PAPUA SEBAGAI TAPAL BATAS PENYEBARAN ISLAM: PENYEBARAN DAKWAH DI ‘HUTAN’
DAN MULTIPLISITAS HIRARKI SPATIO-TEMPORAL* Martin Slama
Tulisan ini mengulas Papua yang merupakan wilayah pertemuan tapal batas dua
negara, tempat dilakukannya misi peradaban, bertemunya kapitalisme pemangsa
(predatory capitalism) serta konflik kekerasan, dan juga merupakan wilayah yang mana
masyarakatnya dicitrakan seperti masih hidup di jaman batu, primitif, kurang beradab,
serta berbagai anggapan lainnya yang sering disangkut pautkan kepada mereka. Para ahli
antropologi di Indonesia telah menulis berbagai catatan yang sangat beragam dari
daerah-daerah tapal batas termasuk teorisasi yang amat penting dari konsep tersebut (misalnya,
yang ditulis dalam Li 1999; Rutherford 2003; Tsing 2005). Pada Bab ini, kita akan
membahas mengenai keterlibatan pendekatan-pendekatan yang telah disebutkan
sebelumnya dengan memahami Papua tidak hanya sebagai tapal batas dalam arti yang telah
dibahas dalam literatur sejauh ini, tetapi juga dengan mengeksplorasi adat kesopanan dari
perspektif-perspektif non-Barat. Sedangkan menurut Engseng Ho (2004) dalam sebuah karya semi investigasi „kerajaan melalui mata para diaspora‟ dan mengungkapkan paralelisme sejarah yang menarik antara kerajaan kolonial Eropa di Samudera Hindia dan
kekuasaan global Amerika Serikat saat ini, pada bab ini kita akan mengambil perspektif
diaspora di tapal batas Papua - Mata diaspora milik Muslim Papua dengan sejarah
trans-regional tertentu. Seperti dalam kasus yang dijelaskan oleh Ho (2004), diaspora yang
dimaksud dibentuk oleh Muslim keturunan Arab yang berasal dari Hadhramaut, wilayah
tenggara Republik Yaman saat ini, yang mana mereka telah menyeberangi perairan
Samudera Hindia dan Kepulauan Indonesia sejak jaman Abad Pertengahan (Freitag dan
Clarence-Smith 1997; Jonge dan Kaptain 2002; Ho 2006). Didorong oleh pembukaan
Terusan Suez dan munculnya pengiriman melalui kapal uap, migrasi mereka ke Indonesia
mencapai puncaknya dari pertengahan abad kesembilan belas hingga pertengahan abad
ke-20. Angka migrasi tersebut secara substansial menurun setelah kemerdekaan Indonesia
karena adanya kebijakan nasional dan ketidakpastian ekonomi pada periode pasca-kolonial
awal. Saat ini, para Hadhrami (penduduk yang berasal dari wilayah Hadhramaut)
* Tulisan ini aslinya berjudul “Papua as an Islamic Frontier: Preaching in „the Jungle‟ and the Multiplicity of
membentuk komunitas yang beragam di Indonesia, selain itu mereka juga terlibat secara
khusus dalam perdagangan dan dakwah Islam yang tidak hanya dilakukan di kota-kota
tetapi juga di daerah pinggiran (Slama 2011), termasuk di Papua.
Dengan menyelidiki berbagai macam keterlibatan Islam dan kapitalisme di wilayah
pinggiran negara-negara Melayu, Joel Kahn (2012: 26) menegaskan bahwa: „(Daerah) itu berada di zona “tapal batas” komersial yang dinamis yang mana saudagar, pedagang, pengusaha, pengrajin dan penjual hasil bumi yang Muslim di satu sisi (merupakan); orang
suci, guru agama, dan misionaris yang di sisi lain - telah memainkan peran yang sangat signifikan, aktif dan konstruktif sejak awal era modern. „Para Hadhrami mencontohkan Muslim yang dimaksud oleh Kahn, terutama yang berkaitan dengan peran mereka di Indonesia bagian timur di mana mereka berhasil menjadi „pemain‟ yang gigih dalam memainkan peran pada struktur kekuasaan lokal dari masa kolonial hingga sekarang
(Clarence-Smith 1998; Slama 2011). Faktanya, sejak awal keterlibatan diaspora mereka,
para Hadhrami tidak hanya memusatkan perhatian mereka di pusat kekuasaan tetapi juga di
batas-batas marjinal - dan mereka juga memiliki persepsi serta niat yang jelas berbeda dari
orang-orang Barat. Oleh karena itu, kepergian orang-orang Hadhrami ke tanah Papua,
seperti yang akan dibahas pada bab ini, menunjukkan kekuatan yang berpengaruh, serta
pada saat yang sama, menunjukkan batas-batas pengaruh Barat di daerah tapal batas,
dengan demikian hal tersebut juga mengungkapkan berbagai bentuk hierarki
spasial-temporal. Dengan demikian, bab ini akan mengeksplorasi Papua sebagai tapal batas Islam
berdasarkan perspektif yang berbeda dan, pada saat yang sama, diambil dari
konseptualisasi sebelumnya.
Bagaimana batas-batas Indonesia didefinisikan sejauh ini, secara tepat dirangkum oleh Tania Murray Li (2001: 41): „Di Indonesia, daerah-daerah yang berada di pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil di kepulauan bagian timurlah yang biasanya dicirikan sebagai
tapal batas budaya yang beragam yang telah ditorehkan oleh peradaban, agama-agama di dunia, dan kekuasaan rezim pemerintahan. “Li (1999: 16), yang melakukan penelitian di dataran tinggi Sulawesi Tengah, juga membicarakan tentang „zona tapal batas‟ yang dapat diakses melalui logging roads (jalan-jalan menuju hutan yang dibuat untuk mengangkut
kayu-kayu besar) yang menarik kedatangan pendatang-pendatang baru karena adanya
peningkatan kontrol negara atas penduduk dan sumber daya. Dengan demikian, penelitian
yang dilakukan oleh Li menarik kesimpulan yang terdiri dari dua aspek pada daerah tapal
„mendorong kembali peradaban di daerah tapal batas‟ serta sebagai „metafora untuk pembangunan nasional dalam arti material dan ideologisnya‟ yang berfokus kepada „ekspansi dan delimitasi spasial„ (Fold dan Hirsch 2009: 95).
Terinspirasi oleh penelitian yang dilakukannya di Kalimantan, Anna Tsing (2005:
28) mencetuskan teori tentang dimensi temporal dan spasial pada daerah tapal batas yang
dapat membantu memberikan gambaran yang dimaksud di dalam bab ini - dan juga secara
keseluruhan - :
Tapal batas adalah batas ruang dan waktu: suatu zona yang belum - belum dipetakan,
belum diatur. Tapal batas merupakan zona yang tidak dipetakan (unmapping): bahkan
dalam perencanaannya, suatu tapal batas tidaklah direncanakan. Tapal batas tidak hanya
dapat berupa daerah tepian, ia dapat merupakan proyek dalam membuat pengamatan geografis dan temporal. „Frontiers make wildness, entangling visions and vines and violence‟; keliaran (wildness) yang dimaksud adalah yang bersifat material dan imajinatif.
Bentuk keliaran ini maju-mundur seiring berjalannya waktu, membawa bentuk-bentuk
kekejaman lama ke kehidupan di era kontemporer. Penetapan tapal batas menggugah
kembali fantasi lama (untuk menaklukkan), bahkan ketika mustahil untuk diwujudkan.
Salah satu pemikiran tentang daerah tapal batas yang ditulis oleh McCarthy dan Cramb (2009: 113–114) adalah berkaitan dengan dugaan „keterbelakangan‟ penduduk yang mendiami daerah tapal batas dibandingkan dengan teknik pertanian modern dalam
kasus ekspansi kelapa sawit, di mana Papua adalah area target.
Karena dikaitkan dengan jaman batu (seperti yang telah disebut sebelumnya), Papua
menempati tempat khusus di dalam pemikiran (yang dimiliki peneliti-peneliti tersebut)
dengan mencontohkan bentuk keterbelakangan paling ekstrim dalam wacana evolusionis
atau pembangunan, serta dalam kisah-kisah padang belantara seperti yang terdapat dalam
catatan perjalanan yang ditulis oleh orang-orang Barat. Rupert Stasch (2011: 7; lihat juga
Stasch dalam buku ini) menaklik wacana terakhir yang secara sensasional menggambarkan Papua sebagai „salah satu daerah padang gurun terbesar terakhir di dunia‟, „salah satu batas terakhir bumi yang terakhir‟ atau sebagai „akhir tapal batas di dunia yang terus menyusut„. Sebagaimana dapat dicermati pada bagian Pengantar buku ini, wacana semacam itu
menampilkan hierarki primitivisasi, dan dengan demikian hierarki tapal batas yang
Tentunya, kisah-kisah Papua yang sangat beresonansi di Indonesia, sangat kontras dengan bagaimana penduduk Papua menyesuaikan diri kepada „peradaban‟ dan membayangkan bagaimana diri mereka berhubungan dengan dunia - serta bagaimana Islam
menetapkannya menjadi tapal batas dalam penyebaran dakwah (seperti yang akan kita
bahas di bawah). Penelitian yang dilakukan oleh Danilyn Rutherford (2003: 19) tentang dugaan Biak terhadap orang asing yang mengenal „ideologi yang ... mengubah apa yang asing menjadi sumber agensi dan objek hasrat‟. Hal ini terungkap secara khusus dalam mitos yang berkembang ketika terjadi peristiwa Koreri, yang dibaca oleh Rutherford
sebagai „utopia: suatu keadaan kesenangan dan kesempurnaan yang dibayangkan‟ (ibid. 25) „membangkitkan batas-batas yang tidak hanya spasial tetapi juga konseptual‟ seperti yang terjadi antara Biak dan Indonesia (ibid. 26). Mitos klimaks dalam kembalinya
milenium dari sosok mirip Mesias yang disebut sebagai Manermakeri menunjukkan
munculnya kondisi paradisial ketika asing dan konvergen lokal dan daerah tapal batas
runtuh (Rutherford 2003: 26). Selanjutnya, peristiwa Koreri juga mengilhami penafsiran
ulang terhadap narasi Kristen - dan kisah-kisah Islam (seperti yang akan kita lihat di bawah): „Koreri mengklaim telah memahami signifikansi rahasia Alkitab: yakni itu merupakan render mitos dari Biak. Yesus Kristus benar-benar adalah Manermakeri „(Rutherford 2012: 157–158). Dengan merelokasi tokoh sentral Alkitab ke Papua, keyakinan pada „Yesus dari Papua‟ ini sangat meruntuhkan logika evolusionis dari citra
penduduknya yang digambarkan seperti masih berada di jaman batu. Ternyata Papua menjadi sumber „agama dunia‟ dan bukan ke wilayah dengan keterbelakangan yang patut dicontoh. Demikian pula, di antara suku Yali yang tinggal di dataran tinggi timur Papua,
Eben Kirksey (2012: 8–10) mencatat sebuah narasi tentang permulaan waktu ketika „orang kulit putih‟ dan „orang kulit hitam‟ hidup bahagia bersama dan semua barang dari generator listrik sampai beras tersedia melimpah ruah di Papua. Tapi, kemudian orang kulit
putih menghilang ke dalam lubang di bumi dengan membawa semua barang-barang
tersebut. Dengan direbutnya kekuatan asing, hal ini mengungkap adanya kekuatan asing di
tanah Papua, atau menunjukkan bahwa Papua sudah menjadi bagian dari dunia modern
(seperti dalam kasus Yali), contoh-contoh ini membuktikan bahwa wacana Papua yang
sarat akan pertentangan dengan penggambaran Papua sebagai alam liar, defisien, namun
sebagai daerah tapal batas yang berkembang (lihat juga Timmer dalam buku ini).
daerah-daerah periferal, kita tidak boleh melewatkan fakta bahwa dunia Islam sendiri menjadi
tunduk pada dunia Barat yang dalam beberapa kasus dibangun di sekitar bayangan-bayangan batas antara „orientasi‟ dan „negeri barat „(Gingrich 2010). Dalam perjalanan persepsi orientalis yang bersandar pada dinamika stereotip positif dan negatif (Baumann
2004), masyarakat Muslim sering disamakan dengan orang-orang Abad Pertengahan dan dengan demikian juga terdegradasi ke masa lalu; atau mereka berada „jauh‟ dalam hal spasial (Heiss dan Feichtinger 2013). Jauh sebelum munculnya wacana Eropa modern
tentang degradasi temporal dan spasial, umat Islam telah mengembangkan konsep mereka
sendiri tentang tapal batas. Biarlah saya mengacu pada pengertian tentang tapal batas
karena tapal batas itu dapat disimpulkan dari sumber-sumber kaya keilmuan Islam, setelah
itu saya akan bertanya sejauh mana perspektif Islam menantang bayangan-bayangan tapal
batas, seperti yang telah dibahas sejauh ini, dan bagaimana perspektif-perspektif ini
membuktikan keragaman hierarki spatio-temporal yang dapat ditemukan di Indonesia saat
ini.
Tapal Batas Menurut Islam
Pada abad ke-8, Abu Hanifah, yang namanya digunakan untuk meyebut mazhab
hukum Hanafi, memperkenalkan istilah Dar al-Islam, „rumah Islam‟ atau „tempat tinggal
Islam‟, untuk wilayah yang berada di bawah kekuasaan Islam. Tanah-tanah yang diperintah oleh para pemimpin Muslim juga dikenal sebagai Dar as-Salam atau „rumah
perdamaian‟. Menandai tapal batas dunia Islam, Dar as-Salam digunakan untuk mengkarakterisasi wilayah Muslim di pinggiran dunia Islam seperti Daressalam di Afrika
Timur atau Brunei Darussalam dan Aceh Darussalam di Asia Tenggara (lihat juga Ahmad
1976). Wilayah yang berbatasan dengan Dar as-Salam disebut Dar al-Harbatau „Wilayah
Perang‟, „yang pemimpinnya diserukan untuk masuk Islam‟, sebagaimana yang dijelaskan di dalam Kamus Oxford tentang Islam; dan ketika mereka „menerima Islam (sebagai agamanya), wilayah itu menjadi bagian dar al-Islam, di mana hukum Islam berlaku‟.
Namun, terlepas dari definisi teritorial tapal batas ini, konsep lain yang menonjol
dalam pemikiran Islam dalam mengilustrasikan gagasan tentang batasan yang didefinisikan
bukan oleh ruang tetapi oleh waktu. Sedangkan perbedaan antara Dar as-Salam dan Dar
al-Harb diperkenalkan oleh para cendikiawan ilmu hukum (jurisprudence) di abad
sebagai masa penyembahan berhala sebelum mereka mendapat petunjuk. Pada abad ke-20,
konsep ini dihidupkan kembali oleh berbagai cendikiawan Muslim, terutama oleh Sayyid
Qutb cendikiawan dari Egyptian Muslim Brotherhood (Ikhwanul Muslimin) Mesir, yang
melihat kemunculan kembali jahiliyyah di banyak negara Muslim sebagai akibat
kurangnya ketaatan terhadap hukum Islam. Pandangan ini memerlukan reinterpretasi konsep yang cukup besar, karena „sebutan itu bukanlah merujuk pada periode tertentu dalam waktu sebelum atau sesudah datangnya Islam, atau merujuk tempat, ras atau negara
atau masyarakat tertentu. Jahiliyyah lebih merupakan kondisi di mana dan tempat mana
saja di mana Allah tidak dianggap sebagai otoritas tertinggi dalam pemerintah dan hukum „(Khatab 2006: 3). Perpanjangan konsep ini ke waktu dan tempat lain selain di masa pra-Islam di Arab membuatnya juga relevan untuk wacana pra-Islam kontemporer di Indonesia,
seperti yang akan kita bahas. Namun, reinterpretasi abad ke-20 dari konsep tersebut, yang
juga akan menjadi lebih jelas melalui ulasan di bawah ini, yang tidak selalu mengarah pada
pembubaran hirarki temporal antara tatanan Islam yang tidak Islami dan yang sepenuhnya
dilaksanakan.
Sepanjang sejarah Islam, muncul tokoh-tokoh berpengaruh yang menjelajahi batas-batas dunia Islam yang menunjuk pada „batas-batas-batas-batas yang selalu berubah dan keropos‟ yang membentuk latar belakang sosial dari konsep hukum, seperti ditekankan Travis Zadeh (2011: 87), yang bersandar pada demarkasi antara „dua dunia, yang dibagi menjadi wilayah damai dan wilayah perang, [yang] berdiri sebagai bayangan cerminan satu sama lain‟. Sebelum para Hadhrami menjadi „pemain utama‟ di Samudera Hindia, adalah Ibn Batutta (1304-1136 atau 1377) yang dalam beberapa tulisan disebutkan melintasi batas-batas „keropos‟ dan melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang kemudian juga menjadi jalan yang dilalui para Hadhrami. Ross Dunn (2005: 6–7) menunjukkan bagaimana batas-batas
dunia Islam mempengaruhi rute penjelajah Muslim seperti Ibn Batutta dan penerusnya:
Ibn Batutta ... menghabiskan sebagian besar karirnya dalam batas-batas budaya dari
apa yang disebut Dar al-Islam oleh Muslim, atau Abode of Islam. Ungkapan ini mencakup
tanah di mana Muslim mendominasi populasi, atau setidaknya di mana raja atau pangeran
Muslim berkuasa atas mayoritas non-Muslim dan di mana syari‟at, atau Hukum Suci
ditegakkan, Islam mungkin merupakan fondasi tatanan sosial. Dalam arti, peradaban Islam
menyebar dari pesisir Atlantik di Afrika Barat ke Asia Tenggara.
tinggal di kota-kota dan daerah-daerah seperti Cina, Spanyol, dan Afrika Barat yang berada
di luar tapal batas Dar al-Islam. „Seperti yang ditunjukkan di atas, Ibn Batutta
mengunjungi beberapa komunitas Muslim yang tinggal di luar Dar al-Islam tersebut - dan
dia juga melakukan hal yang sama di Asia Timur dan Tenggara, sebagaimana kutipan yang
diambil dari Rihla (perjalanannya) yang menegaskan : „Saya kemudian berjalan selama
satu dan dua puluh hari melalui wilayah [seorang penguasa Muslim], setelah itu kami tiba di kota Mul Java, yang merupakan wilayah pertama dari wilayah kafir (yang saya temui)‟ (Lee 2004 [1829]: 201 ).2
Sebagaimana Ibn Batutta, para Hadhrami juga menulis catatan perjalanan mereka
yang terdiri dari rencana perjalanan dan eksplorasi tapal batas (Alatas 2005). Ho (2006: 55)
telah menganalisis catatan-catatan tersebut dengan berfokus pada peran sentral di wilayah
yang mereka tempati dalam pembentukan diaspora Hadhrami:
Rencana perjalanan yang sangat menonjol sebagai elemen genre dasar dalam akun
ini menciptakan efek yang melampaui ambisi rekonstruksi sejarah positivis. Dalam
menceritakan perjalanan berbagai tokoh, mereka (para Hadhrami) menciptakan sebuah
wacana batas-batas yang akhirnya mengubah lanskap. Efek diskursif ... adalah untuk
mengubah tempat dari tujuan menjadi tempat asal.
Jadi, ketika para Hadhrami „membuka lahan di daerah tapal batas‟ (ibid.) Mereka
mengubah wilayah tersebut dengan menetap dan membangun manifestasi konkret Islam
seperti masjid dan kuburan. Dan mereka lebih suka melakukannya di tengah populasi yang
mereka anggap belum atau belum cukup memeluk Islam. Hal ini membawa kita pada
perbedaan penting lainnya antara konsep Barat dan Islam tentang tapal batas, seperti yang
diungkapkan oleh Ho (ibid.):
Tidak seperti ide yang dicetuskan Amerika pada abad 19 tentang Takdir Manifes,
batas-batas pada pandangan wacana mobilitas Hadhrami sayyid3 bukan mendatangi
wilayah tanpa penghuni tetapi mendatangi wilayah yang penuh dengan penduduk.
Pendatang baru seperti para sayyid menemukan tempat bagi diri mereka sendiri - sebagai
pendidik - di tanah yang sudah dipenuhi penduduk tersebut. Motif ini telah menjadi motif
konstan bagi seluruh diaspora Hadhrami di sekitar Samudera Hindia, dimulai dengan
Hadramaut sendiri pada masa-masa awal terdahulu.
Dengan bepergian bersama dan kadang-kadang melampaui batas-batas Dar al-Islam,
para Hadhrami tidak mencari tanah (untuk berdiam) tetapi untuk mencari orang-orang
menganggap orang-orang yang baru mereka temui sebagai orang-orang yang sejaman
dengan mereka dan bukan sebagai orang-orang yang berasal dari masa lalu (yang dianggap
terbelakang). Hierarki yang dibangun adalah melalui penekanan pada keturunan
bangsawan, pengetahuan, dan praktik Islam, dan bukan melalui melekatkan diri pada usia
yang seharusnya lebih superior. Selain itu, hubungan timbal balik dan yang lebih egaliter dibentuk melalui perdagangan. Dan ketika mereka melakukan perjalanan ke „tanah yang sudah dipenuhi penduduk‟ tersebut, bagi para migran laki-laki Hadhrami4 ini berarti di wilayah tersebut juga terdapat wanita, yang berpotensial untuk mereka nikahi. Ketiga,
faktor-faktor perdagangan, proselitisasi, dan pernikahan dapat juga dilihat dalam peran
Hadhrami dalam melakukan Islamisasi di sebagian wilayah Papua, paragraf di bawah ini akan berfokus pada pertanyaan, “Bagaimana Papua menjadi tapal batas Islam?.”
Papua Sebagai Tapal Batas Islam
Kontak pertama yang terjalin antara orang Papua dan pedagang Muslim terjadi pada
abad ke-15 atau bahkan lebih awal, meskipun sulit untuk dipastikan karena kurangnya
bukti sejarah. Namun, jelas bahwa pada abad ke-17 dua wilayah di Indonesia bagian timur
menjadi penting untuk penyebaran Islam ke bagian pesisir Papua, yaitu Maluku utara
dengan empat kesultanannya (Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo), dari empat kesultanan
tersebut Tidore memiliki peran paling signifikan berkaitan dengan penyebaran Islam di
Papua, dan Seram bagian timur dan kepulauan Geser-Gorom dari tempat para pedagang
Muslim mengembangkan hubungan ekonomi eksklusif dengan orang Papua dari Kepala
Burung dan Bomberai semenanjung. Kesultanan Tidore mencontohkan pola tapal batas
Dar as-Salam dan Dar al-Harb penguasa Islam yang membangun hubungan dengan
tetangga non-Islam mereka yang akhirnya menghasilkan konversi (the conversion of the
latter). Pada abad ke-17, ketertarikan Tidore kepada Papua semakin meningkat ketika
Dutch East India Company (VOC) mengambil alih perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan. Sebagai semacam kompensasi, Tidore „diberikan hak eksklusif untuk berdagang dengan “Kepulauan Papua‟” (Warnk 2010: 114). Ini adalah tributary trade
untuk hasil alam dan budak, yang menegaskan otoritas Tidore di perairan timur Halmahera
menyatakan bahwa, „pada tahun 1705 ... pemimpin Waigeo, Misol dan Salawati adalah Muslim „(ibid. 116).
Hubungan antara Tidore dan Raja Ampat ini menjadi sangat menonjol selama terjadi
pemberontakan Pangeran Nuku pada akhir abad ke-18, ketika Pangeran Nuku
memberontak melawan Belanda dan kebijakan mereka untuk menurunkan Tidore ke status
budak (status of vassalage). Dia memobilisasi pasukan dari Raja Ampat, Seram dan
Halmahera, dan secara diplomatis mendekati Inggris. Dalam perjalanan konflik, seperti yang diungkapkan Muridan Widjojo (2009: 57), Nuku diproklamasikan sebagai „Sultan Papua dan Seram‟ dan menyebut dirinya „Raja Papua‟ dalam sebuah surat yang dikirim kepada Belanda. Dari strategi mengubah hubungan tributary trade menjadi dukungan
politik dan kekuatan simbolik, Widjojo (2009: 215) menarik sejarah paralel yang menarik: „Selama berabad-abad, ritual lokal dan hubungan ekonomi mengikat Maluku ke Papua. Ironi dari apa yang dilakukan oleh Nuku sejauh ini belum ada yang berhasil menunjukkan
bahwa, berkat koneksi yang dijalin Papua ini, ia mampu mengalahkan Belanda dalam
permainan mereka sendiri [memainkan kekuasaan melawan satu sama lain]. Dia
melakukannya dengan terampil memanfaatkan bahasa Inggris seperti ketika Pemerintah
Soekarno memanfaatkan Amerika Serikat pada tahun 1962 dan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1963.”
Di zona tapal batas Seram timur dan Geser-Gorom, perdagangan dengan orang
Papua dari daerah Kepala Burung dan Semenanjung Bomberai, di mana konversi ke Islam
tercatat terjadi pada pertengahan abad ke-17 (Warnk 2010: 115), tidak dijiwai dengan otoritas seperti pada masa sultan. „Orang-orang Seram lebih mementingkan akses perdagangan daripada kekuatan simbolis ... mereka lebih memilih berdagang daripada
diserbu‟, sebagaiman Roy Ellen (2003: 122) menekankan dalam studi iluminasi tentang
jaringan perdagangan mereka, yang didasarkan pada sebuah institusi yang disebut sosolot: „teluk dan jangkar di mana satu pemerintahan mempertahankan monopoli yang diakui dalam perdagangan‟ (ibid. 126). Pemerintahan Seram Timur dan Geser-Gorom memiliki
akses eksklusif ke domain perdagangan tertentu yang menjadi semakin Islami karena
hubungan-hubungan yang dipupuk lebih lanjut oleh perkawinan antarbangsa. Sedangkan
masjid pertama di wilayah ini dikonfirmasi merupakan bangunan dari tahun 1870-an
antara mereka sesuai dengan adat istiadat Muslim, dan tidak makan babi atau kura-kura „(ibid. 120). Catatan ini hanya sebagian dari ketaatan pada ketentuan Islam yang menunjukkan status ambivalen dari ketetapan-ketetapan Islam di Papua yang berkenaan
dengan apakah mereka dapat dianggap sebagai bagian dari Dar al-Islam, sebuah tema yang
akan kita temui juga dalam persepsi masa kini tentang wilayah tersebut.
Kesultanan Tidore juga mempertahankan hubungan tributary trade di sepanjang
pantai utara Papua, terutama dengan orang Papua dari daerah Kepala Burung utara,
Biak-Numfor dan Teluk Cenderawasih. Ketika para pelaut Biak memberi penghormatan kepada
sultan di istananya, seperti yang telah tunjukkan oleh Rutherford (2003: 17), mereka „mengklaim bahwa mereka menyerap barak, versi Biak yang bersumber dari kata bahasa Arab untuk kekuatan gaib yang merasuki sultan dan sekitarnya.„ Kita hampir tidak bisa mengatakan sampai sejauh mana hubungan ini menyebabkan orang-orang Papua memeluk
agama Islam, karena saat ini hampir seluruh penduduk Papua memeluk agama Kristen.
Tetapi, paling tidak beberapa pemimpin telah bertobat. Menurut Warnk (2010: 122), ada
bukti di Dorey Bay, dekat dengan tempat Manokwari sekarang berada, yang menyatakan
adanya Muslim Papua sebelum tahun 1850. Ironisnya, ketika misionaris Jerman Ottow dan
Geissler mengadakan layanan Kristen pertama mereka di Dore pada tahun 1855 di Bahasa Melayu, acara tersebut „dihadiri oleh beberapa kepala Muslim lokal yang berbicara bahasa Melayu dengan cukup baik‟ (ibid. 124). Jadi apa yang hari ini dirayakan sebagai kedatangan agama Kristen ke Papua, juga tercermin dalam pengadopsian nama “kota injil” (gospel city) oleh Manokwari di Indonesia pasca-Soeharto, bukanlah datang ke “tanah kosong” monoteis , tetapi lebih ke tapal batas Islam di mana visi Papua dan Islam telah bertemu sebelumnya. Pertemuan religius sebelumnya ini mungkin juga telah berkontribusi
pada fakta bahwa upaya Ottow dan Geissler tidak banyak berhasil, dan „tidak sampai
setelah tahun 1900 bahwa beralihnya massa ke agama Kristen terjadi di Teluk Cendrawasih dan wilayah Biak‟ (ibid.). Ini juga merupakan waktu ketika agama Kristen diperkenalkan di Raja Ampat serta di daerah Kepala Burung dan Semenanjung Bomberai,
ketika perdagangan antara republik yang baru didirikan dan Belanda New Guinea tidak
diizinkan (lihat Kaartinen 2010: 59).
Berkenaan dengan Hadhrami Arab, seperti yang dikemukakan William
Clarence-Smith (1998: 43), para Hadhrami tersebut memiliki peran sangat kuat dalam perdagangan
di Maluku pada kuartal ketiga abad kesembilan belas, pada saat para pesaing Cina maupun
Eropa tidak menunjukkan minat yang besar pada kekaisaran Belanda yang berada nan jauh di sana „(lihat juga Spyer 2000: 12). Kehadiran mereka dapat dipahami sebagai konsekuensi dari peningkatan keseluruhan migrasi Hadhrami ke Asia Tenggara yang
didorong oleh pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869 dan pengenalan pengiriman
melalui kapal uap di Samudera Hindia. Beberapa dari mereka pindah dari Maluku ke
Papua. Pada pergantian era dari abad ke-19 ke abad ke-20, dipastikan bahwa pedagang
Arab berada di Kaimana, Fakfak dan Kokas (Ellen 2003: 143). Serupa dengan orang-orang
dari Seram, mereka terkadang menikahi orang Papua (Warnk 2010: 127). Dengan nama
famili Alkatiri dan Alhamid sebagai nama keluarga terkemuka mereka, para Hadhrami
memang memiliki basis kuat di kalangan umat Islam di Seram timur dan Geser-Gorom
(Ellen 1996, 2003: 253-54). Pengaruh mereka dapat dirasakan sampai hari ini, terutama di bidang agama, karena „di daerah Geser-Gorom kami menemukan bahwa keluarga keturunan Arab sering bertindak sebagai imam, bahkan jika mayoritas penduduknya bukanlah keturunan Arab‟ (Ellen 2003 : 265). Salah satu lawan bicara Hadhrami dari Ellen di Tual yang hidup lama di Geser dengan bangga menyatakan pada tahun 1980-an bahwa kakeknya adalah orang pertama yang mengubah orang Papua menjadi Islam „(ibid. 238).
Hampir 30 tahun setelah Ellen melakukan penelitian, narasi-narasi dalam catatan
tersebut masih tertanam kuat dalam kisah-kisah keluarga Hadhrami di wilayah tersebut.
Pak5 Umar, yang berusia lima puluhan, lahir dan besar di Seram dan tinggal di Ambon di
mana ia memberi tahu saya tentang kakeknya yang berasal dari Hadhramaut yang pergi ke
Hindia Belanda. Setelah tinggal di Surabaya, kakeknya pergi ke Sulawesi Selatan,
kemudian ke Ambon dan akhirnya ke Fakfak, menikahi anak perempuan pemimpin lokal
(anak raja). Secara khusus, berkaitan dengan Fakfak, ia menjelaskan bahwa leluhurnya berkontribusi pada penyebaran Islam karena „mereka menikahi putri-putri kepala suku yang belum memeluk agama islam; sebagai akibatnya, perlahan tapi pasti mereka menjadi
Muslim dan rakyat mereka mengikuti mereka. Ini adalah cara yang bagus untuk menyebarkan Islam pada waktu itu!„6
Adalah ayah Pak Umar yang menikahi seorang putri
statusnya yang tinggi dalam keluarga ibunya: „Ketika kepala di sana [di Seram] ingin melakukan sesuatu, dia pasti akan bertanya dulu kepada saya. Tidak ada perbedaan antara
kami, keturunan Arab, dan masyarakat setempat. Tidak seperti orang Cina, Jepang atau Belanda yang membawa istri mereka dengan mereka, kami orang Arab tidak.„7
Di sini, kami melihat bagaimana para Hadhrami menjadi sangat terintegrasi ke dalam
masyarakat lokal di wilayah Maluku-Papua tanpa meninggalkan identitas Arab mereka,
yang disorot melalui peran mereka dalam mengubah orang Papua menjadi Islam. Dalam
kisah-kisah ini, Papua tampil sebagai tapal batas dalam arti bahwa Papua sedang dalam
proses untuk menjadi, atau telah menjadi, bagian dari Dar al-Islam, berkat upaya para
Muslim yang teladan, dengan status Hadhrami yang mereka klaim sendiri. Berbeda dengan
pemahaman Barat tentang tapal batas yang didasarkan pada wacana evolusionis atau
pengembangan, dalam kisah-kisah ini, hierarki spatio-temporal tidak begitu terasa. Ketika
penguasa Muslim akhirnya diikuti oleh orang-orang mereka, pemerintahan mereka akan
menjadi bagian dari Dar al-Islam dan dengan begitu „jaman penyembahan berhala‟ akan
segera berakhir, terlepas dari bagaimana Papua dipersepsikan dari luar. Saya ingin
melanjutkan dengan contoh-contoh persepsi luar seperti itu, karena tersebar luas di
kalangan Muslim di Indonesia yang berada di sebelah barat zona kontak dekat dan
pencampuran Maluku, pulau-pulau Raja Ampat, dan Kepala Burung dan Semenanjung
Bomberai. Analisis wacana mereka akan mengungkapkan bagaimana status tapal batas
Papua dalam negara-bangsa Indonesia yang diinformasikan oleh pandangan Islam dan juga
bagaimana gagasan Islam tentang tapal batas dapat terjalin dengan ide-ide evolusionis atau
pengembangan. Seperti yang akan kita bahas, seseorang tidak harus pergi terlalu jauh ke
barat untuk memahami wacana semacam itu.
‘Sejauh Papua’ - Tapal Batas Al-Khairaat dan Cahaya Kenabian
Ketika saya melakukan penelitian tentang organisasi Islam terbesar di Indonesia
timur, yang disebut Al-Khairaat, yang tumbuh sangat kuat di wilayah Sulawesi tengah dan utara dan sampai batas tertentu, juga di Maluku utara, kata „Papua‟ sering saya sebut di dalam percakapan saya, yaitu ketika lawan bicara saya mengacu pada mobilitas yang tinggi
dari ayah pendiri organisasi. Al-Khairaat didirikan di Palu, Sulawesi Tengah, oleh Sayyid
Idrus Al-Jufri, yang lahir di Hadhramaut. Pada tahun 1925, pada usia 36, ia bermigrasi ke
Hindia Belanda pada saat itu. Setelah pindah dari satu tempat ke tempat lain di sepanjang
akhirnya menetap di Palu di mana ia mendirikan Madrasah Al-Khairaat. Namun demikian,
kehidupan Sayyid Idrus masih dicirikan oleh tingkat mobilitas yang tinggi. Dia mulai
membangun jaringan translokalnya di kawasan timur laut Indonesia dengan mengundang
anak-anak lelaki Hadhrami atau keturunan setempat untuk menemaninya kembali ke Palu,
memberi mereka kesempatan untuk mendaftar di sekolah Al-Khairaat (Azra, 2000). Para
lulusan Al-Khairaat ini memberikan kontribusi yang besar terhadap penyebaran organisasi
dengan membuka sekolah-sekolah di kampung halaman mereka sebagaimana yang telah
mereka pelajari di Palu. Informasi yang juga saya dapatkan adalah bahwa kebanggaan
Sayyid Idrus adalah leluhurnya yang mulia, karena silsilahnya kembali ke Nabi
Muhammad, yang juga ditunjukkan dengan julukan sayyid (Slama, 2011).
Di antara anggota Al-Khairaat, perjalanan Sayyid Idrus dianggap legendaris. Saya
diberitahu bahwa Sayyid Idrus menjelajahi desa-desa yang sangat terpencil sehingga tidak
ada anggota Al-Khairaat yang pernah mengunjungi mereka lagi. Dalam catatan yang
ditulisnya tersebut kata Papua sering disebutkan. Dalam rangka untuk menekankan prestasi
dari Sayyid Idrus Al-Khairaat anggota senang menggunakan frase bahwa Sayyid Idrus telah pergi „sejauh Papua‟ (sampai di Papua) atau „sejauh Irian‟ (nama terdahulu Papua yang disebutkan sampai akhir pemerintahan Soeharto). Mereka juga ingin menunjukkan
bahwa Al-Khairaat saat ini memiliki dua cabang di Papua, yang pertama berada di dekat
Jayapura dan yang lainnya berada dekat dengan Manokwari.
Dalam percakapan saya dengan orang-orang Muslim yang aktif di Al-Khairaat, kami
membahas mengapa Sayyid Idrus mendirikan organisasinya di wilayah Indonesia timur
yang terpencil ini. Adalah Ibu8 Achmisah, wakil ketua divisi wanita Al-Khairaat, Wanita
Islam Al-Khairaat, yang menjelaskan bahwa sebelum kedatangan Sayyid Idrus orang-orang di Palu „tidak memiliki agama‟ (tidak punya agama). Temannya, juga merupakan anggota aktif dari Wanita Islam Al-Khairaat, menambahkan bahwa saat itu „masih
merupakan jaman jahiliyyah‟. “Ya, memang,” ibu wakil ketua melanjutkan, “Yah, sudah
ada Islam, tetapi tidak ada penerapan syariah. Orang-orang mabuk, mereka berjudi. Tapi
kemudian Sayyid Idrus menetap [di Palu] .... Puji Tuhan! Dari sana ia melebarkan sayapnya sejauh Irian, sejauh Ternate, Ambon, dan Sulawesi Utara‟.9
Catatan-catatan yang dibuat oleh anggota Al-Khairaat menggambarkan upaya Sayyid
Idrus dan organisasinya sebagai upaya untuk mendorong kembali tapal batas dalam ruang
dan waktu. Cara-cara beradab yang sangat mobile dan pembukaan sekolah-sekolah Islam
bagian timur dan khususnya Papua, ke Dar al-Islam, dan secara bersamaan meninggalkan
jahiliyyah. Berbeda dengan catatan yang ditulis oleh para Hadhrami dari Maluku, yang
memiliki hubungan langsung dan hubungan dagang dengan orang Papua, wacana yang
saya temui di Sulawesi menampilkan hirarki spasial tertentu dengan Papua sebagai tempat
yang terletak di ujung terjauh dan, akibatnya, menjadi ujung terendah.
Namun, mirip dengan Maluku, di Sulawesi seseorang juga dapat menemukan
pembahasan yang menyoroti pernikahan sebagai cara yang sah untuk membuat tapal batas
Papua lebih Islami. Salah satu teman bicara saya, Pak Husein, juga seorang sayyid dan
anggota aktif Al-Khairaat, mengingat seorang kerabat jauh yang bermigrasi ke Papua. Dia
memberi tahu saya bahwa Nabi Muhammad sendiri menikahi seorang wanita berkulit
gelap, seorang janda kaya dan berusia 60 tahun yang memiliki pengaruh yang tinggi,
dengan motif bahwa orang-orang akan mengikutinya menjadi Muslim, yang akhirnya
mereka lakukan. Dia lebih lanjut menunjukkan: “Sama seperti Nabi kita menyukai orang -orang Irian agar mereka dapat menjadi Muslim lebih cepat.” 10 Dan dia mengingatkan saya: “Nabi berkata bahwa di manapun keturunannya akan hidup, insya Allah, akan ada cahaya. Itu artinya kita tidak perlu khawatir meski berada di hutan Irian. Selama kita berperilaku dengan benar, insya Allah akan ada jalan.„11
Dengan menggunakan konsep Sufi tentang „terang Nabi‟ yang dikatakan diwariskan dari generasi ke generasi di antara keturunannya, Hadhrami dapat, dalam hal ini lihat, bahkan menerangi apa yang
dibayangkan sebagai hutan gelap Papua. Menyetarakan Papua dengan hutan dan
kegelapan, termasuk kulit gelap, mengacu pada jahiliyyah di Arab pra-Islam yang telah
diterangi oleh Nabi dan, ketika dipindahkan ke waktu dan tempat lain, dapat memiliki efek
yang serupa. Hutan gelap dan kulit gelap juga membangkitkan konsep-konsep evolusionis
Barat di mana rimba berdiri untuk hutan belantara, di mana hanya orang-orang dari tingkat
perkembangan manusia terendah yang hidup, seperti orang-orang Papua yang tampak
nyata.12 Namun, tujuan utama dari para Hadhrami dari Indonesia bagian timur bukan untuk
memajukan standar hidup orang Papua dengan cara mengenalkan perkembangan, tetapi
untuk menikahi mereka dan mengajari mereka perilaku yang tepat sesuai dengan hukum
Islam. Di Papua, mengatasi jahiliyah dengan demikian berarti mengatasi kegelapan hutan
melalui pancaran kenabian. Meskipun mereka mengakar kuat dalam teologi Islam,
kedekatan semantik dan di mana Papua dilihat sebagai yang terjauh, wilayah paling kotor
yang dapat dijangkau oleh para Hadhrami Indonesia.
Selanjutnya, mari kita beranjak lebih jauh ke barat, ke ibukota Indonesia Jakarta,
tetapi tetap dalam jaringan diaspora Hadhrami, mengungkapkan wawasan lebih jauh ke
dalam pengertian Islam tentang tapal batas Papua. Langkah seperti itu menghindarkan
aspek hierarki spatio-temporal yang sekali lagi menunjuk pada belitan gagasan Islam dan
evolusionis atau developmentalis dari tapal batas, meskipun tidak dalam variasi yang sama
yang kita temui sejauh ini.
‘Tidak ada sinyal’: Sebuah Dakwah dari Pendeta asal Jakarta
Pada masa Indonesia pasca-Suharto, para pembawa cahaya Nabi lainnya menemukan
Papua, terutama Habib13 Munzir Al-Musawa, seorang Hadhrami sayyid dan pendiri
Majelis Rasulullah, yang merupakan asosiasi doa terbesar di ibukota Indonesia, menarik
ribuan Muslim untuk menghadiri pertemuan rutin mereka. Setelah runtuhnya rezim
komunis di Yaman Selatan pada tahun 1989, Habib Munzir menjadi anggota kelompok
pertama Hadhrami Indonesia yang masih muda yang diberi kesempatan untuk belajar di
Hadhramaut. Dia pergi ke, pada waktu itu, baru didirikan dan, sementara itu, sekolah
asrama Darul Mustafa yang terkenal yang dikelola oleh Habib Umar bin Hafiz bin Syekh
Abubakar, tokoh Sufi terkemuka di Hadhramaut yang juga sangat populer di kalangan
diaspora Hadhrami (Alatas 2010). ). Habib Munzir menikahi seorang wanita dari
Hadhramaut, juga keturunan Hadhrami sada, dan membawanya ke Indonesia di mana ia
mulai berkhotbah di kalangan wanita di Jakarta (Nisa 2012). Yang paling penting dalam
konteks bab ini, Habib Munzir mengunjungi Papua beberapa kali, pada tahun 2007, 2008
dan 2010. Semua perjalanannya diliput oleh majalah Islam yang terbit dua mingguan yang
populer pada saat itu, Al-Kisah, yang juga dimiliki oleh Hadhrami sayyid. 14 Artikel-artikel
tersebut menampilkan entri-entri buku harian Habib Munzir serta kutipan langsung dari
apa yang dia katakan dengan efek yang dirasakan pembaca tentang bagaimana Habib
Munzir secara pribadi mengalami Papua - melalui Hadhrami yang diasporinya dan pada
saat yang sama juga merupakan mata diaspora orang Indonesia-Jakarta.
Habib Munzir menginjakkan kaki di Papua untuk pertama kalinya pada 9 Mei 2007
di Manokwari di mana ia disambut oleh Ahmad Baihaqi, seorang pendakwah dan aktivis
harinya ia berkhotbah di masjid angkatan laut Indonesia di mana seorang maulid, sebuah
ritual yang merayakan kelahiran Nabi Muhammad, dipentaskan. Sekitar 700 Muslim menghadiri acara tersebut, apa yang ditemukan oleh Habib Munzir luar biasa untuk „kota terpencil‟ semacam itu. Keesokan harinya, Habib Munzir belajar tentang kesulitan yang dihadapi Muslim di Manokwari jika mereka ingin membangun sebuah masjid, meskipun dalam persepsi Habib Munzir, rasio antara Muslim dan Kristen sudah „lima puluh lima puluh‟ (dalam bahasa Inggris asli). Menyinggung apa yang disebut perda injil, atau hukum-hukum Kristen, draft yang telah dibahas di Manokwari sebelum kunjungan Habib Munzir,
ia menyatakan harapannya bahwa di masa depan Muslim perempuan dapat terus bebas
mengenakan cadar.15
Pada hari kedua kunjungannya, Habib Munzir pergi ke sebuah pesantren yang
terletak sekitar 65 kilometer di luar Manokwari di mana ia menemukan kesulitan untuk
menemukan sinyal untuk telepon genggamnya atau untuk menghubungkan laptopnya ke
internet. Ini diilustrasikan dengan gambar Habib Munzir yang duduk di lantai dengan
laptop diletakkan di depannya, memegang telepon genggamnya di tangan kirinya. Keterangan pada gambar tersebut berbunyi: „Habib Munzir Al-Musawa membuka laptopnya. Tidak ada sinyal. “Dari sekolah asrama, ia melanjutkan perjalanannya ke „daerah Muslim yang sangat terpencil‟ (wilayah Muslim yang sangat terpencil). Ketika mereka kembali ke Manokwari di malam hari, „jalanan sangat gelap dan sepi‟ dan Habib Munzir bertanya kepada teman-temannya setempat apakah daerah ini akan berbahaya di malam hari. Mereka menjelaskan bahwa penduduk „Irian‟ tidak keluar setelah matahari terbenam karena mereka percaya pada kemunculan penyihir yang membunuh orang dan
memakan isi perut mereka di malam hari. Dengan mempertimbangkan fakta bahwa
perjalanannya berjalan sesuai rencana, Habib Munzir mengucapkan terima kasih kepada
para pengikutnya yang menjaga dan tidur di depan kamarnya pada malam hari. Pada hari
ketiga, Habib Munzir kembali ke Jakarta.16
Perjalanan kedua Habib Munzir pada Oktober 2008 juga membawanya ke Manokwari. Namun kali ini ia melakukan perjalanan lebih jauh dari kota, „menembus pedalaman Papua‟, sebagaimana judul cerita dalam Al-Kisah berbunyi, menunjukkan bahwa Habib Munzir sedang menjelajahi batas sesungguhnya, „interior‟ , di mana dia harus berjuang untuk maju di jalan berlumpur di hutan lebat „(berjuang menembus jalan berlumpur di tengah hutan lebat). Para pembaca Al-Kisah lebih lanjut mengetahui bahwa
ia tidak hanya menganjurkan untuk menetap di „daerah nyaman‟ namun „mencapai seluruh pelosok‟. Narasi ini didukung oleh gambar di halaman pertama artikel Al-Kisah yang menggambarkan Habib Munzir dalam gaun Arab putih panjang dan sorban putih di antara
orang Papua dengan pakaian tradisional sebagian dengan dada mereka telanjang, beberapa
di antaranya memegang busur dan anak panah. Setibanya di Manokwari, ia disambut lagi
oleh Ahmad Baihaqi. Ransiki, yang terletak sekitar 100 kilometer selatan Manokwari,
adalah tujuan pertama perjalanan mereka. Baihaqi memiliki hubungan yang baik dengan
tempat itu sejak dari sana ia membawa pemuda Muslim Papua ke Jakarta untuk mengajari mereka Islam. Dalam perjalanan tersebut, Habib Munzir „lebih sering menangis daripada dia berbicara‟ karena selama perjalanan tiga jam dia tidak dapat menemukan seorang Muslim. Sebaliknya, ia melihat „bangunan agama besar sesak dengan penganut agama lain‟. Hanya sesaat sebelum Ransiki dia melihat orang-orang muda dengan sepeda motor yang melambaikan bendera Majelis Rasulullah, beberapa dari mereka adalah „penduduk pribumi‟, mengenakan jaket dari Majelis Rasulullah. Dia hampir tidak percaya apa yang dilihatnya: Muslim Papua mengenakan peci putih (topi putih yang diidentifikasi dengan Islam di Indonesia) dan mengibarkan bendera Majelis Rasulullah di „daerah terpencil‟ ini. Setelah Habib Munzir berbicara kepada Muslim di Ransiki, mereka melanjutkan
perjalanan ke Bintuni.17S
Dalam perjalanan panjang menuju Bintuni, kondisi jalan semakin buruk. Land
Cruiser yang disewa oleh kelompok Habib Munzir hampir tidak bisa melewati lumpur yang lebih dalam „50cm atau lebih‟. Kondisi jalan dan lingkungan „liar‟ ini juga diilustrasikan oleh gambar-gambar di mana keterangan berbunyi: „Mobil terjebak di
lumpur. Perjuangan untuk berdakwah menembus pedalaman „dan‟ Doa di tengah-tengah hutan „(Shalat di tengah rimba). Pada pukul setengah delapan malam, Habib Munzir tiba di Bintuni dan check in di „satu-satunya hotel di kota Bintuni yang memiliki AC‟ (satu -satunya hotel di kota Bintuni yang dilengkapi AC). Keesokan paginya, „ratusan Muslim‟
menunggu Habib Munzir di depan hotel. Beberapa dari mereka meneteskan air mata, dan
menjelaskan bahwa mereka hanya mendengar tentang habib dari kakek mereka dan bahwa
kunjungan Habib Munzir adalah yang pertama dari seorang habib selama kurun waktu „ratusan tahun‟. Ada juga tokoh lokal yang menekankan bahwa Islam datang ke Bintuni pada abad ke-16, tetapi kemudian menghilang. Di masjid, seorang maulid dirayakan
setelah itu Habib Munzir berbicara kepada kaum Muslim. Untuk makan siang, Habib
sagu) dengan ikan. Sekembalinya ke hotel, Habib Munzir mengadakan pertemuan dengan
tokoh-tokoh Muslim setempat yang memberi tahu dia tentang sebuah desa yang „dekat dengan pantai‟ tempat salinan Qur‟an kuno ditemukan dan penduduk „adalah Muslim, tetapi mereka tidak tahu Islam , mereka tidak tahu lagi tentang pengakuan iman. Mereka
hanya tahu bahwa mereka tidak diperbolehkan makan daging babi. Mereka berpikir bahwa
ini adalah hukum adat, padahal ini adalah hukum Islam.18 Penduduk setempat bertanya kepadanya: „Di mana para pengkhotbah dari Jakarta? Bagaimana kita bisa tahu dan belajar Islam? Di mana orang-orang kaya di Jakarta? Mereka mengirim banyak uang ke Palestina,
Bosnia, Afghanistan, tetapi mereka melupakan kami, sedangkan kami adalah Muslim dari
negara yang sama seperti mereka, penduduk Jakarta.19
Dalam perjalanan kembali ke Manokwari, kondisi jalan bahkan lebih buruk daripada hari sebelumnya dan Land Cruiser harus dibebaskan dari „cakar lumpur‟. Dalam perjalanan mereka bertemu ayah dari salah satu siswa Ahmad Baihaqi yang masih mengikuti agama lain, tetapi tampaknya mulai menunjukkan minat untuk menjadi seorang Muslim „(masih beragama lain, tapi kelihatannya sudah mulai tertarik masuk Islam). Mereka juga melewati sebuah mushola kecil (mushalla) yang didanai oleh „pengusaha perempuan dari Jakarta‟ yang pernah mengunjungi daerah itu dalam kegiatan perdagangannya. Kemudian Habib
Munzir tertidur dan memimpikan seorang habib muda yang memberi tahu dia bahwa dia
telah beragama di sini tetapi meninggal sebagai seorang martir. Habib Munzir merasa kasihan kepada habib muda yang „kuburnya berada di hutan Irian Jaya tidak ada yang tahu di mana‟ (kuburanya tak dikenali orang di dalam rimba belantaran Irian Jaya), dan dia berpikir untuk meninggalkan Jakarta untuk Papua untuk merenung di sana, mungkin
bertemu dengan orang yang sama. takdir sebagai habib muda mimpinya. Namun demikian,
keesokan harinya ia terbang kembali ke ibukota Indonesia.20
Perjalanan ketiga Habib Munzir ke Papua pada Januari 2010 diliput oleh Al-Kisah
dalam tiga edisi berikutnya. Kali ini dia tidak terbang ke Manokwari tetapi ke Sorong
dimana Ahmad Baihaqi menunggunya. Mereka mengunjungi seorang anggota DPRD,
yang ayah dan kakeknya membangun mesjid di Sorong. Mereka menyesalkan situasi saat
ini bahwa mayoritas anggota parlemen adalah orang Kristen meskipun populasi Sorong
„bangunan keagamaan agung‟ yang mereka miliki. Di bawah subjudul „Indahnya Toleransi‟, ceritanya berlanjut dengan munculnya seorang biarawati Katolik yang meminta tumpangan ke Teminabuan. Habib Munzir mengizinkannya pergi bersama mereka dan
biarawati itu duduk di ruang terbuka di belakang mobil mereka. Setelah beberapa saat,
hujan mulai turun yang menyebabkan Habib Munzir memberi hormat kepada suster itu
karena ketabahannya. Pada saat yang sama dia merasa malu karena dia duduk dengan
nyaman di dalam mobil. Akibatnya, dia menghentikan mobil dan mengundang suster itu
untuk berganti posisi. Duduk di tengah hujan di bagian belakang mobil, Habib Munzir
mulai merefleksikan kehidupan selebriti di ibukota Indonesia, berbicara kepada dirinya sendiri: „Anda dimanjakan di Jakarta. Ribuan orang berbaris untuk mencium tangan Anda. Mereka memuliakan dan menyanjung Anda. Perjuangan Anda dalam proselytisation hanya
terbatas pada naik dan turun panggung sambil dimuliakan dan disanjung. Sekarang Anda
berhak merasakan proselytisation seperti ini. Ini adalah ladang bagi seorang pengkhotbah
tentang jalan Allah. Anda terlalu dimanjakan. Anda juga harus merasakan proselytisation
seperti ini ... Rasakan kelezatan proselytisation, tetap duduk di sini dan tahan, oh Munzir berdosa, idler, dan manja! „21
Ketika mereka tiba di Teminabuan, Habib Munzir check in di „hotel dasar tetapi sudah dilengkapi dengan AC‟ (hotel sederhana tapi sudah dilengkapi AC). Kemudian dia membayar sopir dan menunjukkannya di layar smartphone-nya sebuah acara dari Majelis
Rasulullah di Monas (monumen nasional) di Jakarta. Pengemudi terkesan oleh „ratusan ribu‟ peserta dan hampir tidak percaya bahwa orang yang memimpin acara ini berdiri di depannya.22 Keesokan paginya Habib Munzir menyewa perahu berangkat ke Kokoda, yang
terletak di pantai selatan Semenanjung Kepala Burung. Dalam perjalanan ke Kokoda, Habib Munzir merenungkan „daerah terpencil ini. Telepon belum tersedia, listrik hanya di Teminabuan dan itu hanya di malam hari. Tidak ada guru agama Islam atau sekolah di
Teminabuan ... [tapi] terasa gelombang kuat dari penganut agama non-Islam dan sekolah
non-Islam.23 Kokoda diperkenalkan sebagai „wilayah Islam ketiga [Papua] yang telah ditembus oleh Islam ulama dari Hadhramaut „(wilayah muslim ketiga yang dimasuki ulama Hadhramaut) dengan Fakfak dan Babo disebutkan sebagai dua wilayah lainnya.
Hadhrami dikreditkan dengan membangun Masjid Annur, masjid cahaya, di Kokoda,
„tidak dihubungi lagi‟ (tidak disentuh lagi). Inilah alasan mengapa sholat lima waktu semakin tidak dipraktekkan dan orang hanya berkumpul untuk shalat Jumat. Kehidupan
religius hanya dihidupkan kembali oleh sahabat Habib Munzir, Ahmad Baihaqi, yang telah
mengunjungi Kokoda dan membawa beberapa pemuda kembali ke Jakarta untuk
mempelajari Islam. Jadi ketika Habib Munzir tiba di Kokoda, dia bisa melihat bendera
Majelis Rasulullah. Mereka tinggal di rumah yang „cukup baik untuk standar Kokoda, tetapi tanpa listrik, tidak ada sinyal ponsel, apalagi telepon‟ (cukup bagus untuk ukuran Kokoda, tapi tidak ada listrik, tidak ada sinyal ponsel, dll). Setelah doa malam, Habib
Munzir memberikan khotbah di Masjid Annur, ketika „banyak orang Muslim berdoa untuk pertama kalinya, meskipun mereka sudah tua‟ (banyak orang Muslim yang baru pertama kali shalat, walau mereka sudah berulang waktu). Ketika Habib Munzir menyampaikan
khotbahnya, Muslim di Kokoda “meneteskan air mata”. Setelah pertemuan berakhir, „air
mata mereka masih mengalir di pipi mereka. Mereka bersaing untuk menyambut saya,
seperti yang terjadi di Jakarta.24 Dengan akun emosional ini, artikel terakhir di Al-Kisah
berakhir.
Keterlibatan Habib Munzir di Papua sangat dikenal di antara anggota Majelis
Rasulullah, karena itu kisahnya tidak hanya diterbitkan di Al-Kisah tetapi juga di situs web
organisasi25 dan di YouTube di mana orang dapat menonton video pendek dari
perjalanannya.26 Ketika Habib Munzir meninggal dunia di 15 September 2013 di Jakarta,
baru saja menginjak usia 40 tahun, para pengikutnya datang dari berbagai tempat di
Indonesia untuk memberi penghormatan terakhir. Diwawancarai oleh portal berita populer
di Indonesia detik. com, seorang anggota Majelis Rasulullah dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, menyatakan dengan bangga bahwa „teman-teman dari Surabaya akan datang, dari Tegal, Sumatra, dan juga dari Papua ... Dia [Habib Munzir] bahkan memiliki siswa dari
Papua. Dia mengajar mereka sampai mereka dewasa, dan kemudian mengirim mereka
kembali ke Papua untuk diceramahi.27
Mari saya mulai pembahasan saya tentang kisah Habib Munzir tentang Papua dengan
membandingkannya dengan narasi anggota Al-Khairaat Indonesia timur. Meskipun
Indonesia timur pasca-Suharto telah melihat kekerasan yang mengerikan di sepanjang garis
agama di Poso (Sulawesi Tengah) dan Maluku, anggota Al-Khairaat yang tinggal di
provinsi dengan keberadaan Kristen yang kuat kurang peduli dengan kegiatan Kristen di
Papua daripada Habib Munzir yang datang dari sebagian Indonesia dengan mayoritas
Kristen di tempat-tempat yang ia kunjungi. Jadi, bagi Habib Munzir, Papua adalah
pertama-tama sebuah negeri di mana dapat terjadi bahwa seseorang harus tinggal di „satu -satunya hotel Muslim‟, di mana itu bisa sulit untuk membangun masjid, di mana seseorang bertemu „bangunan-bangunan keagamaan besar‟ yang tidak Islami dan di mana orang dapat melakukan perjalanan selama berjam-jam tanpa melihat Muslim mana pun.
Sebaliknya, anggota Al-Khairaat yang saya wawancarai, yang belum pernah bepergian ke
Papua, orang harus menambahkan, membayangkan Papua sebagai tempat yang memiliki
potensi untuk meninggalkan jahiliyyah dan menjadi bagian dari „rumah Islam‟ seperti
bagian lain. dari Indonesia bagian timur. Mereka menganggap wilayah di mana mereka
tinggal menjadi bagian dari tapal batas Islam dengan Papua sebagai perpanjangan yang paling jauh dan „paling liar‟ di mana „hutan‟ dan „keprimitifan‟ penghuninya adalah penghalang terbesar untuk dakwah, sedangkan pertanggungjawaban Habib Munzir terletak
pada dikotomi yang jelas antara pusat dan pinggiran, yaitu antara Jakarta dan Papua,
menemukan ekspresinya dalam sebuah wacana yang terdiri dari kekhawatiran tentang
dominasi Kristen serta perspektif diaspora dan evolusionis atau developmentalist
Hadhrami.
Tidaklah mengherankan, perspektif diasporik Hadhrami dapat ditemukan dalam
catatan-catatan baik dari anggota Al-Khairaat Indonesia timur maupun pendeta Jakarta. Keduanya membangkitkan „cahaya Nabi‟ yang dapat menerangi tapal batas Papua. Habib Munzir jelas memposisikan dirinya dalam tradisi prosusisasi Hadhrami di Papua, ketika ia
mengunjungi tempat-tempat di mana Hadhrami seperti yang dikatakan sebelumnya dan
telah meninggalkan jejak, seperti bangunan masjid di Kokoda. Dia bahkan memimpikan
seorang Hadhrami yang pernah mengadili di wilayah itu dan terbunuh, meratapi bahwa makamnya „di hutan‟ tidak diketahui. Pernyataan ini harus dipahami dengan latar belakang bahwa, seperti disebutkan sebelumnya, kuburan mewakili situs-situs penting di diaspora
Hadhrami dan kunjungan kuburan adalah bagian penting dari praktik keagamaan
Hadhrami. Habib Munzir kemudian melihat dirinya sendiri dalam sebuah misi yang mirip
dengan misi Hadhrami di masa lalu - seperti Sayyid Idrus Al-Jufri, pelancong yang tak
kenal lelah dan pendiri Al-Khairaat, orang mungkin menambahkan - mengubah penduduk
lokal ke Islam atau mengajar Muslim lokal bagaimana mempraktikkan agama mereka
dengan benar.
Terlepas dari segala kesamaan-kesamaan ini, tema khotbah di „hutan‟ ditampilkan
Indonesia bagian timur, yang menunjukkan bahwa sebagai penduduk ibu kota Indonesia, ia
lebih banyak dipengaruhi oleh wacana evolusionis-cum-perkembangan . Terlepas dari
gagasan tentang hutan yang menjadi bagian dari bidang semantik wacana evolusionis
tentang primitivisme dan jaman batu (lihat bab Stasch) yang ia bagikan dengan
Al-Khairaat Hadhrami, kisah Habib Munzir memiliki penekanan perkembangan yang lebih kuat. Bahkan, ia suka menyoroti perbedaan teknologi antara kehidupan di „teknologi tinggi‟ Jakarta dan Papua yang „terbelakang‟. Pembaca diberi tahu bahwa hotel tempat ia tinggal adalah dasar tetapi „dilengkapi dengan AC‟, jika listrik tersedia dan jika memang tersedia, siang atau malam. Pembaca juga diberitahu tentang kondisi jalan dan, yang paling
penting, tentang (ketidak) kemungkinan komunikasi real-time, seperti yang disampaikan kepada pembaca tepatnya dikarenakan selama dalam perjalanannya „tidak ada sinyal‟. Terinspirasi oleh apa yang ditulis Danilyn Rutherford (dalam buku ini), orang dapat
membaca perjalanan Habib Munzir yang juga terdiri dari demonstrasi teknologi, bukan
untuk menunjukkan jaman batu seperti yang dilakukan oleh pejabat kolonial Belanda, tetapi untuk menekankan perbedaan antara „real-time‟ Jakarta dan „terbelakang‟ Papua. Habib Munzir bepergian dengan laptop dan ponsel pintarnya, yang juga ia gunakan untuk
menunjukkan kepada para Muslim di Papua video yang menunjukkan bagaimana ia dapat
memobilisasi massa di ibu kota, yaitu bagaimana Islam dapat berkembang di tempat yang
berkembang dan terhubung.
Namun, kondisi di Papua dianggap sebagai kekurangan di kedua bidang, teknologi
dan agama, secara psikologis hal ini menegangkan bagi Habib Munzir. Perjumpaannya
dengan biarawati Katolik yang berani itu menyebabkan kritik-diri sebagai warga Jakarta
yang manja yang untuk pertama kalinya melakukan dakwah dalam lingkungan semacam
itu, yang ia anggap lebih otentik daripada aktivitasnya di Jakarta. Papua, bukan Jakarta, adalah „ladang untuk seorang pengkhotbah jalan Allah‟.28
Selain itu, catatannya tidak
hanya terdiri dari kritik diri tetapi juga tuduhan tentang keadaan proselytisation Islam di
Indonesia yang meninggalkan sebagian besar Papua ditinggalkan. Ini jelas ditujukan
kepada pembaca Al-Kisah, yang utamanya berbasis di Jawa. Papua digambarkan sebagai
wilayah yang tidak hanya membutuhkan materi tetapi juga pengembangan spiritual, di
menjadikan Papua bagian dari masa kini (real-time). Dalam akun Habib Munzir,
wacana-wacana garis depan berbagai jenis tumpang tindih dan bergabung ketika mereka
diinformasikan oleh tema-tema yang lazim dalam imajinasi-imajinasi Islam dan sekuler
dari daerah-daerah pinggiran. Ini adalah kesimpulan dari bab ini di mana saya akan
kembali ke hierarki spatio-temporal yang melekat pada akunnya.
Hadhrami Sebagai Orang Papua dan Alternatif Imajiner Papua
Sejauh ini, dalam bab ini, kami mengikuti Hadhrami Indonesia yang berasal dari
Indonesia timur dan Jawa untuk mempelajari cara mereka melihat dan mengalami tinggal
di Papua sebagai daerah tapal batas. Namun, diskusi ini tidak akan lengkap, jika kita tidak
menganggap Hadhrami itu dengan sejarah yang lebih lama di Papua, karena pandangan
dari Jakarta dan bagian dari Indonesia timur sangat berbeda dari pandangan di Papua, di
mana kita dapat mengamati identitas Muslim Papua saat ini dalam pembuatan serta praktik
dan imajinasi Islam alternatif.
Sebagaimana diuraikan di atas, migrasi Arab ke Papua menghasilkan perdagangan,
perkawinan campuran dan pemukiman Hadhrami di wilayah tersebut. Misalnya, integrasi
tingkat tinggi ke dalam masyarakat lokal dapat diamati di antara Hadhrami di kepulauan
Raja Ampat. Albert Remijsen (2002: 180) di dalam disertasinya tentang marga-marga asal non-Raja Ampat yang telah menjadi bagian dari Ma‟ya, karena penduduk Muslim di pulau-pulau itu disebut: „Klan-klan ini berbicara dengah bahasa Ma‟ya dan benar-benar terintegrasi dalam masyarakat Ma‟ya. „Dan di antara mereka, Remijsen mengutip Alhamid, disebutkan sebelumnya sebagai salah satu keluarga Hadhrami besar di wilayah tersebut. Di
Sorong, saya dapat mewawancarai seorang wakil dari keluarga Hadhrami ini, Basri
Alhamid, kepala sekolah dari Sekolah Tinggi Islam Negeri Sorong (Madrasah Aliyah
Negeri) yang lahir pada tahun 1956 di Salawati, salah satu pulau Raja Ampat. Dia cukup
terkejut ketika saya bertanya kepadanya tentang keturunan Arabnya, karena dia lebih banyak mengidentifikasi dengan tanah di mana dia dilahirkan: “Ibu saya masih keturunan Arab, dan ayah saya juga. Tetapi ibu dari ibu saya berasal dari Raja Ampat ... dan kami
lahir di sini, tumbuh di sini dan menjadi orang Papua. Jika saya disebut orang Arab,
mungkin itu hanya nama keluarga ... Di Fakfak, banyak orang Arab yang menikah dengan
orang Papua. Ini adalah perpaduan banyak lapisan sehingga terkadang Anda dapat
melihatnya dengan baik... Seperti saya, Anda tidak dapat melihat bahwa saya keturunan
Arab.29
Identifikasi yang dekat dengan tanah di mana seseorang dilahirkan dan hidup saat ini
sebenarnya tidak ada yang istimewa di antara Hadhrami, karena mereka gemar mengutip hadits, yaitu perkataan Nabi Muhammad, yang berbunyi, „Cinta tanah air bermula dari iman‟ (dalam Bahasa Arab, „hubb al-watan min al-iman‟). Para Hadhrami menekankan kesetiaan seseorang kepada Indonesia sangat penting pada masa kolonial akhir dan setelah
kemerdekaan Indonesia ketika status mereka sebagai warga negara dari republik baru
dipertaruhkan (Jonge 2004). Tampaknya di era pasca kepemimpinan presiden Soeharto,
Otonomi Khusus Papua, di mana wacana nasionalis dan Kristen semakin konvergen (lihat
bab oleh Timmer, Myrttinen, dan Richards dalam buku ini), Hadhrami sebagai Muslim
berada dalam situasi yang akrab karena harus membuktikan bahwa mereka dengan, dan
sebenarnya bagian dari, penduduk pribumi.
Mengingat kecenderungan khas Hadhrami di wilayah Maluku-Papua dan di
Indonesia pada umumnya untuk menduduki posisi-posisi penting dalam masalah-masalah
Islam, tidak mengherankan bahwa Papuan Hadhrami terlibat dalam pembentukan sebuah
organisasi untuk Muslim Papua di Indonesia pasca-Suharto, Dewan Muslim Papua atau
Majelis Muslim Papua (MMP). MMP dibentuk pada tahun 2007 dan tumbuh dari
organisasi Solidaritas Muslim Papua yang didirikan pada tahun 1999 oleh 47 tokoh
Muslim, termasuk Thaha Alhamid dan Sayyid Fadhal Alhamid yang merupakan keturunan
Hadhrami. Thaha Alhamid adalah sosok yang sangat menonjol karena ia adalah bagian
dari elit nasionalis Papua, dan mungkin merupakan tokoh nasionalis Papua yang paling
menonjol, ia menjabat sebagai sekretaris jenderal Dewan Presidium Papua atau Presidium
Dewan Papua (PDP) (Pamungkas 2011: 139, 141 ; Wanggai 2008: 199-200). Menurut Cahyo Pamungkas (2008, 2011: 140), MMP didirikan untuk „melawan proposisi bahwa Islam identik dengan Indonesia‟, untuk membangun „jembatan komunikasi antara imigran Muslim dan masyarakat Kristen Papua‟, untuk mengadvokasi hak-hak asli Papua , hak asasi manusia dan untuk memerangi ketimpangan ekonomi, dan untuk melawan pengaruh
organisasi-organisasi Islam Indonesia yang biasanya berfokus pada para pendatang
Muslim. Perannya dalam menjembatani kepentingan antara kubu Kristen dan Islam diuji
pada tahun 2007, dalam rangka pembentukan Institut Islam Negara Al-Fatah atau Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Al-Fatah di Jayapura. STAIN Al-Fatah diprotes oleh
menyelesaikan sengketa meyakinkan gubernur Kristen Papua bahwa orang Papua juga
akan mendapat manfaat dari institut tersebut (ibid . 147–148). Lembaga ini sekarang
dipimpin oleh anggota lain dari keluarga Alhamid, yaitu Idrus Al-Hamid, yang merupakan
pengamat dekat ketegangan Kristen-Muslim di Papua (Al-Hamid 2013, 2014).
Meskipun tingkat integrasi yang tinggi ke dalam lingkaran Muslim Papua dan peran
utama mereka dalam organisasi dan institusi Islam, Otonomi Khusus Papua dapat
menghantui para Hadhrami Papua dengan cara-cara yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Pertimbangkan kasus Mohammad Musa‟ad, yang merupakan salah satu negosiator mengenai kebijakan Otonomi Khusus, tetapi ditolak sebagai kandidat wakil
gubernur pada tahun 2005 karena nenek moyangnya yang dari Arab (Pamungkas 2011: 133, 143). International Crisis Group (2006: 8) juga mengakui kasusnya: „Meskipun ibu Musa‟ad adalah orang Papua dari FakFak, ayahnya adalah keturunan Arab.‟ Menurut Majelis Rakyat Papua, MRP, tubuh yang memiliki hak untuk menyaring kandidat sesuai dengan undang-undang Otonomi Khusus, „orang asli Papua adalah orang dari ras Melanesia, yang ibu dan ayahnya adalah orang Papua, dengan warisan patrilineal, dan
yang memiliki basis budaya dengan bahasa lokal, suku Papua , sebuah desa yang menjadi miliknya, dan tradisi adat (adat istiadat) „(ibid.). Namun, ada juga kemungkinan bahwa seseorang dapat menjadi kandidat jika dia „diterima dan diakui sebagai penduduk asli Papua oleh masyarakat adat setempat‟ (ibid .: 9), dan Mohammad Musa‟ad mendapat dukungan dari Bombarari suku di wilayah Fakfak. Namun ia masih ditolak karena, sebagai
salah satu anggota MRP menjelaskan kepada ICG, banyak anggota MRP lebih memilih „orang Papua totok, dengan kulit hitam dan rambut keriting‟ (ibid.) (Lihat juga Wanggai 2008: 206).
Meskipun kecenderungan ini terhadap pandangan kaku tentang siapa yang dianggap
sebagai orang Papua, Hadhrami dengan latar belakang Papua sering menganggap diri
mereka (juga) sebagai orang Papua dan melihat Papua sebagai pusat kegiatan keagamaan
dan politik mereka. Mereka tidak berbagi perspektif sesama Hadhrami di bagian lain di
Indonesia yang dijiwai dengan ide-ide tapal batas Islam dan sekuler. Selain itu, sebagai
Muslim yang telah tinggal di Papua selama beberapa generasi mereka tidak hanya
mewujudkan strategi Hadhrami untuk menjadi warga lokal, seperti melalui kawin campur
dan kuat diidentifikasi sebagai tanah di mana seseorang dilahirkan, tetapi juga akrab
Interpretasi ini sangat tersebar luas di Kepala Burung dan Semenanjung Bomberai
dan pada dasarnya mengatakan bahwa Islam, seperti Kristen, adalah asli berasal dari
Papua: Papua adalah tanah tempat Adam dan Hawa turun, di mana bahtera Nuh terdampar,
dan di mana semua tokoh suci berikutnya buku-buku hidup. Sebuah gunung di tanah antara Teluk Arguni dan Teluk Wondama dikenal dengan nama „gunung nabi‟ dan beberapa Muslim Papua suka melakukan ziarah di sana daripada bepergian ke Mekkah (Wanggai
2008: 59–60) . Sebagai contoh untuk tradisi lisan seperti itu, saya ingin merujuk pada
mitos yang terdiri dari cerita tentang dua mata air yang terletak dekat dengan Fak-fak.
Yang satu adalah air asin dan yang lainnya adalah sumber air yang manis. Keduanya dijaga
oleh pria yang memiliki buku. Penjaga mata air asin memiliki Al-Qur‟an, sedangkan
penjaga air yang manis memiliki Alkitab. Ajaran-ajaran dari mata air asin kemudian
diadopsi oleh orang-orang yang tinggal di pantai dan ajaran-ajaran dari mata air manis
menemukan pengikut di antara orang-orang yang tinggal di pedalaman, menyinggung distribusi Muslim dan Kristen di wilayah tersebut (Onim 2006: 53–54; Warta 2011: 334). Narasi ini mengingatkan kosmologi Papua, seperti Koreri, yang mengidentifikasi Yesus
Kristus berasal dari Papua (Rutherford 2003, 2012), dan menyangkal penggambaran Papua
sebagai zona tapal batas Islam atau sebagai pinggiran yang terbelakang, apalagi sebagai
sisa batu -usia. Sebaliknya, Papua tampak sebagai pusat dari semua agama Ibrahim,
termasuk Islam, dimana peradaban masa kini berasal (lihat juga bab oleh Myrttinen dan
Timmer dalam buku ini).
Penutup
Bab ini telah membahas konsep-konsep daerah tapal batas di awal yang sangat
bergantung pada wacana evolusionis dan perkembangan seperti yang telah - dan masih -
diarahkan ke Papua dan penduduk pribumi. Dakwah-dakwah yang mengekspresikan
hierarki-hirarki spatio-temporal khusus yang dikarakteristikan oleh logika tahapan
perkembangan manusia dan masyarakat, dengan Papua dan orang Papua terdegradasi ke
tingkat terendah. Dengan demikian, harus ditekankan, mereka berbeda dari konsep garis
depan Islam Dar al-Islam atau Dar al-Harb dan jahiliyyah yang terletak pada dikotomi
antara Islam dan tatanan non-Islam. Konsep-konsep tapal batas Islam ini tidak diadakan