• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlintasan Paradigmatik Dalam Ilmu Sosial | Cahyo | KOMUNIKATIF 1 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perlintasan Paradigmatik Dalam Ilmu Sosial | Cahyo | KOMUNIKATIF 1 PB"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Perlintasan Paradigmatik dalam Ilmu Sosial

Puj o Sakt i Nur Cahyo

1

Abst rak

Pada tahun 1964 di Universit as Birmingham, Inggris, dibent uk sebuah lembaga pusat pengkajian budaya kontemporer yang diberi nama CCCS, Centre for Contemporary Cult ural St udies. Lembaga yang diprakarsai oleh Richard Hoggart , E.P. Thom pson, dan Raymond W illiam s t ersebut bert ujuan untuk mengkaji isu-isu kult ural yang menjadi perhat ian pada saat it u, sepert i budaya kelas pekerja dan hal-hal yang berkait an dengan prakt ek sert a ideologi kapit alis. Pada perkembangannya, CCCS berhasil melahirkan karya-karya analisis kult ural yang t idak hanya berfokus pada isu-isu kelas pekerja dan kapit alisme saja, namun juga mengenai praktek budaya massa, subkult ur, feminisme, queer, dan media. Dibangun dalam konst ruksi keilmuan yang t ransdisipliner, karya-karya analisis tersebut cenderung memiliki kesamaan dalam memandang dan menganalisis budaya, namun berbeda dari paradigma-paradigma kajian sosial yang sudah ada sebelum nya, w alaupun t idak berart i menolak at aupun meninggalkannya. Kecenderungan paradigma ini kemudian dikenal sebagai M ahzab Birmingham, yang juga merupakan basis paradigma Cult ural St udies. Selama lebih dari 50 t ahun, Cut t ural St udies telah menjadi sebuah lint asan paradigma dalam ilm u sosial.

Ka t a kunci : cult u ral st ud ies, M a hzab Bir m ing ham , M a hzab Fra nkf u rt , bud aya m assa,

t ransdisipliner.

1 Penulis adalah kandidat dokt or Ilm u Sosial di Universitas Airlangga, m enyelesaikan pendidikan sar jana dan

m agist er nya pada Universit as yang sam a. Saat ini ia m erupakan asist en dosen pada Program M agist er Kajian Sast ra dan Budaya Universit as Airlangga, serta pengajar pada salah sat u lem baga pelat ihan kehum asan di Surabaya.

2 Ist ilah ini segaja dipilih dari pada bent uk t erjem ahannya dalam bahasa Indonesia yang berart i ‘st udi budaya’

atau ‘kajian budaya’ agar t idak bercampur baur dengan ist ilah ‘kajian budaya’ yang ada pada t radisi ant ropologi. Selain it u, ist ilah ini juga dipandang lebih populer dalam paradigm a kajian ilm u sosial dew asa ini.

Apakah Cultural Studies

2

Itu ?

Di dalam t radisi teori sosial krit is, ada b anyak m o d el kaj ian bu d aya. Bai k t eor i so si al ko nt em p or er m aupu n klasi k t el ah m em bahas hubungan ant ar a b udaya dan masyarakat , melakukan analisis budaya, dan dengan dem i kian t elah m endir i kan suat u bent uk kajian budaya. Dari perspekt if ini, ada m o del - m o del n eo- M ar xi an p ad a kaji an

(2)

buah kar ya dar i Cent er for Cont em porar y Cult ural St udies, Birmingham (Kellner 2001, 395).

Bu kan l ah h al yan g m u dah u nt u k m endef inisikan cult ural st udies ke dalam sebu ah kal im at yang sed er hana n am un holist ik, set idaknya itulah yang dikatakan oleh Co li n Spar k s ( d al am St o r ey 1996b , 1) . M enur ut Sparks, cult ural st udies m emiliki karakt er ist ik yang unik yang m embuat nya susah unt uk di bedakan secar a t egas dar i bidang kajian keilm uan lain. Tidak seper t i b i dan g kei l m u an l ai n yan g m em i li k i serangkaian teori maupun met odologi yang t er padu dan telah m apan, cult ural st udies just ru t idak mem iliki sebuah teori m aupun met odologi tertent u yang khusus dan spesifik. Bagi Spar k s, cult ur al st udies diandai kan bagai sebuah tas yang penuh ber isi dengan ide-ide, m et ode, dan per hat ian t er hadap krit ik sast ra, sosiologi, sejarah, kajian media, dan set er usnya. Dengan demikian, cult ural st udies bukanlah t eor i dan m et ode yang bert ubuh m onolit ik (St orey 1996a, 1).

Hal yang senada juga diungkapkan oleh Chr is Bar ker (2002, 3). M enur ut Bar ker, cu lt u r al st u d i es m em an g sul i t u nt u k d i jab ar kan b at asannya j i ka d ian d ai kan sebagai sebuah disiplin kajian yang koheren dan terpadu dengan konsep dan met ode yang jelas t opik subst ant if nya. Cult ural st udies senant iasa merupakan kajian mult idisipliner yang m engabur kan bat asan ant ara bidang kajian tersebut dengan bidang-bidang kajian lainnya3. Yang menarik, Barker mengandaikan cult ural st udies bagai sebuah sarang burung magpie4 yang telah memiliki ciri khas sendiri, nam un bur ung t ersebut biasa ‘m eminjam ’

benda-benda dari sarang bur ung lain unt uk menghias sarangnya.

Dalam art ikelnya yang berjudul Cult ural St udies and It s Theoret ical Legacies (2001, 99), St uar t Hal l m en egaskan keu n i kan karakterist ik dari cult ural st udies tersebut . Ia m engat akan b ahw a cul t u r al st u di es m er up akan bi d an g kaj ian yan g m em i l i k i beragam wacana atau diskursus. Di saat yang bersam aan, cult ural st udies muncul dengan berakarkan dar i ber bagai sejarah yang ber-beda. Hal ini karena paradigma cult ural studies t er b en t u k d ar i b er b agai m acam kar ya intelekt ual yang berbeda. Dengan demikian, St uar t Hal l m en gakui , cul t u r al st u di es m er upakan sper angkat for m asi yang t idak stabil yang m emiliki banyak sekali ‘lintasan’. Set iap orang m em iliki ‘lint asan’nya sendir i d al am m el aku kan kaji an . M er eka m eng-ap li kasi kan m et o d e dan m em p o si si kan teorinya berbeda sat u sama lain. Posisi dari t eori-t eor i ini pun senant iasa m engundang perdebatan.

Cult ural st udies mer upakan diskursus yang selalu terbuka (St orey 1996a, 2). Ia akan selalu m erespon per ubahan kondisi polit is dan hist oris, serta senant iasa dit andai dengan perdebat an, per t ent angan, dan int er vensi. Sebagai cont oh, pada akhir t ahun 1970-an fokus per hat ian cult ural st udies ‘diganggu’ oleh desakan par a fem inis yang m enunt ut pergeseran fokus diskursus kajian ini unt uk juga m emperhat ikan pent ingnya isu gender. Kem ud i an m u ncu l pu l a pr o t es d ar i p ar a m ahasi sw a ku li t h it am yan g m enyo r o t i ket idaknam pakan isu r as m inor it as dalam b anyak an al i si s cu lt u r al st ud ies. Hal - hal tersebut pada akhirnya memberikan kont ribusi

3 Barker m enyebut karakt erist ik ini dengan ‘post-disciplinary’ atau post disipliner unt uk m erujuk sifat nya yang

t idak m onolit ik dan cender ung ‘m engaburkan’ batasan keilm uan.

4 Burung magpie m erupakan keluarga burung m urai. Hew an t ersebut t erkenal m engam bil benda-benda yang

(3)

yang signifikan terhadap perkembangan kajian ini. Pada saat ini, misalnya, kita bisa melihat betapa banyak kont ribusi yang disumbangkan o l eh p ar a f em i n i s d al am kaj i an b u daya populer dan cult ural st udies.

Asumsi Dasar

’ Bud aya’ d al am cu lt u r al st u di es d i m ak n ai seb agai sesu at u yan g p o l it i s daripada sebagai sesuat u yang est et is. Objek dari cult ural st udies bukanlah budaya dalam m akna yang sem pit , sebagaim ana benda-b end a yan g m em i l i k i n i l ai est et i s at au sering disebut benda seni, maupun budaya yang d i m ak n ai seb agai seb uah p r oses pengem bangan spr it ual, int elekt ual, dan est et i k; nam un budaya dipaham i sebagai sebuah teks5 dan prakt ik kehidupan sehari-har i. Cult ural st udies m enganggap budaya sebagai sesu at u yang p o li t i s kar en a d i d alam nya t er d apat ar en a kon f l i k d an kon t est asi. Hal t er seb u t d i l i hat seb agai wahana kunci bagi produksi dan reproduksi

r elasrelasi sosial pada kehidupan sehar i-hari (Fiske 1996, 115; St orey 1996a, 2).

Cult ural st udies berakar pada M arxisme. M ar xi sm e m em b ent u k cu l t u r al st u di es m elal u i du a asu m si . Per t am a, u nt u k m em aham i m akn a dar i t eks at au p r akt i k kult ural, kit a har us m enganalisisnya dalam kon d isi hi st o r is d an so sial dar i p r o d u ksi d an ko n su m si t ek s at au p r akt i k ku l t ur al tersebut . Namun demikian, meskipun t erdiri dar i st r ukt ur sosial t er t ent u dengan sejarah ter tent u, budaya t idak dikaji sebagai refleksi dar i st r ukt ur dan sejarah t ersebut . Sejarah dan budaya bukan m er upakan ent it as yang t er pisah. Dalam cult ural st udies, m em baca sebuah teks atau prakt ik berlaw anan dengan lat ar belakang hist or isnya, at au m engguna-kan t ek s/ pr ak t i k un t uk m en gi lu st r asi engguna-kan sebu ah m o m en h i st or i s yan g t el ah d i -form ulasikan sebelumnya, bukanlah sesuat u yang dit abukan. Sejar ah dan t eks/ pr akt i k dianggap sebagai bagian dar i proses yang sam a. Cult ur al st udies m enegaskan bahw a

5 Dalam t radisi cultural st udies, istilah ‘t eks’ digunakan t idak hanya unt uk m erujuk pada t ulisan-t ulisan, nam un

(4)

budaya m enjadi pent ing karena mem bant u menegakkan st ruktur dan membent uk sejarah. Dengan kata lain, teks kult ural t idak hanya merefleksikan sejarah, namun juga membuat sejarah dan merupakan bagian dar i prakt ik dan proses sejarah tersebut . Oleh karena it u, t eks kult ural har uslah dikaji unt uk m elihat bagaim ana ideologi yang ada di dalam nya ber pengar uh nyat a, dan bukan m elihat ideologi apa yang diref leksikannya (St orey 1996a, 3; 1996b, 3).

Asum si ked u a yan g d i am b i l dar i M ar xism e adalah pengident if ikasian bahw a m asyar akat i nd u st r i kapi t al is ad al ah masyarakat yang dibagi secara t idak seimbang menur ut et nik, gender, dan garis ket urunan ser t a kelas. Cult ur al st udies ber pendapat bahwa budaya m erupakan salah sat u sit us u t am a t em p at p em b agian - p em b agi an tersebut terbangun dan saling ber kontestasi. Budaya m er upakan ar ena dim ana t er jadi pertarungan terus-menerus atas makna, yang mana kelompok subordinat berusaha unt uk menolak pengenaan makna yang mengandung kepent ingan dari kelompok dominan. Hal ini lah yang menjadikan budaya ideologis (St orey 1996a, 3-4).

Id eo l o gi, t i dak d ir agu kan l agi , m er upakan konsep sent ral dalam cult ur al st udies. Ada banyak definisi tentang ideologi tent unya, namun yang lebih sering digunakan di dalam cult ural st udies adalah definisi yang diajukan oleh St uar t Hall. Dengan m eng-gunakan kerangka teorit is ‘hegemoni’ Antonio

Gr am sci , Hal l m en gem b an gkan t eo r i ‘art ikulasi’6

unt uk menjelaskan proses-proses pertarungan ideologis. M enurut nya, teks dan prakt ik kult ural t idaklah tersemat makna dan t idak pula dijam in oleh m aksud pr oduksi. M ak n a sen ant i asa m er u p akan h asi l d ar i t indakan art ikulasi, yait u sebuah proses akt if menggunakan barang hasil produksi7

. Proses t ersebut disebut sebagai ar t i kulasi karena m akna har uslah diekspresikan, t etapi selalu dalam konteks, momen hist oris, dan wacana t er t ent u. Dengan dem i kan ekspresi selalu terhubung dengan dan terkondisi oleh konteks (St orey 1996a, 4; 1996b, 3-4).

Teks d an p r ak t i k ku lt u r al ad al ah mult iaksen. Art inya, teks dan prakt ik kult ural t ersebut dapat diar t ikulasi dengan ‘aksen’ yang b er b ed a o l eh o r an g yan g b er bed a dalam konteks berbeda dan untuk kepent ingan politis yang berbeda. M akna, dengan demikian, adalah produk sosial. Sebuah teks atau prakt ik bukan sumber dari munculnya makna, namun tempat dimana art ikulasi makna—atau variabel berbagai makna—dapat berada. Karena makna yang ber beda dapat berasal dar i t eks at au pr akt i k kult ur al yang sam a, m akna selalu m er u p akan t em p at yan g po t en si al bagi terjadinya konflik. Jadi, bagi cult ural st udies ar ena b ud aya m er up akan t em pat ut am a pertarungan ideologi, medan ‘perlawanan’ dan ‘ inkorporasi’, dan salah sat u t empat dimana hegemoni harus menang atau kalah (St orey 1996a, 4).

6 M enurut du Gay, maksud dari ist ilah ‘artikulasi’ adalah unt uk m erujuk pada proses m enghubungkan elem

en-elem en yang ber lainan secara bersam a-sam a guna m em bent uk kesat uan yang t em porer. Dengan dem ikian, sebuah ‘art ikulasi’ m erupakan bent uk penyam bungan dua at au lebih elem en yang berbeda unt uk m enjadi sat u kesat uan, dalam kondisi t ert ent u. Ini m erupakan hubungan yang t idak har us selalu pent ing, dit ent ukan, absolut , ataupun ada sepanjang w akt u; hubungan ini adalah hubungan yang prasyarat keberadaan ataupun kem unculannya per lu unt uk dicari di t engah ket idakpast ian keadaan (Gay et al. 1997, 3).

7 Sebuah art efak kult ural akan ber m akna ket ika ia dipergunakan atau dikonsum si, direpresentasi. Benda yang

(5)

Penggunaan t eor i hegem oni dalam cult ural st udies m em baw a per spekt if pem aham an bahwa ada sebuah dialekt ika ant ara proses produksi dengan akt ivit as konsum si (St orey 1996a, 5). Di bangun ber dasar kan kon sep semiot ik yang dikem bangkan oleh Um ber t o Eco, St u ar t Hal l b er p en d ap at b ah w a p er b ed aan h ar u s d i b u at an t ar a p r oses encoding teks media oleh produsen dan proses d eco d i ng o l eh kon su m en . Per b edaan i n i m enegaskan kem am p u an au d ien s u nt u k memproduksi pembacaan dan makna mereka sendiri, unt uk membaca (decode) teks dengan car a yan g m eny i m p an g at au ber law anan dari kebiasaan, disamping dengan cara biasa yang selaras dengan ideologi dominan (Kellner 2001, 396). Pada proses produksi, produsen m enco b a m em asu k kan m ak n a yan g dikonst ruksinya ke dalam teks/ prakt ik dengan maksud agar makna tersebut dapat dipahami dan diterim a dengan cara yang sama. Namun demikian, dalam akt ivitas konsumsi, konsumen m engar t i ku l asi kan sen d ir i m ak n a yan g d i per o l ehnya m el al ui ak t iv i t as ko n sum si tersebut . Seringkali makna yang direpresentasi oleh konsum en analog dengan m akna yang dibangun oleh produsen m elalui present asi teks/ prakt ik yang ditawarkan. Tak jarang pula hasi l r epr esen t asi kon sum en san gat jauh berbeda dengan makna yang dimaksud oleh produsen. Tim bul m akna-m akna bar u yang sangat subjekt if dan sama sekali t idak sesuai dengan konst ruksi dalam proses produksi. Pada t it ik ini, akt ivitas konsumsi bisa menjadi proses produksi makna (lihat Gay et al. 1997). Konsep tentang audiens akt if yang menciptakan makna

dan sesuat u m enjadi populer ini sekaligus melampaui batasan gagasan M ahzab Frankfurt atas audiens pasif (Kellner 2001, 396).

Dengan menempatkan budaya ke dalam teori produksi dan reproduksi sosial, cult ural st ud i es m en j el askan d en gan gam b lan g bagaimana bent uk-bent uk kult ural berperan dalam m elanjut kan dom inasi sosial, at au berperan dalam memungkinkan orang unt uk berjuang melawan dominasi. Cult ural st udies menganalisis masyarakat sebagai serangkaian relasi sosial yang hierarkis dan antagonis yang ditandai dengan penindasan terhadap kelas, gender, ras, etnik, dan bangsa yang subordinat (Kellner 2001, 396).

Sejak aw al , cult ur al st ud ies secar a sist em at i ka m enolak pem bedaan budaya t inggi dan rendah, ser ta t idak m enganggap r em eh ar t ef ak yang ber asal dar i b udaya m edia (Kell ner 2001, 396). Hoggar t d an W i lliam s m engat akan, kar ya sast r a at au b u daya ‘ ad i l u hu n g ’ hanyalah sebu ah ekspresi budaya, yang dalam art i yang lebih ant r opologis m er upakan ber bagai m akna dan interaksi sosial yang menyusun kehidupan sosial (Long 2011, 110). Bagi cult ural st udies, t idak ada pem bedaan ant ara yang populer dengan yan g elit , kar ena sem ua b ent uk budaya sama berharganya unt uk ditelit i dan dikritik (Kellner 2001, 397). Pandangan cultural st udies ini dianggap m elam paui sekaligus berbeda dengan pendekatan yang dilakukan sast ra terhadap budaya, yang mana pada saat it u m asih m enjadi pendekat an dom inan8 (Kellner 2001, 396).

8 Pada m asa it u, sast ra m asih sangat dipengaruhi oleh paradigm a elit ism e yang sangat m em bedakan dan

(6)

Obj ek Kaj ian

Secar a u m u m , cu l t u r al st u di es mengeksplorasi berbagai konsep kunci, antara lain budaya, prakt ik penandaan, representasi, polit ik kult ural, posit ionalit y9, m at er ialism e kult ural, non-reduksionisme, formasi sosial, art ikulasi, kuasa, budaya populer, ideologi, hegemoni, teks, audiens akt if, subjekt ivitas, ident itas, wacana, formasi diskursus (Barker 2002, 3).

Sebagaimana namanya, pusat perhat ian dar i cult ural st udies adalah budaya. Dalam pandangan cultural st udies, budaya terdiri dari b er b agai m ak na d an r ep r esen t asi yan g dibangun oleh mekanisme penandaan dalam kont eks akt ivit as m anusia. Cult ural st udies ter tarik dengan konst ruksi dan konsekuensi d ar i r ep r esent asi - r epr esen t asi i t u ser t a permasalahan mengenai kuasa, karena pola prakt ik penandaan merupakan, dan dibent uk oleh, st r ukt ur dan lem baga virt ual (Barker 2002, 4).

M enur ut St uar t Hall, budaya dapat dipahami sebagai arena akt ual dari prakt ik, r epr esent asi, bahasa, dan kebiasaan dar i semua masyarakat . Cult ural st udies berurusan dengan semua prakt ik, inst it usi, dan sistem klasif i kasi it u, yang m ana m elalui hal-hal t ersebut t er t anam nilai-nilai, kepercayaan, r u t in it as keh idu pan , d an ben t u k-b ent uk kebiasaan perilaku pada masyarakat . Cult ural st udies telah berupaya unt uk m engembang-kan cara-cara berpikir tentang kebudayaan dan kuasa yang dapat dim anfaat kan oleh agen-agen sosial dalam mengejar perubahan.

Inilah yang menurut Hall membedakan cultural st udies dengan bidang kajian lain (Bar ker 2002, 4).

Ad apu n t em a-t em a d an obj ek yang m enjad i p usat per hat ian cul t ur al st udi es ant ara lain : isu-isu subjekt ivit as, ident it as, et nisitas, ras, bangsa, gender, televisi, teks, penont on, r uang kult ural, tempat urban, anak muda, gaya hidup, subkult ur, polit ik kult ural, dan kebijakan kult ural (Barker 2009).

Metodologi

Cult ural st udies adalah sebuah kajian yang mult idisipliner. Dalam melakukan kajian dan analisis, seorang penelit i cult ural st udies m em p er gun akan ser t a m en ggab u n gkan kerangka pem ahaman dan teor i bidang lain sebagai inst rumen. Pada umumnya, kerangka teori yang dipakai, dipinjam, dan dicampurkan an t ar a lai n M ar xi sm e, po st - M ar xi sm e, p si ko an al i si s, f em i n i sm , st r u k t ur al i sm e, p o st st r uk t u r ali sm e, d ekon t r u k si , t eo r i post kolonial, dan t eor i-t eor i post m oder n, seper t i Lyot ar d, Baudr i llar d, dan Jam eson (lihat Barker 2004; St orey 2008).

Sebagai sebu ah b id an g kaji an yan g m ult idisipliner, cult ural st udies t idak t er lalu b anyak m em p er m asal ahkan per t anyaan klasik m engenai m et ode penelit ian. Namun demikian, unt uk alasan prakt is, para penelit i cu lt u r al st u d ies l eb i h m eny u kai m et o d e kualit at if dengan fokus unt uk menggali dan m en gkaj i m ak n a ku lt u r al. Secar a um um , kajian dalam cult ural studies berpusat pada t iga jenis met ode penelit ian (Barker 2004, 122) :

9 Konsep posit ionalit y digunakan oleh para prakt isi kajian budaya unt uk m enunjukkan bahw a pengetahuan

(7)

a. Et nografi. Dalam cult ural st udies, et nografi digunakan unt uk menelit i pengalaman dan prakt ik-prakt ik dalam kehidupan sehar i-har i. Penggunaan m et ode ini ser ingkali dikait kan dengan cult uralism10.

b. Pen dekat an-pendekat an t ekst ual m el alui ker angka anali sis dan

pem aham an sem iot i k,post rukt uralisme, dan dekonst r uksionisme.

c. Hermeneut ik. M et ode ini digunakan unt uk

melakukan kajian terhadap resepsi audiens.

Et no gr af i d al am cu l t u r al st u di es ber pusat pada eksplorasi nilai dan m akna ku lt u r al , ser t a d u ni a keh i du p an d engan t ujuan unt uk memberikan ‘suara’ bagi orang-or ang yang kurang t er w aki li dalam t r adisi t u li san akad em i k Bar at . Dal am ko n t ek s cult ural st udies berorientasi media, et nografi j u ga m enj ad i kat a ku n ci b agi b er b agai m et o d e ku ali t at i f, t er m asu k p ar t i ci pan t observation, wawancara mendalam, dan focus gr oup . Di sin i, r o h et n ogr af i i ni l ah yang kem ud ian m eni m b ul kan p ol em i k kar en a m elawan t radisi kuant itat if pada penelit ian komunikasi (Bar ker 2004, 64).

Perm asalahan dalam et nografi adalah isu pener jemahan dan just ifikasi kebenaran yang t idak universal at au objekt if. Jika kit a berpikir bahwa bahasa—demikian pula budaya dan pengetahuan—t idak dibent uk oleh aturan-at uran yang t idak dapaturan-at diter jemahkan dan t id ak ko m p at i bel, n am u n o leh di b en t u k ket r am pi lan yang dap at dipelajar i, m aka et nografi dapat dipahami sebagai bagian dari

p end esk r ip si an kem b al i d u ni a d engan menyediakan inisiat if baru yang memperkaya budaya kit a dengan ide-ide kreat if (Bar ker 2004, 65).

Dalam h al p end ekat an t ek st ual , post st r ukt uralism e mer upakan yang paling banyak memberikan pengaruh dalam cult ural st udies. Sebagai cont oh, konsep différance m er u p akan p u sat d ar i kon sep t u al i sasi p ent i n g St u ar t Hal l m en gen ai id en t it as sebagai sebuah konst r uksi diskursif (Bar ker 2004, 161). Art inya, ident itas t idak dianggap sebagai sebuah refleksi tetap dan alami dari realitas hidup, namun sebagai sebuah proses ‘menjadi’ (Barker 1999, 28). Tidak ada identitas int i yang har us dicar i, m elainkan ident it as dilihat sebagai sesuat u yang t erus mener us dipr oduksi di dalam gar is per sam aan dan berbedaan (Barker 1999, 28; 2004, 94). Di si ni i d en t i t as d apat b er u b ah m ak n anya m enu r u t r u an g, w ak t u, d an p em akai an (Bar ker 2009, 175). Sejalan dengan konsep différance, cult ural st udies melihat ident itas sebagai ent it as yan g di dalam nya penuh pertentangan dan perpot ongan atau dislokasi sat u sam a lain . Tidak ada sat u ident i t as t u nggal yan g d ap at ber p er an seb agai ident it as yang m enyat u dan m enyelur uh, m elai nkan id ent it as selal u b er geser t er -gant ung dar i bagaim ana seseorang dikenali atau direpresent asi. Dengan dem ikian, kit a sebenarnya dibent uk oleh berbagai retakan ident itas (Bar ker 2004, 94).

Pengar uh hermeneut ik dalam cult ural st udies masuk melalui teori resepsi pembaca

10 Secara t eorit is, cult uralism atau kult uralism e adalah sebuah pandangan yang m engadopsi definisi luas dari

(8)

Bagan 1

M odel Cricuit of Cult ure St uart Hall

Pada model St uart Hall, proses kult ural di bagi m en jad i Repr esent at i on, Id en t it y, Product ion, Consum pt ion, dan Regulat ion. M odel sirkuit ini dipergunakan unt uk mengkaji b agai m ana seb uah ar t ef ak ku l t ur al direpresentasikan, ident it as sosial apa yang t er sem at at asnya, bagaim ana ar t ef ak it u diproduksi dan dikonsumsi, sert a mekanisme sepert i apa yang digunakan unt uk meregulasi dist ribusi dan penggunaannya. Karena yang digunakan sebagai perangkat analisis adalah sebuah sirkuit , maka analisis dapat dimulai dari manapun dan dalam urutan seper t i apapun. Nam un yang per lu digar isbaw ahi adalah, sebagai sebuah sirkuit , kajian melalui met ode ini baru akan dikatakan selesai jika keseluruhan proses dijalani atau dikaji. Bagian-bagian dari sirkuit ini saling berhubungan sat u sama lain, sehingga ket ika kajian dilakukan pada sat u

Representation

Regulation Identity

Consumption Production

yang m encabar gagasan bahw a hanya ada sat u makna, yait u makna yang sebagaimana diinginkan oleh pengar ang. Her m eneut i k juga m enggugat gagasan bah w a m ak na-m akna t ekst ual na-m ana-m pu na-m en jaga na-m ak na yang d i ci p t akan o leh p em b aca/ au d ien s tetapi menekan hubungan interakt if antara t eks d an p em b aca. Den gan d em i ki an pem baca m endekat i t eks dengan harapan d an an t isi p asi t er t en t u yan g kem u di an dim odif i kasi dalam per jalanan m em baca it u un t u k di gant i dengan p r o yeksi yang baru. Pemahaman selalu berasal dari posisi dan sudut pandang orang yang memahami. Hal ini t idak hanya m elibat kan reproduksi dari m akna t ekst ual, nam un juga produksi makna baru dari para pembaca. Teks dapat menyusun aspek makna dengan membimbing pem baca, t et api t idak dapat m em per baiki m akna yang m er upakan hasi l dar i osilasi antara t eks dan im ajinasi pem baca (Barker 2004).

Pad a t ahun 1986, Richar d John son m enggem bangkan sebuah m et ode analisis ku lt u r al d en gan m en em p at kan p r o ses-pr oses kult ur al ke d al am seb uah si r ku it (lihat Johnson et al. 2004). M et ode analisis t ersebut kem udian dikenal sebagai sir kuit kult ural, dan pada perkembagannya menjadi salah sat u ciri khas met ode analisis dalam cult ural st udies, di ant ara berbagai met ode analisis lain yang digunakan. St uar t Hall kem udian m engenalkan m odel sir kuit nya sendiri yang sebenar nya merupakan penye-d er h an aan , j i ka t ipenye-d ak penye-d iseb u t seb agai peyem pur naan, dar i model sirkuit Richard Johnson11.

11 Di bandingkan dengan skem a yang dibuat oleh Richard Johnson yang disebut nya sebagai cult ural sircuit,

(9)

proses t er t ent u, proses yang sedang dikaji t er seb u t b i sa jad i m er u p akan el em en pembangun dari proses yang lain. M isalnya, proses-proses representasi yang dibahas pada bagian Representation sebenarnya merupakan el em en dar i pem b ent u k id en t it as yan g nant inya d i bahas pada b agian Ident it ies, dem ikian set erusnya. Dalam kajian, proses-proses kult ural t ersebut m em ang di beda-bedakan, namun dalam dunia nyata, proses-proses tersebut senant iasa tumpang t indih dan saling menjalin satu sama lain dengan cara yang rumit tak t erat ur (Gay et al. 1997, 3-4).

Posisi Paradigmatik

Tidak bisa disangkal, cult ural st udies sangat dipengaruhi oleh M arxisme dan M ahzab Frankfurt (lihat Agger 2013). Pada awal-awal kaji an nya, cu lt u r al st u di es m en gad op si pendekatan M arxian dalam mengkaji budaya, khususnya dipengar uhi oleh Alt husser dan Gr am sci. Dar i Al t husser dipin jam ko nsep ideologi, sedangkan dar i Gram sci dipinjam konsep hegemoni dan counter-hegemony yang ad a d al am m asyar akat . M el al ui ko nsep Gr am sci , cu l t ur al st u d i es m en gan al isi s hegemoni, atau dominasi kekuatan sosial dan kult ural yang berkuasa, dan mencari kekuatan co un t er - h egem o n ic yan g m el akukan per law anan (Kellner 2001, 396).Beber apa t o ko h kun ci d ar i cult ur al st ud ies sep er t i Raymond W illiams, E.P. Thompson, dan St uart Hall menggunakan M arxisme sebagai kerangka pemahaman utama dalam melakukan analisis kultural mereka. Bahkan stuart Hall mengklaim dir inya sebagai seorang M ar xist , w alaupun b anyak yan g m en gat akan b ah w a gar i s pem ikirannya sebenar nya lebih cender ung cocok disebut sebagai post-M arxist (Barker 2004, 113).

Walaupun Hal biasanya menghilangkan M ahzab Fr ankf u r t dar i nar asinya, nam un

(10)

Bagan 2 : Persinggungan M ahzab Frankf urt dengan M ahzab Birm ingham (Cult ural St udies)

 M engamati int egrasi dari kelas pekerja dan penurunan kesadaran revolusionernya, serta mempelajari kondisi dari fenomena ini untuk proyek revolusi M arxian (Kellner 2005, 174).

 M enyimpulkan bahw a budaya massa memainkan peran yang sangat penting dalam mengintegrasi masyarakat kelas pekerja ke dalam masyarakat kapit alis yang ada sepert i sekarang ini, dan bahwa konsumen dan budaya media baru telah membentuk mo de baru hegemoni kapitalis (Kellner 2005, 174).

 Dibangun secara transdisipliner, menggunakan, mem injam, sekaligus menggabungkan berbagai teori sosial, kritik budaya, dan politik (Kellner 2001, 396).

 Berpandangan bahw a budaya haruslah dipelajari dalam sistem dan relasi sosial yang mana melaluinya budaya diproduksi dan dikonsumsi, sehingga dengan demikian analisis budaya t erikat dengan kajian terhadap masyarakat, po lit ik, dan ekonomi (Kellner 2005, 174).

 M elihat budaya adiluhung sebagai kekuatan perlawanan terhadap modernitas kapitalis (Kellner 2002, 36).

 Tidak terlalu m em berikan perhatian t erhadap gerakan modernit as kapit alis dalam budaya media, int erpretasi m odernit as kapit alis dalam budaya m edia, int erpret asi audiens, dan penggunaan ar t efak budaya (Kellner 2002, 36). m em pelaj ari kondisi dari fenom ena ini unt uk proyek revolusi M arxian (Kellner 2005, 174).

 M e nyi m p u l kan b ah w a b u d aya m assa m enggabungkan berbagai t eor i sosial, krit ik budaya, dan polit ik (Kellner 2001, 396).

 Ber p an d an gan b ah w a b u d aya h ar u sl ah dipelajar i dalam sist em dan relasi sosial yang m ana m el alu inya b udaya d ip rod uksi d an d i ko n su m si , seh i n gga d en gan d e m i ki an an al i si s b u d aya t er i kat d en gan kaj i an t erhadap m asyarakat , polit ik, dan ekonom i (Kellner 2005, 174).

 M elihat budaya adiluhung sebagai kekuat an per law anan t erhadap m oder nit as kapit alis (Kellner 2002, 36).

(11)

m enggan t i kannya seb agai di r ekt u r CCCS hingga tahun 1979 (M cGuigan 2005, 178).

Pada masa kepemimpinan St uart Hall inilah cult ural st udies sebagai sebuah domain

kei l m u an m en dap at kan kep o p ul er annya (Bar ker 2004, 21). Hall t idak hanya sukses sebagai seorang direkt ur sebuah lem baga kajian, namun juga sebagai seorang teorit si. So so k nya san gat i n sp i r asi o n al seh i ngga banyak mahasiswa Birmingham yang menjadi pengikut pikiran-pikirannya. Sehingga, pada 1970an seb u ah m ah zab p em i ki r an yan g d isebu t seb agai m ah zab Hal l ian m u n cu l sekaligus sebagai penanda pengar uh St uar t Hall di Bir m ingham (M cGuigan 2005, 178). M ahzab ini, bersama dengan pikiran-pikiran dan kar ya anggot a CCCS yang lain seper t i Leavisism e Hoggar t , kar ya-kar ya Raym ond W i l l iam s, E.P. Th o m p son , Di ck Hebd i ge, Angela M cRobbie, Paul W i llis, dan David M orley, ser ing juga disebut sebagai M ahzab Bir m ingham (Kellner 2005, 173; M cGuigan 2005, 178). Selama dekade 1970an tersebut ,

cult u ral st ud ies M ahzab Bir m ingham t elah dianggap sama pent ingnya, sebanding dengan kajian ur ban M ahzab Chicago12

dan t eor i krit is M ahzab Frankf ur t . Ket ika pada t ahun 1979 Hal l m en in ggal kan Uni v er sit as

Birmingham unt uk masuk ke Open Universit y—

di m ana ia juga ber par t isip asi m end ir i kan perkuliahan budaya populer di sana—M ahzab Birmingham mencapai puncak popularitas dan kejayaan-nya. Akan t et api, seir ing dengan penyebaran-nya, M ahzab ini kemudian menjadi semakin terfragmentasi (M cGuigan 2005, 178). F o k u s kajian per tama kali dari CCCS adalah budaya seh ar i- har i , d en gan penekan an t er hadap budaya kelas pekerja yang senada dengan karya Hoggar t dan Raym od W illiam s. Akan tet api, momen kult uralisme ini dikalahkan pengaruh strukturalisme, terutama karena diart ikulasikan dengan M arxisme. Dalam melakukan kajiannya CCCS mempergunakan teori-teori dari Bart hes, Al t husser, dan t er ut am a Gr am sci sebagai inst r um en t eor it is kajian. Alat konsept ual ut ama yang digunakan adalah teks, ideologi, dan hegem oni yang digali m elalui gagasan m engen ai b u d aya p op u l er seb agai sit u s kont r ol sosial sekaligus per law anan. Topi k-t opik subsk-t ank-t if dalam penelik-t ian, diank-t ara-nya ad alah m edia m assa, sub ku lt u r an ak m uda, pendidi kan, gender, ras, dan negara ot or iter (Barker 2004, 21). Para penelit i dari M ahzab Birmingham ini adalah para pakar ilmu so si al yan g per t am a m en el i t i p en gar u h

12 M ahzab Chicago sangat dikenal dengan t eori ekologi (lihat M cPherson 2005, 228) dan kajian urbannya

(12)

koran, radio, televisi, film, dan bent uk-bent uk bu daya p opu ler lain t er h adap k hal ayak. M er eka m em f o kuskan p ad a b agai m an a au di en s t er t ent u m ener j em ah kan d an m enggunakan budaya m edia dengan ber-bagai cara dan konteks tertent u, menganalisis fakt or-fakt or yang m em buat para audiens m enanggapi dengan cara yang belaw anan dari teks media (Kellner 2001, 396)

Sejak saat pendir ian CCCS, cult ural studies banyak memperoleh basis institusional dal am skala gl obal. Pengar uh d ar i po st -st rukt uralisme telah meredupkan pengaruh st r ukt ur alis M ar xism e sebagai par adigm a teorit is utama. Pada tahun 1988, CCCS ber-hent i menjadi pusat penelit ian pascasarjana d an m en jad i ju r u san u n iv er sit as yan g m encaku p p en d i di kan j en j ang sar jan a (Barker 2004, 21). Namun demikian pengaruh p ar a p em i k i r CCCS m el al u i M ahzab Birmingham-nya pada cult ural st udies yang sem akin m enyebar ke selur uh dunia juga sem akin m eningkat , hingga CCCS benar -benar di bubar kan pada t ahun 2002 (M c Guigan 2005, 178).

Tokoh-t okoh

Cult ural St udies

Richard Hoggar t (1918-2014)

Herbert Richard Hoggart adalah seorang p r of eso r sast r a In ggr i s d i Un iv er sit as Bir m ingham , Inggr is. Ia m er upakan t okoh sent ral dalam sejarah berdirinya Center for Contemporary Cult ural St udies (CCCS) yang sekal i gus m er u p akan d i r ek t u r p er t am a lembaga pusat kajian t ersebut . Pada t ahun 1957 terbit bukunya yang sangat berpengaruh dengan judul The Uses of Literacy. Di dalam buku ini Hoggar t m engeksplorasi karakt er

budaya kelas pekerja Inggris yang berkembang dan berubah dari tahun 1930an hingga 1950an. Pada bagian pertama buku tersebut Hoggart memberikan catatan yang mendetail, simpat ik, sert a humanis terhadap budaya hidup kelas peker ja, seb elu m kem u dian m em ber i kan analisis yang tajam terhadap perkembangan ‘budaya komersial’13

(Barker 2004, 86). Hoggart m em b an di ngkan vi t al it as d an keh id up an inst itusi kelas pekerja Inggris dengan kepalsuan produk industri budaya yang dilihatnya sebagai sebu ah hom ogenisasi dangkal kehidu pan Inggr is dan sebuah penjajahan budaya oleh ideologi kapit alis yang sangat dipengar uhi Amerika (Kellner 2001, 395).

Warisan utama Hoggart unt uk cult ural st u d ies adal ah kajiannya yang m end et ai l t er h ad ap b u d aya kel as p eker j a yan g m elegi t im asi m ak n a d an pr ak t i k o r an g-orang biasa ket ika m ereka ber usaha unt uk m enj al ani keh id u p an ser t a m em bu at sejarah mereka sendiri (Barker 2004, 86).

Raymond Williams (1921-1988)

Raym ond Henr y W i lliam s sebelum masuk ke Universitas Cambridge, baik sebagai mahasiswa maupun kemudian menjadi dosen di sana, adalah seorang yang berasal dari kelas p eker j a di w i layah ped esaan W ales. Pengalam annya sebagai kelas peker ja ini r u panya m em i li ki p en gar u h yang san gat signifikan dalam karirnya kelak. Terbukt i, tema-t em a dalam tema-t ulisannya selalu tema-t ak jauh dar i pengalamannya tersebut , yang mana dilandasi oleh komit men pada demokrasi dan sosialisme (Barker 2004, 207).

Raymond W illiams m engem bangkan sebu ah ko n sep t en t an g b ud aya yan g

13 Dalam t erminologi aslinya disebut sebagai commercial cult ure. Ist ilah ini m erujuk pada budaya yang m uncul

(13)

ikut m endirikan sebuah jur nal bar u bersama St uart Hall pada tahun 1960 yang diberi nama New Left Review. Selain it u ia bersama ribuan kaum kir i yang t idak puas lainnya ber sat u membent uk gerakan polit ik nonkomunis, New Lef t . Nampaknya hasrat pem bangkangan ini yang sangat m em -pengar uh i t ulisan pada bukunya yang sangat terkenal The M aking of t he English Working Class (Bess 2014).

Di dalam bukunya tersebut Thompson m enyer an g p en ekan an M ar xi s t er h ad ap kekuat an ekonom i im personal sebagai gar is ut am a per ubahan sejarah dan int er pr et asi M arxisme at as kesadran kelas abad 19 sebagai produk ot omat is dari sistem indust ri bar u. Ia berpendapat , t idak ada yang ot omat is dalam hal munculnya kelas pekerja. Pekerja abad 19 t elah d en gan b er ani m en em p a id en t it as kolekt if m er eka m elalui pr oses yang sulit dan ber bahaya, dim ana inisiat if, keyakinan moral, dan upaya imajinat if dari para akt ivis telah membuat perbedaan yang krusial (Bess 2014).

Stuart Hall (1934-2014)

St uar t M cPh ai l Hal l d i kenal sebagai sosok yang m engembangkan cult ural st udies hingga m enjadi sebuah disiplin kajian t er -sendir i di antara kajian ilm u-ilm u sosial lain (Bar ker 2004, 82). Teor et i si yan g l ah ir di Ki ngst o n p ad a t an ggal 3 Feb r u ar i i n i m em p er o leh p op u l ar i t as in t er nasi o nal -nya ket ika m encipt akan ist ilah That cher ism un t u k m en jel askan f eno m ena per ub ah an polit is, ekonom i, dan budaya yang sangat l u as d an l am a yan g di seb ab kan ol eh kebi j akan- keb i jakan Per d ana M en t er i In ggr i s M ar gar et Th at ch er d an par a pendukungnya14

. Ia kemudian dicap sebagai pemikir dan polit isi kiri karena m engabai- kan popular it as abadi That cher ism di kalangan orang-orang kelas pekerja yang kecewa, serta kar ena gagal m elaw an unsur -unsur paling m elam paui konsep-konsep akadem is yang

dominan di Inggris pada saat it u. M enurut nya, budaya m er upakan keselur uhan cara hidup yang meliput i rasa, nilai, prakt ik, serta artefak. Cara pandangnya ini sangat m em pengar uhi per kem bangan cult ural st udies. Ia t er kenal kar en a b er pen d apat bah w a p er lu u nt u k melihat budaya dan masyarakat di dalam sat u frame, melihat budaya media sebagai sesuat u yang pent ing, ser t a m enghapus pem bagian antara budaya adiluhung dan budaya rendah (Kellner 2001, 395). Kar ya-kar ya W i lliam s berurusan dengan M arxisme, terutama melalui penger t ian ideologi dan hegem oni, t api ia mengkrit ik gagasan reduksionis dar i basis dan suprast r ukt ur. W illiam s m embantah bent uk m at er ialism e budaya yang m engeksplorasi kebudayaan dalam hal hubungan antara unsur-u n sunsur-u r d al am seb unsur-u ah t o t ali t as ek sp r esi f (Barker 2004, 207).

E. P. Thompson (1924-1993)

Edw ard Palm er Thom pson sepanjang kar ier nya lebih di kenal sebagai sejaraw an sosial dan ak t i vi s po l it i k . Kar yanya yan g berjudul The M aking of t he English Wor king Class pada t ahun 1963 dan beberapa karya-nya yang lain t elah sangat m em pengar uhi hist oriografi pasca-Perang Dunia II (Bess 2014). Thom pson lahir di t engah keluarga misionaris M et hodist . Selama Perang Dunia II ia dit ugaskan ke Af r ika dan It alia sebagai komandan pasukan t ank. Setelah perang, ia m enyelesaikan sekolah sar janya di Cor pus Christ i College, Cambridge pada tahun 1946, dimana ia bergabung dengan Pat ai Komunis Inggris (Bess 2014).

(14)

14 Du Gay m engkrit isi program radikal yang dicanangkan pem erintahan M argaret Thatcher pada era 1980an

yang disebut nya sebagai sebuah pert em puran budaya baik secara individual m aupun inst it usional dalam kaitannya dengan perilaku, nilai, dan bent uk kesadaran diri m asyarakat (Gay et al. 1997, 1). Pada m asa it u Thatcher ber usaha unt uk m elestarikan dan m enggalakkan kem bali ni lai-nilai konvensional yang berlaku pada era Vict oria. Hal ini lah yang juga m enjadi perhat ian dalam analisis krit is cult ural st udies St uart Hall dalam bukunya The Hard Road to Renew al: That cherism and t he Crisis of t he Lef t (1988).

keras dari Thatcherism dengan alternat if yang menarik yang dapat memajukan hak-hak sipil, envir onm ent alism e, dan m ult ikult uralism e (Shepherd 2014).

Hall berkuliah di Jamaica College dan pada tahun 1951 menerima beasiswa Rhodes untuk belajar sast ra di M ert on College, Oxford. Ia mendapat i bahwa kulit gelap dan ket urunan ras cam puran m ult iet nis yang m engalir di dalam darahnya—termasuk masa kecilnya di Jam aika yang m asyarakat nya m asih sangat m em per hat i kan aspek sosial w ar na kulit , yang bahkan orang t uanya pun m elarangnya bergaul dengan anak lain yang mem iliki kulit yang lebih gelap dari dirinya—membuat diri-nya merasa t idak memiliki tempat di Inggris. Hall keluar dar i st udi sast r anya dan m ulai mengembangkan teori encoding/ decoding yang m er upakan inst r um en unt uk m eng-analisis bagaim ana m er eka yang ber kuasa ber kom unikasi dengan m asyar akat m elalui budaya populer dan bagaimana m asyarakat yang sekal i gus m en j ad i p em ir sa m ener j em ah kan p esan -p esan t er seb u t (Shepherd, 2014).

M esk i p un d i id en t i k kan d engan M ar xi sm e, Hal l j u ga k r i t i s t er h ad ap kecen d er u n gan r ed uk si o ni s d ar i t eo r i t er seb ut d an m ul ai m em pelajar i b ud aya populer dengan ber angkat dar i t eor i it u. Dalam m elakukan analisis budayanya, Hall banyak m enggunakan kar ya Gr am sci dan konsep ideologi ser t a hegem oni, m isalnya d alam eksp l o r asi dan k r i t i k t er h ad ap That cher ism di Inggr is. Ia juga m em ainkan p er an p en t i n g d al am m enyeb ar kan

poststrukturalisme Derrida dan Foucault untuk mengembangkan bent uk post-M arxisme yang ber kait an dengan wacana, representasi dan konf igurasi baru kapitalisme, ident itas serta polit ik pasca-1960 yang muncul pada budaya Barat (Barker 2004, 82).

Hall merupakan edit or sekaligus pendiri (1960-1961) New Lef t Review dan penelit i (1964-1968), pelaksana t ugas direkt ur (1968-1972), dan direkt ur (1972-1979) pada Center for Contemporary Cultural Studies, Universitas Birmingham . Pada tahun 1979 ia bergabung dengan fakultas sosiologi di Open Universit y hi ngga pen siu n pada t ahu n 1998. Buku-buku St uart Hall antara lain : The Popular Art s (1964, dengan Paddy W hannel), Deviancy, Polit ics and t he M edia (1971), Encoding and Decoding in t he Television Discourse (1973), A ‘Reading’ of M arx’s 1857 : Int roduct ion t o t he Gr undr isse (1973), The Hard Road t o Renewal : Thatcherism and t he Cr isis of t he Left (1988), dan Representat ion : Cult ural Repr esent at ions and Signif ying Pr act ices (1997). Ia juga m enulis m akalah-m akalah yan g san gat ber p en gar u h , an t ar a l ai n :

”Gramsci’s Relevance for t he St udy of Race and Et hnicit y (1986) dan Cult ural St udies an d It s Th eor et i cal Legacies ( 1992) (Shepherd, 2014).

Kritik Terhadap

Cult ural St udies

(15)

sinis memberikan krit ikan. Krit ik-krit ik tersebut belum tent u berimplikasi negat if karena bisa jadi sangat tepat dan tajam dalam membingkai kekurangan dan kelem ahan yang ada pada cult ural st udies sehingga memungkinkan para pendukung disiplin kajian ini melakukan hal-hal yang dianggap perlu unt uk perbaikan (lihat Bo w m an 2003, 219) . Bagi an i n i akan membahas beberapa dari krit ik tersebut .

Terry Eaglet on, seorang profesor teori b u daya p ad a Un iv er sit as M an ch est er, m engk r i t i k kar ya Raym o n d W i l l i am s. M enur ut nya, kekurangan t ulisan Raym ond W i ll iam s t er let ak p ada pen gkom binasian epist em ologi idealis, est et i k or ganis, dan sosiolo gi kor po r at is yan g m asing-m asing b er akar pad a ‘ p o p u l ism e Ro m an t is’. Kar akt er ist i k dar i r om ant isism e t ersebut , Eagleteon berpendapat , adalah gagasan dari b u daya it u send i r i r ed i kal d an t er lal u m ensubjekt if i kasi f o r m asi so sial, di m ana st rukt ur direduksi menjadi pengalaman. Bagi Eaglet on, m akna bukanlah budaya, nam un ideologi. Penghormatan W illiams yang sangat t inggi terhadap kapasit as m anusia, menurut Eaglet on , m enu nju kkan kesalahpaham an dr ast is t er hadap st r ukt ur f or m asi kapit alis m aju. Singkat nya, W illiam s dianggap gagal m em aham i bagaim ana subjekt if it as kelas peker ja dit ent ukan ol eh ideologi bor juis. ‘St r ukt ur perasaan’ dengan dem ikian pada dasarnya merupakan konset ualisasi yang t idak m em ad ai d ar i i d eo lo gi , W i l l i am s sal ah m em b aca st r u kt u r hanya seb agai p ol a. Eaglet on melihat bahwa penggunaan gagasan hegemoni Gramsci oleh W illiams t elah keliru kar en a di d asar kan pad a keu n ggul an pengalaman (M ilner 2002, 143-144).

Thom as Docher t y m elihat cult ur al st udies melakukan reduksi terhadap budaya. Ia kur ang sepend apat d engan konsen sus umum cult ural st udies oleh Raymond W illiams yang mengatakan bahwa budaya merupakan

sesuat u yang biasa. Docher t y m enant ang sem u a o r i en t asi t er h ad ap h al in i . Bagi Dochert y, budaya jauh dari ‘biasa’. Sebaliknya, budaya harus diperlakukan sebagai sesuat u yang luar biasa, ext raordinary. ‘Sehari-har i’ ad al ah sesu at u yang b i asa- b i asa saj a, ber u lang, ham p ir seper t i m esi n. Dal am m em per lakukan budaya sebagai sesuat u yang biasa, dan dan unt uk merayakan hal ini, cult ural st udies m elakukan penggundulan b u daya, sekal igu s p en ggu nd u l an d an p end egr ad asi an p o t en si ser t a vi t al it as peran universitas dalam m em buat budaya. Baginya, mempelajari budaya haruslah sulit , sebagaim ana m em pelajar i bioscience yang j u ga su li t , kar en a i n i l ah yang j u st r u m enandakan bahw a hal t ersebut ber nilai. Penyed er h an aan o l eh cu lt u r al st u di es adalah jenis pat ronisasi yang m engurangi kem ampuan universit as unt uk mem ungkin-kan budaya dapat terjadi karena kehidupan kampus menjadi kehidupan sehari-hari yang secara virt ual tak berbudaya (Bow man 2003, 219-220).

Di si si yan g lai n , Ly n et t e Hu nt er ber pendapat bahw a cult ural st udies t idak m em iliki posisi, t eks, m aupun sejarah. Ia m enam bahkan, cult ur al st udies dangkal, sinis, t anpa isi, nar sis, m elankolis, pahit , t anpa pem aham an ret or is, dan ber bicara t ent ang penangguhan yang t ak ber ujung. Baginya, cult ural st udies merupakan tempat kem ana or ang- or ang per gi ket i ka t aku t terhadap m oral labour, komit men et is, dan hal-hal yang t idak bisa m er eka ar t ikulasi (Bow man 2003, 220).

(16)

Daftar Pustaka

Agger, Ben. Teori Sosial Krit is : Krit ik, Penerapan, dan implikasinya. Diterjemahkan oleh Nurhadi. Bant ul: Kreasi Wacana, 2013.

Barker, Chr is. Television, Globalizat ion, and Cult ural Ident it ies. Philadelphia : Open Universit y Press, 1999.

________. M aking Sense of Cult ural St udies : Cent ral Problems and crit ical Debates. London : SAGE Publicat ions, 2002.

________. The SAGE Dict ionary of Cult ural St udies. London : SAGE Publicat ions, 2004. ________. Cult ural St udies : Teor i dan Prakt ik. Dit er jem ahkan oleh Nur hadi. Bant ul : Kreasi Wacana, 2009.

Beam ish, Rob. ” Subcult ure”. Dalam The Concise Encyclopedia of Sociology, disunt ing oleh George Rit zer dan J. M ichael Ryan. Chichester : W iley-Blackw ell, 2011.

Bess, M ichael, Encyclopædia Brit annica Ult imate Reference Suite. Chicago :Encyclopædia Britannica, 2014.

Bow man, Paul. ”Against Cult ural St udies”. Dalam Interrogat ing Cult ural St udies : Theory, Polit ics and Pract ice, disunt ing oleh Paul Bow man. London: Plut o Press, 2003. Ferguson, M arjorie, dan Peter Golding. Cult ural St udies in Quest ions. London : SAGE

Publicat ions, 1997.

Fiske, John. ” Brit ish Cult ural St udies and Television”. Dalam What is Cult ural St udies ? : A Reader, disunt ing oleh John St orey. London : Arnold, 1996.

Frow, John, dan M eaghan M orris. ”Australian Cultural Studies”. Dalam What is Cultural Studies ? : A Reader, disunt ing oleh John St orey. London : Arnold, 1996.

Gay, Paul du, St uart Hall, Linda Janes, Hugh M ackay, dan Keith Negus. Doing Cultural St udies : The St ory of t he Sony Walkman. London : SAGE Publicat ions, 1997. Git lin, Todd. ” The Ant i-polit ical Populism of Cult ural St udies”.Dalam Cult ural St udies in Quest ions, disunt ing oleh M arjorie Ferguson dan Peter Golding. London : SAGE Publicat ions, 1997. Hall, St uar t . ” Cult ural St udies and It s Theoret ical Legacies”.Dalam The Cult ural St udies

Reader,disunt ing oleh Simon Dur ing. London : Rout ledge, 2001.

Johnson, Richard. ” What is Cult ural St udies Anyway” ? Dalam What is Cult ural St udies ? : A Reader, disunt ing oleh John St orey. London : Arnold, 1996.

dengan judul Cult ural St udies in Quest ion (1997). Dalam pendahuluannya , Golding dan Ferguson mengingat kan akan kegagalan dari cult ur al st udies unt uk m enangani secar a empiris perubahan st rukt ur mendalam pada sistem media, polit ik, dan ekonomi nasional maupun global karena m enghindari analisis sosial, ekonom i, dan kebijakan, ser t a lebih m em fokuskan dir i pada analisis konsum si (Ferguson dan Golding 1997, xiii-xiv; Kellner 2001, 404). Dalam buku yang sama, Todd Gitlin

(17)

Johnson, Richard, Deborah Chambers, Parvat i Raghuram, dan Estella Tincknell. The Pract ice of Cult ural St udies. London: SAGE Publicat ions, 2004.

Kellner, Douglas. “ Cult ural St udies and Social Theory: A Crit ical Intervent ion.” Dalam

Handbook of Social Theor y, disunt ing oleh Geor ge Rit zer dan Bar r y Sm ar t . London: SAGE Publicat ions, 2001.

________. “ The Frankfurt School and Brit ish Cult ural St udies: The M issed Art iculat ion “ Dalam Ret hinking The Frankfurt School: Alternat ive Legacies of Cult ural Crit ique, disunt ing oleh Jeffrey T. Nealon dan Caren Irr. Albany: State Universit y of New York Press, 2002.

________. “ Cult ural M ar xism and Br it ish Cult ural St udies.” Dalam Encyclopedia of Social Theory, disunt ing oleh George Rit zer. Thousand Oaks: SAGE Publicat ions, 2005.

Kivist o, Pet er. “ Par k, Rober t F. (1864–1944) and Burgess, Er nest W. (1886–1966).” Dalam The Concise Encyclopedia of Sociology, disunt ing oleh George Rit zer dan J. M ichael Ryan. Chichester: W iley-Blackw ell, 2011.

Long, Elizabet h. ” Cult ural St udies” . Dalam The Concise Encyclopedia of Sociology, disunt ing oleh George Rit zer dan J. M ichael Ryan. Chichester : W iley-Blackw ell, 2011.

M cGuigan, Jim. ” Cult ural St udies and t he New Populism ” . Dalam Encyclopedia of Social Theory, disunt ing oleh George Rit zer. Thousand Oaks : SAGE Publicat ions, 2005. M cPherson, M iller. ” Ecological Theory” . Dalam Encyclopedia of Social Theory, disunt ing

oleh George Rit zer. Thousand Oaks : SAGE Publicat ions, 2005.

M cRobbie, Angela. ” The Es and t he Ant i-Es : New Quest ions for Feminism and Cult ural St udies”. Dalam Cult ural St udies in Quest ions, disunt ing oleh M arjorie Ferguson dan Peter Golding. London: SAGE Publicat ions, 1997.

M ilner, Andrew. Re-Imagining Cult ural St udies : The Promise of Cult ural M aterialism. London : SAGE Publicat ions, 2002.

M orley, David. ” Theoret ical Ort hodoxies : Textualism, Construct ivism and t he ‘New Ethnography’ in Cult ural St udies”. Dalam Cult ural St udies in Quest ions, disunting oleh M arjorie Ferguson dan Peter Golding. London: SAGE Publicat ions, 1997.

Rit zer, George. Sociological Theory. Edisi Kedelapan. New York: M cGraw-Hill, 2011. Shepherd, M elinda C., Encyclopædia Britannica Online. Encyclopædia Britannica, Inc.,

2014.

St orey, John. Cult ural St udies and The St udy of Popular Cult ure : Theories and M et hods. Edinburgh : Edinburgh Universit y Press, 1996a.

________. ” Cult ural St udies : An Int roduct ion”. Dalam What is Cult ural St udies ? : A Reader, disunt ing oleh John St orey. London : Arnold, 1996b.

Referensi

Dokumen terkait

Batu Sisir - Bukit Arai Gedung A Pulau Sekatung Lt. Ranai

Hal ini diduga selain sensitifitas panelis yang berbeda-beda juga disebabkan oleh kemungkinan adanya penambahan gula yang tinggi yaitu bahan : gula berdasarkan berat segar

Pengujian sistem reaktor plasma lucutan pijar korona dilakukan pada proses peradiasian benih tanaman mangrove dengan membagi 6 kelompok sampel berbeda waktu peradiasian

Berat badan lahir adalah berat badan bayi yang ditimbang 24 jam pertama kelahiran. Semakin besar berat bayi yang dilahirkan meningkatkan risiko terjadinya ruptur perineum. Bayi

[r]

Selanjutnya/ ia mengusulkan/ untuk pengelolaan sungai/ harus tetap ramah lingkungan/ dan. melibatkan masyarakat/ sebagai pihak yang

[r]

mana guru merupakan orang tua kedua bagi siswa, maka dengan kemampuan dan pengalaman yang dimilikinya, guru pembina telah memberikan pengarahan dan motivasi yang cukup kepada