• Tidak ada hasil yang ditemukan

Defisit Demokrasi vs Surplus Media Parad

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Defisit Demokrasi vs Surplus Media Parad"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

HIBAH RISET AWAL

TAHUN 2012

Governance, Democratization & Public/Social Policy

Defisit Demokrasi vs Surplus Media:

Paradoks Demokratisasi di Indonesia pada Era Media Baru

Nama Ketua Pengusul dan Anggota Periset (tanpa gelar): Peneliti Utama: Hizkia Yosie Polimpung Peneliti Anggota: Levriana Yustriani

Mita Yesyca Dibiayai oleh: Dana Riset DRPM UI Tahun Anggaran 2012

Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia

CENTER FOR GLOBAL CIVIL SOCIETY STUDIES (PACIVIS)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

LAPORAN AKHIR

HIBAH RISET AWAL

TAHUN 2012

Governance, Democratization & Public/Social Policy

Defisit Demokrasi vs Surplus Media:

Paradoks Demokratisasi di Indonesia pada Era Media Baru

Nama Ketua Pengusul dan Anggota Periset (tanpa gelar): Peneliti Utama: Hizkia Yosie Polimpung Peneliti Anggota: Levriana Yustriani

Mita Yesyca Dibiayai oleh: Dana Riset DRPM UI Tahun Anggaran 2012

Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia

CENTER FOR GLOBAL CIVIL SOCIETY STUDIES (PACIVIS)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(3)

Abstract

The research conduct a psychoanalytic mapping of libidinal motivations that drive people participation in democratic process by way of new media platform. 1000 tweets are analyzed by using Jacques Lacan theory of desire and discursive symptom as symptom of democratic participation. The research the discusses the general pattern of the participation, and draws some

implication with regard to the concept and practice of democratic participation itself.

Background

‘Democratization paradox in times of new media’, by which we refer to the paradoxical situation in Indonesia whereby in the one hand there exists surplus of new media users and in the other hand, there are many discontent with regard to democratic

participation in the country.

Research Question

“Why in the era of information openness, whereby almost every people may articulate their opinion freely through new media, there exists democracy deficit instead?"

Methodology

The research uses primary data from Twitter. It uses 1000 tweets around the Jakarta Governor Election, round two. The tweets are sorted by "pilkada" and "pilgub" as keyword. It then classifies the tweets according to three categories, formulated after Lacanian psychoanalytic theory. The first category, is desire-object, which include five form: 'the election', 'the candidates', 'Jakarta/Indonesia', 'democracy', and 'others'. Second is desire motivation, which include 12 form desire-identity which combines active and passive desires, narcisistic and anaclytic desire, and Imaginary-Symbolic-Real triads of desire register altogether. Third is the structure of discursive desire which consists of four structures: University discourse,

Master discourse, Hysterical discourse, and Analyst discourse.

Objectives

1. To conduct a general mapping which illustrates the dominant propensity in society in using new media platform as their democratic participation

2. To show inherent factors in new media itself which enable and/or constrain the range of choices for democratic participation through media.

3. To draw the implication of the pattern of democratic participation in new media found along the research for the practice and concept of democratic participation itself.

Result The dominant tendency from the general mapping suggests that:

1. In doing democratic participation through new media people project their libidinal desire to th election (521, 52%) itself and to the candidates (195, 20%). The two form of desire significantly outnumber the other three.

2. People are mostly motivates by active and anaclytic form of desire identity. Specifically, they pursue the Symbolic (500, 50%) and Imaginary (347, 35%) respectively.

3. In articulating their participation, the dominant structure captured by the research is the Hysterical (402, 40%), the University (308, 31%) and the Master (267, 27%). The analyst scores so very little with no more than 2% (23) of the total data.

Conclusion

The findings confirms the aforementioned hypothesis about the sensation of democratic participation which made possible by the emergence of new media platform. New media is able to divert people's energy for pursuing desire through participating in the democratic process, to an end of its own repetition. The energy needed to check-and-balance those in power are kidnapped and trapped in the circuit of new media. Hence, the researech suggest, we must not conflate the real demoractic particapation with what we call 'the sensation of democratic participation' occurs in the new media nowadays. The latter is the tendency found in the research, and that it will corrode the whole conception of democratic participation itself. It will sucks all the people energy needed to perform a

robust democracy, and leaving behind an authoritarian leader with democratic facade.

Discussion/Analysis

The findings clearly shows that people differ in what motivates them to conduct democratic participation. To understand this very motivation, it is not enough to only focus on 'what they do' or 'what they do it for'. It is necessary to, as the research suggests, also take

into account the various form of libidinal desire which drives them in their action. By acknowledging these desires, and considering the result the research come up with, we may understand that in doing democratic participation, it is not the participation itself that matters most, but instead the desire they identify and may extract from it. The implication is daring: people do not have to concretely

and actually participate in the democratic process, but that they only need to feel as if they have participated. Riset Awal 2012

Media Surplus vs. Democracy Deficit:

Democratization Paradox in Indoenesia in Times of New Media

Hizkia Yosie Pol impung,

(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Penelitian ini diselenggarakan atas dorongan untuk merefleksikan suatu fenomena unik yang terjadi di lapangan, yaiutu maraknya kehadiran media massa, terutama media baru, berikut intensitas penggunaan yang super tinggi di satu sisi, sementara maraknya opini publik tentang demokrasi yang belum benar-benar diimplementasikan, bahkan tidak sedikit yang secara pesimis menilainya sebagai kegagalan. Jadi, di satu sisi terdapat apa yang kami sebut sebagai ‘surplus media’, dan di sisi lain terdapat ‘defisit demokrasi’. Kenyatan inilah yang kami sebut sebagai ‘paradoks demokratisasi di era media baru’. Paradoks ini akan berubah menjadi suatu anomali saat ia dibenturkan dengan teori klasik yang menekankan peran media sebagai pilar keempat demokrasi (setelah eksekutif, legistlatif dan yudikatif). Media, diyakini menjadi prasyarat mutlak sekaligus indikator penting bagi terselenggaranya demokrasi.

Secara umum yang ingin disasar oleh penelitian ini adalah mengenai dinamika, jika bukan evolusi, dalam konsep partisipasi demokratik itu sendiri. Konsep ini begitu pentingnya sehingga tanpanya, demokrasi hanyalah menjadi kedok bagi penguasa yang totaliter. Sayangnya, di era media baru seperti saat ini, kehadiran platform-platfor mutakhir seperti Facebook, Twitter, Blog, dan sebagainya, telah terlalu dielu-elukan dan dirayakan tanpa refleksi kritis yang memadai. Bentuk-bentuk media baru ini dianggap sebagai revolusi dalam partisipasi demokratis. Penelitian ini berusaha menginterogasi asumsi ini, yang ternyata memang tidak berdasar. Dengan menggunakan aparatus konseptual dan teoritik dari Psikoanalisis Jacques Lacan, penelitian ini menunjukkan bahwa media baru tersebut telah sukses mengalihkan energi partisipasi demokratis masyarakat bukan ke arah proses-proses demokratis kongkrit di lapangan, melainkan ke arah repetisi ritual-ritual komunikasi di sirkuti media baru tersebut.

Penelitian ini dapat sukses terselenggara atas program Hibah Riset Awal Universitas Indonesia tahun 2011. Dalam pelaksanaanya, PACIVIS: Pusat Kajian Global Civil Society Universitas Indonesia juga turut memfasilitasi jalannya riset ini. Oleh karenanya, kami menghaturkan terima kasih. Penelitian ini juga tidak akan terselenggara tanpa bantuan kedua asisten, Mita Yesyca dan Levriana Yustriani, yang telah all out untuk mem-back up penelitian ini. Proses pengumpulan dan pengolahan data tidak akan mungkin terselesaikan tanpa bantuan keduanya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada tim analis tweets yang telah dengan gigih membantu dalam memetakan 1000 tweets: yaitu Frisca Tobing, Melia Halim, Fityananda Musthika, Elda Claudia Sembiring, dan Debora Widawati.

Akhirnya, semoga hasil, temuan dan argumentasi dalam studi ini bisa berguna bagi kemajuan demokrasi di Indonesia.

Depok, 14 November, 2012

(6)

IKHTISAR

Penelitian ini berangkat dari sebuah paradoks dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia hari-hari ini: maraknya kehadiran media massa, terutama media baru, berikut intensitas penggunaan yang super tinggi di satu sisi, sementara maraknya opini publik tentang demokrasi yang belum benar-benar diimplementasikan, bahkan tidak sedikit yang secara pesimis menilainya sebagai kegagalan. Jadi, di satu sisi terdapat surplus media, dan di sisi lain terdapat defisit demokrasi. Kenyatan inilah yang disebut sebagai ‘paradoks demokratisasi di era media baru’. Paradoks ini akan berubah menjadi suatu anomali saat ia dibenturkan dengan teori klasik yang menekankan peran media sebagai pilar keempat demokrasi (setelah eksekutif, legistlatif dan yudikatif). Media, diyakini menjadi prasyarat mutlak sekaligus indikator penting bagi terselenggaranya demokrasi. Dengan latar belakang teoritik seperti ini, dengan demikian penelitian ini mengajukan pertanyaan, “Mengapa di era keterbukaan informasi dimana hampir seluruh orang dapat mengartikulasikan pendapatnya secara bebas melalui media, malah muncul wacana defisit demokrasi?”

Penelitian ini menggunakan analisis simtom-wacana psikoanalisis Jacques Lacan untuk memecahkan permasalahan ini. Teori ini melihat prilaku subyek, dalam hal ini, partisipasi demokrasi sebagai sebentuk upaya untuk memenuhi hasratnya. Akibatnya, pemenuhan hasratlah yang menjadi utama, ketimbang tindakan partisipasi tersebut. Untuk memperoleh hasrat ini, subyek tidak perlu benar-benar berpartisipasi, ia cukup hanya perlu merasakan sensasi berpartisipasi. Sensasi inilah yang sebenarnya ia cari melalui tindakan yang ia kira partisipasi demokrasi—nyatanya, tidak ada yang terjadi secara kongkrit di lapangan. Adalah media baru yang mampu mengkondisikan kesalah-mengiraan ini, sehingga ia mampu menjebak energi-energi partisipasi subyek di dalam sirkuit medianya dengan cara terus menerus memproduksi sensasi partisipasi demokrasi.

Untuk menunjukkan ini, penelitian akan melakukan evaluasi pada partisipasi masyarakat melalui media dengan menganalisis 1000 buah “kicauan”

(tweet) masyarakat di sekitar Pemilihan gubernur Jakarta putaran kedua, melalui

platform mikro-blog Twitter. Pola dominan hasrat akan dipetakan sebarannya, untuk kemudian ditunjukkan sensasi partisipasi demokrasi seperti apa yang diproduksinya. Penelitian ini akan diakhiri dengan menyimpulkan apa artinya temuan-temuan ini bagi konsep dan praktik partisipasi demokrasi di era media baru.

Keywords: demokrasi; hasrat; identitas hasrat; obyek hasrat; partisipasi; sensasi;

(7)

M edia Surplus vs. Democracy Deficit:

Democrat izat ion Paradox in Indonesia in Times of New M edia

St aff: H.Y.Polim pung1*

St udent : M .Yesyca2, and L. Yust riani3 Sponsor: RUUI Aw al 2011

Em ail Cont act : yosieprodigy@gm ail.com ; hizkia.yosias@ui.edu

Disseminat ed at : H.Y. Polim pung, “ Sensation of Dem ocrat ic Participat ion am ong t he New M edia Users in Indonesia: A Case St udy of Jakart a Governor Elect ion, Round Tw o,” (fort hcoming)

1 Research Director, PACIVIS: Cent er for Global Civil Societ y Studies, Universit y of Indonesia, Depok,

Indonesia

2 Research St aff, PACIVIS: Cent er for Global Civil Societ y St udies, Universit y of Indonesia, Depok,

Indonesia

3 Research St aff, PACIVIS: Cent er for Global Civil Societ y St udies, Universit y of Indonesia, Depok,

Indonesia

* corresponding author

Introduction

The research begins w it h posing a problem called ‘dem ocratization paradox in t im es of new m edia’, by w hich w e refer t o t he paradoxical sit uat ion in Indonesia w hereby in t he one hand t here exist s surplus of new m edia users and in the ot her hand, t here are m any discont ent wit h regard t o dem ocrat ic participat ion in t he count ry. For t he first w e call ‘m edia surplus’ and t he lat t er ‘dem ocracy deficit ’. The paradoxical nat ure of t his st em s from a comm on comm on belief about t he role m edia plays in dem ocracy. In dem ocratic societ y, m edia holds a crucial role in chanelling people’s part icipationt o t he dem ocrat ic processes, hereby it poses a check-and-balance t o t he exist ing governm ent. So t he quest ion posed by t he research is: “ w hy in t he era of inform at ion openness, w hereby alm ost every people m ay articulat e t heir opinion freely t hrough new m edia, t here exist s dem ocracy deficit inst ead?”

In undert aking t he effort t o solve t he problem as asked in t he st at em ent of research quest ion, t he research set s out t hree-fold objectives. First ly, it t ries t o mapo out a general pat t ern w hich illust rat es t he dominant propensit y in society in using new m edia plat form as t heir dem ocrat ic participat ion. Secondly, it t hen m ove the discussion t o show inherent fact ors in new media it self w hich enable and/ or constrain t he range of choices for dem ocratic participat ion t hrough m edia. Last ly, it draw s som e im plication of t he pat t ern of dem ocratic participat ion in new m edia found along t he research t o t he pract ice and concept of dem ocrat ic part icipation it self.

(8)

m ot ivat ion, w hich include 12 form desire-identit y w hich combines act ive and passive desires, narcisist ic and anaclyt ic desire, and Im aginary-Sym bolic-Real t riads of desire regist er alt oget her. Third is t he st ructure of discursive desire w hich consist s of four st ruct ures: University discourse, M ast er discourse, Hysterical discourse, and Analyst discourse.

The dom inant t endency from t he general m apping finds t hree suggest ion: First ly, in doing dem ocratic participat ion t hrough new m edia people project t heir libidinal desire t o t h election (521, 52%) it self and t o t he candidat es (195, 20%). The t w o form of desire significantly out num ber t he ot her t hree. Secondly,people are most ly m ot ivates by act ive and anaclyt ic form of desire ident it y. Specifically, t hey pursue t he Sym bolic (500, 50%) and Im aginary (347, 35%) respectively. Thirdly, in art iculat ing t heir part icipation, t he dom inant st ruct ure capt ured by t he research is t he Hyst erical (402, 40%), t he University (308, 31%) and t he M ast er (267, 27%). The analyst scores so very lit tle w it h no m ore t han 2% (23) of t he t ot al dat a.

The findings clearly show s t hat people differ in what m ot ivat es t hem t o conduct

dem ocratic participat ion. To underst and t his very m ot ivation, it is not enough t o only focus on 'w hat t hey do' or 'w hat t hey do it for'. It is necessary t o, as t he research suggest s, also t ake int o account t he various form of libidinal desire w hich drives t hem in t heir act ion. By acknow ledging t hese desires, and considering t he result t he research come up wit h, we m ay underst and t hat in doing dem ocrat ic part icipation, it is not t he participat ion it self t hat m at t ers m ost , but inst ead t he desire t hey ident ify and m ay ext ract from it. The im plicat ion is daring: people do not have t o concret ely and act ually participate in the dem ocrat ic process, but t hat t hey only need t o feel as if t hey have part icipat ed.

In it s t urn. t he findings confirm s t he aforem ent ioned hypot hesis about t he sensat ion of

dem ocratic participat ion w hich m ade possible by t he em ergence of new media plat form.

New m edia is able t o divert people's energy for pursuing desire t hrough part icipating in t he

dem ocratic process, t o an end of it s ow n repet ition. The energy needed t o

check-and-balance t hose in power are kidnapped and t rapped in t he circuit of new media. Hence, t he

researech suggest , w e m ust not conflat e t he real dem oract ic part icapat ion wit h what we

call 't he sensat ion of dem ocrat ic part icipation' occurs in t he new m edia now adays. The

lat t er is t he t endency found in t he research, and t hat it w ill corrode the w hole conception

of dem ocrat ic participat ion it self. It will sucks all t he people energy needed t o perform a

robust dem ocracy, and leaving behind an aut horit arian leader w it h dem ocrat ic facade.

Keywords

(9)

I. PENDAHULUAN

I.1. Partisipasi Demokrasi di Era Media Baru

Setelah Reformasi, Indonesia dilihat menjadi salah satu negara dengan perkembangan demokrasi yang paling cepat. Pandangan ini terutama muncul setelah banyak orang yang melihat pemilihan-pemilihan umum berjamuran di mana-mana—baik dari level kepala desa hingga Presiden. Selain itu, juga muncul perubahan-perubahan lain di struktur pemerintahan, seperti pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diharapkan dapat menghentikan berbagai praktik korupsi yang selama ini masih merajalela di berbagai institusi pemerintahan. Bahkan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton pernah memuji Indonesia sebagai role-model, khususnya bagi Myanmar dan negara-negara di Timur Tengah, karena telah mengalami transisi dari pemerintahan yang otoritarian menuju demokrasi yang tumbuh pesat dengan populasi yang mayoritas Muslim.1 Meskipun terdapat seluruh perkembangan ini, masih tersisa pertanyaan: Apakah demokrasi yang terjadi di Indonesia benar-benar setara, menyeluruh, dan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat di negara ini?

Jika Demokrasi terdiri dari tiga pilar—eksekutif, legislatif dan yudikatif, maka pilar keempatnya adalah media yang independen.2 Hal ini berarti bahwa kebebasan berpendapat di media serta intensitas diskusi mengenai demokrasi di media menjadi salah satu indikator terwujudnya demokrasi. Namun, faktanya di Indonesia hampir keseluruhan dari partisipasi masyarakat di internet adalah untuk bersosialisasi dalam media jejaring sosial. Sementara itu, partisipasi masyarakat dalam diskusi tentang demokrasi di media masih sangat sedikit.

Di sini masalah yang muncul adalah defisit demokrasi, yang disebut oleh Benny Susetyo sebagai keadaan di mana rakyat terjebak oleh “formalisme,” di mana segala prosedur yang berkaitan dengan demokrasi—seperti pemilihan umum dan sebagainya—dijalankan namun tanpa ada makna sesungguhnya untuk memenuhi kepentingan masyarakat.3 Oleh karena itu, ide dasar riset ini bertujuan untuk mencari cara bagaimana untuk mengurangi defisit demokrasi yang terjadi di Indonesia ini, yang antara lain disebabkan oleh kurangnya partisipasi masyarakat di dalam media.

Defisit Demokrasi di Indonesia

1

Matthew Lee, “Clinton: Indonesia can be democratic role model” diakses dari

http://www.thejakartapost.com/news/2011/07/24/clinton-indonesia-can-be-democratic-role-model.html/ pada tanggal 20 September 2011, pukul 8.14 WIB.

2 Julianne Schultz, Reviving the Fourth Estate: Democracy, Accountability and the Media (Cambridge :

Cambridge Un, 1998).

3 Benny Susetyo, “Defisit Demokrasi” dalam Kompas

(30 April 2007) diakses dari

(10)

Benny Susetyo dari Demos Indonesia (sebuah lembaga kajian demokrasi dan HAM), melihat bahwa defisit demokrasi lama-kelamaan terjadi di Indonesia. Demokrasi yang sehat seharusnya terjadi bila muncul penegakan hukum yang bebas dari kepentingan politik dan kekuasaan, namun makna ini ternyata mengalami defisit di Indonesia. Defisit demokrasi ini terjadi karena rakyat sudah dijebak oleh yang dinamakan sebagai “formalisme,” yang berarti apa yang sudah menjadi cita-cita dan garis besar yang sudah ditulis dan disepakati makin jauh dari yang seharusnya dipraktikkan. Di sini, hukum hanya menjadi ornamen, kesejahteraan sosial semata-mata tulisan dalam konstitusi, dan perilaku penguasa makin menjauhi amanat konstitusi. Demokrasi pun hanya sebatas “alat untuk memilih pemimpin” dan tampil sebagai simbol belaka. Rakyat pun hanya menjadi objek yang dipermainkan oleh para elite dan tidak dapat benar-benar berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.4

Hal senada juga diungkapkan oleh Zuly Qodir yang menganggap bahwa defisit demokrasi di Indonesia hanya berjalan lancar dalam prosesnya tetapi minus etika dan minus substansi.5 Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa konsep partisipasi masyarakat berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat melakukan peranserta dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan.6Menurut Hadjon, keterbukaan, baik “openheid” maupun “openbaar-heid” sangatpenting artinya bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik dan demokratis. Dengan demikianketerbukaan dipandang sebagai suatu asas ketatanegaraan mengenai pelaksanaan wewenangsecara layak. Konsep partisipasi terkait dengan konsep demokrasi, sebagaimana dikemukakan oleh Hadjon bahwa sekitar tahun 1960-an muncul suatu konsep demokrasi yang disebut demokrasi partisipasi. Dalam konsep ini rakyat mempunyai hak untuk ikut memutuskan dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan.7

Mark E. Warren membedakan dua jenis masalah partisipatif dalam masalah

defisit demokrasi yang lebih luas.8 Yang pertama, defisit dalam

lembaga formal demokrasi elektoral, baik yang diakui dan sering diteliti. Yang kedua

4 Benny Susetyo, “Defisit Demokrasi,” Loc. Cit. 5

“Kecenderungan Terjadinya Defisit Demokrasi 2009” diakses dari

http://csps.ugm.ac.id/indonesian/Kecenderungan-Terjadinya-Defisit-Demokrasi-2009.html/ pada tanggal 20 September 2011, pukul 8.31 WIB.

6

Pidato Philipus M. Hadjon, 1997 dalam Ni Made Ari Yuliartini Griadhi dan Anak Agung Sri Utari, “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah”, Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008.

7

Ibid.,

8 Mark E. Warren, “Citizen Participation and Democratic Deficits: Considerations from the

Perspective of Democratic Theory”, hal. 2 diakses melalui

(11)

adalah lebih baru dan khas: defisit yang telah muncul dalam banyak bentuk baru 'keterlibatan warga negara', yang telah dikembangkan untuk menanggapi defisit dalam demokrasi elektoral. Jenis pertama defisit ini membutuhkan reformasi kelembagaan, seperti desain ulang sistem pemilu, lembaga parlemen, dan perubahankonstitusi dasar,sehingga mereka lebih responsif, dan memiliki kapasitas lebih besar untuk mengumpulkan informasi, musyawarah, dan pembentukan kebijakan. Jenis kedua defisit memerlukan penyesuaian pada lembaga yang sudah ada seperti merancang bentuk-bentuk baru demokrasi yang suplemen dan melengkapi lembaga-lembaga formal demokrasi elektoral, terutama di daerah-daerah kebijakan fungsional dimana lembaga pemilu masih memiliki kapasitas yang lemah untuk menghasilkan demokrasi legitimasi.

Saat ini orang melihat munculnya defisit demokrasi, yakni kesenjangan antara proses dan mekanisme pembuatan keputusan dengan keputusannya sendiri. Singkatnya, sekalipun setiap warga negara secara aktif berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, keputusan yang diambil lebih banyak ditentukan oleh mereka yang tidak memiliki privilege politik dalam proses demokrasi seperti misalnya perusahaan-perusahaan multinasional, organisasi-organisasi internasional ataupun insitusi dan kepentingan dari luar batas-batas komunitas politik tersebut9 Memang, satu hal yang patut dicatat dan harus

mendapat perhatian serius adalah bahwa demokrasi ternyata tidak menjamin adanya partisipasi. Demokrasi hanya menyediakan ruang-ruang publik dan membiarkan ruang publik itu diisi oleh partisipasi aktif rakyat. Dengan kerangka demikian, maka partisipasi merupakan pilihan dari rakyat untuk memanfaatkan ruang publik. Ruang publik yang sudah terbuka tersebut memang idealnya harus diisi oleh partisipasi aktif rakyat, dan sekali lagi itu adalah mutlak tugas dan kewajiban rakyat itu sendiri. Dalam situasinya yang ideal, memang ruang publik harus diisi oleh partisipasi aktif rakyat untuk melakukan deliberasi dan membuat diskursus. Akan tetapi, jika rakyat tidak mampu mengisi ruang-ruang publik tersebut dengan partisipasi, maka yang terjadi adalah ruang-ruang tersebut didominasi oleh para elit-elit yang pragmatis dan hanya mengejar sumber daya politik maupun ekonomi, sehingga yang muncul bukanlah partisipasi rakyat, melainkan partisipasi elit.

Dari berbagai diskursus di atas, tampak bahwa demokrasi di Indonesia hanya semata-mata menjalankan prosedur yang ada—terutama melalui berbagai pemilihan umum yang dijalankan—tanpa adanya pemenuhan kepentingan rakyat. Dari sini, dapat dilihat pula bahwa partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi masih sangat minim; kebanyakan hanya sebatas untuk menjalani formalitas untuk memilih calon pejabat. Media-media massa yang ada pun seringkali dibumbui oleh kepentingan pihak-pihak politik tertentu dan publik semata-mata menjadi penonton tanpa dapat berpartisipasi di dalamnya.

9

Muhadi Sugiono, “Demokrasi dan Dinamika Globalisasi”, hal 2 diakses melalui

(12)

Tetapi belakangan ini, muncul juga fenomena lain yang baru di negara ini, yakni surplus pengguna jejaring sosial.

Surplus Pengguna Jejaring Sosial

Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat pengguna internet, terutama dalam kategori jejaring sosialyang sangat tinggi di dunia. Pada Januari 2011, tercatat sekitar 31 juta rakyat Indonesia, atau seperdelapan dari 242 juta orang menggunakan internet.10 Jumlah pengguna internet tersebut didominasi

oleh pengguna situs jejaring sosial, antara lain Facebook dan Twitter. Berdasarkan data dari Google AdPlanner pada Mei 2011, rata-rata pengguna internet di Indonesia mengakses WordPress selama 8 menit, Blogspot selama 10 menit, Twitter selama 16 menit, Facebook selama 28 menit, dan Kaskus selama 30 menit setiap harinya.11 Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar aktivitas

masyarakat Indonesia di dunia maya adalah untuk bersosialisasi melalui situs jejaring sosial maupun blog.

Indonesia merupakan negara pengguna Facebook terbesar kedua di dunia setelah AS, dengan jumlah pengguna sebanyak 40.146.340 orang per 17 September 2011.12 Dalam kurun waktu 6 bulan terakhir, jumlah ini terus

meningkat pesat, yang menggambarkan bahwa budaya bersosialisasi di internet semakin meluas

Berikut grafik jumlah pengguna Facebook pada bulan Maret – Agustus 201113:

10

Ismira Lutfia, “Indonesia’s Social Media Obsession Seen Changing Rules of Marketing”, diakses dari http://www.thejakartaglobe.com/home/indonesias-social-media-obsession-seen-changing-rules-of-marketing/416821, pada 19 September 2011 pukul 20.00 WIB.

11

_____, “Social Media Impact on Indonesian Internet Users”, diakses dari

http://www.jakartaupdates.com/1639-07/social-media-impact-on-indonesian-internet-users, pada 19 September 2011 pukul 21.47 WIB.

12 Data dari CheckFacebook.com,

diakses dari http://www.checkfacebook.com/ pada 19 September 2011 pukul 19.30 WIB.

13

(13)

Grafik 1. Jumlah Pengguna Facebook di Indonesia Periode Maret – Agustus 2011

Grafik 2. Distribusi Umur Pengguna Facebook di Indonesia14

Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa mayoritas pengguna Facebook berada pada rentang usia 18-24 tahun dan diikuti oleh pengguna dengan rentang usia 25-34 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa para pengguna Facebook berada pada usia yang produktif. Selain itu, data statistik dari social bakers15

menunjukkan bahwa tingkat penetrasi Facebook di Indonesia sebesar 16,52% dibandingkan dengan populasi negara dan sebesar 133,82% dibandingkan

14 Ibid. 15

(14)

dengan jumlah pengguna internet.16 Tingkat penetrasi yang sangat tinggi ini

memperlihatkan betapa mendominasinya Facebook dalam aktivitas internet yang dilakukan masyarakat Indonesia.

Sementara itu, dalam jejaring sosial lainnya, yakni Twitter, Indonesia menempati peringkat ketiga dalam kategori negara dengan jumlah pengguna Twitter tertinggi, dengan kontribusi sebesar 2,34% terhadap jumlah tweet di dunia pada masa itu.17 Tingginya aktivitas masyarakat Indonesia yang tinggi di

jejaring sosial terlihat dari seringnya tweet yang menjadi trending topic merupakan tweet yang berasal dari pengguna Twitter di Indonesia. Bahkan, Jakarta merupakan satu-satunya kota di Asia yang menempati peringkat 15 besar.18 Artikel The Economist pada 6 Januari 2011 yang berjudul “Eat, Pray,

Tweet”, menuliskan betapa aktifnya pengguna internet di Indonesia dalam mengakses situs jejaring sosial, yang menggambarkan dengan jelas tentang budaya Indonesia yang terbuka terhadap jejaring sosial.19

Paradoks Demokrasi di Era Media Baru

Sampai di sini, kita dihadapkan pada dua kenyataan yang bertolak belakang: di satu sisi wacana mengenai defisit demokrasi merebak di kalangan

opinion leader Indonesia, dan di satu sisi terjadi surplus tinggi atas pengguna

media sosial. Dua hal ini menjadi ironis apabila diletakkan pada anggapan umum bahwa media merupakan pilar keempat demokrasi. Sebagai pilar keempat demokrasi, media memiliki fungsi penting dalam demokrasi untuk menjadi saluran partisipasi demokratis masyarakat, yang notabene krusial sebagai bentuk checks and balances bagi pemerintah yang berkuasa. Pilar keempat ini, dengan demikian melengkapi ketiga pilar sebelumnya—eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Tingginya angka pengguna media di Indonesia, apabila dihubungkan dengan teori pilar keempat demokrasi, maka seharusnya sudah menjadi tidak relevanlah wacana-wacana mengenai demokrasi defisit. Logikanya, demokrasi menjadi defisit apabila masyarakat tidak banyak yang berpartisipasi, sehingga elit mendominasi keseharian pemerintahan. Hal ini mungkin untuk terjadi, salah satunya apabila saluran-saluran untuk menyalurkan aspirasi dan partisipasi adalah sedikit. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Media, sebagai saluran partisipasi demokratis masyarakat tersebut terbukti amatlah banyak. Bahkan, penggunaan media baru, yang karenanya rakyat dimungkinkan untuk berpartisipasi secara ral time, di Indonesia menunjukkan angka yang bukan main

16

_____, “Indonesia Facebook Statistics”, diakses dari http://www.socialbakers.com/facebook-statistics/indonesia, pada 20 September 2011 pukul 09.00 WIB.

17 Ibid. 18 Ibid.

19 _____, “Eat, Pray, Tweet”, dalam The Economist, diakses dari

(15)

besarnya. Lalu mengapa partisipasi demokrasi menjadi defisit? Kondisi ini yang kami sebut sebagai paradoks demokrasi di era media baru.

Tepat di sinilah penelisikan kembali mengenai posisi dan peran media dalam memfasilitasi partisipasi demokrasi hari ini. Ada dua hal yang bisa jadi menjadi problem utama di sini, yaitu apakah peran media dalam demokrasi telah bergeser dari yang sebagaimana dimaksudkan teori pilar keempat, atau justru telah terjadi pergeseran konsep partisipasi demokratis itu sendiri yang memungkinkan terjadinya paradoks ini? Yang manapun jawabannya, hal paling penting untuk ditelaah lebih lanjut adalah kondisi-kondisi apa yang memungkinkan terjadinya pergeseran tersebut. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi titik problematika awal kemana studi ini melangkah. Untuk memecahkan misteri paradoks demokrasi di era media baru ini, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:

I.2. RUMUSAN MASALAH

Untuk memecahkan misteri paradoks demokrasi di era media baru ini, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:

“Mengapa di era keterbukaan informasi dimana hampir seluruh orang dapat mengartikulasikan pendapatnya secara bebas melalui media, malah muncul wacana defisit demokrasi?”

Pertanyaan ini kemudian dioperasionalisasikan lagi lebih terperinci sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pola partisipasi yang actually existing terjadi dalam praktik demokrasi melalui media baru?

2. Dalam kondisi apa dimungkinkan bentuk partisipasi demikian?

3. Apa implikasi bentuk partisipasi dalam media baru ini bagi konsep dan praktik partisipasi demokrasi itu sendiri?

I.3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Memetakan pola umum yang menggambarkan kecenderungan dominan masyarakat dalam menggunakan saluran media baru sebagai medium partisipasinya.

2. Menunjukkan faktor-faktor yang inheren terdapat dalam media baru itu sendiri yang memungkinkan dan/atau membatasi bentuk-bentuk pilihan partisipasi demokrasi melalui media.

(16)

I.4. SIGNIFIKANSI DAN URGENSI PENELITIAN

Melihat kesenjangan yang tinggi antara defisit demokrasi dan surplus

social media, maka penting untuk melakukan upaya-upaya untuk mengalihkan

partisipasi yang tinggi dalam social media tersebut ke dalam ranah demokrasi. Selain itu, hal ini juga penting mengingat kehadiran media sebagai pilar keempat dari demokrasi, sehingga dermokrasi baru akan terwujud sepenuhnya setelah pilar keempat tersebut terwujud.

Peneliti melihat bahwa salah satu solusi yang dapat ditawarkan untuk memecahkan masalah ini adalah dengan memanfaatkan fakta bahwa Indonesia memiliki jumlah pengguna social media yang menempati salah satu peringkat paling banyak di dunia. Sehingga penelitian ini berusaha melihat kemungkinan apakah partisipasi masyarakat Indonesia yang besar di ranah jejaring sosial dapat diarahkan untuk membantu mengurangi defisit demokrasi yang terjadi di Indonesia serta mendorong terjadinya proses demokratisasi yang lebih partisipatif di negara ini.

Lebih lanjut, penelitian ini dimaksudkan untuk memikirkan kembali hubungan antara media, demokrasi, dan partisipasi komunikasi di era kontemporer. Tim peneliti bermaksud untuk melihat dan mengetahui bagaimana media dapat menjadi alat yang berguna bagi perwujudan demokrasi. Hasil penelitian nanti diharapkan dapat turut berkontribusi dalam upaya pemberian edukasi tentang media di kalangan masyarakat Indonesia.

II. KERANGKA PEMIKIRAN

Psikoanalisis dan Prilaku Partisipatif

Teori-teori yang membahas mengenai prilaku biasanya akan bertumpu pada penjelasan rasionalistik ekonomi dan penjelasan psikologis. Penjelasan rasionalistik biasanya menggunakan teori-teori seperti teori pilihan rasional dan teori permainan. Sekalipun terdapat perbedaan, persamaan keduanya adalah menggunakan logika cost-benefit dalam setiap kalkulasi tindakan manusis. Prilaku manusia, akhirnya ditentukan dari perhitungan-perhitungan rasional yang ia refleksikan sebelum mengambil keputusan. Problem dari pendekatan seperti ini adalah bahwa ia begitu saja menerima secara taken for granted tentang

corak tertentu dari rasionalitas. Mengapa yang dianggap rasional adalah yang

demikian (as such) dan bukan lainnya? Proses-proses apa yang menjadikan

gagasan rasionalitas menjadi bercorak yang demikian? Pertanyaan-pertanyaan ini jelas tidak akan mampu di jawab pendekatan ini. Kerja teoritik mereka berada

di dalam satu bentuk rasionalitas, sehingga klaim-klaim teoritis yang mereka

hasilkan hanya berlaku sepanjang rasionalitas yang dipakai pendekatan ini secara taken for granted tidak berubah.

(17)

sehingga ia terus dimodifikasi dan diperbarui. Sekalipun demikian, asumsi dasarnya tetap tidak tersentuh. Secara umum, teori ini mencoba memeringkatkan kebutuhan manusia secara berurutan: biologis (makan, minum, tidur, seks), keamanan (tatanan, hukum), afeksi (belongingness, cinta, kasih-sayang), penghargaan (esteem, capaian, status), aktualisasi-diri (tujuan hidup). Perkembangan terbaru mencoba menambahkan kebutuhan kognitif (pengetahuan, kesadaran) dan estetis (keindahan, keseimbangan) sebelum kebutuhan aktualisasi-diri, dan kebutuhan transenden (menolong, berderma) setelah kebutuhan aktualisasi-diri.

Problem dari pendekatan ini ada di seputar pertanyaan mengenai asal-usul dari masing-masing bentuk dari needs itu sendiri. Segala bentuk obyek kebutuhan dalam setiap tangga hirarki ini diasumsikan terberi begitu saja. Semisal, kebutuhan estetis, tidak pernah dipertanyakan mengapa konsepsi keindahan yang demikian yang dianggap estetis dan bukan versi lainnya. Begitu pula dengan kebutuhan akan kemanan, jarang tepikirkan untuk menginterogasi mengapa seseorang merasa aman dalam sistem keamanan demikian dan bukan lainnya. Hal ini, belum lagi melihat unsur-unsur sosial-politis yang membentuk bentuk gagasan keindahan dan keamanan tadi. Di sini pendekatan psikologis menemui keterbatasannya.

Untuk menambal keterbatasan ini, studi ini akan menggunakan pendekatan psikoanalisis yang digagas dan dikembangkan oleh Jacques Lacan dan para penerus tradisinya, seperti, terutama, Slavoj Zizek dan Jodi Dean. Psikoanalisis melihat seluruh prilaku manusia sebagai sesuatu yang memiliki asal-usul libidinal, yaitu hasrat. Adalah hasrat yang menjadi motor seseorang untuk berhasrat. Hal ini akan menjadikan piramida Maslowian menjadi sama sekali bermasalah dan tidak relevan. Misalnya, paling sederhana: mengapa manusia makan? Maslow dan pengikutnya akan menjawab bahwa itu adalah kebutuhan biologis. Tapi bagaimana dengan misalnya, para petapa, atau para pemogok makan? Mereka tidak makan demi mendapat estetika (pertapa) dan rekoginisi (pemogok). Artinya, dalam horizon Maslowian, mereka “melompati” hirarki kebutuhan tersebut. Dan ini adalah sesuatu yang tidak terjelaskan bagi pendekatan Maslowian.

Dorongan hasrat dan obyek hasrat

Sehingga penting di sini untuk membedah prilaku manusia. Dengan menggunakan psikoanalisis Lacanian, prilaku harus selalu dilihat sebagai sesuatu yang selalu merupakan efek dari suatu dorongan (drive)20 hasrat.

Dorongan ini bersifat primordial dan sifatnya inheren. Semenjak manusia lahir, ia sudah memiliki dorongan. Hanya saja, ia belum memiliki saluran dan muara

20 Kesalah-kaprahan fatal dalam terjemahan Indonesia adalah dengan menerjemahkan konsep ini

(18)

untuk mengarahkan dorongan hasrat tersebut. Di sinilah pentingnya melihat aspek lain dari hasrat, yaitu obyek hasrat. Obyek hasrat merupakan muara dari dorongan tersebut. Jadi, kembali ke contoh makan, ‘dorongan untuk memuaskan rasa lapar’ (libidinal) adalah berbeda dan lebih dalam dari sekedar ‘memuaskan rasa lapar’ (biologis) itu sendiri. Yang pertama ini punya motivasi yang tidak sekedar memuaskan rasa lapar, melainkan untuk memuaskan hasrat untuk bertahan hidup. Hasrat bertahan hidup ini, sebenarnya hanyalah satu macam hasrat saja; masih ada bentuk hasrat lainnya.

Melalui contoh ini, dapat dilihat bagaimana obyek hasrat hasrat harus dilihat setidaknya sebagai dua lapis: identitas dan obyek.21 ‘Identitas hasrat’

merupakan motivasi libidinal/hasrati sang subyek untuk menghasrati obyek hasrat yang mengandung identitas hasrat tersebut.22 Obyek inilah yang disebut

Lacan sebagai ‘obyek penyebab hasrat’ (object cause of desire). Jadi, anatomi hasrat dapat dibedah ke dalam dua aspek: identitas hasrat dan obyek hasrat. Dalam setiap obyek hasrat, dengan demikian, selalu tersimpan identitas-identitas hasrat. Namun demikian yang penting ditekankan adalah bahwa identitas hasrat sebenarnya tidak pernah tersimpan begitu saja dalam obyek hasrat; identitas

hasrat dalam obyek hasrat adalah selalu merupakan hasil proyeksi dan investasi dorongan

hasrat sang subyek. Artinya, identitas hasrat sebenarnya tidak pernah ada dalam

obyek tersebut dengan sendirinya; adalah subyek yang memproyeksikan hasratnya ke obyek tersebut sehingga seolah-olah obyek tersebut memendam suatu harta karun hasrati tertentu.

Di sini, mau tidak mau, analisis harus mempertimbangkan aspek sosial politik yang berupaya mengarahkan, mengkanalisasi, mengorientasi, dan menggiring dorongan hasrat ke arah obyek hasrat tertentu yang notabene telah terlebih dahulu

dikonstruksikan makna dan nilai pemuasan hasratnya. Memahami proses

penggiringan ini, maka penting untuk juga menjelaskan proses ‘identifikasi’ identitas hasrat dalam obyek-obyek hasrat. Hal ini demikian karena semenjak obyek hasrat dihasrati karena (dikira subyek) memiliki identitas-identitas hasrat tertentu, maka proses identifikasi ini juga berpotensi menjadi medan kontestasi sosial politik. Artinya, obyek hasrat itu sendiri tidak pernah natural; ia selalu merupakan produk kontestasi sosio-potis yang bersifat historis di zamannya masing-masing. Seperti kata Zizek,

21 Sebenarnya ada tiga, dengan yang ketiga disebut Lacan sebagai ‘the real of the desire’, atau di

lain kesempatan, ‘lamela’. Namun, untuk kepentingan studi ini, dua saja sekiranya cukup untuk menjelaskan. Untuk catatan ini, lihat Jacques Lacan, The Seminar of jacques Lacan, Book XI: The Four Fundamental Concept of Psychoanalysis, terj. A. Sheridan (London, NY: W.W.Norton & Company, 1981), hlm. 98.

22 Lacan tidak mengutarakan konsep ‘identitas hasrat’ ini. Untuk gagasan yang diacu konsep ini,

(19)

“The problem for us is not ‘are our desire satisfied or not’. The problem is ‘how do we know what we desire?’ There is nothing spontaneous, nothing natural about human desires. Our desires are artificial. We have to be taught to desire.”23

Aspek sosial politik di sini menjadi tidak terelakkan karena dalam dorongan hasrat, terkandung suatu energi. Energi yang menggerakan sang subyek untuk menjawab dorongan hasratnya. Adalah energi ini yang apabila dikonsentrasikan dan dikumpulkan, bisa dieksploitasi dan dimanfaatkan oleh siapa saja. Kontrol terhadap hasrat di level identifikasi hasrat ini akhirnya akan menganugerahi seseorang dengan kekuasaan (power), yaitu kekuasaan libidinal (libidinal power).

Tipologi Identitas Hasrat Lacanian

Demi kepentingan sistematisasi penelitian, maka penting untuk menerjemahkan konsep ‘identitas hasrat’ ini ke bentuk yang lebih operasional. Untuk ini, studi ini mengikuti jejak yang dibuka oleh Mark Bracher.24 Pintu

masuk Bracher untuk operasionalisasi ini adalah definisi tersohor dari Lacan sendiri tentang hasrat, yaitu bahwa hasrat adalah selalu “hasrat akan yang lain’

(“desire finds its meaning in the desire of the other”)25. Kalimat “hasrat akan ‘yang

lain’” ini mengandung tiga ambiguitas. Ambiguitas ini menunjuk pada tiga landasan pembedaan hasrat. Landasan pertama, kata “hasrat” bisa merupakan hasrat untuk menjadi dan bisa juga hasrat untuk memiliki. Pembedaan ini sesuai dengan pembedaan libido narsistik dan libido anaklitik oleh Freud.26 Kedua, kata

“akan,” menunjukan bahwa subjek hasrat tersebut bisa menjadi subjekaktif (yang

meng-hasrati) dan objek pasif (yang di-hasrati). Terakhir, kata “yang lain” inilah yang merupakan identitas hasrat. Mengacu ke penjelasan Lacan, identitas hasrat terposisikan di dalam tiga ranah (register) yang saling bertalian, yaitu: ranah Imajiner, yang memanifestasi ke dalam citra-ideal (ideal image); ranah Simbolik, yang memanifestasi pada tanda; dan ranah Riil yang memanifestasi dalam bentuk fantasi.

(Secara singkat, ketiga ranah ini dapat dijelaskan sebagai berikut: ranah

Imajiner berkaitan dengan suatu konsepsi ideal yang abstrak; ia juga merupakan

suatu bentuk kesatuan, keutuhan, integralitas, yang dengan demikian, juga dengan dengan jelas menarik garis batasan antara saya/liyan, ideal/buruk, tapi juga hitam/putih, pantas/tidak, dst. Hasrat yang berada di ranah Simbolik akan

23 Kalimat ini diteruskan dengan, “cinema is the ultimate pervert art. It doesnt give you what you desire.

It tells you how to desire.” Slavoj Žižek, The Pervert’s Guide to Cinema: Lacanian Psychoanalysis and Film, (London: Mount Pleasant Studios, 2006). [Film Dokumenter]

24 Mark Bracher, Lacan, Discourse, and Social Change: A Psychoanalytic Cultural Criticism (Ithaca

& London: Cornell Uni Press, 1993), bab 1.

25 Jacques Lacan, Écrits: A selection, terj. A. Sheridan (London: Tavistock, 1977 [1966]), hlm. 43. 26 Narsis diadopsi dari Narcissus, tokoh Yunani kuno yang cinta dirinya sendiri. Oleh karena itu,

(20)

selalu terreduksi (bahasa Lacan, terkastrasi) ke dalam bentuk-bentuk yang kongkrit; bentuk-bentuk ideal dalam ranah Imajiner tadi mendapat bentuk kongkritnya dalam rupa-rupa simbolisasi, penamaan, pelabelan, dst., yang merupakan ciri khas ranah Simbolik. Ranah Riil, merupakan ekses dari kedua ranah sebelumnya. Ciri utamanya adalah bahwa ia selalu merupakan sebentuk kemustahilan. Saat hasrat yang ideal dari ranah Imajiner diterjemahkan ke dalam ranah Simbolik, maka akan selalu ada yang hilang dalam translasi itu (lost in

translation). Akibatnya, hasrat tidak akan pernah utuh, final, paripurna dan bulat.

Pemenuhan suatu hasrat, hanya akan membawa sang subyek untuk memenuhi hasrat lainnya, dan demikian seterusnya sampai ia mati dalam proses pemenuhan hasrat itu sendiri. Adalah yang Riil ini yang membuat hasrat menjadi sebuah kemustahilan, dengan demikian, mengkonfirmasi anggapan umum mengenai hasrat sebagai jurang tak bertepi.)27

Sampai sini dapat disimpulkan terdapat total 12 jenis identitas hasrat yang memotivasi prilaku-prilaku manusia sehari-hari, dengan empat jenis hasrat yang memanifestasi di masing-masing ranah (citra-ideal, tanda, fantasi): hasrat

Narsistik Pasif yaitu hasrat untuk menjadi objek cinta “yang lain;” hasrat Narsistik

Aktif, yaitu hasrat untuk menjadi “yang lain” lewat identifikasi; hasrat Anaklitik

Aktif, yaitu hasrat untuk memiliki “yang lain” sebagai objek pemuas; dan hasrat

Anaklitik Pasif, yaitu hasrat untuk dimiliki “yang lain” sebagai objek pemuasnya.

Ke-12 tipologinya dapat ditabulasikan sebagai berikut: (untuk uraian lebih ekstensif, telampir)

Tabel 1 Tipologi Identitas Hasrat dalam Psikoanalisis Lacanian

Simtom: Modus Artikulasi Dorongan Hasrat (dalam Wacana)

Hal lain yang juga perlu dibahas adalah terkait aktualisasi upaya-upaya untuk mewujudkan hasrat tersebut. Di sini kita berbicara mengenai modus-modus artikulasi dorongan hasrat, atau yang disebut Lacan sebagai ‘simtom’

27 Disarikan secara umum dari, Jacques Lacan, The Seminar of Jacques Lacan, Book XXII, 1974-75,

(21)

(symptom). Simtom adalah segala sesuatu, sekali lagi, segala sesuatu yang dilakukan dan ditampakkan oleh sang subyek hasrat, baik itu (dikira) disadari maupun tidak. Simtom ini merupakan titik pertemuan antara subyek dengan obyek hasrat berikut ke-12 identitas yang sudah di bahas di atas. Ada berbagai macam simtom tentunya: mulai dari makan, berpikir, berolahraga, beribadah, bahkan sampai berpolitik, berkarir, tapi juga marah, sedih, dst. Namun demikian, tidak semua akan dipakai dalam penelitian ini. Hanya simtom yang merupa dalam wacana saja yang akan dipakai dalam studi ini. Pun dalam studi ini, wacana tersebut juga terpaksa direduksikan lagi ke dalam sebarisan kata-kata yang diungkapkan seseorang dalam rangka mewujudkan partisipasinya dalam proses demokrasi.28

Secara umum, mengikuti Lacan, wacana simtomatik selalu

mengasumsikan dua jenis posisi—‘pengidentifikasi’ dan ‘yang-diidentifikasi’— dan dua jenis dunia29—tampak dan tak sadar.30 Skemanya dapat dilihat sebagai berikut:

* Keterangan:

Ruas kiri, adalah yang posisi yang aktif berbicara atau mengirimkan pesan;

sedangkan yang berada di ruas kanan adalah faktor-faktor yang diaktifkan atau yang muncul dari subyek saat ia menerima pesan.

Ruas atas, merupakan faktor-faktor yang tampil / kelihatan; sementara ruas bawah

merupakan faktor yang tersembunyi, implisit, bahkan terepresi.

Ruas kiri atas, ditempati oleh pelaku yang aktif mendominasi; ruas kiri bawah, merupakan faktor yang mendorong, mendukung, dan melandasi bangkitnya faktor dominan, tetapi tertekan olehnya; kanan atas, merupakan faktor yang diaktifkan (jadi, tidak pasif) sebagai prasyarat menerima / memahami pesan (contoh, bersikap reseptif dan mengosongkan diri untuk sementara); kanan bawah, merupakan faktor yang diharapkan saat penerima telah menerima dan memahami pesan, yaitu mengartikulasikannya.

28 Tentang betapa kayanya praktik-praktik yang terkandung dalam ‘wacana’, lihat Sara Mills,

Discourse (London, NY: Routledge, 2004).

29 Dunia di sini diartikan sebagai sekumpulan dan/atau jejaring pemaknaan.

30 Jacques Lacan, The Seminar of Jacques Lacan. Book XVII. The Other Side of Psychoanalysis, peny. J.-A.

Miller, terj. R. Grigg (NY, London: W.W. Norton & Company, 2007)

Pembicara Penerima

Pelaku  ”yang lain” --- --- Kebenaran  Produksi

(22)

Keempat ruas tersebut akan ditempati secara silih berganti oleh empat komponen (berikut notasinya): otoritas Simbolik/sistem universal (S2), citraan Imajiner/ego-ideal (S1), hasrat tak sadar/objek a (a), dan subjek gegar ($) yang terbelah di antara tarik-menarik Imajiner–Simbolik dengan pemuasan objek a. Karena ego-ideal selalu mensyaratkan abyeksi,31 maka susunan komponen

tersebut penulis tambahi dengan abjek (S0)—“0” untuk melambangkan ketiadaan. Interaksi di antara kelimanya adalah sebagai berikut: suatu wacana yang komplit akan menyiratkan suatu gagasan universal. Gagasan universal ini akan memproduksi suatu ego yang ideal dengan cara memberikan kriteria subjek dan abjek. Ego ideal ini dimaksudkan untuk menambal kegegaran subjek itu sendiri, dan orang lain jika itu diarahkan ke luar dirinya. Penambalan ini akan memberikan kepuasan tersendiri bagi subjek.

Komposisi keseluruhan komponen ini akan membentuk, setidaknya, empat macam struktur artikulasi simtom: Diskursus Universitas (University

Discourse), yang mempengaruhi dengan cara mendidik / mengindoktrinasi

melalui pengetahuan; Diskursus Penguasa (Master’s Discourse) yang mempengaruhi dengan cara mengatur / memberi perintah melalui idealisme;

Diskursus Histeris (Hysterical Discourse) yang mempengaruhi dengan cara

menghasrati / memprotes melalui pembagian diri (gegar); Diskursus Sang Analis

(Analyst’s Discourse) yang mempengaruhi dengan cara menganalisis /

mentransformasikan / merevolusikan melalui rasa sukacita. (Untuk uraian lebih

ekstensif, telampir).

o0o

Akhirnya, melalui kerangka inilah rupa-rupa artikulasi wacana melalui media baru akan dianalisis. Dipolakan sebaran dominan berdasarkan ketiga kategori hasratini—motivasi/identitas hasrat, obyek hasrat, dan struktur simtom-wacana.

III. METODOLOGI RISET

III.1. Lingkup Akademik

Penelitian ini berusaha melihat fenomena yang terjadi di dalam masyarakat dalam diskusi tentang demokrasi di media melalui perspektif Psikoanalisis, Komunikasi, dan Politik. Secara lebih khusus, penelitian ini berada di interseksi antara kajian media baru, kajian partisipasi demokrasi dan terutama kajian psikoanalisis linguistik.

31 Subyeksi merupakan proses yang melaluinya seonggok tubuh yang disebut ‘manusia’ menjadi

(23)

III.2. Argumentasi

Argumentasi yang akan diuji oleh penelitian ini adalah bahwa media tidak serta merta menjadi faktor penentu sukses tidaknya demokrasi. Ada faktor-faktor lainnya yang menjadi ‘variabel antara’ di antara partisipasi media dan demokrasi, yang juga dapat mempengaruhi mengapa demokrasi media masih sangat kurang. Faktor lain tersebut hanya bisa dipahami apabila meletakkan prilaku partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi sebagai modus artikulasi pemuasan hasrat, atau yang disebut simtom. Melalui identifikasi simtom dominan, analisis akan mampu menunjukkan identitas hasrat apa yang sebenarnya dikejar saat seseorang berpartisipasi dalam proses demokrasi.

Dengan meletakkan seperti ini, maka menjadi terbuka peluang untuk mengidentifikasikan faktor lain tadi. Dengan mendedah identitas hasrat dari bentuk kongkrit obyek hasrat, maka dapat diketahui bahwa yang sebenarnya dikejar oleh seseorang saat ia melakukan prilaku partisipasi demokrasi, sebenarnya bukan partisipasi itu sendiri, melainkan apa yang akan disebut

sensasi partisipasi demokrasi’ itu sendiri. Sensasi partisipasi demokrasi

merupakan motivasi libidinal subyek untuk melakukan partipasi demokrasi. Sekali lagi, bukan partisipasi demokrasi yang dipentingkan, melainkan identitas hasrat apa yang mampu ia ekstrak saat ia menjalankan simtom partisipasi demokrasi tersebut.

Keslaah-mengiraan antara sensasi dengan realitas inilah yang memungkinkan terjadinya pengalihan (diversionary) partisipasi demokrasi. Adalah media baru, klaim kami, yang mampu melakukan kerja pengalihan ini. Melalui media baru, energi-energi subyek hasrat yang melakukan partisipasi demokrasi tadi dialihkan untuk terus menerus merepetisi proses kongkrit partisipasi tadi melalui media baru. Partisipasi, akhirnya menjadi sebentuk ritual fetis. Subyek hasrat terjebak dalam sirkuit partisipasi demokrasi yang terus menerus berepetisi. Akhirnya, energi yang seharusnya disalurkan ke permasalahan-permasalahan kongkrit di lapangan menjadi terbendung dan terjebak di sirkuit media baru. Dengan beghini, menjadi masuk akal paradoks demokrasi di era media baru yang kami sampaikan di atas. Ketiadaan perubahan signifikan di lapangan, bukan karena absennya partisipasi. Ia terjadi karena telah terjadi pengalihan dan penjebakan energi partisipasi secara besar-besaran ke dalam sirkuit-sirkuit media baru. Dan semenjak yang sebenarnya dibutuhkan subyek dalam berpartisipasi adalah hanya sensasinya saja (sensasi memperoleh identitas hasrat yang ditujunya), maka ia akan terus terjebak tunggang-langgang dalam sikuit media baru, sementara demokrasi riil akan semakin defisit dan defisit, ... menyisakan pemimpin-pemimpin otoriter.

(24)

ledakan media baru. Pada akhirnya, ia juga akan berimplikasi pada gagasan demokrasi itu sendiri, yaitu tentang apa artinya berdemokrasi di era dimana media justru menjadi penghalang demokrasi. Lebih lanjut, argumen tim peneliti dalam proposal ini adalah bahwa teori fourth estate democracy yang diajukan oleh Burke salah mengartikan karakteristik dari komunikasi di era kontemporer. Dengan merujuk pada tulisan Jodi Dean tentang communicative capitalism, bentuk komunikasi dalam era kontemporer ini telah mengalami pergeseran fokus, yakni dari inti pesan menjadi sirkulasi dari pesan. Oleh karena itu, kami melihat bahwa teori fourth estate democracy tersebut menjadi tidak relevan dengan kondisi saat ini dan perlu untuk dipertimbangkan kembali dimensi partisipatoris dari media dalam teori tersebut.

III.3. METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan data primer berupa “kicauan” (tweet) para pengguna mikro-blog Twitter, dengan kata kunci ‘pilkada’ dan ‘pilgub’. Data diambil selama hampir dua minggu; mulai Rabu, 12 September 2012, hingga Senin, 24 September 2012. Periode tersebut sengaja dipilih dengan mempertimbangkan besarnya minat masyarakat, khususnya para pengguna Twitter, beberapa hari menjelang dan setelah pemilihan gubernur DKI Jakarta dilaksanakan (Kamis, 20 September 2012). Dengan banyaknya tweet yang terekam, maka Peneliti kemudian menetapkan protokol seleksi terhadap seluruh

tweet yang telah dikumpulkan agar mempermudah proses analisis. Protokol

tersebut adalah sebagai berikut:

 Topik yang “dikicaukan” adalah seputar pilkada/pilgub DKI Jakarta dan bukan di daerah lain.

 Kicauan atau tweet bukan merupakan berita/informasi, serta bukan pengulangan atau retweet dari berita/informasi.

 Meski menggunakan kata kunci ‘pilkada’ atau ‘pilgub’, topik yang disinggung oleh para pengguna Twitter dapat berbeda-beda namun masih seputar pilkada/pilgub DKI Jakarta. Untuk itu, Peneliti membagi topik kicauan lebih detil ke dalam lima hal terkait pilkada/pilgub DKI Jakarta, yakni: event pilkada/pilgub itu sendiri, pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur dalam pilkada putaran kedua, rakyat/Jakarta/Indonesia, demokrasi, serta lain-lain yang tidak termasuk ke dalam empat hal sebelumnya.

 Setiap pengulangan dari tweet (retweet, RT) yang lolos protokol seleksi di atas akan dihitung sebagai satu data.

(25)

BAB 2

PENYAJIAN DATA TEMUAN

Sebaran Obyek Hasrat

Dari 1000 (seribu) data tweets yang terkumpul, baik dengan kata kunci ‘pilkada’ maupun ‘pilgub’, objek hasrat yang nampak dominan adalah pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta 2012 itu sendiri, yakni sebanyak

521 tweets. Para pengguna Twitter “mengicaukan” berbagai hal terkait penyelenggaraan

event ini seperti prosedur pelaksanaan pilkada/pilgub yang ideal, mengomentari strategi

kampanye yang digunakan oleh kedua pasangan calon gubernur dan wakil gubernur selama masa kampanye, hingga perihal keterkaitan antara pilkada/pilgub DKI Jakarta 2012 dan pemilihan presiden pada 2014. Di antara komentar-komentar atas penyelenggaraan pilkada/pilgub yang ideal tersebut, suara “kicauan” yang paling menonjol berupa keprihatinan masyarakat pengguna Twitter akan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang beredar selama pilkada/pilgub ini. Mulai dari suara-suara yang menanggapi isu ini dengan nada bercanda (menyindir) hingga yang mengkritik keras muatan-muatan SARA selama proses pilkada/pilgub ini berlangsung. Meski demikian, ada pula tweets yang, sebaliknya, justru mendukung pelibatan isu SARA sebagai bahan pertimbangan dalam memilih gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta putaran kedua.

Pilkada/Pilgub 52%

Pasangan 19% Rakyat/Jakarta/In

donesia 10%

Demokrasi 9%

Lainnya 10%

(26)

Objek hasrat kedua dominan seperti dalam grafik di atas adalah kedua pasangan calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) peserta pilkada/pilgub DKI Jakarta 2012, yakni sejumlah 195 tweets. Umumnya, Twitter digunakan oleh para pendukung kedua pasangan untuk mendukung calon pilihannya, dengan atau tanpa menyebutkan alasan optimisme mereka terhadap pasangan cagub dan cawagub tersebut. Selain itu, tidak sedikit pula tweets yang ditujukan kepada salah satu pasangan dan berisi kritikan atau sindiran terhadap mereka. Sedangkan pola lain yang ditemukan adalah suara-suara yang menginginkan adanya calon independen dalam pilkada/pilgub DKI Jakarta 2012; oleh karena adanya ketidakpuasan para tweeps1 tersebut atas kedua

pasangan cagub-cawagub peserta pilkada/pilgub DKI Jakarta yang lolos ke putaran kedua. Namun, pola yang terakhir sangat minim jumlahnya dibandingkan dengan kicauan berbentuk dukungan bagi salah satu dari kedua pasangan cagub-cawagub peserta pilkada/pilgub DKI Jakarta 2012 yang lalu.

Objek hasrat yang umum ditemukan ketiga adalah rakyat/Jakarta/Indonesia, dengan jumlah 97 tweets. Tweets yang masuk dalam kategori ini juga memperlihatkan bagaimana masyarakat pengguna Twitter sering menggunakan Jakarta sebagai pembanding atas kondisi politik domestik Indonesia. Banyak tweets yang berisi harapan dan keinginan atas terwujudnya rakyat/Jakarta/Indonesia “yang lebih baik” melalui

event pilkada/pilgub DKI Jakarta yang lalu. Terwujudnya “rakyat yang lebih baik”

seperti misalnya harapan untuk masyarakat Jakarta (dan ada pula tweets yang merujuk kepada masyarakat Indonesia, seperti tweet berikut: Another drama, ketakutan tnp dasar,

ayooo dong Indonesia, move on"@sutomoagus92: Hanya soal pilgub aja, seolah2 akan terjd

tragedi thd bgs) agar menjadi semakin kritis dan “dewasa” dalam berdemokrasi,

khususnya dalam memilih pemimpin melalui pemilihan umum. Sedangkan harapan

1 Sebutan bagi para pengguna Twitter.

521

195

97 91 96

(27)

atas “Jakarta yang lebih baik” tampak lebih variatif: mulai dari yang praktis—Jakarta bebas macet, misalnya—hingga yang abstrak—sebagian besar adalah tentang Jakarta yang “berubah”. Sementara mengenai “Indonesia yang lebih baik”, suara-suara yang cenderung muncul adalah harapan mengenai Indonesia yang damai dan plural (terkait beredarnya isu SARA dalam pilkada/pilgub DKI Jakarta 2012).

Tidak jauh berbeda dalam jumlah, objek hasrat keempat yang umum muncul dari data yang terkumpul adalah ‘lainnya’, yaitu sebanyak 96 tweets. Objek hasrat dalam kelompok ini sangat variatif; seperti misalnya media televisi, lembaga survey, agama,

jingle kampanye, calon independen, partai, dan lain-lain yang kesemuanya masih

berkaitan dengan proses berlangsungnya event pilkada/pilgub DKI Jakarta yang lalu. Di antara objek-objek hasrat yang masuk ke dalam kelompok ‘lainnya’ ini, objek hasrat yang cukup menonjol dan sering dibicarakan adalah media televisi. Kicauan yang terkumpul banyak menyoroti bagaimana media (seharusnya) berperan dalam menyosialisasikan event tersebut secara ideal, salah satunya misalkan tidak timpang memberitakan event lokal yang satu dengan yang lain, sehingga isu lokal seperti pilkada DKI Jakarta tiba-tiba menjadi event nasional.

Objek hasrat terakhir yang nampak dalam analisis ini adalah ‘demokrasi’, dengan jumlah 91 tweets. Demokrasi yang dimaksud dalam tweets pada kelompok ini adalah suara rakyat yang tercermin dalam pemilihan umum/pilkada/pilgub. Tweets dengan objek hasrat ‘demokrasi’ inipun ada yang bernada menyindir proses demokrasi (pilkada/pilgub dan juga pemilihan presiden) di Indonesia yang tidak jujur, tetapi juga ada yang berupa himbauan ataupun harapan untuk mendukung proses demokrasi tersebut agar dapat berjalan semakin baik.

Sebaran Motivasi Hasrat

Sedangkan dari kategori motif hasratnya, pada 1000 data tweets yang terkumpul cenderung didominasi oleh kategori hasrat Aktif-Anaklitik-Simbolik dengan jumlah 500

tweets dan Aktif-Anaklitik-Imajiner dengan jumlah 347 tweets. Ini berarti, pada

umumnya masyarakat pengguna Twitter itulah yang secara aktif mengambil inisiatif untuk menghasrati objek hasrat yang terdapat dalam tweets mereka masing-masing untuk pemuasan hasrat diri mereka sendiri. Hasrat tersebut umumnya adalah hasrat untuk memiliki sesuatu yang bersifat simbolik/konkret. Masyarakat cenderung memerhatikan dan karenanya merefleksikan apa yang mereka amati dari lingkungan mereka untuk kemudian menghasrati sesuatu yang bersifat simbolik/konkret terkait pilkada; hal-hal seperti misalnya terkait prosedur pelaksanaan pilkada/pilgub, ada-tidaknya isu SARA dalam kampanye, metode berkampanye yang sportif, dll. Contohnya, tweet yang mengkritik strategi kampanye yang digunakan oleh salah satu pasangan peserta putaran kedua pilkada/pilgub DKI Jakarta 2012, yang memakai lagu religi berikut ini:

(28)

Sedangkan pada jumlah kedua terbanyak, motif hasrat yang muncul dalam data

tweets yang terkumpul adalah Aktif-Anaklitik-Imajiner. Hampir sama dengan motif

hasrat yang dominan pertama sebelumnya, hanya saja kali ini apa yang diinginkan untuk dimiliki oleh para tweeps tersebut bersifat imajiner/abstrak, seperti misalnya Jakarta “yang lebih baik”, Indonesia “yang lebih dewasa dalam berdemokrasi”, ataupun pemimpin “yang mampu mengatasi berbagai masalah di Jakarta/Indonesia”. Kecenderungan ini menampilkan ide-ide masyarakat pengguna Twitter tentang masyarakat, Jakarta, Indonesia, dan objek hasrat lainnya yang ideal terkait event pilkada/pilgub atau bahkan pemilihan umum di tingkat nasional sekalipun. Bentuknya dapat berupa sindiran atas kondisi rakyat/Jakarta/Indonesia yang tidak ideal ataupun pujian dan himbauan untuk menuju rakyat/Jakarta/Indonesia yang ideal.

Motif hasrat ketiga yang umum ditemukan dalam data penelitian ini adalah Pasif-Anaklitik-Imajiner sebanyak 59 tweets. Motif hasrat ini sama dengan motif hasrat sebelumnya; namun berbeda dalam hal tujuan pemenuhan hasratnya. Kategori hasrat yang ‘pasif’ dapat dikenali dari tujuan pemenuhan kepuasan/hasratnya yang bukan diri sendiri (para pengujar tweets tersebut), melainkan sesuatu di luar diri mereka. Misalnya seperti dalam tweet berikut, yang nampak jelas bahwa tujuan pemenuhan hasratnya adalah untuk “kemenangan rakyat, untuk demokrasi, untuk nusantara jaya”:

Meski bkn warga dki,tp mengikuti perkembangan pilgub dki sgt mendebarkan,dan inilah kemenangan rakyat,untuk demokrasi,utk nusantara jaya.

Motif hasrat berikutnya yang juga cukup banyak muncul adalah Aktif-Narsistik-Simbolik sebanyak 32 tweets, Pasif-Anaklitik-Simbolik sebanyak 31 tweets, dan Aktif-Narsistik-Imajiner sebanyak 23 tweets. Motif narsistik dikenali dari hasrat untuk menjadi sesuatu, bukan memiliki; baik yang bersifat konkret (simbolik) dan abstrak (imajiner). Contoh tweet dengan motif Aktif-Narsistik-Simbolik yang ditemukan dalam data adalah

(29)

seperti berikut ini: Beberapa minggu ke blk ini isu agama lagi mencuat2nya. Entah itu saat

penangkapan teroris atau pilgub DKI. Personally, I choose secularism. Dengan menekankan

pilihan pribadi di akhir tweet-nya, pengguna Twitter tersebut ingin masyarakat, termasuk ia di dalamnya agar menjadi sekuler, terkait isu agama yang beredar di publik saat itu (bener ga Mas?). Motif hasrat lain yang ditemukan adalah Pasif-Narsistik-Imajiner sebanyak 5 tweets, Aktif-Anaklitik-Real sebanyak 2 tweets dan Pasif-Narsistik-Simbolik sebanyak 1 tweets. Temuan data ini menunjukkan hanya sedikit sekali tweets yang masuk ke dalam kategori motivasi hasrat Real atau yang tidak terjelaskan.

Sebaran Struktur Wacana Hasrat

Seluruh hasrat itu umumnya disampaikan dalam bentuk Hysteric Discourse, yakni sebanyak 402 tweets; University Discourse, sebanyak 308 tweets; Master Discourse sebanyak 267 tweets; dan dalam bentuk AnalystDiscourse sebanyak 23 tweets. Para tweeps yang menyampaikan hasratnya dalam bentuk hysteric discourse umumnya menyindir, memprotes, dan mengkritik objek hasrat mereka seperti misalnya pasangan cagub-cawagub yang tidak sportif dalam mengikuti prosedur pilkada/pilgub, media yang tidak suportif terhadap pelaksanaan pilkada yang ideal, partai politik yang tidak ideal, dan lain-lain. Sedangkan University Discourse umumnya digunakan oleh para tweeps untuk mendukung atau memuji objek hasrat mereka, baik itu event pilkada/pilgub DKI Jakarta yang lalu, salah satu pasangan atau kedua pasangan cagub-cawagub peserta pilkada/pilgub DKI Jakarta, rakyat yang sudah semakin awas dengan mekanisme pilkada/pilgub, dan lain-lain.

23 32

0 347

500

2 5 1 0

59 31

0

(30)

Sementara itu, Master Discourse cenderung dipakai untuk mengomentari objek hasrat dalam tweet dan dengan diikuti sanggahan atau dukungan dari si pengguna Twitter mengenai objek hasrat tersebut, misalnya mengenai kelompok golongan putih (golput), pasangan cagub-cawagub tertentu, atau tentang praktik demokrasi seperti yang nampak dalam salah satu tweet yang banyak di-retweet ini:

Inilah Demokrasi. Calm :)“@ibutjantik: Kyknya blm prnh senorak & spanik bgini ya. "@RosiSilalahi: Ini TL makin panas aja soal PilkadaDKI."”

Terakhir, struktur yang paling sedikit ditemukan adalah struktur Analyst

Discourse di antara data tweets yang terkumpul. Di antara mereka yang memakai

struktur Analyst Discourse ini, yang paling banyak ditemukan adalah para tweeps yang berasal dari kelompok pelajar, yang tidak atau belum menjadi pemilih dalam pemilihan umum. Sehingga komentar mereka pada umumnya adalah tidak peduli dengan berlangsungnya event maupun hasil dari pilkada/pilgub DKI Jakarta. Selain itu, ada pula anggota masyarakat yang apatis dengan praktik politik di Indonesia, mereka yang tidak dapat mengikuti pilkada/pilgub karena berasal dari luar Jakarta, atau mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan tertentu (yang disebutkan juga dalam tweet). Akan tetapi, yang menarik ialah jika pemakai struktur Analyst Discourse kebanyakan adalah mereka yang memang pesimis dengan hasil pilkada/pilgub/pemilihan umum; namun demikian ada pula pengguna Twitter yang menggunakan struktur Analyst

Discourse untuk menyampaikan hasrat mereka untuk terlibat aktif dalam pilkada/pilgub

DKI Jakarta seperti tweet berikut “Bosen juga tiap pilgub yg dicoblos semua photo alias golput, kali ini harus milih #pilgub.”

University Discourse

31%

Master Discourse

27% Hysteric

Discourse 40% Analyst

Discourse 2%

(31)

University Discourse

Master Discourse Hysteric Discourse Analyst Discourse 308

267

402

23

(32)

BAB 3

ANALISIS DAN DISKUSI

Bagian ini merupakan upaya penulis untuk menarik implikasi dari pola-pola

dominan yang ditemukan dalam penelitian. Temuan-temuan ini akan didiskusikan

dengan mengaitkannya pada konsep dan praktik partisipasi demokrasi itu sendiri. Pula

pada bagian ini akan coba ditunjukkan kenyataan psikoanalitik mengenai partisipasi

demokrasi, yaitu bahwa partisipasi tersebut tidak pernah diarahkan untuk partisipasi

itu sendiri, melainkan ia selalu ditujukan untuk tujuan yang eksternal dari partisipasi,

yaitu hasrat-hasrat pribadi sang subyek. Bab ini akan mendiskusikan pandangan dan

teori dominan mengenai partisipasi demokrasi. Lalu pandangan tersebut akan

ditunjukkan beberapa keterbatasannya. Barulah temuan-temuan dalam studi ini dibawa

untuk dipertimbangkan dalam perdebatan mengenai partisipasi demokrasi tersebut.

Partisipasi Demokarsi: Deliberatif?

Dalam salah satu tulisannya, Jurgen Habermas mengungkapkan bahwa

komunikasi politik dalam ranah publik dapat memfasilitasi proses legitimasi yang

deliberatif hanya apabila sistem media memperoleh kebebasan dari lingkungan

sosialnya, dan apabila para penyimak mendapatkan feedback dalam dialog antara para

elit dan masyarakat sipil yang responsif. Selanjutnya, terdapat tiga elemen penting

dalam demokrasi modern, yakni kebebasan dan kesetaraan masyarakat dalam

komunitas politik, kewarganegaraan demokratis, dan kemandirian dari suatu ranah

publik yang bertindak sebagai sistem perantara antara negara dan masyarakat.

Habermas menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dan dialog di media dalam

mewujudkan demokrasi yang deliberatif. Dialog di media ini idealnya dapat digunakan

sebagai bahan pertimbangan dalam proses pengambilan kebijakan. Oleh karena itu,

dalam pandangan ini, legitimasi dari demokrasi tidak hanya bergantung dari proses

perumusan kebijakan, tetapi juga pada “kualitas diskursif dari proses pertimbangan

Gambar

Grafik 2. Distribusi Umur Pengguna Facebook di Indonesia14
Tabel 1 Tipologi Identitas Hasrat dalam Psikoanalisis Lacanian

Referensi

Dokumen terkait

660.1/30 Tahun 2016 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Bahan Baku Semen dan Penambangan Serta Pengoperasian Pabrik Semen PT Semen Indonesia (Persero) Tbk di

Konsultasi kinerja adalah proses dimana seorang pelatih (internal atau eksternal terhadap organisasi) dan pelanggan organisasional bekerja sama untuk meningkatkan kinerja yang

Data dan informasi yang diperoleh selama kegiatan praktik lapang akan disusun oleh pelaksana praktik lapang yang akan dijadikan sebagai dokumentasi hasil dari praktik

Apabila dilihat berdasarkan kampung bisa diketahui bahwa kampung Sibena Permai merupakan kampung yang memiliki 57 rumah tangga dengan jumlah jiwa sebesar 252 jiwa dan

Peran Profitabilitas dalam Memoderasi Pengaruh Leverage terhadap Nilai Perusahaan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa profitabilitas tidak mampu memoderasi pengaruh

Jika terdapat bukti obyektif bahwa kerugian penurunan nilai telah terjadi atas aset keuangan yang dicatat berdasarkan biaya perolehan diamortisasi, maka jumlah

Berkala Arkeologi kali ini menampilkan delapan buah tulisan dengan komposisi empat tulisan hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta, tiga tulisan

Pada kenyataannya dalam penelitian yang telah dilakukan pada tanggal 2 sampai 17 desember 2008 di RSD dr. Soegiri Lamongan, telah didapatkan dari 28 responden ibu