Mengenal dan Mendeteksi Secara Dini Gangguan Belajar Disleksia Serta Metode Belajar Yang Bisa Digunakan Untuk Anak Penderita
Disleksia Asri Nurhasanah
Universitas Negeri Jakarta
asrinurhasanah@gmail.com
Abstrak
Disleksia merupakan suatu gangguan dimana penderita nya mengalami kesulitan dalam membaca, menulis, mengeja, atau dapat dikatakan kesulitan mengenali huruf. Gangguan tersebut dapat menghambat proses
belajar pada anak. Faktor yang menyebabkan adanya disleksia yaitu karena gangguan perkembangan pada otaknya (sistem syaraf pusat) pada
masa prenatal, perintal, dan selama satu tahun pertama. Orang tua dan guru harus dapat mendeteksi sejak awal jika anak memiliki gangguan disleksia. Hal tersebut bertujuan agar anak yang mengalami kesulitan belajar karena disleksia dapat terbantu. Jadi anak penderita disleksia dapat mengikuti dan menerima pembelajaran di sekolah dan mengalami kemajuan yang signifikan.
Kata Kunci: Disleksia, Kesulitan belajar
I. Pendahuluan
Gangguan belajar yang dialami oleh anak terkadang sering disalahartikan oleh orang tua dan guru, bahwa sang anak malas, kurang berlatih sehingga mereka tidak memahami materi yang diajarkan di sekolah dan mendapatkan nilai yang jelek. Hal
tersebut seringkali membuat
Salah satu ketidakmampuan dalam belajar atau disebut gangguan dalam belajar adalah disleksia. Disleksia adalah suatu gangguan dimana penderita nya mengalami kesulitan dalam membaca, menulis, mengeja, atau dapat dikatakan kesulitan mengenali huruf. Gangguan ini berlangsung dari masa anak-anak
hingga masa dewasa.
Penyebab gangguan belajar (learning disabilities) ini disebabkan oleh neurologis dan genetik, artinya gangguan ini merupakan gangguan di dalam otak (neurologis) yang disebabkan oleh faktor keturunan. Dikarenakan sulitnya mengatasi masalah gangguan belajar ini, muncul lah upaya alternatif untuk
mengatasinya dengan
menggunakan obat-obatan dan berbagai macam upaya terapi. Namun upaya ini jangan dianggap sebagai upaya ideal, karena tidak didukung oleh penelitian ilmiah.
Guru dan orang tua dan
mengupayakan dengan
menyiasati dan memberi toleransi
kepada siswa yang memiliki gangguan belajar agar dapat
mengikuti pembelajaran dengan baik. Selain itu juga guru dan orang tua harus sejak dini dapat mendeteksi gangguan belajar ini agar dapat membantu anak dalam tumbuh dan berkembang serta pembelajarannya di sekolah.
II. Pembahasan
A. Definisi Disleksia
Dyslexia berasal dari kata Yunani (Greek), “dys” berarti kesulitan, “lexis” berarti kata-kata. Jadi disleksia berarti “kesulitan dengan kata-kata”. Artinya penderita ini memiliki kesulitan untuk mengenali huruf atau kata. Kesulitan untuk mengenali huruf tersebut tak hanya mengenali huruf-huruf, tetapi juga melakukan analisis kalimat, teknik membaca,
memahami bacaan dan
menggunakan bahasa. Gejala lain yang mengikuti dari gangguan ini adalah berupa kesulitan menghitung, menulis angka, fungsi koordinasi/keterampilan motorik.
sejak lahir dan karena faktor genetis atau keturunan. Penyandang disleksia akan membawa kelainan ini seumur hidupnya atau tidak dapat
disembuhkan. Dengan
penanganan khusus, hambatan yang mereka alami bisa diminimalkan. Adapun acquired dyslexia didapat karena gangguan
atau perubahan cara otak kiri membaca. Disleksia cenderung diturunkan dan lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki.
Pada penderita disleksia sebenarnya mengalami kesulitan dalam membedakan bunyi bahasa yang menyusun sebuah kata. Mereka dapat menangkap kata-kata tersebut melalui indra pendengarnya. Namun ketika disuruh menuliskannya pada selembar kertas, mereka akan mengalami kesulitan. Tetapi jika diberikan soal dengan cara lisan, dimana soal dibacakan dan anak menjawab pertanyaan tersebut secara verbal, anak mampu menjawabnya, namun apabila anak diberi soal tertulis, anak akan
mengalami kesulitan.
Anak penderita disleksia memiliki masalah dalam bahasa dan fonologi kira-kira 60-70% lebih banyak dibandingkan dengan gangguan presepsi visual dan keterampilan motorik kira-kira 10%, selebihnya gangguan belajar spesifik yang lain kira-kira 20-30%.
B. Ciri-Ciri Anak Penderita Disleksia
Disleksia biasanya terjadi pada
anak-anak dengan daya penglihatan dan kecerdasan yang normal. Oleh karena itu terkadang sulit bagi orang tua dan guru mendeteksi ciri-ciri anak yang menderita disleksia. Namun apabila orang tua dan guru memperhatikan mereka dengan cermat, tentu saja guru dan orang tua dapat mengetahuinya.
Untuk mengetahui apakah anak menderita disleksia, orang tua dapat memberikan buku kepada mereka. Biasanya apabila anak menderita disleksia mereka tidak terlalu akrab dengan buku. Jika orang tua menyuruh anak untuk
membuat cerita berdasarkan gambar-gambar yang ada pada buku tersebut.
Secara rinci berikut merupakan ciri-ciri anak yang menyandang disleksia ketika membaca yaitu:
a. Membaca dengan lamban dan terkesan tidak yakin dengan yang ia ucapkan b. Menggunakan jarinya
untuk mengikuti
pandangan matanya yang
beranjak dari satu kata ke kata yang lain
c. Melewatkan bahkan menambahkan kata-kata yang ada
d. Membolak-balik susunan huruf atau suku kata dengan memasukkan huruf lain
e. Salah melafalkan kata-kata yang dibaca, walaupun kata-kata tersebut sudah akrab
f. Mengganti dan membuat kata-kata sendiri
g. Mengabaikan tanda baca
Dari ciri-ciri yang disebutkan
diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri anak penderita disleksia
dalam membaca yaitu tidak lancar dalam membaca karena sering terjadi kesalahan membaca seperti sulit membedakan huruf yang mirip.Dikarenakan hal tersebut otomatis membuat anak tidak memahami apa isi bacaan tersebut dan membuat kemampuan memahami isi bacaan sangat rendah.
Selain saat membaca, anak
penderita disleksia juga dapat terlihat saat mereka mencoba untuk menulis, ciri-ciri yang dapat diperhatikan yaitu:
a. Menuliskan huruf dengan urutan yang salah
b. Tidak menuliskan sejumlah huruf yang ingin ditulis c. Menambahkan dan
mengganti huruf pada kata yang ditulis
d. Mengabaikan tanda-tanda baca yang ada
Dari ciri-ciri yang disebutkan diatas, hampir mirip antara kesulitan saat menulis dan membaca. Huruf-huruf yang biasanya sering mengalami
terkadang ada huruf yang diganti menjadi angka, karena memiliki kemiripan. Seperti huruf “s” yang mungkin bisa ditulis anak penderita disleksia menggunakan angka “5”.
Selain ciri-ciri tersebut juga terdapat ciri yang lain diantaranya mempunyai daya ingatan jangka
pendek yang buruk, tulisan tangan yang buruk, kebingungan atas
konsep alfabet dan simbol, bahkan anak juga kesulitan menentukan menentukan start dalam menulis karena belum adanya kordinasi antara mata dan tangan.
C. Penyebab Disleksia
Penyebab gangguan belajar (learning disabilities) yang salah satunya adalah disleksia dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori faktor utama, yaitu faktor pendidikan, psikologis, dan biologis, namun penyebab utamanya adalah otak (Dardjowidjojo, 2008). Selain dari faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, faktor
keturunan dan kecelakaan juga
dapat menyebabkan seseorang menderita disleksia.
Dalam faktor pendidikan disleksia disebabkan oleh metode yang digunakan dalam mengajarkan membaca, terutama metode “whole-word” yang mengajarkan kata-kata sebagai satu kesatuan daripada mengajarkan kata
sebagai bentuk bunyi dari suatu tulisan. Dimana seharusnya anak
terlebih dahulu diajarkan huruf alphabet satu persatu dimulai dari bagaimana bentuk huruf tersebut, hingga bunyi huruf tersebut. Setelah itu, baru anak diajarkan bagaimana perpaduan antara satu huruf dengan huruf lainnya, seperti huruf vokal dan kosonan.
Faktor psikologis atau emosional merupakan akibat dari tindakan kurang disiplin, tidak memiliki orangtua, sering pindah sekolah, kurangnya kerja sama dengan guru, atau penyebab lain. Anak yang kurang ceria, bahkan memiliki emosi yang tidak stabil karena memiliki masalah dengan
orang tuanya hingga
menyebabkan stress bisa
Sejumlah peneliti meyakini bahwa disleksia merupakan akibat dari penyimpangan fungsi bagian-bagian tertentu dari otak. Diyakini bahwa area-area tertentu dari otak anak penderita disleksia perkembangannya lebih lambat dibanding anak-anak normal. Di samping itu kematangan otaknya pun lambat. Teori lainnya
menyatakan bahwa disleksia disebabkan oleh gangguan pada struktur otak. Faktor genetik juga diperkirakan turut berperan.
Beberapa penelitian
mengungkapkan bahwa 50 persen atau lebih anak disleksia memiliki riwayat orangtua yang disleksia atau gangguan lain yang berkaitan.
Gangguan kemampuan membaca atau mengenali huruf serta simbol huruf akibat kerusakan saraf otak atau selaput otak, sehingga otak kiri korteks oksipital (bagian belakang) terganggu. Kerusakan ini disebabkan infeksi atau kecelakaan, karena kerusakan inilah, otak tidak dapatberfungsi mengenali semua citra (image)
yang ditangkap oleh indra
penglihatan karena ada gangguan sambungan otak kiri dan kanan.
D. Klasifikasi Disleksia
Sidiarto (2007) dalam bukunya Perkembangan Otak dan Kesulitan Belajar pada Anak, menjelaskan klasifikasi disleksia sebagai berikut.
1) Disleksia dan Gangguan Visual
Disleksia jenis ini disebut disleksia diseideti satau disleksia visual (Helmer
2) Disleksia dan Gangguan Bahasa
Disleksia ini disebut disleksia verbal atau linguistik.Beberapa penulis menyebutkan prevalensi yang cukup besar yaitu 50-80%. Gejala berupa kesulitan dalam membedakan lafal huruf seperti p-t, b-g, t-d,
t-k, kesulitan mengeja secara auditoris, kesulitan menyebut
atau menemukan kata atau kalimat, bahkan mengucapkan urutan kata secara kacau seperti sekolah menjadi sekolha.
3) Disleksia dengan Diskoneksi Visual-Auditoris
Disleksia ini disebut sebagai disleksia auditoris (Myklebust). Adanya gangguan pada kondisi visualauditoris (grafem-fonem), yang menyebabkan anak membaca lambat. Dalam hal ini bahasa verbal dan persepsi visualnya baik. Namun apa yang dilihat tidak dapat dinyatakan dalam bunyi
bahasa.
Bakker, et al., (1987) membagi disleksia menjadi dua tripologi, yaitu sebagai berikut:
a. L-Type dyslexia (linguistic)
Dalam tipe ini anak membaca relatif cepat namun dengan membuat kesalahan seperti penghilangan, penambahan, atau penggantian huruf dan kesalahan multi-kata lainnya.
b. P-Type Dyslexia (perspective)
Dalam tipe ini anak cenderung membaca lambat dan membuat kesalahan seperti fragmentasi (membaca terputus-putus) dan mengulang-ulamg (repetisi).
E. Upaya Mendeteksi Disleksia Sejak Dini
Penderita disleksia sulit dikenali karena dari segi penampilan seperti anak normal pada umumnya serta dengan nilai IQ normal (rata atau diatas rata-rata). Pada umumnya,terlihat dari prestasinya yang kurang, kemampuan membaca yang tidak lancar seperti huruf yang sering
banyak guru yang menyadari bahwa masalah yang melatar belakangi kesulitannya tersebut adalah suatu kesulitan belajar spesifik. Oleh karena itu deteksi disleksia sejak dini serta penanganan yang baik akan memberikan hasil yang baik. Disleksia tidak bisa disembuhkan, namun hanya bisa membaik.
Diagnosis disleksia dapat
ditegakkan pada usia anak 7 tahun, dan proses diagnosisnya memerlukan seorang psikolog atau dokter ahli syaraf. Namun, kita sudah bisa mengidentifikasi sejak anak masih berusia 5-7 tahun atau usia pra sekolah. Identifikasi awal akan memberikan manfaat yang besar diantaranya yaitu biaya intervensi yang jauh lebih murah, anak belum terganggu mentalnya dan lebih fleksibel dalam mernerima metode pembelajaran.
Permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah, tidak semua daerah khususnya di
daerah-daerah terpencil memiliki SDM seperti Dokter Spesialis Saraf
Anak yang mampu
mengidentifikasi dan
mendiagnosis disleksia.
Dengan demikian, dibutuhkan suatu sistem yang dapat mengidentifikasi awal kemungkinan atau potensi seorang anak menyandang disleksia, yang dapat dengan mudah diakses dimana saja dan
kapan saja, sehingga baik orang tua maupun guru dapat lebih
aware atau waspada terhadap hal ini. Sistem ini merupakan sistem identifikasi disleksia dini dengan ketentuan sebagaiberikut:
1) Sistem ini digunakan untuk identifikasi dini disleksia pada anak dengan rentang usia 5- 7 tahun
2) Sistem ini mengeluarkan
output berupa
kemungkinan seorang
anak menyandang
disleksia, bukan diagnosis 3) Diagnosis hanya
ditegakkan oleh tenaga profesional yang kompeten 4) Parameter yang diukur
antara lain : bahasa lisan, bahasa tulisan, bahasa
working memory, arah dan koordinasi motorik halus
F. Upaya Guru dan Orang Tua Membantu Anak Penderita Disleksia Dalam Kesulitan Belajar
Bila seorang anak didiagnosis disleksia, ia harus mendapat dukungan ekstra baik oleh orang tuanya di rumah maupun gurunya di sekolah. Dukungan yang
diberikan orang tua di rumah bisa dengan mendampinginya dari
waktu ke waktu, memberikan dorongan dan semangat untuk mengembalikan kepercayaan dirinya, dalam mengajari membaca buatlah semenarik mungkin dan bisa juga menggunakan teknologi yang dapat membantu.
Dalam mengajarkan anak dalam membaca, jika anak mengalami kesulitan seperti suka terbolak-balik ataupun bingung dengan huruf yang bentuknya mirip, bisa dibantu dengan cara:
1) Mulai mengenalkan huruf demi huruf, lalu berlanjut dengan suku kata yang terdiri dari dua kata dan
seterusnya. Selain itu juga
bisa menggunakan media huruf yang menarik, seperti dengan menggunakan aneka macam warna 2) Lakukan metode dikte,
dimana misalkan orang tua mendiktekan suatu kata atau kalimat kepada anak dan biarkan anak
menulisnya atau
sebaliknya. Setelah itu mintalah anak untuk membacakannya kembali 3) Ajak anak untuk membaca
suatu wacana yang sumbernya bisa dari buku bacaan atau buku cerita bergambar dan kemudian lakukan tanya jawab
mengenai wacana
tersebut.
a. Metode Fernald
Fernald telah
mengembangkan suatu metode pengajaran membaca multisensoris yang sering dikenal pula sebagai metode
VAKT (Visual,
auditory, kinesthetic, and tactile). Metode ini
menggunakan materi bacaan yang dipilih dari kata-kata yang
diucapkan oleh anak, dan tiap kata diajarkan secara utuh. Metode ini memiliki empat tahapan.
Tahapan pertama, guru menulis kata yang hendak dipelajari di atas kertas dengan krayon. Selanjutnya anak menelusuri tulisan tersebut dengan jarinya (tactile and kinesthetic). Pada saat menelusuri tulisan tersebut, anak melihat tulisan (visual), dan mengucapkannya dengan keras (auditory). Proses semacam ini diulang-ulang sehingga anak dapat menulis
kata tersebut dengan benar tanpa melihat contoh.
Jika anak telah dapat menulis dan membaca dengan benar, bahan bacaan tersebut disimpan. Pada tahapan kedua, anak tidak terlalu lama diminta menelusuri tulisan tersebut dengan jari, tetapi dalam mempelajari tulisan dengan melihat guru
menulis, sambil
mengucapkannya. Anak-anak mempelajari kata-kata baru pada tahapan ketiga, dengan melihat tulisan yang ditulis di papan tulis atau tulisan cetak, dan mengucapkan kata tersebut sebelum menulis. Pada tahapan ini anak mulai membaca tulisan dari buku. Pada tahap keempat, anak mampu mengingat kata-kata yang dicetak atau bagian- bagian dari kata yang telah dipelajari.
b. Metode Gillingham
Metode Gillingham merupakan pendekatan terstruktur taraf tinggi yang memerlukan lima
jam pelajaran selama dua tahun. Aktivitas pertama
perpaduan huruf-huruf tersebut. Anak menggunakan teknik menjiplak untuk mempelajari berbagai huruf. Bunyi-bunyi tunggal huruf selanjutnya dikombinasikan ke dalam kelompok-kelompok yang lebih besar dan kemudian program fonik diselesaikan.
c. Metode Analisis Glass
Metode Analisis Glass
merupakan suatu metode
pengajaran melalui
pemecahan sandi kelompok huruf dalam kata. Metode ini bertolak dari asumsi yang mendasari membaca sebagai pemecahan sandi atau kode tulisan. Ada dua asumsi yang mendasari metode ini. Pertama, proses pemecahan sandi (decoding) dan
membaca (reading)
merupakan kegiatan yang berbeda. Kedua, pemecahan sandi mendahului membaca.
Pemecahan sandi
didefinisikan sebagai menentukan bunyi yang
berhubungan dengan suatu kata tertulis secara tepat.
Membaca didefinisikan sebagai menurunkan makna dari kata-kata yang berbentuk tulisan.
Melalui metode Analisis Glass, anak dibimbing untuk mengenal kelompok-kelompok huruf sambil melihat kata secara keseluruhan. Metode
ini menekankan pada latihan auditoris dan visual yang
terpusat pada kata yang sedang dipelajari.
Sementara Martini Jamaris (2014: 150-151) menambahkan dua metode selain metode Fernald danmetode Gillingham, yaitu:
a. Metode Hegge-Kirk-Kirk
Metode ini dikembangkan oleh Hegge, Kirk dan Kirk pada tahun 1972 (Lovit, 1989). Metode ini diutamakan untuk meneliti kemampuan auditori siswa dengan jalan memadukan bunyi huruf, menuliskan perpaduan bunyi huruf menjadi kata lalu menyebutkan kata tersebut. Langkah selanjutnya adalah menunjukkan kata pada siswa
menyebutkan bunyi huruf yang ada dalam kata tersebut. Selanjutnya, siswa diminta untuk menuliskan kata tersebut di atas kertas.
b. Neurological Impress
Neurological impress adalah suatu metode yang dirancang untuk membantu individu yang mengalami kesulitan
membaca berat (Heckelman: 169, Langford, Slade &
Barnett, 1974, Lovit, 1989). Dalam penerapannya, metode ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1) Guru dan siswa yang berkesulitan membaca duduk berhadapan sambil membaca.
2) Suara guru dibisikkan ke telinga siswa.
3) Guru dan siswa menunjuk pada kalimat yang dibaca oleh guru.
4) Dalam kondisi tertentu, guru membaca lebih cepat atau
sebaliknya.
Metode ini tidak
mengharuskan guru untuk
menyiapkan bahan bacaan secara khusus dan tidak pula menekankan pada latihan
pengucapan fonem,
pengenalan kata, dan isi bacaan yang dibaca. Tujuan utama dari metode ini adalah untuk membiasakan siswa membaca secara otomatis. Untuk memudahkan siswa
mengikuti program ini, maka proses pembelajaran dimulai dari tingkat yang rendah dari kemampuan yang dimiliki siswa.
IV. Kesimpulan
Disleksia merupakan suatu gangguan dimana penderita nya mengalami kesulitan dalam membaca, menulis, mengeja, atau dapat dikatakan kesulitan mengenali huruf. Gangguan tersebut merupakan gangguan belajar yang dapat menghambat proses belajar anak. Oleh karena itu orang tua setidaknya dapat mendeteksi secara dini gangguan belajar yang dimiliki oleh anaknya.
Apakah gangguan belajar yang dialami termasuk disleksia atau
guru dan orang tua harus dapat berkerja sama untuk membantu anak dalam belajar dengan berbagai metode yang ada. Selain itu pengetahuan akan disleksia sangatlah penting bagi guru dan orang tua. Agar guru dan orang tua dapat langsung bertindak dan menangani anak penderita disleksia. Disleksia memang tidak
dapat disembuhkan namun dapat membaik jika dibantu dengan metode yang tepat
V. Saran
Diharapkan orang tua dan guru dapat saling berkerja sama
mengenai bagaimana
pertumbuhan dan perkembangan anak yang terjadi di sekolah. Dengan berkerja sama, orang tua dan guru dapat mengatasi gangguan belajar yang dimiliki oleh anak. Selain itu juga pengetahuan tentang disleksia juga penting diketahui oleh orang tua dan guru, agar tidak bingung ketika menghadapi anak penderita disleksia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman Mulyono. 2003.
Pendidikan Bagi Anak
Berkesulitan Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta
Atalya Sharon Jerusha Turangan, Wibowo, Rika Febriani. 2016. Perancangan Buku Interaktif Belajar Baca Tulis bagi Orangtua Anak Penderita Disleksia di Surabaya. Surabaya: Universitas Kristen Petra. Vol 9, No 2
Budiyanto. 2005. Pengantar
Pendidikan Inklusif Berbasis Budaya Lokal. Departemen
Pendidikan Nasional
Derek, Wood, dkk. 2012. Kiat Mengatasi Gangguan Belajar. Yogyakarta: Katahati.
Hargio, Santoso. 2012. Cara Memahami anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Gosyen Publishing
Jo Worthy, Samuel Dejulio, et al. 2016. Teacher Understandings Perspectives and Experiences of Dyslexia. Texas: University of Texas. Vol 65, 436-453
Loeziana. 2017. Mengenal Ciri Disleksia. Aceh: UIN Ar-Raniry. Vol 3, No 2
Tanda-Tanda Disleksia Pada Anak Usia Dini. Yogyakarta: Universitas PGRI Yogyakarta
Mulyadi. 2010. Diagnosis Kesulitan Belajar dan Bimbingan terhadap Kesulitan Belajar. Yogyakarta: Nuha Litera
Nurdayari Praptinigrum, Purwandari. 2009. Metode
Multisensori Untuk
Mengembangkan Kemampuan Membaca Anak Disleksia di SD
Inklusi. Yogyakarta: UNY. Vol 2, No 2
Preiss D David, Robert J Sternberg. 2010. Innovations in Educational Psychology: Perspectives on Learning,
Teaching and Human
Development. USA: Hamilton Printing Company
Santrock John. 2011. Educational Psychology. New York: Mc Graw Hill
Sidiarto, Lily Djokosetio. 2007. Perkembangan Otak dan Kesulitan Belajar pada Anak. Jakarta: UI Press.
Siti Ellah Chalidah. 2005. Terapi
Permainan Bagi Anak Yang
Memerlukan Layanan Pendidikan Khusus. Departemen Pendidikan Nasional
Slavin Robert E. 2006. Educational Psychology: Theory and Practice Eight Edition. USA
Soeisniwati Lidwina. 2012. Disleksia Berpengaruh Kepada Kemampuan Membaca dan Menulis. Semarang: Jurnal STIE
Semarang. Vol 4, No 3
Subini Nini. 2011. Mengatasi Kesulitan Belajar Pada Anak. Yogyakarta: Javalitera
Surna I Nyoman, Olga D Pandeirot. Psikologi Pendidikan 1. 2014. Jakarta: Erlangga
Tammasse, Jumraini T. Mengatasi Kesulitan Belajar
Disleksia (Studi
Neuropsikolinguistik). Makassar: Universitas Hasanuddin
Tri Wahyu Retno Ningsih, Cahyawati Diah Kusumarini. 2011. Hubungan Antara Memori dan Penderita Disleksia Dalam Tinjauan Psikolinguistik. Depok: Universitas Gunadarma. Vol 4
Permainan Scrabble Terhadap Peningkatan Kemampuan Membaca Anak Disleksia. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan. Vol 1, No 1
Wardani IG.A.K, dkk. 2011. Pengantar Pendidikan Luar Biasa.Jakarta: Universitas Terbuka
Weinstein Lissa. 2008.
Dyslexia:Pergulatan Ibu Melepaskan Putranya dari Derita
Kesulitan Belajar.
Bandung:Penerbit Qanita
Widyorini Endang, Julia Maria van Tiel. 2017. Disleksia:Deteksi Diagnosis Penanganan di Sekolah dan di Rumah. Jakarta:Prenada
http://www.alodokter.com/disleksi a. diakses pada 30 April 2018
https://cantik.tempo.co/read/7797 74/kenali-disleksia-pada-anak. Diakses pada 30 April 2018
https://tirto.id/mereka-yang-sulit-mengenal-huruf-dan-kata-bYEF Diakses pada 30 April 2018
http://infonitas.com/kebayoran/lap
oran-utama/kenali-tanda-tanda-disleksia-pada-anak/48924 Diakses pada 30 April 2018
http://style.tribunnews.com/2016/ 11/26/penyakit-disleksia-susah- mengolah-kata-kata-saat-
berkomunikasi-kenali-lewat-penjelasan-ahli-ini Diakses pada 30 April 2018