BAB II
KEWENANGAN JAKSA DALAM PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA PIDANA JIKA DIKAITKAN DENGAN ASAS OPORTUNITAS
DAN UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
A. Pengertian Asas Oportunitas
Perkataan oportunitas berasal dari kata-kata latin.76 Menurut kamus bahasa
Indonesia karangan W.J.S. Poerwardarminto, oportunitas berarti ketika atau
kesempatan yang baik.77 Sedangkan H. Kotslesen, mengartikan oportunitas sebagai
“Geschte Gelegheid”.78 Jadi, pada umumnya oportunitas berarti kesempatan yang
tepat. Kesemuanya mengandung pengertian dalam hukum pidana adalah
pengenyampingan perkara (deponering).79Asas tersebut memberikan wewenang
kepada penuntut umum untuk meniadakan penuntutan hukum terhadap seseorang
yang disangka telah mewujudkan suatu perbuatan berdasarkan pertimbangan bahwa
lebih menguntungkan kepentingan umum jikalau tidak diadakan penuntutan.80
Wewenang penuntutan dipegang oleh Penuntut Umum dengan cara
monopoli, artinya tiada badan lain yang dapat melakukan itu. Ini disebut dominus
litis di tangan Penuntut Umum. Dominus berasal dari bahasa latin yang artinya
76
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal. 151.
77
Djoko Prakoso, Eksistensi Jaksa di Tengah-Tengah Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 88.
78
Ibid.
79
Andi Hamzah, Loc.cit.
80
pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya. Jadi, hakim
hanya menunggu saja penuntutan dari Penuntut Umum.
Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio, menjelaskan asas oportunitas sebagai
berikut81
“Opportuniteits Principle (bahasa Belanda) adalah suatu prinsip yang mengizinkan penuntut umum untuk tidak melakukan tuntutan terhadap seorang tersangka, pun dalam hal dapat dibuktikan kiranya bahwa tersangka benar telah melakukan suatu tindak pidana. Dikatakannyalah bahwa penuntut umum berhak mendeponir suatu perkara apabila kepentingan umum, menurut pendapatnya menghendaki pendeponiran itu”.
:
Menurut A. Zainal Abidin dalam memberikan perumusan asas oportunitas
sebagai berikut :“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum
untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau
korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum”.82
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asas oportunitas merupakan asas
hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk tidak wajib
menuntut seseorang atau korporasi yang melakukan perbuatan pidana jika menurut
pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum baik dengan atau tanpa syarat.
Asas oportunitas tercantum di dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang No.
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Ketentuan tersebut
sebenarnya tidak menjelaskan arti asas oportunitas, hanya dikatakan bahwa : “Jaksa
Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan
81
Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1971), hal. 79. 82
umum”. Apa artinya “kepentingan umum” dijelaskan dalam buku pedoman
pelaksanaan KUHAP, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah sebagai
berikut:“....dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asas
oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan negara, dan
masyarakat dan bukan untuk kepentingan masyarakat”.
Pendapat tersebut di atas hampir mirip dengan pendapat Soepomo, yang
mengatakan bahwa83
“Baik di negeri Belanda maupun di negeri Hindia-Belanda, berlaku yang disebut asas opportunitas dalam tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum wewenang untuk tidak melakukan suatu penuntutan, jikalau adanya tuntutan itu dianggap tidak oppurtuun, tidak guna kepentingan masyarakat”.
:
Sedangkan dalam penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16
Tahaun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu84
“Yang dimaksud dengan “kepentingan umum”adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung, setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”.
:
Hal ini berarti kewenangan mengesampingkan perkara hanya ada pada Jaksa
Agung dan bukan pada jaksa di bawah Jaksa Agung (vide Penjelasan Pasal 77
KUHAP).
83
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 20. 84
Dengan Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana tersebut diatas, semakin tidak
jelas pelaksanaan asas oportunitas tersebut. Dengan adanya frase“Setelah
memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang
mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”. Hal ini menjadi semakin kabur
pengertiannya. Menjadi kabur karena badan-badan kekuasaan negara yang
mempunyai hubungan dengan masalah tersebut tidak jelas. Hal ini berarti wewenang
oportunitas dibatasi secara remang-remang sehingga tidak ada kepastian hukum
dalam penerapannya. Demikianlah sehingga dalam prakteknya menjadi sama dengan
penerapan asas legalitas yang menjadi lawan arti asas oportunitas.85
Asas legalitas yang dianut di negara Jerman, Austria, Italia dan Spanyol
berarti semua perkara harus dilimpahkan ke pengadilan oleh Penuntut Umum.
Namun, dalam praktek di Jerman, Jaksa dapat meminta izin kepada Hakim untuk
tidak melakukan penuntutan dengan syarat tertentu. Pada negara Italia ada
kecenderungan Jaksa yang mengulur-ulur perkara sehingga menjadi lewat waktu
(verjaard) sehingga tidak dapat dilakukan penuntutan jika jaksa terhadap suatu
perkara tidak dikirim ke Pengadilan.86
Berbeda dengan asas oportunitas yang dikenal secara global yang merupakan
wewenang semua Jaksa (bukan oleh Jaksa Agung saja), untuk melaksanakan asas itu
dengan pengertian: “Penuntut Umum dapat menuntut atau tidak menuntut dengan
85
“Laporan Tim Analisa dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana”, (Jakarta: 2006), hal. 27-28. Lihat juga : Syafruddin Kalo, “Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek”, (Medan : Fakultas Hukum Universitas Darma Agung, 2007), hal. 1.
86
syarat atau tanpa syarat suatu perkara ke pengadilan” (the public prosecutor may
decide-to make prosecution to court or not). Pada negara Norwegia, bahkan jaksa
dapat mengenakan sanksi sendiri sebagai syarat untuk tidak dilakukan penuntutan ke
pengadilan yang disebut patale unnlantese.87 Hal ini untuk mencegah menumpuknya
perkara di pengadilan dan membuat penjara menjadi penuh sesak. Sedangkan pada
negara Nederland baru-baru ini terbit peraturan bahwa semua perkara yang diancam
pidana di bawah 6 (enam) tahun penjara, jika kasusnya bersifat ringan, dengan
memperhatikan keadaan pada waktu delik dilakukan, terdakwa telah berubah tingkah
lakunya dikenakan afdoening yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan syarat
terdakwa membayar denda administratif.88
Pengertian kepentingan umum sebagaimana yang dijelaskan dalam
Penjelasan Pasal 35 huruf c.Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia diperluas dan mencakup kepentingan hukum. Hal ini
dikarenakan bukan saja berdasarkan atas alasan-alasan hukum semata tetapi juga
didasarkan atas alasan-alasan lain, antara lain: alasan kemasyarakatan; alasan
kepentingan keselamatan negara; dan saat ini meliputi juga faktor kepentingan
tercapainya pembangunan nasional.89
Dalam mendasarkan pertimbangan dan penilainnya, Jaksa Agung akan
melihatnya pula dari segi kepentingan masyarakat luas, terutama dari segi falsafah
hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yang
mengutamakan sikap dasar untuk mewujudkan keselarasan, keserasian dan
87Ibid. 88
Ibid.
89
keseimbangan dalam hubungan sosial antara manusia pribadi dengan manusia
lainnya untuk mencapai atau memperoleh kepentingannya. Jelas bahwa kebijakan
penuntutan untuk kepentingan umum dipercayakan dan dipertanggungjawabkan pada
Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi, dan adanya asas oportunitas
merupakan lembaga yang dibutuhkan dalam penegakan hukum demi menjamin
stabilitas dalam suatu negara tertentu.90
Selain itu, KUHAP juga memberi peluang mengenai keberlakuan asas
oportunitas walaupun tidak diatur secara tegas seperti dalam Undang-Undang No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal-pasal mengenai
penyampingan perkara tidak diatur sendiri melainkan tersebar pada ketentuan
mengenai benda sitaan dan pra-peradilan. Pasal 46 ayat (1) huruf c. KUHAP
menyatakan :
“Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila : c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana”.
Dalam ketentuan tersebut tidak ada penjelasan sama sekali mengenai
penyampingan perkara kecuali tentang benda sitaan. Namun dalam penjelasan Pasal
77 KUHAP terdapat penjelasan yang lebih memadai mengenai wewenang
penyampingan perkara yang berada di tangan Jaksa Agung. Penjelasan Pasal 77
KUHAP yang berbunyi: “Yang dimaksud penghentian penuntutan tidak termasuk
penyampingan perkara demi kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa
90
Agung”. Berdasarkan penjelasan Pasal 77 KUHAP, buku pedoman pelaksanaan
KUHAP, KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas oportunitas.91
Sebelum ketentuan diatas, dalam praktik telah dianut asas oportunitas
tersebut. Dalam hal ini Lemaire, mengatakan bahwa : “Pada dewasa ini asas
oportunitas lazim dianggap sebagai suatu asas yang berlaku di negara ini, sekalipun
sebagai hukum tidak tertulis yang berlaku”.92 Menurut Andi Hamzah, dengan
berlakunya UUD 1945, maka Jaksa Agung mempertanggungjawabkan pelaksanaan
wewenang oportunitas kepada Presiden yang pada gilirannya Presiden
mempertanggung-jawabkannya pula kepada rakyat.
B. Sejarah Penerapan Asas Oportunitas di Indonesia
Asas oportunitas ini berasal dari Perancis melalui Belanda dimasukkan ke
Indonesia melalui hukum kebiasaan dilanjutkan sampai masa penjajahan Jepang dan
masa kemerdekaan sampai dengan tahun 1961 hingga sekarang dalam
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Di Indonesia
hanya Jaksa Agung yang berwenang mengenyampingkan perkara pidana berdasarkan
kepentingan umum, hal ini untuk mencegah penyalahgunaan wewenang seperti
disinyalir oleh MVT SV Netherland.93
91
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Edisis Kedua, (Jakarta: Sinara Grafika, 2009), hal. 37.
Jaksa Agung dapat mendelegasikan
wewenangnya kepada Kepala Kejaksaan Tinggi. Berbeda dengan Belanda ada
kemungkinan pihak yang merasa dirugikan dapat memprotes penseponeran perkara
92
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.cit., hal. 17. 93
pidana dapat memohon kepada pengadilan untuk melakukan penuntutan sedangkan
di Indonesia hal yang demikian tidak diatur.
Belanda mengenal 2 (dua) macam seponering, yaitu : seponering bersyarat
dan seponering tidak bersyarat. Undang-Undnag No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia tidak menyebutkan yang demikian, namunketentuan
tentang asas oportunitas yang terdapat di dalam ketentuan tersebut tidak bertentangan
dengan pengertian seponering perkara pidana berdasarkan asas oportunitas termasuk
beleidvrijheid (kebebasan menetukan kebijaksanaan) yang dalam Hukum
Administrasi Negara disebut dengan Freies Ermessen. Hal ini sejalan dengan
pendapat A.L.Melai, yang menyatakan bahwa94
“Wewenang penuntut umum dalam hal meniadakan penuntutan berdasarkan asas oportunitas merupakan Rechtsvinding (penemuan hukum) yang harus dipertimbangkan berhubung karena hukum menuntut adanya keadilan dan persamaan hukum, hukum bertujuan untuk menjamin kemanfaatan dan kedamaian”.
:
Menurut A. Zainal Abidin, dimana ada kehidupan bersama manusia atau
masyarakat berarti disitu ada hukum termasuk hukum pidana. Sejarah adalah apa
yang telah terjadi dan bukan penghentian melainkan gerak. Bukan mati melainkan
hidup. Hukum adalah gejala suatu sejarah dan tunduk kepada perkembangan yang
berkesinambungan. Pengertian perkembangan mengandung 2 (dua) unsur, yaitu :
perubahan dan stabilitas.95
Menurut J.M. van Bemmelen, menyatakan bahwa :
94Ibid
., hal. 72. 95
“Asas oportunitas merupakan hukum kebiasaan yang tidak tertulis mulai dikenal di Belanda pada abad XIX dengan lahirnya lembaga baru yang khusus ditugaskan menuntut atau tidaknya perkara pidana. Asas tersebut merupakan asas hukum tidak tertulis berkaitan dengan pembentukan suatu badan khusus kekuasaan eksekutif yang secara hirarkhi disusun, yang diberikan terutama untuk menuntut perkara pidana, disamping tugas-tugas lain seperti penyidikan dan pelaksanaan keputusan hakim. Tidak tertutup kemungkinan dikenalnya sejenis asas oportunitas sebelum abad XIX. Tetapi asas tersebut tidak dilaksanakan oleh seseorang yang mewakili pemerintah. Yang menjalankan adalah tuan-tuan tanah feodal atau pegawai-pegawai gereja yang bertindak atas nama gereja”.96
Menteri Smidt pada tahun 1893 menganjurkan kepada penuntut umum untuk
mengadakan penuntutan apabila delik yang dilakukan merugikan ketertiban umum.
Anjuran tersebut memberi fungsi positif kepada asas oportunitas. Agar penuntut
umum selalu mempertimbangkan untuk tidak menuntut jika ketertiban umum atau
kepentingan tidak dirugikan. Pelaksanaan asas oportunitas pada abad XIX di Belanda
merupakan perbedaan tersendiri karena falsafah hukum pada abad XVIII sampai
permulaan abad XIX menghendaki undang-undang dilaksanakan menurut naskahnya
yang berarti dikehendaki pula asas legalitas. Asas legalitas dalam hukum acara
pidana mewajibkan penuntut umum menuntut setiap kali terdapat dasar dalam
naskah perundang-undangan. Pada tahun 1926, Belanda menyusun KUHAP yang
memberikan wewenang penyampingan perkara pidana sebagai hukum tertulis. Asas
oportunitas diatur dalam Pasal 167 ayat (2), 242 ayat (2), 244 ayat (3), dan 245 ayat
(4) Sv. 1926.97
96
Ibid., hal. 26. 97
Asas oportunitas yang sumber asalnya adalah negara Perancis melalui
Belanda dimasukkan juga ke Indonesia melalui hukum kebiasaan atau hukum tidak
tertulis. Dikatakan tidak tertulis karena adanya Pasal 179 RO, yang menyatakan98
“Kepada Hooggerechtshof diberikan kewenangan, bila ada pengaduna pihak yang berkepentingan atau secara lain manapun, mengetahui telah terjadi kealpaan dalam penuntutan kejahatan atau pelanggaran, memberi perintah kepada Pokrol Jenderal supaya berhubung dengan itu, melaporkan tentang kelapaan itu dengan hak memerintahkan agar dalam hal itu diadakan penuntutan jika ada alasan untuk itu.”
:
Pasal 179 RO ini menimbulkan penafsiran yang berkaitan dengan asas
oportunitas. Penafsiran itu menyatakan bahwa Pasal 179 RO membuka peluang
untuk pelaksanaan asas oportunitas. Ini dapat dilihat dari ayat pertama ketentuan ini,
yaitu : “Kecuali penuntutan oleh Gubernur Jenderal dengan perintah tertulis telah
atau akan dicegah”.99 Sehingga praktek oportunitas tidak berdasar dari suatu
ketentuan undang-undang dan praktik oportunitas juga dilarang menurut Pasal 57
RO, yang menyatakan100
Menurut Wirjono Prodjodikoro, pendapat tersebut tidak tepat. Bila dikatakan
penuntut umum harus melakukan hal sesuatu yang berhubungan dengan pelaporan,
ini belum berarti penuntut umum harus menuntut seseorang yang melakukan :“Bahwa pegawai-pegawai penuntut umum wajib
melakukan hal sesuatu yang berhubungan dengan suatu laporan yang diterim oleh
mereka tentang adanya suatu perbuatan yang oleh undang-undang diancam hukuman
pidana”.
98
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.cit., hal. 15. 99
Ibid.
100
peristiwa pidana. Penuntut umum hanya diwajibkan mengusut perkara tersebut untuk
mengetahui apakah laporan itu benar adanya. Tidak ditegaskan dalam ketentuan
tersebut kalau penuntut umum harus melakukan penuntutan di muka hakim pidana.
Sehingga ketentuan tersebut tidak melarang penuntut umum menganut prinsip
oportunitas”.101
Asas oportunitas tetap berlaku pada masa penjajahan Jepang dengan dasar
hukum yaitu Pasal 3 Osamu Serei No. 1 Tahun 1942, yang menyatakan : “Semua
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masa penjajahan sebelumnya tetap
berlaku asal tidak bertentangan dengan pemerintahan militer Jepang”. Peraturan ini
dimaksudkan dengan tujuan tidak terjadi kekosongan hukum. Pada masa
kemerdekaan, asas oportunitas tetap berlaku karena dalam Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945, menyatakan : “Semua peraturan terdahulu masih berlaku selama belum
diadakan yang baru”.102
101
Ibid.
Semenjak berlakunya Undang-Undang No. 15 Tahun 1961
sekarang Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, maka asas oportunitas diatur secara tertulis. Ketentuan ini memberikan
wewenang kepada kejaksaan untuk tidak melakukan penuntutan berdasarkan
kepentingan umum. Indonesia hanya Jaksa Agung yang berwenang
mengenyampingkan perkara berdasarkan pertimbangan kepentingan umum. Namun,
Kepala Kejaksaan Negeri melalui Kepala Kejaksaan Tinggi atau Kepala Kejaksaan
Tinggi atas perkara yang ditanganinya dapat mengusulkan penyampingan perkara
tertentu kepada Jaksa Agung.
102
C. Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia
Sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum UUD 1945 alinea pertama,
yang menyatakan : “Bahwa UUD ialah hukum dasar yang tertulis, di samping itu
Undang-Undang berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan
dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun
tidak tertulis”.
Jelas bahwa hukum yang berlaku di Indonesia tidak hanya hukum tertulis
yang berupa peraturan perundang-undangan saja melainkan juga hukum tidak tertulis
yang meliputi adatistiadat dan kebisaan-kebiasaan baik yang timbul dalam
penyelenggaraan negara (konvensi) maupun kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan
dihayati oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan memperhatikan sejarah hukum yang berlaku di Indonesia sebelum
penjajahan sangat dominan dengan hukum adat yang sifatnya heterogen, lain daerah
lain pula adatnya. Penyelesaian masalah identik dengan penyelesaian yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga adat dengan perangkat-perangkat desa. Pada masyarakat
primitif tidak membedakan antara hukum pidana dan hukum perdata, tuntutan
perdata dan tuntutan pidana merupakan kesatuan termasuk lembaga-lembaganya.
Pandangan rakyat Indonesia pada waktu itu melihat alam semesta dan
lingkungannya merupakan suatu totalitas yang harus dijaga keharmonisannya. Setiap
pelanggaran hukum (adat) para penegak hukum harus memulihkannya dengan
ditentukannya. Istilah Jaksa yang berasal dari bahasa sanskerta “adhyaksa”artinya
sama dengan hakim pada dunia modern sekarang ini.
Pada masa penjajahan Belanda, hukum yang berlaku di Indonesia dengan
asas konkordansi, segala perubahan perundang-undangan di Negeri Belanda
diberlakukan pula di Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
dipandang sebagai produk nasional, merupakan penerusan pula dari asas-asas hukum
acara pidana yang ada di dalam HIR (Stb. 1926 No. 559 Jo. 496). HIR sendiri berasal
dari IR yaitu dengan dibentuknya lembaga Openbaar Ministerie atau Penuntut
Umum yang dulu di bawah Pamong Praja secara bulat terpisah berdiri sendiri berada
di bawah Officer van Justitie (untuk golongan Eropa) dan Proceireur Generaal
sekarang Jaksa Agung untuk Bumiputera, sehingga Jaksa Agung sebagai penuntut
umum tertinggi.103
Sebagaiman yang dikemukakan oleh Andi Hamzah, yang menyatakan :
“Dalam hukum acara pidana dikenal adanya suatu badan khusus yang diberi
wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke Pengadilan yang disebut Penuntut
Umum”. Di Indonesia penuntut umum disebut Jaksa.104
103
“Laporan Tim Analisa dan Evaluasi Hukum”, Op.cit., hal. 58.
Wewenang penuntutan
dipegang oleh Penuntut Umum sebagai monopoli, karena tidak ada badan lain yang
boleh melakukan itu, hal ini disebut dominus litis di tangan Penuntut Umum atau
Jaksa.
104
Dalam hubungannya dengan hak penuntutan dikenal adanya 2 (dua) asas,
yaitu105
1. “Asas legalitas, yakni penuntut umum wajib melakukan penuntutan suatu delik; dan
:
2. Asas oportunitas, yakni penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan tindak pidana. Jika menurut pertimbangannya merugikan kepentingan umum, jadi demi kepentingan umum seseorang yang melakukan tindak pidana tidak wajib dituntut ke pengadilan”.
Apabila diartikan bahwa asas oportunitas itu pada dasarnya adalah asas
kesederhanaan yang menyangkut perkara-perkara kecil yang ancaman hukumannya
di bawah 6 (enam) tahun, dan apabila kerugiannya sudah diganti, harus diselesaikan
sendiri oleh Jaksa dan tidak perlu dilanjutkan lagi ke Pengadilan, karena hak
penuntutan berada di tangan Jaksa.106
Ada yang mengatakan bahwa oportunitas itu harus dibedakan oportunitas
sebagai asas dan oportunitas sebagai pengecualian. Dalam praktek sering dilakukan
pengecualian sebagai hukum tidak tertulis. Sedangkan asas oportunitas dalam
tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum wewenang tidak melakukan suatu
penuntutan jika dianggap tidak oportunitas yakni guna kepentingan umum.107
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, Pasal 1 butir 6 huruf a dan b dan Pasal 137 tidak mengatur secara
tegas tentang asas oportunitas. Adapun bunyi ketentuan tersebut adalah sebagai
berikut :
105
“Laporan Tim Analisa dan Evaluasi Hukum”, Op.cit., hal. 59. 106
Ibid., hal. 62. 107
Pasal 1 butir 6, menyatakan bahwa :
a. “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.
Pasal 14 huruf h, menyatakan bahwa : “Penuntut umum mempunyai wewenang:h.
Menutup perkara demi kepentingan hukum”.
Apa yang dimaksud menutup perkara demi kepentingan hukum sama sekali
tidak ada penjelasan, kemungkinan kurangnya alat bukti atau sudah diselesaikan
melalui perdamaian/ganti kerugian (opportuun).
Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia ada beberapa pasal yang mengatur asas oportunitas, yaitu : Pasal 1 ayat
(1), ayat (2); Pasal 30 ayat (1) huruf a dan huruf b; Pasal 35 huruf c. Adapun bunyi
ketentuan dimaksud adalah sebagai berikut :
Pasal 1, menyatakan bahwa :
(1) “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Pasal 30 ayat (1), menyatakan bahwa : “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai
tugas dan wewenang:Melakukan penuntutan : a. Melaksanakan penetapan hakim dan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Pasal 35, menyatakan bahwa : “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: b.
Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”.
Dalam hal ini, baik secara historis maupun yuridis di Indonesia menganut
asas oportunitas. Secara historis dengan diakuinya keberadaan hukum dasar tidak
tertulis. Sedangkan secara yuridis adanya undang-undang pelaksanaan asas
oportunitas melalui Pasal 8 Undang-Undang No. 15 Tahun 1961, Pasal 32 huruf c
Undang-Undang No. 5 Tahun 1991, dan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
Namun dalam undang-undang tersebut mengartikan asas oportunitas masih
terlalu sempit. Hanya Jaksa Agung yang berwenang mengesampingkan perkara demi
kepentingan umum. Lalu kepentingan umum diartikan terlalu sempit pula yaitu
kepentingan negara dan masyarakat. Hal inilah yang menjadi pertimbangan penentu
boleh tidaknya perkara pidana dikesampingkan, sehingga dalam praktek jarang
dilakukan. Di Indonesia perkara pidana dikesampingkan karena alasan kebijakan
(policy) yang meliputi: perkara ringan, umur terdakwa sudah tua, dan kerusakan
telah diperbaiki, hal ini dilekatkan syarat “penseponeran” yaitu pembayaran denda
damai yang disetujui oleh para pihak kejaksaan dan tersangka.108
108
Ibid., hal. 66.
Misalnya perkara
yayasan yang dipimpinnya, yang digelar PN Jakarta Selatan pada 21 Agustus 2000.
Namun terdakwa dinyatakan sakit dan tidak dapat hadir di persidangan. Pada bulan
Mei 2006 Pak Harto sakit berat sehingga Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan
mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Presiden RI SBY
meminta agar dilakukan pengendapan wacana pemberian Rehabilitasi bagi mantan
Presiden Soeharto. DPR juga membentuk Tim Pengkaji kasus Pak Harto untuk
mengontrol pemerintah untuk membuat kebijaksanaan atas mantan Presiden RI itu.
Wakil Presiden RI meminta agar kasus Pak Harto ditutup/dihentikan mengingat usia
dan jasa-jasanya kepada negara. Sedangkan Jaksa Agung mengatakan proses hukum
Pak Harto untuk sementara dihentikan hingga sembuh.109
Hak Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum
adalah tugas berat, bukan perkara ringan, kepastian hukum dan keadilan harus
ditegakkan melalui proses hukum, musyawarah/damai bisa ditempuh melalui
pengembalian uang negara/ganti rugi/uang damai (opportuun) yang jumlah
ditentukan oleh jaksa agung melalui kesepakatan Presiden, wakil Presiden,
MA,MK,KY, KAPOLRI dan Menteri-Menteri terkait.110
Asas oportunitas berkaitan dengan wewenang penuntutan dalam perkara
pidana yang merupakan tugas dan wewenang jaksa sebagai penuntut umum.
Penuntutan adalah permintaan jaksa sebagai penuntut umum kepada hakim, agar
hakim melakukan pemeriksaan perkara terdakwa di sidang pengadilan, dengan
109
Harian Media Indonesia, diterbitkan Selasa, 16 Mei 2006/No.9276/Tahun XXXVII, hal. 1.
110
maksud apabila hakim setelah melakukan pemeriksaan akan memberikan
keputusannya tentang terdakwa.
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar Penuntut Umum (Jaksa) tidak
melakukan penuntutan terhadap seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana
adalah “kepentingan umum”. Jadi kepentingan umum akan lebih terjamin dengan
tidak dilakukannya penuntutan. Dalam hal ini penuntut umum akan
mengenyampingkan perkara pidana (seponier) artinya berkas perkara pidana tidak
diteruskan ke pengadilan.
Sebenarnya lembaga seponering perkara pidana (asas oportunitas) sama
seperti lembaga abolisi yang juga meniadakan penuntutan perkara pidana, namun
abolisi merupakan wewenang Kepala Negara dalam UUD NRI Tahun 1945.
Disamping itu dikenal juga penyelesaian perkara diluar sidang untuk perkara-perkara
pidana ringan yang ancaman hukumannya denda.
Memberlakukan asas oportunitas ini sejalan dengan apa yang dikemukakan
Van Appledorn bahwa tidak semua delik perlu dituntut pelakunya terutama bilaman
akibatnya sangat kurang berarti ditinjau dari segi kepentingan umum.111
Asas oportunitas yang berlaku dalam yurisdiksi kejaksaan mempunyai
kekuasaan yang sangat penting yaitu mengenyampingkan perkara pidana yang sudah
jelas pembuktiannya, mengingat tujuan dari asas ini adalah kepentingan negara maka
Jaksa harus berhati-hati dalam melakukan kekuasaannya sebab ada kemungkinan
bahwa dengan memakai kepentingan negara sebagai alasan seorang jaksa
menyampingkan perkara pidana padahal tindakan itu dilakukan tidak lain untuk
111
kepentingan pribadi atau golongan atau kelompok tertentu.Kecurangan ini mungkin
terjadi karena adanya sogokan dari terdakwa.
Dalam hal ini ada pengawasan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung
terhadap semua jaksa dengan adanya hirarki dalam instansi kejaksaan maka Jaksa
Agung dapat memerintahkan kepada jaksa supaya suatu perkara pidana dituntut atau
tidak dituntut di muka pengadilan.
Dalam perkembangannya, penerapan asas oportunitas terdapat perbedaan
antara penutupan perkara pidana demi kepentingan hukum dengan perkara pidana
ditutup dengan kepentingan umum ex asas oportunitas. Jika ternyata perkara pidana
ditutup “demi hukum” tidak diseponir secara definitif, tetapi masih dapat dituntut
bilamana ada alasan baru, sedangkan perkara pidana yang ditutup secara
definitifdemi kepentingan umum tidak boleh dituntut kembali dan lagi pula perkara
yang demikian cukup alat buktinya.112
D. Azas Oportunitas Dalam Praktek
Makna harfiah tentang oportunitas adalah ketepatan, kepantasan,
menguntungkan, saat yang tepat, layak, kesempatan dan manfaat yang baik. Jelas
sekali bahwa asas ini tiada lain adalah bertujuan untuk memberi kemanfaatan,
kelayakan dan kesempatan yang baik guna kepentingan masyarakat.113
Merupakan suatu kenyataan universal bahwa lajunya perkembangan
kehidupan masyarakat serta perubahan nilai-nilai baik karena dinamika masyarakat
112
Ibid., hal. 70. 113
itu secara kodrati maupun sebagai akibat pembangunan, tertuma dalam masyarakat
yang sedang berkembang, tidak sepadan dan bahkan cenderung menimbulkan
kesenjangan fisik serta psikis dengan bidang hukum.
Perubahan masyarakat serta pertumbuhan nilai-nilai sebagai manifestasi alam
dan budaya terutama pada kurun waktu menjelang berakhirnya abad ke-20
memberikan suatu gambaran, bahwa hukum pada hari ini sudah tidak mampu lagi
memikul beban sosial yang sedemikian banyak dan majemuk. Konstatasi ini
membawa konsekuensi bahwa hukum harus lebih terampil dalam menghadapi
tugas-tugasnya untuk turut melapangkan pengadaan relung-relung pembaharuan yang
sejajar dengan perkembangan masyarakat secara mengakar dan mendasar terutama
pada aspek-aspek yang sudah kehilangan atau setidak-tidaknya sudah meluntur nilai
kemaslahatannya, keadilannya ataupun dari sisa-sisa kemutlakan masa lalu yang
tidak memiliki dimensi Pancasila.
Asas oportunitas dalam hukum positif tertulis telah mempunyai tempat yang
pasti. Pendeponeringan perkara dirasakan masih merupakan suatu kejanggalan
karena dengan berlakunya asas ini ada anggapan tidak semua orang berasamaan
kedudukannya di hadapan hukum. Sebagai salah satu unsur rule oflaw adalah
pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, bahwa setiap orang
mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum. Anggapan-anggapan inilah yang
menimbulkan permasalahan dan mungkin mengakibatkan kemerosotan wibawa
Hukum merupakan kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu
merupakan pencerminan dan konkritisasi daripada nilai-nilai yang pada suatu saat
berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang hidup di
masyarakat.114
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengadili, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Begitu pula penuntut
umum dalam melakukan penuntutan, harus menghubungkan antara kepentingan
hukum dan kepentingan umum, karena kedua soal ini saling mempengaruhi satu
sama lainnya dengan suatu peraturan hukum pidana, serta mencoba menempatkan
kejadian itu dengan menghubungkan kepada proposisi yang sebenarnya. Karena
kepentingan umum, maka penunutut umum dapat mengenyampingkan perkara.
Adapun yang dimaksudkan dengan kepentingan umum tidak ada batasan pengertian
yang jelas dalam peraturan perundang-undangan. Untuk itu permasalahannya harus
dikembalikan kepada tujuan hukum atau cita-cita hukum. Cita-cita hukum bagi Namun keadaan yang diinginkan itu kadang-kadang tidak selalu
selaras dengan perkembangan yang berlaku di masyarakat. Hal ini antara lain
disebabkan kaidah-kaidah hukum selalu ketinggalan dengan perkembangan
masyarakat yang sangat cepat lajunya. Kepekaan para penegak hukum dalam
menempatkan hukum sebagai kebutuhan yang terjadi dalam masyarakat adalah
kebutuhan pokok.
114
bangsa Indonesia diwujudkan dalam pokok-pokok pikiran yang tertampung dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Asas oportunitas sebagai pranata hukum dikenal sebagai kewenangan jaksa
agung untuk meniadakan penuntutan ke muka pengadilan terhadap seseorang,
walaupun cukup bukti untuk dituntut atas dasar pertimbangan kepentingan umum.
Jadi asas oportunitas lebih merupakan suatu kebijaksanaan yang memberi wewenang
kepada Jaksa Agung untuk memotong salah satu mata rantai proses pengadilan,
karena mata rantai proses pengadilan itu tiada lain adalah
penyidikan-penuntutan-pemeriksaan di muka pengadilan dan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).115
Kebijaksanaan yang memberi wewenang untuk memilih atau memotong satu
mata rantai dari proses peradilan adalah untuk mewujudkan manfaat hukum bagi
kemaslahatn masyarakat. Asas oportunitas sebagai pranata hukum cenderung
merupakan suatu tradisi itu pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan yang
sadar dari masyarakat dan merupakan sarana untuk melindungi dan membimbing
serta turut memberi bentuk dalam kehidupan masyarakat. Karena itu asas oportunitas
merupakan bagian dari ikhtiar manusia yang dapat dipertanggungjawabkan dan perlu
dipelihara serta diperkembangkan di dalam celah-celah kaidah hukum yang
memaksa. Apabila dewasa ini asas oprtunitas masih dihormati dan diakui hanyalah
mengenai kebijaksanaan yang memberi wewenang kepada penuntut umum untuk
meniadakan salah satu mata rantai dari rangkaian proses peradilan yakni wewenang
untuk tidak menuntut maka timbul pertanyaan apakah kebiasaan ini sudah cukup
115
tetap/tepat apabila dihubungkan dengan pengertian proses peradilan secara
keseluruhan.
Kewenangan untuk tidak menuntut atas pertimbangan kepentingan umum,
disebabkan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kemaslahatan
masyarakat maka adalah layak pula apabila dipertimbangkan memperlakukan
kewenangan ini pada salah satu mata rantai lainnya sepanjang penerapan hukum
kebiasaan ini juga memberikan kemaslahatan umum, katakanlah mata rantai
eksekusi. Dalam hal ini patut diketengahkan pendapat Wirjono Prodjodikoro yang
mengemukakan asas oportunitas itu yaitu menggantungkan hal akan melakukan
sesuatu tindakan kepada keadaan yang nyata dan yang ditinjau satu persatu.116
Penerapan asas oportunitas secara khusus pada mata rantai eksekusi berupa
penangguhan pelaksanaan putusan pengadilan dianggap wajar, layak dan pantas.
Mata rantai eksekusi sesungguhnya lebih merupakan kebijaksanaan penuntutan
umum sebagaimana ditetapkan dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 13 Maret
1958 Register Nomor 16 K/Kr/1958. Kebebasan ruang gerak bagi Penuntut Umum
bagi Penuntut Umum dalam eksekusi atau adanya “freies ermessen” dalam
pelaksanaan hukuman, merupakan suatu hal yang wajar.117
Jaksa selaku eksekutor dapat menilai secara faktual dan situasional, untuk
menetapkan secara arif dan bijaksana saat yang paling tepat untuk melaksanakan
atau menangguhkan eksekusi.
116
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Cet. X, (Bandung: Sumur, 1980), hal. 21.
117
Wewenang penuntutan dan meniadakan penuntutan sebagai salah satu mata
rantai proses peradilan merupakan kebijaksanaan Jaksa Agung selaku Penuntut
Umum tertinggi. Untuk menerapkan asas oportunitas pada mata rantai eksekusi, di
samping harus dilandasi pada kemudahan-kemudahan hukum yang tersedia masih
memerlukan suatu pertimbangan secermat mungkin, karena perwujudannya sebagai
kebijaksanaan harus memberi dampak yang positif dalam upaya mewujudkan cita
hukum yang berlandaskan Pancasila. Dengan memahami kedudukan dan kaitan
integral antara mata rantai proses peradilan, maka kebijaksanaan untuk meniadakan
penuntutan berdasarkan asas oportunitas, dianggap cukup beralasan untuk
memperlakukan juga pada mata rantai eksekusi, karena kebebasan wewenang
penuntutan (prosecutorial discretion) dan kebebasan kewenangan eksekusi
(eksecutorial discreation) kedua-duanya dapat dipertanggungjawabkan, baik
menurut teori ilmu hukum, maupun penuntutan kelayakan, yang wajar dan patut
berdasarkan kemanusiaan dan keadilan yang diterapkan secara selektif serta
kasuistis.118
Tindakan Jaksa Agung tersebut sebenarnya merupakan tindakan diskresi di
bidang penuntutan dan eksekusi. Prajudi Atmosudirdjo menerjemahkan discreation
(Inggris), discretion (Perancis) dan freiess ermessen (jerman) “sebagai kebebasan
bertindak” atau mengambil keputusan menurut “pendapat sendiri”. Yang pelu di jaga
adalah agar diskresi tersebut tidak berubah menjadi detournement du pouvoir atau
penyalahgunaan wewenang. Dalam hubungan ini maka pernayataan Lord Halsbury
dalam bukunya A.F.Wilcox tersebut dapat dijadikan pedoman, yakni bahwa
118
penangguhan wewenang diskresi tersebut dilakukan within the rules of reason and
justice.119
Dalam praktek, bilamana suatu perkara dari sesuatu Kejari hendak
dikesampingkan, maka permohonan kepada Jaksa Agung RI selalu disertai dengan
saran dari Muspida Tingkat II dan Gubernur Kepala Daerah dengan
penjelasan-penjelasan kemungkinan adanya akibat negatif dalam masyarakat bilamana perkara
dimajukan di persidangan.120Hal ini tidak ditentukan di dalam KUHAP tetapi
merupakan suatu hal yang baik dilakukan Kejaksaan apabila akan melakukan SKP2.
Berdasarkan saran-saran tersebut, Kejari mengajukan Permohonan kepada Jaksa
Agung RI agar Jaksa Agung mengenyampingkan perkara tersebut. Dari uraian
tersebut penyampingan perkara pidana harus benar-benar demi kepentingan umum.
Akhir Oktober 2010, Jaksa Agung Pelaksana Tugas (Plt.) Darmono telah
menyatakan deponeering perkara pidana Bibit-Chandra. Sebagai catatan, Darmono
diangkat menjadi pelaksana tugas jaksa agung berdasarkan Keputusan Presiden No
104/P/2010 yang terbit pada 25 September 2010. Alasan dikeluarkannya
deponeering oleh Darmono lebih disebabkan faktor sosiologis, yaitu agar kinerja
KPK dalam pemberantasan korupsi tidak terhambat, sebab bila kedua tersangka
diajukan ke pengadilan, maka statusnya akan berubah menjadi terdakwa. Sebagai
konsekuensinya, kedua pimpinan KPK tersebut harus diberhentikan secara permanen Contoh Kasus I
119Ibid . 120
dari jabatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) huruf c. Undang-Undang
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Upaya penghentian perkara ini sebenarnya telah dilakukan kejaksaan dengan
mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP). Kemudian SKPP
ini di pra-peradilankan, bahkan secara luar biasa hingga tahap kasasi, padahal
menurut KUHAP, pra-peradilan hanya dapat dilakukan hingga tingkat banding.
Sekalipun telah sampai ke tahapan kasasi, Mahkamah Agung memutus bahwa SKPP
tidak sah, karena SKPP dibuat berdasarkan alasan sosiologis. Perbedaannya SKPP
dengan Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum, yaitu adanya celah
“kepentingan umum”, artinya, selama bisa dibuat merepresentasikan kepentingan
umum bisa dijadikan alasan.
Kini kemunculan kepentingan umum sebagai suatu premis dalam penalaran
hukum. Alasan sosiologis Jaksa Agung ditempatkan sebagai penjelasan kepentingan
umum. Demi kepentingan umum berarti, jangan sampai terhambatnya kinerja
Komisi Pemberantasan Korupsi.121
Mahkamah Konstitusi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan mulai beroperasi sejak 15 Oktober 2003.
Lembaga ini memiliki kewnangan untuk mengadili perkara-perkara seputar: Contoh Kasus II.
1. “Judicial reviewUndang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
121
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.122
Dilihat dari kewenangannya Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang
sangat vital dalam hal ketatanegaraan Republik Indonesia. Kepentingan umum, yang
diterjemahkan sebagai kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat luas, menjelma
sempurna dalam wilayah Mahkamah Konstitusi. Saat ini, institusi ini dilanda dugaan
korupsi. Opini Refly Harun mengenai adanya indikasi suap dalam kinerja
hakim-hakim konstitusi, diawali adanya cerita-cerita dari anggota masyarakat di Papua
mengenai mahalnya ongkos berperkara di Mahkamah Konstitusi. Ongkos perkara
untuk memutus sengketa pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi, bisa mencapai
Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Opini demikian memancing reaksi keras
dari berbagai pihak, termasuk dari Mahfud M.D. yang menjabat Ketua Mahkamah
Konstitusi. Mahfud langsung meminta Refly untuk membentuk Tim Investigasi
Internal, untuk mencari bukti-bukti dugaan korupsi. Apabila ditemukan indikasi dan
bukti korupsi, maka akan diselesaikan secara hukum. Sikap tegas demikian, patut
dihargai, namun patut juga diwaspadai konsekuensinya. Hakim yang memeriksa dan
memutus perkara di Mahkamah Konstitusi berjumlah 9 (sembilan) orang. Mahkamah
Konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, dilakukan dalm
sidang pleno yang diikuti 9 (sembilan) hakim, dan dalam keadaan luar biasa dapat
dilakukan oleh 7 (tujuh) orang hakim. Persoalan akan menjadi pelik jika ternyata di
122
kemudian hanya tersedia 6 (enam) orang hakim, karena 3 (tiga) orang lainnya tengah
ditahan untuk menjalani pemeriksaan. Memang, hakim Mahkamah Konstitusi, tidak
serta-merta diberhentikan karena menjadi tersangka atau terdakwa, mereka hanya
akan diberhentikan apabila sudah menjadi terpidana dan putusan hakim telah
berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi memiliki batasan
waktu dalam memutus perkara-perkara yang diajukan, dan tidak sahnya satu atau dua
perkara yang diajukan. Misalnya saja, dalam perkara sengeketa pemilihan umum,
Mahkamah Konstitusi memiliki batas waktu bekerja 14 (empat belas) hari untuk
memutus, jangka waktu ini lebih singkat dari masa penahanan yaitu 20 (dua puluh)
hari. Letak persoalan sesungguhnya, apakah Mahkamah Konstitusi tetap dapat
bekerja dengan 6 (enam) orang hakim? Tentu saja tidak. Pemeriksaan tindak pidana
korupsi tentu menyita banyak waktu, dan pemeriksaan tingkat penyidikan, hingga
persidangan akan sangat menghambat kinerja hakim Mahkamah Konstitusi, yang
artinya kepentingan umum bangsa, negara dan masyarakat akan terhambat. Apakah
ini akan jadi alasan bagi pengesampingan tuntutan pidana? Itupun kalau kejaksaan
yang mengurus perkara ini, jika Komisi Pemberantasan Korupsi, maka pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memiliki otoritas untuk mengesampingkan
perkara. Namun preseden hukum telah terbentuk. Jika langkah deponeering diambil,
maka menjadi satu konklusi bahwa pejabat tinggi negara yang mengurusi
kepentingan umum secara eksklusif, seperti pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi, hakim Mahkamah Konstitusi hingga Presiden adalah orang-orang yang
kebal hukum.123
123
E. Kewenangan Jaksa Dalam Penghentian Penuntutan Perkara Pidana Terkait Asas Oportunitas dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Berbicara tentang hak menuntut, maka perhatian diarahkan kepada istilah
subjectief strafrecht (just puniendi), yang didalamnya recht bukan berarti hukum,
melainkan hak, yaitu hak dari negara yang diwakili oleh alat-alatnya untuk
menghukum seorang oknum yang melanggar hukum pidana.124
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Pasal 1 angka 1 dan 2 memberikan pengertian tentang Jaksa, yakni sebagai berikut: Alat-alat negara itu
adalah Jaksa.
1. “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.
Menurut Andi Hamzah, “Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga jaksa
dan wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya
tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Hakim tidak dapat meminta supaya delik
diajukan kepadanya. Jadi hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut
umum”.125
Seperti diketahui bersama bahwa setiap tindak pidana selalu disertai ancaman
pidana. Sebagian besar para sarjana tetap mempercayai bahwa hukuman merupakan
124
R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1989), hal. 148.
125
suatu hal yang patut dikenakan terhadap pelaku kejahatan. Beberapa diantaranya
berupaya untuk memberikan pendasaran moral terhadap hukuman legal. Kant
misalnya memberikan penjelasan “menghukum kejahatan adalah kewajiban
moral.”126 Dalam bukunya, Philosophy of Law, Kant menulis sebagai berikut:
“hukuman tidak pernah dapat diberikan sebagai sarana untuk mencapai kebaikan
yang lain baik menyangkut si penjahat sendiri maupun masyarakat. Dalam segala
situasi, hukuman dapat dijatuhkan atas seseorang hanya karena si individu terhukum
terbukti melakukan kejahatan. Karena tak seorang pun boleh diperlakukan sebagai
alat untuk mencapai tujuan dari orang lain.”127 Perkataan Kant, mengisyaratkan
bahwa : “Dibenarkan menghukum seseorang yang bersalah dan mempunyai hak
moral untuk melakukan hal demikian”. Sehubungan dengan hal ini, Barda Nawawi
Arief dengan mengutip pendapat Bassiouni, menyatakan bahwa : “Pidana hanya
dibenarkan apabila ada kebutuhan yang berguna bagi masyarakat, pidana yang tidak
diperlukan tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat”.128
Penyampingan perkara merupakan suatu cara dimana tidak perlu
(menghukum) seseorang yang bersalah walaupun orang tersebut telah terbukti
bersalah atas dasar asas oportunitas yang yang berlaku pada yurisdiksi
kejaksaan.Andi Hamzah mengemukakan bahwa “dalam asas oportunitas, jaksa boleh
memutuskan tidak akan menuntut perkara pidana apabila penuntutan itu tidak dapat
dilakukan atau tidak patut dilakukan atau tidak dikehendaki atau apabila penuntutan
126
Yong Ohtimur, Teori Etika Tentang Hukum Legal, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 7.
127Ibid. , hal. 7 128
itu lebih merugikan kepentingan umum atau pemerintah daripada apabila penuntutan
itu dilakukan.”129
Mengenai kepentingan umum dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c.
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, hanya
memberikan penjelasan bahwa : “Kepentingan umum itu sebagai kepentingan bangsa
dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas”. Mengesampingkan perkara
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas
yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan
pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan
masalah tersebut.130
Sejauh ini jaksa selalu beranggapan bahwa jaksa dapat menghentikan
penuntutan dan bukan mengenyampingkan perkara. Menghentikan penuntutan demi
kepentingan hukum bukan kepentingan umum.131 Apabila dilihat dari latar belakang
sejarah sesungguhnya awal mula asas oportunitas itu dibawa oleh Belanda ke
Indonesia.132
129
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.cit., hal. 14.
Praktek yang diturut oleh Penuntut Umum di Indonesia sejak zaman
Belanda adalah menganut principe-oportunita. Dengan principe-oportunita ini Jaksa
sebagai Penuntut Umum mempunyai kekuasaan yang amat penting yaitu
menyampingkan suatu perkara pidana yang sudah terang benderang pembuktiannya.
130
Harian Kompas, “Rubrik Opini : Deponeering Kasus Bibit & Chandra”, diterbitkan Kamis, 18 Oktober 2012.
131
Darmono, sebagai Wakil Jaksa Agung, menyatakan bahwa : “Soal opsi penghentian tuntutan, dengan alasan anak di bawah umur, bisa saja ditempuh Jaksa, sebab Undang-Undang mengatur ketentuan itu. Jaksa berwenang menghentikan penuntutan atau mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Sumber : Harian Jurnal Nasional, “Soal Kasus Sandal Jepit, Kejagung Hanya Berharap Bisa Segera Tuntas”, diterbitkan Selasa, 03 Januari 2012.
132
Belanda mengartikan asas oportunitas sebagai “penuntut umum boleh memutuskan
untuk menuntut atau tidak menuntut dengan syarat atau tanpa syarat”.133 Kedudukan
Penuntut Umum dalam hal ini sangat kuat, sehingga disebut sebagai semi-judge
(setengah hakim) karena kebebasannya secara individual untuk menuntut atau tidak
menuntut.134
Dalam PenjelasanUndang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia disebutkan secara tegas bahwa di lingkungan Kejaksaan, Jaksa
Agung-lah yang mempunyai hak mengenyampingkan perkara berdasarkan
kepentingan umum. Jaksa Agung bisa menganggap bahwa akan lebih banyak
kerugiannya apabila menuntut baik untuk masyarakat maupun untuk negara, maka
perkara tersebut dikesampingkan.Sebagai pertanggungjawaban Jaksa Agung atas hak
oportunitas ini, Jaksa Agung mempertanggungjawabkan pada Presiden berdasarkan
Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan
Republik Indonesia. Apabila ternyata tetap bahwa cara-cara pelaksanaan hak tersebut
timbul keragu-raguan, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta keterangan
dari Pemerintah (Presiden atau Jaksa Agung). Pada akhirnya Presiden harus
mempertanggungjawabkandi Majelis Permusyawaratan Rakyat.135
Dalam penyampingan perkara, hukum dan penegakan hukum dikorbankan
demi kepentingan umum. Seseorang yang cukup terbukti melakukan tindak pidana,
perkaranya dideponir atau dikesampingkan dan tidak diteruskan ke sidang
133
Rahmat Setiabudi Sokonagoro, “Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana”, (Yogyakarta : Bagian Hukum & Bagian TIT, Pemerintah Kota Yogyakarta, 2011).
134
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Op.cit., 17-18. 135
pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum. Itulah sebabnya, asas oportunitas
bersifat diskriminatif dan menggagahi makna equality before the law atau persamaan
kedudukan di depan hukum. Sebab kepada orang tertentu, dengan mempergunakan
alasan kepentingan umum, hukum tidak diperlakukan atau kepadanya penegakan
hukum dikesampingkan.136
Apabila diteliti lebih lanjut pemberian kewenangan pengenyampingan
perkara pidana kepada jaksa sesuai dengan asas hukum acara pidana yang diatur
dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana
salah satu asasnya mengatur tentang peradilan yang harus dilakukan dengan cepat,
sederhana dengan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan
secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Bila diperhatikan satu persatu
mengenai asas tersebut maka dengan penyampingan perkara pidana oleh jaksa proses
peradilannya cukup diselesaikan di Kejaksaan sehingga proses peradilan itu tidak
memakan waktu yang lama dan panjang.
Peradilan yang sederhana dan biaya ringan otomatis dapat terwujud bila
proses penyelesaian peradilan itu diselesaikan dengan cepat. Sifat sederhana itu
diperoleh karena prosesnya tidak berbelit-belit. Administrasi perkara ini jumlahnya
banyak dan biasanya dibuat dalam beberapa rangkap, tentu saja hal tersebut
membutuhkan biaya yang banyak sehingga asas biaya ringan yang ingin dicapai akan
sulit sekali terwujud.
136