• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI MASYARAKAT TORAJA RANTAU ATAS UPACARA RAMBU SOLO’

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERSEPSI MASYARAKAT TORAJA RANTAU ATAS UPACARA RAMBU SOLO’"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Jurn

PERSEPSI MASYARAKAT TORAJA RANTAU ATAS

UPACARA RAMBU SOLO’

Dina Toding, Indah Rizki, Mic Finanto

Fakultas Psikologi, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Persepsi masyarakat Toraja Rantau Atas

Upacara Rambu Solo'’. Tipe penelitian yang adalah studi fenomonologipada dua orang

subjek yang tinggal diluar Tana Toraja. Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui secara mendalam tentang Upacara Rambu Solo' dan ingin mengetahui persespsi masyarakat Toraja rantau terhadap Upacara Rambu Solo',seting penelitian disebuah daerah di Kampung Dua dan Galaxie Bekasi. Dasar penelitian adalah studi fenomenologi yaitu tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya kepada satu kasus yang dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komperehensif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari beberapa

persepsi, masyarakat toraja melaksanakan upacara Rambu solo’ sebagai bakti penghormatan terakhir serta wujud kasih sayang pada orang-tua dan untuk menaikkan status dengan

mempertahankan prestise, harga diri dalam masyarakat sehingga pada akhirnya yang terjadi adalah pemborosan.

Keyword : Persepsi, Masyarakat Toraja Rantau

Latar Belakang

Budaya merupakan identitas dari komunitas suatu daerah yang dibangun dari

kesepakatan-kesepakatan sosial dalam kelompok masyarakat tertentu. Budaya

menggambarkan kepribadian suatu bangsa termasuk kepribadian suku tertentu, sehingga

budaya dapat menjadi ukuran bagi kemajuan peradaban kelompok masyarakat. Konsep

budaya menurut Marvin Harris (dalam Asep Rahmat: 2009) kelihatan dalam berbagai pola

tingkah laku anggota kelompok masyarakat tertentu, seperti adat atau cara hidup mereka.

Kebudayaan merupakan hasil dari ide-ide dan gagasan-gagasan yang akhirnya

mengakibatkan terjadinya aktifitas sehingga menghasilkan suatu karya (kebudayaan fisik)

manusia yang pada hakikatnya disebut mahkluk sosial. Oleh sebab itu, Kebudayaan juga

mencakup aturan, prinsip, dan ketentuan-ketentuan kepercayaan yang terpelihara secara rapi

dan diwariskan secara turun-temurun kepada setiap generasi penerus. Menurut

Suhamihardja(1977)suku bangsa Toraja terkenal sebagai suku yang masih memegang teguh

adat istiadat leluhurnya. Setiap kegiatan mesti dilaksanakan menurut ketentuan adat, karena

melanggar adat adalah suatu pantangan sehingga masyarakat dapat memandang rendah

(2)

Jurn

salah satunya Upacara Rambu Solo’. Dalam Upacara kematian, ketentuan adat tidak boleh

ditinggalkan.

Terdapat dua sistem upacara dalam masyarakat Toraja yang mengikuti dasar aluk

todolo, yaitu upacara Rambu Tuka’ atau upacara yang berhubungan dengan acara syukuran

dan upacara Rambu Solo’ atau upacara pemakaman (Frans,2010). Dalam kehidupan adat

masyarakat Toraja, kedua upacara ini dianggap penting dan sampai saat ini keberadaannya

terus dilestarikan. Melalui wawancara dengan bapak Dr. Frans Bararuallo,Drs,.MM salah

satu tokoh masyarakat yang tinggal dijakarta pada tgl. 18 Juli 2015 menjelaskan bahwa

dalam pelaksanaan Upacara Rambu Solo’ ada suatu tingkatan-tingkatan strata yang

seharusnya ditaati oleh suku Toraja namun saat ini tatanan tersebut sudah tidak ditaati lagi.

Didalam pelaksanan Upacara Rambu Solo sering terjadi beberapa perbedaan persepsi dari

tiap-tiap tingkatan strata yang ada yaitu dalam pemotongan hewan kurban, pembagian hewan

kurban (kerbau), diskusi yang lama dalam penentuan berapa hewan yang akan dipotong,

saling ribut bertahan akan pendapat masing-masing, saling berkelahi bahkan sampai saling

pukul namun tidak sampai putus hubungan keluarga.

Dahulu Upacara rambu Solo’ khususnya hanya dilakukan oleh kalangan bangsawan

dalam masyarakat Toraja,akan tetapi sekarang sudah (mulai bergeser), siapa yang

(mampu)dibolehkan melakukan acara sesuai pemangku adat dan tokoh-tokoh masyarakat.

Selain ituUpacara Rambu Solo’ ditentukan pula oleh (status sosial) keluarga yang meninggal. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Hasil wawancara

dengan bapak Frans untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar

antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah

50 ekor babi. (George Aditjondro, 2010).Secara harafiah bahwa budaya Rambu Solo’ di

Toraja utara dilakukan berdasarkan tingkatan strata. Yang didalam setiap tingkatan-tingkatan

terjadi perbedaan persepsi pada saat Upacara Rambu solo’ diadakan adanya perbedaan

persepsi menyebabkan muncul suatu konflik pada tingkatan-tingkatan tersebut. Oleh karena

itu peneliti ingin melihat fenomena yang terjadi di masyarakat suku Toraja yang merantau

tentang persepsi mereka atas Upacara Rambu Solo’.

Persepsi

Setiap individu mempunyai persepsi yang berbeda-beda terhadap suatu objek yang

dilihat dan diamatinya. Menurut Sarlito (2002), persepsi dalam pengertian psikologi adalah

(3)

Jurn

adalah pengindraan (penglihatan, pendengaran, peraba, dan sebagainya). Sebaliknya, alat

untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi.

Upacara Rambu Solo

Sistem lapisan masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan social stratification. Kata

stratification berasal dari stratum (jamaknya: strata yang berarti lapisan). Pitirim A.Sorokin

menyatakan bahwa social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke

dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan

kelas yang lebih rendah. Dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah adanya

ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab

nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota-anggota masyarakat.

Kehidupan masyarakat pada umumnya tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan atau

tradisi, seperti misalnya upacara adat. Upacara merupakan rangkaian atau kegiatan yang

terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat-istiadat, agama, dan kepercayaan. Upacara juga

dapat diartikan sebagai perayaan yang dilakukan sehubungan dengan peristiwa penting.

Upacara adalah bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat toraja.

Upacara telah menjadi bagian dari sistem kepercayaan atau ungkapan kepercayaan yang

merefleksikan ajaran Aluk Todolo. Keseluruhan dari rangkaian upacara senantiasa bersumber

dari Aluk Todolo, sebagai agama atau religi yang mewarnai tingkah laku berpola tiap

individu. Unsur-unsur pokok ajaran Aluk Todolo terdiri atas sistem kepercayaan, sistem

upacara, dan organisasi sosial. Ketiga macam unsur ini dalam keagamaan memancarkan

ajaran-ajaran, aturan, dan nilai-nilai yang diyakini. Agama sebagai pusatnya, kemudian

berpedoman pada sistem kepercayaan dimana sistem upacara sebagai perwujudannya dan

didukung oleh organisasi sosial.

Dalam pandangan Aluk Todolo ada klasifikasi anggapan-anggapan tentang alam raya,

yaitu pembagian timur (mataallo) dan barat (matampu).Mataallo adalah tempat terbitnya

matahari dianggap mewakili kebahagiaan, terang, kesukaan, dan sumber kehidupan.

Sedangkan Matampu adalah tempat terbenamnya matahari, yang mewakili unsur gelap,

kedukaan dan semua yang mendatangkan kesusahan. Konsekuensi dari pembagian ini dalam

kehidupan berdampak pada tatacara pelaksanaan upacara.

Kehidupan masyarakat Toraja tidak ada yang tidak lepas dari upacara, sama halnya

dalam kehidupan ini, tidak ada yang luput dari suka dan duka, terang dan gelap, kebahagiaan

(4)

Jurn

Karena itu, jenis upacara Rambu Tuka’ dan upacara Rambu Solo’, pelaksanaannya tidak boleh dicampur-adukkan, satu jenis upacara harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum

melakukan jenis upacara lainnya.

Metode Penelitian

Dasar penelitian adalah studi fenomenologi yaitu tipe pendekatan dalam penelitian

yang penelaahannya kepada satu kasus yang dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail,

dan komperehensif. Pemilihan subjek dilakukan dengan cara yaitu; penarikan subjek yang

dilakukan secara sengaja dengan kriteria tertentu.

Teknik pengorganisasian data yg peneliti lakukan adalah dengan cara

mengelompokkan data metah, hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasi seperti

Data mentah (catatan lapangan, kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya

(transkripsi wawancara, catatan refleksi peneliti), data yang sudah ditandai/dibubuhi

kode-kode spesifik (dapat terdiri dari beberapa tahapan pengolahan), penjabaran kode-kode-kode-kode dan

kategori-kategori secara luas melalui skema, memo dan draf insight untuk analisis data

(refleksi konseptual peneliti mengenai arti konseptual data ), serta catatan pencarian dan

penemuan (search and retrieval records), yang disusun untuk memudahkan pencarian

berbagai kategori data.

Hasil

Dari hasil wawancara dengan ke dua subjek dan ketiga informan dapat disimpulkan

bahwa, menurut persepsi mereka dalam pelaksanaan upacara Rambu Solo’, masyarakat

Toraja melaksanakan atau mengikuti upacara Rambu solo’dilatarbelakangi oleh beberapa hal

yaitu:

a.Tradisi kebudayaan

Budaya nenek moyang orang Toraja terbentuk dengan latar belakang suatu sistem

religi atau agama suku yang oleh masyarakat Toraja disebut Parandangan Ada’ (harfiah :

Dasar Ajaran/Peradaban) atau Aluk To Dolo . Aluk to Dolo percaya satu dewa yaitu Puang

Matua – sebutan yang di kemudian hari diadopsi oleh Gereja untuk menyebut Tuhan Allah.

Di samping itu dikenal juga deata (dewa-dewa) yang berdiam di alam, yang dapat

mendatangkan kebaikan maupun malapetaka, tergantung perilaku manusia terhadapnya.

begitupun dalam upacara Rambu solo’, dimana semua proses upacaranya harus mengikuti

aluk atau adat’ yang telah berlaku dalam masyarakat. Yang melatarbelakangi diadakannya

(5)

Jurn

itu menganggap bahwa kehidupan di dunia gaib mempunyai hubungan dengan kehidupan di

dunia nyata. Karena itu mayat seseorang harus diupacarakan secara baik-baik supaya

arwahnya itu mendapat tempat yang layak di alam gaib yang menurut kepercayaan disebut

“puya” . bila sudah mendapat tempat yang layak maka arwah itu akan berubah menjadi

setengah dewa atau yang biasa disebut oleh masyarakat “to mebali puang” dan akan kembali

untuk memberkati keluarga yang masih hidup di dunia nyata, seperti yang dikemukakan Ibu

(W.2.D.54)orang Toraja itu percaya bahwa jika upacara dilakukan sesuai aturan

dan potong kerbau banyak maka akan cepat juga sampai di alam puya(surga) dan arwahnya

akan datang untuk memberikan kita kembali rejeki begitu”

Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya

mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum dilaksanakannya upacara Rambu Solo’ maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih ‘sakit’,

maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang

masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih.

Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya. (Frans

Bararuallo,2010) .

b. Bakti dan penghormatan

Pelaksanaan upacara Rambu solo’, kehidupan sosial ekonomi orang yang meninggal,

keluarganya akan berusaha untuk mengadakan upacara kematian baginya, baik itu dari

keluarga yang berasal dari lapisan bawah, menengah, sampai lapisan atas. karena saling

mengasihi dan penghormatan kepada orangtua atau siapa saja yang meninggal, Seperti yang

dikemukakan D:

(W.2.D.38)” cuman ya kalo kita penghormatan aja kepada orangtua atau keluarga yang meninggal”

Dikemukakan Y:

(W.2.Y.26)“dikarenakan karena saling mengasihi dan penghormatan kepada

orangtua atau siapa saja yang meninggal”

Dapat dikatakan bahwa tujuan dari upacara Rambu solo’.adalah mengantar arwah

mereka menuju ke alam Roh atau kembali bersama para leluhur mereka ke tempat

peristirahatan, yang disebut dengan Puya. Upacara ini sering juga disebut upacara

penyempurnaan kematian. Manusia yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal

(6)

Jurn

tersebut hanya dianggap sebagai manusia sakit atau lemah, sehingga ia tetap diperlakukan

seperti halnya manusia hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan

dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara. (Frans Bararuallo, 2010)

c. Harga diri / gengsi

Informasi yang didapat dari informan berdasarkan pada beberapa lapisan dalam

masyarakat, kebanyakan beranggapan bahwa sekarang orang melakukan upacara Rambu

solo’ ini karena ingin menaikkan harga Diri mereka. Karena jika tidak dilakukan mereka akan

malu dimana semasa hidupnya mereka sudah banyak menikmati daging orang lain dan

mereka akan malu jika waktu meninggal tidak potong kerbau untuk dibagikan kembali .

Sehingga upacara itu dianggap keharusan bagi mereka untuk tetap dilaksanakan sesuai

dengan stratanya dalam masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh D:

(W.1.D.“Simbolnya y begini simbolnya itu mereka mau supaya di kenal orang begitu

y” (wawancara 16 agustus 20150

Seperti yang dikemukakan oleh Bapak T:

Biasanya mereka yang bangsawan duduknya didepan begitu, Maksudnya itu nanti jika beliau meninggal orang akan menunggu daging yang akan dibagi karena semasa

hidupnya beliau selalu mendapat daging disetiap pesta jadi beliau akan menagih apa yang

sudah menjadi haknya.kata orang mereka sudah menikmati banyak paha ( kerbau) jadi

orang akan menanti bahkan menunggu paha ( kerbau)” (wawancara 16 agustus 2015) Menurut mereka, gengsi sudah sangat mendominan dalam pelaksanaan Rambu solo.

Kalangan bawah dan menengah pada saat ini berupaya untuk menaikkan status sosial mereka

dalam masyarakat dengan mengadakan upacara Rambu solo’ semeriah mungkin.

d. Prestise / kebanggaan

Prestise adalah suatu kemampuan seseorang untuk tetap berwibawa dalam

lingkungannya. Seringkali pula menjadi alasan masyarakat sekarang ini untuk melaksanakan

upacara Rambu Solo’ adalah sebagai tempat untuk menyatakan martabat atau status sosial

untuk menunjukkan diri agar dapat dikenal banyak orang. Karena keberhasilannya dalam

melaksanakan upacara juga menjadi sarana untuk mempertahankan peran dan status

seseorang dalam masyarakat untuk menambah gengsi dikenal karena kekayaannya.

Seperti dikemukakan oleh D:

(W.2.D.46) “Bangga sih karena kita bisa melakukan adat itu sebagai suatu

(7)

Jurn

sebagai orang Toraja yang punya adat masih kental gitu, kita masih menghormati orang tua

kan minimal kaya gitu, tapi sebenarnya sih kalo bisa jangan sampai berlebihan, jika sampai

berlebihan itu pemborosan namanya”

Dikemukakan oleh L:

(W.2.L.18)” Ya banggalah karena adat kita sendiri toh”

Peran dan kesanggupannya dalam mengurbankan hewan kurban yang banyak dan

memberikan jamuan kepada orang banyak selama berminggu-minggu dalam beberapa tahap

menjadi kebanggaan bagi si pelaksana kegiatan. Hal ini pun sekarang sudah menjadi masalah

dalam masyarakat, di antara subjek D, yang tidak setuju Upacara Rambu Solo’ dilakukan

secara berlebihan jangan hanya karena prestise saja.

e. Persoalan hutang piutang

Dalam teori pertukaran sosial menekankan adanya suatu konsekuensi dalam

pertukaran baik yang berupa ganjaran materiil berupa barang maupun spiritual yang berupa

pujian. Teori pertukaran Homans bertumpu pada asumsi bahwa orang terlibat dalam perilaku

untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukum. Bagi Homans (dalam Margaret :

2007), prinsip dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice” yaitu aturan yang

mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang

terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi “seseorang dalam hubungan

pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak

sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya”.

Semakin tinggi pengorbanan, maka semakin tinggi imbalannya dan keuntungan yang

diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya, semakin tinggi investasi,

maka semakin tinggi keuntungan.

Konflik secara umum

Dari teori konflik ada Empat teori yang berkaitan dengan Upacara Rambu Solo’ :

Teori pertama menjelaskan walaupun ada konflik dalam pelaksanaan Upacara Rambu

Solo’ namun konflik tersebut tidak bisa dipungkri upacara tersebut sebagai ungkapan rasa

kasih sayang, sebagai rasa kekeluargaan, sebagai alat persatuan seperti yang dikemukakan

(8)

Jurn

(W.1.T.7)“disana kita menemukan semangat kekeluargaan, kebersamaan,

persatuan, pengorbanan, saya kira kalau ada itu semua kita akan tulus melakukan

pengorbanan bagi saya. “

Dikemukakan oleh Bapak Y:

(W.1.Y.8)“Sebagai rasa kasih sayang y antar saudara”

Teori yang kedua kelima dan kesepuluh menjelaskan walaupun ada konflik dalam

pelaksanaan upacara tersebut dan pelaksana dalam upacara tersebut mampu menghadapi

konflik itu maka acara yang akan dilakukan akan tetap berjalan seperti yang dikemukakan

oleh informan T :

(W.1.T.35)“Kalau kecurangan ya bisa ada kecurangan ada ketidak adilan

contohnya masalah belanja kita sering tapi ada yang cuek tidak mau tau terpaksa kami

dengan keadaan yang harus dilakukan sehingga acara ini bisa sukses”.

Diskusi

Berdasarkan hasil penelitian dalam kasus persepsi masyarakat Rantau, dapat kemudian

ditarik beberapa point kesimpulan sebagai berikut:

Persepsi masyarakat terhadap upacara Rambu solo’ sebagai penghormatan terakhir

kepada yang meninggal dan sebagai warisan leluhur. Upacara Rambu Solo’ pada Masyarakat

Toraja Rantau sebagai pemborosan namun tidak bisa ditingalkan karena merupakan adat

istiadat dan dalam pelaksanaan Upacara Rambu Solo’ biaya dapat ditekan sehingga tidak terjadi pemborosan. Upacara rambu Solo’ sebagai alat untuk pemersatu hubungan keluarga lebih erat

Masyarakat Toraja diharapkan dapat mengembalikan makna Upacara Rambu Solo’

pada makna yang sebenarnya tentang Ibadah mengibur keluarga yang ditinggalkan, bukan

pada pada hal-hal yang menyebabkan konfik, bukan pula terhadap kebanggaan kelompok.

DAFTAR PUSTAKA

Bagong, D.N. (2006). Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta : Kencana Media

Group.

Coser, L.A. (1968). TheFunction of Social Conflict. New York : The Free Press.

(9)

Jurn

al P

si

k

olo

g

i

U

b

ha

ra

9

Palebangan,B.F. (2010). Aluk, Adat, dan Adat-Istiadat Toraja. Toraja : PT Sulo.

Pitus, A.P.,dan Dahlan. A.B. (2001). Kamus Ilmiah Populer. Surabaya : Arkola.

Ritzer, G. dan Goodman, D.J. (2008). Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana.

Robbin, S.P. (2003). Perilaku Organisasi, Edisi 9 Buku 1. Jakarta : PT. INDEKS Kelompok

Gramedia.

Sarlito, W.S. (2002). Psikologi Sosial : Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta :

Balai Pustaka.

Suhamihardja,S. (1977). Sulawesi-Selatan : Adat Istiadat dan Kepercayaan. Litera

Tangdilintin, L.T. (1975). UpacaraPemakaman Adat Toraja. Toraja : Yayasan.

Referensi

Dokumen terkait

Pada pernyataan angket no 4 yang menyatakan tentang motivasi mahasiswa dalam menyimak bahasa Inggris di dapatkan hasil kurang dari setengahnya (17 orang atau 42.5

Dalam sub bab ini akan diaplikasikan seluruh teori-teori yang digunakan pada teoritis diatas, dimana teori-teori tersebut akan diaplikasikan pada objek dan subjek

Berdasarkan Tabel 3 Ekoliterasi Siswa Pada Aspek Heart tersebut didapatkan hasil bahwa pada sub kompetensi kepedulian terhadap makhluk hidup, terdapat 1 siswa

Pembagian tugas dan jadwal kegiatan yang akan dilakukan mengenai program kerja kelompok.. Poster media edukasi

Pada babak Elimination Selection Tahap II akan diberikan tantangan berupa cepat tepat, peserta dari masing-masing kategori SMA/MA (9 Peserta) dan SMK (9 Peserta) dibagi menjadi

Judul karya “Keris Dhapur Pasopati Tinatah Emas Melati Mekar” yang artinya keris dhapur Pasopati dengan tinatah emas bunga melati mekar secara lahiriah dapat diuraikan melalui

Kata rahmah berasal dari bahasa arab yang artinya adalah ampunan, rahmat, rezeki dan karunia. Rahmah terbesar tentu berasal dari Allah SWT yang diberikan pada

Pajar Pahrudin, S.Kom.,MH Awang Harsa K,S.Kom.,M.Kom Reza Andrea,S.Kom.,M.Kom M.. Pajar Pahrudin, S.Kom.,MH Awang Harsa