• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potret Kecemasan Penumpang Pesawat Terba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Potret Kecemasan Penumpang Pesawat Terba"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

POTRET KECEMASAN PENUMPANG PESAWAT TERBANG

DALAM CERPEN “TERBANG” KARYA AYU UTAMI:

KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Mata Kuliah Perkembangan Ilmu Sastra

Disusun oleh Achmad Muchtar 12/335233/SA/16701

JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

(2)

POTRET KECEMASAN PENUMPANG PESAWAT TERBANG DALAM CERPEN “TERBANG” KARYA AYU UTAMI:

KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Achmad Muchtar

A. Pengantar

Di penghujung tahun 2014, dunia penerbangan di Indonesia mengalami musibah. Pada 28 Desember 2014, pesawat Air Asia dengan nomor penerbangan QZ8501/AWQ8501 dinyatakan menghilang pada saat terbang dari Surabaya, Indonesia menuju Singapura dengan membawa 155 penumpang dan 7 orang kru. Beberapa hari kemudian, serpihan-serpihan badan pesawat dan mayat-mayat para korban ditemukan di selat Karimata. Hal tersebut mengingatkan betapa seringnya kecelakaan pesawat yang terjadi. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di luar negeri, seperti, yang baru-baru ini, pesawat Malaysia Airlines MH 370 yang jatuh di Samudera Hindia pada Maret 2014 atau juga pesawat Malaysia Airlines MH17 yang ditembak jatuh saat melintasi wilayah konflik perang di Ukraina pada Juli 2014.

(3)

sosial dan budaya, sastra telah menjadi cermin dari berbagai peristiwa yang terjadi pada masa, masyarakat, dan kondisi sosial dan budaya tertentu. Sastra merupakan karya yang lahir dari masyarakat, maka dari itu pastinya karya sastra merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat (Wellek dan Warren, 1995:109).

(4)

“Terbang” adalah cerpen karya Ayu Utami yang kali pertama dipublikasikan di harian Kompas pada 20 April 2008. Cerpen tersebut dimuat kembali dalam buku kumpulan cerpen Kompas berjudul Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Terbang” sangat menarik untuk dianalisis menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Ian Watt, di mana telaah karya sastranya mencakup tiga hal, yaitu konteks sosial Ayu Utami sebagai pengarang, cerpen tersebut sebagai cerminan kondisi sosial masyarakat, dan fungsi sosial cerpen tersebut. Telaah ini sangat berguna, mengingat untuk memahami karya sastra, pembaca harus tahu lingkungan sosial yang melingkupinya. Penelitian ini tidak hanya ingin menjawab pertanyaan apakah benar cerpen “Terbang” mencerminkan kondisi sosial tertentu, tetapi juga bagaimana hubungan timbal balik antara karya sastra, pengarang, dan masyarakatnya.

B. Konteks Sosial Ayu Utami

Ayu Utami yang mempunyai nama lengkap Justina Ayu Utami lahir di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Ia dikenal sebagai aktivis jurnalis dan novelis Indonesia. Ia besar di Jakarta dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia pernah menjadi wartawan di majalah Humor,

Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo,

(5)

Independen yang memprotes pembredelan. Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu. Novelnya yang pertama, Saman, mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia.

Ayu dikenal sebagai novelis sejak novelnya Saman memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Dalam waktu tiga tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar. Berkat Saman pula, Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan.1

Cerpen “Terbang” selesai ditulis pada 13 Maret 2008. Dapat diasumsikan bahwa pada saat cerpen tersebut ditulis, pengarang telah merasakan gejala sosial mengenai kecemasan-kecemasan pada masyarakat di tengah-tengah berita mengenai kecelakaan pesawat terbang. Kecelakaan pesawat terbang yang menjadi acuan bagi Utami tentu saja yang terjadi sebelum Maret 2008, seperti pada tahun sebelumnya, yaitu pesawat Adam Air Penerbangan 574 dari Jakarta—Manado via Surabaya jatuh di Selat Makassar, Mandala Airlines Penerbangan 660 tujuan Jakarta—Makassar—Ambon terpaksa kembali ke Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, atau Garuda Indonesia dengan penerbangan GA-200 jurusan Jakarta—Yogyakarta yang

1

(6)

meledak ketika terperosok saat melakukan pendaratan di Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta.

C. Cerpen “Terbang” sebagai Cerminan dari Kecemasan Calon Penumpang Pesawat Terbang pada Tahun 2007

Pada pembukaan cerpen, Utami telah menegaskan bahwa cerpen “Terbang” menceritakan tentang kecemasan calon penumpang pesawat terbang. Ari, tokoh aku, cemas jika ia dan suaminya, Jati, terbang bersama. Ia cemas jika pesawat yang akan menerbangkan mereka mengalami kecelakaan dan imbasnya, anak-anaknya bakal menjadi yatim piatu.

Aku yang ngotot agar kami terbang terpisah. Kubatalkan satu tiket yang telah dipesan suamiku. Tiket murah pula, sehingga aku harus membayar besar untuk perubahan jadwal. Tapi, biar saja. Aku merasa lebih aman begini. Terbang terpisah darinya (Utami, 2009:51).

Kecemasan-kecemasan tokoh Ari disebabkan oleh beberapa peristiwa kecelakaan pesawat terbang yang terjadi sebelumnya. Ari tetap bersikukuh pada pendiriannya daripada mempercayai omongan Jati berikut.

Statistik mengatakan, moda transportasi pembunuh paling besar adalah lalu lintas darat. Begitu katanya. Kecelakaan maut motor lebih banyak daripada kecelakaan pesawat. Itu statistik (Utami, 2009:52).

(7)

pengarang cerita fiksi ini juga berlandaskan pada beberapa peristiwa kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di dunia nyata.

Tahun 2007, beberapa kecelakaan pesawat terbang terjadi di Indonesia, di antaranya adalah sebagai berikut. Di awal tahun, pesawat Adam Air penerbangan 574 jurusan Surabaya—Manado, hilang kontak. Pesawat ini seharusnya mendarat di Bandara Sam Ratulangi, Manado pada Senin, 1 Januari pukul 14.55 Waktu Indonesia Tengah (WITA).2 Kotak hitam ditemukan di kedalaman 2000 meter pada 28 Agustus 2007. Seluruh penumpang dan awak yang berjumlah 102 hilang dan dianggap tewas. Pada 25 Maret 2008, penyebab kecelakaan seperti yang diumumkan oleh Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) adalah cuaca buruk, kerusakan pada alat bantu navigasi Inertial Reference System (IRS), dan kegagalan kinerja pilot dalam menghadapi situasi darurat.3 Kecelakaan ini membuat masyarakat pada waktu itu mulai mempertimbangkan jika bepergian memakai pesawat terbang.

Lalu, dalam bulan yang sama, yaitu pada 17 Januari 2007, Mandala Airlines Penerbangan 660 tujuan Jakarta—Makassar—Ambon terpaksa

2

http://news.liputan6.com/read/135095/pesawat-adam-air-hilang-kontak, diakses pada 5 Januari 2015 pukul 22.35 WIB.

3

(8)

kembali ke Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng. Pesawat ini sempat mengudara 30 menit namun kemudian diketahui mengalami kerusakan roda.4

Dua bulan setelahnya, yaitu pada 7 Maret 2007, Garuda Indonesia Penerbangan GA-200 jurusan Jakarta—Yogyakarta meledak ketika terperosok saat melakukan pendaratan di Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta. Pesawat ini membawa 133 penumpang, 1 pilot, 1 copilot, dan 5 awak kabin. Jumlah korban tewas adalah 22 orang (21 penumpang dan 1 awak pesawat). Beberapa tokoh Indonesia juga ikut dalam penerbangan ini antara lain, Ketua Umum PP Muhammadiyah Dien Syamsuddin (luka ringan), kriminolog Adrianus Meliala (luka), dan mantan rektor UGM Yogyakarta, Prof Dr. Koesnadi Hardjasoemantri (meninggal). Pesawat tersebut juga membawa 19 warga negara asing antara lain dari Jepang, Brunei Darussalam dan 8 orang warga Australia yang merupakan rombongan jurnalis yang akan meliput kunjungan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer di Yogyakarta. Saksi mata mengatakan api dipicu dari meledaknya ban depan saat mendarat sehingga menjalar ke badan pesawat. Dilaporkan pula bahwa badan pesawat terbelah memanjang dari bagian kabin hingga ekor pesawat, sementara salah satu sayap pesawat pecah dan terbelah.5

4Ibid

.

5Ibid

(9)

Ketiga peristiwa mengenai kecelakaan pesawat terbang tersebut menjadi pemicu terciptanya cerpen “Terbang” karya Utami. Hal tersebut terbukti melalui kutipan cerpen berikut ini.

Statistik juga bilang, kalau kepalamu ditaruh di kompor dan kakimu dibekukan di freezer, suhu tubuh di perutmu normal. Bantahku. Bagaimana kita mau mengabaikan fakta: Adam Air terbang tanpa alat navigasi. Adam Air jeblug di laut. Mandala jatuh waktu lepas landas. Garuda meledak ketika mendarat. Semua terjadi dalam satu tahun (Utami, 2009:52)!

Pada kutipan di atas, Utami menuliskan frasa satu tahun yang artinya adalah kecelakaan pesawat Adam Air, Mandala, dan Garuda terjadi dalam satu tahun. Ketiga kecelakaan yang dimaksud adalah ketiga peristiwa yang telah diuraikan di atas, yaitu kecelakaan pesawat Adam Air nomor penerbangan 574, kecelakaan penerbangan pesawat Mandala Airlines Penerbangan 660, dan kecelakaan pesawat Garuda Indonesia Penerbangan GA-200.

D. Fungsi Sosial Cerpen “Terbang”

(10)

Utami memberikan humor-humor segar dalam bentuk narasi tokoh Ari. Perjumpaannya dengan tokoh baru yang merupakan penumpang pesawat terbang membuat cerita yang awalnya dramatis dan membuat tegang tiba-tiba lucu dan agak romantis. Lalu, menuju ending, suasana cerita menjadi tegang. Namun, pada akhirnya pembaca akan bernapas lega karena kedua tokoh tersebut selamat. Pada penyelesaian, pembaca disuruh berspekulasi atau menginterpretasikan sendiri kelanjutan ceritanya, apakah Ari bakal merindukan penumpang tersebut atau tidak.

Melalui cerpen ini, Utami mencoba menyuarakan perasaannya jika diposisikan sebagai keluarga korban atau calon penumpang yang dihantui rasa cemas akibat berita-berita tentang kecelakaan pesawat terbang. Melalui cerpen ini, Utami berhasil menyuarakan kondisi sosial masyarakat yang dilanda rasa cemas sebagai calon penumpang pesawat terbang, yang diwakilkan melalui tokoh Ari.

Cerpen tersebut juga menyuarakan bagaimana masyarakat harus mempertimabngkan keselamatan bagi diri dan keluarganya. Melaui cerpen ini juga, Utami mencoba memusnahkan kecemasan-kecemasan terrsebut lewat pemikiran Ari, bahwa maut akan tiba jika sudah saatnya tiba. Bukan berarti jika naik pesawat terbang lantas harus berserah diri untuk mati.

(11)

kecelakaan pesawat terbang, membuat cerpen ini tidak akan basi, bahkan jika dibaca bertahun-tahun kemudian pun cerpen ini masih layak dinikmati.

E. Penutup

Cerpen “Terbang” karya Ayu Utami adalah cerminan masyarakat korban kecelakaan pesawat terbang, calon penumpang pesawat terbang, dan bahkan pembaca berita kecelakaan pesawat terbang. Mereka diwakilkan melalui tokoh Ari. Cerpen tersebut merefleksikan peristiwa-peristiwa kecelakaan pesawat terbang yang terjadi sebelum penciptaan karya tersebut, yaitu kecelakaan-kecelakaan pesawat terbang sepanjang tahun 2007, khususnya tiga peristiwa kecelakaan, yaitu kecelakaan pesawat Adam Air nomor penerbangan 574, kecelakaan penerbangan pesawat Mandala Airlines Penerbangan 660, dan kecelakaan pesawat Garuda Indonesia Penerbangan GA-200.

Dari hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan hubungan timbal balik antara karya sastra, pengarang, dan masyarakat, yaitu Utami sebagai anggota masyarakat merasakan kondisi sosial itu. Kondisi sosial yang demikian itu menjadi inspirasi bagi Utami yang juga merupakan pengarang. Hasil tulisan tersebut akan sampai ke pembaca yang untuk kemudian akan memberi efek bagi kondisi sosialnya.

(12)

tersebut adalah salah satu cerpen terbaik yang pernah dihasilkan oleh Utami. Tak salah jika cerpen tersebut dimua di harian Kompas dan terpilih sebagai salah satu di antara lima belas cerpen yang tergabung dalam antologi cerpen

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Utami, Ayu. 2009. “Terbang” dalam Pambudy, Ninuk Mardiana (peny.). 2009.

Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan (Terjemahan Melani Budianta). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

DAFTAR LAMAN

http://id.wikipedia.org/wiki/Ayu_Utami, diakses pada 5 Januari 2015 pukul 22.30 WIB.

(14)

TERBANG

Cerpen Ayu Utami (Kompas, 20 April 2008)

Untuk Bona dan Weni

AKU yang ngotot agar kami terbang terpisah. Kubatalkan satu tiket yang telah dipesan suamiku. Tiket murah pula, sehingga aku harus membayar besar untuk perubahan jadwal. Tapi, biar saja. Aku merasa lebih aman begini. Terbang terpisah darinya.

Kamu terlalu dramatis, Ari. Katanya.

………Tidak. Aku ini sangat realistis, Jati. Bantahku.

Sejak dua anak kami sudah bisa tidak ikut dalam perjalanan, sejak kami telah bisa meninggalkan mereka di rumah, aku memutuskan untuk tak akan terbang bersama suami dalam satu pesawat lagi. Atau terbang pada waktu bersamaan. Salah satu di antara kami harus terbang lebih dulu. Setelah pesawatnya dipastikan mendarat dengan selamat, barulah yang lain boleh berangkat. Ini keputusanku yang harus dilaksanakan. Jika suamiku menelikung tidak menurut—seperti kemarin ia mengurus tiket kami—ia akan tahu rasa. Aku membatalkan tiketku dan memesan sendiri.

Statistik mengatakan, moda transportasi pembunuh paling besar adalah lalu lintas darat. Begitu katanya. Kecelakaan maut motor lebih banyak daripada kecelakaan pesawat. Itu statistik.

Statistik juga bilang, kalau kepalamu ditaruh di kompor dan kakimu dibekukan di freezer, suhu tubuh di perutmu normal. Bantahku. Bagaimana kita mau mengabaikan fakta: Adam Air terbang tanpa alat navigasi. Adam Air jeblug di laut. Mandala jatuh waktu lepas landas. Garuda meledak ketika mendarat. Semua terjadi dalam satu tahun!

(15)

takdir. Karena itulah, daripada dua-dua dari kita kena takdir, lebih baik salah satu saja. Paling tidak, dengan begitu anak kita tidak jadi yatim piatu.

Tak ada lagi cerita terbang bersama atau bersamaan. Titik.

Aku mengunci gesper sabuk pengaman. Mesin pesawat propeler sudah menyala. Derunya seperti makhluk hidup terkena bronkitis, penyakit yang sudah lama tidak disebut-sebut di negeri ini. Kini orang lebih mengenal infeksi saluran pernapasan atas alias ISPA. Kira-kira begitu aku merasa derau mesin baling-baling ini. Setiap saat bisa batuk darah. Lalu kolaps. Aku memandang ke bandara yang kecil, yang lebih pantas disebut rumah besar ketimbang pelabuhan. Suamiku tampak di sana, berdiri kacak pinggang, menunggu saat melambai hingga pesawat lenyap di udara, di atas gunung-gunung yang berkeliling.

Aku menelan ludah. Terbang adalah menyetorkan nyawa kepada perusahaan angkutan umum. Kita bisa mengambilnya kembali. Bisa juga tidak. Dan tak ada rente. Kalau untung, hanya ada tiba dengan selamat.

Aku sesungguhnya sangat takut. Penyiksaan akan berlangsung tujuh jam, termasuk transit dan ganti pesawat. Tapi selalu ada cara untuk survive. Kusetorkan diriku yang cemas, yang bertanggung jawab, yang berkeringat dingin membayangkan anak-anakku kehilangan ibu yang menghangatkan mereka dalam sayap-sayapku, yang menitikkan air mata atas jerih payah suami bagi kami. Kusetorkan diriku yang itu bersama jiwaku ke kotak hitam di kokpit. Jati, kalau ada apa-apa denganku, aku yang kamu miliki ada di kotak hitam itu, ya.

Yang duduk di kursi sekarang adalah aku yang lain. Aku yang kuat untuk menghadapi kengerian. Yaitu, aku yang tak bertanggung jawab. Aku yang tak memiliki suami ataupun anak-anak. Aku yang lajang petualang.

(16)

lalu mengalihkan pandangan ke jendela. Pesawat mulai bergerak. Jati melambai di bawah sana. Aku membalas. Selamat tinggal!

Kira-kira dia adalah seorang peneliti. Seorang peneliti lapangan. Seorang peneliti yang biasa di alam bebas. Di hutan. Bukan di lab. Di goa. Di padang rumput berpasir. Ia mengenakan kaca mata. Perawakannya keras. Otot kedang tangannya tegas. Urat- urat pada lengannya mencuat. Itulah yang dapat terlihat jika aku tak mau jelas-jelas menoleh kepadanya. Pada ransel yang diletakkan di bawah kursi depan, tersangkut botol minum aluminium SIGG. Dengan stiker “kurangi plastik”. Ia mengenakan sepatu gunung Eiger.

Ataukah dia orang film. Film dokumenter lingkungan. Ah, aku tak bisa melihat lipatan perutnya, meskipun ia mengenakan T-shirt kelabu yang dimasukkan di balik kemeja korduroi hitam yang terbuka. Ia pasti memiliki six-pac yang lumayan. Dari kulit jemarinya, kira-kira ia empat puluhan.

Sebetulnya, sudah lama aku tak ingin ngobrol dengan orang seperjalanan. Sia-sia. Lebih baik baca buku daripada menghabiskan waktu dengan makhluk yang tak memberi kita pengetahuan dan tak akan kita ingat lagi. Setidaknya, buku menambah isi kepala. Manusia sering-sering cuma menghabiskan urat kepala.

Kukeluarkan buku. Kuletakkan di pangkuan, sebab aku sulit membaca ketika lepas landas dan lampu tanda kenakan sabuk belum mati. Java Man. Garniss Curtis, Carl Swisher & Roger Lewin. Aku ingin memejamkan mata dan berdoa, tapi kulihat lelaki di sebelahku bergerak. Gerakan mencontek judul buku, kutahu dengan sudut mataku. Ah, tebakanku takkan jauh. Ia orang lapangan, bergerak di sekitar soal lingkungan.

(17)

Ia memiliki wajah lelaki baik. Lelaki baik adalah lelaki yang tidak tengil atau sesumbar, tidak sok tahu atau menggurui. Meski tidak berarti lelaki baik-baik. Lelaki baik-baik, yaitu yang setia kepada keluarga, bisa saja sangat menyebalkan dan suka membual demi menegakkan citra kepala keluarga. Lelaki baik adalah lelaki yang menyenangkan untuk diajak ngobrol bersama, meski belum tentu baik untuk hidup bersama.

Nah! Ia tertangkap basah sedang mencontek!

Aku tersenyum padanya. Toh tadi juga kami sudah saling mengangguk. “Sudah pernah baca?” tanyaku.

“Boleh lihat?”

Dan tentu saja kami jadi bercakap-cakap. Ia memang lelaki baik. Kebanyakan lelaki punya beban untuk tampak lebih tahu dari perempuan. Tapi dia tidak. Dia banyak bertanya tentang duniaku. (Kebanyakan lelaki lebih suka menjawab tentang diri sendiri. Jika kita tidak bertanya, mereka akan membikin pertanyaannya sendiri dan menjawab sendiri.) Dari cara bertanyanya, ia mirip wartawan dari koran atau majalah yang baik pula. Jadi, apa kerjanya?

“Macam-macam sudah saya coba,” katanya. “Saya pernah kerja di pertambangan. Saya pernah kerja di kapal.”

“Di kapal?”

“Di kapal, jadi juru masak, jadi fotografer….” “Jadi juru masak?”

“Iya. Jadi juru masak di kapal. Jadi fotografer di kapal….”

Tak bisa tidak aku menyimak dia dari rambut ke sepatu, mencari jejak-jejak pekerjaan itu. Ia memiliki gestur yang rendah hati. Barangkali ia lebih pekerja badan ketimbang peneliti.

“Jadi penjahit juga pernah. Beternak ayam juga pernah. Mencoba kebun kelapa sawit kecil-kecilan pernah juga….”

(18)

“Jadi, kenapa ayam-ayam negeri itu bisa bertelur tanpa dijantani? Ayam kampung tidak begitu, kan?” tanyaku, juga tulus, tapi juga mengetes.

Ia kelihatan senang dengan kata itu. Dijantani. “Sesungguhnya, buat saya itu juga misterius.”

Ia tidak memberi aku jawaban yang memuaskan. Tapi ia menceritakan rincian pengalaman yang membuat aku percaya bahwa ia tidak berbohong. Ia tidak mengaku-ngaku peternak ayam, berkebun kelapa sawit, juru masak, fotografer. Jadi, apa yang dikerjakannya di kepulauan Indonesia timur ini? Memotret perburuan ikan paus?

Tebakanku tidak terlalu meleset.

“Memotret. Tapi bukan ikan paus. Biar orang lain saja yang mengerjakan itu. Saya… tidaklah saya motret binatang dibunuh.”

Oh, berhati haluskan dia. “Jadi motret apa?”

“Saya,” ia berdehem, “saya mencari sebanyak-banyaknya orang pendek. Orang katai. Saya potret mereka. Pernah dengar tentang Manusia Liang Bua?”

“Untuk siapa? Untuk proyek sendiri?” “Untuk satu majalah luar negeri.”

Lalu ia bercerita betapa sarjana asing senang mencari jejak manusia purba di Indonesia. Persis yang saya baca di buku ini, sahutku. Dan kami tenggelam sejenak dalam halaman-halaman dan referensi yang sempat diingat. Tangan kami tanpa sengaja bersentuhan ketika menelusuri spekulasi yang terdedah, lembar demi lembar. Dan pada lembar-lembar berikutnya aku tak tahu apakah persentuhan itu tetap tak sengaja.

(19)

Aku memerhatikan dia. Ah, itukah yang membuat wajahnya tampak tulus seperti hewan?

Penerbangan berganti di Surabaya. Mendung menggantung. “Sekarang semua fotografer pakai digital, ya?”

“Kalau dari segi kualitas, film tetap lebih sensitif. Tapi, dari segi kepraktisan, digital memang tak terkalahkan.”

“Saya tidak suka teknologi. Teknologi membuat yang tua tidak dihargai. Semua barang elektronik cepat jadi tua dan tak berguna. Tidak adil.”

Kenapa kukeluhkan ini? Adakah diriku yang cemas dan menyadari bahwa aku tak terlalu muda lagi untuk bergenit-genit dengan lelaki?

“Kenapa,” kataku agak grogi, mencari tema baru. “kenapa kamera digital semakin tahun semakin biru pucat gambarnya?” Tapi ini bukan tema baru. Ini tema yang sama. Tentang kecemasan menjadi tua.

“Itu jeleknya kamera digital. Setiap kamera digital memang hanya untuk memotret sejumlah kali tertentu. Setelah sekian kali, kemampuannya turun sama sekali. Biasanya, sekitar seratus ribu kali. Sebetulnya, itu tertulis di buku keterangan. Tapi tidak ada yang mau baca.”

“Jadi, setiap kamera digital lahir dengan kapasitas sekitar seratus ribu kali memotret?”

“Iya. Tertulis. Cuma orang enggak mau baca.”

“Ada yang bilang, setiap lelaki juga begitu. Lahir dengan sejumlah tertentu kapasitas orgasme.”

Ia diam sebentar. Lalu tawanya meledak.

“Kalau jumlah itu sudah terlewati, berarti jatahnya habis,” kataku lagi.

(20)

Kutemukan ia menatapku lebih lama. Dan lebih dalam. Kubalas ia sebentar. Setelah itu aku merasa wajahku hangat. Kubu- ang pandangan ke jendela. Aku lebih muda dari dia. Tapi tetap aku tak muda lagi. Dan aku beranak dua. Meskipun diriku yang bertanggung jawab telah kutitipkan bersama nyawaku di kotak hitam.

Aku ingin bertanya padanya. Jatahmu sudah diboroskan belum?

Pesawat melonjak. Bagai ada lubang besar di jalanannya. Lampu tanda kenakan sabuk pengaman menyala. Aku merasa berayun ke kiri ke kanan. Seperti dalam bis malam yang mencicit di jalan licin berbatu. Aku mencoba tidak mencengkeram dahan kursi. Tapi keringat dinginku merembes sedikit di dahi.

Tiba-tiba ia menangkupkan tangannya pada tanganku di tangkai kursi. Seperti seorang suami. Kalau ada apa-apa, kita mengalaminya bersama-sama.

Aku memejamkan mata. Aku tak tahu, apakah dalam sisa perjalanan aku bersandar di bahunya.

Tapi, pesawat mendarat juga di Soekarno-Hatta. Ia membantuku mengemasi bagasi.

Aku telah di tanah lagi. Aku harus pergi ke kokpit mengambil kembali nyawa dan diriku dari kotak hitam. Nyawa dan diriku yang lebih peka dan penakut ketimbang yang duduk tadi. Ingin rasanya aku meminta lelaki berwajah baik itu menemaniku terus sampai sepotong jiwaku bergabung kembali. Sepotong yang dibawa Jati….

Referensi

Dokumen terkait

Memproses penjadwalan, yaitu dosen yang menginput data terlebih dahulu akan dijadwalkan terlebih dahulu untuk mengajar sesuai SKS yang boleh diajarkan berdasarkan jabatan dan

Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal

8 Vegetasi dilakukan dengan 2 metode yaitu observasi atau pengamatan jenis-jenis tumbuhan pada tiap penggunaan jenis lahan di Desa Kebondowo dan metode analisis

Jarak antar elemen bangunan structural atau komponen bangunan structural harus modular harus disesuiakan dengan ketentuan yang tercantum dalam SNI-1963- 1990-F tentang cara Tata

(Sumber: www.duniainrta.com).. Perlawanan masyarakat Lampung justru semakin luas dan kuat. Perlawanan yang terus dilancarkan semakin tidak bias dibendung oleh

Untuk tumbuhnya partisipasi sebagai suatu tindakan yang nyata, diperlukan tiga persyaratan yang menyangkut hal-ha1 sebagai berikut; ( I ) adanya kemauan untuk berpartisipasi,

f) jumlah kompensasi dari pihak ketiga untuk Aset Tetap yang mengalami penurunan nilai, hilang, atau dihentikan yang dimasukkan dalam laba rugi, apabila tidak diungkapkan

Pada Gambar 3 menunjukkan gambaran dari konsep visual. Iklan yang terbentuk nantinya berupa serangkaian video dan gambar. Output yang dihasilkan ada 26 gambar