sebagai lembaga di mana saya menuntut ilmu. Terima kasih kepada semua pihak untuk semua pelayanannya.

2. Fakultas Teologi UKSW tempat saya dibina, dibimbing dan dididik. Terima kasih saya sampaikan kepada para dosen dan juga para pegawai untuk setiap pelayanannya. Tuhan Yesus kiranya memberkati kalian.

3. Pak Pdt. Jopie Daan Engel sebagai wali studi karena telah menjadi orang tua membimbing dan mengarahkan selama proses berkuliah di Fakultas Teologi.

4. Pak Pdt Izak Lattu sebagai pembimbing utama dan Pdt Rama Tulus Pilakoannu selaku pembimbing pendamping yang telah bersedia membimbing dan memberikan banyak motivasi selama penulisan Tugas Akhir. Tuhan yesus senantiasa memberkati keluarga, pelayanan dan tugas dimanapun bapak berada.

5. Keluarga Tercinta: Papa-Mama, Terima kasih tak terhingga untuk dukungan kasih sayang, doa, material yang boleh terpenuhi setiap saat. Kakak Eq Setiawan dan Adik terkasih Febrin Lebang yang turut membantu dalam dukungan doa, material dan non material. Oma Pdt Henriette Hutabarat Lebang selaku pembimbing serta orang tua yang ikut membantu dalam proses penyelesaian Tugas Akhir. Oma Elisabeth Payung yang memberikan motivasi dan dukungan doa. Tuhan yesus senantiasa memberikan kesehatan.

6. Para Sahabat, Stela Hattu, Anthoneta karatem, Vivi Usmany, Melkior yang telah ikut membantu dalam penulisan Tugas Akhir.

7. Teman terdekat, Marlock Riupassa yang boleh turut serta membantu dan memberikan semangat dalam menyelesaikan Tugas Akhir.

(8)

viii

9. Tempat praktek: GKI Soka Salatiga (PPL I-IV), Panti Asuhan Salib Putih (PPL V) Terima kasih karena sudah menerima saya untuk menjalani praktek di sana.

10.Jemaat Gereja Toraja Bukit Sion Makale yang menjadi buku hidup dan dosen bagi saya selama empat bulan masa PPL VI. Tuhan kiranya membalas semua kebaikan kalian.

11.Siapa pun yang tidak sempat saya sebutkan namanya.

Salatiga, 13 Februari 2018

(9)

ix DAFTAR ISI

Cover ………...……… i

Lembar Pengesahan …..………...……… ii

Pernyataan Tidak Plagiat ………...……… iii

Pernyataan Persetujuan Akses ………...……… iv

Pernyataan Persetujuan Publikasi ………...…...……… v

Motto ………...……..………… vi

Kata Pengantar ………..……… vii

Daftar Isi ………...……….………...……… ix

Abstrak ………....…………...……….…… xi PENDAHULUAN ………...………..……… 1

Latar Belakang ………...………..……… 1

Rumusan Masalah ………...…………..……… 4

Tujuan Penelitian ………...…………..……… 5

Manfaat Penelitian ……….……… 5

Metode Penelitian ………...…………..……… 6

KAJIAN TEORI ………..………… 7

Teori Simbol ………...………..………… 7

Teori Relasi ……….………..………… 9

(10)

x

Pembangunan Tongkonan Sangulele ……….……… 18 Pemahaman jemaat menyangkut Tongkonan Sangulele ………..……… 19 Pemahaman masyarakat umum terkait Tongkonan ………….……….………… 23 Tongkonan bagi masyarakat Tana Toraja ………..…… 25

PENUTUP ……….……….…… 29

(11)

xi ABSTRAK

Tongkonan Sangulele adalah rumah milik berasama bagi masyarakat Tana Toraja. Solidaritas masyarakat di Tana Toraja terlihat dengan adanya Tongkonan Sangulele yang berdiri di tengah masyarakat masa kini. Tongkonan Sangulele juga digunakan oleh Gereja Toraja sebagai kantor Badan Pekerja Sinode. Hal ini merupakan inisiatif Gereja, untuk menghilangkan sistem kasta (strata sosial) yang ada di Tana Toraja.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan serta menganalisis Tongkonan sebagai simbol solidaritas kekristenan umat di Tana Toraja. Tongkonan yang merupakan rumah adat serta rumah kerukunan keluarga yang memiliki fungsi dan perannya masing-masing. Tongkonan sebagai simbol status sosial masyarakat Toraja yang merupakan falsafah hidup orang Toraja sendiri. Hanya pada rumah Tongkonan pada umumnya masih berpegang pada sistem strata sosial dengan kasta-kasta yang dimiliki. Tongkonan Sangulele yaitu rumah milik bersama persekutuan seluruh umat masyarakat Tana Toraja dimanapun mereka berada. Berdasarkan hasil dari penelitian dan data lapangan, Tongkonan Sangulele merupakan rumah terbuka untuk semua orang dari berbagai kalangan manapun tempat menyatukan masyarakat Toraja.

(12)

1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Identitas atau simbol daerah dari negeri yang berbudaya yang ingin dijelaskan oleh penulis adalah budaya adat daerah Sulawesi Selatan, khususnya budaya Tana Toraja. Tana Toraja memiliki keberagaman dengan kearifan lokal untuk membangun kehidupan yang lebih baik dalam sebuah persekutuan. Tana Toraja terkenal dengan destinasi daerahnya yang unik dan salah satunya budaya Tongkonan atau rumah ritual Toraja.

Tongkonan berasal dari kata tongkon, yang berarti “duduk”, menyatakan

belasungkawa”. Tongkonan berarti tempat duduk, rumah, teristimewa rumah para leluhur, tempat keluarga besar bertemu untuk melaksanakan ritus-rituas adat secara bersama.1. Tongkonan merupakan tatanan simbol eksistensi keluarga penghuni dan sebagai tempat (pusat) berkumpulnya rumpun keluarga dari tongkonan itu.

Bangunan ini bukan sekadar rumah adat, tempat orang membicarakan atau menyelenggarakan urusan-urusan adat, bukan juga sekadar rumah keluarga besar, tempat orang memelihara persekutuan kaum kerabat. Tongkonan mencakup kedua aspek tersebut.2 “Apabila sepasang suami-istri membangun rumah, pada prinsipnya sebuah tongkonan telah lahir, ataupun tidak dengan sendirinya setiap rumah harus

menjadi tongkonan”. Model asli tongkonan dibuat di langit ketika Puang Matua

dengan bantuan Pande Manarang dan Pande Paliuk membangun rumah dari besi di pusat langit. Aluk yang menyangkut pembangunan rumah, yaitu upacara penahbisannya, juga sudah ditentukan di langit.

Dasar persekutuan Toraja ialah hubungan darah daging, yang disimbolkan dengan tongkonan. Dasar tongkonan ialah setiap pasangan suami-istri harus membangun rumah sendiri, yang kemudian dipelihara oleh keturunannya. Menurut

1

Theodorus Kobong, Injil dan Tongkonan (Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2008), 86 2 C. Parinding, “Tongkonan” Menerjemahkan Rumah Asal Atau Rumah

(13)

2 tradisi yang diturunkan oleh generasi ke generasi, tongkonan pertama yang dikenal adalah Banua Puan di Marinding, yang didirikan oleh Tangdilino.3

Kehidupan masyarakat Toraja pada dasarnya terbagi atas beberapa kasta-kasta yang dimana terdapat sistem yang lebih formal, yang disebut tana yang berasal dari adat perkawinan. Kata tana sendiri merupakan berarti tonggak yang ditancapkan ke dalam tanah untuk memberi tanda batas sawah atau ladang. Batas-batas semacam itu juga terdapat dalam masyarakat tanda batas golongan: antara orang yang

termasuk golongan emas (tana‟ bulan) dan yang termasuk golongan besi (tana‟bassi)

dan antara yang disebut terakhir dengan yang termasuk golongan kayu (tana‟

karurung) serta dengan golongan bawah (tana‟ kua-kua). Untuk memelihara dan memperkuat hubungan antara anggota-anggota Masyarakat Toraja, tongkonan diperlukan berbagai ritual; Dalam ritual ini dihubungkan dengan proses renovasi pembuatan tongkonan. Ritual sangat penting dalam proses tongkonan tersebut untuk mengatur dan menjalankan proses tongkonan itu bisa berjalan secara teratur. Ritual ini juga berjalan untuk mempersatukan berbagai elemen masyarakat di tana Toraja.4

Adapun ritual-ritual yang dilakukan masyarakat Toraja tertentu tidak pernah lepas dari tongkonan, dan kasta-kasta yang ada memiliki masing-masing kedudukan sama halnya dengan tempat duduk mereka berbeda dan terbagi-bagi di alang, bahkan

untuk tana‟ kua-kua sendiri tidak memiliki di alang (lumbung padi) karena mereka adalah golongan paling bawah.

Masyarakat Toraja sangat menjaga dan melestarikan budaya Tongkonan tetap menjaga eksistensi hingga saat ini. Tongkonan sebagai aset terpenting dari kebudayaan yang ada di tana Toraja, karena memiliki nilai untuk membangun persekutuan yang menghidupkan. Tongkonan hadir untuk mempersatukan nilai kemanusiaan yang ada di tana toraja lewat persaudaraan, saling membantu dan merasakan suka dan duka antara satu dan lainnya.

3

Theodorus Kobong, Injil dan Tongkonan (Jakarta: Bpk GunungMulia, 2008), 88. 4

(14)

3 Tongkonan tidak hanya berada pada lingkungan adat masyarakat tana Toraja saja, tetapi gereja juga mengambil bagian dalam memahami adat tongkonan sebagai proses pelayanan gereja dengan cara kantor sinode dibuat seperti rumah Tongkonan Sangulele. Berarti gereja inklusif terhadap realita masyarakatnya dalam memahami pergumulan lewat adat Tongkonan.

Tongkonan Sangulele merupakan rumah masyarakat dari berbagai penjuru.

“Di sini tempat kami mendoakan berbagai aspek kehidupan, ini adalah rumah bagi

semua kalangan (Kantor Sinode Toraja)”

Untuk memahami Tongkonan Sangulele sebagai simbol solidaritas kekristenan di Toraja, penulis akan menggunakan perspektif teori simbol. 5Teori tentang simbol berasal dari Yunani kata symboion dari syimballo (menarik kesimpulan berarti memberi kesan). Simbol atau lambang sebagai sarana atau mediasi untuk membuat dan menyampaikan suatu pesan, menyusun sistem epistimologi dan keyakinan yang dianut. Pengertian simbol tidak akan lepas dari ingatan manusia secara tidak langsung manusia pasti mengetahui apa yang disebut simbol, terkadang simbol diartikan sebagai suatu lambang yang digunakan sebagai penyampai pesan atau keyakinan yang telah dianut dan memiliki makna tertentu. Arti simbol juga sering terbatas pada tanda konvensionalnya, yakni sesuatu yang dibangun oleh masyarakat atau individu dengan arti tertentu yang kurang lebih standar yang disepakati atau dipakai anggota masyarakat tersebut. Adapun dalam kehidupan sehari-hari manusia sering membicarakan tentang simbol, begitu pula dengan kehidupan manusia tidak mungkin tidak berurusan dengan hasil kebudayaan. Akan tetapi setiap hari orang melihat, mempergunakan bahkan kadang-kadang merusak kebudayaan tersebut.

Simbol tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia dalam segala situasi hidupnya, dari yang primitif sampai modern. Simbol-simbol yang ada dalam masyarakat pasti memiliki makna yang sangat penting. A.N. Whitehead dalam

5

(15)

4 bukunya Symbolism yang dikutip oleh F.W. Dilistone dalam buku The Power of Symbols mengatakan bahwa “pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila

beberapa komponen pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan dan gambaran mengenai komponen-komponen lain pengalamannya. Perangkat

komponen terdahulu adalah “simbol” dan perangkat komponen yang kemudian

membentuk “makna simbol”. Keberfungsian organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu disebut “referensi”.6

Apa yang dikatakan A.N. Whitehead mengisyaratkan tentang adanya pikiran dan pengalaman sehari-hari yang dapat dipandang sebagai lambang di dalam kehidupan ini.7 Jadi “simbol” adalah sesuatu yang merupakan tanda sebagai ganti sebuah gagasan atau obyek tertentu. Dalam arti yang biasa, simbol adalah gambaran yang menunjuk pada suatu tanda dalam suatu komunitas tertentu yang dapat dipahami maknanya.

Berdasarkan pembahasan diatas, penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam makna serta simbol solidaritas kekristenan dari Tongkonan Sangulele dimata masyarakat Tana Toraja.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi latar belakang di atas, maka untuk lebih memfokuskan penelitian ini, perlu dirumuskan masalah penelitian. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pemahaman masyarakat di Tana Toraja memahami Tongkonan?

2. Bagaimana Tongkonan Sangulele dapat menjadi representasi simbol solidaritas dari hubungan internal komunitas Kristen di Tana Toraja? 3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan pemahaman masyarakat Tana Toraja terkait dengan Tongkonan di Tana Toraja.

6

F.W. Dillistone, The Power of Symbols, SCM Press Ltd., London 1986, terj. A. Widyamarta (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 18.

7

(16)

5 2. Untuk menjelaskan Tongkonan Sangulele sebagai representasi simbolik

mengetahui hubungan komunitas Kristen di Tana Toraja. 4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai sumbangan terhadap pengembangan ilmu, khususnya dalam bidang agama dan kebudayaan.

2. Memberikan sumbangan pemikiran dalam kehidupan bergereja, guna memperlihatkan identitas sosial.

3. Memberikan sumbangan atau masukan informasi bagi masyarakat dan gereja tentang Tongkonan di Tana Toraja.

4. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk mahasiswa dalam proses perkuliahan.

5. Metode Penelitian

Dalam penulisan ini jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif, sebab penelitian ini dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap fenomena yang terjadi. Namun, jenis penelitian kualitatif ini tidak menggunakan model matematik tetapi terbatas pada pengolahan data yang diperoleh melalui pengamatan dan penelitian lapangan. Pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral. Untuk mengerti gejala tersebut penulis mewawancarai peserta penelitian atau partisipan dengan mengajukan pertanyaan yang umum dan agak luas.8 Cara penulis mengumpulkan data adalah wawancara mendalam, dokumentasi objek penelitian dan observasi . Wawancara dilakukan dengan tujuan, mendapatkan keterangan dan informasi lebih lanjut dari informan-informan kunci.9 Wawancara dilakukan agar penulis mendapatkan data dari tangan pertama (primer) sebagai pelengkap teknik pengumpulan data untuk menguji hasil pengumpulan data lainnya.10

8

Muhammad Nasir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), 63-64. 9

Koentjraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997) 130.

10

(17)

6 Sumber Data

Informan yang akan menjadi sumber data adalah ketua BPS, anggota BPS, Pendeta, Kepala Suku Adat, dan masyarakat Toraja. Informan kunci tersebut dianggap mampu memberikan informasi yang memadai, mengenai penelitian yang dilakukan.

Lokasi Penelitian

 Lokasi penelitian berada di Rantepao, Kantor Sinode Toraja Utara Sulawesi Selatan

Sistematika Penulisan

(18)

7 KAJIAN TEORI

1. Teori Simbol

Sebuah simbol atau kumpulan simbol bekerja dengan menghubungkan sebuah konsep, ide umum pola atau bentuk. Menurut Susanne Langer, konsep adalah makna yang disepakati bersama diantara pelaku komunikasi. Makna yang disepakati bersama adalah makna denotatif, sedangkan konotasi merupakan gambaran atau makna pribadi11. Teori tentang simbol berasal dari Yunani kata symboion dari

syimballo (menarik kesimpulan berarti memberi kesan). Simbol atau lambang sebagai sarana atau mediasi untuk membuat dan menyampaikan suatu pesan, menyusun sistem epistimologi dan keyakinan yang dianut.12

Dalam teori simbol, Doede Nauta berpendapat bahwa setiap tanda (melalui suatu yang khusus) yang menentukan isi komunikasi antar manusia berdasarkan konvensi, adalah simbol. Hal ini tidak bertentangan dengan pendapat Pierce, Nauta dan Eco yang menyatakan bahwa simbol merupakan salah satu jenis tanda artinya tidak semua jenis tanda dalam sistem komunikasi secara langsung merupakan simbol, sebagian tanda itu dapat saja berupa ikon atau indeks.13

Simbol tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia dalam segala situasi hidupnya, dari yang primitif sampai modern. Simbol-simbol yang ada dalam masyarakat pasti memiliki makna yang sangat penting. A.N. Whitehead dalam bukunya Symbolism yang dikutip oleh F.W. Dilistone dalam buku The Power of Symbols mengatakan bahwa “pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan dan gambaran mengenai komponen-komponen lain pengalamannya. Perangkat

komponen terdahulu adalah “simbol” dan perangkat komponen yang kemudian

11

http://www.academia.edu/11623084/Teokom-teori-simbol. 12

Sujono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2001). 13

(19)

8

membentuk “makna simbol”. Keberfungsian organis yang menyebabkan adanya

peralihan dari simbol kepada makna itu disebut “referensi”.14

Apa yang dikatakan A.N. Whitehead mengisyaratkan tentang adanya pikiran dan pengalaman sehari-hari yang dapat dipandang sebagai lambang di dalam kehidupan ini.15 Jadi “simbol” adalah sesuatu yang merupakan tanda sebagai ganti sebuah gagasan atau obyek tertentu. Dalam arti yang biasa, simbol adalah gambaran yang menunjuk pada suatu tanda dalam suatu komunitas tertentu yang dapat dipahami maknanya.

Pengertian simbol tidak akan lepas dari ingatan manusia secara tidak langsung manusia pasti mengetahui apa yang di sebut simbol, Terkadang simbol diartikan sebagai suatu lambang yang digunakan sebagai penyampai pesan atau keyakinan yang telah dianut dan memiliki makna tertentu. Arti simbol juga sering terbatas pada tanda konvensionalnya, yakni sesuatu yang dibangun oleh masyarakat atau individu dengan arti tertentu yang kurang lebih standar yang disepakati atau dipakai anggota masyarakat tersebut. 16

Manusia sebagai mahluk budaya, mengandung pengertian bahwa manusia menciptakan budaya dan kemudian kebudayaan memberikan arah dalam hidup dan tingkah laku manusia. Dalam kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana tanggapan manusia terhadap dunianya dan lingkungan masyarakatnya. Seperangkat nilai yang menjadi landasan untuk menentukan sikap terhadap dunia luarnya, bahkan untuk mendasari langkah-langkah kegiatan yang hendak dan harus dilakukan sehubungan dengan kondisi alam maupun pola hidup kemasyarakatannya.

Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas manusia yang berpola, menciptakan suatu sistem sosial bagi masyarakat yang bersangkutan. Berupa wadah untuk menghasilkan benda-benda pakai, dan karya seni, berbentuk nyata sebagai obyek riil, seperti bangunan rumah, lukisan, patung, kerajinan, benda pakai, senjata. Dengan kebudayaan itu sendiri adalah kebudayaan dari gagasan-gagasan,

14

F.W. Dillistone, The Power of Symbols, SCM Press Ltd., London 1986, terj. A. Widyamarta (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 18.

15

A.N. Whitehead, Symbolism, (Cambridge University Press, 1928), 9. 16

(20)

9 simbol dan nilai-nilai yang mendasari hasil karya dan perilaku manusia, sehingga tidaklah berlebihan apabila dilanjutkan bahwa begitu eratnya kebudayaan dengan simbol-simbol yang diciptakan manusia sehingga manusia dapat disebut sebagai

homo symbolicum. Jadi, simbol adalah tanda yang diwujudkan sebagai bentuk visual bagi sesuatu makna tertentu, namun tidak bagi masyarakat lainnya. Untuk mengerti simbol-simbol yang terdapat dalam suatu masyarakat tradisional yang mungkin berkaitan dengan mitos dan spirit religious maka dibutuhkan pengetahuan mengenai sistem budaya yang berlaku dalam masyarakat itu, termasuk pandangan hidupnya.

2. Teori Relasi

Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan terlepas dengan suatu proses yang dinamakan interaksi sosial. Sebagai makhluk sosial manusia juga akan cenderung membentuk kelompok-kelompok tertentu demi mencapai tujuan yang diinginkan. Interaksi tidak hanya terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain, tetapi juga bisa terjadi antara satu individu dengan kelompok individu, atau antara kelompok individu dengan kelompok individu lain. Sejak manusia lahir dan dibesarkan, ia sudah merupakan bagian dari kelompok sosial yaitu keluarga. Disamping menjadi anggota keluarga, sebagai seorang bayi yang lahir di suatu desa atau kota, ia akan menjadi warga salah satu umat agama; warga suatu suku bangsa atau kelompok etnik dan lain sebagainya.17

Hubungan antara sesama dalam istilah sosiologi disebut relasi atau relation. Relasi sosial juga disebut hubungan sosial merupakan hasil dari interaksi (rangkaian tingkah laku) yang sistematik antara dua orang atau lebih. Relasi sosial merupakan hubungan timbal balik antar individu yang satu dengan individu yang lain dan saling mempengaruhi. Suatu relasi sosial atau hubungan sosial akan ada jika tiap-tiap orang dapat meramalkan secara tepat seperti halnya tindakan yang akan datang dari pihak lain terhadap dirinya. Dikatakan sistematik karena terjadinya secara teratur dan berulang kali dengan pola yang sama.

Pada umumnya manusia akan melewati proses interaksi yang cenderung menjalin kesatuan dan meningkatkan solidaritas anggota kelompok, misalnya kerja

17

(21)

10 sama, kerukunan, asimilasi, akulturasi, persaudaraan, kekerabatan, dan lainnya. Solidaritas adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh sebuah masyarakat atau kelompok sosial karena pada dasarnya setiap masyarakat membutuhkan solidaritas.

Istilah solidaritas dalam kamus ilmiah popular diartikan sebagai

“kesetiakawanan dan perasaan sepenanggungan". Sementara Paul Johson, mengungkapkan bahwa: “Solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara

individu dan atau kelompok yang didasarkan pada keadaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan ini lebih mendasar daripada hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional, karena hubungan hubungan serupa itu mengandaikan sekurang-kurangnya satu tingkat/derajat concensus terhadap prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar kontrak

itu”.18

Bentuk hubungan sosial dalam kehidupan terjadi hubungan sosial yang merupakan hubungan timbal balik antara satu individu dengan individu lainya. Hubungan ini bersifat saling memengaruhi serta terjadi dengan adanya kesadaran saling tolong-menolong. Hubungan sosial juga dikenal dengan istilah proses interaksi sosial. Hubungan relasi sosial dibedakan menjadi dua bentuk yaitu :

Bentuk Hubungan Sosial Asosiatif

(22)

11 Akomodasi; Dapat diartikan sebagai suatu keadaan atau sebagai suatu proses. Sebagai keadaan, akomodasi adalah suatu bentuk keseimbangan dalam interaksi antarindividu atau kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma sosial dan nilai sosial yang berlaku. Adanya sikap toleransi, sikap saling menghormati kepentingan sesama

.

Asimilasi; Adalah proses sosial yang timbul apabila ada kelompok masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, saling bergaul secara interaktif dalam jangka waktu lama. Dengan demikian, lambat laun kebudayaan asli akan berubah sifat dan wujudnya menjadi kebudayaan baru yang merupakan perpaduan kebudayaan dan masyarakat dengan tidak lagi membeda-bedakan antara unsur budaya lama dengan kebudayaan baru. Proses ini ditandai dengan adanya usaha mengurangi perbedaan yang ada.

Akulturasi; Adalah suatu keadaan diterimanya unsur-unsur budaya asing ke dalam kebudayaan sendiri. Diterimanya unsur-unsur budaya asing tersebut berjalan secara lambat dan disesuaikan dengan kebudayaan sendiri, sehingga kepribadian budaya sendiri tidak hilang.20

Bentuk Hubungan Sosial Disosiatif

Sesuai dengan namanya yang merupakan lawan kata asosiatif, hubungan sosial atau interaksi yang bersifat disosiatif adalah interaksi yang bersifat saling menjatuhkan atau destruktif. Hubungan sosial ini ditandai dengan adanya konflik yang menyangkut pihak-pihak yang berinteraksi. Jenis interaksi sosial yang bersifat destruktif tersebut misalnya:21

20

http://manusiapinggiran.blogspot.co.id/2014/04/bentuk-bentuk-hubungan-sosial-asosiatif.html.

21

(23)

12 Persaingan

Sesuai dengan namanya, persaingan adalah kondisi atau bentuk interaksi sosial di mana pihak-pihak yang bersangkutan saling berlomba dan berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan yang sama. Persaingan merupakan hal yang lumrah terjadi pada hampir seluruh lini kehidupan, hanya saja sifatnya bisa berbeda menjadi persaingan sehat (positif) dan tidak sehat (negatif).

Kontraversi

Kontraversi adalah proses interaksi sosial yang kondisinya berada di antara persaingan dan perselisihan. Dalam interaksi ini terdapat gejala-gejala yang tidak pasti, perasaan tidak suka yang tidak dinyatakan, adanya kebencian, atau keragu-raguan yang di timbulkan pada seseorang terhadap orang lainnya

Pertentangan / perselisihan.

Pertentangan atau perselisihan merupakan tingkat akhir dari interaksi sosial destruktif yang menimbulkan dampak negatif baik bagi pihak bersangkutan maupun orang-orang di luar interaksi tersebut. Perselisihan terjadi dari ketidaksetujuan atau ketidaksepemahaman antara pihak satu dengan pihak lainnya.22

Tongkonan

Pada bagian ini penulis akan menjelaskan beberapa hal menyangkut Tongkonan menurut pemahaman beberapa ahli, dilanjutkan dengan Tongkonan Sangulele serta proses pembangunannya, kemudian pemahaman umum tentang masyarakat dan jemaat tentang Tongkonan Sangulele, serta pemahaman umum masyarakat tentang Tongkonan yang ada di Tana Toraja.

Salah satu bentuk karya seni budaya Tana Toraja yang spesifik adalah bangunan rumah tradisionalnya yang disebut Tongkonan. Bila dibandingkan dengan rumah-rumah tradisional di daerah lain, maka akan terlihat bahwa bangunan rumah

22

(24)

13 Tongkonan memiliki ciri khas tersendiri dengan bentuknya yang unik. Pada bangunan tersebut terdapat berbagai unsur visual sebagai simbol yang membawa arti tertentu, antara lain posisi semua rumah Tongkonan menghadap ke arah utara dan selalu dihiasi dengan ukiran beraneka ragam pada hampir seluruh bidang luarnya. Demikian juga halnya dengan tata cara dan peraturan dalam merencanakan pembangunannya, yang kesemuanya berdasarkan adat- istiadat dan kepercayaan masyarakat Toraja.23

Dalam konsep tradisional Tana Toraja, sebuah rumah tidak hanya memiliki dimensi fungsional sebagai tempat hunian, tetapi juga sekaligus melalui unsur-unsur bentuk tertentu menampilkan pandangan kosmologis dan filosofis yang mendalam. Rumah Tongkonan merupakan tatanan simbol eksistensi keluarga dan sebagai tempat (pusat) berkumpulnya rumpun keluarga dari Tongkonan itu.24

Tongkonan selain sebagai rumah adat dan simbol status sosial, juga berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara adat yang bersifat religius. Dalam kaitan ini, unsur-unsur visual yang terdapat pada bangunan tersebut, baik berupa ukiran maupun unsur-unsur tiga dimensional lainnya yang melekat pada bangunan, bukan hanya sekadar tanda-tanda yang dimaksudkan sebagai ornamen atau hiasan belaka, tetapi dihadirkan sebagai simbol-simbol bagi esensi budaya masyarakat Toraja.25

Adanya ukiran pada Tongkonan tidak hanya dimaksudkan sebagai hiasan untuk menambah nilai estetis bangunan, namun lebih disebabkan tradisi masyarakat Toraja tidak mengenal adanya tulisan dalam bentuk huruf abjad konvensional, Meskipun demikian tidak berarti bahwa budaya Toraja yang tidak mengenal artikulasi simbolik yang dapat dijadikan sebagai alat atau media komunikasi dalam bentuk lain selain penuturan lisan.26

23

(25)

14 Tongkonan berasal dari kata tongkon, yang berarti “duduk”, “menyatakan

belasungkawa”. Tongkonan berarti tempat duduk, rumah, teristimewa rumah para leluhur, tempat keluarga besar bertemu untuk melaksanakan ritus-ritus adat secara bersama-sama. 27 Tongkonan sulit diterjemahkan. Bangunan itu bukan sekadar rumah adat, tempat orang membicarakan atau menyelenggarakan urusan-urusan adat, bukan juga sekadar rumah keluarga besar, tempat orang memelihara persekutuan kaum kerabat. Tongkonan mencakup kedua aspek tersebut. Sebab itu, kami tidak menerjemahkan istilah Tongkonan, agar pembaca tidak menyamakannya dengan

“rumah adat” atau “rumah marga”.28

Tongkonan juga sebagai lambang dan pusat Pa’rapuan. Rapu adalah keluarga berdasarkan hubungan darah, keluarga besar. Hubungan itu menyangkut hubungan vertikal maupun hubungan horizontal. Jika yang dimaksud ialah hubungan vertikal, maka istilah yang digunakan adalah “bati”, anak (anak-anak) atau keturunan.

Pa’rapuan adalah bentuk kata rapu, dengan awalan pa‟ dan akhiran –an, artinya

”tempat rapu terjadi”, “tempat rapumerasa betah”. Pa’rapuan adalah bentuk abstrak

rapu, yang menampakkan diri secara kongkret dalam persekutuan Tongkonan atau dalam hubungan darah29.

Untuk berdirinya sebuah Tongkonan, jika apabila sepasang suami istri membangun rumah, pada prinsipnya sebuah Tongkonan telah lahir, walaupun tidak dengan sendirinya setiap rumah harus menjadi Tongkonan.30 Model asli Tongkonan dibuat dilangit ketika puang matua dengan bantuan Pande Manarang dan Pande Peliuk membangun rumah dari besi di pusat langit. Aluk yang menyangkut pembangunan rumah yaitu upacara penahbisannya, juga sudah ditentukan langit.

Dasar persekutuan Tana Toraja ialah hubungan darah daging, yang disimbolkan dengan Tongkonan. Dasar Tongkonan ialah setiap pasangan suami-istri membangun rumah sendiri, yang kemudian dipelihara oleh keturunannya. Rumah itu

27

Theodorus Kobong, Injil dan Tongkonan (Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2008), 86. 28

Terance W Bigalke, Tana Toraja (Singapore: KITLV Press Leiden, 2005), 10. 29

Theodorus Kobong, Injil dan Tongkonan..., 86. 30

(26)

15 menjadi pusat persekutuan bagi setiap orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan pendirinya, khususnya keturunan dalam hubungan vertikal. Melalui Tongkonan, orang Toraja dapat dengan mudah menyatakan identitasnya.31

Simbol persekutuan yang ada di Toraja itu disebut Tongkonan. Tongkonan mempunyai peranan yang sangat penting karena berhubungan langsung dengan kepercayaan Aluk Todolo, terutama dalam pesta adat dan kehidupan ritual di Tana Toraja. Penyelenggaraan pesta adat pada tingkat-tingkat tertentu, dilaksanakan dengan mengacu pada konsep kosmologi Toraja, dan berpedoman pada keempat titik mata-angin, dimana Tongkonan adalah sebagai titik pusat. Kehidupan masyarakat tradisional Toraja tidak terlepas dari upacara/pesta adat. Dalam pelaksanaan upacara pesta/adat, Timur dan Barat merupakan pembagiaan utama dengan mengacu pada Tongkonan sebagai mikrokosmos.32 Menurut kepercayaan Aluk Todolo bangunan rumah tradisional Toraja, Tongkonan memang merupakan mikrokosmos. Tongkonan di Toraja selalu menghadap ke arah utara, ke arah ulunna lino (kepala dunia) menurut pandangan kosmologi Toraja. Tata hadap Tongkonan itu merupakan ungkapan simbolik sebagai penghormatan dan permuliaan kepada Puang Matua, sang pencipta jagad raya, yang dipercaya bersemayam di bagian utara, sehingga penjuru utara tidak boleh dibelakangi, artinya Tongkonan harus selalu menghadap ke Puang Matua agar selalu mendapat berkah dari-Nya. Karena Tongkonan juga merupakan istana raja atau penguasa Adat dan Pusat pertalian keluarga.33

Dengan mengacu pada sistem budaya Toraja, maka tata letak/ posisi Tongkonan menjadi tanda indeks bagi penjuru mata angin: Utara, Selatan, Timur, dan Barat, yang sekaligus bermakna simbolik sebagai penjuru utama dalam pandangan kosmologi Toraja. Upacara adat untuk memuja dan memuliakan Puang Matua

dilaksanakan di depan (di bagian utara) Tongkonan, seperti pada pesta adat dengan

31

Theodorus Kobong, Injil dan Tongkonan (Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2008), 88. 32

Said, Simbolisme Unsur Visual..., 32-33. 33

(27)

16 upacara penyembelihan hewan kurban sebagai sesajen dalam peresmian pembuatan atau pembaharuan (renovasi) sebuah Tongkonan yang dinamakan mangrara banua.34

Ukiran pada dinding Tongkonan beraneka ragam, namun yang paling sering digambarkan adalah motif pa’tedong (kerbau). Hal ini berkaitan dengan pandangan masyarakat tradisional Toraja, dimana kerbau mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, karena selain sebagai hewan ternak yang utama, juga menjadi standar nilai penukaran, dan sekaligus sebagai simbol status sosial. Kerbau dikonotasikan dengan kekayaan, yang mengandung arti simbolik: kemakmuran, dan diistilahkan sebagai tedong goronto’ eanan ( kerbau sebagai pokok harta benda, atau modal utama). Ukiran dan motif berbentu kepala kerbau pada daun jendela Tongkonan ini memperlihatkan visualisasi ikon kepala kerbau yang digambarkan

dengan tambahan “suatu bentuk” di atas kepalanya, dihiasi dengan garis-garis lurus horizontal dan silang. Adapun bentuk lingkaran yang diletakkan pada bagian depan antara tanduk kerbau. Lingkaran tersebut mirip dengan motif pa’barre allo (simbol persatuan orang toraja). Hal ini menjadi suatu indikasi penting yang menunjukkan bahwa kerbau merupakan hewan yang mempunyai kedudukan „istimewa‟ dalam kehidupan masyarakat tradisional Toraja.35

Tongkonan Sangulele

Tongkonan di Toraja, selain berfungsi sebagai tempat tinggal, juga mempunyai fungsi dan peranan serta arti yang sangat penting dan bernilai tinggi dalam kehidupan masyarakat Toraja. Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Tongkonan merupakan simbol lambang persekutuan orang Toraja. Tongkonan juga memelihara kehidupan masyarakat Toraja, oleh karena itu masyarakat di Toraja berinisiatif membangun kantor sinode dengan menyerupai

34

Said, Simbolisme Unsur Visual..., 53. 35

(28)

17 Tongkonan. Kantor Sinode di Tana Toraja disebut juga sebagai Tongkonan Sangulele.36

Tongkonan Sangulele artinya adalah rumah bersama, simbol kerukunan sosial yang mencerminkan gereja sebagai persekutuan baru.37 Tongkonan Sangulele atau Kantor Badan Pekerja Sinode dibangun tepat di tengah-tengah kota Rantepao, Toraja Utara. Secara teknis pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan, sehingga biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Jadi Tongkonan bagi masyarakat Toraja lebih dari sekadar rumah adat.

Pada umumnya jika masyarakat atau keluarga ingin membangun sebuah Tongkonan, terlebih dahulu diadakan Mapasitammu Sola den to mapakada (bertemu dan berdiskusi). Tongkonan selaku simbol persekutuan Toraja juga menjadi sumber seluruh kepemimpinan di bidang kemasyarakatan dan keagamaan.38 Oleh sebab itu, ketika terjadi momentum berharga yaitu Injil masuk di Tana Toraja ke 70th , para anggota badan pekerja sinode berbincang-bincang agar pada momentum seperti ini kita manfaatkan untuk membuat apresiasi yang bisa dikenang untuk penerus dimasa mendatang serta masyarakat Toraja juga bisa ikut serta melestarikan.

Pembangunan Tongkonan Sangulele

Pembangunan kantor sinode berawal dari memperingati Injil masuk ke Tana Toraja ke 70th. Pada saat itu anggota badan pekerja sinode bekerja sama dengan panitia Injil masuk ke Tana Toraja, mereka memikirkan bagaimana dengan adanya momentum seperti ini ada terobosan baru yang dilakukan untuk Tana Toraja. Mereka berdiskusi agar momentum pada saat itu memiliki sejarah yang bisa dikenang dan dinikmati turun-temurun oleh masyarakat Tana Toraja dan memiliki simbol nilai sejarah. Sekitar tahun 80-an keadaan kantor sinode pada saat itu sudah sangat tua, dan pembangunan pertama dibuat oleh orang Belanda. Di bawah pimpinan Ir.Aby

36

Pdt. Junus Bunga Lebang, wawancara Rantepao Toraja 8 Juli 2017. 37

Pdt Henriette Hutabarat Lebang, wawancara Rantepao Toraja 8 Juli 2017. 38

(29)

18 Lambe (ketua arsitektur pembangunan) dikumpulkan para ketua adat, pemuda-pemudi asal Toraja, setiap anggota badan pekerja sinode beserta dengan panitia injil masuk ke Tana Toraja untuk berdiskusi membicarakan pentingnya kantor sinode memiliki Simbol Toraja.39

Awal mula pembangunan kantor sinode untuk mencari uang masih terbilang cukup sulit, bahkan gaji pendeta dikatakan masih sangat minim. Oleh karena itu, para panitia dan anggota badan pekerja sinode menggunakan teknik pengumpulan dana dengan mengambil alih budaya Toraja. Karena pada saat itu untuk mencari tedong atau kerbau jauh lebih mudah daripada mencari uang. Panitia mengumumkan kepada setiap masing-masing jemaat wajib menyetor dan mengumpulkan satu tedong atau kerbau, kerbau sanglego (tanduk rata) , sangpudukasisi (tanduk baru bertumbuh), masing-masing jemaat berhak memilih untuk mengumpulkan tedong atau kerbau yang mana saja tapi seluruh jemaat wajib ikut serta. Mengingat budaya Toraja selalu dihubungkan dengan upacara adat serta pemotongan tedong, kerbau dan babi, pada saat pembangunan kantor sinode, cukup masing-masing dua tedong dan kerbau serta beberapa ekor ayam yang dipotong, Karena pembangunan pada saat itu dihubungkan dengan terobosan baru yang tidak terus berpegang dengan orde yang lama, Panitia dan anggota badan pekerja sinode tidak melakukan upacara pengucapan syukur atau

rambu Tuka hanya dengan ibadah seperti biasa, Malettoan, Tammui lalanna Kalimbuang Boba40

Adapun pembangunan kantor sinode dimulai pada tahun 1985 dan selesai pada tahun 1992. Setelah selesai dibangun dan diresmikan, kantor sinode belum diberikan nama Tongkonan Sangulele karena masih harus berunding mengingat kantor tersebut telah dibangun menyerupai Tongkonan yang merupakan simbol nilai masyarakat Toraja. Setelah berunding dan mengumpulkan masukan serta bercakap-cakap bersama para anggota badan pekerja sinode, panitia Injil masuk ke Tana Toraja serta beberapa ketua adat dan tokoh masyarakat, mereka sepakat dan

39

Pdt. Paul Patanduk, mantan sekum BPS Getor, wawancara, Toraja 9 Juli 2017. 40

(30)

19 mengambil keputusan bahwa Tongkonan tersebut akan diberi nama yaitu Tongkonan Sangulele.

Tongkonan yang berarti rumah orang Toraja, pusat persekutuan orang Toraja, sedangkan Sangulele yang berarti milik semua orang, Sangulele menujukkan bahwa tidak ada strata sosial di dalamnya, dan sistem kasta-kasta yang ada di Toraja tidak berlaku dalam Tongkonan Sangulele serta seluruh warga jemaat di Toraja dan dimanapun Mereka berada seutuhnya memiliki hak yang sama bahwa Tongkonan Sangulele adalah milik bersama orang Toraja.41

Pemahaman jemaat menyangkut Tongkonan Sangulele

Menurut beberapa ketua adat, Tongkonan Sangulele merupakan tempat duduk

atau kedudukan yang berarti rumah pusaka merupakan suatu “tempat/kedudukan”

yang mempunyai fungsi, peran dan nilai sosial, keagamaan dan hukum dalam masyarakat. Hal ini menandakan bahwa Tongkonan merupakan lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat dalam wilayah Tongkonan tersebut. Tongkonan Sangulele lebih berorientasi pada fungsi sosial dan bukan dalam bentuk atau fisik. Tabe lako siulu solanasang ke denni sala kata. salama, Kurre Sumanga.

(Maafkan saudara/i semuanya jika ada salah kata. Selamat, Terima Kasih) 42

Ketua badan pekerja Sinode yaitu Bapak Pdt Musa Salusu mengatakan bahwa Tongkonan Sangulele, merupakan rumah masyarakat dari berbagai penjuru. “Di sini

tempat kami mendoakan berbagai aspek kehidupan, ini adalah rumah bagi semua

kalangan.” Tanpa melihat starata sosial serta keadaan sosial bahkan keyakinan yang dimiliki, kami menganggap bahwa Tongkonan Sangulele bukan sebuah rumah biasa

tetapi disinilah pusat masyarakat Toraja boleh datang mengadu permasalahan mereka,

dan kami akan dengan senantiasa berusaha membantu memberikan jalan keluar.

Masyarakat Toraja bebas kapanpun datang kepada kami, Seluruh pekerja sinode yang

41

Pdt. Anggui, ketua umum pertama BPS Getor, wawancara Toraja 9 Juli 2017. 42

(31)

20 ada selalu siap melayani dengan rendah hati dan tuntutan Puang Matua (Tuhan

Yesus).43

Selanjutnya Anggota Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja yaitu Bapak Pdt

Alfred Anggui, mengatakan bahwa Tongkonan Sangulele merupakan rumah

persekutuan orang Toraja yang didalamnya sudah tidak terdapat sistem jurang

pemisah antara kasta-kasta yang ada di Toraja. Tongkonan Sangulele adalah simbol

kerukunan dan kekerabatan di masyarakat Toraja, dengan adanya dibangun kantor

sinode menyerupai Tongkonan tersebut seluruh jemaat serta masyarakat yang ada

tidak perlu lagi memikirkan keadaan sosial yang dimiliki karena Tongkonan

Sangulele merupakan milik bersama.44

Bapak Lewi yang merupakan anggota Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja

mengungkapkan bahwa, seluruh masyarakat dan jemaat Gereja Toraja memiliki hak

yang sama dalam Tongkonan Sangulele. Setiap permasalahan yang ada di dalam

persekutuan gereja toraja maupun masyarakat toraja, boleh datang mengadu kepada

kami dan dengan senang hati kami seluruh pekerja siap siaga bekerja dengan baik

mengatasi setiap permasalahan yang ada, karena kita semua satu keluarga, satu

persekutuan.45

Dengan berdirinya kantor badan pekerja sinode gereja Toraja di pusat kota

Rantepao, Toraja Utara. Dikelilingi dengan lingkungan masyarakat yang asal

usulnyanya memang dari Tana Toraja. Salah satunya adalah bapak Daniel Pakiding

yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima yang sejak lahirnya sudah di Toraja dan

memiliki status sebagai jemaat Gereja Toraja Rantepao tepat di sebelah Tongkonan

Sangulele. Beliau mengatakan bahwa pada umumnya Tongkonan Sangulele tersebut

berbeda dengan tongkonan-tongkonan yang ada di Toraja dan memiliki keistimewaan

bagi kami, Berbedanya adalah bahwa Tongkonan Sangulele merupakan milik sesama

orang Toraja dimanapun mereka berada bahkan di penjuru dunia, Tongkonan

43

Pdt Musa Salusu, ketua sinode BPS Getor, wawancara Makale Toraja, 10 Juli 2017. 44

Pdt .Alfred Anggui, ketua umum 2 BPS Getor, wawancara Toraja, 11 Juli 2017. 45

(32)

21 Sangulele memiliki banyak fungsi dan kegunaaan dimata masyarakat Toraja. Setiap

harinya ramai dikunjungi oleh para wisatawan walaupun Tongkonan tersebut bukan

tempat wisata. Dengan dibangunnya kantor sinode menyerupai Tongkonan, kami

orang Toraja boleh menunjukkan kepada dunia luar bahwa sistem kekerabatan sosial

serta kebersamaan dalam budaya kami dapat tercermin melalui Tongkonan Sangulele.

Para pelajar serta mahasiswa/i UKI Toraja hampir setiap harinya menggunakan

alang-alang yang ada di Tongkonan Sangulele untuk beristirahat dan melakukan

proses berdiskusi belajar mengajar.46

Di Rantepao, Toraja Utara tempat berdirinya Tongkonan Sangulele ada beberapa masyarakat pendatang dari luar yang mencoba mengadu nasib dengan berjualan pernak-pernik tanda mata khas Toraja. Seperti ibu Maya berasal dari kota pare-pare yang sudah berumur 52 tahun harus menghidupi keluarganya seorang diri karena telah ditinggal oleh sang suami terlebih dahulu. Ibu Maya juga merupakan mantan majelis dari jemaat gereja Rantepao. Pada kesempatan tersebut ibu Maya menjelaskan bahwa Tongkonan Sangulele merupakan ciri lambang kehidupan kerukunan umat Kristen di Tana Toraja. Tongkonan Sangulele salah satu tempat kita semua mengadu dalam menghadapi masa-masa sulit, yang dimana Tongkonan Sangulele bukan hanya sekedar rumah Tongkonan biasa. Tongkonan Sangulele juga bukan hanya sebuah kantor sinode tetapi setiap anggota yang bekerja di dalamnya merupakan orang-orang yang hebat dan mau bekerja sama melestarikan kebudayaan Toraja serta melayani kaum yang tidak mampu. Tongkonan Sangulele dan Gereja jemaat Rantepao bekerja sama di setiap bulannya memberikan santunan kasih kepada orang tua yang sudah lanjut usia, kemudian juga memperhatikan setiap kehidupan janda, serta kehidupan jemaat yang membutuhkan uluran tangan kasih sayang dari Badan Pekerja Sinode. Hal ini juga nampaknya menjadi sesuatu keistimewaan dari Tongkonan Sangulele yang bukan hanya sekadar kantor pada umumnya, tetapi

46

(33)

22 Tongkonan Sangulele merupakan rumah kami berlindung setelah Puang Matua

(Tuhan Yesus).47

Menurut pemahaman Bapak Desti Layuk Allo, karena rumpun pemilik Tongkonan terdiri dari berbagai agama dan hak dan kewajiban yg sama dari (dan

terhadap) Tongkonan adalah sama. Tongkonan di Toraja adalah bentuk nyata dari

kerukunan hidup turun-temurun tanpa melihat latar-belakang. Tongkonan di Toraja

adalah contoh nyata kerukunan hidup beragama turun-temurun. Mengenai istilah

"Tongkonan Sangulele" yang digunakan untuk Badan Pekerja Sinode, untuk

menyatukan kasta-kasta masyarakat yang di Toraja agar masing-masing dari berbagai

pihak mampu hidup dalam kerukunan keluarga yang tercermin melalui Tongkonan

Sangulele.48

Menurut kakak Lidya mengatakan bahwa orang Toraja identik dengan rasa

kekeluargaan. Salah salah bentuk nyata yang dapat kita saksikan yaitu di Tongkonan

Sangulele. Tongkonan Sangulele juga dipahami dalam kerangka pemersatu, bahwa

semua orang Toraja Kristen memiliki tongkonan yang satu dan bahwa pengikatnya

adalah Kristus. Di dalam Tongkonan Sangulele tidak ada lagi hamba dan tuan,

sebagaimana di dalam Tongkonan yang ada di Toraja sebelumnya yang masih

mengenal pembagian kasta-kasta.49

Pemahaman masyarakat umum terkait Tongkonan

Secara umum kita sudah mengetahui bahwa Tongkonan itu merupakan

identitas orang Toraja yang tidak hanya berdiri sebagai rumah adat tetapi juga sebagai

pemersatu masyarakat Toraja. Tongkonan itu diibaratkan sebagai ibu yang

mengayomi anak-anaknya. Karena apapun kegiatan atau acara yang akan di lakukan

oleh masyarakat Toraja baik itu acara pernikahan atau kematian, semuanya

dibicarakan secara kekeluargaan sesuai dengan asal usul Tongkonannya. Jadi

47

Ibu Maya, masyarakat toraja, wawancara rantepao toraja, 12 Juli 2017. 48

Bapak Desti Layuk Allo, masyarakat jemaat Getor, Bolu Toraja. 49

(34)

23 Tongkonan itu bukan hanya sekadar rumah, tetapi sebagai identitas diri orang Toraja,

ungkap Sifra Paramma salah satu jemaat Gereja Toraja.50

Salah satu orang tua terkasih yaitu Oma frida mengatakan bahwa, Tongkonan itu adalah pemersatu komunitas, sehingga dengan adanya Tongkonan, satu orang dapat mengenal silsilahnya hingga beberapa generasi di atasnya, berikut juga generasi di bawahnya. Selain itu, Tongkonan menjadi tempat diadakannya sejumlah momen-momen penting dalam kehidupan seorang warga Toraja, misalnya ketika ia menikah, kematian dan upacara-upacara lainnya.51

Menurut ibu Cia Sarangnga, Tongkonan merupakan rumah rumpun keluarga. Tongkonan adalah asal nenek moyang kita turun temurun sampai ke anak cucu tidak bisa dilupakan asal dari mana di sanalah kita bangunkan sebuah rumah Tongkonan dalam satu keluarga besar. tabek lako siuluk salama sola (permisi saudara/i, selamat untuk kita semua)52

Kemudian Bapak Sety selaku guru sejarah Sekolah Lentera Harapan mengatakan bahwa Tongkonan yang berarti Tongkon-madokko (rumah-duduk). Semua juga mengetahui kalau Tongkonan adalah rumah adat suku Toraja. Bagi kita orang Toraja. Tongkonan punya arti yang sangat mendalam. Karena dari semangat gotong royong saat membangun baik itu dari dana, tenaga, juga pikiran. Begitu juga saat peresmian, Tongkonan juga dapat mempertemukan saudara walaupun tidak saling kenal tapi di setiap masing-masing Tongkonan tersimpan rapi silsilah keluarga.53

Salah satu warga muslim di Toraja, Bapak Komar Rantetasik mengatakan bahwa Tongkonan itu merupakan nama rumah adat yang ada di Tana Toraja yang berarti tempat berkumpulnya seluruh rumpun keluarga baik itu dalam keadaan susah

50

Sifra Paramma, wawancara, jemaat Getor. 51

Oma frida, wawancara masyarakat Toraja, Rantepao Toraja. 52Ibu Cia Sarangnga, wawancara masyrakat Toraja, Sa’dan Toraja

. 53

(35)

24 maupun senang, juga Tongkonan bukan sembarangan rumah biasa melainkan Tongkonan itu rumah bersama keluarga digunakan sebagai tempat bermusyawarah.54

Ibu Annie Pasolang mantan sekretaris jemaat Gereja Rantepao, mengungkapkan bahwa Tongkonan bangunan rumah adat Toraja yang dibangun dan dimiliki satu atau lebih rumpun keluarga tertentu turun-temurun, sehingga menjadi milik bersama dan menjadi kebanggaan bersama. Selain itu, Tongkonan adalah tempat dimana rumpun keluarga yang bersangkutan dapat dan sudah seharusnya menjadi tanggung jawabnya ketika melaksanakan berbagai upacara adat rambu solo‟

(kedukaan) maupun rambu tuka‟ (kesukaan) ikut turut campur tangan dalam pelaksanaan upacara tersebut.55

Menurut kakak Ito Sonda yang merupakan salah satu anggota pemuda Gereja Toraja mengatakan bahwa Tongkonan merupakan rumah adat Toraja dimana sebagai akar dari silsila kekeluargaan sebagai alat pemersatu dan silaturami serta benteng untuk memperkuat tali kekeluargaan, serta Tongkonan adalah tempat bermusyawarah dan balai pertemuan keluarga dan masyarakat yang lahir dan berketurunan dari Tongkonan tersebut.56

Salah satu proponen atau vikaris anggota Gereja Toraja Ledy Buntutasik mengungkapkan pemahamannya bahwa Tongkonan merupakan rumah leluhur agama Aluk Todol, rumah keluarga turun-temurun yang harus dijaga serta dilestarikan sepanjang waktu. Tongkonan merupakan simbol tempat keluarga membicarakan setiap upacara adat yang akan dilakukan oleh masing-masing keluarga. Tongkonan merupakan rumah istimewa bagi masyarakat Toraja, salah satu bentuk fisik yang nyata kelihatan keberadaan dan fungsinya di tengah-tengah masyarakat Toraja dimanapun mereka berada.57

Menurut pemahaman Bapak Alex Pagayang bahwa Tongkonan adalah tempat duduk keluarga darah daging atau kedudukan yang berarti rumah pusaka yang telah

54

Bapak Komar Rantetasik, wawancara masyarkat Toraja. 55

Ibu Annie Pasolang, wawancara jemaat Getor, Rantepao Toraja. 56

Ito Sonda , wawancara jemaat pemuda Getor. 57

(36)

25 turun-temurun lama yang mempunyai fungsi, peran dan nilai sosial, keagamaan dan hukum dalam masyarakat. Tongkonan merupakan tempat nyata kekeluargaan yang terpancarkan baik dalam suka dan duka. Tongkonan adalah persekutuan orang percaya sejak dahulu kala.58

Pemahaman berbeda lainnya dari kakak Egy Palloan mengatakan bahwa Tongkonan adalah simbol hubungan manusia dengan Allah, alam semesta, dan sesamanya. Hal itu nampak dalam pembagian Tongkonan dalam tiga tingkatan (atas,

kale banua- dalam rumah, sola sulluk banua-dengan luar rumah) dan ini mewakili oknum yang dipuja. Tongkonan juga mengungkapkan falsafah kehidupan orang Toraja, arah mata angin dan refleksi siklus kehidupan. Pada dasarnya Tongkonan sendiri kaya akan makna, baik dalam kerukunan, kekeluargaan serta upacara adat istiadat orang Toraja.59

Tongkonan bagi masyarakat Tana Toraja

Tongkonan bagi etnis Toraja adalah pusaka atau warisan dengan hak dan kewajiban secara turun temurun dari orang pertama sebagai pendiri hingga ahli warisnya. Secara umum Tongkonan merupakan identitas suku Toraja sehingga membedakan dengan suku-suku lain di Indonesia. Dalam lingkup budaya Toraja, keberadaan Tongkonan merupakan simbol dan identitas keluarga. Selain itu, Tongkonan juga mencerminkan status sosial bagi pemiliknya. Menurut Egy Palloan bahwa Tongkonan adalah simbol hubungan manusia dengan Allah, alam semesta, dan sesamanya. Hal itu nampak dalam pembagian Tongkonan dalam tiga tingkatan

(Atas, kale banua- dalam rumah, sola sulluk banua-dengan luar rumah) dan ini

mewakili oknum yang dipuja. Tongkonan juga mengungkapkan falsafah kehidupan

orang Toraja, arah mata angina dan refleksi siklus kehidupan. Pada dasarnya

Tongkonan sendiri kaya akan makna, baik dalam kerukunan, kekeluarga serta

upacara adat istiadat orang Toraja.60 Menurut penulis, Teori A.N. Whitehead dalam

58

Bapak Alex Pagayang, wawancara jemaat Getor. 59

Egy Palloan, wawancara pemuda Getor, Karassik Toraja. 60

(37)

26 bukunya Symbolism, mengatakan bahwa pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan, dan gambaran mengenai komponen-komponen lain pengalamannya. Perangkat komponen terdahulu adalah simbol dan perangkat komponen yang kemudian adalah membentuk makna simbol. Keberfungsian organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu akan disebut referensi.61

Pengunaan simbol dalam kehidupan manusia sebenarnya telah terdapat apa fungsi dari simbol, dan ia mengatakan bahwa manusia harus berusaha untuk menemukan simbol untuk mengekspresikan dirinya sendiri, memang ekspresi adalah simbolisme. Hal ini nampak dalam Tongkonan yaitu di dalam terdapat kerukunan, kekeluargaan serta upacara adat istiadat orang Toraja.

Rumah adat Tongkonan dipenuhi ukiran khas Toraja yang bermakna hubungan masyarakat Toraja dengan pencipta-Nya, manusia , dan makhluk lainnya. Ukiran ini menghiasi dekorasi eksterior maupun interior Tongkonan. Satu lagi ciri khas Rumah Tongkonan, yakni ada kepala kerbau menempel di depan rumah dan tanduk-tanduk kerbau pada tiang utama di depan setiap rumah. Jumlah tanduk kepala kerbau tersebut berbaris dari atas ke bawah dan menunjukan status sosial keluarga yang mendiami rumah tersebut. Di sisi kiri rumah yang menghadap ke arah barat dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih. Sementara di sisi kanannya dipasang rahang babi.

Menurut Anggota Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja yaitu Bapak Pdt

Alfred Anggui, mengatakan bahwa Tongkonan Sangulele merupakan rumah

persekutuan orang Toraja yang didalamnya sudah tidak terdapat sistem jurang

pemisah antara kasta-kasta yang ada di Toraja. Tongkonan Sangulele adalah simbol

kerukunan dan kekerabatan di masyarakat Toraja. Dengan adanya dibangun kantor

61

(38)

27

sinode menyerupai Tongkonan tersebut seluruh jemaat serta masyarakat yang ada

tidak perlu lagi memikirkan keadaan sosial yang dimiliki karena Tongkonan

Sangulele merupakan milik bersama.62 Hal ini sama seperti Teori Paul Johson, dalam

bukunya Teori Sosiologi Klasik dan Modern,mengungkapkan “Solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada keadaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan ini lebih mendasar daripada hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional, karena hubungan-hubungan serupa itu mengandaikan sekurang-kurangnya satu tingkat/derajat konsensus terhadap prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar kontrak itu”.63

Tongkonan berlaku ketika masyarakat Tana Toraja menyadari perlunya kehadiran pemimpin untuk mengatur dan menyelesaikan segala sesuatu yang terjadi dan berlaku di tengah-tengah masyarakat atau dengan kata lain Tongkonan bukanlah sebuah nama, melainkan jenis benda yang mempunyai nama. Jadi tidak ada tongkonan yang tidak memiliki nama sebab tanpa nama ia bukanlah sebuah Tongkonan. Oleh sebab itu kata “an” yang mengikuti Tongkon dapat diartikan sebagai:

a. Kata keterangan yang menunjuk pada sebuah tempat tertentu, misalnya Banua puan, Kaero, Lion, To katapi, buntu pune, Kete‟ kesu dan sebagainya.

b. Kata keterangan yang menjelaskan sifat dan fungsi tertentu, misalnya

layuk, sangulele, Pesio aluk, Pa‟ buntuan sugi dan sebagainya.

Tongkonan Sangulele menjelaskan sifat dan fungsi tidak hanya berada pada lingkungan adat masyarakat tana Toraja saja, tetapi gereja juga mengambil bagian dalam memahami adat Tongkonan sebagai proses pelayanan gereja dengan cara

62

Pdt .Alfred Anggui, ketua umum 2 BPS Getor, wawancara Toraja, 11 Juli 2017. 63

(39)

28 kantor sinode dibuat seperti rumah Tongkonan Sangulele. Berarti gereja yang inklusif terhadap realita masyarakatnya dalam memahami pergumulan lewat adat Tongkonan.

Tongkonan Sangulele merupakan rumah masyarakat dari berbagai penjuru.

“Disini tempat kami mendoakan berbagai aspek kehidupan, ini adalah rumah bagi

semua kalangan (Kantor Sinode Toraja)” ungkap Pdt. Musa Salusu.64

64

(40)

29 PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukan oleh penulis, maka dapat disimpulkan bahwa manusia dikatakan sebagai animal simbolicum, yang menggunakan simbol untuk berkomunikasi dengan sesama manusia dan. Dengan menggunakan simbol Toraja yaitu Tongkonan, masyarakat Toraja berusaha mengomunikasikan segala bentuk falsafah hidup mereka berdasarkan melalui Tongkonan yang mereka miliki dan percaya selama turun temurun. Bahwa rumah Tongkonan bukan sekadar rumah biasa melainkan induk atau ibu dari segala kegiatan acara dan upacara yang ada di Tana Toraja.

Tongkonan yang melambangkan status sosial masyarakat Toraja berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Tongkonan melukiskan simbol-simbol dari benda dan mahluk di kehidupan manusia. Pesan-pesan yang terdapat pada Tongkonan sebagai simbol status sosial masyarakat Toraja merupakan falsafah hidup orang Toraja sendiri. Dengan dibangunnya Tongkonan Sangulele menyerupai Kantor Badan Pekerja Sinode di Toraja Utara, melambangkan bahwa Tongkonan Sangulele merupakan rumah milik semua orang dari berbagai kalangan dan penjuru. Tongkonan Sangulele menunjukkan bahwa tidak ada lagi sistem strata sosial yang menjadi pemisah masyarakat Toraja.

Saran

(41)

30 Untuk mempertahankan dan menjaga kelestarian budaya Toraja, maka diharapkan kepada masyarakat Toraja agar lebih memahami dan mendalami budaya mereka sendiri dan tidak mudah terpengaruh terhadap budaya luar dan mendominasi budaya Toraja yang menyebabkan keaslian budaya perlahan terkikis bahkan tergeser. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menerapkan sistem pembelajaran di sekolah sejak sekolah dasar, biasanya dalam muatan lokal. Diharapkan kepada generasi muda agar mempelajari tentang ukiran dan makna-maknanya, agar budaya warisan nenek moyang tersebut tetap terjaga dan diperkenalkan kepada orang lain. Misalnya dengan membuat video tentang Toraja dan kebudayaannya lantas menguploadnya ke internet, setidaknya dapat dilihat oleh masyrakat luas. Akan tetapi, tampilan kebudayaan Toraja harus dibuat menarik dengan menggambungkan gambar dan video acara

Rambu Solo (upacara kematian), Rambu Tuka‟ (upacara pernikahan), dipadukan

dengan deretan Tongkonan yang ada di Tana Toraja.

Tongkonan Sangulele terus berkarya dan tetap melanjutkan misi gereja yang akan senantiasa akan memelihara kesejahteraan masyarakat dan seluruh umat Gereja Toraja dimanapun mereka berada. Dengan dibangunnya Tongkonan Sangulele menyerupai Kantor Badan Pekerja Sinode menunjukkan bahwa adanya bentuk relasi sosial yang tercipta dan terbangun melalui pembangunannya tercipta rasa sekawan sepenanggungan dalam mengupayahkan melestarikan kehidupan masyarakat di Tana Toraja.

(42)

31 DAFTAR PUSTAKA

Acuan

Bas Plaisier. Menjembatan Jurang, Menembus Batas. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.

Creswell, John W. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

De Jong, Edwin. Making a Living Between Brises and Ceremonies in Tana Toraja. Leiden Boston: KITLV, 2013.

Dilistone, F.W. The Power of Symbols, SCM Press Ltd.,London 1986, terj. A. Widyamarta. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Geertz, Clifford. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Kathleen M. Adams. Art As Politics Re- Crafting Identities, Tourism, and power in Tana Toraja, Indonesia. Hawai: University of Hawai, 2006.

Koentjraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006. Nasir, Muhamad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Palebangan, Frans B. Aluk, Adat, dan Adat-Istiadat Toraja. Toraja: Sulo, 2007. Panggara, Robi. Upacara Rambu Solo di Tana Toraja Memahami bentuk Kerukunan

di Tengah Situasi Konflik. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.

Sugiyono. Metode PenelitianKuantitatif,Kualitatif,dan R & D. Bandung: Alfabet Tangdilintin, L.T. 1975, 2008.

Soekamto, Sujono. Sosioligi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2001. Tangdilintin, L.T. Tongkonan dan Seni Arsitektur Toraja. Toraja: Yayasan Lepongan

Bulan, 1975.

Terance W.Bigalke. Tana Toraja A Social History Of an Indonesian People. Singapore: KITLV, 2005.

Theodorus Kobong. Injil dan Tongkonan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008. Whitehead. A.N. Symbolism. Cambridge University Press, 1928.

(43)

32 Sumber Internet

Azorry, Muhammad. 2012. “Pengertian Ukir dan Ornamen”. (Online),

(http://bloggazrorry.blogspot.com/2012/12/pengertian-ukir-danornamen.html, dikases pada tanggal 10 Januari 2018).

Ensiklopedia, Wikipedia. 2013. “Toraja”. (Online),

(http://id.wikipedia.org/wiki/Toraja, diakses pada tanggal 09 Desember 2017).

Pemkab Tana Toraja, Humas. 2013. “Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Tana Toraja”. (Online), (http://www.tanatorajakab.go.id/en/. Diakes pada tanggal

11 Januari 2018). Jurnal dan lain-lain:

Christomy, Tommy. 2001. “Pengantar Semiotik Pragmatik Peirce: Nonverbal dan

Verbal” dalam Pusat Penelitian Kemasyrakatan dan Budaya Lembaga

Penelitian Universitas Indoensia, Bahan Pelatiahan Semiotika, hlm. 7-14. Jakarta.

http://bps-gerejatoraja.org/artikel/single/basmin-mattayang-dan-syukur-bijak- berkunjung-ke-kantor-badan-pekerja-sinode-gereja-toraja-tongkonan-sangulele/188.

http://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL%20YUDHA%20(11-16-15-11-58-34).pdf.

Tinarbuko, Sumbo. 2003. “Semiotika Analisis pada Karya Desain Komunikasi Visual”. Nirmana, Volume 5, No. 1:31-74. Yogyakarta. Sumalyo, Yulianto.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui aliran pemikiran kriminologi sosialis yang menyebutkan bahwa pelanggaran hak-hak asasi manusia, pelanggaran terhadap harga diri manusia dalam bentuk tidak

Telah dilakukan pemantauan korosi pada sistem pendingin Sekunder Reaktor RSG-GAS dengan cara pengamatan terhadap laju korosi dengan menggunakan coupon corrotion yang dipasang

Perlu dipertimbangkan untuk membuat daftar unit kerja yang sudah terfasilitasi dengan sistem aplikasi (sesuai dengan permintaannya) lengkap dengan jenis

Pemanfaatannya (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.. Hendaknya sebuah media pembelajaran akan lebih baik apabila dapat memberi pengaruh yang besar terhadap alat indera.

Dalam berkomunikasi, para pengguna jejaring sosial tersebut menggunakan variasi bahasa tertentu yang berbeda dengan bahasa sehari-hari karena bahasa yang digunakan

Berdasarkan deskripsi perbedaan fonologis isolek-isolek KAT yang diteliti dalam penelitian tersebut, dapat diasumsikan bahwa isolek-isolek yang dituturkan oleh

Alat yang digunakan dalam teknik ini berupa pedoman wawancara yaitu berupa pertanyaan juga pernyataan yang membutuhkan respondari penyandang tunarungu serta alat bantu

Setelah merekam dan memperhatikan video tersebut, kami melihat bahwa terdapat ‘image’ antara bunyi yang kami hasilkan yang merupakan interpretasi sifat dari karya arsitek