• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan gender dan politik pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perempuan gender dan politik pdf"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Perempuan dan Gender Dalam Politik Indonesia

Oleh. M.Ridwan Said Ahmad dan Muhammad Syukur

Setelah lebih dari dua dasawarsa pembangunan perempuan yang dilaksanakan

di Indonesia saat ini telah memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan dimana

kita dapat melihat kaum perempuan berkiprah dalam berbagai peran dan posisi strategis

dalam kehidupan masyarakat. Keragaman peran tersebut menunjukkan bahwa

perempuan Indonesia memang merupakan sumberdaya yang potensial apabila

kualitasnya ditingkatkan serta diberikan peluang dan kesempatan yang sama dengan

laki-laki untuk kemudian turut berperanserta dalam berbagai aspek, baik dalam kehidupan

keluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara. Akan tetapi disisi lain dari

keberhasilan tersebut, masih terdapat kelemahan dalam perencanaan dan pelaksanaan

pembangunan yang tidak mampu mengakomodasi kepentingan dan aspirasi perempuan

secara maksimal sehingga mengakibatkan potensi, posisi, peran dan kedudukan

perempuan sering terabaikan dalam pelaksanaan dan pemanfaatan hasil pembangunan

(dalam Melly, 1986).

Dalam Undang Undang Dasar 1945 Negara RI yakni pasal 27 mengatakan

bahwa semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum dan

pemerintahan. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa antara laki-laki dan

perempuan tentunya mempunyai hak, kedudukan dan peran yang sama untuk kemudian

bisa berpartisipasi dalam pembangunan nasional di segala bidang.

Walaupun demikian, jika memperhatikan kronologi sejarah, maka akan

tampak kemajuan yang dicapai perempuan dewasa ini cukup berarti. Di era informasi ini,

persaingan merebut lapangan kerja dan prestasi semakin kuat atau ketat turut mendorong

perempuan untuk membuktikan kemampuannya bersaing dengan laki-laki dan

perempuan eksis memainkan peranannya. Perempuan berusaha mengembangkan

kariernya atau pekerjaan di luar rumah, bahkan tidak jarang perempuan menampilkan

(2)

memungkinkan, karena lapangan kerja di segala bidang terbuka bagi kaum perempuan

seperti halnya kaum laki-laki (dalam Suwondo,1981).

Di ranah politik, peran perumpuan semakin dituntut karena secara kuantitas

jumlah mereka sangat menentukan. Untuk menunjukkan hal tersebut, kita dapat

menganalisis variable-variabel yang berkaitan. Ketiga variabel di atas tidak berdiri

sendiri dan kosong akan makna, melainkan merupakan totalitas yang merangkum sebuah

kondisi makropolitik di Indonesia demikian menurut Istibsyaroh (2004). Sebuah kondisi

yang akan menggambarkan pada kita bagaimana sebaiknya menempatkan perempuan

dalam dinamika pembangunan politik Indonesia modern. Tulisan ini akan mengantar kita

untuk merefleksikan lebih jauh dimasukkannya quota 30 persen kursi bagi perempuan

dalam penentuan daftar anggota legislatif pada pertarungan 2009 mendatang atau

bagaimana kita melihat kondisi perempuan dalam politik melalui kaca mata quota

tersebut.

Bagaimanapun kontroversialnya quota itu, tentu tak dapat dipungkiri bahwa

ini adalah sebuah langkah maju dalam politik Indonesia. Biarlah penulis mengambil

bagian pada pendapat yang bersandar bahwa quota tersebut merupakan pintu utama

menuju pembebasan lebih jauh bagi perempuan dalam konteks pembangunan politik di

negeri ini dan bukan pada pandangan bahwa sebaiknya perempuan dibiarkan eksis secara

bebas dalam percaturan politik tanpa tawaran-tawaran seperti itu, atau secara alamiah

mengisi peran berdasarkan kemampuannya sekarang. Bila kemampuan kaum perempuan

hanya mampu mengisi keterwakilannya di bawah 30 %, yah harus diterima sebagai

kenyataan sebagai konsekuensi kebebasan.

Pandangan penulis didasarkan bahwa ketimpangan peran antara perempuan

dengan laki-laki dalam bidang politik dimana dominasi laki-laki begitu kuat harus

diakhiri dan quota tersebut merupakan keuntungan tersendiri bagi perjuangan menuju

kesetaraan itu. Ini adalah modal bagi bangsa ini dalam masa transisi demokrasi sekarang,

periode persiapan memasuki babak baru perjalanan demokrasi, yakni Konsolidasi

(3)

Perempuan dalam Pembangunan Politik

Menurut Gosse (1996) memandang perempuan sama dengan memandang

dunia, berarti pula memandang kompleksitas problem manusia sejak zaman Tempo

Doeloe hingga zaman post modernis sekarang ini. Tetapi, memandang perempuan itu seperti memandang sebuah ironi kemanusiaan yang panjang, khususnya di era modern

dimana sistem perekonomian tradisional yang pusatnya di rumah --dimana peran

perempuan dalam kehidupan keluarga begitu vital-- beralih kepada pasar sebagai sentralnya (domestik ke publik, subsistensi ke uang), dimana laki-laki diuntungkan oleh

akses terhadap uang dan pengaturan sentra-sentra ekonomi bahkan pada

pengaturan-pengaturan yang punya dampak luas (strategis) terhadap dinamika kehidupan sosial

secara luas, seperti menentukan “siapa memegang peran satu dan siapa peran lainnya”.

Dalam kerangka itulah, peran kaum laki-laki semakin terdesak menuju aktor dominan

dan peran perempuan semakin tersudut dalam posisi marginal. Alasan pembenarannya

(justifikasi) bisa beragam, namun yang paling umum adalah bahwa perempuan itu lemah

baik secara biologis maupun emosional dan untuk itu tidak cocok memasuki peran sentral

dalam kehidupan sosial secara luas (publik) dimana kompetisi antar individu begitu ketat,

kasar dan primitif. Kecenderungan misoginis (pandangan negatif terhadap perempuan) dalam pandangan umumnya kaum laki-laki itu, terus menjadi momok bagi posisi

perempuan dalam upaya mengisi ruang-ruang publik untuk turut serta dalam kompetisi

hidup. Bahkan para filosof, sebagaimana dikatakan oleh Gadis Arivia juga turut serta

dalam proses marginalisasi perempuan. Menurutnya, sepanjang masa, filsuf laki-laki

mengejek dan meniadakan eksistensi perempuan. Gadis mengutip pendapat para filsuf,

seperti Plato yang mengatakan, "perempuan harus diawasi seperti hewan peliharaan";

Aristoteles, "Perempuan sesungguhnya adalah defect male''; Thomas Aquinas,

"Perempuan bukan makhluk ciptaan pertama seperti laki-laki"; Francis Bacon,

"Perempuan memiliki ciri-ciri buruk"; Immanuel Kant, "Perempuan hanya bisa

bersenang-senang, menyukai kemewahan"; Arthur Schopenhauer, "Perempuan tidak

rasional"; Frederich Nietzsche, "Perempuan Pencuri"; dan Jean Baudrillard, "Perempuan

adalah rayuan." Semua ini berdampak pada kehidupan manusia di bidang publik, meski

(4)

sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakatnya atau budaya misoginis yang

mempengaruhi pemikiran para filsuf."

Dalam konteks political development, peran perempuan juga tersudut dalam

posisi marginal bahkan disemua level struktur politik, seperti infrastruktur politik dimana

partai politik tidak memperhatikan komposisi perempuan dalam keanggotaan mereka dan

dalam daftar calon anggota legislatif dalam pemilu. Begitu pula dalam level suprastruktur

politik, seperti pada lembaga Eksekutif tingkat lokal dan departemen kementrian, juga

lembaga Legislatif baik nasional (DPR RI) apalagi lokal (DPRD) dan demikian pula

Yudikatif seperti di kehakiman dan kejaksaan baik secara nasional maupun lokal.

Ada dua kendala yang dihadapi perempuan dalam pembangunan politik;

kendala pertama adalah masih kentalnya anggapan di kalangan perempuan sendiri bahwa

politik itu kotor. Ini yang kerap menghambat keinginan perempuan untuk terjun ke

bidang politik, Padahal, jumlah perempuan yang pintar dan memiliki potensi memimpin

sudah banyak di Indonesia tapi belum ada kesempatan yang memungkinkan perempuan

tampil di depan.. Kendala kedua adalah masih kuatnya budaya patriaki yang sangat

mengagung-agungkan kemampuan laki-laki di atas kemampuan perempuan. Ini yang

menghambat usaha perempuan untuk tampil dan terjun di bidang politik yang dianggap

'lahannya’ laki-laki

Hal tersebut di atas merupakan gambaran dari aras institusional yang

menunjukkan ketersudutan posisi perempuan. Sementara di aras kesadaran dapat kita

saksikan bagaimana argumentasi umum masyarakat tentang peran perempuan dalam

politik. Argumen umum yang timpang mengemukakan bahwa “Politik adalah dunia

laki-laki”, dan “perempuan hanya mengurus problema rumah tangga” (yang sebenarnya lebih

kompleks dan memakan waktu). Dari waktu ke waktu di lembaga legislatif, perempuan hanya terwakili di bawah 12 % suaranya, dan itu berarti suara perempuan masih jauh dari

perhitungan politisi laki-laki. Adanya kebijakan dalam UU Pemilu yang mengalokasikan

30 % bagi perempuan adalah sebuah upaya mendongkrak posisi mereka dalam bidang

politik. Tetapi persoalannya kemudian bukanlah terletak pada persoalan perempuan itu an

(5)

sebuah problem kemanusian Indonesia secara menyeluruh. Ibaratnya lingkungan hidup,

persoalan banjir tahunan bukan persoalan tumbangannya pohon-pohon saja, tetapi adalah

kesadaran pengelola hutan (manusia) dan upaya mereka memahami konstelasi dari siklus

alam semesta seperti iklim, cuaca, musim dan perilaku makhluk hidup lainnya.. Maka

dari itu wajar saja apabila Indonesia merupakan negara di mana partisipasi perempuan di

lembaga eksekutif termasuk yang terendah.

Padahal saat Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 jumlah pemilih perempuan lebih

besar ketimbang pemilih lelaki, tapi nyatanya potensi besar perempuan di Indonesia

masih terabaikan kalau tidak mau disebut agak 'dipinggirkan'. Jumlah perempuan di

Parlemen juga tidak terjadi peningkatan, baik di DPR (periode 1997-2002) maupun di

periode pasca orde baru (1999-2004). Jumlah anggota DPR perempuan tak sampai 15

persen. Begitu juga di lembaga MPR, jumlahnya masih minim, anggota MPR yang

perempuan masih di bawah 12 persen.

Ada salah satu jalan atau cara elegan yang bisa membawa perempuan siap dan

tidak fobi lagi terhadap politik. Diperlukan sebuah solusi yakni lewat pendidikan politik.

Untuk mencapai proporsi keterwakilan perempuan di bidang politik secara ideal yakni 30

persen, perlu dilakukan berbagai hal di antaranya pendidikan politik. Perempuan perlu

ditingkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilannya dalam pendidikan politik, karena

perempuan sebagai warga negara harus termotivasi dan mampu menggunakan hak sipil

dan politik yang dimilikinya untuk berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan

keputusan dan penentu kebijakan publik..

Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan sekarang ini sudah memiliki

modul pendidikan kesadaran bernegara dan pengarus-utamaan gender dalam

pembangunan politik. Modul ini merupakan karya bersama antara lembaga-lembaga yang

ada di masyarakat dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan.. Modul ini banyak

berisi bagaimana meningkatkan kesadaran perempuan agar bisa tampil di segala bidang

(6)

Pendidikan politik adalah sebagai bagian dari pendidikan orang dewasa

karena menyangkut relasi antar individu, atau individu dengan masyarakat di tengah

medan sosial, dalam situasi-situasi konflik yang ditimbulkan oleh bermacam-macam

perbedaan dan kemajemukan masyarakat.

Mengapa pendidikan politik penting buat perempuan? Karena pada

kenyataannya, setengah penduduk Indonesia adalah kaum perempuan dan pada dasarnya

politik berkaitan dengan semua kegiatan dalam suatu negara yang menyangkut proses

pengambilan keputusan, pengaturan dan pelaksanaan kehidupan warganya untuk

mencapai kehidupan yang sejahtera, adil dan damai. Tenggelamnya suara perempuan dan

kecilnya jumlah perempuan yang terlibat dalam kegiatan politik, membawa dampak pada

kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan perundangan yang diterbitkan dan

dijalankan. Maka dari itu, penting sekali wanita terjun ke kancah politik agar tidak selalu

jadi 'konco wingking' (kawan di belakang) dan terpinggirkan di segala bidang khususnya

di luar area domestik.

Gender dalam Pembangunan Politik.

Lalu Gender, apakah itu Gender ? Menurut Breet (1991) gender adalah

konstruksi sosial yang dapat menjelaskan tentang peran perempuan dan laki-laki dalam

interaksi sosial kemasyarakatan yang kemudian membentuk kebudayaan dalam

masyarakat. Gender bukanlah penggambaran tentang peran seseorang berdasarkan jenis

kelamin yang ia miliki (seks). Perempuan memiliki ovum yang memastikan dia dapat

melahirkan dan menyusui adalah merupakan kodrati karena tuntutan alamiah secara

biologis, sementara laki-laki ber-testis sehingga memungkinkan dia membuahi

perempuan yang menjadi syarat sebuah kelahiran manusia.

Tetapi gender adalah peran manusia yang dibangun berdasarkan

kebiasaan-kebiasaan turun temurun yang terjadi di dalam komunitas masyarakat dan menjadi

budaya setempat. Untuk itu, gender akan berbeda antara satu masyarakat dengan

masyarakat lainnya. Di komunitas masyarakat A dimungkinkan perempuan bekerja

(7)

dalam sebuah instansi swasta bahkan berpolitik, sementara dalam komunitas masyarakat

B peran perempuan hanya mengenal sektor privat/domestik (rumah tangga) dimana ia

mengatur rutinitas kerja dalam internal keluarga seperti mempersiapkan

kebutuhan-kebutuhan suami, menjaga perkembangan dan pendidikan anak, mempersiapkan

makanan keluarga dan tetek bengek lainnya dan tidak tahu menahu kondisi publik.

Alasan mendasar keduanya tentu bukan karena perempuan berbeda jenis kelamin dengan

laki-laki (alasan seksis) sebagaimana yang berkembang di masyarakat dan disebut

sebagai kodrat, tetapi hal tersebut merupakan hasil dari rentetan sejarah panjang masa

lalu yang kemudian membentuk peran-peran sosial setiap insan di masyarakat (dalam

Caplan,1987). Parahnya, alasan tersebut sudah meresap dalam bahasa sosial mereka

yang sebenarnya telah menjadi ketimpangan dengan dampak serius dalam konstruksi

sosial baru yang hendak kita bangun, dimana Demokrasi menjadi tujuan utamanya. Inilah

salah satu Persoalan Utama yang dihadapi masyarakat kita dalam era transisi menuju

demokrasi.

Para aktivis perempuan tertentu juga kerap keliru dalam menerjemahkan aksi

mereka di aras grassroot. Kekeliruan disini terutama terletak pada pola kerangka berpikir

Oposisi Binner yang menempatkan persoalan ketimpangan peran ini sebagai persoalan perempuan versus laki-laki. Disebutnya perempuan mengalami ketidakberdayaan dalam

sistem politik atau sistem sosial yang ada, lalu mereka harus diberdayakan agar dapat

eksis dalam sistem tersebut. Lalu dengan kerangka berpikir itu mereka kemudian

membentuk kelompok-kelompok perempuan di desa-desa dan “memberdayakan”

mereka. Upaya eksklusive itu boleh jadi berdampak pada sikap perlawanan mereka

terhadap laki-laki, yang notabene merupakan sisi lain dari orang yang juga menjadi

korban dalam sistem. Laki-laki tersebut bisa jadi adalah suami mereka, anak mereka atau

kerabat lainnya. Dengan kondisi itu dapat terjadi benturan (clash) dalam kehidupan

rumah tangga dari perempuan yang diberdayakan tersebut. Mereka (membawa nama

perempuan) menuntut kesetaraan kepada suami (laki-laki; si lawan) seolah-olah

kesetaraan adalah persoalan sederhana. Dengan kerangka berpikir oposisi binner itu

(8)

dalam peran sosial di masyarakat menjadi tuntutan dari Perempuan kepada Laki-laki. Dan

ini memungkinkan terjadinya benturan yang lebih dahsyat (chaos).

Menurut Faqih (2006) meski demikian perlu dicatat bahwa gender tidak

semata–mata hanya mempersoalkan perbedaan dan pembedaan antara laki-laki dan

perempuan, akan tetapi terlebih penting lagi gender menyangkut dominasi baik dari

konteks relasi maupun distribusi kekuasaan. Kondisi seperti ini disadari atau tidak

seringkali telah melahirkan dan melembagakan berbagai ketidakadilan gender dan

seolah-olah ketimpangan tersebut merupakan ketentuan dari Tuhan yang tidak bisa

diubah lagi.

Dalam pembangunan politik, ide, pemikiran bahkan strategi kesetaraan gender

ini harus membumi bukan hanya pada kaum Perempuan, tetapi hendaknya menjadi

kesadaran bersama dari manusia Indonesia, terutama elit politik kita. Persoalan quota 30

% dalam konstitusi kita juga hendaknya dilihat sebagai sebuah Konstruksi Kesadaran

Baru dari manusia Indonesia dalam era transisi demokrasi ini, yang melekat bukan hanya pada elit perempuan tetapi juga segelintir elit laki-laki yang merasakan bahwa

ketimpangan peran tersebut adalah problem utama kita.

Kesetaraan Gender dalam pembangunan politik dengan demikian menjadi

harapan bersama kaum perempuan dan kaum laki-laki, karena itu adalah persoalan

krusial yang bila diselesaikan secara arif akan menjadi salah satu pilar yang menopang

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Brett, A., 1991, Why Gender is A Development?, dalam Buku Changing Perceptions: Writing on Gender and Development, Tina Wallace (ed.), London.

Kamla. 1996. Menggugat Patriarkhi, Pengantar tentang Persoalan Dominasi Perempuan

Terhadap Kaum Perempuan. Jakarta: Benteng Budaya.

Caplan. 1987. The Cultural Construction of Sexuality. London: Tavistock.

Faqih, Mansour. 2006. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

G. Tan, Melly, 1986, Perempuan Kota Jakarta, Yogyakarta; Gajah Mada University

Istibsyaroh. 2004. Hak-Hak Perempuan. Relasi Gender. Jakarta: Teraju.

Mosse, J. C. 1996. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suwondo, Nani, 1981, Kedudukan Perempuan Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat ,

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa bakteri kitinolitik yang diisolasi dari cangkang rajungan ( Portunus pelagicus )

Keistimewaan buah jambu biji yang memiliki berbagai jenis antioksidan dan potensi aktivitas antioksidannya yang besar, membuat peneliti merasa tertarik dan perlu meneliti

ukur tanah II. Dari hasil observasi melalui wawancara personal yang telah dilakukan didapatkan bahwa mahasiswa dalam melaksanakan praktik ilmu ukur tanah II belum

1. Faktor pendorong guru sosiologi dalam menggunakan media pembelajaran yaitu sebagai berikut: a). lebih membuat tertarik dan termotivasi dalam belajar, dengan menggunakan

Keindahan alam di Tana Toraja tidak hanya sebagai sumber inspirasi dari warna ukiran, tetapi juga berbagai bentuk yang telah disederhanakan pada ragam hias.. Selain itu

CMIFed dapat merubah lingkungan penyajian multimedia yang berisi gabungan komponen multimedia ditambah dengan interaksi pengguna.Berdasarkan pemaparan tersebut, dibangunlah

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar jiwa kewirausahaan yang dimiliki pengurus Gapoktan penerima Bantuan Langsung Masyarakat Pengembangan Usaha

Hipotesis dari penelitian ini adalah pertama, variabel input mempengaruhi tingkat efektivitas program pengembangan usaha agribisnis perdesaan (PUAP) pada peternakan babi di Desa