BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Merokok
2.1.1.Definisi Merokok
Menurut Sitepoe (2000), merokok adalah membakar tembakau yang kemudian dihirup asapnya. Mainstream smoke adalah asap rokok yang dihisap melalui mulut, sedangkan sidestream smoke adalah asap rokok yang dihembuskan ke udara, yang dihirup oleh perokok pasif (Government of South Australia, 2006). Perilaku merokok adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa atau rokok (Sari dkk, 2003).
Komasari dan Helmi (2010), mengartikan merokok sebagai aktivitas subjek yang berhubungan dengan perilaku merokoknya, yang diukur melalui intensitas merokok, waktu merokok, dan fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari. Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan perilaku merokok adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap yang dihasilkan dari tembakau yang dibakar, dengan menggunakan pipa ataupun langsung dari rokoknya, kemudian menghembuskan kembali asap tersebut ke udara.
2.1.2.Jenis Rokok
Menurut Sitepoe (1997), rokok berdasarkan bahan baku atau isi terbagi atas: 1. Rokok Putih yaitu rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun
tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.
2. Rokok Kretek yaitu rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.
Rokok berdasarkan penggunaan filter terbagi menjadi:
1. Rokok Filter adalah rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus. 2. Rokok Non Filter adalah rokok yang pada bagian pangkalnya tidak
terdapat gabus.
2.1.3.Derajat Berat Merokok Berdasarkan Indeks Brinkman
Derajat berat merokok dapat dinilai menggunakan indeks Brinkman. Nilai indeks Brinkman didapat dari hasil perkalian antara jumlah batang rokok rata-rata yang dihisap dalam sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Klasifikasi berat merokok dengan Indeks Brinkman adalah:
ringan : 0-200 sedang : 200-600
berat : > 600 (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).
2.1.4.Efek Merokok Terhadap Kesehatan
Tembakau bertanggung jawab atas 1 dari 5 kematian di Amerika Serikat. Karena merokok dan penggunaan tembakau merupakan kebiasaan yang didapat – oranglah yang memilih untuk merokok – maka merokok sebenarnya merupakan penyebab kematian yang paling dapat dicegah (American Cancer Society, 2012). Asap tembakau ialah gabungan berbagai bahan toksik atas lebih dari 7000 bahan kimia yang sebagian besar bersifat racun. Bahan-bahan kimia yang meresap hingga ke jaringan tubuh menyebabkan kerusakan dan menimbulkan berbagai macam penyakit. Zat-zat kimiawi yang terkandung dalam tembakau mencapai paru ketika kita menghirupnya, lalu memasuki aliran darah dalam arteri, kemudian tersebar ke seluruh jaringan tubuh dan menyebabkan inflamasi jaringan serta kerusakan sel (CDC, 2010).
Stres ini menganggu fisiologis tubuh dan akhirnya bisa mengakibatkan penyakit pada bagian tubuh manapun (CDC, 2010).
Semakin lama merokok, semakin besar risiko-risiko kesehatan yang dihadapi seseorang. Namun penelitian menyatakan bahwa bila seseorang berhenti merokok pada usia 30 tahun, kesehatannya masih dapat kembali seperti orang yang tidak pernah merokok. Pada usia berapapun, semakin cepat berhenti merokok, semakin baik (CDC, 2010).
Tabel 1.1 Penyakit yang Berhubungan dengan Merokok
Kanker (30%) Paru Laring Rongga Mulut
Hidung & sinus Faring Esofagus Lambung
Pankreas Serviks Ginjal Kandung kemih
Ovarium (mucinous) Kolorektum Leukemia Trakea Reproduktif Infertilitas Keguguran Prematuritas
BBLR Cacat lahir Stillbirth SIDS
Degeneratif Penyakit jantung Aneurisma Stroke
Degenerasi makular PVD Katarak Ulkus peptikum
Inflamasi Bronkitis Emfisema Asma
Normalnya sistem imun akan melindungi tubuh dari sel kanker. Penelitian menunjukkan bahwa racun dalam rokok melemahkan sel-sel yang harusnya bekerja melawan tumor, sehingga rokok meningkatkan risiko untuk setiap kejadian kanker jenis apapun (CDC, 2010).
Merokok bertanggung jawab atas 87% kematian akibat kanker paru. Kanker paru merupakan penyebab kematian akibat kanker yang paling banyak dan merupakan salah satu jenis kanker yang paling sulit diterapi (ACS, 2012).
Nikotin merupakan zat adiktif, sama halnya dengan heroin dan kokain, bersifat stimulansia (ACS, 2012). Nikotin akan menstimulasi sistem saraf simpatis, meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah, serta menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah perifer. Nikotin sangat toksik, dan sering dipakai sebagai pestisida di bidang industri. Perokok menginhalasi nikotin dalam dosis yang sangat kecil sehingga tidak berisiko keracunan. (GSA, 2006).
Karbon Monoksida (CO) tak berbau dan tak berasa sehingga kehadirannya tidak disadari. Kehadiran CO dalam darah mengganggu pengikatan oksigen pada hemoglobin (Hb) karena afinitas Hb terhadap CO lebih kuat daripada afinitasnya terhadap oksigen. Zat yang satu ini erat kaitannya dengan penyakit jantung koroner (GSA, 2006).
2.2.Penyakit Paru Obstruktif Kronik 2.2.1.Definisi PPOK
Penggunaan istilah Penyakit Paru Obstruktif Kronik sesungguhnya kurang tepat, karena PPOK bukanlah suatu penyakit, melainkan sekumpulan penyakit (Seaton, 2000). PPOK adalah istilah untuk mendeskripsikan berbagai macam penyakit paru kronik yang ditandai obstruksi aliran udara sebagai ciri khasnya, dengan gejala utama sesak nafas, batuk, produksi sputum, dan mengi yang berkembang progresif (Harding et all, 2004). GOLD (2012) mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, biasanya progresif, dan berhubungan dengan abnormalitas respon inflamasi paru-paru terhadap partikel atau gas berbahaya.
Meskipun PPOK sering dibagi menjadi bronkitis kronis dan emfisema di masa lalu, sekarang diakui bahwa sebagian besar pasien memiliki unsur-unsur dari kedua kondisi tersebut. Berikut dijelaskan secara ringkas mengenai kedua unsur dalam PPOK tersebut.
1. Bronkitis Kronis : batuk dengan produksi sputum yang berlangsung setidaknya 3 bulan dalam setahun selama 2 tahun berturut-turut, terkait dengan hipertrofi kelenjar lendir, peningkatan jumlah sel goblet pada sentral saluran udara dan fibrosis peribronkiolus di saluran udara perifer. 2. Emfisema : pembesaran dan kerusakan dinding alveolus tanpa fibrosis
yang siknifikan. Proses perubahan ini tidak sepenuhnya dipahami dan kemungkinan bersifat multifaktorial (Ali et all, 2010).
2.2.2.Epidemiologi PPOK
Asia Pasifik rata-rata 6,3%, yang terendah 3,5% di Hongkong dan Singapura, dan tertinggi 6,7% di Vietnam.
Untuk Indonesia, penelitian Regional COPD Working Group (2003) di 12 negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi prevalensi PPOK di Indonesia sebesar 5,6%. Prevalensi PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia, pola penyakit infeksi yang menurun sedangkan penyakit degeneratif meningkat, meningkatnya kebiasaan merokok, dan polusi udara (Riskesdas, 2010). Dari keseluruhan penyakit yang menjadi penyebab kematian dominan, PPOK merupakan satu-satunya penyakit dengan laju
mortalitas yang melejit (Fishman, 2008). WHO (2010) meramalkan, PPOK yang saat ini merupakan penyebab kematian kelima di seluruh dunia diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi penyebab kematian ketiga di seluruh dunia.
2.2.3.Faktor Risiko PPOK
PPOK terjadi sebagai hasil dari akumulasi paparan berbagai faktor risiko selama periode waktu tertentu (GOLD, 2013). Faktor risiko PPOK terdiri dari:
Merokok
Menurut Bourke (2003), PPOK disebabkan terutama oleh merokok dan prevalensi serta mortalitasnya mencerminkan riwayat merokok dalam populasi. Dalam penelitian di Amerika Serikat, mortalitas pada penderita PPOK yang pernah merokok rata-rata 24 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang bukan perokok (Thun, 2013). Merokok mencakup 80% sampai 90% dari risiko PPOK dan karena itu dianggap penyebab utamanya. Perokok pasif juga mengalami peningkatan risiko (Laurent dan Saphiro, 2006).
Polusi Udara
dimaksud mencakup asap rokok, debu, polutan dalam ruangan (Wilkins et all, 2007), asap dari pembakaran tidak sempurna, dan abu (Blackler, 2007). Kerusakan jaringan akibat polusi udara yang terinhalasi bergantung pada derajat paparan dalam jangka waktu tertentu, komposisi substansi yang terinhalasi, dan kemampuan penjamu (host) untuk mentoleransi. Sejauh ini polutan yang paling berpengaruh adalah asap rokok, menjadikan perokok pasif juga mengalami peningkatan risiko (Wilkins et all, 2007).
Usia
Saluran nafas perifer pada orang bukan perokok berusia lanjut juga dapat menunjukkan perubahan patologi yang hampir sama dengan yang dijumpai pada penderita PPOK (Stockley, 2007).
Faktor Genetik
Hampir semua penderita PPOK memiliki riwayat perokok berat, namun hanya 15% perokok yang akhirnya menderita PPOK, menandakan bahwa faktor-faktor lain turut berperan, salah satunya faktor genetik (Bourke, 2003). Beberapa gen yang menunjukkan hubungan peningkatan predisposisi kejadian PPOK ialah AAT (alpha-1 anti-trypsin) atau aPI (alpha-protease inhibitor), AACT (alpha-1-antichymotrypsin), IL8RA (IL-8 receptor alpha), ACE (angiotensin converting enzyme), TNF (tumour necrosis factor), dan masih banyak lagi (Harding et all, 2004).
Jenis Kelamin
Prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, mungkin dikarenakan lebih banyak laki-laki yang merokok dibandingkan perempuan (Riskesdas, 2010). Selain itu, lebih banyak laki-laki yang bekerja di luar ruangan daripada perempuan, menyebabkan paparan polusi udara, apalagi di negara berkembang, menjadi faktor yang penting.
Status Ekonomi
Prevalensi merokok cenderung meningkat dengan meningkatnya status ekonomi namun prevalensi lebih tinggi pada masyarakat pedesaan dibandingkan pada masyarakat perkotaan (Riskesdas, 2010), dikarenakan tingkat pendidikan dan sarana kesehatan yang lebih baik menjadikan masyarakat perkotaan lebih peduli pada kesehatannya. Di sisi lain, PPOK sendiri lebih banyak dijumpai pada masyarakat dengan status ekonomi rendah dan pada daerah perkotaan (Bourke, 2003).
Perkembangan Paru
Fungsi paru maksimum yang dicapai pada masa perkembangan paru sejak usia muda dipengaruhi oleh kecukupan nutrisi saat berada dalam kandungan, paparan asap rokok dan polusi udara, dan penyakit paru saat kecil (Bourke, 2003).
Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan yang rentan paparan polusi seperti penambang batu bara, pekerja logam, pabrik kapas, pabrik kertas, dan sebagainya, meningkatkan risiko PPOK. Kadmium dan silika juga meningkatkan risiko pada perokok (Blacker, 2007).
Infeksi
berhubungan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan masalah pernafasan saat dewasa, yang dapat berkembang menjadi PPOK. Begitu seseorang menderita PPOK, infeksi berulang mempercepat penurunan fungsi paru (Blacker, 2007).
Asma/ Hiperaktivitas Jalan Nafas
Pada suatu penelitian, orang dewasa dengan asma memiliki risiko 12 kali lebih mungkin menderita PPOK dalam hidupnya dibandingkan mereka yang bukan penderita asma. Studi lain juga menunjukkan 20% penderita asama mengalami pembatasan aliran nafas yang ireversibel (GOLD, 2013).
2.2.4.Patogenesis PPOK
PPOK merupakan hasil dari interaksi berbagai faktor risiko yang telah dibahas sebelumnya. Pada penderita PPOK proses inflamasi kronis berlangsung berbeda dari respon normal karena mengalami modifikasi yang diduga bergantung pada faktor genetik. Inflamasi paru tetap berlangsung meskipun setelah penderita berhenti merokok dan masih belum diketahui mengapa demikian, walaupun autoantigen dan mikroorganisme mungkin turut berperan (Cosio, 2009, dalam GOLD, 2013). PPOK umumnya dihubungkan dengan respon inflamasi derajat rendah pada epitel dan lapisan submukosa pada bagian bronkus sentral (Stockley, 2007).
Berikut ini beberapa mekanisme yang berperan dalam inflamasi pada PPOK menurur GOLD (2013):
Stres Oksidatif
akibat dari berkurangnya faktor transkripsi (Nrf2) yang meregulasi gen-gen aktioksidan.
Ketidakseimbangan Protease-Antiprotease
Ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease telah lama menjadi pusat perhatian pada perkembangan emfisema (Ali, 2010). Protease mencerna jaringan ikat (terutama elastin yang merupakan jaringan ikat utama pada paru) sedangkan antiprotease melindungi jaringan ikat dari protease. Beberapa protease yang dilepaskan sel-sel inflamasi dan epitel meningkat pada penderita PPOK dan protease ini dapat saling berinteraksi satu sama lain.
Sel-sel Inflamasi
Asap rokok dan partikel-partikel berbahaya dalam udara akan memicu infiltrasi sel-sel inflamasi (makrofag, neutrofil, dan limfosit CD8+ sitotoksik) pada epitel saluan pernafasan (Stockley, 2007). Bersama dengan neutrofil dan makrofag sel-sel inflamasi ini akan melepaskan mediator-mediator inflamasi seperti faktor-α, IL-8, leukotrien, (Saetta, 1994, dalam Mintz, 2006) dan enzim-enzim yang akan mempengaruhi sel-sel struktural di jalan nafas, parenkim paru, dan vaskularisasinya. Respon inflamasi kronis menginduksi kerusakan jaringan parenkim (menyebabkan emfisema) dan menghalangi mekanisme perbaikan dan pertahanan yang normal (menyebakan fibrosis). Eosinofil tidak dijumpai pada PPOK, kecuali selama eksaserbasi bronkitis akut, dan intensitas dari respon inflamasi pada emfisema jauh lebih rendah dari pada asma (Ali et all, 2010).
Mediator-mediator Inflamasi
Sel-sel inflamasi di sirkulasi akan terpanggil oleh faktor kemotaksis, memperbesar respon inflamasi (sitokin-sitokin proinflamasi), dan memicu perubahan struktural (oleh faktor-faktor pertumbuhan).
apoptosis sel endotel, dan hilangnya dinding alveolar tanpa pembentukan jaringan parut. Perubahan vaskular paru terlihat jelas pada PPOK yang progresif. Hilangnya kapiler paru (capillary bed) berkorelasi dengan hilangnya luas permukaan alveolar pada emfisema. Vasokonstriksi paru mengakibatkan hipoksia, penebalan intima, hipertrofi otot polos sel, dan pembentukan jaringan ikat yang lebih lanjut memberikan kontribusi untuk terjadinya hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan (cor pulmonale).
Gambar 2.1 Skema Patogenesis PPOK (Ali et all, 2010)
Stockley (2007) membedakan perubahan patologis pada PPOK menjadi: 1. Gangguan Saluran Pernafasan Sentral
Mengenai apakah proporsi otot polos dan kartilago pada penderita PPOK berubah belum diketahui dengan jelas.
2. Gangguan Saluran Pernafasan Perifer
Perubahan patologis di bagian perifer pada PPOK cenderung multipel dan relatif tidak spesifik. Perubahan awal pada perokok muda yang ditemui hanyalah kumpulan fokal makrofag berpigmen kecoklatan pada bronkiolus proksimal. Pada pasien yang lebih tua, pada dinding membran bronkiolus sering ditemui inflamasi derajat rendah (neutrofil, makrofag, dan limfosit tersebar). Perubahan lain meliputi fibrosis, metaplasia sel skuamosa dan sel goblet, pembesaran otot polos dan agregasi mukus dalam lumen. Sebagian besar patologi ini mungkin sekali berhubungan langsung dengan efek toksik dari asap rokok. Dinding bronkiolus pada PPOK juga menebal karena peningkatan massa epitel, otot polos, dan jaringan ikat. Dinding saluran napas yang menebal ini menyebabkan volume paru mengecil, sebab saluran napas perifer memendek dan menyempit saat paru-paru mengempis (Stockley, 2007).
Perubahan-perubahan patologis yang ditemukan pada jalan nafas, parenkim paru, dan vaskularisasinya ini mengakibatkan udara akan terperangkap dan pembatasan aliran udara progresif yang menjadi ciri khas PPOK (GOLD, 2013).
2.2.5. Gejala Klinis PPOK
Pembatasan Aliran Udara & Terperangkapnya Udara
Derajat inflamasi, fibrosis, dan eksudat dalam lumen saluran nafas perifer berkorelasi dengan penurunan VEP1 dan rasio VEP1/KVP, kemungkinan juga berhubungan dengan penurunan VEP1 yang cepat, khas pada PPOK. Obstruksi jalan nafas perifer dan adanya emfisema secara progresif memerangkap udara saat ekspirasi, menimbulkan hiperinflasi. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi, dan meningkatkan kapasitas residu fungsional, terutama saat latihan/ berolahraga (hiperinflasi dinamis), menimbulkan sesak nafas dan terbatasnya kapasitas latihan (GOLD, 2013). Bila obstruksi jalan nafas berat, mungkin terlihat pemakaian oto-otot pernafasan tambahan. Suatu studi bahkan mendemonstrasikan bahwa eksaserbasi memperberat kelemahan otot. (Fishman et all, 2008).
Beberapa mekanisme lain yang dianggap berkontribusi pada obstruksi adalah fibrosis peribronkiolus (obstruksi saluran udara yang lebih kecil) dan edema mukosa (karena infiltrasi sel-sel inflamasi). Selain itu, semua saluran udara juga menunjukkan berbagai derajat tonus otot polos yang mungkin juga menjadi faktor dalam obstruksi. Obstruksi terutama jelas terlihat saat ekspirasi karena volume paru semakin kecil dan volume napas berkurang (Ali et all, 2010). Emfisema juga menyebabkan hilangnya elastic recoil saluran nafas perifer, sehingga kolpas saat ekspirasi (Bourke, 2003). Sesak nafas adalah karena peningkatan aktivitas kemoreseptor yang disebabkan hipoksia dan hiperkapnia (Booth dan Dudgeon, 2006).
2
Gambar 2.2 Mekanisme Pembatasan Aliran Udara pada PPOK
Gangguan saluran nafas perifer Inflamasi pada saluran nafas Fibrosis; sumbatan dalam lumen Peningkatan resistensi jalan nafas
Kerusakan parenkim paru Hilangnya perlekatan
alveolus
Abnormalitas Pertukaran Gas
Gangguan pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Secara garis besar, pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida semakin terganggu seiring progesivitas penyakit. Ventilasi yang berkurang mungkin karena berkurangnya ventilatory drive. Obstruksi, hiperinflasi, dan kelemahan otot pernafasan mempersulit ventilasi dan akhirnya menimbulkan retensi karbon dioksida. Ditambah dengan vaskularisasi yang menurun, timbullah abnormalitas VA/Q (Rodrigues-Roisin R. et all, 2009 dalam GOLD, 2013)
Hipersekresi Mukus
Hipersekresi mukus pada PPOK terjadi sebagai akibat dari peningkatan jumlah sel goblet dan hipertropi kelenjar submukosa pada proksimal jalan nafas (Seaton et all, 2000) sebagai respon terharap zat iritan (GOLD, 2013). Hipersekresi lendir bersamaan disfungsi silia menyebabkan batuk kronis produktif yang sering menjadi tanda awal penyakit ini. Penumpukan lendir dapat berperan dalam menyebabkan obstruksi jalan nafas, namun ini hanya terjadi saat eksaserbasi akut (Ali et all, 2010). Sekresi mukus berlebihan pada awalnya diduga berperan penting dalam perkembangan obstruksi saluran pernapasan pada PPOK (Stockley, 2007). Namun pada kenyataanya tidak semua penderita PPOK mengalaminya. Hipertensi Pulmonal
Terjadi disebabkan terutama oleh vasokontriksi pembuluh darah kecil pada paru karena hipoksia, yang akhirnya menyebabkan perubahan struktural seperti yang sudah dijelaskan pada bagian patogenesis. Hipertensi pulmonal yang progresif dapat menyebabkan hipertropi ventrikel kanan dan gagal jantung kanan (cor pulmonal).
Eksaserbasi
dengan berkurangnya aliran udara keluar, memperberat sesak nafas (dispnoe). Kondisi lain yang dapat menyertai (pneumonia, tromboemboli, dan gagal jantung akut) dapat terlihat seperi ataupun memperberat eksaserbasi PPOK.
Gejala Sistemik
Hiperinflasi dan pembatasan aliran udara secara tidak langsung mempengaruhi fungsi jantung dan pertukaran gas. Mediator-mediator inflamasi di sirkulasi mungkin berkontribusi dalam menurunnya massa otot skelet (skeletal muscle wasting) dan kaheksia (penurunan berat bedan sekunder) yang akan memperberat komorbiditas seperti penyakit jantung iskemik, gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik, sindroma metabolik, dan depresi (GOLD, 2013). Penurunan hormon pertumbuhan, testosteron, dan insulin juga berkontribusi menyebabkan keadaam katabolik (Harding et all, 2004).
Sebagai penyakit yang berkembang progresif, ada peningkatan frekuensi eksaserbasi, yang meliputi peningkatan batuk, hipoksemia, sputum purulen, dan dispnoe. Bila penyakit berat, hipoksemia kronis dan hiperkapnia juga dapat terjadi. Kondisi ini dapat menyebabkan eritrositosis, sakit kepala pagi hari (dari hiperkapnia), cor pulmonal, edema ekstremitas yang lebih rendah, dan penurunan berat badan sekunder karen peningkatan beban kerja pernapasan (Ali et all, 2010).
Patofisiologi PPOK dikaitkan dengan sirkulasi berbagai mediator yang berpotensi merugikan, dikombinasikan dengan sering terjadinya hipoksia dan malnutrisi, berakibat pada proses penyakit sistemik yang ditandai dengan hipermetabolisme, miopati otot rangka, dan kejiwaan gangguan, bersama dengan penyakit jantung dan ginjal (Ali et all, 2010).
2.2.6. Diagnosis PPOK
dirinya hingga fungsi paru sudah sangat menurun dan aktivitasnya terbatas sehingga mengganggu kehidupan sehari-harinya (Mintz, 2006) ataupun setelah suatu episode eksaserbasi akut telah terjadi (GOLD, 2013). Hal ini karena cadangan fisiologis sistem pernafasan besar sehingga masih ada kompensasi pada tahap awal penyakit (Ali et all, 2010).
Diagnosis klinis harus dipertimbangkan pada pasien dengan sesak nafas, batuk kronis atau batuk berdahak, dan pasien dengan riwayat paparan faktor risiko (GOLD, 2013). Pemeriksaan juga harus dilakukan pada mereka dengan emfisema onset dini, pada mereka dengan PPOK tanpa faktor risiko dikenali, dan pada saudara kandung dari penderita (Ali et all, 2010).
Tabel 2.1 Indikator Kunci dalam Pertimbangan Diagnosa PPOK (GOLD, 2013)
Pertimbangkan kemungkinan PPOK dan lakukan pemeriksaan spirometri bila dijumpai indikator kunci berikut pada individu berusia ≥ 40 tahun. Sesak nafas Progresif, memberat dengan olahraga, persisten
Batuk kronik Dapat terjadi intermiten dan dapat pula tidak produktif Produksi sputum
kronik
Produksi sputum kronik dengan pola apapun dapat menandakan PPOK
Riwayat pajanan faktor risiko
Asap rokok, asap dari aktivitas memasak dalam rumah tangga, mesin pemanas, debu di lingkungan kerja, dan zat-zat kimia. Adanya riwayat PPOK dalam keluarga
Anamnesis
Dari anamnesis akan diketahui perkembangan dan gejala-gejala yang dijumpai. Sesak Nafas. Sesak nafas yang berkembang perlahan (Bourke, 2003) ialah
bernafas, adanya pursed lip breathing (Fishman et all, 2008) karena pasien berusaha mempertahankan patensi jalan nafas (Wilkins et all, 2007). Batuk. Batuk kronik biasanya dianggap semata-mata akibat merokok
dan/atau paparan polusi. Awalnya batuk hanya kadang-kadang, hingga kemudian berlangsung setiap hari, bahkan sering sepanjang hari.Batuk kronik dapat berlangsung tanpa produksi sputum. Pada beberapa kasus, pembatasan aliran udara yang siknifikan dapat terjadi tanpa adanya batuk.
Tabel 2.2 Diagnosa Banding Batuk Kronik
Intratorakal : PPOK, asma, kanker paru, tuberkulosis, bronkiektasis, gagal jantung kiri, penyakit paru interstitium, cystic fibrosis, idiopatik Ekstratorakal : rinitis alergi kronik, Upper Airway Cough Syndrome (UACS), refluks gastroesofageal, obat-obatan (mis: ACE Inhibitor)
Produksi Sputum. Produksi sputum umumnya bermula setelah batuk berlangsung selama waktu tertentu. Produksi sputum pada bronkitis kronis adalah selama ≥ 3 bulan selama dua tahun berturut-turut (tanpa penyebab lain yang dapat menjelaskannya). Sputum yang purulen mengindikasikan peningkatan mediator-mediator inflamasi dan perkembangannya mungkin menandakan onset eksaserbasi. Namun pada penderita PPOK produksi sputum sulit untuk dievaluasi karena pasien cenderung menelan sputum dan bukannya mengeluarkannya.
Mengi dan Chest Tightness. Kedua gejala ini tidak spesifik pada PPOK (tidak harus dijumpai) dan bervariasi dalam keseharian. Mengi terdengar pada laring dan tidak harus disertai abnormalitas lain saat auskultasi. Mengi dapat terdengar saat inspirasi maupun ekspirasi, namun biasanya lebih jelas saat inspirasi (Bourke, 2003). Sementara itu rasa berat di dada biasanya setelah suatu aktivitas fisik yang berat, lokalisasinya tidak jelas, dan kemungkinan terjadi akibat kontraksi isometrik otot-otot interkostal. Gejala lain. Rasa lelah, penurunan berat badan, dan anoreksia umum
tuberkulosis, kanker paru). Pembengkakan lutut dapat merupakan satu-satunya penunjuk simptomatik cor pulmonal. Adanya depresi dan kerisauan berhubungan dengan peningkatan risiko eksaserbasi dan status kesehatan yang lebih jelek.
Riwayat Kesehatan. Perlu diketahui mengenai paparan faktor risiko, adakah kebiasaan merokok, lingkungan kerja, riwayat penyakit terdahulu (asma, alergi, sinusitis, polip nasal, infeksi paru pada masa kanak-kanak, ataupun penyakit pernafasan lain), riwayat PPOK dalam keluarga, pola perkembangan gejala, riwayat eksaserbasi, riwayat rawat inap akibat masalah pernafasan, adanya komorbiditas (penyakit jantung, osteoporosis, gangguan muskuloskeletal, keganasan), dampak PPOK terhadap kehidupan pasien (keterbatasan aktivitas, beban ekonomi, efek terhadap rutinitas dalam keluarga, kecemasan atau depresi, aktivitas seksual), dukungan sosial dan keluarga terhadap pasien.
Pemeriksaan Fisik
Penemuan pada pemeriksaan fisik dada adalah adanya obstruksi jalan nafas dan udara yang terperangkap. Penurunan suara nafas pada auskultasi yang disebabkan emfisema (Wilkins et all, 2007), mengi, dan bunyi jantung terdengar jauh, umum dijumpai pada pasien PPOK. Jika sangat parah, pasien mungkin menggunakan otot-otot bantuan respirasi dan mengerutkan bibir untuk meningkatkan efisiensi pernapasan. Sianosis juga dapat dijumpai (Ali et all, 2010). Tanda-tanda fisik PPOK biasanya hanya terlihat ketika gangguan fungsi paru sudah berat, dan nilai sensitivitas dan spesifisitas deteksi melalui pemeriksaan fisik tergolong rendah (GOLD, 2013).
Pemeriksaan Tambahan Foto Polos Toraks
dikelilingi oleh garis tipis (Ali et all, 2010). Foto polos toraks juga berguna dalam mengeksklusikan diagnosa alternatif lain dan menilai adanya komorbiditas (GOLD, 2013).
Tes Fungsi Paru (Spirometri)
Tes fungsi paru diperlukan untuk diagnosis dan penilaian keparahan penyakit. Diagnosis PPOK membutuhkan nilai perbandingan VEP1 : KVP setelah pemberian bronkodilator. Rasio <70% menunjukkan hasil positif. VEP1 adalah ukuran tingkat keparahan obstruksi saluran napas dan nilai normal didasarkan pada usia pasien, ras, jenis kelamin, tinggi, dan berat badan. (Ali et all, 2010). Penderita PPOK yang memiliki nilai spirometri yang hampir mirip bisa saja memiliki derajat patologi paru yang berbeda (Stockley, 2007).
CT (Computed Tomography) Scan Toraks
Hanya dilakukan bila diagnosa PPOK diragukan, membantu dalam diagnosa banding, dan mampu menentukan komorbiditas lain. Bila ada indikasi untuk pembedahan (untuk mereduksi volume paru) diperlukan CT scan untuk menilai distribusi emfisema.
Tes Volume Paru & Kapasitas Difusi
Kapasitas total paru meningkat karena hiperinflasi dan pembatasan aliran udara. Penilaian dapat dilakuakan dengan pletismografi ataupun pengukuran volume paru dengan dilusi helium. Kapasitas difusi (DLCO) memberikan informasi mengenai dampak fungsional emfisema pada PPOK.
Oksimeter dan Analisa Gas Darah Arteri
Skrining Defisiensi Alfa-1 Antitrpsin
WHO merekomendasikan pasien dengan PPOK berusia < 45 tahun dengan emfisema lobus bawah menjalani skrining ini. Skrining juga dapat dilakukan pada anggota keluaga penderita. Konsentrasi serum AAT < 15-20% dari nilai normal menunjukkan kemungkinan defisiensi homozigot. Tes Latihan
Penilaian kesulitan latihan harus objektif, dinilai melalui reduksi jarak tempuh, ataupun di laboratorium menggunakan sepeda atau treadmill.
Penurunan laju aliran ekspirasi maksimal merupakan abnormalitas fisiologis utama yang dijumpai pada PPOK. Penilaian obstruksi aliran ekspirasi umumnya menggunakan nilai Volume Ekspirasi Paksa dalam selang waktu satu detik (VEP1) dan juga rasio VEP terhadap Kapasitas Vital Paksa (KVP) (Stockley, 2007). VEP1 biasanya menurun sekitar 20-30 mL per tahun dengan pertambahan usia (Ali et all, 2010). Kriteria GOLD (2012) untuk diagnosa PPOK disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Klasifikasi Keparahan Pembatasan Aliran Udara pada PPOK (GOLD) (Berdasarkan VEP1 setelah pemberian bronkodilator)
Pada pasien dengan VEP1/KVP <0.70:
GOLD 1 Ringan VEP1≥ 80% dari yang diprediksikan GOLD 2 Sedang 50% ≤ VEP1 < 80% dari yang diprediksikan GOLD 3 Berat 30% ≤ VEP1 < 50% dari yang diprediksikan GOLD 4 Sangat Berat VEP1 < 30% dari yang diprediksikan
Panduan GOLD (2013) merekomendasikan penilaian terpadu (combined assessment) untuk menilai keparahan gejala dan dampaknya dengan mempertimbangkan gejala dan risiko eksaserbasi (Tabel 2.5 dan Gambar 2.3). Penilaian terpadu ini terutama berfungsi sebagai panduan dalam terapi. Penilaian meliputi penilaian terhadap beberapa hal:
Tingkatan gejala
Komorbiditas yang menyertai
Tingkatan Gejala
Ada beberapa kuisioner valid yang dapat digunakan untuk menilai gejala pada pasien PPOK. GOLD (2013) merekomendasikan penilaian dengan kuisioner Modified British Medical Research Council (mMRC) atau COPD Assessment Test (CAT). Kuisioner mMRC yang bisa dilihat pada Tabel 2.4 hanya menilai diasbilitas akibat sesak nafas; sementara kuisioner CAT bisa dilihat pada bagian lampiran mencakup dampak lebih luas dari PPOK terhadap keseharian penderita.
Tabel 2.4 Modified MRC Dyspnoea Scale 0 Sesak nafas hanya bila berolahraga berat 1 Nafas pendek bila terburu-buru di jalan yang menanjak
2 Berjalan lebih lambat dari orang seusia karena sesak nafas ataupun harus berhenti untuk bernafas saat berjalan dengan kecepatan sendiri
3 Berhenti untuk bernafas setelah berjalan sekitar 100 meter atau setelah beberapa menit dengan kecepatan sendiri
4 Terlalu sesak untuk keluar dari rumah ataupun sesak nafas saat berpakaian
Tingkatan Abnormalitas Spirometri
Pembatasan aliran udara dinilai melalui pemeriksaan spirometri dan klasifikasinya disajikan pada Tabel 2.3. Spirometri dilakukan setelah pemberian bronkodilator inhalasi short-acting untuk meminimalisasi variabilitas.
Risiko Eksaserbasi
Eksaserbasi diartikan sebagai fase akut yang ditandai perburukan gejala saluran pernafasan pasien, di luar dari batas normal variasi harian dan membutuhkan perubahan tatalaksana. Kerentanan eksaserbasi sangat bervariasi antarindividu dan prediktor terbaik adalah adanya riwayat eksaserbasi sebelumnya.
Komorbiditas yang Menyertai
ekstrapulmonal (sistemik). Komorbiditas yang sering dijumpai sudah disebutkan pada bagian anamnesis.
Tabel 2.5 Penilaian PPOK Terpadu (GOLD 2013)
Gejala
Dari berbagai metode penilaian yang kemudian dirangkumkan, diagnosis pasien akan dapat digolongkan ke dalam empat grup (A, B, C, atau D). Pada beberapa pasien, penilaian risiko berdasarkan klasifikasi GOLD dan berdasarkan riwayat eksasaerbasi mungkin membingungkan bila hasilnya menempatkan pasien dalam grup yang berbeda. Bila demikian, maka risiko ditentukan oleh metoda yang mengindikasikan risiko yang lebih tinggi.
2.2.7. Penatalaksanaan PPOK
Objektif penatalaksaan terbagi dua, yakni yang diarahkan kepada gejala (meringankan dan mengurangi dampak PPOK) dan objektif yang lain difokuskan pada usaha memperkecil risiko eksaserbasi (GOLD, 2013).
Terapi ditujukan untuk mengurangi resistensi jalan nafas dan mengembalikan gas darah arteri ke keadaan normal (Fishman et all, 2008). Hingga saat ini, belum ada terapi yang mampu memodifikasi penurunan fungsi paru (Burge et all, 2000
dalam GOLD, 2013). Kelas obat-obatan yang umumnya dipakai tertera pada Tabel 2.6. Pemilihan obat didasarkan pada ketersediaan, biaya, dan respon pasien terhadap pengobatan. Bila terapi diberikan dalam bentuk inhalasi, teknik pemakaian inhaler yang benar dan efektivitas pemberian obat perlu diperhatikan.
Tabel 2.6 Formulasi dan Dosis Obat pada Tatalaksana PPOK (GOLD, 2013)
Nama Obat Inhaler (mcg) Durasi Kerja Obat (jam)
Beta2-Agonis
Short-acting
Fenoterol 100-200 (MDI) 4-6
Levalbuterol 45-90 (MDI) 6-8
Salbutamol (albuterol) 100, 200 (MDI & DPI) 4-6
Terbutaline 400, 500 (DPI) 4-6
Long-acting
Formoterol 4,5-12 (MDI & DPI) 12
Arformoterol 0.0075 mg/ml (*nebulizer) 12
Indacaterol 75-300 (DPI) 24
Salmeterol 25-50 (MDI & DPI) 12
Tulobuterol 2mg (*transdermal) 24
Antikolinergik
Short-acting
Ipatropium bromida 20, 40 (MDI) 6-8
Oxitropium bromida 100 (MDI) 7-9
Long-acting
Glycopyrronium bromida 44 (DPI) 24
Tiotropium 18 (DPI), 5 (SMI) 24
Kombinasi Beta2-Agonis short-acting dan Antikolinergik dalam satu inhaler
Fenoterol/Ipratropium 200/80 (MDI) 6-8
Salbutamol/Ipratropium 75/15 (MDI) 6-8
Methylxanthine
Aminophylline 200-600 mg (pil) bervariasi, hingga 24 jam Theophylline (SR) 100-600 mg (pil) bervariasi, hingga 24 jam Kortikosteroid Inhalasi
Beclomethasone 50-400 (MDI & DPI)
Budesonide 100, 200, 400 (DPI)
Fluticasone 50-500 (MDI & DPI)
Kombinasi Beta2-Agonis long-acting dan kortikosteroid dalam satu inhaler
Formoterol/Budesonide 4,5/160 (MDI), 9/320 (DPI) Formoterol/Mometasone 10/200, 10/400 (MDI) Salmeterol/Fluticasone 50/100, 250, 500 (MDI)
25/50, 125, 250 (MDI) Kortikosteroid Sistemik
Prednisone 5-60 mg (pil)
Methyl-prednisolone 4, 8, 16 mg (pil) Fosfodiesterase-4 Inhibitor
Roflumilast 500 mcg (pil) 24
MDI = metered dose inhaler; DPI = dry powder inhaler
Bronkodilator merelaksasi otot polos sehingga pada pemakaiannya aliran udara ekspirasi meningkat, dan nilai VEP1 akan meningkat pula. Karena lebih banyak udara yang bisa keluar, hiperinflasi dinamis akan berkurang, baik saat istirahat maupun latihan (O’Donnell D.E., 2006 dalam GOLD, 2013).
Beta2-Agonis
Merelaksasi otot polos dengan menstimulasi reseptor adrenergik β2, yang diikuti peningkatan cAMP, lalu mengantagonis bronkokontriksi.
Antikolinergik
Memblokade efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Efek bronkodilator bertahan lebih lama daripada Beta2-Agonis.
Methylxanthine
Kontroversi mengenai efek yang nyata dari derivat xanthine masih berlangsung hingga saat ini. Methylxanthine yang paling serig digunakan yaitu teofilin, dapat berperan sebagai inhibitor fosfodiesterase nonselektif. Kortikosteroid
Efek kortikosteroid terhadap inflamasi sistemik dan paru pada penderita PPOK masih dipertanyakan, pemakaian dibatasi untuk indikasi tertentu. Fosfodiesterase-4 Inhibitor
Cara kerja dasar obat ini adalah menekan inflamasi dengan menginhibisi degrdasi cAMP intraselular.
Tabel 2.7 Tatalaksana Awal pada PPOK
Grup Pasien Pilihan Pertama Pilihan Alternatif Terapi lain
A
Teofilin
Beta2 agonis long-acting dan fosfodiesterase-4 inhibitor dan Beta2 agonis long-acting
atau
Kortikosteroid inhalasi + Beta2 agonis long-acting dan
fosfodiesterase-4 inhibitor
Tujuan utama rehabilitasi paru adalah untuk mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup, dan meningkatkan partisipasi fisik dan emosi dalam kehidupan sehari-hari (Ries A.L. et all, 2007 dalam GOLD, 2013). Rehabilitasi meliputi program olahraga, edukasi agar berhenti merokok, pengetahuan dasar mengenai PPOK, cara pemakaian obat, strategi mengurangi sesak nafas, pemilihan keputusan saat eksaserbasi, dan anjuran-anjuran lain.
2.3.Merokok dan PPOK
Mekanisme pasti terjadinya PPOK tidak diketahui (Wilkins et all 2007), dan
PPOK terjadi di seluruh dunia, tapi ia merupakan masalah kesehatan utama
orang dengan riwayat merokok yang sama, satu akan menderita PPOK; satu dari enam orang yang didiagnosa PPOK, tidak pernah merokok (Brenda & Frederick, 2011). Sekitar 80% penderita PPOK masih atau pernah merokok. Berbagai bukti telah mendukung efek bergantung dosis antara rokok dan PPOK, dimana perokok
berat memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita PPOK (Fishman et all, 2008).
Seaton et all (2000) menyebutkan rata-rata VEP1 menurun hampir dua kali lebih
cepat pada perokok (50 ml/ tahun) dibandingkan dengan bukan perokok (30 ml/
tahun).
Mekanisme terjadinya PPOK karena merokok melibatkan berbagai mekanisme,
terutama akibat komposisinya yang berbahaya (Chung et all, 2003). Emfisema
terjadi karena cedera yang bisa diakibatkan langsung dari oksidan dari asap rokok,
serta oksidan yang dilepaskan sel inflamasi, yang dapat mengganggu mekanisme
protektif anti-protease. Ketika cedera tak diimbangi mekanisme perbaikan,
emfisema pun terjadi. Bronkitis kronik terjadi karena inflamasi yang dipicu asap
rokok tampaknya menstimulasi produksi sekresi dan perubahan anatomis
misalnya metaplasia sel goblet yang dapat menyebabkan hipersekresi, fibrosis
peribronkial yang menyebabkan obstruksi jalan nafas (Fishman et all, 2008).
Asap rokok, baik aktif maupun pasif, memicu inflamasi dari jalan nafas dan
menimbulkan hipersekresi, paralisis, dekstrusi silia, dan infiltrasi ruang udara
distal oleh neutrofil. (Laurent dan Saphiro, 2006). Secara bergantian efek
sitotoksik asap rokok dan pembersihan epitel yang tidak efektif (karena produksi
mukus meningkat) membebani kapasitas pembersihan mukus yang secara
fisiologis diproduksi. Pada perokok dijumpai gangguan mekanisme pertahanan
dan pembersihan, sehingga lung injury meningkat secara sinergis (Gardner, 2006).
Terlebih lagi pada PPOK, batuk biasanya tidak efektif untuk pembersihan mukosa
oleh silia karena adanya obstruksi jalan nafas. (Chung et all, 2003). Pada perokok
sehat sekalipun, dijumpai peningkatan substansi musin pada cairan
Merokok berhubungan dengan premature aging dan peningkatan risiko kematian
dari penyakit kardiovaskular, kanker, dan PPOK. Efek penuaan diduga dimediasi
oleh reaksi antara komponen dalam asap rokok dengan plasma dan matriks protein
ekstraseluler, membentuk AGE (advanced glycation end products). AGE telah
diimplikasikan pada beberapa penyakit yang berhubungan dengan penuaan
(Harding et all, 2004).
Merokok mempercepat maturasi paru pada fetus, mengganggu pertumbuhan paru,
mempersingkat fase plateau VEP1 dan akselerasi penurunan KVP dan VEP1.
Selain itu, merokok juga mempengaruhi mekanisme imun penjamu (host),
meningkatkan kerentanan infeksi pneumonia karena infeksi bakteri, sebuah faktor
yang berkontribusi pada penurunan VEP1 yang berhubungan dengan PPOK
(Harding et all, 2004).
Gambar 2.4 Mekanisme Inflamasi pada PPOK. Asap rokok (dan iritan lain) mengaktivasi makrofag pada jalan nafas, lalu faktor kemotaktik neutrofil dilepaskan (IL-8, LTB4). Protease pun dilepaskan dan merusak jaringan ikat di parenkim paru, menyebabkan emfisema, dan juga menstimulasi hipersekresi mukus. (Laurent dan Saphiro, 2006)