• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA AKTOR KEBIJAKAN DAN INTERVENSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DINAMIKA AKTOR KEBIJAKAN DAN INTERVENSI"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA AKTOR KEBIJAKAN DAN INTERVENSI ASING TERHADAP PEMBUATAN RUU BPJS

(Ruu Peleburan 4 Bumn :Asabri, Taspen, Jamsostek, Askes) Mata Kuliah :Ekonomi Politik dan Manajemen BUMN

Dosen :Syamsul Maarif, S.IP, M.Si.

Oleh

AMELIA ZAHRA (1116041008)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Badan Usaha Milik Negara atau disebut juga BUMN merupakan badan usaha yang bertugas memupuk pendapatan negara Indonesia dengan mengelola sektor-sektor yang strategis demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Sejak pemerintahan Presiden Soeharto BUMN berubah fungsi menjadi alat pemuas para penguasa dan ketika awal kepemimpinan mantan menteri BUMN yaitu Tanri Abeng, barulah BUMN direformasi agar kembali pada fungsi yang sebenarnya dan tidak menjadi alat pemuas keserakahan para penguasa, upaya reformasi BUMN memang sulit dikala para penguasa dan asing saling bekerjasama melakukan ekspoitasi besar-besaran ditubuh BUMN.Undang-Undang (UU) yang merupakan bagian vital sebagai dasar dan acuan menjalankan roda pemerintahan indonesia sudah lama pula menjadi alat asing untuk mengatur kegiatan perekonomian indonesia, tidak tanggung-tanggung asing bekerjasama dengan oknum-oknum pemerintah di DPR yang berwenang untuk membuat UU yang mewakili kepentingan asing disini dilihat bukan lagi kepentingan rakyat yang didengar melainkan kepentingan asing dan keserakahan para penguasa tersebut.Aktor kebijakan banyak memainkan regulasi dengan motif ekonomi tersembunyi sehingga berakibat sebagian besar sumber daya alam dan sektor ekonomi strategis dikuasai asing sampai sekarang ini dan sudah menjadi pemahaman umum juga bahwa resep yang dipakai oleh Indonesia dalam menangani krisis ekonomi adalah resep dari IMF dan lembaga kreditor lainnya. Resep yang ditawarkan yang paling utama adalah adanya liberalisasi di segala bidang melalui skema deregulasi dan SAP (structural adjustment program). Sedemikian membiusnya resep tersebut sehingga liberalisasi menjadi tema utama dari semua proses ekonomi-politik Indonesia sejak reformasi. Liberalisasi menemukan lahannya dalam suasana euforia bangsa ini setelah lepas dari tekanan orde baru

(3)

perubahan keempat (2002) pada pasal 34 ditambahkan ayat (2): “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Sedangkan Ayat (3) dan (4) dari pasal ini menjelaskan bahwa negara bertanggungjawab dan diatur dengan undang-undang.

Perubahan atau penambahan pasal-pasal dalam konstitusi diatas bukan tanpa maksud dan tujuan. Pasal-pasal dan ayat-ayat yang dicontohkan harus dimaknai sebagai respon atas arahan dari resep yang ditawarkan oleh IMF dan “kawan-kawannya”. Inilah hidden agenda dari amandeman UUD 1945. Maka, mereka pun seolah menemukan landasan konstitusionalnya. Skenario ini menemukan kesesuaiannya dalam proses selanjutnya. Disini penulis ingin membahas lebih dalam mengenai “Dinamika Aktor Kebijakan dan Intervensi Asing Terhadap Pembuatan Ruu Bpjs”, dimana dalam judul yang dibuat penulis, kita akan mengetahui bagaimana BUMN dilihat dari kacamata ekonomi politik

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa faktor-faktor timbulnya polemik RUU BPJS ?

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan hukum BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)

Menurut UU SJSN No. 40 tahun 2004, BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Di dalam pasal 3 UU SJSN No. 40 tahun 2004 disebutkan bahwa Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial harus dibentuk dengan Undang-Undang. Sejak berlakunya UU SJSN, badan penyelenggara jaminan sosial yang ada dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut UU SJSN.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a) Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja

(JAMSOSTEK);

b) Perusahaan Perseroan (Persero) Dana tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN);

c) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI);

d) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES);

BPJS merupakan badan hukum bersifat nirlaba yang harus dibentuk dengan undang-undang untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Secara teoritis BPJS merupakan badan hukum yang ingesteld (dibentuk) oleh open baar gezag (penguasa umum) dalam hal ini oleh pembentuk undang dengan undang-undang.

Dasar hukum dari pembentukan UU BPJS

Dalam UU SJSN terdapat beberapa pasal yang menjadi dasar hukum pembentukan BPJS yaitu:

1. Pasal 1 ayat (6) menentukan : ”BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.

2. Pasal 4 menentukan SJSN diselenggarakan berdasarkan pada prinsip:(a) kegotong royongan; (b) nirlaba; (c) keterbukaan; (d) kehati-hatian; (e) akuntabilitas; (f) portabilitas; (g) kepesertaan bersifat wajib; (h) dana amanat; dan (i) hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

(5)

Pada saat disusun, RUU BPJS dibuat dengan pertimbangan

1) Sebagai pelaksanaan UU No. 40 Tahun 2004 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 007/PUU-III/2005.

2) Untuk memberikan kepastian hukum bagi BPJS dalam melaksanakan program jaminan sosial berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004.

3) Sebagai dasar hukum bagi pembentukan BPJS tingkat daerah yang dapat dibentuk dengan peraturan daerah dengan memenuhi ketentuan tentang sistem jaminan sosial nasional sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004.

4) Untuk meningkatkan kinerja BPJS tingkat nasional dan sub sistemnya pada tingkat daerah melalui peraturan yang jelas mengenai tugas pokok, fungsi, organisasi yang efektif, mekanisme penyelenggaraan yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance, mekanisme pengawasan, penanganan masa transisi dan persyaratan untuk dapat membentuk BPJS daerah

2.2 Aktor dalam Formulasi Kebijakan Publik

Menurut Howlett dan Ramesh(1995:50-59) beberapa aktor atau organisasi yang berpengaruh dalam proses. pembuatan kebijakan, antara lain:

a) eksekutif dan legislatif yang dihasilkan melalui pemilihan umum (elected officials);

b) pejabat atau birokrat yang diangkat (appointed officials); c) kelompok kepentingan (interest group)

d) organisasi peneliti; dan e) media massa.

Selain lima hal tersebut, aspek lain yang berpengaruh dalam kebijakan publik antara lain:

a) bentuk organisasi negara; b) struktur birokrasi;

c) organisasi kemasyarakatan; d) kelompok bisnis.

Sesuai pendapat Lester dan Steward (2000) dalam Kusumanegara (2010:88-89), para aktor perumus kebijakan terdiri dari:

1) agen pemerintah; yaitu terdiri dari para birokrat karier. Mereka adalah aktor yang mengembangkan sebagian besar usulan kebijakan (inisiator kebijakan);

2) kantor kepresiden; yaitu presiden atau aparat eksekutif. Keterlibatan presiden dan perumusan kebijakan ditunjukan dengan pembentukan komisi kepresidenan, task forces dan komite antar organisasi;

3) Konggres (lembaga legislatif); lembaga ini berperan dalam melegislasi kebijakan baru maupun merevisi kebijakan yang dianggap keliru.

(6)

didasarkan pada keberadaan mekanisme check and balances dengan pihak eksekutif;

4) Kelompok kepentingan; dinegara demokrasi, kelompok kepentingan merupakan aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan spesifik.

Sementara Winarno (2007:123) bahwa kelompok-kelompok yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan publik dibagi kedalam dua kelompok, yakni para pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi. Kelompok pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif. Sedangkan kelompok pemeran serta tidak resmi meliputi: kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warganegara individu.

Sedangkan Moore (1995:112) secara umum aktor yang terlibat dalam permusan kebijakan publik yaitu, aktor publik, aktor privat dan aktor masyarakat (civil society). Ketiga aktor ini sangat berperan dalam sebuah proses penyusunan kebijakan publik dan hubungan ketiga aktor tersebut digambarkan di bahwa ini:

 Aktor Publik  Civil

 Society  Aktor Privat

Selanjutnyanya Lidblom (1980) dalam Agustino (2008:41) aktor pembuat kebijakan, dalam sistem pemerintahan demokratis, merupakan interaksi antara dua aktor besar, yaitu Insede Government Actors (IGA) dan Outside Government Actors (OGA). Para aktor pembuat kebijakan ini terlibat sejak kebijakan publik itu masih berupa issu dalam agenda setting hingga proses pengambilan keputusan berlangsung. Yang termasuk dalam kategori Insede Government Actors (IGA) adalah presiden, lembaga eksekutif (staf khusus pemerintahan), para menteri dan aparatur birokrasi. Sedangkan yang termasuk dalam kategori Outside Government Actors (OGA) diantaranya, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, militer, partai politik, kelompok kepentingan dan kelompok penekan serta media massa.

(7)

Widodo (2007:43) mengatakan manakala proses formulasi kebijakan tidak dilakukan secara tepat dan komprehensif, hasil kebijakan yang diformulasikan tidak akan bisa mencapai tataran optimal. Artinya, bisa jadi tidak bisa diimplementasikan (unimplementable). Akibatnya, apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan sulit dicapai sehingga masalah publik yang mengemuka dimasyarakat juga tidak bisa dipecahkan. Bukankah kebijakan publik itu dibuat hakikatnya untuk memecahkan masalah publik yang mengemuka dimasyarakat. Oleh karena itu, pada tahap ini perlu dilakukan analisis secara komprehensif agar diperoleh kebijakan publik yang betul-betul bisa diimplementasikan, dapat mencapai apa yang menjadi tujuan dan sasarannya, dan mampu memecahkan masalah publik yang mengemuka di masyarakat.

Tentunya agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, salah satu alternatif yang dilakukan adalah kemauan pemerintah untuk membangun jaringan dengan aktor diluar pemerintah, yaitu aktor privat dan aktor civil society. Pemerintah sudah tidak tepat lagi memandang aktor-aktor tidak resmi sebagai ”lawan politik” tapi sudah saat pemerintah menjadikan aktor-aktor itu sebagai ”sahabat” dalam membicarakan produk-produk kebijakan publik di daerah. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian kebijakan publik yang dikeluarkan pasti memiliki nilai “politis”. Untuk menghindari kebijakan yang bersifat “politis” tentu dimulai dari proses formulasi kebijakan. Kebijakan-kebijakan yang politis ini lahir karena kebijakan yang dirumuskan hanya melibatkan kelompok-kelompok tertentu saja. Dalam pandangan teori elit, kelompok-kelompok tertentu itu adalah dari elit yang memerintah.

Menurut pandangan teori elite, kebijakan publik dapat dipandang sebagai nilai-nilai dan pilihan-pilihan dari elite yang memerintah. Argumentasi pokok dari teori elite ini adalah bahwa bukan rakyat yang menentukan kebijakan publik, tetapi berasal dari elite yang memerintah dan dilaksanakan oleh pejabat-pejabat dan badan-badan pemerintah.Olehnya, padangan teori elit dalam formulasi kebijakan, tentu tidak dapat memecahkan masalah publik justru hanya akan melahirkan masalah baru karena tidak diberikannya ruang bagi publik untuk ikut berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan. Padahal kerangka baru dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) perlu sinergitas antara pemerintah, privat dan civil berinteraksi dan saling memberikan pengaruh (mutually inclusive) dalam rangka merumuskan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

(8)

3.1 Faktor Timbulnya Polemik RUU BPJS

Walaupun banyak yang menentang karena dianggap perangkap neoliberal, seluruh fraksi di DPR sudah setuju RUU BPJS disahkan menjadi UU, banyak faktor yang membuat terjadinya pro kontra disyahkannya RUU BPJS menjadi UU yaitu UU BPJS yang pertama mengejawantahkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sesuai falsafah gotong-royong dan Pancasila terutama Sila Kelima, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, ada upaya untuk meneoliberalisasikan jaminan kesehatan dan jaminan sosial di dalam RUU BPJS dalam Rapat Kerja Komisi IX dengan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih yang dipimpin langsung oleh Ketua Komisi IX Ribka Tjiptaning di Gedung Nusantara I DPR serta isinya membebani rakyat, tidak sesuai dengan konstitusi dengan memaksa rakyat untuk ikut asuransi sehingga UU SJSN. Adapun masalah-masalah yang terkandung dalam RUU BPJS:

A. Meminimalkan Peran Negara

Kesalahan mendasar dari sistem jaminan sosial yang muncul dari sistem ekonomi kapitalis ini yang kemudian diadopsi dalam UU SJSN adalah negara tidak boleh ikut campur tangan dalam menangani urusan masyarakat, termasuk dalam urusan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan sosial masyarakat seperti kesehatan, pendidikan maupun keamanan. Semua urusan masyarakat, khususnya bidang ekonomi dan sosial, diserahkan kepada mekanisme pasar. Karena itulah, walaupun namanya Sistem Jaminan Sosial Nasional, isinya adalah menarik iuran wajib tiap bulan dari masyarakat tanpa pandang bulu, kaya maupun miskin, dengan cara yang murah. Sekalipun nanti yang miskin akan dibayari Pemerintah, tetapi atas nama hak sosial ini sebenarnya rakyat ditipu.

Hal ini bisa dilihat pada bab 5 pasal 17, ayat 1,2 dan 3 UU No. 40/2004 tentang SJSN. Ayat I. Tiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya berdasarkan % upah atas suatu jumlah nominal tertentu. Ayat 2: Pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya dan menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan ke BPJS secara berkala. Ayat 3: Besarnya iuran ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.Untuk menjustifikasi bahwa UU SJSN ini bukan produk neoliberal mereka menggunakan dalih falsafah gotong-royong yang ada dalam Pancasila

B. Membebani Rakyat

(9)

terlibat dalam kepesertaan dengan cara membayar iuran atau premi secara reguler kepada pelaksana, dalam hal ini BPJS. Dengan demikian, pengingkaran terhadap kewajiban tersebut bagi mereka yang dikategorikan mampu dianggap sebagai pelanggaran hukum. Pasal I UU tersebut berbunyi: Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.

Karena itu, sebagaimana halnya pajak, pemilik perusahaan juga diwajibkan untuk menarik iuran kepada karyawannya melalui pemotongan gaji. Demikian pula para pekerja di sektor informal seperti petani, nelayan, buruh kasar yang dipandang tidak miskin, mereka juga akan dipunguti iuran. Kebijakan ini jelas akan semakin menambah kesengsaraan rakyat, apalagi definisi orang yang dikategorikan miskin di negara ini sangat beragam. Ada garis kemiskinan yang dikeluarkan Pemerintah setiap tahun berdasarkan survei pengeluaran rumah tangga. Adapula pula standar kemiskinan Bank Dunia sebesar US$ 2 perhari. Selain itu, ada Survey Rumah Tangga Sasaran Penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang menetapkan orang miskin berbeda dengan kriteria sebelumnya. Masing-masing standar tersebut menghasilkan jumlah orang miskin yang berbeda.

Apalagi dengan standar kemiskinan baru yang ditetapkan Standar Statistika Negara melalui Badan Pusat Statistik yang menetapkan standar kemiskinan baru untuk perkotaan semakin rendah dengan pengeluaraan sebesar Rp 7.000 perhari (Pikiran Rakyat, 14/7/201 1). Berarti angka kemiskinan akan turun drastis dan muncul orang kaya baru? Pasalnya, orang yang berpenghasilan Rp 217.000 perbulan dengan asumsi satu bulan 31 hari mereka tidak lagi masuk kategori miskin. Padahal banyak pekerja di negeri ini termasuk di sektor formal, sekalipun yang pendapatannya jauh di atas, tidak bisa memenuhi kebutuhan pokok yang layak. Selain itu, akibat tingginya inflasi yang tidak dapat dikendalikan Pemerintah, komersialisasi berbagai fasilitas publik, dan perluasan pungutan palak, membuat biaya hidup rakyat akan semakin tinggi. Jika mereka kembali dipaksa untuk membayar iuran jaminan sosial tersebut maka dapat dipastikan beban hidup yang akan mereka tanggung akan semakit berat.

C. Badan Pelaksana

(10)

Menurut Siti Fadhilah, meskipun namanya Badan Penyelenggara jaminan Sosial, isinya bukan tentang jaminan sosial; tetapi cara mengumpulkan dana masyarakat secara paksa, termasuk dana APBN untuk masyarakat miskin, Dana dari 250 juta rakyat Indonesia itu nanti disetor ke BPJS lalu dikuasakan ke segelintir orang yang namanya wali amanah. Lembaga ini sangat independen, tidak boleh ada campur tangan Pemerintah. Nanti dana yang terkumpul ini akan digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu, termasuk perusahaan asing, yang sulit dipertanggungjawabkan. Padahal dana ini dikumpulkan dari seluruh rakyat. Apalagi kalau 4 BUMN (ASABRI, TASPEN, JAMSOSTEK, ASKES) digabungkan.

Pemerintah dan DPR kini tengah menggodok UU Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). UU tersebut akan menjadi payung hukum pelaksana Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang sebelumnya telah ditetapkan dalam UU SJSN No. 40 tahun 2004. Tidak ada perbedaan antara pemerintah dengan DPR kecuali perkara-perkara teknis mengenai bentuk dan wewenang badan menengah ke bawah. UU SJSN telah mewajibkan seluruh rakyat untuk terlibat dalam kepesertaan asuransi ini dengan membayar iuaran/premi secara reguler kepada BPJS. Khusus bagi yang miskin maka iuran tersebut ditanggung oleh negara. Pada Pasal 1 berbunyi: Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Selanjutnya Pasal 17 (4): Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah. Dengan demikian, karena bersifat wajib maka BPJS memiliki otoritas untuk memaksa orang-orang yang dianggap mampu untuk membayar iuran/premi asuransi termasuk di dalamnya paksaan kepada pemilik perusahaan untuk menarik premi kepada karyawannya melalui pemotongan gaji. Padahal setiap harinya rakyat telah menanggung derita akibat berbagai pungutan baik pajak maupun non pajak yang dibebankan kepada mereka. Belum lagi batas orang yang dikategorikan miskin di negara ini sangat rendah yakni mereka yang pengeluarannya di bawah Rp 233.000 per bulan. Dengan demikian rakyat baik petani, nelayan, buruh , karyawan atau siapa saja yang pengeluarannya lebih dari itu, tidak masuk dalam kategori miskin versi pemerintah dan oleh karenanya wajib membayar premi asuransi.

(11)

membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Dengan demikian, UU ini telah mengalihkan tanggung jawab pelananan publik oleh negara kepada rakyatnya khususnya dalam penyediaan kesehatan. Ini merupakan watak negara kapitalisme yang mengkomersilkan berbagai pelayanan publik. Selain itu, falsafah asuransi ini bersifat diskriminatif sebab yang ditanggung oleh negara–yang dananya berasal dari orang-orang yang dianggap mampu–hanyalah orang miskin saja. Padahal pelayanan publik merupakan tugas pemerintah yang tidak boleh dialihkan kepada pihak lain. Lebih dari itu, pelayanan tersebut harus bersifat menyeluruh dan tidak bersifat diskriminatif. Rasulullah saw bersabda: “Imam adalah pelayanan yang bertanggungjawab atas rakyatnya.” (H.R. Muslim)

3) Pengelolaan dan pengembangan dana SJSN pada kegiatan investasi yang batil dan berpotensi merugikan rakyat. Dana asuransi yang terkumpul pada BPJS dapat dikelola secara independen oleh BPJS. Dalam RUU BPJS pasal 8 disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk (b) “menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.”Dengan demikian dana tersebut sebagaimana halnya dana asuransi lainnya dapat diinvestasikan pada berbagai portfolio investasi seperti saham, obligasi, deposito perbankan, dan sebagainya. Padahal investasi sendiri bersifat tidak pasti, bisa untung atau rugi. Jika terjadi kerugian maka bebannya akan kembali kepada rakyat. Dalam berbagai krisis finansial di negara-negara barat, tidak terhitung lembaga-lembaga asuransi yang mengalami kerugian besar akibat berinvestasi pada aset-aset finansial yang bersifat spekulatif. Akibatnya dana nasabah berkurang bahkan lenyap. Sebagian dari mereka terpaksa mendapatkan bail-out dari pemerintah yang nota bene berasal dari penarikan pajak dan penambahan utang. Inilah yang menimpa AS dan negara-negara Eropa. Utang mereka membengkak untuk menutupi defisit APBN sangat besar akibat besarnya bail-out yang mereka lakukan terhadap perusahaan-perusahaan finansial termasuk diantaranya perusahaan asuransi.

(12)

modal) sehingga akan memperbesar nilai kapitalisasi sektor tersebut. Dalam kondisi tertentu, dana tersebut dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mem-bail-out sektor finansial jika mengalami krisis. Ujung-ujungnya yang menikmati hal tersebut adalah para pemilik modal, investor dan negara-negara yang pembiayaan anggarannya bergantung pada sektor finansial.

Intervensi Asing dan Elite Parpol Berada dalam Pembuatan RUU BPJS JSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) > BPJS

1. DEFINISI

Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN , Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah:Badan hukum yang dibentuk untuk

menyelenggarakan program jaminan sosial (Pasal 1 angka 6)Badan hukum nirlaba (Pasal 4 dan Penjelasan Umum)Pembentukan dengan Undang-undang (Pasal 5 ayat (1)

2. PEMBENTUKAN

Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2004, batas waktu paling lambat untuk penyesuaian semua ketentuan yang mengatur

mengenai BPJS dengan UU No. 40 Tahun 2004 adalah tanggal 19 Oktober 2009, yaitu 5 tahun sejak UU No. 40 Tahun 2004 diundangkan.Batas waktu penetapan UU tentang BPJS yang ditentukan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tidak dapat dipenuhi oleh Pemerintah. RUU tentang BPJS tidak selesai dirumuskan.

DPR RI mengambil inisiatif menyelesaikan masalah ini melalui Program Legislasi Nasional 2010 untuk merancang RUU tentang BPJS. DPR telah menyampaikan RUU tentang BPJS kepada Pemerintah pada 8 Oktober 2010 untuk dibahas bersama Pemerintah.DPR RI dan Pemerintah mengakhiri pembahasan RUU tentang BPJS pada Sidang Paripurna DPR RI tanggal 28 Oktober 2011. RUU tentang BPJS disetujui untuk disahkan menjadi Undang-undang. DPR RI menyampaikan RUU tentang BPJS kepada Presiden pada tanggal 7 November 2011. Pemerintah mengundangkan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS pada tanggal 25 November 2011.

Petikan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS

Pasal 5

(1) Berdasarkan Undang-Undang ini dibentuk BPJS.

(13)

a. BPJS Kesehatan; dan

b. BPJS Ketenagakerjaan.

Pasal 6

1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a menyelenggarakan program jaminan kesehatan.

2) BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat huruf b menyelenggarakan program:

a. jaminan kecelakaan kerja; b. jaminan hari tua;

c. jaminan pensiun; dan d. jaminan kematian.

Pembentukan RUU BPJS

a. Pembentukan RUU Inisiatif DPR RI

- Program Legislasi Nasional 2010 – 2011:Konsep RUU tentang BPJS inisiatif DPR RI 2010 , Tim Pansus RUU tentang BPJS, DIM RUU tentang BPJS dari Pemerintah, RUU tentang BPJS (Draft Akhir - tanggal 7 November 2011), UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS

b. Pembentukan RUU Inisiatif Pemerintah

- Periode Tahun 2007-2009:Naskah Akademik RUU BPJS

Konsep RUU BPJS

Tim dan Kelompok Kerja Penyusun Peraturan Perundang-undangan Pelaksanaan UU No.40 Tahun 2004, SK Menko Kesra No. 14A/KEP/MENKO/KESRA/VI/2006 Izin Prakarsa Presiden No.B-540/m.Sesneg/D-4/10/2007, tanggal 2 Oktober 2007

3. TRANSFORMASI BPJS

1) PT ASKES (Persero) :berubah menjadi BPJS Kesehatan dan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014 (Pasal 60 ayat (1) UU BPJS)

2) PT (Persero) JAMSOSTEK : berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Januari 2014 (Pasal 62 ayat (1) UU BPJS)BPJS

(14)

3) PT (Persero) ASABRI :menyelesaikan pengalihan program ASABRI dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029 (Pasal 65 ayat (1) UU BPJS)

4) PT TASPEN (Persero) :menyelesaikan pengalihan program THT dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029 (Pasal 65 ayat (1) UU BPJS)

Proses selanjutnya adalah pembubaran PT ASKES (Persero) dan PT (Persero) JAMSOSTEK tanpa likuidasi. Sedangkan PT (Persero) ASABRI dan PT TASPEN (Persero) tidak secara tegas ditentukan dalam UU BPJS

1. Ada pergeseran dalam UU BPJS dari UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Berdasarkan SJSN, menurut Sekjen APINDO Djimanto, negara wajib menjamin setiap warga negara. Namun, pada UU BPJS ini malah dibalik. Guna mendapatkan jaminan dari negara, setiap warga wajib mendaftar dan membayar iuran. Djimanto mengatakan negara tidak lagi menjamin kehidupan warga negaranya, khususnya fakir miskin. Djimanto menyatakan pada dasarnya pihak pengusaha tidak anti dengan jaminan sosial. Pengusaha cuma tidak mau jaminan sosial tersebut menambah beban pengusaha dan buruh.

2. Dikhawatirkan pula pemberlakuan BPJS ini nantinya akan membuat investor enggan masuk ke Indonesia. Bukan tidak mungkin berbagai perusahaan tidak mau berinvestasi secara lebih luas lagi dengan beban yang semakin bertambah. Pengusaha lebih untung untuk impor daripada nambah beban lagi dan buruh juga tidak mau. Akhirnya pengusaha juga yang harus bayar beban buruh. Hal ini belum disadari pemerintah, padahal permasalahan tersebut sudah dibicarakan selama satu hingga dua tahun dalam tim yang sudah dibentuk oleh Menko Kesra, wakil buruh, dan pengusaha yaitu dalam badan penyelenggara. Hingga saat ini, pengusaha sudah menutup beberapa jaminan sosial seperti Jamsostek, hari tua, kecelakaan dan kesehatan.

3. Ia juga mengkritisi rencana transformasi program pada pelaksanaan BPJS tahun 2014. Terutama terkait peleburan badan penyelenggara jaminan sosial. Mengenai transformasi yang disyaratkan dalam UU BPJS, Djimanto menyatakan pengusaha tidak setuju. Pasalnya, pengusaha tidak mau uang yang dikumpulkan di Jamsostek dipakai untuk menutupi penyelenggaraan BPJS I pada 2014. BJPS diragukan berjalan baik pada tahun 2014 ini, karena hingga sekarang, pembentukan single identity number belum selesai dan belum menunjukkan ketertiban. Ia mengatakan bahwa program jaminan kesehatan yang dilaksanakan Jamsostek jangan diintegrasikan jika pelaksanaan jaminan kesehatan belum baik dan tertib.

(15)

Januari 2014. Sedangkan BPJS II badan hukumnya dibentuk pada 1 Januari 2014 dan selambat-lambatnya pada Juli 2015 harus sudah bisa dilaksanakan.

Hasil Pengesahan UU BPJS

Di dalam www.hukumonline.com, disebutkan secara subtansi UU BPJS mengatur kewajiban negara untuk memberi lima jaminan dasar bagi rakyatnya.

1. BPJS I yang akan mengatur tentang jaminan kesehatan di mana PT Askes nantinya akan ditransformasi menjadi sebuah badan hukum baru yang bersifat nirlaba.

2. Selain itu ada BPJS II atau yang akan mengatur tentang kecelakaan kerja, kematian, pensiun dan tunjangan hari tua. Pelaksanaannya nantinya akan mentransformasi tiga BUMN, yakni Jamsostek, ASABRI dan Taspen.

2.3 Intervensi Asing Dan Elite Parpol Berada Dalam Pembuatan RUU BPJS

Suatu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentu ada orang-orang yang merumuskannya, munculnya BPJS dan program JKN tak lepas dari campur tangan asing. Pihak asing akan selalu mengambil keuntungan dari setiap kebijakan

yang dirancangnya dan digulirkan kepada pemerintah.

(16)

Asian Development Bank (ADB) memiliki peran penting pada BPJS, dimana ADB memberi pinjaman kepada pemerintah Indonesia senilai 2,3

triliyun disertai syarat diterapkan Financial Governance and Social Security

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran fisika berbasis multitrepresentasi efektif melatihkan kemampuan representasi siswa.Sehubungan dengan simpulan hasil

Sementara itu Andreasen menyebut pengetahuan ini ditujukan kepada target masyarakat melalui pendekatan pendidikan yang pada utamanya memfokuskan kepada pesan, saluran dan

deskriptif tentang perilaku pencarian informasi mahasiswa baru dalam. menunjang kebutuhan

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU; serta dalam rangka mewujudkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2007 yang dijabarkan ke dalam kebijakan umum

Kolom stratigrafi satuan batuan di lintasan Korololama yang terdiri dari perselingan batupasir dan serpih, serta perselingan batugamping dan serpih (kanan) yang disebandingkan

gradiasis dapat berupa asimtomatis, kronik, diare persisten dengan atau malabsorbsi. Di daerah dengan endemisitas yang rendah dapat terjadi wabah dalam 5-8 hari setelah. terpapar

Kepuasan pasien akan tercapai apabila diperoleh hasil yang optimal bagi setiap pasien, dilihat dari pelayanan kesehatan dengan memberikan perhatian terhadap keluhan,

Menurut Hasbi metode komparasi yang dalam ilmu fikih disebut fikih muqaran dimaksudkan sebagai suatu ilmu yang menerangkan hukum syara’ dengan mengemukakan pendapat yang