• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik hukum nasional dalam buku Dasar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Politik hukum nasional dalam buku Dasar "

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK HUKUM NASIONAL

Politik hukum dalam buku Dasar-Dasar Politik Hukum tulisan Imam Syaukani dan A.

Ahsin Thohari ini, diartikan sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Nasional sendiri, adalah

wilayah berlakunya politik hukum itu, dalam konteks Indonesia, adalah wilayah kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehingga, politik hukum nasional adalah

kebijakan dasar penyelenggara Negara Republik Indonesia dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan Negara Republik Indonesia yang dicita-citakan. Dari sini, ada lima agenda

dan tahapan dalam politik hukum nasional, yaitu:

1. Masalah kebijakan dasar yang meliputi konsep dan letak;

2. Penyelenggara negara pembentuk kebijakan dasar tersebut;

3. Materi hukum yang meliputi hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku; 4. Proses pembentukan hukum; dan

5. Tujuan politik hukum nasional.

Politik hukum nasional dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan cita-cita ideal

Negara Republik Indonesia. Tujuan ini meliputi dua aspek yang saling berkaitan, yaitu:

1. Sebagai suatu alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki; dan

(2)

Dari paparan kebahasaan, definisi sistem yang dipakai dalam buku ini adalah

sehimpunan unsur yang melakukan suatu kegiatan atau menyusun skema atau tata cara melakukan sesuatu kegiatan pemrosesan,untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan. Hal ini

dilakukan dengan cara mengolah data dan/atau energi dan/atau barang (benda) di dalam jangka waktu tertentu guna menghasilkan informasi dan/atau energi dan/atau barang. Namun perlu diingat, sesuatu dikatakan sistem atau bukan tergantung apakah ia memiliki tujuan,

punya batas, terbuka, tersusun dari subsistem, ada saling keterikatan dan saling tergantung, merupakan suatu kebulatan yang utuh, melakukan kegiatan transformasi, ada mekanisme

kontrol, dan memiliki kemampuan mengatur dan menyesuaikan diri sendiri. Dengan kata lain, inti sistem adalah hubungan kebergantungan antar setiap bagian yang membentuk sistem (interrelationship between parts).1

Hukum nasional sendiri adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu Pancasila dan UUD

19452 atau hukum yang dibangun di atas kreativitas atau aktivitas yang didasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri. Hukum nasional merupakan sistem hukum yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang. Dengan kata

lain, hukum nasional merupakan sistem hukum yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia yang berjangkauan nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi seluruh rakyat

sejauh batas-batas nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia.3

1 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 43

2 C. F. G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 64.

(3)

Pengertian ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah Indonesia. Setelah merdeka,

Bangsa Indonesia belum memiliki hukum yang bersumber dari tradisinya sendiri, tetapi masih memanfaatkan peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang

kemudian, atas dasar pertimbangan politik dan nasionalisme, peraturan perundang-undangan itu mengalami proses nasionalisasi, seperti pergantian nama. Selain penggantian nama, beberapa pasal yang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan sebuah negara yang meredeka,

berdaulat, dan religius telah turut pula diganti dan ditambahkan yang baru.4

Pendekatan seperti ini, dalam jangka pendek sangat bermanfaat, karena dapat

menghindarkan terjadinya rechtsvacuum. Namun, dalam jangka panjang, upaya yang mirip usaha tambal sulam atau transplantasi ini sebenarnya kurang efektif dan cenderung kontra-produktif bila terus menerus diberlakukan. Ini berdasarkan fakta bahwa upaya yang mirip

usaha tambal sulam atau transplantasi5 itu pada hakikatnya tidak mengubah watak dasar dari hukum warisan kolonial itu yang cenderung represif, feodal, diskriminatif, dan individualistis,

sebagai salah satu upaya pihak penjajah untuk menekan kaum inlander. Karakteristik hukum seperti ini jelas bertentangan dengan ciri khas masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi kolektivisme, bila hukum dengan karakter seperti ini terus diberlakukan, maka bisa jadi akan

timbul penolakan atau setidaknya diabaikan oleh masyarakat.

Atas dasar pertimbangan tidak boleh adanya kekosongan hukum, Pasal 1 Aturan

Peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa,

“Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”

4 M. A. Jaspan, “Mencari Hukum Baru: Sinkretisme Hukum di Indonesia yang membingungkan”, dalam Mulyana W. Kusumah dan Paul S. Baut, Hukum, Politik dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1988), hlm. 250-251.

(4)

Ketentuan ini memberikan legitimasi konstitusional bagi peraturan perundang-undangan

warisan kolonial untuk tetap berlaku, namun karena visi dan misi yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan warisan kolonial itu banyak bertentangan dengan tradisi dan

agama masyarakat. Atas dasar itu, upaya pembangunan hukum nasional menjadi mutlak dilakukan.6

Sistem hukum nasional seyogyanya selain dibangun berdasarkan Pancasila dan UUD

1945, dapat juga bersumber dari hukum lain, dengan syarat, tidak bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Sehingga, identitas hukum nasional tetap bisa dipertahankan dan

secara bersamaan mengakomodasi budaya hukum lain yang baik, dan diharapkan dapat membantu mempercepat proses pembangunan sistem hukum nasional itu sendiri.

Dalam rangka membangun sistem hukum nasional, pemerintah menetapkan kebijakan

untuk memanfaatkan tiga sistem hukum yang eksis di Indonesia, yaitu sistem hukum adat, Islam dan Barat (Belanda) sebagai bahan bakunya. Pada era kolonial, ketiga sistem hukum itu

kerap diperhadapkan sebagai sistem-sistem hukum yang saling bermusuhan, kondisi ini terjadi karena secara sengaja diciptakan oleh pihak penjajah. Busthanul Arifin mengatakan bahwa, konflik-konflik hukum mengandung arti konflik-konflik nilai-nilai sosial budaya yang timbul

secara wajar. Kalau ada pertemuan antara dua atau lebih sistem nilai yang asing bagi suatu masyarakat, akan selalu selesai dengan wajar. Karena setiap masyarakat mempunyai daya

serap dan daya penyesuaian terhadap konflik-konflik sistem nilai tersebut. Namun, bila konflik sistem nilai itu ditimbulkan dengan sengaja dan kadang-kadang secara artifisial, sesuai dengan kebutuhan politik kolonial pada waktu itu, sulitlah menghapuskan konflik-konflik itu

secara memuaskan.

(5)

Sampai sekarang pun, ada kecenderungan para ahli hukum mempertentangkan

ketiganya, bahkan mengunggulkan yang satu atas yang lain tanpa berusaha untuk mencari titik temu. Dalam perspektif epistemologi, kita belum memiliki apa yang disebut sebagai ilmu

hukum nasional atau teorisasi hukum Indonesia, hal ini sesungguhnya kita perlukan sebagai landasan teoritis untuk merumuskan dan menyusun hukum yang sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia. Prof. Bernard Arief Sidharta mengusulkan, tatanan hukum nasional

Indonesia harus mengandung ciri:

1. Berwawasan kebangsaaan dan berwawasan nusantara;

2. Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis Kedaerahan dan keyakinan keagamaan;

3. Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi;

4. Bersifat rasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran, rasionalitas kaidah dan rasionalitas nilai;

5. Aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah;

6. Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.

Hasil seminar tentang hukum nasional di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia merekomendasikan bahwa hukum nasional yang sedang dibangun, haruslah:

1. Berlandaskan Pancasila (filosofis) dan UUD 1945 (konstitusional);

2. Berfungsi mengayomi, menciptakan ketertiban sosial, mendukung pelaksanaan pembangunan dan mengamankan hasil-hasil dari pembangunan.

(6)

otonom, dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat, bukan

sebuah sistem hukum yang bersifat menindas, ortodoks dan reduksionistik. Bila kita perhatikan, watak, karakter, dan sifat hukum itu tampak saling bertentangan. Ini menujukkan

bahwa pengaruh negara terhadap perumusan produk hukum sangat kuat. Diperlukan kerja sama berbagai pihak (pemerintah, partai politik dan masyarakat) untuk mewujudkannya.

Dari sisi pemerintah atau negara misalnya, dalam realitas praksis, watak, karakter, dan

sifat sebuah produk hukum akan mempengaruhi pandangan orang terhadap hukum tersebut. Negara yang paling berhak menentukan model hukum apa yang ingin diterapkannya. Realitas

ini akan membantu untuk melihat sejauhmana produk hukum itu, tentunya dengan ragam watak, karakter dan sifatnya, yang paling memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Kembali pada pendapat Philippe Nonet dan Philip Selznick tentang hubungan antara

hukum dan penindasan. Menurut keduanya, masuknya pemerintah ke dalam pola kekuasaan yang bersifat menindas melalui hukum, berkaitan erat dengan masalah kemiskinan dan

sumber daya pada elit pemerintah. Biasanya, penggunaan kekuasaan yang bersifat menindas, terdapat pada masyarakat yang berada pada tahap pembentukan suatu tatanan politik tertentu. Menurut keduanya, penggunaan kekuasaan dalam pembentukan hukum pada sebuah negara

bisa melahirkan dua karakter hukum yang bertolak belakang, yakni karakter hukum yang menindas, atau sebaliknya, karakter hukum yang otonom.

Gagasan hukum menindas mengindikasikan bahwa setiap hukum merupakan keadilan yang beku dan mempunyai potensi represif. Dalam hubungannya dengan kekuasaan, hukum menindas mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

(7)

2. Kelestarian kekuasaan adalah tugas dari penegakkan hukum;

3. Alat-alat pengendalian khusus, seperti polisi, menjadi pusat kekuasaan yang bebas; dan

4. Pelembagaan keadilan kelas.

Sumber lain dari hukum menindas adalah tuntutan atas penyesuaian budaya (cultural conformity) yang menimbulkan kecenderungan-kecenderungan menghukum atas nama moral

dan nilai-nilai budaya.

Kemudian secara historis, sebagai hasil dari proses politik dalam suatu masyarakat,

terdapat dua macam strategi pembangunan hukum yang akhirnya berimplikasi pada karakter produk hukumnya, yaitu strategi pembangunan hukum ortodoks dan strategi pembangunan hukum responsif.

Dalam strategi pembangunan hukum ortodoks, peranan lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen) sangat dominan dan monopoli dalam menentukan arah

pembangunan hukum. Sebaliknya, pada strategi pembangunan hukum responsif yang mempunyai peranan besar adalah lembaga peradilan dan partisipasi luas kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat.

Konsekuensi kedua strategi itu masing-masing menghasilkan produk hukum yang berbeda. Pada strategi pembangunan hukum ortodoks, hukum yang dihasilkan bersifat

positivis-instrumentalis, yaitu hukum yang berfungsi menjadi alat ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan program negara. Ini adalah perwujudan nyata visi sosial politik dari para pihak yang memegang kekuasaan negara. Tradisi hukum kontinental (civil law) dan tradisi hukum

(8)

Pada strategi pembangunan hukum responsif akan menghasilkan hukum yang bersifat

responsif terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok sosial dan individu di dalam masyarakatnya. Dan yang menganut model strategi pembangunan hukum ini adalah tradisi

hukum adat (Common law).

Pada perkembangannya, sejarah menunjukkan sebagian besar penerapan model-model strategi pembangunan hukum tersebut merupakan hasil suatu proses politik. Sehingga,

penerapan strategi pembangunan hukum sangat bergantung dari hasil interaksi politik di antara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya,

Dari segi pemberlakuan, produk suatu hukum dibedakan menjadi dua jenis karakter, yaitu hukum imperatif dan hukum fakultatif.

Hukum imperatif adalah kaidah-kaidah hukum yang secara a apriori harus ditaati. Ia

mempunyai kekuatan untuk memaksa dan mengikat secara mutlak. Sedangkan hukum fakultatif tidaklah secara a apriori harus ditaati atau tidaklah secara a apriori untuk dipatuhi,

melainkan sekedar melengkapi, subsider atau dispositif. Dalam hukum fakultatif masih terdapat ruang pilihan untuk melakukan yang lain ataupun sama sekali tidak melakukannya.

Pada dasarnya, semua hukum memiliki kesamaan, yaitu bersifat memaksa dan mengatur

sekaligus, akan tetapi tingkat pemaksaan dan pengaturannya berbeda. Aturan-aturan dan perintah tersebut mungkin tidak sesuai dengan keadaan, sehingga dimungkinkan adanya

pengecualian. Dalam kondisi semacam ini, perintah tersebut lebih banyak diartikan sebagai petunjuk yang ditujukan kepada para penegak hukum daripada tertuju langsung kepada pribadi-pribadi. Disinilah terdapat perbedaan mendasar, imperatif apabila perintah itu tertuju

(9)

itu, pada umumnya hukum publik relatif bersifat imperatif, sedangkan hukum privat bersifat

fakultatif . Yang jelas, hukum yang secara luas dan mendalam berusaha mewujudkan keadilan sejati bersifat imperatif apabila diperlukan bagi kepentingan umum, tapi untuk hal-hal tertentu

apabila tidak sejalan dengan keadaan nyata, ia bersifat fakultatif.

Dari sini dapat dilihat bahwa adanya keterkaitan erat antara negara dan hukum, terutama dalam pilihan-pilihan hukum yang akan diberlakukan kepada masyarakat, namun sejauh mana

strategi tersebut efektif dalam menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat, tentu saja sangat bergantung pada analisi masalah yang ada di lapangan.

Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa politik adalah termasuk aktivitas memilih suatu tujuan sosial tertentu. Memilih suatu tujuan sosial tertentu berarti juga bicara tentang pemikiran alternatif yang mungkin dapat kita lakukan guna mencapai suatu tujuan tertentu

tersebut. Politik hukum pun berbicara tentang menentukan hukum mana yang akan diberlakukan dan dalam menentukannya, diperlukan strategi tertentu dan ragam pemikiran

alternatif agar proses pilihan hukum itu dapat berjalan lancar dan diterima oleh masyarakat, sehingga diharapkan kemungkinan adanya penolakan masyarakat terhadap hukum yang akan diberlakukan dapat dihindarkan. Oleh sebab itu, ada hubungan yang erat antara politik dan

hukum, terutama pada tataran tujuan. Kedua-duanya, dengan spesifikasi masing-masing, mempunyai tujuan untuk menciptakan kondisi sosial tertentu, yang diharapkan sesuai dengan

apa yang dicita-citakan masyarakat.

Idealitas sistem hukum nasional tercantum dalam Pembukaan UUD 1945: 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;

(10)

4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial.

Posisi politik hukum nasional yang akan, sedang dan telah diberlakukan di wilayah

yurisdiksi Republik Indonesia sangatlah penting, karena politik hukum nasional dijadikan sebagai pedoman dasar dalam proses penentuan nilai-nilai, penetapan, pembentukan, dan pengembangan hukum di Indonesia. Hal ini berarti, baik secara normatif maupun praktis

fungsional, penyelenggara negara harus menjadikan politik hukum nasional sebagai acuan pertama dan utama. Karena ini, politik hukum nasional harus dirumuskan pada sebuah

peraturan perundang-undangan yang bersifat mendasar, bukan pada sebuah peraturan perundang-undangan yang bersifat teknis.

Mengenai letak rumusan politik hukum nasional harus merujuk kepada sumber hukum

dan tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam Pasal 2 TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan

Perundang-Undangan, disebutkan bahwa tata urutan perundang-undangan yang berlaku secara hierarkis di Indonesia dan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya adalah :

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; 3. Undang-undang;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu); 5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan Presiden yang Bersifat Mengatur;

(11)

Walaupun bersifat hierarkis, bukan berarti dalam perumusan dan penetapan suatu

peraturan perundang-undangan selalu bersumber atau merupakan perincian teknis dari peraturan perundang-undangan yang berada persis di atasnya. Penyusunan hierarki itu

semata-mata dalam rangka menyinkronkan atau menghindarkan konflik teknis pelaksanaan antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Dengan cara seperti inilah, sebuah atau lebih peraturan perundang-undangan diharapkan akan berjalan

sesuai dengan tujuan dibuatnya peraturan perundang-undangan tersebut.

Berkaitan dengan posisi tertinggi UUD 1945 dalam tata urutan peraturan

perundang-undangan, terkait dengan fungsinya sebagai konstitusi negara. Pasal 3 ayat (1) TAP MPR Nomor III/MPR/2000 menyebutkan,

Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.

Konstitusi adalah tempat atau sumber rujukan utama bagi proses perumusan dan penetapan peraturan perundang-undangan yang lain.7

Posisi UUD 1945 sebagai hukum dasar itulah yang memberikan akibat hukum bahwa

setiap materi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan materi-materi yang terdapat dalam UUD 1945 ( Pasal 4 ayat (2) ).

Hal ini terkait dengan salah satu fungsi konstitusi dalam suatu negara, yaitu sebagai a politico-legal document, yakni dokumen politik dan hukum suatu negara yang berfungsi sebagai alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum suatu negara.8 Selain itu, 7 Kelsen, Hans, Pure Theory of Law [Reine Rechtslehre], English translation by Max Knight, (Berkeley and Los Angeles, California: University of California Press, 1979), hlm. 222. Menurut Prof. Sri Soemantri, inti dari konstitusi adalah adanya pembatasan kekuasaan yang meliputi tiga hal, yaitu: (1). Jaminan hak-hak asasi manusia; (2). Susunan ketatanegaraan yang mendasar; dan (3). Aturan tugas dan wewenang dalam negara. Martosoewignjo, Sri Soemantri, “Konstitusi serta Artinya untuk Negara” dalam Wahjono, Padmo, (ed.), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 9; Martosoewignjo, Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987), hlm. 45.

8 Hence van Maarseveen menyebutkan, konstitusi bagi suatu negara mempunyai empat fungsi pokok, yaitu: (1).

(12)

James Buchanan menyatakan bahwa suatu konstitusi terdiri dari pranata peraturan yang tinggi

(higher order rules) atau peraturan-peraturan untuk membuat peraturan-peraturan di bawahnya (rules for making rules).9

Dari penjelasan diatas, memberikan pemahaman bahwa UUD 1945 yang menentukan garis besar, arah, isi dan bentuk hukum yang akan diberlakukan di Indonesia, sehingga politik hukum nasional dalam pengertian sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam

bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan, dalam bentuk

tertulis dapat ditemukan dalam UUD 1945.

Permasalahan lain adalah, apakah mungkin ada peraturan perundang-undangan lain yang dapat memuat pula rumusan politik hukum nasional? A. Hamid S. Attamimi

berpandangan bahwa apabila dilihat dari sisi lembaga pembuatnya, politik hukum nasional dalam pengertian kebijakan dasar sebenarnya dapat ditemukan pula pada peraturan

perundang-undangan selain UUD 1945, yaitu dalam TAP MPR. Baik UUD 1945 maupun TAP MPR keduanya dirumuskan oleh MPR, sebuah lembaga tertinggi negara yang merupakan representasi dari kedaulatan rakyat. Sehingga, karena dirumuskan oleh lembaga tertinggi

negara yang sama, walaupun berdasarkan pada tata urutan peraturan perundang-undangan UUD 1945 disebutkan lebih tinggi daripada TAP MPR, tapi keduanya berada dalam satu

jenjang yakni aturan dasar.10 Posisinya sebagai aturan atau norma dasar itu memperkenankan

(2). A Politico-Legal Document, konstitusi berfungsi sebagai dokumen politik dan hukum suatu negara; (3). A Birth of Certificate, konstitusi berfungsi sebagai piagam kelahiran suatu bangsa. Martosoewignjo, Sri Soemantri,

Undang-Undang Dasar 1945: Kedudukan dan Aspek-Aspek Perubahannya, (Bandung: Unpad Press, 2002), hlm. 17

9 John Ferejohn, Jack N. Rakove dan Jonathan Riley, (eds.), Constitutional Culture and Democratic Rule, (Cambridge, Mass: Cambridge University Press, 2001), hlm. 17.

(13)

TAP MPR untuk dapat mengembangluaskan aturan dasar yang terdapat dalam UUD 1945

menjadi aturan dasar lain yang lebih jelas dan terperinci, yakni apabila aturan dasar itu memerlukan kategorisasi dan interpretasi bagi pelaksanaannya. Dengan kata lain, rumusan

politik hukum nasional dapat juga ditemukan dalam TAP MPR, seperti dalam TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, terutama BAB IV. Pada bab tersebut, terdapat arah kebijakan bidang hukum yang terdiri dari 10 butir, yaitu:

1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya

negara hukum.

2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui

perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui

program legislasi.

3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia.

4. Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk

undang-undang.

5. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk menumbuhkan kepercayaan

(14)

6. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa

dan pihak manapun.

7. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan

perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.

8. Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka, serta

bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran.

9. Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan, penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan. 10. Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak

asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.

Sepuluh butir arah kebijakan bidang hukum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara

tersebut merupakan politik hukum nasional yang memuat secara komprehensif berbagai aspek strategis yang harus dibenahi dan diberdayakan dalam rangka untuk mencapai tujuan mewujudkan sebuah sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan

hak-hak asasi manusia berlandaskan keadilan dan kebenaran.

Ada satu kesimpulan yang menarik, apa yang kita anggap sebagai politik hukum

nasional tampaknya selalu berkaitan dengan sebuah rumusan hukum tertulis yang bersifat umum, yang bila diaplikasikan bisa jadi akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi hukum yang sangat luar biasa.

(15)

Daerah Istimewa Aceh dan Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, walaupun tidak berskala nasional, kedua produk undang-undang tersebut telah mengubah hampir secara

keseluruhan tatanan hukum dan politik di Aceh, bahkan memberikan pengaruh yang tidak sedikit terhadap Pemerintah Pusat.

Kedua undang-undang ini, disadari atau tidak, telah membuka jalan bagi proses

pluralisme hukum di Indonesia. Sesuatu yang sejak jaman Orde Baru sangat dihindari karena dikhawatirkan dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wawasan politik

hukum nasional yang dikembangkan saat itu adalah bahwa seluruh kepulauan nusantara merupakan satu kesatuan hukum dalam arti bahwa hanya satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional.11 Politik hukum nasional yang dikembangkan adalah politik hukum unifikasi.12 Namun, dengan berlakunya penerapan syariat Islam melalui lembaga Mahkamah Syar’iyah itu, tampaknya ide tentang satu kesatuan hukum (unifikasi)itu

lama-kelamaan akan kehilangan relevansinya atau runtuh dengan sendirinya. Kasus lain yang mirip dengan Aceh adalah Propinsi Papua, di mana tradisi atau adat setempat akan pula diangkat sebagai satu alat pemutus dalam kasus-kasus yang melibatkan masyarakat Papua.

Berdasarkan uraian diatas, rumusan politik hukum nasional dapat ditemui pada UUD 1945, TAP MPR, dan UU. Khusus untuk UU perlu diberikan catatan khusus, karena UU

sebenarnya lebih menekankan aspek teknis dibandingkan sebuah aturan umum yang perlu dirinci lebih jauh. Artinya, tidak setiap UU mengandung politik hukum nasional, tetapi hanya pada kasus-kasus tertentu.

11 Heru Susetyo, “Peluang Penerapan Hukum Islam dalam Perspektif Normatif dan Sosio-Politis” dalam

Jurnal Akses, Vol. 1 No. 1, Februari 2001, hlm. 57

(16)

Dalam perkembangannya, produk hukum TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang

Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan tersebut telah diganti dengan produk hukum yang sama sekali baru, yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 10/2004). Undang-undang ini dibentuk berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum

nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan

perundang-undangan. Kedua, untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan

perundang-undangan. Ketiga, selama ini ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang sudah

tidak sesuai lagi dengan hukum ketatanegaraan Republik Indonesia.

Dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 20 ayat (1) yang menentukan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk

undang-undang , maka diperlukan undang-undang yang mengatur mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai landasan yuridis dalam membentuk peraturan

perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun di daerah, sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu, baik mengenai sistem, asas, jenis, dan materi muatan peraturan perundang-undangan, persiapan pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan

(17)

Keberadaan UU 10/2004 dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang baku

mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, serta untuk memenuhi perintah Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194513 dan Pasal 6 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.14 Namun, UU 10/2004 tidak mengatur mengenai pembentukan Undang-Undang Dasar, hal ini karena pembentukan konstitusi bukan termasuk ke dalam

kompetensi pembentuk Undang-undang ke bawah. UU 10/2004 khususnya dalam tahap perencanaan, mengatur mengenai perlunya Program Legislasi Nasional dan Program Legislasi

Daerah dalam rangka penyusunan peraturan perundang-undangan secara terencana, bertahap, terarah dan terpadu.

Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU

10/2004 adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden; dan

5. Peraturan Daerah.

Sekurang-kurangnya terdapat tiga perubahan mendasar. Pertama, dihapuskannya dua

jenis peraturan perundang-undangan, yaitu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Keputusan Presiden. Kedua, diperkenalkannya satu jenis peraturan perundang-undangan baru

13 Pasal 22A Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatakan, “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang- undang.”

(18)

yang sebelumnya tidak dikenal, yaitu Peraturan Presiden. Ketiga, jenis peraturan

perundang-undangan berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang hierarkinya disejajarkan dengan jenis peraturan perundang-undangan berupa Undang-undang.

Konsekuensi logis-yuridis setelah ditetapkannya UU 10/2004 adalah terjadinya perubahan letak rumusan politik hukum nasional. Oleh karena itu, secara mutatis mutandis

dengan ditetapkannya UU 10/2004 maka rumusan politik hukum nasional dapat ditemukan

dalam dua jenis dengan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Mengenai keberadaan Undang-Undang, di dalam Pasal 8 UU 10/2004 menyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang :

a. Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi :

1. hak-hak asasi manusia;

2. hak dan kewajiban warga negara;

3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan

negara;

4. wilayah negara dan pembagian daerah;

5. kewarganegaraan dan kependudukan; dan 6. keuangan negara.

b. Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.

(19)

diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang. Oleh karena

itu, maka Undang-Undang juga mengandung materi muatan rumusan politik hukum nasional, namun tidak setiap Undang-Undang mengandung materi muatan rumusan politik hukum

nasional. Undang-Undang yang mengandung materi muatan rumusan politik hukum nasional adalah Undang-Undang yang mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban

warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah negara dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan dan

keuangan negara. Dengan demikian, Undang-undang yang keberadaannya diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang tidak mengandung materi muatan rumusan politik hukum nasional karena hanya merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari materi

muatan Undang-Undang “induknya”. Oleh karena itu, Undang-undang yang keberadaannya diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang juga bukan

merupakan kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum.

Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang tersebut juga merupakan materi muatan yang harus diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang juga mengandung materi muatan rumusan politik hukum nasional. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa, Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan suatu produk hukum yang dapat merespon secara cepat terhadap suatu keadaan yang dianggap genting dan mengharuskan tersedianya penanganan yang absah secara yuridis tanpa menimbulkan gejolak dalam masyarakat.

(20)

Undang-Undang yang karena suatu alasan tertentu, tidak atau belum mengatur persoalan yang

seharusnya diatur.

Dalam perkembangan berikutnya, produk hukum Undang-Undang No. 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 10/2004) telah diganti dengan produk hukum baru, yaitu Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011). Dalam sistem hukum

perundang-undangan di Indonesia, kekuatan hukum yang diperoleh oleh suatu perundang-perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan yang ada. Yang mana jenis dan

hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan UU 12/2011 adalah : 1. UUD 1945;

2. Ketetapan MPR;

3. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi;

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus melihat hierarki diatas. Tidak satu hukum pun boleh bertentangan dengan hierarki ini. Apabila terjadi tumpang tindih

peraturan perundang-undangan yang ada ataupun materi muatannya yang bertentangan dengan hierarki yang lebih tinggi maka, telah ada mekanisme evaluasi terhadapnya. Untuk peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 1945, maka mekanisme pengujiannya

(21)

undang-undang, maka mekanisme pengujiannya adalah pada kekuasaan Mahkamah Agung.

Walaupun bersifat hierarki, bukan berarti perumusan dan penetapan peraturan perundang-undangan selalu bersumber pada peraturan perundang-perundang-undangan yang ada persis diatasnya.

Penyusunan hierarki itu semata-mata dalam rangka menyinkronkan atau menghindari konflik pelaksanaan antara satu aturan dengan aturan yang lain. Sehingga setiap peraturan undangan diharapakan berjalan sesuai dengan tujuan dibuatnya peraturan

perundang-undangan tersebut.

Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Program Legislasi Nasional

(Prolegnas) sedangkan perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda). Tujuan dari Prolegnas dan Prolegda ini adalah dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional di Indonesia. Dengan adanya Prolegnas dan Prolegda ini

tidak berarti tidak dapat membuat suatu Rancangan Undang-Undang atau Raperda di luar Prolegnas dan Prolegda tersebut. Akan tetapi dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden

dapat mengajukan RUU diluar Prolegnas untuk mengatasi keadaan luar biasa/konflik/bencana alam atau keadaan tertentu lainnya yang terkait dengan urgensi nasional atas RUU tersebut. Hal yang sama dengan Raperda, DPRD ataupun Gubernur dapat mengajukan Raperda diluar

Prolegda untuk mengatasi keadaan luar biasa/konflik/bencana alam, akibat adanya kerjasama dengan pihak lain dan keadaan tertentu lainnya yang terkait dengan urgensi daerah atas

Raperda yang dapat disetujui bersama oleh alat Badan Legislasi Daerah dan Biro Hukum Provinsi.

Terkait dengan materi muatan suatu peraturan perundang-undangan di Indonesia harus

mencerminkan beberapa asas penting. Asas-asas tersebut adalah :15

(22)

1. Asas pengayoman, yaitu bahwa materi muatan setiap peraturan

perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.

2. Asas kemanusiaan, yaitu bahwa materi muatan setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap penduduk Indonesia secara proporsial.

3. Asas kekeluargaan, yaitu bahwa materi muatan setiap peraturan perundang-undangan harusmencerminan musyawarah mufakat dalam setiap pengambilan

keputusan.

4. Asas kenusantaraan, yaitu bahwa materi muatan setiap peraturan perundang-undangan harus memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia, sekaligus

materi muatan yang peraturan perundang-undangan yang di daerah pun merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasil dan UUD 1945.

5. Asas Bhinneka Tunggal Ika, yaitu bahwa materi muatan setiap peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara.

6. Asas Keadilan, yaitu bahwa materi muatan setiap peraturan perundang-undangan

harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.

7. Asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu bahwa materi muatan setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan

(23)

8. Asas ketertiban dan kepastian hukum, yaitu bahwa materi muatan setiap peraturan

perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.

9. Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, yaitu bahwa materi muatan setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan

negara.

Selain itu terdapat beberapa asas lainnya yang disesuaikan dengan bidang hukum

yang bersangkutan. Sebagaimana dalam hukum Pidana misalnya; asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah. Sedangkan pada hukum perdata khususnya hukum perjanjian seperti,

asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, asas-asas tersebut wajib dianut

oleh pembentuk peraturan perundang-undangan, sehingga dalam pembentukannya akan memenuhi seluruh kaidah secara menyeluruh. Asas-asas tersebutlah yang menjadi pedoman bagi pembentukan peraturan perundang-undangan.

Selain asas-asas tersebut,dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan dengan dasar adanya:

1. Tujuan yang hendak dicapai dalam pembentukannya;

2. Harus dibuat oleh lembaga yang tepat dan memang berwenang; 3. Materi muatannya harus tepat dan sesuai dengan jenis dan hierarki;

(24)

5. Benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

6. Sistematika, pilihan kata bahkan istilah serta bahasa hukum yang jelas dan mudah

dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam penafsiran dalam pelaksanaannya;

7. Seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk

memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Terkait dengan partisipasi masyarakat secara langsung dalam sebuah rancangan

peraturan perundang-undangan telah dijamin dalam Undang-undang. Jaminan partisipasi masyarakat diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Masyarakat berhak memberikan masukan secara

lisan dan atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yang dapat dilakukan melalui rapat dengan pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi dan atau

seminar/lokakarya/diskusi.16 Masyarakat yang dimaksud adalah perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-Undangan. Begitupula setiap Rancangan Peraturan Perundang-Undangan harus dapat diakses

dengan mudah oleh masyarakat. Hal ini ada kaitannya dengan materi muatan peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana. Ketentuan pidana hanya boleh dimuat

dalam Undang-undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pemidanaan terkait dengan pembatasan hak asasi masyarakat, sehingga untuk membatasi hak-haknya perlu pendapat, pertimbangan dan masyarakat yang bersangkutan dilibatkan dalam

(25)

proses pembentukkannya. Karena pada akhirnya, hak-hak masyarakat nantinya yang akan

dibatasi.

Untuk Materi muatan Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang harus berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945, perintah sutatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang, pengesahan perjanjian internasional tertentu, tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dan atau pemenuhan kebutuhan

hukum dalam masyarakat. Sedangkan materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang, begitu pula materi muatan Peraturan Presiden berisi materi

yang diperintahkan oleh undang-undang untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah atau untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Demikian halnya dengan materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, materi muatannya

adalah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi daerah dan atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi.

Dengan demikian, hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat ditandai dengan adanya perubahan masyarakat dan perubahannya tersebut sudah terarahkan atau diarahkan

guna tercapainya politik hukum di bidang hukum yang ditetapkan oleh pembentuk undang-undang. Asas-asas hukum yang ada dan dirumuskan dalam bentuk salah satunya peraturan

perundang-undangan dapat dikatakan bermanfaat atau tidak ketika hukum dengan asasnya tersebut di jalankan dengan benar atau tidak. Apabila di jalankan dengan tidak benar tentu akan menimbulkan akibat buruk untuk masyarakat, dan ini jelas akan bertentangan dengan

(26)

perundang-undangan dapat dikatakan bermanfaat bagi masyarakat sekaligus seiring dan sejalan dengan

tujuan negara.

Penyelenggara Negara dan Mekanisme Perumusan Politik Hukum Nasional

Kajian terhadap penyelenggara negara yang berwenang menurut konstitusi merumuskan politik hukum nasional dan kajian mengenai mekanisme atau seluk-beluk penyusunan politik

hukum nasional, baik yang berkaitan dengan prosedur ataupun pihak-pihak yang turut serta mempengaruhi proses perumusan politik hukum nasional akan membantu kita untuk

memahami faktor-faktor yang turut serta mempengaruhi karakteristik politik hukum nasional suatu negara. Faktor-faktor ini bisa meliputi sejarah, geografi, tradisi lokal, konstelasi sosial-politik, ekonomi, agama dan sebagainya. Belum lagi kelompok-kelompok yang digolongkan

dalam suprastruktur politik dan infrastruktur politik.

Dengan merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

lembaga-lembaga negara yang dapat merumuskan politik hukum nasional adalah : (1). Majelis Permusyarakatan Rakyat (MPR); dan (2). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). MPR dapat merumuskan politik hukum dalam bentuk Undang-Undang Dasar.17 Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945, MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi hanya merupakan sidang gabungan yang mempertemukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan

Daerah (DPD).18 Produk dari kedua lembaga yang bergabung dalam MPR, yang dituangkan dalam penetapan atau perubahan UUD tersebut, merupakan politik hukum. Artinya, segala

17 Pasal 3 ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyebutkan, “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.”

(27)

bentuk perubahan dan penetapan yang dilakukan oleh MPR terhadap UUD disebut sebagai

politik hukum, karena merupakan salah satu kebijaksanaan dasar dari penyelenggara negara dan dimaksudkan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.

Sehingga, pasal-pasal yang terdapat dalam UUD adalah cetak biru (blue print) untuk merealisasikan tujuan-tujuan negara.

Rumusan politik hukum dapat juga ditemukan dalam Ketetapan MPR yang merupakan

produk MPR, namun dalam Pasal I Aturan Tambahan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa,

“Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.”

Hal ini mengindikasikan bahwa Ketetapan MPR kelak tidak dikenal lagi dalam tata

urutan peraturan perundang-undangan Indonesia, yang kemudian dibuktikan dalam Pasal 7 ayat (1) UU 10/2004.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat merumuskan politik hukum dalam bentuk undang-undang karena kedudukannya sebagai kekuasaan legislatif. Pasal 20 ayat (1) Perubahan Pertama UUD 1945 menyebutkan,

“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.”

Pasal ini menunjukkan adanya pergeseran kekuasaan dalam pembuatan undang-undang

yang semula menjadi kekuasaan presiden, kini berpindah ke DPR.19 Rumusan ini juga diperkuat dengan ketentuan Pasal 20A Perubahan Kedua UUD 1945 yang menyebutkan,

“Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.

(28)

Sehingga, selain MPR, DPR juga memiliki peran yang sangat besar dalam rangka

membentuk cetak biru hukum nasional untuk mencapai tujuan-tujuan negara yang dicita-citakan.

UUD sebagai produk MPR dan undang-undang sebagai produk DPR merupakan aktualisasi dari kehendak-kehendak politik, ekonomi, sosial-budaya dan lain-lain. Kehendak seperti ini bisa datang dari berbagai kalangan.20 Kehendak-kehendak tersebut bisa muncul baik pada tingkat suprastruktur politik maupun infrastruktur politik.21 Suprastruktur politik Indonesia setelah Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 adalah sebagai berikut:

Infrastruktur politik Indonesia terdiri dari partai politik, kelompok kepentingan22, kelompok penekan23, alat komunikasi politik24, dan tokoh politik.25 Namun harus diingat,

20 Mahfud M. D., Politik Hukum di Indonesia, Cet. II (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998), hlm. 7. 21 Martosoewignjo, Sri Soemantri, “Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijakan”, dalam Artidjo Alkostar, (ed.), Identitas Hukum Nasional, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1997), hlm. 239.

22 Yang dapat dikategorikan sebagai kelompok kepentingan adalah organisasi-organisasi profesi.

23 Yang dapat dikategorikan sebagai kelompok penekan adalah lembaga-lembaga swadaya masyarakat sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil

24 Yang dimaksud adalah media massa, baik cetak maupun elektronik, yang dikatakan sebagai pilar keempat demokrasi

25 Yang dimaksud adalah tokoh yang pendapat-pendapatnya mempunyai implikasi signifikan terhadap masa depan bangsa dalam segala bidang yang akan dirumuskan dalam politik hukum nasional.

(29)

suprastruktur politik yang mempunyai kewenangan untuk merumuskan politik hukum hanya

MPR dan DPR saja.

Kehendak-kehendak baik yang bersifat politik, ekonomi, sosial-budaya dan lain-lain,

yang muncul pada tingkat infrastruktur politik kemudian diperdebatkan dan mengalami kristalisasi pada tingkat suprastruktur politik yang kemudian output nya adalah rumusan politik hukum, baik yang terdapat dalam UUD apabila merupakan produk MPR, atau

undang-undang apabila merupakan produk DPR.

Karakteristik Politik Hukum Nasional

Karakteristik yang dimaksud dalam buku ini adalah kebijakan atau arah yang akan dituju oleh politik hukum nasional dalam masalah pembangunan hukum nasional, sebagai

bentuk dari kristalisasi kehendak-kehendak rakyat. Dalam TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara butir ke-2 mengenai arah kebijakan bidang hukum

disebutkan:

“Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.”

Ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil, yaitu: (1). Sistem hukum nasional yang dibentuk hendaknya bersifat menyeluruh dan terpadu; (2). Sistem hukum nasional yang dibentuk tetap mengakui dan menghormati eksistensi hukum agama dan hukum adat; (3).

(30)

Pada Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978 Tahun 197826, Ketetapan MPR No.II/MPR/1983 Tahun 198327, Ketetapan MPR No.II/MPR/1988 Tahun 198828 dijelaskan secara gamblang bahwa bentuk pembaharuan yang dilakukan adalah kodifikasi dan unifikasi,

sesuatu yang tidak disebutkan dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tahun 1999. Fakta membuktikan, pemerintah tetap berupaya untuk melakukan kebijakan unifikasi dan kodifikasi. Namun, seiring perkembangan sosial-politik dan kesadaran hukum masyarakat, kebijakan

tentang unifikasi hukum mengalami tantangan dari banyak pihak dan tampaknya ada kecenderungan kuat Indonesia tidak lagi menganut politik hukum unifikasi29, tetapi beralih ke pluralisme hukum.

Pada umumnya pemikiran mengenai adanya kenyataan pluralisme hukum muncul sebagai tanggapan terhadap adanya paham sentralisasi hukum, yaitu suatu paham yang

menyatakan bahwa,

Law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions.”30

Legal centralism memiliki kelemahan yang paling mendasar, yaitu menyempitnya

akses-akses pada keadilan.

Griffith menyebutkan, konsepsi pluralisme hukum adalah, adanya lebih dari satu tatanan

hukum dalam suatu arena sosial,

by legal pluralism, I mean the presence in a social field of more than one legal order.”31

26 Lihat Lampiran Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978 Tahun 1978, Bab IV Pola Umum Pelita Ketiga, Sub Bab D Arah dan Kebijaksanaan Pembangunan, Bagian 3 Hukum, Sub Bagian b poin 1.

27 Lihat Lampiran Ketetapan MPR No.II/MPR/1983 Tahun 1983, Bab IV Pola Umum Pelita Keempat, Sub Bab D Arah dan Kebijaksanaan Pembangunan, Bagian 3 Hukum, Sub Bagian c poin 1

28 Lihat Lampiran Ketetapan MPR No.II/MPR/1988 Tahun 1988, Bab IV Pola Umum Pelita Kelima, Sub Bab D Arah dan Kebijaksanaan Pembangunan, Bagian 3 Hukum, Sub Bagian c

29 Unifikasi hukum adalah upaya membuat suatu aturan hukum yang berlaku untuk segenap negara dan segenap lapisan/golongan masyarakat untuk bidang-bidang yang memungkinkan dilakukannya unifikasi.

(31)

Sulistyowati Irianto melihat bahwa baik hukum negara maupun hukum kebiasaan atau

agama akan saling berinteraksi dan menciptakan keseimbangan sosial yang diharapkan. Bahwa kemudian hukum negara akan lebih dominan, sebenarnya itu hanya sebatas wewenangnya untuk memberikan batas apakah hukum adat masyarakat tertentu dapat

diberlakukan kepada masyarakat yang lain.32

Indonesia sekarang ini pun menganut politik hukum pluralisme, hal ini terlihat dalam

butir ke-2 Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tahun 1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara mengenai arah kebijakan bidang hukum. Hal ini berbeda dengan politik hukum nasional yang terdapat dalam Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978 Tahun 197833, Ketetapan MPR No.II/MPR/1983 Tahun 198334, Ketetapan MPR No.II/MPR/1988 Tahun 198835 yang mengisyaratkan bahwa politik hukum unifikasi itu tidak bersifat mutlak atau berlaku untuk

semua materi hukum. Unifikasi hanya berlaku terhadap materi hukum yang mungkin diunifikasikan atau hukum yang bersifat netral seperti hukum pidana. Adapun berkaitan dengan materi hukum yang tidak netral seperti hukum keluarga, tetap diatur sesuai dengan

ketentuan agama masing-masing. Akar-akar politik hukum pluralisme itu sudah tampak, hanya diterapkan dalam konteks terbatas. Namun, sejak diberlakukannya Undang-undang No. 44

Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh

32 Irianto, Sulistyowati, “Kesejahteraan Sosial dalam Sudut Pandang Pluralisme Hukum: Suatu Tema Non-Sengketa dalam Perkembangan Terakhir Antropologi Hukum Tahun 1980-1990-an” dalam T. O. Ihromi (ed.),

Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Yayasan Obor, 2001), hlm. 244

33 Lihat Lampiran Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978 Tahun 1978, Bab IV Pola Umum Pelita Ketiga, Sub Bab D Arah dan Kebijaksanaan Pembangunan, Bagian 3 Hukum, Sub Bagian b poin 1.

34 Lihat Lampiran Ketetapan MPR No.II/MPR/1983 Tahun 1983, Bab IV Pola Umum Pelita Keempat, Sub Bab D Arah dan Kebijaksanaan Pembangunan, Bagian 3 Hukum, Sub Bagian c poin 1

(32)

sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, penerapan unifikasi hukum terbatas dengan

sendirinya terhapus. Kemudian apabila dikaitkan dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, Undang-undang ini mengamanatkan untuk memberikan kesempatan

yang luas kepada daerah untuk mengembangkan berbagai potensinya dan mengubah paradigma pemerintahan yang sangat sentralistik dan serba terpusat, setelah berlakunya undang-undang ini, unifikasi lebih dipahami sebagai satu kesatuan wilayah hukum nasional,

terutama dikaitkan dengan aspek pembinaan aparatur dan hierarki kekuasaannya.

Politik hukum kodifikasi dalam buku ini lebih dilihat sebagai upaya untuk menghimpun

materi hukum tertentu (hukum perdata, hukum pidana, hukum dagang, hukum acara perdata, hukum acara pidana, dan hukum perdata internmasional), yang masing-masing harus terhimpun dan tersusun secara sistematis dalam kitab undang-undang. Hanya saja menurut

Teuku Mohammad Radhie, agar tidak terjadi kemandekan hukum dan tidak menimbulkan konflik antar penduduk, politik hukum kodifikasi hendaknya menganut prinsip kodifikasi

terbuka dan prinsip kodifikasi parsial.

Maksud dari prinsip kodifikasi terbuka adalah bahwa dimungkinkan di luar kitab-kitab undang-undang, terdapat aturan-aturan yang berdiri sendiri. Prinsip ini membuka

kemungkinan untuk mengatur sesuatu yang diakibatkan oleh sesuatu perkembangan baru atau sesuatu perubahan, tetapi tidak ada pengaturannya dalam kodifikasi yang bersangkutan, tetapi

harus dijaga agar antara kodifikasi aturan-aturan hukum di luarnya terdapat hubungan yang erat. Dalam arti, aturan-aturan hukum di luar kodifikasi tersebut selalu harus dapat dikembalikan pada, atau tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam

(33)

Maksud dari prinsip kodifikasi parsial ialah, dalam melaksanakan kodifikasi sesuatu

cabang hukum pokok, kodifikasi tersebut dilakukan mengenai bagian-bagian tertentu saja. Teuku Mohammad Radhie, seperti yang sebelumnya dikemukakan oleh Mochtar

Kusumaatmadja, kodifikasi dilakukan hanya pada bagian-bagian yang tergolong hukum “netral”dan tidak termasuk hukum yang berkenaan dengan kesadaran budaya atau kepercayaan agama.

(34)

Artidjo Alkostar (ed.), Identitas Hukum Nasional, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1997

C. F. G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991

H. M. Wahyudin Husein dan Hufron, Hukum, Politik, dan Kepentingan, (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2008

Imam Syaukani, A Ahsin Thohari, Dasar Dasar Politik Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2013 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1993

Mulyana W. Kusumah dan Paul S. Baut, Hukum, Politik dan Perubahan Sosial, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1988

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986 Padmo Wahjono, (ed.), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1984

Satjipto Raharjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antar Disiplin Dalam Pembinaan Hukum Nasional,Bandung, Sinar Baru,1985

Sri Soemantri Martosoewignjo, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Alumni, 1987

Sri Soemantri Martosoewignjo, Undang-Undang Dasar 1945: Kedudukan dan Aspek-Aspek Perubahannya, Bandung: Unpad Press, 2002

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: ELSAM dan HuMa, 2002

Referensi

Dokumen terkait

Unit Industri Bahan dan Barang Teknik Dinas Perindustrian dan Energi Prov.

Untuk itu kami meminta kepada saudara untuk menunjukan dokumen asli yang sah dan masih berlaku ( beserta copynya ), sebagaimana yang terlampir dalam daftar isian

Dengan demikian, apabila kompensasi dinaikkan dan lingkungan kerja dinyamankan, maka motivasi karyawan menjadi tinggi serta dampaknya pada kepuasan kerja Karyawan

Kontrak Pekerjaan Yang Sedang Dilaksanakan (jika ada) Demikian disampaikan atas perhatiannya diucapkan terima

Seluruh asli dokumen penawaran Saudara yang telah diunggah melalui LPSE

Apabila dalam waktu tersebut perusahaan Saudara tidak hadir dalam pembuktian kualifikasi dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka perusahaan

Make sure that the products or services that you will be offering are desired, do not just decide to open up a store with out doing any market research is like playing craps,

If poker is your game it is a little different, most games depend on luck and all you really need to know if the basics, but poker is totally different because you are playing