• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Hukum Islam KUltural Dalam UU Pe (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Politik Hukum Islam KUltural Dalam UU Pe (1)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK HUKUM ISLAM KULTURAL DALAM

UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN1

Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang

Islam merupakan agama yang memiliki penganut mayoritas di Indonesia

merupakan sebuah realita.2 Tentu saja hal tersebut tidak dapat terjadi seketika,

akan tetapi disinyalir ada beberapa penyebab yang melatarbelakanginya. Salah

satunya adalah adanya akulturasi budaya lokal Indonesia yang kental dengan adat

ketimuran dengan budaya Islam, yang boleh jadi dianggap memiliki corak atau

bahkan konsep yang tidak jauh berbeda, paling tidak dalam esensinya.3

Islam termasuk di dalamnya hukum4 dan politik sebagai konsep yang

terintegrasi dan dibangun berdasarkan agama Islam tentusaja harus mengikuti alur

yang diajarkan oleh Agama Islam yang bersumber dari dua sumber hukum utama

yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah. Dalam konsep keyakinan umat Islam, maka

konsep Islam harus dipercaya sebagai konsep yang terbaik dan solutif bagi

permasalahan dunia sepanjang zaman, karena karakter hukum Islam itu sendiri

dipastikan sesuai dengan berbagai zaman.5

1 Makalah ditulis oleh Nurjamil, NPM. 110120120042, PK. Hukum Bisnis, untuk memenuhi tugas akhir mata

kuliah Politik Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Tahun Pelajaran 2012.

2 Jumlah warga negara Indonesia yang beragama Islam pada akhir tahun 2012 adalah, sekitar 84 % dari

keseluruhan jumalh penduduk Indonesia. Bandingkan dengan...

3 Sejarah mencatat paling tidak ada dua pendapat yang berbeda mengenai datangnya Islam di Indonesia.

Pertama Islam datang pada abad ke 7 H sebagaimana pendapat sejarawan muslim, dan kedua, Islam datang pada abad ke 14 sebagaimana dikatakan oleh para sejarawan barat. Islam hadir dalam bentuk penerapan pendapat madzhab fiqih, terutama yang dominan madzhab Imam Syafi’i. Bandingkan dengan Amir Syarifuddin, Meretas kebekuan Ijtihad, Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, Ciputat Press, Tangerang, 2005, hlm. 27

4 Istilah Hukum Islam sama sekali tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, sebagai sumber hukum

utama agama Islam, yang ada adalah Hukum, Islam, Syari’ah dan Fiqh. Istilah hukum Islam, adalah istilah untuk syariah dan fiqh yang diindonesiakan. Lihat idem, hlm. 25

(2)

Dikarenakan karakternya yang fleksibel, dalam tataran praktik, tidak dapat

dipungkiri apabila kemudian muncul dua aliran besar mengenai konsep Islam itu

sendiri, termasuk di dalamnya pemkiran mengenai penerapan hukum Islam.

Pertama yaitu pandangan yang tekstual yang mengutamakan simbolik formal.

Islam menurut pandangan ini tidak cukup dilaksanakan oleh individu sebagai

ajaran agama, akan tetapi harus menjadi aturan resmi bahkan jika perlu Islam

menjadi simbol dan dasar negara. Dan kedua, golongan yang berpaham

konstekstual atau dikeal dengan Islam kultural, yang menginginkan hukum Islam

berlaku tetapi tidak mengutamakan simbol-simbol struktural. Menurut pandangan

ini, yang paling penting adalah sesensi dari ajaran Islam itu sendiri yang mewarnai

konsep sebuah aturan, tanpa harus menyertakan label Islam di luarnya.6

Dalam pandangan penulis, permasalahan yang muncul kemudian adalah

faktor pemahaman umat Islam Indonesia itu sendiri mengenai penerapan hukum

Islam dalam setiap aspek kehidupan. Penyebabnya boleh jadi karena belum

disadarinya hukum Islam sebagai konsep yang komprehensif. Kesyumulan

(komprehensif) hukum Islam dalam menjawab tantangan permasalahan dewasa

ini, masih banyak yang meragukan. Islam sering dibenturkan dengan kecanggihan

teknologi, dan banyak dikesankan kaku dan bahkan kuno. Bahkan berkaitan

dengan hukum, Islam sering dijustifikasi sebagai hukum yang bersebrangan

dengan konsep Hak Asasi Manusia.7

Perlu dicatat bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,

sesungguhnya sangat dihargai dalam agama Islam. Dengan kata lain, yang

Aksara, Jakarta, 1999, hlm. 11

6 Bandingkan dengan Munrokhim Misanam, et.all, Ekonomi Islam, Rajawali Perss, Jakarta, 2007, hlm. 13

7 Konsep HAM lahir setelah adanya sekularisasi atau pemisahan yurisdikasi greja dan raja pada abad ke 13 dan

(3)

menjadi salah satu akar masalah mandegnya internalisasi konsep hukum Islam

(syari’ah)8 termasuk di dalamnya mengenai diberlakukannya hukum Islam dalam

lingkup yang lebih besar, yakni sistem hukum nasional, adalah dikarenakan

konsep hukum Islam merupakan satu hal yang masih asing bahkan bagi kalangan

umat Islam itu sendiri.

Dalam tataran sistem hukum nasional yang menggunakan konsep mix

system, artinya percampuran antara hukum aliran Eropa Kontinental (Civil Law),

hukum adat dan hukum Islam9, maka implementasi konsep-konsep Islam dalam

sebuah peraturan yang baku, mengikat dan memiliki daya paksa, yang diwujudkan

dalam bentuk sebuah peraturan perundang-undangan, seharusnya tidak menemui

kendala, alih-alih diyakini sebagai unsur pembentuk hukum yang mewarnai

hukum positif di Indonesia, baik dari sisi materi, budaya maupun struktur

hukumnya.10

Sekali lagi, Indonesia memiliki keunikan tersendiri, karena yang menjadi

sumber dalam pembentukan hukum, dalam hal ini lebih ditekankan dalam arti

undang-undang, adalah percampuran antara hukum adat lokal masyarakat

Indonesia, hukum Islam dan hukum peninggalan kolonial Belanda. Artinya secara

sadar, materi hukum Islam pada dasarnya diakui dan berlaku bagi penduduk yang

beragama Islam, bahkan sejak penjajahan kolonial Belanda.11

8 Lebih detail mengenai tema syari’ah dianggap sering dirancukan dengan tema serupa, yaitu; fiqih. Secara cermat Moch. Mahfud MD membedakannya. Menurut Mahfud MD, syariah adalah hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang sifatnya baku dan tidak diperkenankan untuk diubah, sementara fiqih sifatnya lebih fleksibel, karena merupakan hukum yang bersumber dari hasil penafsiran atau ijtihad para ahli fiqih (ulama/hakim).

9 Bandingkan dengan Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Rafika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 31 sebagaimana dikutip dari Wayne R. Barnes, Contemplating A Civil Law Paradigm For a Future International Commercial Code, Lousiana Law Review 677, 2005, hlm. 685.

10 Bandingkan dengan Moch. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Op.Cit, hlm. 5, dikutip dari Lawrence M. Firedman dalam bukunya A History of American Law, an Introduction, New York, Simon and Schuster, 1973, bahwa unsur utama yang membentuk sistem hukum adalah materi hukum, struktur dan budaya hukum.

11 Hukum Islam sesungguhnya sudah berlaku di Indonesia jauh sebelum Belanda bercokol dan menguasai

(4)

Sebagai penduduk mayoritas, tentunya umat Islam memiliki kepentingan

yang besar, agar konsep hukum Islam dapat menjadi aturan yang mengikat dan

kalau perlu berbentuk sebuah undang-undang. Untuk Indonesia yang

penduduknya plural, perjuangan hukum Islam lebih dianjurkan untuk mengikuti

pola kultural dan mengesampingkan gerakan simbolik-formal. Yang paling perlu

diperjuangkan adalah nilai-nilai substantif ajaran Islam agar dapat mengakar kuat

dan bahkan menjadi unsur yang mewarnai materi sebuah peraturan

perundang-undangan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang merupakan wujud

aspirasi penerapan prinsip-prinsip syariah dalam peraturan perundang-undangan

dan dianggap sebagai produk dari perjuangan politik hukum Islam kultural adalah

diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Dari uraian di atas, kemudian yang menjadi pertanyaan besar bagi penulis

adalah mengenai pengaruh hukum Islam kultural tersebut terhadap arah kebijakan

politik hukum Islam di Indonesia sendiri. Dalam hal yang penulis anggap menarik

untuk ditelaah adalah mengenai bidang hukum perkawinan yang kemudian

penulis rangkum dalam makalah dengan judul Politik Hukum Islam Kultural

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana pengaruh ajaran Islam kultural terhadap politik hukum Islam di

Indonesia?

2. Bagaimana arah kebijakan politik hukum Islam Indonesia dihubungkan

dengan diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan?

(5)

Bab II

Islam Dan Politik; Suatu Telaah Perbandingan A. Islam dan Politik; Mungkinkah Bersatu?

Tema mengenai Politik di dalam Islam merupakan tema yag sangat penting

dan tetap menarik untuk didiskusikan. Secara konsep ternyata terjadi perdebatan

yang cukup panjang di antara cendekiawan muslin itu sendiri. Pendapat pertama

berpandangan bahwa Islam hanya merupakan hubungan antara manusia dengan

Tuhannya, sehingga urusan duniawi termasuk politik di dalamnya merupakan

urusan yang terpisah dari agama. Golongan ini mengatakan bahwa “innad diina

syai-un wasiyasatu syai-un a-khar” artinya bahwa sesungguhnya agama adalah

suatu hal dan politik adalah suatu hal yang lain. Pendapat kedua mengatakan

bahwa Islam mempunyai konsep dan aturan yang lengkap, bukan hanya mengenai

hubungan antara manusia dengan Tuhannya tapi juga urusan manusia dengan

sesamanya, termasuk di dalamnya aturan berpolitik.12

Mengenai dua perbedaan pendapat di atas, penulis cenderung memiliki

pemikiran yang sama dengan pendapat kedua. Dalam pandangan penulis justru

letak lengkapnya konsep Islam itu terletak di sana. Sebaliknya ketika Islam

dipandang sebagai aturan yang terpisah dengan dunia, yang secara tegas

melebarkan jarak dengan politik, penulis melihat hal tersebut akan menjadi titik

kelemahan Islam itu sendiri. Saat ini dunia sedang sibuk dengan mempersempit

jarak dan sekat antar negara dengan adanya globalisasi yang melibatkan umat

Islam di dalamnya. Sebuah keniscayaan ternyata hubungan antar negara dan

bangsa tidak ddibatasi oleh perbedaan agama, budaya dan bahasa sekalipun. Jika

(6)

demikian, bagaimana jadinya umat Islam jika menutupmata dari perkembangan

dunia.

Sekali lagi penulis cenderung mengatakan bahwa Islam secara jelas

mengatur bagaimana caranya berpolitik. Senada dengan pandangan penulis,

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy bahwa tata aturan Islam sesungguhnya

merupakan tata aturan yang bersipat politik dan bersipat agama.13 Sebagai rujukan

beliau juga gambarkan mengenai sejarah pembentukan negara Islam di Madinah

oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya merupakan tata aturan yang

sangat kental dengan politik, yang dikenal dengan konsep syura..14

Sebagai catatan, ternyata sejarah politik Islam di kemudian hari juga

sangat dipengaruhi oleh warisan Romawi dan persia. Sebagaimana Rusjdi Ali

Muhammad mengatakan:15

“Dari kenyataan sejaharh, masa kira-kira 30 tahun pertama sejarah Islam setelah wafat Nabi Muhammad saw, sejarah Islam tidak mengenal sistem politik dinastik dan sistem kerajaan. Tetapi dalam perkemabangan lebih lanjut, akibat kuatnya pengaruh warisan Romawi dan Persia sejak zaman Khalifah Umayyah (tahun 661-749M), maka doktrin politik egaliter tersebut terbenam di bawah pengaruh tersebut”.

B. Konsep Islam Tentang Politik dan Hukum

Berbicara tentang bagaimana konsep yang ditawarkan Islam mengenai

politik dan hukum tentu saja memerlukan waktu dan kesempatan yang lebih

khusus. Hal tersebut dikarenakan dua hal tersebut merupakan tema yang sangat

luas cakupannya, sehingga pada sub bab ini penulis hanya mendeskripsikan

beberapa hal yang menurut penulis dapat mewakili gambaran mengenai politik

dan hukum di dalam Islam.

13Idem, hlm. 5

14 Sebagai contoh konkrit adalah proses pemilihan Abu Bakar r.a. sebagai khalifah selepas wafatnya Rasulullah

saw. Ketika itu diadakan pertemuan penting yang dihadiri oleh para tokoh dari berbagai klan atau kabilah untuk membahas mengenai keadaan umat dan negara serta menentukan aturan pemilihan pemimpin yang akan meneruskan kepemimpinan Rasulullah saw. Bandingkan dengan Idem, hlm. 7

15 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi, Menuju

(7)

Secara sederhana gambaran tentang politik atau dalam literatur keislaman

sering disebut dengan istilah siasah islam meliputi beberapa hal berikut16:

1. Siasah Islam menghormati eksistensi kemanusiaan dan akal sehat

(dasar-dasar dan prinsipnya sejalan dengan tata alamiah)

2. Siasah Islam merupakan sistem yang mutlak adil, tidak membedakan

manusia berdasarkan ras, keturunan, serta harta kekayaan dan

beranggapan bahwa semua manusia sama di hadapan hukum (equal

before the law).17

3. Siasah Islam konsisten dengan syarat-syarat seorang pemimpin yakni

kesatriaan, kemuliaan, keimanan, ketakwaan, kebersamaan,

kekeluargaan, dan pengalamannya dalam urusan agama dan dunia. 4. Siasah Islam merupakan bagian dari satu sistem yang menyeluruh dan

cara hidup yang total (kaafah).

5. Tidak ada tempat bagi pemikiran sekuler yang memisahkan dunia dari

agama. Siasah Islam adalah bagian dari agama.

Sementara berkaitan dengan hukum, pandangan umum hukum sering

diartikan sebagai kaidah atau norma yang hidup sebagai pedoman pergaulan di

dalam masyarakat yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan sanksi dan

diterapkan oleh lembaga yang berwenang sebagai aturan yang mengikat. Artinya

kaidah yang belum diterapkan oleh lembaga yang berwenang (seperti parlemen)

secara kategoris tidak disebut hukum, meskipun secara harfiah sering disebut

hukum.

Senada dengan hal di atas, Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa, ciri yang

menonjol hukum yang “murni”, yaitu dibuat secara sengaja oleh suatu badan

16 Abu Ridha, Islam dan Politik; Mungkinkah Bersatu?, Syamil Cipta Media, Bandung, 2004, hlm. 53-58

17 Praktik penegakkan hukum Islam dalam suasana masyarakat yang heterogen dan dijalankan dengan sempurna

(8)

perlengkapan dalam masyarakat yang khusus ditugasi untuk menjalankan

penciptaan dan pembuatan hukum itu.18

Menurut Mahfud MD, Hal yang mendasari pemikiran tentang hukum,

adalah adanya aturan main dalam kehidupan bermasyarakat yang menciptakan

ketertiban. Dasar pemikiran tersebut digambarkan dalam adagium “ubi societas

ibi ius”, yang artinya “di mana ada masyarakat di sana ada hukum”. Dari adagium

tersebut jelas, bahwa hukum hanya ada di tengah-tengah masyarakat, sehingga

jika orang hidup sendiri (meskipun tidak mungkin) maka hukum dapat dikatakan

tidak ada. Orang menjadi terikat pada hukum karena dia hidup dengan orang lain

yang mempunyai kepentingan masing-masing. Dalam menaati hukum, adagium

tersebut, ternyata masih memberikan peluang bagi manusia untuk melakukan

pelanggaran, apabila merasa hidup sendiri atau merasa perbuatannya tidak

diketahui oleh orang lain 19

Dalam konsep Islam, hukum itu ada tanpa harus seseorang hidup dengan

orang lain. Meskipun seumpamanya orang hidup sendiri, hukum itu ada karena

hukum diberlakukan sebagai alat kontrol dan pengatur hidup seseorang sebagai

khalifah baik ketika berhubungan dengan manusia lain, maupun hubungannya

pribadinya dengan Tuhan. Dengan prinsip seperti itu, ketaatan seseorang dituntut

untuk selalu konsisten, kapan dan dimanapun ia berada karena selalu merasa

diawasi Tuhan, sekalipun tidak ada orang yang mengetahui.

C. Antara Islam Struktural dan Islam Kultural; Sebuah Kajian Perbandingan Penerapan hukum Islam dengan segala konsepnya20 sejak islam berkuasa

dimulai dengan didirikannya negara Islam di madinah sampai dengan runtuhnya

18Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan ke 6, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 15

19 Mahfud MD, Op.Cit, hlm.

20 Konsep yang dimaksud adalah penerapan hukum Islam dalam bentuk syari’ah dan fikih. Syariah memiliki

sejarah yang singkat, yaitu ketika Nabi memulai dakwahnya di Mekah dan di Madinah, kurang lebih 23 tahun. Sedangkan fikih berkembang sejak masa kenabian sampai sekarang. Bandingkan dengan M. Khoirul Anam,

(9)

Islam setelah perang salib, sampai saat ini telah mengalami pasang surut.

Penerapannya di negara-negara tertentu seperti, Iran, Arab Saudi, Yordania,

Malaysia dan Indonesia telah mengalami banyak perkembangan dan perubahan

aplikasi tanpa meninggalkan esensi. Hal tersebut dikarenakan sejak awal konsep

mengenai politik dan hukum Islam itu sendiri telah berbeda, antara Islam yang

tekstual dan kontekstual.

Dilihat dari penerapan hukum Islam, dalam membumikan hukum Islam itu

sendiri, tampaknya di Indonesia belakangan semakin mengkrucut menjadi dua

gerakan. Yang pertama, gerakan formal-struktural, biasanya disebut Islam politik

atau Islam struktural. Gerakan ini memperjuangkan Islam menjadi simbol atau

wadah formal dalam organisasi negara, mulai dari bentuk yang paling tinggi,

yakni mernjadi negara Islam sampai menjadikan hukum Islam resmi seperti

Undang-Undang atau Kanun. Yang kedua, gerakan Islam kultural yang

menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai substantif tanpa melibatkan simbol

Islam dan tidak mengharuskan berdirinya negara Islam atau memformalkan

hukum Islam melalui kekuasaan negara.21

Penulis secara pribadi melihat kedua gerakan tersebut mempunyai

kelebihan dan kekurangan masing-masing yang di saat yang bersamaan akan

dapat saling melengkapi dan pada kesempatan yang berbeda mempunyai nilai

efektifitas tersendiri. Konteks keIndonesiaan sebagaimana disinggung di awal,

ternyata lebih tepat apabila memilih gerakan yang kedua (Islam kultural) sebagai

kendaraan untuk menerapkan hukum Islam.

(10)

Bab III

UU Perkawinan Sebagai Formalisasi Hukum Islam A. Hukum Islam di Indonesia Dalam Lintasan Sejarah

Pada masa penjajahan Belanda, sesungguhnya hukum Islam sudah berlaku

di Indonesia berdasarkan pada dua teori, yakni teori Receptie in Complexu yang

dikemukakan oleh Lodewijke Willem Cristian Van den Berg (1845-1927) yang

dalam tahun 1884 menulis buku Muhammadan Recht (asas-asas hukum Islam),

yang intinya menyatakan bahwa “hukum Islam diperlukan bagi orang-orang Islam

Bumi Putra walaupun dengan sedikit penyimpangan-penyimpangan”22.

Pendapat ini sesuai dengan Reegering Reglement (Stb 1884 No.129 di

negeri Belanda jo. Stb 1885 No.2 di Indonesia, terutama diatur dalam pasal 75,

pasal 78, jo Pasal 109 RR tersebut). Pasal 75 ayat (3) RR tersebut mengatur : “

apabila terjadi sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang beragama

Islam oleh Hakim Indonesia haruslah diperlakukan Hukum Islam Gonsdienting

Wetten dan kebiasaan mereka”.23

Kemudian terdapat teori receptie yang menentang teori receptie in

complexu yang di kemukakan oleh Christian Snouck Hoergronje (1857-1936)

yang menyatakan Hukum Islam baru dianggap berlaku sebagai hukum apabila

telah memenuhi 2 syarat yaitu : pertama, Norma hukum Islam harus diterima

terlebih dahulu oleh hukum kebiasaan (adat masyarakat setempat), kedua,

22 Idris Ramulyo. Asas-asas Hukum Islam. Sinar Grafika. Jakarta. 1997. hlm 54

(11)

kalaupun sudah diterima oleh hukum adat, norma dan kaidah hukum Islam itu

juga tidak boleh bertentangan ataupun tidak boleh telah ditentukan lain oleh

ketentuan perundang-undangan Hindia Belanda.24

Secara tegas sejak berdirinya negara Indonesia dinatyatkan bahwa

Indoensia adalah negara hukum yang berdasarkan konstitusi UUD 1945. Bukan

negara sekuler, bukan pula negara Islam. Sebagai bukti konkrit, dapat dipahami

bahwa hukum yang berlaku di Indonesia terdiri tidak terlepas dari tiga sumber

hukum utama, yakni; pertama, hukum barat yang merupakan hukum peninggalan

penjajahan Belanda yang di berlakukan di Indonesia berdasarkan Pasal II aturan

peralihan. Kedua, hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur`an dan Al-hadits

diberlakukan karena mayoritas rakyat di Indonesia beragama Islam. Ketiga

hukum adat, di dalam UUD 1945 negara mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.

B. Sejarah Singkat Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Sebagai masyarakat mayoritas, telah lama umat Islam di Indonesia ingin

memiliki hukum perkawinan tertulis. Keinginan ini sudah muncul pada masa

penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada masa

kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru dapat

terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No: 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Untuk mendeskripsikan mengenai sejarah lahirnya undang-undang

perkawinan tersebut, paling tidak ada empat masa yang dilalui, yakni: 1. Masa Kerajaan Islam di Indonesia

(12)

Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah

menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia telah

melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.25

Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasei di Aceh Utara

menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.26 Kemudian pada abad ke 15

dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti

Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel.27 Fungsi

memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para

pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam

bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum

keluarga/perkawinan.28 Sementara itu, di bagian timur Indonesia

berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan

lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga

menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.29

2. Masa Penjajahan di Indonesia

Pada masa kedatangan Verenigde Oost Indische Compagnie

(VOC) di Indonesia, kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di

25Bandingkan dengan Amir Syarifuddin, Op.cit. hlm. 43

26 Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hlm. 53

27 Hamka, Idem, hlm. 145

28 Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 70

(13)

masyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa

VOC. Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, Belanda

menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freiyer,

mengikuti nama penghimpunnya.30 Kemudian membuat kumpulan

hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon,

Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa).31 Ketika pemerintahan

VOC berakhir, politik penguasa kolonial berangsur-angsur berubah

terhadap hukum Islam.

Pada Konggres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25

Desember 1928 di Yokyakarta mengusulkan kepada Pemerintah

Belanda agar segera disusun undang-undang perkawinan, namun

mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir

penjajah.32

Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda

menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat

(onwerpordonnantie op de ingeschrevern huwelijken) dengan

pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas monogami

dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau

menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh

30 Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 11

31 Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia, Majalah Pembangunan No 2 Tahun ke XII, Maret 1982, hlm. 101.

(14)

hakim.33 Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya

diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam

dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan

ordonansi tersebut ditolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi

mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam. 3. Masa Awal Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan, Pemerintah RI berusaha melakukan

upaya perbaikan di bidang perkawinan dan keluarga melalui penetapan

UU No: 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk

bagi masyarakat beragama Islam. Dalam pelaksanaan Undang-Undang

tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1946 yang

ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut

selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1947 juga berisi

tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang

belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang

berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang

bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan

anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN

mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.34

Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen,

mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan

dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. Maka akhirnya

Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum

33 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta,

1992, hlm 77

(15)

Perkawinan, Talak dan Rujuk. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah

(PP) No: 19 tahun 1952 yang memungkinkan pemberian tunjangan

pensiun bagi istri kedua, ketiga dan seterusnya.35

Pada tanggal 6 Mei 1961, Menteri Kehakiman membentuk

Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang secara mendalam

mengajukan konsep RUU Perkawinan, sehingga pada tanggal 28 Mei

1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang

asas-asas yang harus dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di

Indonesia. Kemudian diseminarkan oleh lembaga hukum tersebut pada

tahun 1963 bekerjasama dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia

bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah perkawinan

monogami namun masih dimungkinkan adanya perkawinan poligami

dengan syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum

usia calon pengantin.36

4. Masa Menjelang Kelahiran UU Perkawinan

Pada tahun 1973 Fraksi Katolik di Parlemen menolak

rancangan UU Perkawinan yang berdasarkan Islam. Konsep RUU

Perkawinan khusus umat Islam yang disusun pada tahun 1967 dan

rancangan 1968 yang berfungsi sebagai Rancangan Undang Undang

Pokok Perkawinan yang di dalamnya mencakup materi yang diatur

dalam Rancangan tahun 1967. Akhirnya Pemerintah menarik kembali

35 Indriaswari Dyah Saptaningrum, Sejarah UU No: 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pembakuan Peran

Gender, dalam Perspektif Perempuan, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan, Jakarta, 2000, hlm. 53.

(16)

kedua rancangan dan mengajukan RUU Perkawinan yang baru pada

tahun 1973.37

5. Pemberlakuan UU Perkawinan

Pada tanggal 22 Desember 1973, Menteri Agama mewakili

Pemerintah membawa konsep RUU Perkawinan yang di setujui DPR

menjadi Undang-Undang Perkawinan. Maka pada tanggal 2 Januari

1974, Presiden mengesahkan Undang-Undang tersebut dan

diundangkan dalam Lembaran Negara No: 1 tahun 1974 tanggal 2

Januari 1974.

Dalam pandangan penulis dengan diberlakukannya UU

Perkawinan tersebut, jelas merupakan bagian penting dalam

perjuangan umat Islam di Indonesia untuk formalisasi hukum Islam

menjadi sebuah aturan tertulis yang memiliki kekuatan mengikat dan

berlaku umum karena berlaku dalam bentuk undang-undang.

\

Bab IV

Politi Hukum Islam Kultural Dalam UU Perkawinan

A. Pengaruh Ajaran Islam Kultural Terhadap Politik Hukum Islam di

Indonesia

Melihat kenyataan

B. Arah Kebijakan Politik Hukum Islam Indonesia Dalam UU No. 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan

Politik sebagaimana yang dimaksud oleh Van Der Tas yaitu beleid

(kebijakan). Apabila dikaitkan dengan politik hukum, penulis cenderung

memahaminya sebagai sebuah bentuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah

atau lembaga negara yang mempunyai kewenangan dalam membuat peraturan

tersebut sebagai sebuah kebijakan yang menentukan arah berkehidupan suatu

(17)

bangsa. Bentuk nyata yang paling kental dengan hal tersebut adalah

diundangkannya sebuah undang-undang.

Sebagaimana disinggung di awal, bahwa undang-undang perkawinan

merupakan salah satu produk perundang-undangan yang disinyalir sangat kuat

dipenagruhi oleh aspirasi umat Islam di Indonesia, bahkan perjalanan sejarah

telah merekam begitu panjang proses awal sampai lahirnya undang-undang

perkawinan pada tahun 1974.

Ketika politik hukum diartikan sebagai arah kebijakan negara, dalam

hal ini berkaitan dengan diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, penulis melihat bahwa arah kebijakan yang dimaksud adalah

mengakomodir aspirasi umat Islam yang kebetulan mayoritas memilih faham

madzhab syafi’i dan diwujudkan dalam satu bentuk perundang-undangan.

Harapannya tentu saja agar nilai-nilai Islam yang sudah sejak lama mewarnai

cara berhukumnya orang Indonesia, kemudian dapat memiliki ketegasan dan

pengakuan dari negara. Dengan begitu perjuangan umat Islam, yang dalam

porsi tertentu mengharuskan diberlakukannya hukum islam, paling tidak satu

demi satu dapat terwujud walaupun dengan tetap memperhatikan konteks

keIndonsiaan yang dikenal multi agama, etnik dan budaya..

Bab V Penutup A. Simpulan

1. Ajaran Islam kulutral mempunyai pengaruh yang sangat besar dan

dianggap cukup tepat dalam memberi bentuk corak politik hukum

Islam di Indonesia yang bersifat heterogen

2. Arah kebijakan politik hukum Islam di Indonesia dihubungkan dengan

diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sangat

kental terlihat dengan dimasukannya materi fiqih islam terutama fiqih

(18)

B. Saran

Daftar Pustaka

Abu Ridha, Islam dan Politik; Mungkinkah Bersatu?, Syamil Cipta Media, Bandung, 2004.

Amir Syarifuddin, Meretas kebekuan Ijtihad, Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, Ciputat Press, Tangerang, 2005.

Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.

Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1975.

Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Rajawali, Bandung, 1983.

Demko, George D. and Wood, William B., Reordering the World, Geopolitical Perspectives on the 21st Century, Westviewpress, United States of America, 1999.

Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, Bulan Bintang, Jakarta, 1976.

Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Rafika Aditama, Bandung, 2006.

Idris Ramulyo. Asas-asas Hukum Islam. Sinar Grafika. Jakarta. 1997.

Indriaswari Dyah Saptaningrum, Sejarah UU No: 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pembakuan Peran Gender, dalam Perspektif Perempuan, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan, Jakarta, 2000.

Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1999

Mawarti Djoned Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, Jakarta, 1984.

Maria Ulfah Subadyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan, Yayasan Idayu, Jakarta, 1981.

Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1992.

Misanam, Munrokhim, , et.all, Ekonomi Islam, Rajawali Perss, Jakarta, 2007.

(19)

Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia, Majalah Pembangunan No 2 Tahun ke XII, Maret 1982.

M. Khoirul Anam, Islam, Kekuasaan Pemerintah, Doktrin Iman dan Realitas Sosial, Inisiasi Press, 2004

Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi, Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 2003.

R. Soetedjo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Universitas Airlangga Press, Surabaya, 1988.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan ke 6, Alumni, Bandung, 2006.

Referensi

Dokumen terkait

kinerja BAN S/M. Permasalahan yang dirumuskan antara lain: 1) berapa banyak satuan pendidikan yang telah diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Aktivitas

[r]

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan:(1)Torsi pengereman yang dihasilkan bahan bahan bakar LPG mengalami penurunan 9,9% untuk rata rata tiap putaran

Status kesehatan ibu hamil akan menunjukkan baik buruknya kondisi ibu dan juga terhadap perkembangan janin yang sedang dikandung, bagi ibu sendiri kesehatan yang

Jika remaja putri melakukan perilaku higienis pada saat menstruasi maka akan terhindar dari kanker rahim, merasa nyaman beraktivitas sehari- hari, percaya

Jika dibandingkan dengan penambahan lignosulfonat standar (NLS-Aldrich), pada penambahan 0,05% hingga 0,25%, terjadi kenaikan persentase nilai alir dengan fenomena yang sama,

Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP-11/PJ/2013, adapun alur yang harus dilakukan oleh Unit Pelaksana Penelitian Keberatan dalam penyelesaian keberatan yang