ANALISIS CURAH HUJAN DAN LIMPASAN
DI SUB DAS WAINIBE PT GEMMA HUTANI LESTARI
PULAU BURU PROVINSI MALUKU
YUNENSIH
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Analisis Curah Hujan dan Limpasan di Sub DAS Wainibe PT Gemma Hutani Lestari Pulau Buru Provinsi Maluku adalah karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013
Yunensih
ABSTRAK
YUNENSIH. Analisis Curah Hujan dan Limpasan di Sub DAS Wainibe PT Gemma Hutani Lestari, Pulau Buru, Maluku. Dibimbing oleh NANA MULYANA ARIFJAYA.
Pulau Buru merupakan pulau yang memiliki topografi perbukitan, selain itu memiliki intensitas curah hujan yang sangat tinggi. Topografi dan curah hujan menjadi faktor kunci dalam menentukan seberapa besar pengelolaan hutan dapat berjalan dengan baik. Perubahan tutupan lahan akibat kegiatan pengelolaan hutan mengakibatkan peningkatan limpasan aliran permukaan, limpasan permukaan
dihitung menggunakan metode SCS CN. Penelitian ini dilaksanakan di PT Gemma
Hutani Lestari Pulau Buru sejak bulan Agustus 2012 hingga Maret 2013. Tujuan dari penelitian adalah menentukan sebaran curah hujan dan besarnya limpasan permukaan akibat perubahan tutupan lahan. Besarnya curah hujan yang terjadi pada durasi 1 hari dengan periode 1, 5, 10, 25, dan 50 tahun adalah sebesar 66.6 mm; 133.6 mm; 162.4 mm; 200.5 mm; dan 229.4 mm. Tahun 2009 kenaikan volume limpasan sebesar 6.7% pada saat kejadian hujan sebesar 122.17 mm.
Kata kunci : limpasan, periode ulang, Pulau Buru
ABSTRACT
YUNENSIH. Rainfall and Runoff Analysis at Wainibe Sub Watershed PT Gemma Hutani Lestari Buru Island Maluku. Supervised by NANA MULYANA ARIFJAYA.
Buru Island is an island that has a hilly topography, with very high rainfall intensity. Topography and rainfall are key factors determining in forest management. Runoff increasing caused land cover calculated by SCS CN method. Research location at PT Gemma Hutani Lestari of Buru Island. Hydrology data use from August 2012 to that March 2013 . The purpose of this research was to determine the distribution of rainfall and the amount of surface runoff affected by land cover change. The amount of rainfall that occurred in the duration of 1 day for return period of 1, 5, 10, 25, and 50 years is 66.6 mm, 133.6 mm, 162.4 mm, 200.5 mm, and 229.4 mm. The increase runoff volume of 6.7% at the time of the incident amounted to 122.17 mm of rainfall in 2009.
ANALISIS CURAH HUJAN DAN LIMPASAN
DI SUB DAS WAINIBE PT GEMMA HUTANI LESTARI
PULAU BURU PROVINSI MALUKU
YUNENSIH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Analisis Curah Hujan dan Limpasan di Sub DAS Wainibe PT Gemma Hutani Lestari Pulau Buru Provinsi Maluku
Nama : Yunensih
NIM : E14080078
Disetujui oleh
Dr Ir Nana Mulyana Arifjaya, MSi Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Didik Suharjito, MS Ketua Departemen
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan rangkaian kegiatan perkuliahan sampai dengan terselesaikannya karya ilmiah dengan baik. Penulisan karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Judul dari karya ilmiah adalah Analisis Curah Hujan dan Limpasan di Sub DAS Wainibe PT Gemma Hutani Lestari Pulau Buru Provinsi Maluku. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam perencanaan pengelolaan hutan di PT Gemma Hutani Lestari.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Dr Ir Nana Mulyana Arifjaya, MSi selaku dosen pembimbing. Ucapan terima kasih tak lupa untuk pihak perusahaan PT Gemma Hutani Lestari (PT GHL), ayahanda dan ibunda, seluruh keluarga, keluarga besar RIMPALA FAHUTAN IPB, serta rekan-rekan MNH 45 atas doa dan semangatnya.
Penulis menyadari dalam pembuatan skripsi ini jauh dari sempurna, dan ketidaksempurnaan tersebut selayaknya menjadi tanggung jawab penulis. Untuk itu, atas kekurangannya penulis memohon maaf. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi penyempurnaan skripsi ini sehingga dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, Oktober 2013
1
DAFTAR ISI
PRAKATA v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
METODE 2
Waktu dan Tempat 2
Bahan dan Alat 2
Analisis Data 2
HASIL DAN PEMBAHASAN 3
Letak dan Luas Wilayah 3
Topografi 4
Tanah 5
Iklim 5
Penutupan Lahan 6
Curah Hujan 6
Debit 9
Analisis Hidrograf 10
Analisis Limpasan Permukaan 12
KESIMPULAN DAN SARAN 13
Kesimpulan 13
Saran 13
2
DAFTAR TABEL
1 Luas setiap kelas lereng di areal DTA PT GHL Pulau Buru 4
2Jenis tanah di areal DTA PT GHL 5
3 Penutupan lahan di areal DTA PT GHL Pulau Buru tahun 2009 6
4Persamaan logaritmik kurva probabilitas curah hujan di PT GHL 8
5Probabilitas curah hujan selama 4 tahun 8
6Periode ulang curah hujan analisis berbasis DDF (Depth Duration Frekuensi) 8
7Debit dan hujan tahun 2009, 2010 dan 2011 di areal DTA PT GHL 10
8Hidrograf satuan tahun 2009 11
DAFTAR GAMBAR
1Peta lokasi penelitian DTA PT GHL Pulau Buru 4
2Peta tanah di areal DTA PT GHL 5
3Curah hujan bulanan 2008-2011 di areal DTA PT GHL 6
4Hari hujan di DTA PT GHL tahun 2008-2011 7
5Kurva probabilitas di PT GHL 7
6Analisis kurva (DDF) 9
7Debit aliran S. Wainibe tahun 2009, 2010 dan 2011 di areal DTA PT GHL 10
8Hidrograf satuan tahun 2009 11
9Kenaikan Qpeak sebelum dan sesudah penebangan 12
DAFTAR LAMPIRAN
1Nilai SCS CN setiap penggunaan lahan di DTA PT GHL 15
2Rekapitulasi data curah hujan harian (mm) tahun 2008 di DTA PT GHL 15
3Rekapitulasi data curah hujan harian (mm) tahun 2009 di DTA PT GHL 16
4Rekapitulasi data curah hujan harian (mm) tahun 2010 di DTA PT GHL 17
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wilayah Kepulauan Maluku terletak pada posisi diantara 2°30' − 9° LS sampai dengan 124° − 135° BT (Utrecht 1998). Pulau-pulau yang ada di wilayah Maluku umumnya memiliki karakter yang berbeda. Perbedaan karakter tersebut disebabkan oleh perbedaan geografis, fisik, iklim, sosial, budaya dan etnis serta tahapan perkembangan ekonominya (Sitaniapessy 2002). Curah hujan merupakan salah satu penyebab perbedaan iklim di Pulau Maluku. Salah satu pulau kecil di Pulau Maluku yang memiliki curah hujan berbeda dengan pulau kecil lainnya adalah Pulau Buru.
Pulau Buru terletak di koordinat antara 3°24’00” LS - 126°40’00” BT, dengan topografi yang didominasi oleh perbukitan. PT Gemma Hutani Lestari (PT GHL) merupakan salah satu perusahaan di Pulau Buru dibidang kehutanan. Kegiatan yang ada di PT GHL sebagai contohnya adalah kegiatan produksi kayu di dalam hutan dan pengangkutan kayu dari tempat penebangan hingga tempat pengumpulan kayu. Kegiatan produksi kayu di dalam hutan dan pengangkutan kayu dari tempat penebangan hingga tempat pengumpulan kayu dipengaruhi oleh kondisi cuaca yang ekstrim yaitu curah hujan dan hari hujan yang tinggi. Data curah hujan serta data distribusi hujan merupakan data yang dibutuhkan dalam merencanakan kegiatan produksi kayu di dalam hutan. Ketersediaan data analisis curah hujan dan data distribusi curah hujan yang belum tersedia, maka perlu dilakukan analisis curah hujan serta analisis periode ulang curah hujan.
Curah hujan serta hari hujan yang tinggi dapat mengakibatkan terhambatnya kegiatan pengelolaan hutan. Dampak tersebut dapat mengakibatkan terganggunya serangkaian kegiatan produksi kayu di dalam hutan. Dampak lainya adalah sistem peralatan kerja yang digunakan dalam kegiatan produksi akan mengalami gangguan, sehingga dapat berakibat fatal terhadap keselamatan pekerja.
Kegiatan pengelolaan hutan dapat merubah tutupan lahan yang awalnya hutan menjadi Logged Over Area (LOA) atau lahan bekas kegiatan penebangan.
Wilayah LOA merupakan wilayah yang kurang baik dalam penyerapan air hujan,
sehingga dapat meningkatkan nilai limpasan permukaan. Curah hujan yang tinggi serta perubahan tutupan lahan dapat mengakibatkan peningkatan terhadap aliran permukaan.
2
Tujuan Penelitian
1. Menentukan pola sebaran curah hujan di areal daerah tangkapan air PT Gemma
Hutani Lestari (PT GHL)
2. Menentukan limpasan akibat kegiatan penebangan hutan di areal daerah tangkapan air Sub DAS Wainibe Pulau Buru
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai peningkatan limpasan permukaan akibat dari curah hujan dan perubahan tutupan lahan, sehingga dapat dijadikan masukan dalam merencanakan penggunaan lahan yang lebih baik di masa yang akan datang di PT Gemma Hutani Lestari (PT GHL).
METODE
Waktu dan Tempat
Data diperoleh dari alat yang ada di Stasiun Pengamatan Aliran Sungai (SPAS) PT GHL Pulau Buru dari tahun 2008 sampai dengan 2011. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2012 sampai dengan bulan Maret 2013. Pengumpulan data berupa data primer dan sekunder yaitu data iklim dan peta.
Bahan dan Alat
Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berupa data iklim dan data tinggi muka air (TMA) yang diperoleh dari pengukuran alat di SPAS PT GHL Pulau Buru dari tahun 2008-2011. Data sekunder berupa peta batas sub DAS, peta penggunaan lahan 2009 dan peta tanah. Alat utama yang digunakan pada penelitian ini adalah Logger SPAS, Arc GIS 9.3,
dan beberapa aplikasi Microsoft Office 2007.
Analisis Data
Analisis Curah Hujan dan Peluang Curah Hujan
3
durasi curah hujan selama 1 hari, 2 hari dan 3 hari. Periode ulang (T) kejadian hujan masing-masing kelompok dengan persamaan:
=1p
……….………
.(1)Keterangan :
T = Periode ulang (tahun) P = Peluang
Analisis Hidrograf
Hidrograf adalah grafik yang menggambarkan hubungan antara unsur-unsur aliran dengan waktu. Hidrograf satuan digunakan dalam menganalisis pemisahan aliran antara aliran limpasan, baseflow dan curah hujan yang terjadi.
Analisis Pendugaan Limpasan
Pendugaan besarnya limpasan yang terjadi dihitung dengan menggunakan metode Soil Conservation Service-Curve Number (SCS CN). Persamaan yang digunakan dalam menentukan volume debit yaitu sebagai berikut:
=
( −0,2 )²+0,8 ………..……….………(2)
Keterangan:
Q : Limpasan permukaan (mm) P : Curah hujan (mm)
S : Retensi (mm)
=
25400��
−
254
……….……….(3)Keterangan :
CN : Nilai koefisien untuk setiap tutupan lahan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Letak dan Luas Wilayah
Luas daerah tangkapan air (DTA) di PT GHL (Gambar 1) yaitu 32353.1 ha, di dalamnya terdapat Danau Rana dengan luas sekitar 1154.2 ha. Lokasi SPAS daerah tangkapan air (DTA) S. Wainibe berada pada koordinat 3°14'52.95" LS, 126°37'48.85" BT dan elevasi 347 m dpl yang berada dalam wilayah konsesi PT Gemma Hutani Lestari (PT GHL) di Pulau Buru, Provinsi Maluku.
4
Gambar 1 Peta lokasi penelitian DTA PT GHL Pulau Buru
Topografi
Keadaan topografi daerah tangkapan air (DTA) di PT GHL didominasi oleh daerah yang berbukit. Kelas lereng E (sangat curam) memiliki luasan yang terbesar, yaitu 40.2% dari total luasan daerah tangkapan air. Luas kelerengan yang sangat curam dapat menyebabkan terjadinya longsor serta erosi, sehingga kawasan tersebut masuk ke dalam wilayah hutan lindung. Berdasarkan kelas lereng maka luasan wilayah produksi akan lebih sedikit. Luas setiap kelas lereng dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Luas setiap kelas lereng di areal DTA PT GHL Pulau Buru
Kelas
lereng Kemiringan
Luas
Keterangan
ha %
A 0%-8% 2972.2 9.2 Datar
B 8%-15% 3296.7 10.2 Landai
C 15%-25% 5047.3 15.6 Bergelombang
D 25%-40% 8034.8 24.8 Curam
E > 40% 13002.0 40.2 Sangat curam
Total 32353.1 100
5
Tanah
Jenis tanah berdasarkan peta tanah yang diperoleh dari Puslitanak (2000) dengan skala 1:1000000 termasuk ke dalam ordo inceptisols. Ordo inceptisols
terdiri dari sub grup Eutrudepts endoaquepts dan Dystrudeptshapludults (Gambar 2). Pada Tabel 2 jenis Dystrudepts hapludults memiliki luasan yang paling dominan dibandingkan dengan jenis Eutrudepts endoaquepts yaitu 80% dari total luasan. Sub grup ini memiliki sifat tanah yang bervariasi sesuai dengan bahan induknya, selain itu sub grup ini tergolong jenis tanah yang masih muda serta tekstur lebih halus dari pasir berlempung, sangat masam sampai netral. Penampang tanah dangkal dan berbatu terutama di pegunungan atau perbukitan berlereng curam.
Tabel 2 Jenis tanah di areal DTA PT GHL
Jenis Tanah
Luas
ha %
Eutrudepts endoaquepts 6315 19.5
Dystrudepts hapludults 26037 80.5
Total 32353 100
Keterangan : Hasil analisis spasial
Gambar 2 Peta tanah di areal DTA PT GHL
Iklim
6
mempunyai curah hujan (CH) tahunan >2,000 mm dan hanya terdapat satu atau dua bulan kering (CH <60 mm).
Penutupan Lahan
Jenis penutupan lahan di DTA S.Wainibe berdasarkan pengolahan data spasial dikelompokkan menjadi lima jenis tutupan lahan. Luas tutupan lahan pada setiap jenis tutupan lahan pada tahun 2009 dapat dilihat di Tabel 3.
Tabel 3 Penutupan lahan di areal DTA PT GHL Pulau Buru tahun 2009
Jenis penutupan lahan Luas
Analisis Curah Hujan dan Peluang Curah Hujan
Curah hujan
Curah hujan merupakan masukan bagi sistem hidrologi, sedangkan hutan akan mempengaruhi proses penerimaan air yang tercurah dari atmosfer pada lahan di bawahnya (Pudjiharta 2008). Curah hujan tinggi akan mempengaruhi kegiatan pengelolaan hutan, yaitu dengan berkurangnya hari kerja pada kegiatan penebangan kayu dan pengangkutan kayu. Gambar 3 merupakan curah hujan bulanan yang terhitung sejak tahun 2008 sampai 2011. Curah hujan di areal daerah tangkapan air PT GHL sangat tinggi terlihat pada Gambar 3, yaitu curah hujan bulanan selama 4 tahun pengamatan hanya 4 bulan yang memiliki curah hujan bulanan di bawah 100 mm.
Gambar 3 Curah hujan bulanan 2008-2011 di areal DTA PT GHL
7
Besarnya curah hujan yang terjadi secara fluktuatif dapat menyebabkan kejadian kecelakaan kerja pada suatu kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu. Besarnya hari hujan (Gambar 4) pada tahun 2008, 2009, 2010, dan 2011 adalah sebesar 243 hari, 181 hari, 285 hari dan 192 hari. Hari hujan selama 4 tahun memiliki rata-rata hari hujan sebesar 225 hari, sehingga dapat dikatakan hanya 140 hari kerja efektif pada kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu di PT GHL untuk memproduksi kayu secara maksimal di dalam hutan. Curah hujan tahunan pada tahun 2008, 2009, 2010, dan 2011 yaitu sebesar 4,583 mm, 2,781 mm, 5,122 mm, dan 3,200 mm.
Gambar 4 Hari hujan di DTA PT GHL tahun 2008-2011
Peluang curah hujan
Kurva probabilitas (Gambar 5) menunjukan nilai R square yang mendekati 1, sehingga curah hujan dengan probabilitas memiliki korelasi yang tinggi. Kurva probabilitas curah hujan menghasilkan persamaan-persamaan (Tabel 4) yang akan digunakan dalam menentukan curah hujan dengan periode ulang tertentu, yaitu pada periode 1, 5, 10, 25, dan 50 tahun.
Gambar 5 Kurva probabilitas di PT GHL
8
Tabel 4 Persamaan logaritmik kurva probabilitas curah hujan di PT GHL
Durasi Persamaan R Square
1 hari -41.6ln(x) + 258.2 0.908 kecil maka presentase probabilitasnya menjadi semakin besar (Tabel 5). Curah hujan yang rendah memiliki peluang hujan yang sangat besar, karena semakin besar probabilitas maka akan semakin kecil curah hujan yang jatuh.
Tabel 5 Probabilitas curah hujan selama 4 tahun
Probabilitas (P)
Peluang curah hujan yang tinggi dapat diperkirakan dengan perhitungan periode ulang curah hujan. Periode ulang merupakan selang waktu rata-rata tahunan suatu kejadian akan terjadi yang akan dilampaui satu kali (Seyhan 1990). Periode ulang ditentukan melalui persamaan logaritmik yang dihasilkan oleh kurva probabilitas.
Besarnya curah hujan yang terjadi pada durasi 1 hari dengan periode 1, 5, 10, 25, dan 50 tahun adalah sebesar 66.6 mm; 133.6 mm; 162.4 mm; 200.5 mm; dan 229.4 mm. Terlihat bahwa semakin lama durasi hujan dan periode ulang semakin besar maka semakin besar curah hujan yang akan terjadi. Durasi yang semakin lama akan menyebabkan air hujan yang terkonsentrasi pada suatu wilayah dan akan terus terakumulasi. Periode ulang yang semakin lama hal ini berkaitan dengan akumulasi air dari curah hujan yang terjadi dan karena curah hujan yang ekstrem (curah hujan tinggi) hanya akan dijumpai pada kondisi tertentu yang memungkinkan terjadinya curah hujan yang tinggi.
Tabel 6 Periode ulang curah hujan analisis berbasis DDF (Depth Duration Frekuensi)
Keterangan : Hasil analisis
Periode ulang (T) Curah hujan (mm)
9
Tabel 6 menunjukan jumlah curah hujan pada periode ulang tertentu. Hasil analisis menunjukan bahwa semakin pendek durasi hujan serta semakin tinggi curah hujan maka intensitas hujan akan meningkat. Hubungan antara durasi hujan dan curah hujan digambarkan dengan kurva DDF. Kurva DDF menghasilkan persamaan logaritmik untuk mengetahui seberapa besar korelasi antara periode ulang tertentu, durasi hujan serta curah hujan yang terjadi.
Gambar 6 Analisis kurva (DDF)
Kejadian peluang hujan yang diperkirakan dapat digunakan sebagai acuan untuk mengetahui peluang terjadinya longsor. Longsor dapat terjadi ketika intensitas hujan yang tinggi, dalam penelitian Hasnawir (2012) mengatakan bahwa intensitas curah hujan di atas 50 mm/ jam dapat menyebabkan tanah longsor. Mayangsari (2012) menyatakan hujan dengan curahan dan intensitas yang tinggi yang berlangsung lama (>6 jam) berpotensi terjadinya longsor. Kondisi ekstrim ini akan mempengaruhi sistem hidrologi, yang berakibat pada peningkatan debit aliran sehingga akan menyebabkan kejadian bencana yang tidak diinginkan seperti longsor dan banjir.
Debit
Debit merupakan salah satu keluaran dari kejadian curah hujan. Data yang digunakan dalam analisis debit air merupakan data tinggi muka air (TMA) dimulai tanggal 1 Januari 2008 sampai dengan 31 Desember 2011. Debit yang dianalisis merupakan debit pada bulan mei pada tahun 2009, 2010 dan 2011. Kejadian debit tertinggi terjadi pada saat terjadinya hujan. Debit tertinggi yang terjadi pada tahun 2009, 2010 dan 2011 (Tabel 7) adalah sebesar 463 m3/s, 466 m3/s dan 454 m3/s. Debit tertinggi tidak hanya ditemukan pada saat kejadian hujan, akan tetapi ketika tidak terjadi hujan pun debit meningkat, hal ini dapat disebabkan terjadi hujan di daerah hulu.
Besarnya debit yang >400 m3/s dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik mikro. Pembangkit listrik tenaga air adalah suatu bentuk perubahan tenaga dari tenaga air dengan ketinggian dan debit tertentu menjadi tenaga listrik (Subekti 2010). Debit aliran sungai yang tinggi ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk tenaga listrik. Kemampuan pengukuran hujan-debit aliran sangat diperlukan untuk mengetahui potensi sumberdaya air di wilayah suatu DAS (Affandy et al. 2011). Total hujan pada tahun 2009 sebesar 276 mm yang
5 tahun 10 tahun 25 tahun 50 tahun
10
menjadi aliran limpasan permukaan adalah 5%. Tahun 2010 dan 2011 aliran limpasan permukaan dari total hujan yang terjadi adalah 6%.
Gambar 7Debit aliran S. Wainibe tahun 2009, 2010 dan 2011 di areal DTA PT GHL
Tabel 7 Debit dan hujan tahun 2009, 2010 dan 2011 di areal DTA PT GHL
11
Analisis Hidrograf
Respon debit harian terhadap curah hujan dapat diketahui melalui analisis hidrograf. Analisis hidrograf dilakukan pada beberapa kejadian hujan yang efektif pada setiap tahunnya. Analisis data curah hujan dan debit yang digunakan dalam menganalisis hidrograf satuan adalah data tahun 2008 sampai dengan tahun 2011. Sebagai contoh hidrograf data yang ditampilkan adalah tahun 2009. Respon curah hujan terhadap debit aliran sungai sangat cepat, dibuktikan dengan debit puncak sebesar 483.05 m3/s terjadi ketika curah hujan yang paling tinggi sebesar 36.58 mm dapat terlihat pada Gambar 8.
Hidrogaf selain untuk mengetahui respon debit aliran sungai terhadap curah hujan juga dibuat sebagai acuan untuk mengetahui nilai koefisien limpasan.
Koefisien limpasan adalah perbandingan antara tebal DRO dengan jumlah curah hujan. Angka koefisien limpasan berkisar antara 0 hingga 1, nilai 1 menyatakan semua air hujan mengalir sebagai limpasan dan nilai 0 menyatakan semua air hujan dapat diinfiltrasikan ke dalam tanah (Asdak 2001). Tahun 2009 koefisien limpasan sebesar 4% terjadi akibat hujan 75.95 mm selama 3 jam (Tabel 8). Faktor utama yang mempengaruhi nilai koefisien limpasan adalah laju infiltrasi, tanaman penutup tanah dan intensitas hujan (Arsyad 2006).
Gambar 8 Hidrograf satuan tahun 2009
Tabel 8 Hidrograf satuan tahun 2009
Tanggal Jam Curah Hujan
DRO : direct runoff (debit limpasan)
12
Analisis Limpasan Permukaan
Perubahan tutupan lahan akibat kegiatan pembukaan wilayah hutan (PWH) menyebabkan peningkatan terhadap aliran limpasan. Kegiatan PWH yang paling mempengaruhi kenaikan limpasan adalah pembuatan jalan untuk pengangkutan kayu. Jenis erosi yang dapat terjadi di jalan untuk pengangkutan kayu yaitu berupa erosi parit.
Hasil analisis dengan menggunakan metode SCS CN menunjukan aliran limpasan meningkat akibat perubahan tutupan lahan hutan menjadi Logged Over Area (LOA). Tahun 2009 kenaikan limpasan dan debit puncak sebesar 6.7 % pada saat kejadian hujan sebesar 122.17 mm, curah hujan yang telah diperkirakan dalam jangka 5, 10, 5 dan 50 tahun digunakan dalam menganalisis limpasan serta debit puncak pada tahun tersebut. Besarmya kenaikan limpasan dan debit puncak pada peluang curah hujan pada periode 5, 10, 25 dan 50 tahun sebesar 7.5%, 6.3%, 5.1%, serta 4.1% (Gambar 9).
Perencanaan penanaman kembali setelah kegiatan penebangan dapat memperkecil peningkatan aliran limpasan serta debit puncak. Braver (1959) dalam Herawatingsih (2001) mengatakan selain memperlambat aliran permukaan tanah yang ditutupi, tanaman juga akan mencegah pengumpulan air secara cepat dan mengurangi daya perusak air tersebut sehingga jika kecepatan aliran permukaan berkurang, maka infiltrasi akan bertambah.
Gambar 9 Kenaikan Qpeak sebelum dan sesudah penebangan
Curah hujan semakin tinggi akan mengakibatkan aliran limpasan yang meningkat, hal ini disebabkan kegiatan penebangan yang akan mengurangi/ menghilangkan penutupan oleh tajuk pohon hutan, sehingga akan berakibat pada air hujan yang jatuh langsung ke permukaan tanah dan sebagian akan menjadi aliran limpasan (Pudjiharta 2008). Curah hujan yang tinggi tidak selalu meningkatkan aliran limpasan dan debit puncak, akan tetapi aliran limpasan dan debit puncak terjadi akibat penutupan tanah yang berubah menjadi lahan kosong, sehingga ketika terjadi hujan tinggi, air hujan langsung ke permukaan tanah.
0
13 sedangkan pada peluang kejadian hujan 50 tahun curah hujan yang akan terjadi 1 hari yaitu sebesar 229.4 mm/ hari.
Koefisien limpasan harian pada tahun 2009 ketika terjadi hujan sebesar 75.95 mm adalah 4 %. Koefisien limpasan bulanan pada bulan Mei untuk tahun 2009, 2010 dan 2011 sebesar 5%, 6% dan 6% ketika curah hujan 276 mm, 313 mm dan 391 mm. Limpasan permukaan akibat penebangan pohon pada tahun 2009 berdasarkan metode SCS meningkat sebesar 6.7% atau 1054235.2 m3.
Saran
Lebih berhati-hati dalam kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu karena kondisi curah hujan yang tinggi serta topografi yang didominasi oleh perbukitan. Rata-rata debit bulanan 150-300 m3/s dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk tenaga listrik berupa pembangkit listrik tenaga mikrohidro.
DAFTAR PUSTAKA
Affandy NA, Anwar N. 2011. Pemodelan Hujan-Debit menggunakan Model
HEC-HMS di DAS Sampean Baru. Jurnal Tanah Lingk. 7 (1) : 1-2.
Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID) : IPB Pr. . 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID) : IPB Pr.
Asdak C. 2001. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID) : UGM Pr.
Hasnawir. 2012. Intensitas Curah Hujan memicu Tanah Longsor dangkal di Sulawesi Selatan. J Man Hut Trop. 1 (1) : 62-73
Herawatiningsih R. 2001. Pengaruh tegakan Acacia mangium dan Eucalyptus pelita terhadap beberapa sifa hidrologi areal Hutan Tanaman Industri di Kecamatan Mukok Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Mayangsari H. 2012. Simulasi longsor yang dipengaruhi curah hujan menggunakan model TRGRS (Studi kasus Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi) [skripsi]. Bandung (ID) : ITB.
Pudjiharta A, Pramono IB. 1989. Pengaruh hutan alam terhadap unsur iklim mikro di Yanlapa Jawa Barat. J Man Hut Trop. 519 : 1-10.
Pudjiharta A. 2008. Pengaruh pengelolaan hutan pada hidrologi. J Man Hut Trop. 5 (2): 141-150.
[Kementan] Kementrian Pertanaian. 2000. Legenda Tanah Eksplorasi Skala
1:1000000. Jakarta (ID) : Kementrian Pertanian Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
14
Rauf A, Pawitan H, June T, Kusmana C, dan Gravenhorst G. 2008. Intersepsi hujan dengan pengaruhnya terhadap pemindahan energi dan massa pada hutan tropika basah Studi kasus TN Lore Lindu. J Man Hut Trop. 15 (3) : 166-174
Seyhan E. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Yogyakarta (ID) : UGM Pr.
Sitaniapessy PM. 2002. Problema lingkungan pulau kecil di Maluku. J Tanah Lingk. 1(2): 79-82.
Sri Harto. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta (ID) : Gramedia
Subekti AR. 2010. Survey potensi pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar Provinsi NAD. J Mechatronis. 1(1) : 2 Sudjarwadi. 1987. Teknik Sumber Daya Air. Yogyakarta : UGM Pr.
Sudarto, Mukhlisin M. 2010. Pengaruh perubahan tata guna lahan terhadap peningkatan aliran permukaan studi Kasus di DAS Gatak, Surakarta. J Man Hut Trop. 11(1) : 29-40.
15
Lampiran 1 Nilai SCS CN setiap penggunaan lahan di DTA PT GHL
No Penggunaan tanah / Kondisi
19
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor Jawa Barat pada tangal 17 Desember 1989 dari ayah Kamiludin dan Ibu Siti Junaenah. Penulis adalah putri ke-sembilan dari sembilan bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus SMA Negeri 8 Bogor dan pada tahun yang sama, penulis diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Hidrologi Hutan serta Pengelolaan Ekosistem Hutan dan Daerah Aliran Sungai tahun akademik 2012-2013. Selain itu, penulis juga aktif sebagai anggota aktif Rimbawan Pecinta Alam (RIMPALA) Fakultas Kehutanan IPB periode 2010-2013, kepala Biro Kesekretariatan RMPALA periode 2010-2011, dan ketua Divisi Gunung Hutan RIMPALA periode 2011-2012.