• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kemandirian Daerah SUBOSUKAWONO. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Kemandirian Daerah SUBOSUKAWONO. pdf"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Koko Andriyanto, Hamdan Majid, Hanggoro Kurniawan, Arif Rahman Hakim Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemandirian daerah SUBOSUKAWONOSRATEN dalam pelaksanaan sebelum dan sesudah otonomi daerah. Data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi data realisasi penjabaran anggaran pendapatan dan belanja Pemerintah Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN, data gambaran umum daerah SUBOSUKAWONOSRATEN dalam angka, dan data Produk Domestik Regional Bruto. Alat analisisnya dibagi menjadi dua yaitu analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif meliputi pertumbuhan PAD dan pertumbuhan ekonomi. Analisis kuantitatif meliputi derajat desentralisasi fiskal, kemandirian daerah dengan pola hubungan, rasio aktivitas pembangunan daerah, dan indeks kesiapan otonomi daerah.

Berdasarkan analisis deskriptif meningkatnya pertumbuhan PAD tidak diiringi dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pada analisis kuantitatif terlihat bahwa daerah Kabupaten SUBOSUKAWONOSRATEN belum mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki sehingga memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap Pemerintah Pusat.

Saran yang diberikan dalam penelitian ini antara lain Pemerintah Daerah Kabupaten SUBOSUKAWONOSRATEN perlu menggali potensi yang dimiliki guna memompa pendapatan asli daerah, melakukan peninjauan kembali atas pengurangan bantuan maupun sumbangan, dan diperlukan penghematan atas alokasi belanja rutin maupun pembangunan.

Kata Kunci: Otonomi Daerah, Kemandirian Daerah Pola Hubungan, DDF,

RAPD, dan IKOD

*Penelitian ini didanai oleh HIBAH DIPA UNS TH. 2007

I. PENDAHULUAN

Sejak digulirkan dan diberlakukan peraturan perundangan dan produk hukum

mengenai pelaksanaan pemerintahan daerah kearah otonomi daerah, telah

memberikan kewenangan yang lebih luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada

pemerintah daerah secara proporsional untuk mengatur, membagi, dan

memanfaatkan sumberdaya nasional, serta aspek Perimbangan Keuangan Pusat

dan Daerah. Hal itu terlihat semakin nyata dengan digulirkannya dua produk

(2)

Daerah dan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat

dan Daerah yang merupakan penganti UU No. 22/Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/Tahun 1999 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam kedua

undang-undang tersebut terdapat pengambil alihan sejumlah wewenang dan

tanggung jawab pemerintah pusat dalam mengelola dan melaksanakan

pembangunan daerah sebagai integral dari pembangunan nasional. Hal ini

ditujukan untuk peningkatan kualitas dan pengoptimalan penyelenggaraan

pemerintahan serta pelayanan kepada masyarakat.

Dengan diberlakukannya kedua perundangan tersebut telah menempatkan

pemerintah daerah sebagai ujung tombak implementasi ekonomi. Konsekuensinya

pemerintah daerah harus mampu melaksanakan hakekat semangat otonomi yang

tercermin dalam pengelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan,

pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Agar implementasi

otonomi daerah dapat berhasil dengan baik paling tidak ada lima strategi yang

harus diperhatikan ( Abdul Halim, 2001 ), yaitu: (i) Self Regular Power, dalam

arti kemampuan mengatur dan melaksanakan otonomi daerah demi kepentingan

masyarkat didaerahnya; (ii) Self Modifying Power, berupa kemampuan

menyesuaikan terhadap peraturan yang telah ditetapkan secara nasional sesuai

dengan komdisi daerah ternmasuk terobosan inovasi kearah kemajuan dalam

menyikapi potensi daerah; (iii) Creating Local Political Support, dalam arti

penyelenggaraan pemerintah daerah yang mempunyai legitimasi kuat dari

masyarakatnya, baik pada posisi kepala daerah sebagai eksekutif maupun DPRD

sebagai pemegang kekuasaan legislatif; (iv) Managing Financial Resources,

dalam arti mampu mengembangkan kompetensi dalam mengelola secara optimal

sumber penghasilan keuangan guna membiayai aktivitas pemerintahan,

pembangunan, dan pelayanan masyarakat; serta (v) Developing Brain Power,

dalam arti membangun sumber daya manusia yang handal dan selalu bertumpu

pada kapabilitas menyelesaikan masalah.

Program otonomi daerah sebagai cermin dari kemandirian merupakan

penyerahan wewenang Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk mengatur

(3)

berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundangan yang berlaku. Hal ini

memberikan peluang yang cukup besar bagi Pemerintah Daerah untuk

meningkatkan kinerja penggunaan semua sumberdaya yang dimilikinya, dengan

kepemilikan wewenang yang lebih besar dalam penentuan kebijakan didaerah.

Pembangunan ekonomi daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya

yang dimiliki untuk menciptakan lapangan usaha baru dan merangsang kegiatan

ekonomi dalam daerah tersebut ( Lincolin Arsyad, 1999 ). Akan tetapi masalah

pokok dalam pembangunan daerah sering terletak pada penekanan

kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada kekhasan yang dimiliki oleh suatu daerah.

Berdasarkan asas ekonomi daerah, hal-hal yang berhubungan dengan

kebijaksanaan, perencanaan, pegawasan maupun pembiyaan kegiatan pemerintah

daerah menjadi wewenang dan tugas pemerintah daerah. Melihat keadaan

tersebut, maka untuk mencapai tujuan dari suatu pembangunan daerah yaitu

meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah,

pemerintah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif

untuk pembangunan daerah.

Dari paparan diatas tampak jelas bahwa faktor kemampuan mengelola

keuangan daerah merupakan faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan

pelaksanaan Otonomi Daerah. Maka diharapkan kemampuan mengelola keuangan

daerah dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah.

Studi ini menekankan pada analisis kemandirian daerah

SUBOSUKAWONOSRATEN yang termasuk kedalam wilayah Pembangunan

VIII di Propinsi Jawa Tengah terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah yang

menunjukkan seberapa besar ketergantungan pemerintah daerah terhadap

pemerintah pusat. Sebab semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah

terhadap pemerintah pusat maka daerah dikatakan mempunyai kemandirian yang

baik dan berhasil dalam pelaksanaan otonomi daerah.

II. METODOLOGI PENELITIAN

Ruang lingkup penelitian yang berjudul Analisis Kemandirian Daerah

SUBOSUKAWONOSRATEN Dalam Pelaksanaan Sebelum Dan Sesudah Otonomi Daerah merupakan penelitian berbentuk survey yang mengambil lokasi di daerah

(4)

adalah data sekunder dari berbagai dokumen di lingkungan pemerintahan daerah

SUBOSUKAWONOSRATEN.

Sebagaimana yang telah diuraikan diatas, data yang digunakan dalam

penelitian ini berupa data sekunder yang meliputi:

a. Data penjabaran Realisasi Pendapatan dan Pengeluaran Daerah

SUBOSUKAWONOSRATEN diperoleh dari perhitungan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah SUBOSUKOWONOSRATEN Tahun

1998-2004.

b. Data Gambaran Umum daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Dalam Angka

( Badan Pusat Statistik ) tahun 1998-2004.

c. Data Produk Domestik Regional Bruto daerah SUBOSUKAWONOSRATEN

( Bappeda dan BPS ) Tahun 1998-2004.

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yakni analisis

deskriptif dan analisis kuantitatif. Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut:

i. Analisis Deskriptif

a. Pertumbuhan PAD

Pertumbuhan PAD digunakan untuk menghitung pertumbuhan PAD dari

tahun ke tahun. Ini dapat dihitung dengan:

LP PAD = PADt–PADt-1 x 100 %

PADt-1

b. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi digunakan untuk menghitung perkembangan ekonomi

dalam kurun waktu tertentu dengan menggunakan harga konstan. Ini dapat

dihitung dengan:

g = PDRBk–PDRBk-1 x 100 %

PDRBk-1

ii. Analisis Kuantitatif

a. Derajat Desentralisasi Fiskal

Untuk mengukur derajat desentralisasi fiskal dapat menggunakan beberapa

(5)

DDF1 = PAD (Pendapatan Asli Daerah) x 100%

TPD (Total Pendapatan Daerah)

DDF2 = PAD + BHD (Bagi Hasil Daerah) x 100%

TPD (Total Pendapatan Daerah)

DDF3 = PAD x 100%

Pengeluaran Rutin

DDF4 = PAD + BHD (Bagi Hasil Daerah) x 100%

Pengeluaran Rutin

Beberapa indikator di atas digunakan untuk mengukur kemandirian atau

ketergantungan suatu daerah. Semakin besar rasionya maka kemandiriannya

semakin besar, dan sebaliknya. Sedangkan rasio dana perimbangan dengan Total

Pendapatan Daerah digunakan untuk mengukur ketergantungan suatu daerah.

Semakin besar rasionya maka daerah tersebut semakin bergantung kepada

pemerintahan yang lebih tinggi.

b. Kemandirian Daerah dengan Pola Hubungan

Kemandirian daerah menunjukkan kemampuan pemerintah dalam membiayai

sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, pelayanan kepada masyarakat yang

telah membayar pajak dan retribusi sebagai seumber pendapatan daerah, dihitung

dengan:

Rasio Kemandirian = Pendapatan Asli Daerah x 100 % Bantuan + Sumbangan + Pinjaman

c. Rasio Aktivitas Pembangunan Daerah

Rasio aktivitas dalam pembangunan daerah dapat dilihat dengan perhitungan:

- Rasio Belanja Rutin terhadap Total Pengeluaran

= Total Belanja Rutin x 100 % Total Pengeliaran APBD

- Rasio Belanja Pembangunan terhadap Total Pengeluaran

= Total Belanja Pembangunan x 100 % Total Pengeluaran APBD

d. Indikator Kesiapan Otonomi Daerah

(6)

- Pendapatan Asli Daerah Pengeluaran Rutin

- PAD + Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Pengeluaran Total

- PAD + Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Pengeluaran Rutin

III.HASIL PENGOLAHAN DATA DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Deskriptif

Tabel 1 Pertumbuhan PAD

Era Tahun Pertumbuhan PAD Daerah

Ska Byl Skh Wng Sra KrAny Kla

S

1999 -10.83% 20.61% 38.56% 9.59% 1.93% 17.42% 7.70% 2000 35.28% 12.61% -9.91% 4.88% 4.03% -3.43% -11.66%

Rerata 12.23% 16.61% 14.33% 7.24% 2.98% 7.00% -1.98%

S

2001 14.93% 55.46% 120.59% 25.15% 78.96% 81.92% 108.55% 2002 39.97% 38.39% 25.45% 62.46% 53.28% 35.97% 26.73% 2003 14.75% 34.02% 7.40% 13.03% 76.10% 11.12% 27.83% 2004 22.74% 12.78% 6.23% 12.89% 1.56% 17.94% 21.94%

Rerata 23.10% 35.16% 39.92% 28.38% 52.47% 36.74% 46.26%

Sumber: Data Diolah

Tabel 2 Pertumbuhan Ekonomi

Era Tahun Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Ska Byl Skh Wng Sra KrAny Kla

S

1999 3.05% 1.18% 1.25% 1.95% 1.98% 2.90% 2.67% 2000 3.52% 2.06% 3.52% 3.73% 2.78% 4.51% 2.93%

Rerata 3.29% 1.62% 2.39% 2.84% 2.38% 3.71% 2.80%

S

2001 4.42% 3.63% 4.05% 2.42% 2.33% 1.42% 2.63% 2002 4.13% 5.52% 3.32% 3.79% 2.93% 2.91% 3.13% 2003 4.74% 5.64% 3.85% 3.17% 3.26% 3.60% 3.46% 2004 5.02% 4.84% 3.94% 3.80% 4.53% 4.03% 3.74%

Rerata 4.58% 4.91% 3.79% 3.30% 3.26% 2.99% 3.24%

Sumber: Data Diolah

Dari tabel 1 diatas dapat diketahui pertumbuhan PAD daerah

SUBOSUKAWONOSRATEN dalam pelaksanaan sebelum dan sesudah otonomi

daerah. Hampir sebagian besar daerah mengalami peningkatan menjelang

pelaksanaan otonomi darah namun kemudian mengalami penurunan ditahun

2003 2004. Pertumbuhan PAD paling besar dicapai daerah Sukaharjo sebesar

(7)

Dari tabel 2 diatas terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi daerah

SUBOSUKOWONOSRATEN cenderung naik turun. Era sebelum otonomi

daerah terlihat pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan dengan kenaikan

tertinggi pada daerah Karanganyar sebesar 4.51% pada tahun 2000. Sedangkan

pertumbuhan ekonomi terendah dicapai daerah Boyolali dengan 2.06% ditahun

yang sama. Era setelah otonomi daerah seharusnya bisa mendorong daerah untuk

menggalakkan kegiatan pembangunannya, namun hanya ada beberapa daerah

yang mampu melaksanakannya. Catatan positif dapat diberikan untuk semua

daerah meskipun terjadi kontras pada daerah Karanganyar yang semula mampu

mencatat pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun setelah otonomi daerah

menjadi tertinggal bila dibanding daerah lain. Rerata pertumbuhan ekonomi

tertinggi dicapai daerah Boyolali dengan 4.91%, disusul Surakarta dengan 4.58%,

dan terendah Karanganyar dengan 2.99%.

2. Analisis Kuantitatif

2.1 Derajat Desentralisasi Fiskal

Tabel 3 Derajat Desentralisasi Fiskal 1

Era Tahun ( PAD / Total Penerimaan Daerah )

Ska Byl Skh Wng Sra KrAny Kla

S

h 1998 35.84% 12.98% 8.34% 10.52% 9.63% 58.91% 11.97%

1999 34.31% 11.47% 8.70% 8.31% 8.77% 14.34% 7.06% 2000 13.04% 10.92% 8.85% 9.11% 8.70% 10.97% 5.21%

Rerata 27.73% 11.79% 8.63% 9.31% 9.03% 28.07% 8.08%

S

2001 18.50% 7.28% 6.98% 5.07% 5.65% 6.72% 4.15% 2002 16.99% 8.52% 7.00% 7.13% 8.00% 7.74% 4.10% 2003 16.94% 8.39% 5.88% 5.69% 10.60% 7.13% 4.15% 2004 16.10% 9.34% 6.05% 6.26% 10.43% 7.9% 5.25%

Rerata 17.13% 8.38% 6.47% 6.04% 8.67% 7.37% 4.41%

Sumber: Data Diolah

Tabel 4 Derajat Desentralisasi Fiskal 2

Era Tahun ( PAD + BHPBP / Total Penerimaan Daerah )

Ska Byl Skh Wng Sra KrAny Kla

S

h 1998 49.88% 19.36% 7.32 16.38% 6.06 41.09 24.27%

1999 47.41% 17.89% 7.67 13.59% 6.15 10.6 12.68% 2000 19.16% 18.36% 7.95 15.36% 8.19 9.51 11.01%

Rerata 38.81% 18.54% 7.64% 15.11% 6.80% 20.40% 15.99%

S

2001 27.76% 13.90% 8.48 9.40% 3.29 7.12 7.30% 2002 22.63% 15.98% 8.27 10.74% 3.85 7.42 7.80% 2003 25.82% 12.59% 7.69 9.30% 4.24 4.71 8.38% 2004 25.50% 14.24% 7.47 9.13% 4.46 5.79 45.10%

Rerata 25.43% 14.18% 7.97% 9.64% 3.96% 6.26% 17.14%

(8)

Dari tabel 3 dan tabel 4 diatas terlihat bahwa untuk indikator DDF 1 dan

DDF 2 menunjukkan bahwa persentase Pendapatan Asli Daerah terhadap Total

Penerimaan Daerah dan persentase Pendapatan Asli Daerah + Bagi Hasil Pajak

dan Bukan Pajak terhadap Total Penerimaan Daerah dari tahun 1998-2004

menunjukkan nilai yang rendah karena lebih kecil dari 20%. Bila dibandingkan

antara era sebelum dan sesudah otonomi daerah, persentase lebih tinggi di era

sebelum otonomi daerah. Untuk persentase tertinggi baik DDF 1 dan DDF 2 dapat

dicapai pada tahun 1998 oleh semua daerah. Sedangkan terendah banyak dicapai

setelah pelaksanaan otonomi daerah dimana tiap daerah berbeda-beda. Untuk

tahun 2001 pada daerah Surakarta, Sragen, dan Klaten, tahun 2003 pada daerah

Boyolali dan Karanganyar, dan tahun 2004 pada daerah Sukoharjo dan Wonogiri.

Tabel 5 Derajat Desentralisasi Fiskal 3

Era Tahun ( PAD / Total Pengeluaran Rutin )

Ska Byl Skh Wng Sra KrAny Kla

S

h 1998 92.96% 11.07% 14.05% 14.61% 15.83% 19.47%

1999 68.54% 13.95% 11.55% 10.78% 10.68% 13.87% 9.84% 2000 36.19% 13.56% 10.78% 12.17% 11.75% 14.09% 6.65%

Rerata 65.90% 13.76% 7.64% 12.33% 6.80% 20.40% 11.99%

S

2001 16.92% 16.92% 7.02% 6.44% 7.69% 8.11% 4.70% 2002 14.75% 14.75% 9.12% 10.96% 10.18% 10.18% 4.92% 2003 13.61% 13.61% 7.94% 10.09% 24.82% 24.82% 5.97% 2004 11.10% 11.10% 10.85% 10.43% 15.55% 26.58% 5.49%

Rerata 14.09% 14.09% 7.97% 9.48% 3.96% 6.26% 5.27%

Sumber: Data Diolah

Tabel 6 Derajat Desentralisasi Fiskal 4

Era Tahun ( PAD + BHPBP / Total Pengeluaran Rutin )

Ska Byl Skh Wng Sra KrAny Kla

S

h 1998 129.37% 38.84% 21.88% 23.81% 26.86% 39.48%

1999 94.70% 22.45% 21.10% 17.62% 18.13% 24.13% 17.66% 2000 312.83% 22.81% 23.24% 20.53% 22.79% 26.31% 14.05%

Rerata 178.97% 22.63% 7.64% 20.01% 6.80% 20.40% 23.73%

S

2001 25.38% 15.92% 14.66% 11.95% 12.17% 16.70% 8.27% 2002 19.64% 19.59% 19.64% 14.74% 16.22% 19.93% 9.34% 2003 20.74% 13.49% 15.36% 16.49% 21.42% 41.22% 12.04% 2004 17.58% 15.23% 14.51% 14.94% 22.20% 46.06% 10.57%

Rerata 20.84% 16.06% 7.97% 14.53% 3.96% 6.26% 10.06%

Sumber: Data Diolah

Untuk indikator DDF 3 dan DDF 4 menunjukkan bahwa persentase

Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Pengeluaran Rutin dan Pendapatan Asli

Daerah + Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap Total Pengeluaran Rutin

(9)

untuk semua daerah kecuali daerah Surakarta. Era sebelum otonomi daerah untuk

persentase tertinggi DDF 3 yang dicapai tahun 1998 yakni daerah Surakarta,

Wonogiri, Sragen, Karanganyar, dan Klaten. Sedangkan daerah Boyolali dan

Sukoharjo pada tahun 1999. Era setelah otonomi daerah untuk persentase tertinggi

DDF 3 berbeda-beda. Tahun 2001 pada daerah Surakarta dan Boyolali, tahun

2002 pada daerah Wonogiri, tahun 2003 pada daerah Sragen, Karanganyar, dan

Klaten, dan tahun 2004 pada daerah Sukoharjo. Era sebelum otonomi daerah

untuk persentase tertinggi DDF 4 pada tahun 1998 yakni daerah Sukoharjo,

Wonogiri, Sragen, Karanganyar, dan Klaten. Sedangkan daerah Surakarta dan

Boyolali dicapai pada tahun 2000. Era setelah otonomi daerah untuk persentase

tertinggi tahun 2001 dicapai daerah Surakarta, tahun 2002 dicapai daerah Boyolali

dan Sukoharjo, tahun 2003 dicapai daerah Wonogiri dan Klaten, dan tahu 2004

dicapai daerah Sragen dan Karanganyar.

Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah

SUBOSUKOWONOSRATEN belum mampu meningkatkan Pendapatan Asli

Daerah-nya sebagaimana diharapkan. Ini menyebabkan Pemda harus berupaya

untuk mencari pemasukan dari sektor lain yang tentunya berasal dari subsidi

pemerintah pusat dalam bentuk lain. Padahal sebagai daerah otonom, penggalian

dana untuk membiayai pembangunan lebih ditekankan pada PAD. PAD menjadi

cerminan kemampuan daerah akan kemampuan daerah dalam membiayai kegiatan

pembangunan yang dilakukan didaerah otonom khususnya daerah

SUBOSUKOWONOSRATEN.

2.2 Kemandirian Daerah Pola Hubungan

Tabel 7 Tabel Kemandirian Daerah Pola Hubungan

Era Tahun Kemandirian Daerah Pola Hubungan

Ska Byl Skh Wng Sra KrAny Kla

S

h 1998 10.70% 10.38% 8.70% 9.97% 16.72%

1999 11.17% 10.43% 10.74% 9.55% 10.06% 8.35% 2000 12.77% 11.56% 9.92% 10.97% 10.45% 12.80% 6.13%

Rerata 11.55% 11.00% 10.34% 9.74% 10.16% 12.80% 10.40%

S

2001 14.77% 12.27% 8.38% 6.03% 6.23% 7.36% 4.42% 2002 13.28% 12.67% 8.21% 9.18% 9.72% 9.22% 5.42% 2003 13.91% 10.87% 7.64% 7.58% 14.52% 8.08% 4.42% 2004 15.65% 11.20% 7.43% 8.15% 13.15% 9.09% 6.93%

Rerata 14.40% 11.75% 7.91% 7.74% 10.90% 8.44% 5.30%

(10)

Dari tabel 7 diatas terlihat bahwa pola hubungan daerah

SUBOSUKOWONOSRATEN diera sebelum dan sesudah otonomi daerah dalam

mencukupi pembiayaan untuk melakukan tugas-tugas pemerintahan,

pembangunan, dan pelayanan, sosial masih rendah dan bahkan mempunyai

kecenderungan turun. Ini ditunjukkan dengan tingkat kemandirian yang dapat

dikategorikan rendah sekali yaitu antara 5 % hingga 14 % sehingga masuk dalam

pola hubungan instruktif dimana peran pemerintah pusat lebih dominan daripada

kemandirian pemerintah daerah.

2.3 Rasio Aktivitas Pembangunan Daerah

Tabel 8 Rasio Aktivitas Pembangunan Daerah I

Era Tahun ( Belanja Rutin / Total Pengeluaran )

Ska Byl Skh Wng Sra KrAny Kla

S

h 1998 37.75% 77.02% 78.02% 71.67% 79.11% 63.73%

1999 34.14% 78.92% 80.15% 84.87% 79.3% 97.19% 2000 74.45% 80.49% 77.27% 81.03% 84.08% 81.19% 81.81%

Rerata 48.78% 80.49% 77.74% 79.73% 80.21% 79.87% 80.91%

S

2001 59.90% 87.31% 83.86% 85.81% 82.40% 85.45% 91.40% 2002 90.76% 81.54% 84.90% 79.38% 80.44% 82.9% 87.46% 2003 82.34% 89.59% 79.46% 71.01% 71.94% 28.89% 75.59% 2004 88.20% 89.03% 74.29% 68.34% 73.62% 31.59% 98.62%

Rerata 80.30% 86.87% 80.63% 76.13% 77.10% 52.83% 88.27%

Sumber: Data Diolah

Tabel 9 Rasio Aktivitas Pembangunan Daerah II

Era Tahun ( Belanja Pembangunan / Total Pengeluaran )

Ska Byl Skh Wng Sra KrAny Kla

S

1998 56.67% 22.98% 21.98% 28.33% 20.89 36.27% 1999 58.75% 21.08% 19.85% 15.13% 20.70 25.29% 2000 22.05% 19.51% 22.73% 18.97% 15.92% 18.81 14.30%

Rerata 45.82% 19.51% 22.26% 20.27% 19.79% 20,10 25.29%

S

2001 7.97% 12.69% 16.14% 14.19% 17.60% 14.68 8.60% 2002 9.40% 18.46% 15.10% 20.62% 19.56% 17.06 13.20% 2003 6.18% 11.81% 20.54% 21.10% 28.06% 71.11 22.58% 2004 3.95% 11.07% 63.67% 21.30% 8.81% 68.41 23.11%

Rerata 6.87% 13.51% 28.86% 19.30% 18.51% 47,19 16.87%

Sumber: Data Diolah

Dari kedua tabel diatas terlihat bahwa daerah SUBOSUKOWONOSRATEN

rata-rata rasio Belanja Rutin terhadap Total Pengeluaran Daerah lebih besar

daripada rata-rata rasio Belanja Pembangunan terhadap Total Belanja

Pembangunan. Memang bila dilihat dari rata-rata diera sesudah otonomi

(11)

otonomi daerah. Namum kesemuanya tetap menunjukkan tingginya rasio Belanja

Rutin terhadap Total Pengeluaran Daerah berarti pembangunan yang digunakan

untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin

kecil. Belanja rutin yang ditujukan untuk menggerakkan roda pemerintahan

sehari-hari perlu diupayakan untuk dilakukan pengehematan sehingga lebih

digunakan untuk membiayai proyek pembangunan yang didasarkan atas

kebutuhan nyata dari masyarakat tingkat bawah.

2.4 Indeks Kesiapan Otonomi Daerah

Kesiapan Keuangan Daerah menunjukkan kesiapan Pemerintah Daerah dalam

menghadapi penyelenggaraan otonomi daerah khususnya dalam bidang keuangan,

merupakan cerminan keuangan daerah yang perlu digali dan terus

ditumbuhkembangkan untuk kesinambungan pembangunan dalam pelaksanaan

APBD.

Tabel 10 Indeks Kesiapan Otonomi Daerah

Era Tahun ( PAD / Total Pengeluaran )

Ska Byl Skh Wng Sra KrAny Kla

S

h 1998 34.74% 1.19% 10.96% 10.47% 13.23% 12.41%

1999 33.43% 30.11% 8.64% 9.02% 11.43% 9.56% 2000 30.37% 10.92% 11.52% 9.86% 9.88% 11.37% 5.44%

Rerata 32.85% 10.92% 14.27% 9.82% 9.79% 12.01% 9.14%

S

2001 15.40% 7.28% 7.33% 5.53% 6.34% 7.63% 4.30% 2002 19.19% 8.52% 7.33% 7.71% 8.81% 9.42% 4.30% 2003 17.55% 8.39% 6.23% 5.96% 11.01% 7.21% 4.51% 2004 18.03% 9.34% 8.06% 6.26% 11.45% 8.32% 5.41%

Rerata 17.54% 8.38% 7.24% 6.37% 9.40% 8.15% 4.63%

Sumber: Data Diolah

Tabel 11 Indeks Kesiapan Otonomi Daerah

Era Tahun ( PAD / Pengeluaran Rutin )

Ska Byl Skh Wng Sra KrAny Kla

S

h 1998 39.33% 14.16% 14.05% 14.61% 16.24% 19.47%

1999 40.75% 12.05% 10.78% 10.63% 14.17% 9.84% 2000 36.19% 13.56% 14.57% 12.17% 11.75% 14.41% 6.65%

Rerata 38.76% 13.56% 13.59% 12.33% 12.33% 14.94% 11.99%

S

2001 7.78% 8.34% 8.40 6.44% 7.69% 8.39% 4.70% 2002 14.68% 10.45% 10.45 9.71% 10.96% 10.26% 4.92% 2003 11.45% 9.00% 7.94% 8.39% 15.30% 25.34% 5.97% 2004 11.10% 9.99% 10.85% 9.16% 15.55% 27.35% 5.49%

Rerata 11.25% 9.44% 9.27% 8.43% 12.37% 17.84% 4.05%

(12)

Tabel 12 Indeks Kesiapan Otonomi Daerah

Era Tahun ( PAD+BHPBP / Total Pengeluaran )

Ska Byl Skh Wng Sra KrAny Kla

S

h 1998 49.71% 18.85% 17.07% 17.07% 19.28% 25.16%

1999 46.41% 15.61% 14.13% 15.35% 18.41% 17.16% 2000 20.27% 18.36% 19.37% 16.63% 19.17% 21.38% 11.49%

Rerata 38.80% 18.36% 17.94% 15.94% 17.19% 19.69% 17.94%

S

2001 12.67% 13.90% 14.00% 10.26% 10.03% 14.38% 7.56% 2002 19.00% 15.98% 15.10% 11.62% 13.05% 17.22% 8.17% 2003 16.62% 12.59% 12.06% 9.74% 15.41% 12.31% 9.10% 2004 15.53% 14.24% 10.78% 9.13% 16.34% 15.42% 10.42%

Rerata 15.96% 14.18% 12.98% 10.19% 13.71% 14.83% 8.81%

Sumber: Data Diolah

Tabel 13 Indeks Kesiapan Otonomi Daerah

Era Tahun ( PAD+BHPBP / Pengeluaran Rutin )

Ska Byl Skh Wng Sra KrAny Kla

S

h 1998 55.28% 22.42% 21.88% 23.82% 25.41% 39.48%

1999 54.60% 19.39% 17.62% 18.08% 22.37% 67.86% 2000 20.27% 22.81% 24.51% 20.53% 22.80% 26.39% 14.05%

Rerata 43.38% 22.81% 22.11% 20.01% 21.57% 24.72% 40.46%

S

2001 24.89% 15.92% 16.05% 11.95% 12.17% 17.35% 8.27% 2002 20.97% 19.59% 19.59% 14.64% 16.22% 20.41% 9.34% 2003 15.98% 13.49% 15.36% 13.72% 21.42% 41.25% 12.04% 2004 17.61% 15.23% 14.51% 13.36% 22.20% 46.43% 10.57%

Rerata 19.86% 16.06% 16.37% 13.42% 18.00% 31.36% 10.06%

Sumber: Data Diolah

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat rasio antara pendapatan daerah yang

berupa PAD dan BHD dengan pengeluaran total dan pengeluaran rutin masih

rendah. Ini ditunjukkan dengan besarnya nilai yang tidak mencapai 50%. Oleh

karenanya semakin menunjukkan bahwa ketergantungan daerah terhadap pusat

masih begitu tinggi. Hal ini berarti kemampuan pembiayaan urusan daerah bila

didanai sepenuhnya oleh PAD dan BHD masih rendah. Artinya kesiapan daerah

SUBOSUKOWONOSRATEN dalam menghadapi otonomi daerah masih rendah

karena kurangnya kemandirian dalam membiayai pengeluaran daerah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN belum mampu menggali potensi PAD

(13)

menyebabkan daerah SUBOSUKAWONOSRATEN harus mencari sumber

pemasukan lain yang lebih besar dari PAD yang sudah didapat.

b. Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN mempunyai tingkat kemandirian yang

masih rendah sehingga mempunyai pola hubungan yang instruktif. Artinya

peranan pemerintah pusat lebih dominan datipada pemerintah daerah.

c. Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN mempunyai rasio belanja rutin

terhadap total pengeluaran lebih besar dari pada rasio belanja pembangunan

terhadap total pengeluaran sehingga sebagian besar anggaran terserap untuk

alokasi belanja rutin.

d. Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN dengan pendapatan asli yang ada

belum mampu untuk membiayai pembangunan sehingga perlu dicari upaya

untuk meningkatkannya.

e. Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN pertumbuhan PDRB terhadap PAD

belum mampu berjalan sinergis karena idealnya meningkatnya PDRB berarti

meningkatnya PAD.

f. Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN masih menetapkan alokasi yang besar

untuk belanja rutin terutama pada pos belanja pegawai dibandingkan dengan

pos belanja rutin yang lain.

g. Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN masih mengandalkan paradigma lama

yaitu perolehan pendapatan terbesar berasal dari pos non PAD yaitu pos

subsidi daerah otonom atau atau dana rutin daerah ( sebelum OTDA ) dan pos

dana rutin daerah atau DAU ( setelah OTDA ).

h. Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN dalam menyiapkan otonomi daerah

masih terlihat setengah hati. Ini ditunjukkan dengan kecilnya proporsi IKOD

tiap instrumen alat analisis.

Adapun saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

a. Pemerintah Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN perlu menggali potensi

PAD yang ada dengan mencari potensi yang dapat dijadikan peluang.

b. Pemerintah Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN perlu memperbaiki

pengelolaan keuangan daerah dengan mengurangi proporsi bantuan maupun

(14)

c. Pemerintah Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN perlu melakukan

penghematan terhadap alokasi pada pos belanja rutin terutama belanja

pegawai.

d. Pemerintah Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN perlu mensinergikan

kenaikan PDRB dengan kenaikan PAD dengan melihat potensi yang ada.

e. Pemerintah Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN perlu menggali pendapatan

dari sektor pajak daerah maupun retribusi daerah yang dianggap potensial

namun tidak memberatkan warganya. Ini dapat dilakukan pada aktivitas yang

tidak melibatkan sebagian besar warga di Daerah

SUBOSUKAWONOSRATEN.

f. Pemerintah Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN perlu membrei perhatian

secara selektif mengenai pos belanja lainnya sehingga tidak memberatkan

anggaran yang dapat mengurangi tabungan daerah.

g. Pemerintah Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN perlu melakukan usaha

yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga dapat

meningkatkan potensi daerah yang ada.

h. Pemerintah Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN perlu mengupayakan

rasionalisasi belanja yang erat kaitannya dengan disiplin anggaran.

DAFTAR PUSTAKA

BPS dan Bappeda Daerah Surakarta berbagai edisi. 1998 - 2005. Surakarta

Dalam Angka 1998 - 2005. Surakarta : BPS dan Bappeda.

BPS dan Bappeda Daerah Boyolali berbagai edisi. 1998 - 2005. Boyolali Dalam

Angka 1998 - 2005. Boyolali : BPS dan Bappeda.

BPS dan Bappeda Daerah Sukoharjo berbagai edisi. 1998 - 2005. Sukoharjo

Dalam Angka 1998–2005. Sukoharjo : BPS dan Bappeda.

BPS dan Bappeda Daerah Wonogiri berbagai edisi. 1998 - 2005. Wonogiri

Dalam Angka 1998–2005. Wonogiri : BPS dan Bappeda.

BPS dan Bappeda Daerah Karanganyar berbagai edisi. 1998 - 2005.

Karanganyar Dalam Angka 1998 2005. Karanganyar : BPS dan

Bappeda.

BPS dan Bappeda Daerah Sragen berbagai edisi. 1998 - 2005. Sragen Dalam

Angka 19982005. Sragen : BPS dan Bappeda.

BPS dan Bappeda Daerah Klaten berbagai edisi. 1998 - 2005. Klaten Dalam

(15)

BPKD Daerah Surakarta berbagai edisi. 1998 – 2005. Nota Keuangan

Pemerintah Daerah Surakarta. Surakarta : BPKD.

BPKD Daerah Boyolali berbagai edisi. 1998 - 2005. Nota Keuangan

Pemerintah Daerah Boyolali. Boyolali : BPKD.

BPKD Daerah Sukoharjo berbagai edisi. 1998 - 2005. Nota Keuangan

Pemerintah Daerah Sukoharjo. Sukoharjo : BPKD.

BPKD Daerah Wonogiri berbagai edisi. 1998 - 2005. Nota Keuangan

Pemerintah Daerah Wonogiri. Wonogiri : BPKD.

BPKD Daerah Karanganyar berbagai edisi. 1998 - 2005. Nota Keuangan

Pemerintah Daerah Karanganyar. Karanganyar : BPKD.

BPKD Daerah Sragen berbagai edisi. 1998 - 2005. Nota Keuangan Pemerintah

Daerah Sragen. Sragen : BPKD.

BPKD Daerah Klaten berbagai edisi. 1998 - 2005. Nota Keuangan Pemerintah

Daerah Klaten. Klaten : BPKD.

Hakim, Rahman Arif. 2005. Evaluasi kemandirian Keuangan Daerah dalam

Pelaksanaan Otonomi Daerah Wilayah SUBOSUKAWONOSRATEN.

Jurnal Dinamika Vol 1, No 1, Mei 2005.

Halim, Abdul. 2001. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: AMP YKPN.

Lincolin Arsyad. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi

Daerah. Edisi Pertama, Cetakan Pertama. Yogyakarta: BPFE UGM.

_____________. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta: BPFE UGM.

Mulyanto. 2004. Pembangunan Daerah dan Indikator Kemajuan Pembangunan Daerah di Era Otonomi. Suplement Mata Kuliah

Ekonomi Regional. Surakarta.

Sadono Sukirno. 1995. Pengantar Teori Makroekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Ketujuh. Jakarta. Erlangga.

Republik Indonesia. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437).

_______________ . Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438).

Widodo, Triyatno Suseno. 1990. Indikator Ekonomi: Dasar Perhitungan

Ekonomi Indonesia. Jakarta: Kanisius.

Gambar

tabel 2
Tabel 5 Derajat Desentralisasi Fiskal 3( PAD / Total Pengeluaran Rutin )
Tabel 8 Rasio Aktivitas Pembangunan Daerah I
Tabel 13 Indeks Kesiapan Otonomi Daerah

Referensi

Dokumen terkait

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2001 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen

Penelitian ini bertujuan: (1) Mengetahui tingkat adversity quotient peserta didik MTs Darul Karomah (2) Mengetahui tingkat kecerdasan intelektual peserta didik MTs

Menurut Mayangsari (2003:6) disebutkan bahwa independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang auditor untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam

Penyebab stres tidak hanya karena masalah keluarga atau himpitan ekonomi dan sosial, maslah pekerjaan yang berat dan membebani sering membuat orang mengalami stres, antara

Berdasarkan data dari hasil observasi langsung bahwa memang rata-rata sumur yang ada di Mannuruki II tersebut kurang memenuhi syarat konstruksi sumur yang baik

Untuk menghindari terjadinya hal-hal tersebut maka dilakukan perancangan dan pembuatan pintu gerbang yang dapat membuka dan menutup secara otomatis.. Cara kerja

[r]

Selain TV Edukasi salah satu bentuk dari media audio visual adalah video pembelajaran Arsyad mengemukakan video merupakan serangkaian gambar gerak yang di sertai suara yang