• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Ekonomi Politik dan Konflik di Sek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teori Ekonomi Politik dan Konflik di Sek"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

TEORI EKONOMI POLITIK DAN

KONFLIK DI SEKTOR SUMBER DAYA ALAM

Oleh :

DR. ASRANI, SE, M.Si

(asrani_mgn@yahoo.com)

(Tulisan ini adalah salah satu bagian (Bab) dari Disertasi penulis berjudul “Ekonomi Politik Sumber Daya Alam Indonesia pada Era Orde Baru. Studi

(2)

TEORI EKONOMI POLITIK DAN KONFLIK

DI SEKTOR SUMBER DAYA ALAM

Oleh : Dr. Asrani, SE, M.Si

Teori Ekonomi Politik

(3)

dikonsepsilan oleh Adam Smith, meskipun konsep tersebut hanya disebut sekali dalam bukunya (Schenk,1998).

Konsep-konsep yang dibuat oleh Smith, dikembangkan lebih lanjut oleh para penerusnya. Beberapa nama diantaranya yang sangat dominan yang sering disebut-sebut dalam buku-buku teks tentang ilmu ekonomi adalah Alfred Marshall, Thomas Robert Maltus, David Ricardo dan sebagainya. Aliran pemikiran kelompok ahli tersebut oleh para pakar ekonomi dewasa ini dimasukkan dalam aliran ekonomi klasik. Resesi ekonomi yang sangat hebat pada tahun 1930-an yang melanda kawasan Eropa dan Amerika, mengakhiri periode ekonomi klasik yang sangat anti terhadap campur tangan pemerintah. Era selanjutnya menempatkan tokoh John Maynard Keynes sebagai tokoh sentral, meskipun tetap mengacu pada ajaran Adam Smith, Keynes telah selangkah lebih maju dengan melakukan modifisikasi ajaran Adam Smith, terutama memberikan kemungkinan lebih besar terhadap intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi melalui instrumen fiskal atau perpajakan. Buchanan & Wagner (2000) menyebutnya sebagai Keynesian Revolution.

Dengan asumsi bahwa manusia adalah mahluk yang rasional dan di dalam lembaga pasar terdapat persaingan yang sempurna, maka individu akan dapat memenuhi kebutuhannya secara maksimal, sehingga kemakmuran rakyat akan tercipta yang pada gilirannya akan membawa kemakmuran negara (The Wealth of Nations). Namun, persoalannya adalah bahwa tidak semua konsepsi idealis Smith

(4)

kegagalan (market failure), dan intervensi pemerintahpun dapat mengalami kegagalan (government failure). Akibatnya, maka banyak orang yang hidup di atas planet bumi ini menderita kemiskinan dan kemelaratan, serta negara pun dapat mengalami kebangkrutan dan perpecahan.

Pertanyaannya kemudian adalah apa yang salah dalam ilmu ekonomi ?. Mengapa market institutions dan non-market institutions dapat mengalami kegagalan?. Jawaban pertanyaannya ini adalah langkah awal menuju studi ekonomi politik, yang juga disebut dengan istilah Economic Theories of Politics atau paradigma ekonomi politik. Seperti yang dikemukakan oleh Buchanan (1999), bahwa ilmu ekonomi tidak memberikan ruang bagi perilaku individual dan partisipasinya dalam pembuatan keputusan-keputusan kelompok (individual participations in collective decision-making). Sebagai bukti bahwa tidak ada satupun teori dalam ilmu

(5)

bagi rakyat luas. Pertanyaannya adalah mengapa fenomena itu terjadi ?. Dapatkah ilmu ekonomi menjelaskannya ?. Faktanya, para ahli ekonomi banyak yang mengalami kegagalan menjelaskan berbagai fenomena tersebut, meskipun menyangkut bidang kajian ilmu ekonomi itu sendiri, sehingga tidak heran kalau Paul Omerold telah memproklamirkan bahwa ilmu ekonomi itu sudah mati (the dead of economics).

Paradigma ekonomi politik muncul sebagai reaksi kegagalan demi kegagalan ilmu ekonomi untuk menjelaskan problem masyarakat. Tokoh penting dibidang kajian ini adalah Buchanan. Menurut Buchanan kegagalan fatal para ahli ilmu ekonomi (Buchanan & Brenan,2000) terletak pada subject matter yang menjadikan referensi kasus Robinson Crusoe sebagai “problem ekonomi”, yaitu bagaimana

mengalokasikan sumber daya langka (termasuk waktu) diantara berbagai kepentingan lainnya. Para ahli ekonomi menarik kasus Crusoe ke dalam setting sebuah dunia dimana masyarakat secara keseluruhan berada, yang juga sama-sama mengalami “problem ekonomi” dengan tanpa kehati-hatian meloncat dari analisis

kasus individu yang mementingkan diri sendiri menjadi analisis kasus masyarakat luas (society) yang penuh dengan keberagaman motif, kepentingan, kapasitas dan nilai. Selanjutnya Buchanan menambahkan (Boettke 2002) bahwa isu alokasi sumber (resources allocation issue) bukan merupakan problem utama dalam ilmu ekonomi.

(6)

Buchanan adalah mengenai Model Optimalisasi yang dikembangkan oleh para ahli ekonomi yang direpresentasikan oleh fungsi kesejahteraan sosial (social welfare function). Menurutnya model tersebut sama sekali tidak memperhitungkan pertimbangan nilai (value judgements). Demikian juga dengan model persaingan sempurna (perfect competition) yang menjadi pusat kajian para ahli ekonomi. Model tersebut dianggapnya mengehilangkan nilai-nilai sosial (social content) dari keputusan individu. Nilai-nilai individu dikonfrontasikan dengan variabel-variabel luar (external) sebagai pilihan yang kemudian ditransformasikan kedalam perhitungan secara mekanis. Dalam hubungannya dengan model persaingan sempurna, Buchanan menyampaikan kritiknya (Boettke,2001) :

“A market is not competitive by assumption or by construction. A market becomes competitive, and competitive rules come to be established as institutions emerge to place limits on individual behavior patterns. It is this becoming process, brought about by the continuous pressure of human behavior in exchange, that is the central part of our discipline, if we have one, not the dry rot of postulated perfection. A solution to a general-equilibrium set of equations is not predetermined by exogenously determined rules. A general solution, if there is one, emerges as a result of a whole network of evolving exchanges, bargains, trades, side payments, agreements, contracts which, finally at some point, ceases to renew itself. At each stage in this evolution toward solution there are gains to be made, there are exchanges possible, and this being true, the direction of movement is modified”.

Pendapat senada disampaikan Gunning (2001) dengan menyatakan bahwa para profesional dibidang ekonomi bahkan di negara yang paling maju dan demokratis sekalipun seperti di Amerika dan Eropa sekarang ini sangatlah “naif”.

(7)

rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang optimal apakah dia sebagai individu yang berprofesi sebagai politisi, birokrat atau profesi lainnya dalam sebuah masyarakat dalam suatu negara atau suatu wilayah/daerah yang sekarang lebih populer dengan istilah civil society. Dengan perkataan lain dalam mengejar tujuan efisiensi para ahli ekonomi cenderung mengesampingkan perilaku individu dalam proses pembuatan kebijakan bersama (collective decision-making process), atau proses pengambilan keputusan bersama melalui lembaga non-pasar. Oleh karena itu, paradigma ekonomi politik ini juga disebut sebagai penerapan ilmu ekonomi pada ilmu politik, seperti yang dikemukakan Kavla (1991:372), sebagai berikut :

“…Economic theories of politics attempt to use the idea that individual are rational utility maximizers, in this sense, to understand the behaviour of voters, office seekers, elected officials, and bureaucrats. They aim thereby to describe, explain, and-ultimately-predict the behaviour of political actors in an accurate, systematic, and coherent way”

Balaam dan Veseth (1996) dikutip Lim (2001:2) menyebutnya dengan “Political Economy”, yang didefinisikan sebagai :

“The study of the tension between the market, where individuals engage in self -interested activities, and the state, where those same individuals undertake collection action”

British Glossary (2002), mendefinisikan Political Economy sebagai

“A branch of the social sciences that takes as its principal subject of study the interrelationships between political and economic institutions and processes. That is, political economists are interested in analyzing and explaining the ways in which various sorts of government affect the allocation of scarce resources in society through their laws and policies as well as the ways in which the nature of the economic system and the behavior of people acting on their economic interests affects the form of government and the kinds of laws and policies that get made”.

(8)

disiplin ilmu ekonomi dan ilmu politik. Namun, dalam perkembangannya paradigma ekonomi politik semakin banyak diterima oleh kalangan akademisi untuk menjelaskan fenomena yang muncul dalam dinamika kehidupan masyarakat modern yang semakin kompleks. Bahkan beberapa universitas terkenal di luar negeri seperti George Mason University, University of Washington dan University of Oregon menspesialisasikan diri pada bidang kajian ekonomi politik (Felkins,1997). Pengakuan terhadap eksistensi paradigma ini mencapai momentumnya ketika Buchanan menerima hadiah nobel dibidang ilmu ekonomi tahun 1986 atas karya-karyanya dibidang kajian ekonomi politik, seperti The Calculus of Consent, Fiscal Theory and Political Economy, The Limits of Liberty, Democracy in Deficit, The Power to Tax, The Reason of Rules dan lain-lain.

(9)

dan metode-metode kunci dalam analisisnya (Monroe, 1991:2). Leon Felkins (1995) salah seorang pakar lain menyebutkan bahwa Public Choice Theory, Social Choice Theory, Rational Actor Theory, dan Collective Choice Theory merupakan bagian dari Rational Choice Theory. Rational Choice Theory menyangkut bidang kajian pengambilan keputusan individual yang rasional dalam lingkungan kolektif, dan merupakan fondasi dari bangunan dasar dari teori lainnya yaitu Public Choice Theory

dan Social Choice Theory. Social Choice Theory adalah nama lain dari Collective Choice Theory, yang membicarakan tentang masalah pilihan (choice) individual dalam lingkungan kolektif. Sedangkan, Public Choice Theory adalah aplikasi dari ilmu ekonomi dan Rational Choice Theory yang diterapkan dalam lingkungan politik (political environment). Public Choice Theory berhubungan langsung dengan barang-barang publik (public goods) termasuk di dalamnya mengenai administrasi pemerintahan. Pertanyaan utama dari teori ini adalah : di dalam suatu situasi sosial, publik, atau kolektif dan pilihan mengenai kontribusi individu dalam membuat keputusan, bagaimanakah pilihan-pilihan itu diputuskan secara rasional ?. Untuk menjawab pertanyaan itu tentu saja tidak mudah, karena mengandung berbagai pertentangan dari berbagai dimensi yang terdapat dalam diri manusia sebagai individu maupun sebagai anggota suatu kelompok, pertentangan antara individualisme dengan altruisme, pertentangan antara yang dipilih dengan para

(10)

seperti Social Dilemmas (SD) atau disebut juga dengan The Problem of Collective Action, Prisoner’s Dilemma (PD), Voter’s Paradox (VP), Tragedy of the Commons,

Collective Action, dan Volunteer Dilemma (VD).

Pembahasan selanjutnya akan difokuskan pada teori Rational Choice Theory dan Public Choice Theory. Oleh karena luasnya aspek pembahasan dari teori ini, maka pembahasan hanya menyangkut unsur-unsur fundamental dari sebuah teori saja, seperti asumsi, definisi, konsep-konsep yang dikembangkan, serta aspek-aspek yang menjadi bidang kajian teori ini.

Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory).

Secara historis Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory) pada awalnya digagas oleh Anthony Down yang dimuat dalam bukunya Economic Theory of Democracy. Teori tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh Arrow, Dahl, Lindblom

dan lain-lain. Dalam perjalananya teori ini semakin berpengaruh dan dominan, sehingga tidak heran kalau Almond (1991:36), menyebutnya sebagai revolusi dibidang ilmu pengetahun (Rational Choice Theory as a scientific revolution), karena banyak dipergunakan sebagai pendekatan dalam ilmu-ilmu sosial, seperti teori sosiologi, teori keperibadian dan budaya, serta teori psikologi sosial. Bahkan dalam dekade-dekade terakhir teori rational choice telah memberikan kontribusi yang nyata

(11)

persyaratan-persyaratan dan unsur-unsur dari liberalisasi modern, seperti sistem pasar yang dianut, dan model ekonomi dari hasil perilaku politik (Petracca,2001:172-173). Teori Rational Choice berangkat dari asumsi tentang motif dan perilaku manusia (human motive and behaviour). Dua aspek yang menjadi fokus teori ini menurut Almond (1991:38) adalah : (1) individualisme, dan (2) perilaku para aktor politik dan birokrat. Politikus dan birokrat diasumsikan mengejar kepentingan material semaksimal mungkin, mencari keuntungan dari para pemilihnya, dari kantor-kantornya, atau dari kekuasaan yang dimiliki atau diperolehnya, dengan biaya yang sekecil mungkin. Senada dengan pandangan itu, Petracca (2001:178) menyebutkan bahwa secara metodologis asumsi teori rational choice dapat dibagi dua yaitu : (1) individualisme dan (2) konsep tentang rasionalitas itu sendiri. Individualisme menyangkut tindakan sosial (social action) yang dapat diturunkan ke

dalam unsur-unsur individu untuk menganalisis perilaku individu. Sedangkan, rasionalitas menyangkut sifat-sifat dasar manusia (human nature) atau motivasi yang mendorong sifat-sifat dasar manusia (motivational force of human nature).

Penggunaan istilah “rational” dalam teori ini menurut Rosenberg (2001:387)

(12)

memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari berbagai alternatif yang akan dipilih, dan (4) mengambil pilihan yang terbaik sesuai dengan kebutuhannya.

Individu yang rasional dalam pengertian yang lain adalah seorang aktor yang rasional (rational actor). Konsep aktor yang rasional oleh para ahli dikelompokkan dalam Teori Aktor Rasional (Rational Actor Theory), namun dalam pembahasan ini, dimasukan dalam Rational Choice Theory. Konsep aktor rasional, kalau dikaji secara

teoritik berasal dari teori mikro ekonomi klasik dari Adam Smith yang mengacu pada perilaku individual, orang, perusahaan, dan entitas politik yang berhubungan dengan keinginan para aktor dalam memenuhi kepentingan dirinya (Monroe,1991). Menurut Etzioni, kakek ekonomi neo-klasik Adam Smith melalui bukunya The Theory of Moral Sentiment merupakan kontributor utama bagi pendekatan rational actor dengan mengatakan bahwa “betapapun manusia mungkin dianggap mementingkan dirinya

sendiri, ternyata ada prinsip-prinsip dalam sifatnya, yang menyebabkan ia tertarik kepada kekayaan orang lain, dan memberikan kebahagiaan mereka yang perlu baginya”. Dengan pernyataan Smith tersebut, maka aktor bertindak atas

kesadarannya bukan hanya melalui tukar menukar (market) dan memaksimumkan kepentingan mereka, akan tetapi juga didasarkan atas persetujuan orang lain dan landasan moral (Etzioni,1992:38-39).

(13)

seluruh perilaku manusia ditentukan oleh serangkaian tindakan yang berorientasi tujuan (goal-oriented actions).

Tindakan berorientasi tujuan tersebut menurut Eckstein telah memperhitungkan resiko-resiko yang dihadapi. Hal ini didasarkan atas, apa yang dinamakannya budaya analgesik (analgesic cultures), yaitu suatu budaya dimana para aktor berusaha menghindari kesulitan-kesulitan, menghindari kondisi-kondisi yang belum mapan, membatasi tekanan-tekanan emosional sehingga tetap dapat eksis dalam persaingan. Tindakan manusia (human action) menurut Adam Smith adalah muncul dari perasaan-perasaan, tanpa sebab dan dorongan nafsu untuk mengejar kepentingannya sendiri. Proposisi yang dikemukakan oleh Smith ini telah diturunkan menjadi beberapa konsep, seperti self-regulation, governmental regulation, atau natural force yang akan menggerakkan setiap mekanisme pasar (market mechanism). Akan tetapi menurut Whitehead, pandangan Adam Smith itu

tidak menggambarkan hubungan ketergantungan emosi-emosi atau mekanisme kekuatan alam itu di dalam domain politik. Para teoritisi rational actor berkeyakinan bahwa individu (aktor) selalu berkeinginan untuk mencapai tujuan-tujuan politik dan kesejahteraan mereka. Berdasarkan pandangan tersebut, maka rational actor dibangun diatas asumsi-asumsi (Monroe,1991:4), berikut ini :

1. Actors pursue goals.

2. These goals reflect the actors perceived self-interest

3. Behaviour results from a process that actually involves (or functions as if it entails) 4. The individual is the basic actor in society

5. Actors have preference orderings that are consistent and stable

6. If given options, actors choose the alternative with the highest expected utility.

(14)

Beberapa konsep yang dikembangkan dalam rational choice, meliputi private-interest, self-private-interest, utility-maximizing, selfish-ends, maximization, goal-directed, purposive behaviour, dan egoistic, yang kesemuanya merupakan karakteristik pendekatan ekonomi politik terhadap rasionalitas. Sedangkan hubungannya dengan human nature termanifes dalam sifat-sifat egois manusia (individu) memenuhi kepuasan mereka secara maksimal (Petracca, 1991:180).

Teori Pilihan Publik (Public Choice Theory)

Seperti telah disinggung pada uraian di atas, bahwa Public Choice Thoery merupakan bagian dari Rational Choice Theory. Oleh karena itu, konsep-konsep Rational Choice juga banyak dipergunakan dalam public choice theory. Menurut Monroe (1991:2), secara historis Public Choice Thoery lahir dari dua tradisi keilmuan. Dari tradisi ilmu ekonomi yang dikembangkan oleh James M. Buchanan dan Virginia School, sedangkan dari tradisi ilmu politik dikembangkan oleh William Riker dan Rochester School of Public Choice. Namun demikian, oleh penggagasnya sendiri

James Buchanan, Public Choice dianggap bukan sebagai “teori sempit”, tetapi disebut sebagai “perspektif”, yaitu suatu perspektif untuk bidang politik yang muncul

dari pengembangan dan penerapan perangkat dan metode ilmu ekonomi terhadap pengambilan keputusan kolektif dan berbagai fenomena non-pasar (non-market phenomenona). Dijadikan sebagai perspektif agar supaya dalam pembahasan dan pemberian makna terhadap konsep public choice bisa membantu para analis untuk

(15)

Definisi Public Choice

Public Choice pada dasarnya mengambil prinsip-prinsip ilmu ekonomi yang dipergunakan untuk menganalisis tindakan individu dalam lembaga pasar yang diterapkan dalam tindakan orang-orang dalam pembuatan keputusan secara kolektif. Salah satu prinsip penting yang dipergunakan adalah asumsi dalam ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa motivasi utama setiap orang adalah mengejar kepentingannya sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Dollery & Wallis (1999:36), bahwa teori Public Choice menggunakan postulat dasar tentang perilaku manusia (human behaviour) sebagai homo economicus yang diterapkan pada institusi non-pasar atau proses politik yang menjadi dasar dalam formulasi dan implementasi kebijakan, yang dikembangkan sebagai model kritik positif terhadap pemerintah dengan menggunakan suatu metodologi tertentu. Asumsi dan definisi Public Choice dikemukakan para ahli berikut :

Asumsi Public Choice :

“Public choice theorists make the same assumption—that although people acting in the political marketplace have some concern for others, their main motive, whether they are voters, politicians, lobbyists, or bureaucrats, is self-interest. In Buchanan's words the theory "replaces... romantic and illusory... notions about the workings of governments [with]... notions that embody more skepticism." (Shaw,2001)

(16)

Definisi Public Choice:

“Public Choice can be defined as the economics of non-market decision-making, or simply the application of economics to political science. The subject matter of public choice is the same as that of political science : the theory or state, voting rules, voter behaviour, party politics, the bureaucracy, and so on. The methodology of public choice is that of economics, however” (Muller dalam Lane,1995:205).

"Public Choice is an interdisciplinary field, at the intersection of political science and economics, which draws on sophisticated quantitative tools to model the functioning of political institutions. Public Choice examines such areas as theories of voter and party choice; the theory of constitutions; the theory of committees and elections; models of regulation; problems of public goods and externalities; rent-seeking models; and issues in social choice, social welfare and demand revelation." (Felkins, 1996).

Ruang Lingkup kajian Public Choice

Ruang lingkup dan aspek-aspek paradigma ekonomi politik sebenarnya menyangkut bidang kajian yang sangat luas dengan aspek yang sangat beragam. Dalam kajian ini hanya dibatasi beberapa aspek yang sering dipergunakan para pakar Public Choice. Menurut Buchanan (Dollery & Wallis,1999:36), meliputi tiga bidang the economics of the pre-constitutional stage of society, the economics of constitutions making, dan the economics of post-constitutional politics. Pandangan

tersebut sesungguhnya diilhami oleh Adam Smith sendiri dalam The Wealth of Nations yang menyebutkan adanya law and institutions, akan tetapi menurut Smith

hal itu tidak terlalu diutamakan, karena telah diatur oleh invisible hand. Menurut Buchanan & Brenan (2000) dalam tulisannya The Reason of Rules: Constitutional Political Economy, tanpa ada law and institutions yang jelas dalam masyarakat,

(17)

“The parameters within which play takes place, the actions allowed by the players, the equipment used, the means of settling disputes, the way in which the winner is determined, and so on, rules of the road, rules of the market order, dan rules of political order”.

Munculnya teori public choice telah membawa cakrawala ilmu pengetahuan dengan berbagai aspek kajian baru dengan menggunakan pendekatan multi disipliner yang sebelumnya belum banyak dikembangkan oleh para ahli. Salah satu konsep penting dalam kajian Public Choice adalah barang publik (public good) dan barang bersama (common goods) (Felkins,1996). Public goods, merujuk pada pengertian tentang sesuatu yang tidak dimiliki secara pribadi tetapi dimiliki oleh publik secara keseluruhan, meliputi seluruh aspek-aspek alami, seperti, tanah, hutan, air, gunung, lautan dan sebagainya. Barang publik lainnya adalah jalan raya, saluran air, taman, pemancar radio, dan sebagainya.

Selain itu, ada juga barang publik yang bukan bersifat fisik, seperti kebebasan (freedom), perlindungan terhadap hak hidup dan hak milik (protection of life and property), pasar bebas (free market) dan sebagainya. Konsep pemilikan

(18)

pemilikan pribadi (private property system) adalah adanya jaminan bahwa jika individu bermaksud memproduksi barang, ia akan memilikinya. Mungkin saja ia akan memberikannya, atau akan menjualnya kepihak lain hal itu adalah keputusan individu itu sendiri. Menurut Gunning sistem pemilikan itu sendiri dapat dibagi menjadi dua, yaitu : (1) sistem pemilikan pribadi (private property system), dan (2) sistem pemilikan komunal (communal property system). Dalam sistem pemilikan komunal, suatu barang tidak dimiliki dan diproduksi secara perseorangan, tetapi oleh suatu komunitas. Oleh karena itu, dalam mengatur sistem pemilikan komunal diperlukan pendefinisian yang jelas agar dapat memutuskan secara tepat barang apa saja yang dapat dimiliki oleh suatu komunitas. Aspek lainnya yang menjadi bidang kajian Public Choice, menurut Felkins (2001:4-5) adalah Constitutional Democratic Government, Voting, Political Manipulations, Rent-Seeking, dan The Realities of Collectives.

(19)

Kegagalan Pemerintah (Government Failure)

Salah satu bentuk dari kegagalan pemerintah mengemban misinya meningkatkan kesejahteraan rakyat dapat dilihat dari kegagalan birokrasi (bureaucratic failure). Bureaucratic failure sebenarnya telah lama menjadi objek kajian para ahli, bahkan telah dimulai sejak abad ke 19 yang lalu. Diantara tokoh yang sering disebut-sebut memperkarsai kajian ini adalah Tocqueville, Bagehot dan lain-lain. Walter Bagehot misalnya, pernah menulis (dipublikasikan Yusu,2000) :

"Not only does a bureaucracy...tend to under-government, in point of quality; it tends to over-government in point of quantity. A bureaucracy is sure to think that its duty is to augment official power, official business, or official members, rather than to leave free the energies of mankind..."

Ide Bagehot itu telah banyak mengilhami para pakar, dengan menyebut beberapa nama diantaranya, seperti Mises (1945), Tullock (1974) Orzechowski (1977), Romer & Rosenthal (1979), Bretton & Wintrobe (1977), Dunleavy (1991), Down (1967), Niskanen (1971), dan lain-lain. Dari jajaran nama-nama tersebut, nampaknya yang menempati posisi utama (mainstream) bagi teoritisi public choice di Amerika adalah Down dan Niskanen.

Niskanen (1971) yang populer dengan model Niskanen’s Budget Maximizing Model (Dollery & Wallis,1999:40), menyatakan bahwa para birokrat akan berupaya

(20)

“Bureaucrats are said to bear an agent/principal relationship to politicians who in turn bear an agent/political relationship to voters. Bureaucrats benefit directly from large governmental budgets and thus have intense preferences for high levels of expenditure. By contrast, tax-payer typically only benefit indirectly from government expenditure, and have preferences for low taxation levels. The objectives of agents and principal thus diverge. But because bureaucrats have greater per capita incentives to increase expenditure than the corresponding incentives of taxpayer to decrease taxes, public sector expenditure will be higher then desired”.

Dalam tulisanya yang lain Bureaucracy : Servant or Master (1973:22, di publikasikan Yusu,2000:2-3), Niskanen menulis bahwa perilaku para birokrat yang berada di sektor publik merupakan objek studi public choice theory yang sangat menarik, bahkan dapat dikatakan sebagai “jantung” dari Public Choice Theory.

(21)

atau jabatan. Menurutnya inilah yang menjadi bagian paling esensial yang menjadikan pemerintah selalu menaikkan anggaran belanjanya. Berbeda dengan sektor swasta yang tujuannya mencari profit, semakin besar keuntungan yang diperoleh, maka semakin meningkat pendapatan, semakin aman jabatan mereka, dan semakin meningkat prospek promosi mereka.

Pandangan Bagehot, Niskanen dan Down di atas dapat dikategorikan sebagai model klasik, karena government failure yang direpresentasikan oleh bureaucratic failure hanya dilihat dari peran birokrat dalam memainkan anggaran pemerintah.

(22)

keuntungan, (3) konsumen memaksimalkan kegunaan dari barang dan jasa yang diperoleh, dan (4) politisi memaksimalkan perolehan suara dari para pemilihnya.

Kegagalan Pasar (Market Failure).

Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan terdahulu, bahwa pasar (market) yang dikonsepsikan oleh para ahli ekonomi sebagai tempat berlangsungnya pertukaran barang dan jasa antara produsen dan konsumen dapat mengalami kegagalan (market failure). Dengan perkataan lain bahwa konsep Adam Smith tentang persaingan sempurna (perfect competions) yang dikendalikan invisible hand

dalam dunia yang sesungguhnya tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, maka Keynes memberikan kesempatan kepada pemerintah/negara untuk melakukan intervensi.

BUREAUCRATS (Security)

PRODUCERS (Profit Maximization)

POLITICIANS (Vote Maximization) CONSUMERS

(Utility)

(23)

Dollery dan Wallis (1999:15), menyatakan bahwa konsep market failure pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari “doktrin tangan tak nampak” (the doctrine of

the invisible hand) dari buku Wealth of Nations Adam Smith tahun 1776 yang dikembangkan lebih lanjut oleh para pengikutnya, dan diterima secara luas oleh masyarakat di kawasan Inggris Raya dan Amerika Serikat sejak abad ke 19. Kepercayaan atas bekerja invisible hand semakin meningkat lagi setelah munculnya buku Economic of Welfare yang dikarang oleh Arthur Pigou pada tahun 1920, yang

mendorong negara-negara berlomba-lomba mengejar kesejahteraan ekonomi negaranya dengan pembangunan dan berbagai pembaruan agar invisible hand dapat bekerja secara efektif. Namun, setelah ditunggu-tunggu ternyata invisible hand tidak bekerja sebagaimana yang diharapkan, karena adanya berbagai faktor penghambat bekerja konsep rational self-interest dalam proses pertukaran di pasar,

sehingga mengundang semakin intensifnya intervensi pemerintah dalam ekonomi pasar dengan harapan dapat meningkatkan efisiensi, namun sebaliknya justru muncul distorsi yang menyebabkan berbagai kegagalan dalam lembaga pasar.

Fenomena ini oleh para ahli disebut dengan istilah market failure, yang secara konseptual mengacu pada pengertian ketidakmampuan pasar atau sistem pasar (market system) dalam menyediakan kebutuhan masyarakat akan barang dan

(24)

memperbaiki atau meningkatkan efisiensi ekonomi. Mengenai konsep market failure

dikemukakan Gunning (2001) :

“Market Failure refers to a situation in which we can envision that individuals would be better off if the freedom to produce and/or exchange that people have in the market economy was interfered with in some way by government. When we say that there is market failure, we believe that taxing, subsidizing, or regulating some activity may cause the self-interests of the various individuals to be better served.”

Market failure menurut Gunning (2001) disebabkan karena beberapa kesalahan (errors) pemerintah, ia selanjutnya mengidentifikasi tujuh error tersebut :

1. The error of Underratting Market Solutions 2. The error of Overatting the Government Solutions 3. The Error of Neglecting Conformity

4. The error of Neglecting Potential Abuse of Coersion 5. The Error of Neglecting Technology and Other Changes 6. Obsolescence in Goverment Instituions

7. Government Instituions without an Economic Purpose

Mengenai bentuk-bentuk market failure dikemukakan oleh Dollery dan Wallis (1999:17-18), dengan mengelompokkannya menjadi tiga :

1. Monopoli atau oligopoli. Munculnya monopoli menurut mereka lebih banyak disebabkan karena kebijakan pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang anti persaingan

2. Eksternalitas (yang jumlahnya ratusan jenis)

3. Ketidakmampuan swasta dalam memproduksi barang-barang kebutuhan masyarakat.

Beresford (2000:48) memperluas dimensi market failure dengan menyatakan bahwa pasar dapat mernjadi gagal dapat ditelusuri dari :

1. By overexploitation of common property resources, such as fisheries and forest, leading to the need foer government regulation over such resources.

(25)

3. By the presence of what is termed an externality, where a non-involved party is adversely affected by the activities of others. For example, an externality is caused when an industrial plant creates pollution for others living nearby. Government are often required to protect those affected by such uninvolved parties.

4. By all devisions from prefect competition among bisinesses. If business operates in anti-competitive ways, such as through monopolies or price-setting, governments need to intervene with a variety of regulatory laws to ensure fair competition in the private sector

Pendapat Beresford di atas, tentu saja lebih pada sudut pandang ilmu ekonomi dari pada ekonomi politik. Padahal, menurut Gunning (2001), Public Choice

lebih tertarik pada kasus dimana tindakan para pelaku pasar mencari kedudukannya melalui hak-hak istimewa (special privileges) yang diperoleh dari para agen pemerintah. Dengan perkataan lain, individu memburu hak-hak istimewa untuk memperoleh pendapatan rente monopoli dari para agen pemerintah. Misalnya, monopoli yang diperoleh dari kontribusi para legislator, dari para pelobi legislator, dari para birokrat, atau dari penyuapan/sogokan (bribery).

Pemburu Rente (Rent-Seeking)

Rent-seeking yang menjadi sangat populer dipergunakan dalam wacana

(26)

merupakan salah satu konsep penting dalam teori public choice, yang dipergunakan untuk menjelaskan perilaku para birokrat dan politisi dalam upayanya mengejar kepentingan pribadi mereka dengan memanfaatkan fasilitas dan kekuasaan yang mereka miliki.

Dari perspektif ekonomi politik, istilah rent-seeking untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Tullock (1967), meskipun ia tidak menggunakan secara spesifik istilah “Rent-Seeking” dalam tulisannya, namun analisis Tullock menyangkut aspek

-aspek yang menjadi cikal bakal kajian rent-seeking pada masa-masa selanjutnya. Tullock menganalisis situasi dimana dominannya peran pemerintah dalam melakukan pembatasan (restriksi) perdagangan. Restriksi tersebut ternyata diperlakukan secara berbeda-beda, antara satu jenis barang dengan jenis barang lainnya. Tullock menyimpulkan bahwa perbedaan perlakuan tersebut ternyata disebabkan oleh besar kecilnya insentif yang diterima oleh aparat pemerintah dari para pelaku pasar. Tujuh tahun kemudian, tepatnya tahun 1974 istilah tersebut secara resmi dipublikasikan sebagai perbendaharaan ilmu pengetahuan oleh Anne O. Krueger dalam artikelnya “The Political Economy of the Rent-Seeking Society”.

Rent seeking pada umumnya dijumpai pada situasi non-pasar, meskipun juga terkadang ditemukan pada lembaga pasar (Tollison,1987). Istilah “rent” mengacu

pada situasi dimana pertukaran atau pemilikan sumber daya lebih dari atau di atas tingkat yang dapat diperoleh dengan berbagai alternatif penggunaan. Rent-seeking juga disebut sebagai ekses dari “opportunity cost” (Buchanan,2000). Tentu saja

(27)

Rentenir, karena rent-seeking yang dimaksud diperoleh dari situasi pasar dan non-pasar atau dalam situasi “profit-seeking” dan “rent-seeking”. Profit Seeking dapat

dibedakan dari rent-seeking melalui perbedaan konsekuensi yang tidak diharapkan, dimana individu-individu berhadapan dengan kedua situasi. Secara institusi Rent Seeking akan memaksimalkan keuntungan (profit) individual, tetapi pada saat yang sama meminimalkan manfaat sosial (social benefits). Terjadinya rent-seeking pada situasi non-pasar ketika tidak ada lagi potensi untuk menambah nilai yang diharapkan, sehingga mendorong para pencari rente menciptakan kelangkaan buatan dengan melakukan intervensi dan sinergi dengan aparat pemerintah (Tollison,1987).

Teori Kelangkaan Sumber Daya Alam dan Konflik (Environmental Scarcity and Conflict Theory)

Konflik hampir selalu bersumber dari adanya kelangkaan (scarcity), baik kelangkaan yang berifat materi maupun non-materi, baik berdimensi ekonomi, politik maupun sosial kultural. Dengan demikian, maka kelangkaan sumber daya alam (environmental scarcity), baik yang sumber daya alam yang dapat diberbaharui (renewable resources) maupun tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources) dapat dianggap sebagai sumber penyebab terjadinya konflik.

(28)

beberapa model pendekatan teoritis yang dapat dijadikan sebagai kerangka analisis (analytical framework), termasuk identifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi

serta pola interaksinya. Kerangka teoritik Homer-Dixon ini telah dipublikasikan dalam beberapa jurnal ilmiah.

Jenis dan hubungan Variabel

Menurut Thomas-Dixon (1995), beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis pola hubungan kausal, antara perebutan pendayagunaan sumber daya alam dengan konflik. Menurutnya ada tujuh variabel yang menjadi karakteristik pola hubungan kausal yaitu : necessity, strenght, proximity, exogenity, multycausality, interactivity, dan nonlinearity. Diantara ketujuh karakteristik pola hubungan tersebut multycausality merupakan salah satu yang terpenting, sebab hampir semua konflik yang terjadi, hampir selalu berhubungan dengan banyak faktor politik dan ekonomi. Dengan perkataan lain, faktor politik dan ekonomi suatu negara mempunyai hubungan dengan eksploitasi sumber daya alam, yang selanjutnya secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan munculnya konflik. Hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Faktor Politik dan Ekonomi

Konflik dengan kekerasan

(29)

Menurut Homer-Dixon (1994,1995,1996) ada dua cara pendekatan yang dapat dipergunakan untuk menganalisis apa dan bagaimana kelangkaan sumber daya alam (environmental scarcity) dapat menyebabkan konflik, yaitu :

1. Analisis dapat difokuskan bagaimana kelangkaan mempengaruhi para aktor. 2. Analisis dapat difokuskan pada hubungan antara penyebab (environmental

scarcity) dengan akibat konflik (conflict).

Dalam beberapa tulisannya Homer-Dixon lebih banyak menggunakan pendekatan kedua. Menurutnya, ada beberapa variabel yang dapat digunakan untuk menganalisis hubungan antara kelangkaan sumber daya alam dengan konflik. Dia mengidentifikasi ada tujuh variabel yang menjadi karakteristik hubungan tersebut, yaitu : necessity, strenght, proximity, exogeniety, multycausality, interactivity, dan non-linearity. Diantara karakteristik itu multycausality merupakan salah satu yang

terpenting, sebab hampir semua konflik yang berhubungan dengan sumber daya alam, selalu terkait dengan banyak faktor seperti politik, ekonomi, dan budaya. Jenis kelangkaan yang seringkali menjadi penyebab konflik dengan kekerasan (Homer-Dixon,1994), adalah :

1. Perubahan iklim yang disebabkan oleh efek rumah kaca (greenhouse-induced climate change)

2. Penipisan ozon (stratosperic ozone depletion)

3. Degradasi dan hilangnya lahan pertanian yang subur (degradation and loss of good agricultural land)

4. Degradasi dan penebangan hutan (degradation and removal of forests)

5. Penipisan dan polusi suplai air bersih (depletion and pollution of fresh water supplies)

(30)

Kerangka Analisis Hubungan antar Variabel

Untuk menganalisis kelangkaan sumber daya alam (environmental scarcity) menurut Homer-Dixon (1991:8) dapat dikategorikan menjadi tiga penyebab:

1. Kelangkaan yang bersumber dari permintaan (demand-induced scarcity), yaitu kelangkaan yang disebabkan bertambahnya jumlah penduduk atau meningkatnya konsumsi perkapita penduduk.

2. Kelangkaan yang bersumber dari penawaran (supply-induced scarcity), yaitu kelangkaan yang disebabkan terjadinya penurunan (degradation) dan penipisan (depletion) sumber daya alam yang ada, sebagai akibat dari penebangan hutan, praktek pertanian berpindah dan lain-lain, sehingga terjadi penggundulan hutan (deforestation) dan erosi tanah (soil erosion).

3. Kelangkaan struktural (structural scarcity), yang sering disebut dengan istilah ketidakmerataan distribusi (unbalanced distribution), atau ketimpangan akses (unequal access), yaitu kelangkaan yang disebabkan oleh meningkatnya

kekuasaan kelompok atau golongan tertentu yang mengakibatkan melemahnya kekuasaan kelompok atau golongan lainnya terhadap penguasaan sumber daya yang tersedia, atau dengan perkataan lain, terkonsentrasinya kepemilikan sumber-sumber daya yang ada di tangan segelintir orang atau kelompok.

(31)

daya yang ada dan mendistribusikannya kepada lainnya yang sehaluan dengannya untuk kepentingan kelompok mereka sendiri. Lihat gambar 3.

2. Marjinalisasi Ekologi (ecological marginalization). Hal ini terjadi ketika demand-induced and structural scarcity berinteraksi menjadi supply-induced, dimana

kondisi masyarakat yang marjinal sering menjadi alasan untuk melakukan migrasi ke daerah yang dianggap mempunyai sumber daya yang banyak, sehingga menjadi faktor yang mempercepat kelangkaan itu terjadi.

Menurunnya Kualitas dan Kuantitas SDA

Pertumbuhan Penduduk Kesenjangan Akses SDA

Meningkatnya Kelangkaan SDA

Gambar 3. Penguasaan SDA dan Marjinalisasi SDA (Homer-Dixon,1991)

Penguasaan SDA : Penururnan SDA + Pertumbuhan Penduduk -> Kesenjangan Akses SDA

Marjinalisasi Ekologi :Kesenjangan Akses SDA + Pertumbuhan Penduduk -> Degradasi & Deplesi SDA Menurunnya Kualitas dan

Kuantitas SDA

Pertumbuhan Penduduk

Kesenjangan Akses SDA

(32)

Faktor-faktor yang mempengaruhi Konflik Sumber Daya Alam

Degradasi lingkungan menyebabkan proses pemiskinan masyarakat di negara-negara berkembang. Produktivitas ekonomi dipengaruhi secara langsung oleh kerusakan lingkungan, atau dipengaruhi secara tidak langsung melalui efek sosial, yaitu menurunnya produksi hasil pertanian. Sebagai contoh, meningkatnya intensitas radiasi sinar ultraviolet akibat terjadinya penipisan ozon (ozone depletion) dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit manusia, ternak dan mahluk hidup lainnya, yang kesemuanya dapat mempengaruhi produktivias ekonomi secara keseluruhan. Pembalakkan kayu (logging) untuk kepentingan eksport, dalam jangka pendek mungkin akan meningkatkan pendapatan negara atau keuntungan kelompok pengusaha, tetapi kegiatan tersebut akan meningkatkan kerusakan jalan, jembatan, sungai, dan infrastruktur lainnya yang dilalui untuk mengangkut kayu tersebut, dan yang lebih penting lagi rusaknya lingkungan hutan, dan terganggunya kehidupan ekonomi keluarga-keluarga miskin yang berada di dalam dan disekitar lingkungan hutan yang menggantungkan kehidupan mereka dari ketersediaan SDA.

(33)

preferensi, kepercayaan dan keyakinan. Sehingga terjadi konflik yang permanen (acute conflict) (Homer-Dixon,1995).

Faktor-faktor yang memberikan kontribusi terhadap meningkatnya intensitas konflik (Homer-Dixon,1991) adalah :

1. Hubungan antar kelompok etnik ; 2. Strata kelas sosial dalam masyarakat ; 3. Budaya yang dianut oleh masyarakat ; 4. Mekanisme pasar ;

5. Legitimasi dan kekuasaan institusi yang ada dan hubungan sosial.

Perubahan lingkungan atau rusaknya kondisi lingkungan alam pada suatu daerah dapat juga mendorong meningkatnya migrasi penduduk dari suatu daerah ke daerah lainnya, dari desa ke kota dan bahkan dari suatu negara ke negara lainnya. Bencana alam, peperangan dan kerusuhan etnik telah menyebabkan jumlah pengungsi yang semakin meningkat. Atas alasan dan keinginan sendiri atau atas sponsor pemerintah dengan alasan politik, menjadikan perpindahan penduduk sebagai masalah nasional yang semakin kompleks.

(34)

communication), dan politisasi (politization) (Dixon,1995). Hubungan migrasi dan

konflik dapat digambarkan sebagai berikut :

Ketegori Konflik yang disertai dengan Kekerasan (Violent Conflict)

Secara umum jenis konflik yang disetai dengan kekerasan dapat diidentifikasi menjadi tiga kategori besar (Dixon,1995), yaitu :

1. Kekerasan politik (political violence), yaitu suatu konfik yang disertai dengan kekerasan melawan negara dan atau kekerasan yang dilakukan oleh negara. Kekerasan jenis ini hampir selalu dilakukan secara kolektif dan pada umumnya disebabkan oleh ketidakpuasan massa terhadap tindakan dan kinerja pemerintah/negara. Kekerasan yang termasuk ketagori ini : (a) kerusuhan/huru hara (riot), (b) perselisihan/percekcokan (insurgency), (c) pemberontakan (rebellion), (d) revolusi (revolution), dan (e) perang sipil (civil war).

Meningkatnya Migrasi

Kompetisi Benturan Budaya Komunikasi Sosial

Politisasi

Gambar 5. Hubungan migrasi penduduk dengan konflik (Homer-Dixon,1991) Konflik dengan

(35)

2. Kekerasan komunal dan etnik (communal and ethnic violence), adalah suatu bentuk konflik yang disertai kekerasan yang pada umumnya terjadi di daerah perkotaan (urban violence) yang menjadi trend dewasa ini. Termasuk kategori ini adalah kekerasan kelompok etnis, rasial, dan agama. Kekerasan semacam ini umumnya disebabkan karena ketidakmerataan akses dan kesempatan dibidang ekonomi dan politik. Kekerasan jenis ini sering dijadikan melakukan mobilisasi politik oleh suatu kelompok tertentu.

Gambar

Gambar 1. Public Choice Model of Politics (Mitchell & Simmon 1994 dalam Dollery & Wallis,1999:38)
Gambar 2. Hubungan Kelangkaan SDA dan Konflik (Homer-Dixon,1995)
Gambar 3. Penguasaan SDA dan Marjinalisasi SDA (Homer-Dixon,1991)
Gambar 5. Hubungan migrasi penduduk dengan konflik (Homer-Dixon,1991)

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah dan karunia-Nya yang melimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi salah

Pengaturan pasal yang melakukan pelanggaran hukum dalam membuat akta tanah adalah yang berkaitan dengan aspek formal akta yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang diperoleh pada pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa strategi Marketing Communication SnowBay Waterpark

Lactobacillus plantarum pada media MRS cair selama 24 jam didapatkan hasil bahwa bakteri tidak mengalami fase lag dalam percobaan ini dikeranakan inokulum bakteri

Gejalanya adalah Anemia karena kekurangan zat besi dan rendahnya kadar protein di dalam darah bisa terjadi akibat perdarahan usus.penularanmelalui larva cacing yang terdapat di

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada STIKes Muhammadiyah Gombong Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non- exclusive Royalty-Free Right)

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/OT.140/2/2013 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah