KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PEDAGANG KAKI LIMA
Disusun Oleh :
ANWAR SENTIADI
19700610 200903 1 001 Pengatur Muda Tingkat I
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-NYA sehingga saya dapat menyelesaikan tugas karya ilmiah sederhana yang berjudul “ KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PEDAGANG KAKI LIMA “ dengan baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, dan kita juga menyadari adanya kekurangan dalam penulisan makalah tersebut, maka dari itu kami perlu saran dan kritik untuk membangun kesempurnaan tugas.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan tersebut sehingga tersusunnya makalah ini dari awal hingga akhir.
Batu, 8 Desember 2016
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... ii
BAB I PENDAHULUAN... 1
Latar Belakang... 1
Rumusan Masalah... 2
BAB II PEMBAHASAN... 3
Pengertian Taman Nasional... ... 3
Rencana Pengelolaan Taman Nasional... 5
Persoalan-persoalan Pengelolaan... 5
Manfaat Taman Nasional... 7
Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional... 7
BAB III PENUTUP... 9
Kesimpulan... 9
Saran... 10 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Masalah Pedagang Kaki lima (PKL) tidak kunjung selesai di setiap daerah di
Indonesia. Permasalahan ini muncul setiap tahun dan terus saja berlangsung tanpa ada solusi
yang tepat dalam pelaksanaannya. Keberadaan PKL kerap dianggap ilegal karena menempati
ruang publik dan tidak sesuai dengan visi kota yang sebagian besar menekankan aspek
kebersihan, keindahan dan kerapihan kota atau kita kenal dengan istilah 3K. Oleh karena itu
PKL seringkali menjadi target utama kebijakan – kebijakan pemerintah kota, seperti
penggusuran dan relokasi.
Hal ini merupakan masalah yang sangat kompleks karena akan menghadapi dua sisi
dilematis. Pertentangan antara kepentingan hidup dan kepentingan pemerintahan akan
berbenturan kuat dan menimbulkan friksi diantara keduanya. Para Pedagang Kaki Lima
(PKL) yang umumnya tidak memiliki keahlian khusus mengharuskan mereka bertahan dalam
suatu kondisi yang memprihatinkan, dengan begitu banyak kendala yang harus di hadapi
diantaranya kurangnya modal, tempat berjualan yang tidak menentu, kemudian ditambah
dengan berbagai aturan seperti adanya Perda yang melarang keberadaan mereka. Melihat
kondisi seperti ini, maka seharusnya semua tindakan pemerintah didasarkan atas kepentingan
masyarakat atau ditujukan untuk kesejahtraan rakyat atau dalam hal ini harus didasarkan pada
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dianalisis oleh penulis adalah:
1. Pengertian pedagang kaki lima?
2. Masalah keberadaan pedagang kaki lima?
3. Apa sajakah kebijakan– kebijakan yang dibuat pemerintah untuk menangani
masalah Pedagang Kaki Lima itu?
4. Persepsi masyarakat terhadap PKL?
5. Dampak positif dari hadirnya PKL?
6. Dampak negatif dari hadirnya PKL?
7. Perlindungan hukum?
8. Harapan masyarakat kedepannya?
1.3 Tujuan Masalah
Tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan pengertian dari Pedagang Kaki Lima.
2. Untuk mendeskripsikan alasan dipermasalahkannya Pedagang Kaki Lima oleh
pemerintah.
3. Untuk mendeskripsikan kebijakan – kebijakan yang dibuat pemerintah untuk
menangani masalah Pedagang Kaki Lima.
4. Persepsi Masyarakat terhadap PKL
5. Perlindungan Hukum
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Pedagang Kaki Lima
Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja
dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena
jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah
tiga “kaki” gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini
istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya.
Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan
pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya
menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar luas untuk pejalan adalah lima kaki atau
sekitar satu setengah meter.
Dari hasil penelitian oleh soedjana (1981) secara spesifik yang di maksud pedagang
kaki lima adalah sekelompok orang yang menawarkan barang dan jasa untuk di jual diatas
trotoar atau tepi/ di pinggir jalan, di sekitar pusat perbelanjaan /pertokoan,pusat rekreasi atau
hiburan, pusat perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap ataupun tidak menetap,
berstatus tidak resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik pagi, siang, sore maupun malam
hari.
Dari segi ekonomi tentunya jelas dapat dilihat bahwa dengan adanya PKL dapat
diserap tenaga kerja yang dapat membantu pekerja tersebut dalam mendapatkan penghasilan.
Dari segi sosial dapat dilihat jika kita rasakan bahwa keberadaan PKL dapat menghidupkan
maupun meramaikan suasana. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri, selain itu dalam segi
budaya, PKL membantu suatu kota dalam menciptakan budayanya sendiri.
PKL keberadaannya memang selalu dipermasalahkan oleh pemerintah karena ada
beberapa alasan, yaitu diantaranya:
1. Penggunaan ruang publik oleh PKL bukan untuk fungsi semestinya karena dapat
membahayakan orang lain maupun PKL itu sendiri.
2. PKL membuat tata ruang kota menjadi kacau.
3. Keberadaan PKL tidak sesuai dengan visi kota yaitu yang sebagian besar menekankan
aspek kebersihan, keindahan dan kerapihan kota.
4. Pencemaran lingkungan yang sering dilakukan oleh PKL.
5. PKL menyebabkan kerawanan sosial.
Kemungkinan terjadinya persaingan tidak sehat antara pengusaha yang membayar
pajak resmi dengan pelaku ekonomi informal yang tidak membayar pajak resmi (walaupun
mereka sering membayar ”pajak tidak resmi”), contohnya ada dugaan bahwa pemodal besar
dengan berbagai pertimbangan memilih melakukan kegiatan ekonominya secara informal
dengan menyebarkan. Berkembangnya PKL dipicu oleh gagalnya pemerintah membangun
ekonomi yang terlihat dari rendah dan lambatnya pertumbuhan ekonomi, tidak
berkembangnya usaha –usaha di sektor riil yang pada akhirnya menyebabkan meningkatnya
jumlah pengangguran yang sampai saat ini diprediksi kurang lebih 40 juta penduduk sedang
menganggur yang menjadi perhatian kita, Seandainya pemerintah punya komitmen yang kuat
dalam mensejahterakan masyarakatnya harus menyiapkan dana khusus sebagai jaminan PKL
yang digusur untuk memulai usaha baru ditempat lain.Mengingat PKL yang digusur biasanya
tanpa ada ganti rugi karena dianggap illegal.
Bagaimanapun juga PKL adalah juga warga negara yang harus dilindungi
hak-haknya, hak untuk hidup, bebas berkarya, berserikat dan berkumpul. Seperti tercantum dalam
yang layak bagi kemanusiaan, dan Pasal 13 UU nomor 09/1995 tentang usaha kecil :
Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindungan, dengan
menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk: Menentukan
peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi
sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar
bagi pedagang kaki lima, serta lokasi lainnya. Memberikan bantuan konsultasi hukum dan
pembelaan.
Contoh kasus penanganan pedagang kaki lima di jakarta (PKL tanah abang).
2.3 Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani Masalah PKL
Fenomena PKL dan masalah – masalah yang ditimbulkan PKL seperti yang telah
diuraikan di atas, dianggap menyulitkan dan menghambat pemerintah untuk mewujudkan
sebuah kota yang bersih dan tertib salah satunya, walaupun pemerintah telah membuat
kebijakan Perda untuk melarang keberadaan PKL, faktanya jumlah PKL malah semakin
banyak. Dan tentu kebijakan Perda tersebut memenuhi banyak kontra dari para PKL karena
kebijakan pemerintah itu dianggap tidak tepat, tidak adil dan merugikan para PKL Kemudian
yang menambah daftar panjang permasalahan PKL ini adalah pendekatan yang dilakukan
pemerintah dalam praktiknya banyak menggunakan kekerasan. Pendekatan kekerasan yang
akan dilakukan pemerintah justru akan menjadi boomerang bagi pemerintah itu sendiri,
sehingga akan timbul ketidakstabilan, anarkisme dan ketidaktentraman yang dampaknya
justru akan menurunkan citra pemerintah sebagai pembuat kebijakan , yang paling menarik
menurut kami dari adanya permasalahan PKL ini adalah karena PKL menjadi sebuah dilema
tersendiri bagi pemerintah.
Di satu sisi PKL sering mengganggu tata ruang kota, disisi lain PKL menjalankan
peran sebagai Shadow Economiy. Kita juga harus melihat bahwa PKL memiliki beberapa
terjangkau. Apabila Indonesia ingin bebas dari PKL maka pemerintah harus memberikan
lapangan pekerjaan yang layak dan lebih baik kepada para PKL tersebut, dan juga
memberikan alternatif tempat membeli barang dengan harga yang murah khususnya pada
warga golongan menengah bawah. Apabila masyarakat dipaksakan untuk membeli barang
yang harganya lebih tinggi daripada membeli di PKL maka daya beli masyarakat akan
berkurang dan akan merembet pada bidang lain terutama kesehatan dan pendidikan.
Apabila kita berbicara mengenai kebijakan – kebijakan yang dibuat pemerintah pasti
mempunyai alas hak (aturan hukum) atau didasarkan pada asas legalitas, yaitu bahwa
diputuskan pemerintah. Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah memiliki otoritas
untuk membuat kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan kebijakan
terdapat dua model pembuatan, yang bersifat top-down dan bottom-up. Idealnya proses
pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara masyarakat dengan pemerintah. Sehingga
kebijakan tidak bersifat satu arah.
Kembali pada persolan pertama, bahwa pemerintah dalam hal ini memiliki suatu
kebijakan untuk menangani masalah PKL, yaitu suatu kebijakan yang melarang keberadaan
PKL dengan dikeluarkannya Perda (Peraturan Daerah). Pemerintah Kota/daerah
mengeluarkan kebijakan yang isinya antara lain .
1) Pedagang Kaki Lima dipindah lokasikan ke tempat yang telah disediakan berupa
kios-kios.
3) Setiap kios setiap bulan ditarik retribusi
4) Bagi Pedagang yang tidak pindah dalam jangka waktu 90 hari setelah keputusan ini
dikeluarkan akan dikenakan sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dengan demikian, Pemerintah kota menganggap kebijakan relokasi tersebut
merupakan tindakan yang terbaik bagi PKL dan memudahkan PKL. Karena dengan adanya
kios – kios yang disediakan pemerintah, pedagang tidak perlu membongkar muat
dagangannya. Selain itu, pemerintah juga berjanji akan memperhatikan aspek promosi,
pemasaran, bimbingan pelatihan, dan kemudahan modal usaha. Pemerintah merasa telah
melakukan hal yang terbaik dan bijaksana dalam menangani keberadaan PKL.
Pemerintah Kota merasa telah melakukan yang terbaik bagi para PKL. Namun, Pasca
relokasi tersebut, beberapa pedagang kaki lima yang diwadahi dalam suatu paguyuban
melakukan berbagai aksi penolakan terhadap rencana relokasi ini. Kebijakan Relokasi ini
tidak dipilih karena adanya asumsi bahwa ada kepentingan dalam kebijakan ini yaitu;
Pertama dalam membuat agenda kebijakannya pemerintah cenderung bertindak
sepihak sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan. Hal tersebut dapat dilihat dari
tidak diikut sertakan atau dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke dalam tim yang
‘menggodok’ konsep relokasi. Tim relokasi yang selama ini dibentuk oleh Pemerintah hanya
terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten Pembangunan, Kepala Dinas Perindustrian,
Perdagangan, dan Koperasi, serta Dinas Pengelolaan Pasar.
Kedua adanya perbedaan persepsi dan logika dalam memandang suatu masalah
antara pemerintah dengan pedagang kaki lima tanpa disertai adanya proses komunikasi
timbal balik diantara keduanya. Dalam proses pembuatan kebijakan, Pemerintah seringkali
menggunakan perspektif yang teknokratis, sehingga tidak memberikan ruang terhadap proses
negosiasi atau sharing informasi untuk menemukan titik temu antara dua kepentingan yang
memberikan rasionalisasi dan sosialisasi atas kebijakan relokasi yang dikeluarkan, sehingga
pedagang kaki lima curiga bahwa relokasi tersebut semata-mata hanya untuk keuntungan dan
kepentingan Pemerintah Kota atas proyek tamanisasi. Selain itu, tidak adanya sosialisasi
tersebut mengakibatkan ketidak jelasan konsep relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah,
sehingga pedagang kaki lima melakukan penolakan terhadap kebijakan relokasi.
2.4 Persepsi Masyarakat terhadap PKL
Responden yang diperoleh dari wawancara menyatakan pendapat yang berbeda-beda.
Diantaranya, ada masyarakat yang beranggapan bahwa keberadaan PKL di perkotaan bisa
kita katakan tidak teratur, umunya mereka tidak tertib dan jorok karena mereka berjualan di
trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan dibadan jalan,sehingga
menjadi/ penyebab kemacetan lalu lintas atau pun merusak keindahan kota.
2.5 Dampak Positif dari Hadirnya PKL
Pada umumnya barang-barang yang diusahakan PKL memiliki harga yang tidak
tinggi, tersedia di banyak tempat, serta barang yang beragam, Sehingga PKL banyak
menjamur di sudut-sudut kota, karena memang sesungguhnya pembeli utama adalah
kalangan menengah kebawah yang memiliki daya beli rendah,Dampak positif terlihat pula
dari segi sosial dan ekonomi karena keberadaan PKL menguntungkan bagi pertumbuhan
ekonomi kota karena sektor informal memiliki karakteristik efisien dan ekonomis.Hal ini
dikarenakan usaha-usaha sektor informal bersifat subsisten dan modal yang digunakan
kebanyakan berasal dari usaha sendiri. Modal ini sama sekali tidak menghabiskan sumber
daya ekonomi yang besar.
2.6 Dampak Negatif dari Hadirnya PKL
PKL mengambil ruang dimana-mana, tidak hanya ruang kosong atau terabaikan
tetapi juga pada ruang yang jelas peruntukkannya secara formal. PKL secara illegal
lainnya. Alasannya karena aksesibilitasnya yang tinggi sehingga berpotensi besar untuk
mendatangkan konsumen.
Akibatnya adalah kaidah-kaidah penataan ruang menjadi mati oleh
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi akibat keberadaan PKL tersebut. Keberadaan PKL yang tidak
terkendali mengakibatkan pejalan kaki berdesak-desakan, sehingga dapat timbul tindak
kriminal (pencopetan) Mengganggu kegiatan ekonomi pedagang formal karena lokasinya
yang cenderung memotong jalur pengunjung seperti pinggir jalan dan depan toko Dan
sebagian dari barang yang mereka jual tersebut mudah mengalami penurunan mutu yang
berhubungan dengan kepuasan konsumen.
2.7 Perlindungan Hukum
Pasal 27 ayat (2) UUD 45: Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 13 UU nomor 09/1995 tentang usaha
kecil. Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindunga, dengan menetapkan
peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk,menentukan peruntukan tempat
usaha yang meliputi pemberian lokasi dipasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi
pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima,
sertalokasi lainnya. b. memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.Dengan adanya
beberapa ketentuan diatas, pemerintah dalam menyikapi fenomena adanya pedagang kaki
lima, harus lebih mengutamakan penegakan keadilan bagi rakyat kecil. Walaupun didalam
Perda K3 (Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban) terdapat pelarangan Pedagang Kaki Lima
untuk berjualan di trotoar, jalur hijau, jalan, dan badan jalan, serta tempat-tempat yang bukan
peruntukkannya.
Pemkot jakarta semestinya menempatkan di daerah yang tersedia infrastruktur yang
meliputi penyediaan air,listrik,dan tempat sampah yang baik untuk pedagang warung
makanan.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
1. Pemerintah menghadapai suatu tantangan besar untuk mampu membuat kebijakan
yang tepat untuk menangani masalah Pedagang Kaki Lima atau yang lebih kita kenal dengan
nama PKL. Pemerintah dalam hal ini belum mampu menemukan solusi untuk menghasilkan
kebijakan pengelolaan PKL yang bersifat manusiawi dan sekaligus efektif.
2. PKL yang dianggap illegal, mengganggu ketertiban kota dan alasan –alasan lain
yang mengharuskan pemerintah membuat suatu kebijakan melarang keberadaan PKL. Tetapi
sebaiknya pemerintah tidak melihat PKL dari satu sisi saja, PKL juga telah memaikan peran
sebagai pelaku shadow economy. PKL perlu diberdayakan guna memberikan kesejahteraan
kurang mendapatkan arahan dari pemerintah. Oleh karena itu pemerintah perlu memberikan
arahan pada mereka, sehingga PKL dapat melangsungkan usahanya tanpa menimbulkan
kerugian pada eleman masyarakat yang lainnya.
3. Melalui Peraturan Daerah yang jelas dan akuntabel maka permasalahan sosial seperti
PKL dapat dihindarkan. Dengan adanya kebijakan – kebijakan alternatif yang baik untuk
masyarakat (PKL) serta ruang partisipasi yang dibuka seluas – luasnya d, maka akan
menimbulkan sinergi yang baik antara pemerintah dengan PKL dalam menghasilkan ataupun
melaksanakan sebuah kebijakan. Jadi sebetulnya apapun kebijakan yang dibuat pemerintah,
yang paling penting dan mendasar adalah mengenai kesejahtraan rakyat sebagaimana amanat
Undang – Undang Dasar 1945 bahwa negara berkepentingan untuk mensejahtrakan rakyat
yang dalam hal ini diwakilkan kepada pemerintah.
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa materi yang penulis jelaskan masih terdapat banyak
kekurangan. Sehingga untuk mengetahui lebih luas tentang penanganan pedagang kaki lima
dan kebijakan dari pemerintah, pembaca dapat memperoleh dari berbagai sumber lainnya,
DAFTAR PUSTAKA
- Hasil Wawancara dengan nara sumber kepala seksi ketertiban umum dan
Ketentraman Masyarakat
- Peraturan Pemerintah RI nomor 6 Tahun 2010 Tentang SATUAN POLISI
PAMONG PRAJA
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2010 tentang PEDOMAN
PELAPORAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 36 Tahun 2010 tentang PEDOMAN
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DASAR POLISI
PAMONG PRAJA
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 tentang PEDOMAN
PROSEDUR TETAP OPERASIONAL SATUAN POLISI PAMONG PRAJA