• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODAL BUDAYA DAN MODAL SOSIAL DALAM PENG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MODAL BUDAYA DAN MODAL SOSIAL DALAM PENG"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 MODAL BUDAYA DAN MODAL SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN

BADAN OTORITA PARIWISATA WAKATOBI1

Oleh:

Sumiman Udu2

Abstrak

Wakatobi merupakan salah satu destinasi unggulan Indonesia. Saat ini sedang dikembangan kelembagaannya menjadi Badan Otorita Pariwisata Wakatobi. Namun di sisi yang lain, pengembangan pariwisata Wakatobi masih terkendala dengan kurangnya partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Wakatobi hendaknya di tunjang oleh Modal budaya dan modal sosial sehingga partisipasi publik dapat menjadi kekuatan pengembangan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi.

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan etnografi sehingga dapat memahami cara pandang masyarakat, pemerintah dan para pihak dalam pengembangan Badan Otorita pariwisata Wakatobi. Pendekatan ini akan dikombinasikan dengan teori Pierre Bordieau untuk melihat bagaimana peran modal budaya dan modal sosial dalam pengembangan masyarakat di kawasan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Pengembangan Badan Otorita Pariwisata (BOP) Wakatobi harus melibatkan masyarakat, pengusaha dan pemerintah. Untuk itu, keterlibatan masyarakat dalam industry pariwisata Wakatobi hendaknya ditunjang oleh modal budaya dan modal sosial sebagai kekuatan cultural mereka. Oleh karena itu, tuiyang dibingkai dalam konsep pobhinci-bhonciki kuli yang kemudian diimplementasikan dalam (a) pomeamaeka (saling menakutkan), (b) popia-piaraka (saling memelihara), (c) pomamasiaka (saling mengasihi), dan (d) poangka-angkataka (saling menghargai. Dengan modal budaya dan modal sosial tersebut, diharapkan partisipasi publik dalam pengembangan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi dapat lebih maksimal.

Kata kunci: Modal budaya, Modal sosial, Badan Otorita, Pariwisata, Wakatobi

1 Disampaikan dalam Konferensi Internasional Bahasa, Sastra dan Budaya Daerah Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 17-19 September 2017

(2)

2 A.Pengantar

Wakatobi merupakan salah satu destinasi unggulan Indonesia3. Saat ini

sedang dikembangan kelembagaannya menjadi Badan Otorita Pariwisata Wakatobi untuk mendukung pembangunan infrastruktur pariwisata. Namun di sisi yang lain, pengembangan pariwisata Wakatobi masih terkendala dengan kurangnya partisipasi masyarakat khususnya masyarakat yang ada di desa-desa. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata Wakatobi hendaknya ditunjang oleh modal budaya dan modal sosial sehingga partisipasi publik dapat menjadi bagian dari pariwisata di bawah koordinasi Badan Otorita Pariwisata (BOP) Wakatobi.

Setelah Wakatobi salah satu dari sepuluh destinasi Bali baru, maka pemerintah pusat mendorong Badan Otorita Pariwisata yang berada di bawah koodinasi Menteri Koordinator Kemaritiman untuk mendukung pengembangan infrastuktur di Wakatobi. Berbagai langkah telah dilakukan, namun masalah tetap muncul terutama ketika panitia melakukan langkah-langkah persiapan lahan untuk Badan Otorita Pariwisata dengan memberikan zona hampir seluruh wilayah padangkuku4 di pulau Wangi-Wangi, Kaledupa dan Tomia yang notabene adalah milik masyarakat adat.

Isu itupun merebak di tengah masyarakat Wakatobi. Tentunya, banyak pertimbangkan yang perlu dilakukan oleh pihak pemerintah daerah maupun pemerintah pusat di satu sisi, dan pihak masyarakat (Lembaga Adat) yang ada di beberapa wilayah kadhia5 dan kawati6 di Wakatobi di pihak yang lain. Ini disebabkan karena adanya masalah tanah adat yang selama ini dikelola oleh masyarakat adat Wakatobi (Udu, 2012. 877), sementara pemerintah daerah ingin memanfaatkan tanah tersebut sebagai lahan yang akan dikelola oleh Badan Otorita Pariwisata. Sementara Badan Otorita Pariwisata akan memberikan kepada investor untuk mengolah tanah tersebut. Di sini letak kekhawatiran masyarakat adat khususnya kadhia Wanse.

Namun, masalah muncul kemudian setelah Badan Otorita Pariwisata Wakatobi membutuhkan tanah yang cukup luas. Dimana pemerintah daerah mengkapling hampir seluruh tanah adat yang berbentuk padangkuku7 (padang alang-alang). Masyarakat adat melakukan rapat darurat, sementara politik

3http://travel.kompas.com/read/2016/04/04/080300227/Pembentukan.Badan.Otorita.Pariwisat a.Wakatobi.Dipercepat diakses pada tanggal 29 Agust 2017

4Padangkuku merupakan wilayah tanah adat yang pengelolaannya tidak dapat dimiliki tetapi siapapun berhak untuk mengolah, termasuk pendatang (Udu, 2012: 880)

5Kadhia merupakan salah satu wilayah otonom setingkat desa di dalam sistem pemerintahan Kesultanan Buton (Arafah, 2015: 49).

6Kawati merupakan salah satu wilayah otonom yang setingkat desa, tetapi tidak sebesar desa yang ada di dalam sistem pemerintahan Kesultanan Buton.

(3)

3 Wakatobi yang masih memanas pasca Pemilihan Kepala Daerah tahun 2015 silam. Berbagai kepentingan masuk dalam urusan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi akhirnya bermuara pada demosntrasi penolakan yang dimotori oleh tim bupati penang pilkada. Namun, belakangan pemerintah kabupaten Wakatobi kembali memikirkan untuk menerima program pemerintah pusat untuk menerima Badan Otorita Pariwisata Wakatobi.

Di sisi yang lain, melalui hasil rapat Sara Wanse dan kepala-kepala desa se-kecamatan Wangi-Wangi menyepakati untuk tidak menghibahkan tanah adat ke Badan Otorita Pariwisata, melainkan menawarkan kontrak dengan beberapa persyaratan lainnya. Beberapa syarat yang diinginkan oleh masyarakat adat kadhia Wanse adalah (1) Badan Otorita Pariwisata harus mengontrak tanah yang ada di wilayah kadhia Wanse, (2) Badan Otorita Pariwisata harus membina desa-desa wisata yang ada di kadhia Wanse, (3) Badan Otorita Pariwisata harus memberdayakan masyarakat lokal, baik sebagai tenaga kerja, maupun sebagai pemasok bahan baku yang ada di kawasan, (4) Badan Otorita Pariwisata harus memberikan Corporate Social Responsibility (CSR) kepada masyarakat yang ada di kadhia Wanse untuk kepentingan pengembangan sumber daya manusia. Ini dilandasi oleh suatu kesadaran bahwa tanah adat bukan milik generasi yang telah lewat dan hari ini, tetapi tanah adat merupakan titipan generasi yang akan datang. Oleh karena itu, bagi masyarakat kadhia Wanse tanah adat merupakan modal kultural dan modal sosial yang harus tetap dirawat untuk generasi kadhia Wanse di masa yang akan datang.

Di sisi yang lain, soft structure dari pembangunan adalah nilai-nilai budaya dan nilai sosial yang mendasari sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat. Di sini, Badan Otorita Pariwisata Wakatobi berhadapan dengan suatu kenyataan bahwa masyarakat Wakatobi mengalami masalah budaya, terutama adanya pergeseran cara pandang masyarakat yang melihat tanah adat sebagai properti komunal yang harus dijaga dan dilindungi (lihat, Arafah, 2015: 70) yang harus dialihkan kepada kepemilikan individu. Di sana dijelaskan bahwa baik motika maupun padangkuku tidak dapat dibagi atau diperjualbelikan oleh masyarakat setempat, karena itu adalah titipan generasi massa depan yang harus dirawat dan dilestarikan.

Kalau kita merujuk pada pemikiran Pierre Bourdieu tentang modal yang harus dimiliki oleh masyarakat modern, maka ia mengatakana bahwa ada empat modal yang dibutuhkan oleh suatu masyarakat, yaitu : (1) modal budaya, (2) Modal sosial, (3) Modal simbolik dan (4) modal finansial. Dari empat modal itu, modal budaya dan modal sosial merupakan dua modal yang dapat menjadi landasan dalam pembangunan masyarakat8. Ia mengatakan bahwa konsep habitus dipakai untuk

(4)

4 membongkar mekanisme dan strategi dominasi yang dibatinkan -yang selama ini diamati melulu dari akibat-akibat di luar individu.Sementara konsep kapital (modal atau sumber daya), kepemilikan atau komposisinya, kerap dipakai untuk menguasai atau mendominasi suatu masyarakat9.

Bourdieu mengatakan bahwa modal kultural bertindak sebagai bagian penting dari hubungan sosial, terutama dalam konteks hubungan timbal balik. Ia menambahkan bahwa modal budaya berhubungan dengan semua hal termasuk pada hal-hal yang sifatnya simbolik (bdk. Harker, 1990: 13) dan modal budaya bertindak sebagai hubungan sosial dalam sistem pertukaran yang termasuk pengetahuan budaya yang memberikan kuasa dan status (Udu, dkk. 2017: 4).

Selanjutnya, ia mengatakan bahwa modal budaya merujuk kepada aset bukan fiskal yang melibatkan ilmu pendidikan, sosial dan intelektual yang diberikan kepada anak-anak yang tumbuh dan besar di dalam keluarga intelektual modern. Bagi dia, budaya kelas dominan adalah budaya yang disebarkan dan diberi melalui dunia pendidikan, karena budaya ini akan memberikan pengaruh pada kesuksesan seseorang baik dalam bidang akademik, maupun dalam bidang sosial ekonomi. Bourdieu (1973:80) mengatakan bahwa:

“By doing away with giving explicitly to everyone what it implicitly demands of

everyone, the educational system demands of everyone alike that they have what it does not give. This consists mainly of linguistic and cultural competence and that relationship of familiarity with culture which can only be produced by family

upbringing when it transmits the dominant culture.”

Menurut Bourdieu, budaya yang dimiliki oleh mereka yang memiliki kuasa akan berfungsi sebagai budaya yang sah yang dapat menguasai berbagai perbedaan kultur yang berbeda di dalam suatu kebudayaan. Mereka yang didik dengan kebudayaan yang luhur sejak masih kecil, mempunyai kemungkinan untuk dapat sukses dalam dunia pendidikan.

Dengan demikian, modal budaya adalah berbentuk simbolik tidak seperti modal ekonomi yang berbentuk material (finansial). Oleh karena itu, ilmu pengetahuan adalah modal budaya. Modal budaya mentakrifkan bagaimana manusia melibatkan diri antara satu sama lain dan sumber-sumber ekonomi. Ada budaya organisasi yang baik atau buruk, modal budaya dicipta apabila nilai, tradisi, kepercayaan dan bahasa menjadi mata uang yang dapat memanfaatkan modal lain. Modal budaya mempunyai tiga sub-jenis yaitu “embodied”, “objectified” and

institutionalized” (Bourdieu, 1986: 47).

Modal budaya “embodied” modal yang didapatkan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, misalnya bahasa. Modal bahasa dapat

(5)

5 dijelaskan sebagai satu kemampuan untuk menguasai bahasa atau yang berkaitan dengan bahasa (Bourdieu, 1990: 114). Modal bahasa dianggap sebagai satu bentuk

modal budaya ‘embodied’ kerana kemampuan berkomunikasi dibangun oleh budaya dan lingkungan sekitar seseorang. Sedangkan modal budaya “objectified” merupakan modal yang bersifat benda, seperti hasil-hasil karya teknologi dan karya-karya seni. Benda-benda budaya ini dapat diperjualbelikan secara ekonomi. Selanjutnya modal budaya “institutionalized” merupakan modal yang disyaratkan oleh suatu lembaga, dimana modal budaya yang paling diperhatikan adalah pendidikan yang dihasilkan dari dunia akademik. Konsep ini memainkan peranan yang paling penting dalam pasar tenaga kerja, karena modal akademik ini dapat memenuhi ukuran kualitatif dan kuantitatif. Modal ini sangat penting dalam upaya penguatan kelembagaan, karena modal ini dapat memiliki hubungan yang erat dengan kemampuan untuk mendapatkan modal ekonomi. Menurut kerangka kerja Bourdieu, kunci kesuksesan suatu terletak dari modal sosial yang dimilikinya, mereka yang berasal dari lingkungan kerja yang disiplin akan menghasilkan tenaga kerja yang juga disiplin.

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan etnografi sehingga dapat memahami cara pandang masyarakat, pemerintah dan para pihak dalam pengembangan Badan Otorita pariwisata Wakatobi. Pendekatan etnografi merupakan suatu pendekatan dalam kajian-kajian sosial yang berupaya untuk mendeskripsikan suatu kebudayaan dengan tujuan untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli (Spradley, 1997: 3). Hal ini sama dengan yang dikatakan oleh Malinowski (1922: 52) yang mengatakan bahwa tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupannya, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya (Udu, 2012: 878). Pendekatan ini akan dikombinasikan dengan teori Pierre Bordieau untuk melihat bagaimana peran modal budaya dan modal sosial dalam pengembangan masyarakat di kawasan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi. B. Modal Budaya dan Modal Sosial dalam Pengembangan Badan Otorita

Pariwisata Wakatobi

(6)

6 untuk menghadapi perkembangan pariwisata Wakatobi khususnya setelah masuknya Badan Otorita Pariwisata, maka bahasa Wakatobi, Indonesia dan Inggiris sudah harus dikuasi sebagai modal budaya masyarakat Wakatobi.

Selanjutnya, nilai-nilai budaya yang selama ini dimiliki oleh masyarakat Wakatobi merupakan modal budaya yang terus menerus harus dikembangkan. Sebagai contoh, modal budaya yang perlu dikebangkan dalam konteks Badan Otorita Pariwisata Wakatobi adalah konsep tradisi kangkilo (kesucian) yang meliputi : (a) kangkilo awal, (b) kangkilo akhiri harus kembali dihidupkan sebagai modal budaya dalam pembentukan integritas individu yang kemudian dapat menunjang pengembangan integritas sosial yang dibingkai dalam konsep pobhinci-bhonciki kuli yang kemudian diimplementasikan dalam (a) pomaamaeka (saling segan), (b) popia-piaraka (saling memelihara), (c) pomamasiaka (saling mengasihi), dan (d) poangka-angkataka (saling menghargai (bdk, Udu, 2016: 888). Dengan modal budaya dan modal sosial tersebut, diharapkan partisipasi publik dalam pengembangan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi dapat lebih maksimal. C. Modal Budaya dalam Pengembangan Badan Otorita Pariwisata

Wakatobi

Pengembangan pariwisata Wakatobi hendaknya diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena hanya dengan mengangkat isu pariwisata masyarakat Wakatobi dapat terlepas dari kemiskinan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Oka A. Yoeti (2008: 14-15) yang mengatakan bahwa pariwisata merupakan salah satu alternatif pembangunan ekonomi masyarakat. Karena pariwisata mampu menggalakkan sektor-sektor ekonomi lainnya. Bahkan Prof.

Subroto mengatakan bahwa “Pariwisata merupakan suatu sektor ekonomi yang

mampu mengentaskan kemiskinan pada suatu daerah. Dan Pembangunan pariwisata yang dapat mengentaskan kemiskinan adalah pembangunan pariwisata yang mempunyai trickle down effect bagi masyarakat setempat (Republika, 15/9/1993 dalam Yoeti, 2008: 15).

(7)

7 Perjalanan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi yang berbenturan dengan masalah pengelolaan tanah yang merupakan modal budaya masyarakat Wakatobi sampai kini masih terus bekerja untuk mendapatkan tanah di Wakatobi. Namun, setelah berjalan hampir dua tahun, Badan Otorita Pariwisata Wakatobi sudah mengalami perubahan skema peralihan lahan, karena pihak Badan Otorita Pariwisata tidak berpikir untuk melakukan kontrak terhadap tanah-tanah adat, melainkan menugaskan orang-orang untuk membeli tanah-tanah tersebut dari orang perorang yang tidak peduli dengan tanah-tanah adat tersebut. Bahkan di daerah Matahora, tanah-tanah adat tersebut sudah diperjualbelikan oleh masyarakat setempat10. Pada hal, selama ini fungsi tanah adat tersebut berfungsi sebagai tanah komunal tempat mereka menanam ubi kayu dan jagung.

Pergeseran makna tanah yang ada di dalam masyarakat Wakatobi telah menggeser nilai-nilai budaya mereka yang selama ini menjaga prinsip bhara dhi pobhela-bhela akone na togo (jangan kalian buatkan kongsi-kongsi atau persekongkolan jahat kampung ini). Konsep budaya tersebut sudah terbukti mampu menjaga nilai-nilai budaya, baik yang melekat pada properti seperti tanah, maupun nilai-nilai budaya yang melakat pada sistem hidup, bagi mereka tanah adalah harga diri (Udu, 2012: 880).

Perkembangan masyarakat Wakatobi yang disebabkan oleh banyak faktor, telah membentuk masyartakat hedonis yang hanya memandang segala sesuatunya dari segi uang. Beberapa nilai budaya sudah mulai tergeser oleh nilai-nilai materialisme, hingga mereka mampu menggeser konsep mereka tentang tanah. Ini disebabkan oleh semakin melemahnya nilai-nilai dasar dari kebudayaan Wakatobi Buton. Beberapa nilai dasar tersebut, selama ini sudah menjadi modal kultural masyarakat Wakatobi di dalam berbagai ranah kehidupan mereka. Bahkan setelah mereka menjual tanah mereka sebagai modal budaya mereka, masyarakat Wakatobi akhirnya menjadi pekerja pemecah batu pada tanah-tanah yang mereka sudah jual (Udu, 2012: 879).

Pergeseran makna tanah, dari tanah sara11 atau komunal yang harus dilindungi, berubah kepada tanah pribadi yang dapat dijual, merupakan bukti dari melunturnya nilai-nilai kangkilo sekaligus modal budaya dan modal sosial yang melekat pada seseorang dan sara. Pada zaman dahulu, masyarakat Wakatobi akan tetap berpegang teguh pada pemikiran bahwa lebih baik kita mati karena kelaparan dari pada kita makan makanan yang bukan hak kita. Prinsip ini merupakan manifestasi dari nilai-nilai kangkilo yang selama ini telah menjadi modal budaya masyarakat Wakatobi.

10 La Rumadi mengatakan bahwa dalam setiap hari, rata-rata lima sampai enam orang yang datang mencari tanah di sekitar bandara Matahora (Udu, 2012: 881).

(8)

8 Kalau merujuk kepada konsep kangkilo yang selama ini tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Wakatobi, maka kita menemukan bahwa kangkilo merupakan konsep yang menjadi modal budaya dalam pembangunan masyartakat Buton. Kalau kita merujuk pada konsep kangkilo, maka kita menemukan konsep untuk dapat dijadikan sebagai suprastruktur pembangunan kebudayaan Wakatobi Buton, terutama dalam hubungannya dengan pengelolaan tanah. Melalui dua jenis kangkilo yaitu (a) kangkilo awal, (b) kangkilo akhiri sebagai modal budaya dan modal sosial masyarakat Wakatobi dapat bersaing dengan siapa pun, termasuk ketika mereka memasuki Badan Otorita Pariwisata pariwisata Wakatobi. Karena modal budaya tersebut akan menghidupkan integritas individu dan integritas sosial yang baik.

Melemahnya nilai-nilai kangkilo dalam masyarakat Wakatobi telah berdampak pada adanya keinginan beberapa orang untuk menjual tanah adat ke para cukong yang mencari tanah untuk kepentingan Badan Otorita Pariwisata. Mereka sudah tidak takut lagi untuk mengotori dirinya, anak-anaknya dengan uang haram yaitu harga tanah adat yang terlebih dahulu diklaimnya. Mereka sudah tidak peduli dengan masa depan generasinya, yang mereka pentingkan adalah hawa nafsu mereka dari pada mereka berjuang untuk tetap berpihak kepada kebenaran sesuai dengan nilai-nilai kangkilo yang selama ini tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Wakatobi.

Pada untuk dapat melibatkan masyarakat Wakatobi dalam Badan Otorita Pariwisata Wakatobi nilai-nilai budaya sebagai modal budaya harus tetap dikembangkan. Mengingat masyarakat dapat berpartisipasi melalui nilai-nilai modal yang mereka miliki. Tapi ketika modal kultural dalam bentuk tanah ulayat, nilai-nilai kekeluargaan dan berbagai modal budaya mereka hilang, maka masyarakat akan menjual properti adat mereka berupa tanah, dan itu artinya tatanan adat hilang dan nilai-nilai sejarah dan budaya yang melakat juga akan hilang.

Kasus tanah adat sara Mandati yang saat ini berada di dalam wilayah adminsitrasi desa Matahora yang sudah dijual secara pribadi, menunjukan bahwa peran di masa yang akan datang, masyarakat adat Mandati dan khususnya masyarakat desa Matahora akan kehilangan ruang untuk berpartisipasi secara baik di dalam Badan Otorita Pariwisata Wakatobi. Mereka hanya akan menjadi penonton di tengah pembangunan pariwisata Wakatobi.

(9)

9 kendaraan (Udu, 2012: 881-882). Orang bisa banyak uang tetapi belum tentu mampu membeli makanan, jika makanan tidak ada yang jual.

Melalui penghayatan mengenai nilai-nilai kangkilo awalu (kebersihan awal) masyarakat adat Wakatobi hendaknya menghadapi Badan Otorita Pariwisata Wakatobi dengan tetap merawat aset budaya mereka. Mereka harus memiliki prinsip bahwa tanah adalah titipan generasi mendatang yang saat ini kita olah. Masyarakat harus merasa bahwa memakan harga tanah adat adalah dapat mengotori rasa, pikiran dan tubuh mereka. Di sinilah nilai-nilai budaya bekerja untuk menjaga dan merawat tanah adat dalam konteks pariwisata Wakatobi.

Jika tanah adat dijaga dan difungsikan secara maksimal, maka sebenarnya para wisatawan dapat belajar dari tata kelola tanah adat di Wakatobi. Tetapi jika tanah adat dihancurkan dengan cara dibeli melalui orang-orang yang tidak bertanggung jawab, maka sebenarnya negara (Badan Otorita Pariwisata) Wakatobi berkontribusi dalam proses pengrusakan tata nilai adat yang tersimpan di dalam sistem tata kelola tanah sara di dalam masyarakat Wakatobi.

Hilangnya nilai kangkilo akhiri pada masyarakat Wakatobi menyebakan banyaknya kerusakan moral di dalam masyarakat. Mereka melakukan tindakan tanpa mempertimbangkan tentang dampaknya akan merugikan orang lain atau tidak. Kasus penjualan tanah-tanah sara yang dimulai dari perampasan dan atau penyerobon merupakan manisfestasi dari hilangnya kangkilo akhiri dari diri seorang manusia Wakatobi. Karena jika tidak hilang atau masih bersembunyi, maka mereka akan tetap menjaga jangan sampai mereka merusak alam, termasuk menyakiti sebuah rasa. Namun, realitas menunjukan bahwa banyaknya masyarakat yang ingin menjual tanah adat, merampas dan menjualnya ke Badan Otorita Pariwisata dan pihak swasta lainnya merupakan proses pengrusakan nilai-nilai adat yang berat.

(10)

10 selalu memenangkan penggugat dari masyarakat adat, akan berdampak pada hilangnya tanah-tanah sara di Wakatobi (lihat Udu, 2012: 881).

D. Modal Sosial dalam Pengembangan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi

Salah satu modal sosial masyarakat Wakatobi dalam menghadapi Badan Otorita Pariwisata Wakatobi adalah adanya kelembagaan adat yang kuat. Melalui lembaga adat dibawah koordinasi barata Kaedupa dan jaringan desa wisata, peran masyarakat dalam industri pariwisata Wakatobi akan lebih kuat. Ini tentunya harus didorong oleh pemerintah daerah dan pusat, sehingga sinergitas antara masyarakat, pengusaha dan pemerintah dapat berjalan dengan baik.

Konsep bhinci-bhinciki kuli yang merupakan modal sosial masyarakat Wakatobi Buton hendaknya dapat menjadi ukuran setiap pengembangan pariwisata dalam konteks Badan Otorita Pariwisata Wakatobi. Konsep ini seharusnya terjadi dialog antar lembaga, masyarakat adat, desa, pemerintah daerah dan pusat (Badan Otorita Pariwisata) dalam merencanakan pembangunan pariwisata Wakatobi. Dimana antarlembaga tersebut dapat membangun suatu dialog yang saling menghargai (poangka-angkata). Kalau tidak, maka akan terjadi benturan kepentingan antara masyarakat adat di satu sisi, dengan pemerintah daerah, pemerintah pusat di sisi yang lain. Belum lagi hadirnya Badan Otorita Pariwisata di Wakatobi diharapkan tidak membuat rumit masalah sosial, tetapi justru menjembatani masalah-masalah adat, pemerintah daerah, pusat yang selama ini terjadi di Wakatobi.

Konsep budaya pobhinci-bhinciki kuli yang kemudian direpresentasikan dalam sara patanguna yaitu (a) pomaamaeka (saling segan), (b) popia-piaraka (saling memelihara), (c) pomamasiaka (saling mengasihi), dan (d) poangka-angkataka (saling menghargai. Keempat konsep itu harus didasarkan pada hukum tertinggi yaitu rasa kemanusiaan.

Keempat hukum dasar dalam kebudayaan Wakatobi Buton itu hendaknya dijadikan sebagai landasan sosial dalam pengembangan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi. Dimana harus dibangun jaringan lembaga adat yang berbasis kadhia, wati dan jou di bawah koordinasi sara barata Kaedupa untuk bersinergi dengan desa-desa adminstrasi di wilayah masing-masing. Mereka harus mengimplementasikan kembali nilai-nilai lama yaitu (a) pomaamaeka (saling segan), (b) popia-piaraka (saling memelihara), (c) pomamasiaka (saling mengasihi), dan (d) poangka-angkataka (saling menghargai. Dalam membangun kerja sama antara lemabaga tersebut.

(11)

11 wisata yang unggul sebagaimana harapan masyarakat dan pemerintah, baik daerah maupun pemerintah pusat.

Tentunya, kehadiran Badan Otorita Pariwisata Wakatobi hendaknya menjadi motor yang dapat menggerakan masyarakat untuk bekerja dengan tidak meninggalkan modal budaya dan modal sosial mereka, sehingga terbanguan jaringan pariwisata yang saling mengutungkan, baik pengusaha yang bergabung dalam Badan Otorita Pariwisata maupun masyarakat lokal yang berbasis pariwisata desa dan adat.

Pembangunan pariwisata desa hendaknya didorong di setiap desa, sehingga masing-masing desa memiliki ruang untuk berpartisipasi dalam pembangunan pariwisata Wakatobi. Lembaga-lembaga adat yang berbasis desa adat atau kadhia harus dibangun pariwisatanya. Jika setiap desa adat (kadhia) dan desa administrasi membangun wisata, maka tidak partisipasi publik dapat dalam pariwisata Wakatobi akan lebih maksimal.

Untuk lebih memaksimalkan peran masyarakat dalam Badan Otorita Pariwisata Wakatobi hendaknya dilakukan sesuai dengan modal sosial yang selama ini mereka miliki. Karena jaringan sosial yang dibangun di atas landasan rasa kemanusiaan, akan lebih bertahan jika hanya dibangun di atas keuntungan ekonomi semata. Karena nilai-nilai sosial religiuslah yang akan bertahan dalam konteks pembangunan dimana pun.

Jika seorang pelaku wisata yang ada disetiap desa memiliki konsep saling menyayangi, saling memelihara, saling menjaga dan saling menghormati, maka mereka akan memiliki harapan untuk membangun pariwisata Wakatobi untuk dapat bersaing dengan daerah-daerah wisata lainnya di Indonesia. Ali Rosdin (2015: 121) mengatakan bahwa sifat saling memelihara merupakan perbuatan saling memelihara yang dipicu oleh rasa kekeluargaan, rasa tanggung jawab dan rasa kebersamaan atas dasar kemanusiaan semata. Ini menunjukan bahwa pelaku wisata akan selalu berpikir untuk memelihara hubungannya dengan Tuhan, Manusia dan alam semesta, dapat berdampak pada bagaimana mereka akan selalu menjaga hubungan mereka dalam melayani wisatawan. Selanjutnya, kalau mereka mampu memelihara lingkungan mereka, sehingga akan terlahir konsep pariwsata lingkungan yang berkelanjutan. Nur Arafah (2015: 69) mengatakan bahwa pengelolaan hutan berbasis masyarakat ada telah terbukti selama berabad-abad. Sebaliknya, ketika kebijakan pemerintah tidak melibatkan masyarakat adat, maka secara tidak langsung mempercepat kerusakan hutan di di wilayah adat kadhia Wanse dan Mandati.

(12)

12 Konsep saling menyangini merupakan salah satu konsep yang harus dihidupkan pada setiap pelaku wisata, baik wisata desa, kadhia, maupun industri pariwisata yang dibangun oleh pengusaha. Kerja sama antarlembaga tersebut harus dibangun di atas konsep saling menyayangi. Pengusaha akan menyayangi desa-desa wisata, dan wisata desa adat kadhia, dengan menjadikan desa-desa wisata tersebut sebagai bagian dari produk mereka ketika melakukan promosi wisata. Bila perlu dibangun paket wisata yang satu dengan industri. Sebaliknya, masyarakat desa yang membangun pariwisata desa harus menghormati industri wisata yang sudah membantu mereka dalam promosi dan pemasaran.

Dengan demikian, untuk pengembangan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi harus ditunjang oleh penguatan modal budaya dan modal sosial sehingga masyarakat tidak kehilangan ruang untuk berpartisipasi secara maksimal. Hanya dengan partisipasi masyarakat luas, pengembangan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi dapat mensejahterakan masyarakat di sekitar pariwisata. Karena tanpa efek yang baik kepada masyarakat sekitar, pariwisata sangat sulit untuk berkembang secara maksimal.

E. Penutup

Pengembangan pariwisata Wakatobi hendaknya dibangun atas kerja sama seluruh elemen, mulai dari pariwisata berbasis desa wisata, pengusaha, pemerintah pusat dan daerah harus dibangun di atas konsep kangkilo dan bhinci-bhinciki kuli sebagai modal budaya dan modal sosial. Dimana setiap individu harus memiliki konsep untuk menjaga diri mereka dari masalah ketidakjujuran, kebohongan, yang pada akhirnya melahirkan kredibilitas yang hilang dan saling tidak percaya.

(13)

13 F. Daftar Pustaka

Arafah, Nur. 2015. Adaptasi Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Hutan di Pulau-pulau Kecil. Kendari: Penerbit Oceania Press.

Bourdieu, P. 1986. “The Forms of Capital”, in Richardson, J. (eds) Handbook of Theory and Reserch for The sociology of Education. New York: Grewood Press. NY, pp 241-258.

Bourdieu, Pierre. 1996. Distinction : a social critique of the judgement of taste. Cetakan ke-8, translated by Richard Nice. Cambridge. Harvard University Press

Harker, R., (1990) "Education and Cultural Capital" in Harker, R., Mahar, C., & Wilkes, C., (eds) (1990) An Introduction to the Work of Pierre Bourdieu: the practice of theory, Macmillan Press, London.

La Ode La Ode Taalami. 2008. Mengenal Kebudayaan Wakatobi. Jakarta: Penerbit Granada.

Malinowski, Bronislaw. 1922. Argonoust of The Western Pacific. London: Routledge.

Rosdin, Ali. 2015. Nilai-Nilai Kehidupan Masyarakat Buton: Sumbangan Kabhanti Anjonga Yinda Malusa untuk Revolusi Mental Indonesia. Kendari: Penerbit Oceania Press.

Spradley, James P.. 1997. Metode Etnografi (terj. Misbah Zulfa Elizabeth). Yoogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta.

Udu, Sumiman 2015. “Kangkilo sebagai Nilai Dasar Kebudayaan Wakatobi Buton:

Suatu Tatanan yang Terlupakan” dalam Gau Satoto: Kearifan Lokal Orang Wakatobi. Yogyakarta: Framepublishing bekerja sama Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi.

Udu, Sumiman dkk.. 2017. Cultural Capital And Social Capital Community Wakatobi: Pierre Bourdieau Analysis. Makalah yang disampaikan dalam Seminar Antarbangsa Asbam 2017 Johor Bahru, Malaysia Kerjasama antara Universitas kebangsaan Malaysia dengan Universita Hasanuddin.

Udu, Sumiman. 2012. “Pengembangan pariwisata dan hilangnya tanah-tanah sara di Wakatobi: Kajian atas Perlawanan Masyarakat Adat” dalam Prosiding the 4th International Conference on Indonesian Studies: Unity, Dibersity and Changes. Jakarta: International Conference and Summer School on Indonesian Studies (ICSSIS) bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Udu, Sumiman. 2016. “Tradisi Bhanti-bhanti: Imajinasi Kolektif Masyarakat

(14)

14 dalam Menggapai Masyarakat Ekonomik Asean (MEA). Lampung: Program Studi Magister Pendidikan Bahasa, Sastra dan Daerah (MPBSD) bekerja sama dengan Ikatan Dosen Budaya Daerah Indonesia (IKADBUDI).

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian mengindikasikan bahwa (1) Modal Sosial berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja tenaga medis di RSUD Kabupaten Kepulauan Talaud (2) Budaya

Faktafakta di lapangan sesuai dengan keenam proposisi dalam Speech Codes Theory, bahwa selalu terdapat perbedaan kode- kode berbicara dalam budaya yang berbeda yang tentunya

Terkait dengan penelitian ini, dampak pemanfaatan Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global terhadap sosial budaya masyarakat setempat tidak dapat secara cepat

 Jonathan Portes (1998) : Modal Sosial merupakan suatu konsep dengan berbagai definisi yang saling terkait yang didasarkan pada nilai jaringan

36 Menurut Fukuyama manusia tidak dapat memisahkan kehidupan ekonomi dengan kehidupan budaya dan di era modal sosial sudah sepenting modal fisikal,

Menurut informan kunci, dalam proses akulturasi hendaknya memilih nilai- nilai positif yang dapat diambil dari budaya Jepang tanpa harus meninggalkan nilai-nilai

2 Berangkat dari pendapat bahwa modal sosial memiliki peran penting dalam pembangunan termasuk dalam pariwisata ini maka penelitian ini mencoba mengkaitkan modal sosial

Hasil penelitian mengindikasikan bahwa (1) Modal Sosial berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja tenaga medis di RSUD Kabupaten Kepulauan Talaud (2) Budaya