• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA PIDANA JIKA DIKAITKAN DENGAN ASAS OPORTUNITAS DAN UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA A. Pengertian Asas Oportunitas - Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA PIDANA JIKA DIKAITKAN DENGAN ASAS OPORTUNITAS DAN UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA A. Pengertian Asas Oportunitas - Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEWENANGAN JAKSA DALAM PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA PIDANA JIKA DIKAITKAN DENGAN ASAS OPORTUNITAS

DAN UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

A. Pengertian Asas Oportunitas

Perkataan oportunitas berasal dari kata-kata latin.76 Menurut kamus bahasa

Indonesia karangan W.J.S. Poerwardarminto, oportunitas berarti ketika atau

kesempatan yang baik.77 Sedangkan H. Kotslesen, mengartikan oportunitas sebagai

“Geschte Gelegheid”.78 Jadi, pada umumnya oportunitas berarti kesempatan yang

tepat. Kesemuanya mengandung pengertian dalam hukum pidana adalah

pengenyampingan perkara (deponering).79Asas tersebut memberikan wewenang

kepada penuntut umum untuk meniadakan penuntutan hukum terhadap seseorang

yang disangka telah mewujudkan suatu perbuatan berdasarkan pertimbangan bahwa

lebih menguntungkan kepentingan umum jikalau tidak diadakan penuntutan.80

Wewenang penuntutan dipegang oleh Penuntut Umum dengan cara

monopoli, artinya tiada badan lain yang dapat melakukan itu. Ini disebut dominus

litis di tangan Penuntut Umum. Dominus berasal dari bahasa latin yang artinya

76

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal. 151.

77

Djoko Prakoso, Eksistensi Jaksa di Tengah-Tengah Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 88.

78

Ibid.

79

Andi Hamzah, Loc.cit.

80

(2)

pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya. Jadi, hakim

hanya menunggu saja penuntutan dari Penuntut Umum.

Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio, menjelaskan asas oportunitas sebagai

berikut81

“Opportuniteits Principle (bahasa Belanda) adalah suatu prinsip yang mengizinkan penuntut umum untuk tidak melakukan tuntutan terhadap seorang tersangka, pun dalam hal dapat dibuktikan kiranya bahwa tersangka benar telah melakukan suatu tindak pidana. Dikatakannyalah bahwa penuntut umum berhak mendeponir suatu perkara apabila kepentingan umum, menurut pendapatnya menghendaki pendeponiran itu”.

:

Menurut A. Zainal Abidin dalam memberikan perumusan asas oportunitas

sebagai berikut :“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum

untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau

korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum”.82

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asas oportunitas merupakan asas

hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk tidak wajib

menuntut seseorang atau korporasi yang melakukan perbuatan pidana jika menurut

pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum baik dengan atau tanpa syarat.

Asas oportunitas tercantum di dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang No.

16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Ketentuan tersebut

sebenarnya tidak menjelaskan arti asas oportunitas, hanya dikatakan bahwa : “Jaksa

Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan

81

Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1971), hal. 79. 82

(3)

umum”. Apa artinya “kepentingan umum” dijelaskan dalam buku pedoman

pelaksanaan KUHAP, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah sebagai

berikut:“....dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asas

oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan negara, dan

masyarakat dan bukan untuk kepentingan masyarakat”.

Pendapat tersebut di atas hampir mirip dengan pendapat Soepomo, yang

mengatakan bahwa83

“Baik di negeri Belanda maupun di negeri Hindia-Belanda, berlaku yang disebut asas opportunitas dalam tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum wewenang untuk tidak melakukan suatu penuntutan, jikalau adanya tuntutan itu dianggap tidak oppurtuun, tidak guna kepentingan masyarakat”.

:

Sedangkan dalam penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16

Tahaun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu84

“Yang dimaksud dengan “kepentingan umum”adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung, setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”.

:

Hal ini berarti kewenangan mengesampingkan perkara hanya ada pada Jaksa

Agung dan bukan pada jaksa di bawah Jaksa Agung (vide Penjelasan Pasal 77

KUHAP).

83

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 20. 84

(4)

Dengan Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana tersebut diatas, semakin tidak

jelas pelaksanaan asas oportunitas tersebut. Dengan adanya frase“Setelah

memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang

mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”. Hal ini menjadi semakin kabur

pengertiannya. Menjadi kabur karena badan-badan kekuasaan negara yang

mempunyai hubungan dengan masalah tersebut tidak jelas. Hal ini berarti wewenang

oportunitas dibatasi secara remang-remang sehingga tidak ada kepastian hukum

dalam penerapannya. Demikianlah sehingga dalam prakteknya menjadi sama dengan

penerapan asas legalitas yang menjadi lawan arti asas oportunitas.85

Asas legalitas yang dianut di negara Jerman, Austria, Italia dan Spanyol

berarti semua perkara harus dilimpahkan ke pengadilan oleh Penuntut Umum.

Namun, dalam praktek di Jerman, Jaksa dapat meminta izin kepada Hakim untuk

tidak melakukan penuntutan dengan syarat tertentu. Pada negara Italia ada

kecenderungan Jaksa yang mengulur-ulur perkara sehingga menjadi lewat waktu

(verjaard) sehingga tidak dapat dilakukan penuntutan jika jaksa terhadap suatu

perkara tidak dikirim ke Pengadilan.86

Berbeda dengan asas oportunitas yang dikenal secara global yang merupakan

wewenang semua Jaksa (bukan oleh Jaksa Agung saja), untuk melaksanakan asas itu

dengan pengertian: “Penuntut Umum dapat menuntut atau tidak menuntut dengan

85

“Laporan Tim Analisa dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana”, (Jakarta: 2006), hal. 27-28. Lihat juga : Syafruddin Kalo, “Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek”, (Medan : Fakultas Hukum Universitas Darma Agung, 2007), hal. 1.

86

(5)

syarat atau tanpa syarat suatu perkara ke pengadilan” (the public prosecutor may

decide-to make prosecution to court or not). Pada negara Norwegia, bahkan jaksa

dapat mengenakan sanksi sendiri sebagai syarat untuk tidak dilakukan penuntutan ke

pengadilan yang disebut patale unnlantese.87 Hal ini untuk mencegah menumpuknya

perkara di pengadilan dan membuat penjara menjadi penuh sesak. Sedangkan pada

negara Nederland baru-baru ini terbit peraturan bahwa semua perkara yang diancam

pidana di bawah 6 (enam) tahun penjara, jika kasusnya bersifat ringan, dengan

memperhatikan keadaan pada waktu delik dilakukan, terdakwa telah berubah tingkah

lakunya dikenakan afdoening yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan syarat

terdakwa membayar denda administratif.88

Pengertian kepentingan umum sebagaimana yang dijelaskan dalam

Penjelasan Pasal 35 huruf c.Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia diperluas dan mencakup kepentingan hukum. Hal ini

dikarenakan bukan saja berdasarkan atas alasan-alasan hukum semata tetapi juga

didasarkan atas alasan-alasan lain, antara lain: alasan kemasyarakatan; alasan

kepentingan keselamatan negara; dan saat ini meliputi juga faktor kepentingan

tercapainya pembangunan nasional.89

Dalam mendasarkan pertimbangan dan penilainnya, Jaksa Agung akan

melihatnya pula dari segi kepentingan masyarakat luas, terutama dari segi falsafah

hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yang

mengutamakan sikap dasar untuk mewujudkan keselarasan, keserasian dan

87Ibid. 88

Ibid.

89

(6)

keseimbangan dalam hubungan sosial antara manusia pribadi dengan manusia

lainnya untuk mencapai atau memperoleh kepentingannya. Jelas bahwa kebijakan

penuntutan untuk kepentingan umum dipercayakan dan dipertanggungjawabkan pada

Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi, dan adanya asas oportunitas

merupakan lembaga yang dibutuhkan dalam penegakan hukum demi menjamin

stabilitas dalam suatu negara tertentu.90

Selain itu, KUHAP juga memberi peluang mengenai keberlakuan asas

oportunitas walaupun tidak diatur secara tegas seperti dalam Undang-Undang No. 16

Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal-pasal mengenai

penyampingan perkara tidak diatur sendiri melainkan tersebar pada ketentuan

mengenai benda sitaan dan pra-peradilan. Pasal 46 ayat (1) huruf c. KUHAP

menyatakan :

“Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila : c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana”.

Dalam ketentuan tersebut tidak ada penjelasan sama sekali mengenai

penyampingan perkara kecuali tentang benda sitaan. Namun dalam penjelasan Pasal

77 KUHAP terdapat penjelasan yang lebih memadai mengenai wewenang

penyampingan perkara yang berada di tangan Jaksa Agung. Penjelasan Pasal 77

KUHAP yang berbunyi: “Yang dimaksud penghentian penuntutan tidak termasuk

penyampingan perkara demi kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa

90

(7)

Agung”. Berdasarkan penjelasan Pasal 77 KUHAP, buku pedoman pelaksanaan

KUHAP, KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas oportunitas.91

Sebelum ketentuan diatas, dalam praktik telah dianut asas oportunitas

tersebut. Dalam hal ini Lemaire, mengatakan bahwa : “Pada dewasa ini asas

oportunitas lazim dianggap sebagai suatu asas yang berlaku di negara ini, sekalipun

sebagai hukum tidak tertulis yang berlaku”.92 Menurut Andi Hamzah, dengan

berlakunya UUD 1945, maka Jaksa Agung mempertanggungjawabkan pelaksanaan

wewenang oportunitas kepada Presiden yang pada gilirannya Presiden

mempertanggung-jawabkannya pula kepada rakyat.

B. Sejarah Penerapan Asas Oportunitas di Indonesia

Asas oportunitas ini berasal dari Perancis melalui Belanda dimasukkan ke

Indonesia melalui hukum kebiasaan dilanjutkan sampai masa penjajahan Jepang dan

masa kemerdekaan sampai dengan tahun 1961 hingga sekarang dalam

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Di Indonesia

hanya Jaksa Agung yang berwenang mengenyampingkan perkara pidana berdasarkan

kepentingan umum, hal ini untuk mencegah penyalahgunaan wewenang seperti

disinyalir oleh MVT SV Netherland.93

91

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Edisis Kedua, (Jakarta: Sinara Grafika, 2009), hal. 37.

Jaksa Agung dapat mendelegasikan

wewenangnya kepada Kepala Kejaksaan Tinggi. Berbeda dengan Belanda ada

kemungkinan pihak yang merasa dirugikan dapat memprotes penseponeran perkara

92

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.cit., hal. 17. 93

(8)

pidana dapat memohon kepada pengadilan untuk melakukan penuntutan sedangkan

di Indonesia hal yang demikian tidak diatur.

Belanda mengenal 2 (dua) macam seponering, yaitu : seponering bersyarat

dan seponering tidak bersyarat. Undang-Undnag No. 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia tidak menyebutkan yang demikian, namunketentuan

tentang asas oportunitas yang terdapat di dalam ketentuan tersebut tidak bertentangan

dengan pengertian seponering perkara pidana berdasarkan asas oportunitas termasuk

beleidvrijheid (kebebasan menetukan kebijaksanaan) yang dalam Hukum

Administrasi Negara disebut dengan Freies Ermessen. Hal ini sejalan dengan

pendapat A.L.Melai, yang menyatakan bahwa94

“Wewenang penuntut umum dalam hal meniadakan penuntutan berdasarkan asas oportunitas merupakan Rechtsvinding (penemuan hukum) yang harus dipertimbangkan berhubung karena hukum menuntut adanya keadilan dan persamaan hukum, hukum bertujuan untuk menjamin kemanfaatan dan kedamaian”.

:

Menurut A. Zainal Abidin, dimana ada kehidupan bersama manusia atau

masyarakat berarti disitu ada hukum termasuk hukum pidana. Sejarah adalah apa

yang telah terjadi dan bukan penghentian melainkan gerak. Bukan mati melainkan

hidup. Hukum adalah gejala suatu sejarah dan tunduk kepada perkembangan yang

berkesinambungan. Pengertian perkembangan mengandung 2 (dua) unsur, yaitu :

perubahan dan stabilitas.95

Menurut J.M. van Bemmelen, menyatakan bahwa :

94Ibid

., hal. 72. 95

(9)

“Asas oportunitas merupakan hukum kebiasaan yang tidak tertulis mulai dikenal di Belanda pada abad XIX dengan lahirnya lembaga baru yang khusus ditugaskan menuntut atau tidaknya perkara pidana. Asas tersebut merupakan asas hukum tidak tertulis berkaitan dengan pembentukan suatu badan khusus kekuasaan eksekutif yang secara hirarkhi disusun, yang diberikan terutama untuk menuntut perkara pidana, disamping tugas-tugas lain seperti penyidikan dan pelaksanaan keputusan hakim. Tidak tertutup kemungkinan dikenalnya sejenis asas oportunitas sebelum abad XIX. Tetapi asas tersebut tidak dilaksanakan oleh seseorang yang mewakili pemerintah. Yang menjalankan adalah tuan-tuan tanah feodal atau pegawai-pegawai gereja yang bertindak atas nama gereja”.96

Menteri Smidt pada tahun 1893 menganjurkan kepada penuntut umum untuk

mengadakan penuntutan apabila delik yang dilakukan merugikan ketertiban umum.

Anjuran tersebut memberi fungsi positif kepada asas oportunitas. Agar penuntut

umum selalu mempertimbangkan untuk tidak menuntut jika ketertiban umum atau

kepentingan tidak dirugikan. Pelaksanaan asas oportunitas pada abad XIX di Belanda

merupakan perbedaan tersendiri karena falsafah hukum pada abad XVIII sampai

permulaan abad XIX menghendaki undang-undang dilaksanakan menurut naskahnya

yang berarti dikehendaki pula asas legalitas. Asas legalitas dalam hukum acara

pidana mewajibkan penuntut umum menuntut setiap kali terdapat dasar dalam

naskah perundang-undangan. Pada tahun 1926, Belanda menyusun KUHAP yang

memberikan wewenang penyampingan perkara pidana sebagai hukum tertulis. Asas

oportunitas diatur dalam Pasal 167 ayat (2), 242 ayat (2), 244 ayat (3), dan 245 ayat

(4) Sv. 1926.97

96

Ibid., hal. 26. 97

(10)

Asas oportunitas yang sumber asalnya adalah negara Perancis melalui

Belanda dimasukkan juga ke Indonesia melalui hukum kebiasaan atau hukum tidak

tertulis. Dikatakan tidak tertulis karena adanya Pasal 179 RO, yang menyatakan98

“Kepada Hooggerechtshof diberikan kewenangan, bila ada pengaduna pihak yang berkepentingan atau secara lain manapun, mengetahui telah terjadi kealpaan dalam penuntutan kejahatan atau pelanggaran, memberi perintah kepada Pokrol Jenderal supaya berhubung dengan itu, melaporkan tentang kelapaan itu dengan hak memerintahkan agar dalam hal itu diadakan penuntutan jika ada alasan untuk itu.”

:

Pasal 179 RO ini menimbulkan penafsiran yang berkaitan dengan asas

oportunitas. Penafsiran itu menyatakan bahwa Pasal 179 RO membuka peluang

untuk pelaksanaan asas oportunitas. Ini dapat dilihat dari ayat pertama ketentuan ini,

yaitu : “Kecuali penuntutan oleh Gubernur Jenderal dengan perintah tertulis telah

atau akan dicegah”.99 Sehingga praktek oportunitas tidak berdasar dari suatu

ketentuan undang-undang dan praktik oportunitas juga dilarang menurut Pasal 57

RO, yang menyatakan100

Menurut Wirjono Prodjodikoro, pendapat tersebut tidak tepat. Bila dikatakan

penuntut umum harus melakukan hal sesuatu yang berhubungan dengan pelaporan,

ini belum berarti penuntut umum harus menuntut seseorang yang melakukan :“Bahwa pegawai-pegawai penuntut umum wajib

melakukan hal sesuatu yang berhubungan dengan suatu laporan yang diterim oleh

mereka tentang adanya suatu perbuatan yang oleh undang-undang diancam hukuman

pidana”.

98

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.cit., hal. 15. 99

Ibid.

100

(11)

peristiwa pidana. Penuntut umum hanya diwajibkan mengusut perkara tersebut untuk

mengetahui apakah laporan itu benar adanya. Tidak ditegaskan dalam ketentuan

tersebut kalau penuntut umum harus melakukan penuntutan di muka hakim pidana.

Sehingga ketentuan tersebut tidak melarang penuntut umum menganut prinsip

oportunitas”.101

Asas oportunitas tetap berlaku pada masa penjajahan Jepang dengan dasar

hukum yaitu Pasal 3 Osamu Serei No. 1 Tahun 1942, yang menyatakan : “Semua

peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masa penjajahan sebelumnya tetap

berlaku asal tidak bertentangan dengan pemerintahan militer Jepang”. Peraturan ini

dimaksudkan dengan tujuan tidak terjadi kekosongan hukum. Pada masa

kemerdekaan, asas oportunitas tetap berlaku karena dalam Pasal II Aturan Peralihan

UUD 1945, menyatakan : “Semua peraturan terdahulu masih berlaku selama belum

diadakan yang baru”.102

101

Ibid.

Semenjak berlakunya Undang-Undang No. 15 Tahun 1961

sekarang Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia, maka asas oportunitas diatur secara tertulis. Ketentuan ini memberikan

wewenang kepada kejaksaan untuk tidak melakukan penuntutan berdasarkan

kepentingan umum. Indonesia hanya Jaksa Agung yang berwenang

mengenyampingkan perkara berdasarkan pertimbangan kepentingan umum. Namun,

Kepala Kejaksaan Negeri melalui Kepala Kejaksaan Tinggi atau Kepala Kejaksaan

Tinggi atas perkara yang ditanganinya dapat mengusulkan penyampingan perkara

tertentu kepada Jaksa Agung.

102

(12)

C. Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia

Sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum UUD 1945 alinea pertama,

yang menyatakan : “Bahwa UUD ialah hukum dasar yang tertulis, di samping itu

Undang-Undang berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan

dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun

tidak tertulis”.

Jelas bahwa hukum yang berlaku di Indonesia tidak hanya hukum tertulis

yang berupa peraturan perundang-undangan saja melainkan juga hukum tidak tertulis

yang meliputi adatistiadat dan kebisaan-kebiasaan baik yang timbul dalam

penyelenggaraan negara (konvensi) maupun kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan

dihayati oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan memperhatikan sejarah hukum yang berlaku di Indonesia sebelum

penjajahan sangat dominan dengan hukum adat yang sifatnya heterogen, lain daerah

lain pula adatnya. Penyelesaian masalah identik dengan penyelesaian yang dilakukan

oleh lembaga-lembaga adat dengan perangkat-perangkat desa. Pada masyarakat

primitif tidak membedakan antara hukum pidana dan hukum perdata, tuntutan

perdata dan tuntutan pidana merupakan kesatuan termasuk lembaga-lembaganya.

Pandangan rakyat Indonesia pada waktu itu melihat alam semesta dan

lingkungannya merupakan suatu totalitas yang harus dijaga keharmonisannya. Setiap

pelanggaran hukum (adat) para penegak hukum harus memulihkannya dengan

(13)

ditentukannya. Istilah Jaksa yang berasal dari bahasa sanskerta “adhyaksa”artinya

sama dengan hakim pada dunia modern sekarang ini.

Pada masa penjajahan Belanda, hukum yang berlaku di Indonesia dengan

asas konkordansi, segala perubahan perundang-undangan di Negeri Belanda

diberlakukan pula di Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang

dipandang sebagai produk nasional, merupakan penerusan pula dari asas-asas hukum

acara pidana yang ada di dalam HIR (Stb. 1926 No. 559 Jo. 496). HIR sendiri berasal

dari IR yaitu dengan dibentuknya lembaga Openbaar Ministerie atau Penuntut

Umum yang dulu di bawah Pamong Praja secara bulat terpisah berdiri sendiri berada

di bawah Officer van Justitie (untuk golongan Eropa) dan Proceireur Generaal

sekarang Jaksa Agung untuk Bumiputera, sehingga Jaksa Agung sebagai penuntut

umum tertinggi.103

Sebagaiman yang dikemukakan oleh Andi Hamzah, yang menyatakan :

“Dalam hukum acara pidana dikenal adanya suatu badan khusus yang diberi

wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke Pengadilan yang disebut Penuntut

Umum”. Di Indonesia penuntut umum disebut Jaksa.104

103

“Laporan Tim Analisa dan Evaluasi Hukum”, Op.cit., hal. 58.

Wewenang penuntutan

dipegang oleh Penuntut Umum sebagai monopoli, karena tidak ada badan lain yang

boleh melakukan itu, hal ini disebut dominus litis di tangan Penuntut Umum atau

Jaksa.

104

(14)

Dalam hubungannya dengan hak penuntutan dikenal adanya 2 (dua) asas,

yaitu105

1. “Asas legalitas, yakni penuntut umum wajib melakukan penuntutan suatu delik; dan

:

2. Asas oportunitas, yakni penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan tindak pidana. Jika menurut pertimbangannya merugikan kepentingan umum, jadi demi kepentingan umum seseorang yang melakukan tindak pidana tidak wajib dituntut ke pengadilan”.

Apabila diartikan bahwa asas oportunitas itu pada dasarnya adalah asas

kesederhanaan yang menyangkut perkara-perkara kecil yang ancaman hukumannya

di bawah 6 (enam) tahun, dan apabila kerugiannya sudah diganti, harus diselesaikan

sendiri oleh Jaksa dan tidak perlu dilanjutkan lagi ke Pengadilan, karena hak

penuntutan berada di tangan Jaksa.106

Ada yang mengatakan bahwa oportunitas itu harus dibedakan oportunitas

sebagai asas dan oportunitas sebagai pengecualian. Dalam praktek sering dilakukan

pengecualian sebagai hukum tidak tertulis. Sedangkan asas oportunitas dalam

tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum wewenang tidak melakukan suatu

penuntutan jika dianggap tidak oportunitas yakni guna kepentingan umum.107

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, Pasal 1 butir 6 huruf a dan b dan Pasal 137 tidak mengatur secara

tegas tentang asas oportunitas. Adapun bunyi ketentuan tersebut adalah sebagai

berikut :

105

“Laporan Tim Analisa dan Evaluasi Hukum”, Op.cit., hal. 59. 106

Ibid., hal. 62. 107

(15)

Pasal 1 butir 6, menyatakan bahwa :

a. “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.

Pasal 14 huruf h, menyatakan bahwa : “Penuntut umum mempunyai wewenang:h.

Menutup perkara demi kepentingan hukum”.

Apa yang dimaksud menutup perkara demi kepentingan hukum sama sekali

tidak ada penjelasan, kemungkinan kurangnya alat bukti atau sudah diselesaikan

melalui perdamaian/ganti kerugian (opportuun).

Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia ada beberapa pasal yang mengatur asas oportunitas, yaitu : Pasal 1 ayat

(1), ayat (2); Pasal 30 ayat (1) huruf a dan huruf b; Pasal 35 huruf c. Adapun bunyi

ketentuan dimaksud adalah sebagai berikut :

Pasal 1, menyatakan bahwa :

(1) “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

(16)

Pasal 30 ayat (1), menyatakan bahwa : “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai

tugas dan wewenang:Melakukan penuntutan : a. Melaksanakan penetapan hakim dan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Pasal 35, menyatakan bahwa : “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: b.

Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”.

Dalam hal ini, baik secara historis maupun yuridis di Indonesia menganut

asas oportunitas. Secara historis dengan diakuinya keberadaan hukum dasar tidak

tertulis. Sedangkan secara yuridis adanya undang-undang pelaksanaan asas

oportunitas melalui Pasal 8 Undang-Undang No. 15 Tahun 1961, Pasal 32 huruf c

Undang-Undang No. 5 Tahun 1991, dan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16

Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

Namun dalam undang-undang tersebut mengartikan asas oportunitas masih

terlalu sempit. Hanya Jaksa Agung yang berwenang mengesampingkan perkara demi

kepentingan umum. Lalu kepentingan umum diartikan terlalu sempit pula yaitu

kepentingan negara dan masyarakat. Hal inilah yang menjadi pertimbangan penentu

boleh tidaknya perkara pidana dikesampingkan, sehingga dalam praktek jarang

dilakukan. Di Indonesia perkara pidana dikesampingkan karena alasan kebijakan

(policy) yang meliputi: perkara ringan, umur terdakwa sudah tua, dan kerusakan

telah diperbaiki, hal ini dilekatkan syarat “penseponeran” yaitu pembayaran denda

damai yang disetujui oleh para pihak kejaksaan dan tersangka.108

108

Ibid., hal. 66.

Misalnya perkara

(17)

yayasan yang dipimpinnya, yang digelar PN Jakarta Selatan pada 21 Agustus 2000.

Namun terdakwa dinyatakan sakit dan tidak dapat hadir di persidangan. Pada bulan

Mei 2006 Pak Harto sakit berat sehingga Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan

mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Presiden RI SBY

meminta agar dilakukan pengendapan wacana pemberian Rehabilitasi bagi mantan

Presiden Soeharto. DPR juga membentuk Tim Pengkaji kasus Pak Harto untuk

mengontrol pemerintah untuk membuat kebijaksanaan atas mantan Presiden RI itu.

Wakil Presiden RI meminta agar kasus Pak Harto ditutup/dihentikan mengingat usia

dan jasa-jasanya kepada negara. Sedangkan Jaksa Agung mengatakan proses hukum

Pak Harto untuk sementara dihentikan hingga sembuh.109

Hak Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum

adalah tugas berat, bukan perkara ringan, kepastian hukum dan keadilan harus

ditegakkan melalui proses hukum, musyawarah/damai bisa ditempuh melalui

pengembalian uang negara/ganti rugi/uang damai (opportuun) yang jumlah

ditentukan oleh jaksa agung melalui kesepakatan Presiden, wakil Presiden,

MA,MK,KY, KAPOLRI dan Menteri-Menteri terkait.110

Asas oportunitas berkaitan dengan wewenang penuntutan dalam perkara

pidana yang merupakan tugas dan wewenang jaksa sebagai penuntut umum.

Penuntutan adalah permintaan jaksa sebagai penuntut umum kepada hakim, agar

hakim melakukan pemeriksaan perkara terdakwa di sidang pengadilan, dengan

109

Harian Media Indonesia, diterbitkan Selasa, 16 Mei 2006/No.9276/Tahun XXXVII, hal. 1.

110

(18)

maksud apabila hakim setelah melakukan pemeriksaan akan memberikan

keputusannya tentang terdakwa.

Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar Penuntut Umum (Jaksa) tidak

melakukan penuntutan terhadap seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana

adalah “kepentingan umum”. Jadi kepentingan umum akan lebih terjamin dengan

tidak dilakukannya penuntutan. Dalam hal ini penuntut umum akan

mengenyampingkan perkara pidana (seponier) artinya berkas perkara pidana tidak

diteruskan ke pengadilan.

Sebenarnya lembaga seponering perkara pidana (asas oportunitas) sama

seperti lembaga abolisi yang juga meniadakan penuntutan perkara pidana, namun

abolisi merupakan wewenang Kepala Negara dalam UUD NRI Tahun 1945.

Disamping itu dikenal juga penyelesaian perkara diluar sidang untuk perkara-perkara

pidana ringan yang ancaman hukumannya denda.

Memberlakukan asas oportunitas ini sejalan dengan apa yang dikemukakan

Van Appledorn bahwa tidak semua delik perlu dituntut pelakunya terutama bilaman

akibatnya sangat kurang berarti ditinjau dari segi kepentingan umum.111

Asas oportunitas yang berlaku dalam yurisdiksi kejaksaan mempunyai

kekuasaan yang sangat penting yaitu mengenyampingkan perkara pidana yang sudah

jelas pembuktiannya, mengingat tujuan dari asas ini adalah kepentingan negara maka

Jaksa harus berhati-hati dalam melakukan kekuasaannya sebab ada kemungkinan

bahwa dengan memakai kepentingan negara sebagai alasan seorang jaksa

menyampingkan perkara pidana padahal tindakan itu dilakukan tidak lain untuk

111

(19)

kepentingan pribadi atau golongan atau kelompok tertentu.Kecurangan ini mungkin

terjadi karena adanya sogokan dari terdakwa.

Dalam hal ini ada pengawasan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung

terhadap semua jaksa dengan adanya hirarki dalam instansi kejaksaan maka Jaksa

Agung dapat memerintahkan kepada jaksa supaya suatu perkara pidana dituntut atau

tidak dituntut di muka pengadilan.

Dalam perkembangannya, penerapan asas oportunitas terdapat perbedaan

antara penutupan perkara pidana demi kepentingan hukum dengan perkara pidana

ditutup dengan kepentingan umum ex asas oportunitas. Jika ternyata perkara pidana

ditutup “demi hukum” tidak diseponir secara definitif, tetapi masih dapat dituntut

bilamana ada alasan baru, sedangkan perkara pidana yang ditutup secara

definitifdemi kepentingan umum tidak boleh dituntut kembali dan lagi pula perkara

yang demikian cukup alat buktinya.112

D. Azas Oportunitas Dalam Praktek

Makna harfiah tentang oportunitas adalah ketepatan, kepantasan,

menguntungkan, saat yang tepat, layak, kesempatan dan manfaat yang baik. Jelas

sekali bahwa asas ini tiada lain adalah bertujuan untuk memberi kemanfaatan,

kelayakan dan kesempatan yang baik guna kepentingan masyarakat.113

Merupakan suatu kenyataan universal bahwa lajunya perkembangan

kehidupan masyarakat serta perubahan nilai-nilai baik karena dinamika masyarakat

112

Ibid., hal. 70. 113

(20)

itu secara kodrati maupun sebagai akibat pembangunan, tertuma dalam masyarakat

yang sedang berkembang, tidak sepadan dan bahkan cenderung menimbulkan

kesenjangan fisik serta psikis dengan bidang hukum.

Perubahan masyarakat serta pertumbuhan nilai-nilai sebagai manifestasi alam

dan budaya terutama pada kurun waktu menjelang berakhirnya abad ke-20

memberikan suatu gambaran, bahwa hukum pada hari ini sudah tidak mampu lagi

memikul beban sosial yang sedemikian banyak dan majemuk. Konstatasi ini

membawa konsekuensi bahwa hukum harus lebih terampil dalam menghadapi

tugas-tugasnya untuk turut melapangkan pengadaan relung-relung pembaharuan yang

sejajar dengan perkembangan masyarakat secara mengakar dan mendasar terutama

pada aspek-aspek yang sudah kehilangan atau setidak-tidaknya sudah meluntur nilai

kemaslahatannya, keadilannya ataupun dari sisa-sisa kemutlakan masa lalu yang

tidak memiliki dimensi Pancasila.

Asas oportunitas dalam hukum positif tertulis telah mempunyai tempat yang

pasti. Pendeponeringan perkara dirasakan masih merupakan suatu kejanggalan

karena dengan berlakunya asas ini ada anggapan tidak semua orang berasamaan

kedudukannya di hadapan hukum. Sebagai salah satu unsur rule oflaw adalah

pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, bahwa setiap orang

mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum. Anggapan-anggapan inilah yang

menimbulkan permasalahan dan mungkin mengakibatkan kemerosotan wibawa

(21)

Hukum merupakan kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai

yang berlaku dalam masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu

merupakan pencerminan dan konkritisasi daripada nilai-nilai yang pada suatu saat

berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang hidup di

masyarakat.114

Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengadili, mengikuti dan

memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Begitu pula penuntut

umum dalam melakukan penuntutan, harus menghubungkan antara kepentingan

hukum dan kepentingan umum, karena kedua soal ini saling mempengaruhi satu

sama lainnya dengan suatu peraturan hukum pidana, serta mencoba menempatkan

kejadian itu dengan menghubungkan kepada proposisi yang sebenarnya. Karena

kepentingan umum, maka penunutut umum dapat mengenyampingkan perkara.

Adapun yang dimaksudkan dengan kepentingan umum tidak ada batasan pengertian

yang jelas dalam peraturan perundang-undangan. Untuk itu permasalahannya harus

dikembalikan kepada tujuan hukum atau cita-cita hukum. Cita-cita hukum bagi Namun keadaan yang diinginkan itu kadang-kadang tidak selalu

selaras dengan perkembangan yang berlaku di masyarakat. Hal ini antara lain

disebabkan kaidah-kaidah hukum selalu ketinggalan dengan perkembangan

masyarakat yang sangat cepat lajunya. Kepekaan para penegak hukum dalam

menempatkan hukum sebagai kebutuhan yang terjadi dalam masyarakat adalah

kebutuhan pokok.

114

(22)

bangsa Indonesia diwujudkan dalam pokok-pokok pikiran yang tertampung dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Asas oportunitas sebagai pranata hukum dikenal sebagai kewenangan jaksa

agung untuk meniadakan penuntutan ke muka pengadilan terhadap seseorang,

walaupun cukup bukti untuk dituntut atas dasar pertimbangan kepentingan umum.

Jadi asas oportunitas lebih merupakan suatu kebijaksanaan yang memberi wewenang

kepada Jaksa Agung untuk memotong salah satu mata rantai proses pengadilan,

karena mata rantai proses pengadilan itu tiada lain adalah

penyidikan-penuntutan-pemeriksaan di muka pengadilan dan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).115

Kebijaksanaan yang memberi wewenang untuk memilih atau memotong satu

mata rantai dari proses peradilan adalah untuk mewujudkan manfaat hukum bagi

kemaslahatn masyarakat. Asas oportunitas sebagai pranata hukum cenderung

merupakan suatu tradisi itu pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan yang

sadar dari masyarakat dan merupakan sarana untuk melindungi dan membimbing

serta turut memberi bentuk dalam kehidupan masyarakat. Karena itu asas oportunitas

merupakan bagian dari ikhtiar manusia yang dapat dipertanggungjawabkan dan perlu

dipelihara serta diperkembangkan di dalam celah-celah kaidah hukum yang

memaksa. Apabila dewasa ini asas oprtunitas masih dihormati dan diakui hanyalah

mengenai kebijaksanaan yang memberi wewenang kepada penuntut umum untuk

meniadakan salah satu mata rantai dari rangkaian proses peradilan yakni wewenang

untuk tidak menuntut maka timbul pertanyaan apakah kebiasaan ini sudah cukup

115

(23)

tetap/tepat apabila dihubungkan dengan pengertian proses peradilan secara

keseluruhan.

Kewenangan untuk tidak menuntut atas pertimbangan kepentingan umum,

disebabkan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kemaslahatan

masyarakat maka adalah layak pula apabila dipertimbangkan memperlakukan

kewenangan ini pada salah satu mata rantai lainnya sepanjang penerapan hukum

kebiasaan ini juga memberikan kemaslahatan umum, katakanlah mata rantai

eksekusi. Dalam hal ini patut diketengahkan pendapat Wirjono Prodjodikoro yang

mengemukakan asas oportunitas itu yaitu menggantungkan hal akan melakukan

sesuatu tindakan kepada keadaan yang nyata dan yang ditinjau satu persatu.116

Penerapan asas oportunitas secara khusus pada mata rantai eksekusi berupa

penangguhan pelaksanaan putusan pengadilan dianggap wajar, layak dan pantas.

Mata rantai eksekusi sesungguhnya lebih merupakan kebijaksanaan penuntutan

umum sebagaimana ditetapkan dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 13 Maret

1958 Register Nomor 16 K/Kr/1958. Kebebasan ruang gerak bagi Penuntut Umum

bagi Penuntut Umum dalam eksekusi atau adanya “freies ermessen” dalam

pelaksanaan hukuman, merupakan suatu hal yang wajar.117

Jaksa selaku eksekutor dapat menilai secara faktual dan situasional, untuk

menetapkan secara arif dan bijaksana saat yang paling tepat untuk melaksanakan

atau menangguhkan eksekusi.

116

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Cet. X, (Bandung: Sumur, 1980), hal. 21.

117

(24)

Wewenang penuntutan dan meniadakan penuntutan sebagai salah satu mata

rantai proses peradilan merupakan kebijaksanaan Jaksa Agung selaku Penuntut

Umum tertinggi. Untuk menerapkan asas oportunitas pada mata rantai eksekusi, di

samping harus dilandasi pada kemudahan-kemudahan hukum yang tersedia masih

memerlukan suatu pertimbangan secermat mungkin, karena perwujudannya sebagai

kebijaksanaan harus memberi dampak yang positif dalam upaya mewujudkan cita

hukum yang berlandaskan Pancasila. Dengan memahami kedudukan dan kaitan

integral antara mata rantai proses peradilan, maka kebijaksanaan untuk meniadakan

penuntutan berdasarkan asas oportunitas, dianggap cukup beralasan untuk

memperlakukan juga pada mata rantai eksekusi, karena kebebasan wewenang

penuntutan (prosecutorial discretion) dan kebebasan kewenangan eksekusi

(eksecutorial discreation) kedua-duanya dapat dipertanggungjawabkan, baik

menurut teori ilmu hukum, maupun penuntutan kelayakan, yang wajar dan patut

berdasarkan kemanusiaan dan keadilan yang diterapkan secara selektif serta

kasuistis.118

Tindakan Jaksa Agung tersebut sebenarnya merupakan tindakan diskresi di

bidang penuntutan dan eksekusi. Prajudi Atmosudirdjo menerjemahkan discreation

(Inggris), discretion (Perancis) dan freiess ermessen (jerman) “sebagai kebebasan

bertindak” atau mengambil keputusan menurut “pendapat sendiri”. Yang pelu di jaga

adalah agar diskresi tersebut tidak berubah menjadi detournement du pouvoir atau

penyalahgunaan wewenang. Dalam hubungan ini maka pernayataan Lord Halsbury

dalam bukunya A.F.Wilcox tersebut dapat dijadikan pedoman, yakni bahwa

118

(25)

penangguhan wewenang diskresi tersebut dilakukan within the rules of reason and

justice.119

Dalam praktek, bilamana suatu perkara dari sesuatu Kejari hendak

dikesampingkan, maka permohonan kepada Jaksa Agung RI selalu disertai dengan

saran dari Muspida Tingkat II dan Gubernur Kepala Daerah dengan

penjelasan-penjelasan kemungkinan adanya akibat negatif dalam masyarakat bilamana perkara

dimajukan di persidangan.120Hal ini tidak ditentukan di dalam KUHAP tetapi

merupakan suatu hal yang baik dilakukan Kejaksaan apabila akan melakukan SKP2.

Berdasarkan saran-saran tersebut, Kejari mengajukan Permohonan kepada Jaksa

Agung RI agar Jaksa Agung mengenyampingkan perkara tersebut. Dari uraian

tersebut penyampingan perkara pidana harus benar-benar demi kepentingan umum.

Akhir Oktober 2010, Jaksa Agung Pelaksana Tugas (Plt.) Darmono telah

menyatakan deponeering perkara pidana Bibit-Chandra. Sebagai catatan, Darmono

diangkat menjadi pelaksana tugas jaksa agung berdasarkan Keputusan Presiden No

104/P/2010 yang terbit pada 25 September 2010. Alasan dikeluarkannya

deponeering oleh Darmono lebih disebabkan faktor sosiologis, yaitu agar kinerja

KPK dalam pemberantasan korupsi tidak terhambat, sebab bila kedua tersangka

diajukan ke pengadilan, maka statusnya akan berubah menjadi terdakwa. Sebagai

konsekuensinya, kedua pimpinan KPK tersebut harus diberhentikan secara permanen Contoh Kasus I

119Ibid . 120

(26)

dari jabatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) huruf c. Undang-Undang

30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Upaya penghentian perkara ini sebenarnya telah dilakukan kejaksaan dengan

mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP). Kemudian SKPP

ini di pra-peradilankan, bahkan secara luar biasa hingga tahap kasasi, padahal

menurut KUHAP, pra-peradilan hanya dapat dilakukan hingga tingkat banding.

Sekalipun telah sampai ke tahapan kasasi, Mahkamah Agung memutus bahwa SKPP

tidak sah, karena SKPP dibuat berdasarkan alasan sosiologis. Perbedaannya SKPP

dengan Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum, yaitu adanya celah

“kepentingan umum”, artinya, selama bisa dibuat merepresentasikan kepentingan

umum bisa dijadikan alasan.

Kini kemunculan kepentingan umum sebagai suatu premis dalam penalaran

hukum. Alasan sosiologis Jaksa Agung ditempatkan sebagai penjelasan kepentingan

umum. Demi kepentingan umum berarti, jangan sampai terhambatnya kinerja

Komisi Pemberantasan Korupsi.121

Mahkamah Konstitusi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan mulai beroperasi sejak 15 Oktober 2003.

Lembaga ini memiliki kewnangan untuk mengadili perkara-perkara seputar: Contoh Kasus II.

1. “Judicial reviewUndang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;

121

(27)

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3. Pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.122

Dilihat dari kewenangannya Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang

sangat vital dalam hal ketatanegaraan Republik Indonesia. Kepentingan umum, yang

diterjemahkan sebagai kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat luas, menjelma

sempurna dalam wilayah Mahkamah Konstitusi. Saat ini, institusi ini dilanda dugaan

korupsi. Opini Refly Harun mengenai adanya indikasi suap dalam kinerja

hakim-hakim konstitusi, diawali adanya cerita-cerita dari anggota masyarakat di Papua

mengenai mahalnya ongkos berperkara di Mahkamah Konstitusi. Ongkos perkara

untuk memutus sengketa pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi, bisa mencapai

Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Opini demikian memancing reaksi keras

dari berbagai pihak, termasuk dari Mahfud M.D. yang menjabat Ketua Mahkamah

Konstitusi. Mahfud langsung meminta Refly untuk membentuk Tim Investigasi

Internal, untuk mencari bukti-bukti dugaan korupsi. Apabila ditemukan indikasi dan

bukti korupsi, maka akan diselesaikan secara hukum. Sikap tegas demikian, patut

dihargai, namun patut juga diwaspadai konsekuensinya. Hakim yang memeriksa dan

memutus perkara di Mahkamah Konstitusi berjumlah 9 (sembilan) orang. Mahkamah

Konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, dilakukan dalm

sidang pleno yang diikuti 9 (sembilan) hakim, dan dalam keadaan luar biasa dapat

dilakukan oleh 7 (tujuh) orang hakim. Persoalan akan menjadi pelik jika ternyata di

122

(28)

kemudian hanya tersedia 6 (enam) orang hakim, karena 3 (tiga) orang lainnya tengah

ditahan untuk menjalani pemeriksaan. Memang, hakim Mahkamah Konstitusi, tidak

serta-merta diberhentikan karena menjadi tersangka atau terdakwa, mereka hanya

akan diberhentikan apabila sudah menjadi terpidana dan putusan hakim telah

berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi memiliki batasan

waktu dalam memutus perkara-perkara yang diajukan, dan tidak sahnya satu atau dua

perkara yang diajukan. Misalnya saja, dalam perkara sengeketa pemilihan umum,

Mahkamah Konstitusi memiliki batas waktu bekerja 14 (empat belas) hari untuk

memutus, jangka waktu ini lebih singkat dari masa penahanan yaitu 20 (dua puluh)

hari. Letak persoalan sesungguhnya, apakah Mahkamah Konstitusi tetap dapat

bekerja dengan 6 (enam) orang hakim? Tentu saja tidak. Pemeriksaan tindak pidana

korupsi tentu menyita banyak waktu, dan pemeriksaan tingkat penyidikan, hingga

persidangan akan sangat menghambat kinerja hakim Mahkamah Konstitusi, yang

artinya kepentingan umum bangsa, negara dan masyarakat akan terhambat. Apakah

ini akan jadi alasan bagi pengesampingan tuntutan pidana? Itupun kalau kejaksaan

yang mengurus perkara ini, jika Komisi Pemberantasan Korupsi, maka pimpinan

Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memiliki otoritas untuk mengesampingkan

perkara. Namun preseden hukum telah terbentuk. Jika langkah deponeering diambil,

maka menjadi satu konklusi bahwa pejabat tinggi negara yang mengurusi

kepentingan umum secara eksklusif, seperti pimpinan Komisi Pemberantasan

Korupsi, hakim Mahkamah Konstitusi hingga Presiden adalah orang-orang yang

kebal hukum.123

123

(29)

E. Kewenangan Jaksa Dalam Penghentian Penuntutan Perkara Pidana Terkait Asas Oportunitas dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Berbicara tentang hak menuntut, maka perhatian diarahkan kepada istilah

subjectief strafrecht (just puniendi), yang didalamnya recht bukan berarti hukum,

melainkan hak, yaitu hak dari negara yang diwakili oleh alat-alatnya untuk

menghukum seorang oknum yang melanggar hukum pidana.124

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Pasal 1 angka 1 dan 2 memberikan pengertian tentang Jaksa, yakni sebagai berikut: Alat-alat negara itu

adalah Jaksa.

1. “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.

Menurut Andi Hamzah, “Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga jaksa

dan wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya

tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Hakim tidak dapat meminta supaya delik

diajukan kepadanya. Jadi hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut

umum”.125

Seperti diketahui bersama bahwa setiap tindak pidana selalu disertai ancaman

pidana. Sebagian besar para sarjana tetap mempercayai bahwa hukuman merupakan

124

R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1989), hal. 148.

125

(30)

suatu hal yang patut dikenakan terhadap pelaku kejahatan. Beberapa diantaranya

berupaya untuk memberikan pendasaran moral terhadap hukuman legal. Kant

misalnya memberikan penjelasan “menghukum kejahatan adalah kewajiban

moral.”126 Dalam bukunya, Philosophy of Law, Kant menulis sebagai berikut:

“hukuman tidak pernah dapat diberikan sebagai sarana untuk mencapai kebaikan

yang lain baik menyangkut si penjahat sendiri maupun masyarakat. Dalam segala

situasi, hukuman dapat dijatuhkan atas seseorang hanya karena si individu terhukum

terbukti melakukan kejahatan. Karena tak seorang pun boleh diperlakukan sebagai

alat untuk mencapai tujuan dari orang lain.”127 Perkataan Kant, mengisyaratkan

bahwa : “Dibenarkan menghukum seseorang yang bersalah dan mempunyai hak

moral untuk melakukan hal demikian”. Sehubungan dengan hal ini, Barda Nawawi

Arief dengan mengutip pendapat Bassiouni, menyatakan bahwa : “Pidana hanya

dibenarkan apabila ada kebutuhan yang berguna bagi masyarakat, pidana yang tidak

diperlukan tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat”.128

Penyampingan perkara merupakan suatu cara dimana tidak perlu

(menghukum) seseorang yang bersalah walaupun orang tersebut telah terbukti

bersalah atas dasar asas oportunitas yang yang berlaku pada yurisdiksi

kejaksaan.Andi Hamzah mengemukakan bahwa “dalam asas oportunitas, jaksa boleh

memutuskan tidak akan menuntut perkara pidana apabila penuntutan itu tidak dapat

dilakukan atau tidak patut dilakukan atau tidak dikehendaki atau apabila penuntutan

126

Yong Ohtimur, Teori Etika Tentang Hukum Legal, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 7.

127Ibid. , hal. 7 128

(31)

itu lebih merugikan kepentingan umum atau pemerintah daripada apabila penuntutan

itu dilakukan.”129

Mengenai kepentingan umum dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c.

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, hanya

memberikan penjelasan bahwa : “Kepentingan umum itu sebagai kepentingan bangsa

dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas”. Mengesampingkan perkara

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas

yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan

pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan

masalah tersebut.130

Sejauh ini jaksa selalu beranggapan bahwa jaksa dapat menghentikan

penuntutan dan bukan mengenyampingkan perkara. Menghentikan penuntutan demi

kepentingan hukum bukan kepentingan umum.131 Apabila dilihat dari latar belakang

sejarah sesungguhnya awal mula asas oportunitas itu dibawa oleh Belanda ke

Indonesia.132

129

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.cit., hal. 14.

Praktek yang diturut oleh Penuntut Umum di Indonesia sejak zaman

Belanda adalah menganut principe-oportunita. Dengan principe-oportunita ini Jaksa

sebagai Penuntut Umum mempunyai kekuasaan yang amat penting yaitu

menyampingkan suatu perkara pidana yang sudah terang benderang pembuktiannya.

130

Harian Kompas, “Rubrik Opini : Deponeering Kasus Bibit & Chandra”, diterbitkan Kamis, 18 Oktober 2012.

131

Darmono, sebagai Wakil Jaksa Agung, menyatakan bahwa : “Soal opsi penghentian tuntutan, dengan alasan anak di bawah umur, bisa saja ditempuh Jaksa, sebab Undang-Undang mengatur ketentuan itu. Jaksa berwenang menghentikan penuntutan atau mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Sumber : Harian Jurnal Nasional, “Soal Kasus Sandal Jepit, Kejagung Hanya Berharap Bisa Segera Tuntas”, diterbitkan Selasa, 03 Januari 2012.

132

(32)

Belanda mengartikan asas oportunitas sebagai “penuntut umum boleh memutuskan

untuk menuntut atau tidak menuntut dengan syarat atau tanpa syarat”.133 Kedudukan

Penuntut Umum dalam hal ini sangat kuat, sehingga disebut sebagai semi-judge

(setengah hakim) karena kebebasannya secara individual untuk menuntut atau tidak

menuntut.134

Dalam PenjelasanUndang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia disebutkan secara tegas bahwa di lingkungan Kejaksaan, Jaksa

Agung-lah yang mempunyai hak mengenyampingkan perkara berdasarkan

kepentingan umum. Jaksa Agung bisa menganggap bahwa akan lebih banyak

kerugiannya apabila menuntut baik untuk masyarakat maupun untuk negara, maka

perkara tersebut dikesampingkan.Sebagai pertanggungjawaban Jaksa Agung atas hak

oportunitas ini, Jaksa Agung mempertanggungjawabkan pada Presiden berdasarkan

Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan

Republik Indonesia. Apabila ternyata tetap bahwa cara-cara pelaksanaan hak tersebut

timbul keragu-raguan, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta keterangan

dari Pemerintah (Presiden atau Jaksa Agung). Pada akhirnya Presiden harus

mempertanggungjawabkandi Majelis Permusyawaratan Rakyat.135

Dalam penyampingan perkara, hukum dan penegakan hukum dikorbankan

demi kepentingan umum. Seseorang yang cukup terbukti melakukan tindak pidana,

perkaranya dideponir atau dikesampingkan dan tidak diteruskan ke sidang

133

Rahmat Setiabudi Sokonagoro, “Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana”, (Yogyakarta : Bagian Hukum & Bagian TIT, Pemerintah Kota Yogyakarta, 2011).

134

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Op.cit., 17-18. 135

(33)

pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum. Itulah sebabnya, asas oportunitas

bersifat diskriminatif dan menggagahi makna equality before the law atau persamaan

kedudukan di depan hukum. Sebab kepada orang tertentu, dengan mempergunakan

alasan kepentingan umum, hukum tidak diperlakukan atau kepadanya penegakan

hukum dikesampingkan.136

Apabila diteliti lebih lanjut pemberian kewenangan pengenyampingan

perkara pidana kepada jaksa sesuai dengan asas hukum acara pidana yang diatur

dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana

salah satu asasnya mengatur tentang peradilan yang harus dilakukan dengan cepat,

sederhana dengan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan

secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Bila diperhatikan satu persatu

mengenai asas tersebut maka dengan penyampingan perkara pidana oleh jaksa proses

peradilannya cukup diselesaikan di Kejaksaan sehingga proses peradilan itu tidak

memakan waktu yang lama dan panjang.

Peradilan yang sederhana dan biaya ringan otomatis dapat terwujud bila

proses penyelesaian peradilan itu diselesaikan dengan cepat. Sifat sederhana itu

diperoleh karena prosesnya tidak berbelit-belit. Administrasi perkara ini jumlahnya

banyak dan biasanya dibuat dalam beberapa rangkap, tentu saja hal tersebut

membutuhkan biaya yang banyak sehingga asas biaya ringan yang ingin dicapai akan

sulit sekali terwujud.

136

Referensi

Dokumen terkait

Menghitung poin total dari subindikator masing-masing desa dan kelurahan kemudian rujuk pada nilai ideal yang ditentukan pada kolom 3 kategori di bawah.

, dalam real business untuk meneraipkan rnateri kuliah yang telah pelajilri di kelils. Banyak strategi atau pendekatan yang dapat digunakan dalanl mengimplementasikan

Membaiknya ekonomi beberapa negara mitra dagang utama Indonesia, membaiknya harga komoditas global, dan adanya kebijakan dalam negeri yang mendukung peningkatan produktivitas

Abstrak; Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil lulusan alumni program studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas

kemungkinan anak berpikir logis. Sedangkan kelemahannya adalah tidak semua peserta didik terlibat dalam melakukan percobaan. Berdasarkan uraian- uraian di atas, maka penulis

Pada objek 3D, nilai kurvatur yang dihitung pada suatu titik harus dilakukan dari segala arah kurva (Gambar 1b). Jumlah kurvatur di titik tersebut tak terhingga,

Perlakuan ang dirinci dalam Pasal ini akan di t a mbahkan d an tanpa rasangka terhadap hal-hal dimana masing - masing Pihak Be janj i mempunyai kewa ji ban untuk

Ketika santri lupa akan tanggung jawab yang sudah dipegangnya maka tugas guru adalah selalu memberi motivasi-motivasi atau petuah-petuah yang membangun agar mereka