• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Kesenjangan Ekonomi dan Rapuhnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konflik Kesenjangan Ekonomi dan Rapuhnya"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Konflik, Kesenjangan Ekonomi, dan Rapuhnya Negara

FAJAR KURNIANTO

Indonesia adalah negara dengan ragam etnis yang begitu banyak hidup dan berkembang di dalamnya. Keragaman etnis yang jauh lebih dahulu ada sebelum berdirinya Republik Indonesia. Tidak mudah mengelola keragaman etnis ini tanpa pendekatan kultural.

Institusionalisasi model Orde Baru (Orba) yang sentralistis dan otoriter serta bersifat memaksa atas nama “pembangunan” dan “modernisasi” rupanya menciptakan bom waktu konflik yang terbukti kemudian meledak dan intensitasnya cenderung meningkat setelah rezim ini runtuh pada 1998.

Sejarah Indonesia mencatat, pada akhir 1990-an, Indonesia mengalami tataran konflik etnis yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Selama 1995-1996, terjadi kerusuhan di Situbondo, Tasikmalaya, dan belahan daerah Jawa lainnya, telah menelan banyak korban jiwa dan harta benda.

Tahun-tahun sesudahnya, antara 1997-2002, setidaknya 10.000 orang terbunuh dalam kekerasan etnis di seantero Nusantara. Pada 1996-1997 dan 2002, konflik terjadi di Kalimantan Tengah antara suku Dayak dan Madura yang menewaskan setidaknya 1.000 orang. Di Maluku, yang berawal pada Januari 1999, 5.000 jiwa melayang dalam suatu perang antarwarga.

Di Timor Timur, kira-kira 1.000 orang terbunuh dan 200.000 orang kehilangan rumah dalam kekerasan terhadap warga sipil menyusul referendum pada Agustus 1999. Di Aceh, konflik baru antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan angkatan bersenjata Indonesia berawal pada 1999 dan meningkat pada tahun-tahun berikutnya.

Setidaknya, 1.800 orang terbunuh pada 2000-2001. Di Irian Jaya (Papua), munculnya gerakan sipil menuntut kemerdekaan pada 1999 dan 2000 menyebabkan sejumlah nyawa melayang dalam bentrokan dengan angkatan bersenjata Indonesia.

(2)

Konflik etnis di Kalimantan (Sampit) juga relatif usai, meski potensi konflik masih ada. Demikian juga konflik di Maluku (Poso dan Ambon), meski percik-percik konflik masih ada dan mudah tersulut. Konflik di Papua hingga hari ini juga belum usai. Penembakan terhadap aparat dan warga oleh anggota OPM (Organisasi Papua Merdeka) kerap terjadi.

Dalam analisis Jacques Bertrand, Guru Besar Politik di Universitas Toronto, Kanada, dalam bukunya, Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia (Ombak, 2012), berbagai konflik yang terjadi secara umum di Indonesia itu ada kaitannya dengan model kebangsaan (nasionalisme) Indonesia dan pelembagaannya selama masa Orba.

Akhir 1990-an, menurut Bertrand, merupakan suatu titik simpang kritis dalam sejarah pasca-kemerdekaan Indonesia, di mana transformasi kelembagaan telah membuka saluran-saluran guna merundingkan kembali unsur-unsur model kebangsaan; arti penting relatif dari pemerintah pusat dan daerah, akses dan representasi kelompok-kelompok etnis dalam lembaga-lembaga negara, serta definisi dan makna bangsa Indonesia.

Dalam hal ekonomi, di bawah Soeharto, kata Bertrand, “pembangunan” dan “modern” merupakan kredo sentral rezim. Tujuan pembangunan adalah untuk menciptakan sebuah bangsa yang “modern”. Banyak kelompok di tempat-tempat seperti Irian Jaya dan Kalimantan dikucilkan sebagai “terbelakang” dan secara de facto dikeluarkan dari bangsa Indonesia karena gaya hidup “tradisional” mereka.

Kebijakan-kebijakan pemerintah, tekanan birokrasi, dan intimidasi militer dirancang guna memaksakan perubahan. Inilah yang membuat orang Kalimantan, misalnya tersingkirkan dan terpinggirkan. Demikian pula orang Irian Jaya. Mereka bagian dari negara Indonesia, tapi seperti tamu asing di rumah sendiri.

Penguatan Negara

Sejarah konflik di Indonesia tadi mestinya menjadi perhatian serius pemerintah reformasi saat ini untuk mengantisipasi konflik-konflik serupa di tempat-tempat lain.

(3)

Saluran-saluran untuk masyarakat memang sudah dibuka, tetapi sering kali suara-suara masyarakat terabaikan. Akhirnya, persoalan masyarakat pun diselesaikan oleh masyarakat, dengan caranya sendiri.

Ironisnya, model penyelesaian masyarakat kerap kali juga mengabaikan kearifan lokal yang bertumpu pada musyawarah atau dialog. Peran tokoh masyarakat atau tokoh agama lokal juga tidak begitu terlihat. Beberapa di antara mereka malah tidak jarang menjadi bagian dari pemicu dan pembiaran konflik.

Ini ditambah lagi dengan berbagai kepentingan ekonomi dan politik elite-elite kekuasaan yang mendulang untung dari konflik.

Konflik Lampung baru-baru ini santernya terjadi karena adanya kesenjangan atau adanya ketidakadilan ekonomi antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang. Ada semacam kecemburuan sosial yang menjadi pemantik. Ini jelas makin menggambarkan rapuhnya negara menciptakan keadilan dan mengelola ekonomi akar rumput.

Donald Horowitz dalam bukunya, The Deadly Ethnic Riot menjelaskan, ada timbal balik antara pemicu dan keadaan lingkungan yang mendukung penggunaan kekerasan. Meskipun kondisi dasar mungkin tidak memiliki kondisi hal yang kondusif bagi kekacauan, bisa jadi pemicunya mempunyai hal yang provokatif.

Timbal balik antara pemicu dan kondisi dasar ini akan mempertinggi ketidaktertebakan kerusuhan. Kerusuhan yang terjadi di Lampung, juga di tempat-tempat lain, selalu punya latar yang mendukung terjadinya kerusuhan, yang bisa diletupkan oleh provokasi-provokasi tertentu.

Menyelesaikan akar persoalan konflik, yakni masalah kesenjangan ekonomi, akan menjadi garansi negara di masa depan dalam mencegah konflik-konflik baru terjadi.

Referensi

Dokumen terkait

Lampiran 4.Data Pengamatan Parameter Rataan N total tanah pada perlakuan TKKS dan jumlah lubang biopori.. Perlakuan Blok Total

karena dalam mempelajari bahasa Arab akan mengalami berbagai problematika yang harus.. dihadapi, baik dari segi linguistiknya (tata bunyi, kosa kata,

Dalam suatu proses pengeringan, dikenal adanya suatu laju pengeringan yang dibedakan menjadi dua tahap utama, yaitu laju pengeringan konstan dan laju pengeringan

Menurut pendapat kami, laporan keuangan yang kami sebut di atas menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan PT Bank Syariah Mandiri tanggal 31 Desem ber

a) Berita, yaitu laporan peristiwa yang bernilai jurnalistik atau memiliki nilai berita antara lain aktual, faktual, penting, dan menarik yang dibuat oleh wartawan. Berita

a) Faktor dari dalam ( intrinsik ) yaitu berarti bahwa suatu perbuatan memang diinginkan karena seseorang senang melakukannya. Disini minat datang dari dalam orang itu sendiri.

Metode system evaluasi adalah system gugur, terlepas bahwa alat yang diajukan adalah sesuai kebutuhan user, tetapi hal ini jadi bertentangan dengan Perpres 54 dan 70, bahwa