• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tandan Sawit Volume 2 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan " Tandan Sawit Volume 2 2009"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Redaksi

Penanggung Jawab

Abet nego Tarigan

Dewan Redaksi

Abet nego Tarigan, Edi Sut risno, NA Surambo, Jef ri G. Saragih, Norman Jiwan.

Pemimpin Redaksi

Edi Sut risno

Redaksi Pelaksana

Jef ri G. Saragih

Redaksi

Yan-Yan Hadiyana, Elsa Su-sant i, Carlo Nainggolan, Eep Saepullah, Fat ilda Hasibuan, Inda Fat inaware.

Sekretariat Redaksi

Vinna Saprina

Distribusi dan

Pelayanan Komplain

Eep Saepullah dan Sahroel

Keuangan

Tina Sumart ina, Supapan dan Sukardi

Penerbit

Perkumpulan Sawit Wat ch

Alamat Redaksi

Jl. Sempur Kaler No. 28, Bogor

Telp : 0251-8352-171 Fax : 0251-8352-047 redaksi@sawit wat ch. or. id www. sawit wat ch. or. id Sumber f ot o :

Sawit Wat ch

Jika Hukum. .

Jika hukum yang menjadi peng-ganjal tegaknya keadilan, al-angkah baiknya SW juga melak-sanakan pembelajaran hukum yang berlaku kepada masyarakat. jangan hanya bisa menyemanga-ti masyarakat untuk memperoleh keadilan tanpa ada landasan hukum. jika hukum jadi senjata perusahaan dan pemerintah un-tuk merampas hak masyarakat, apa salahnya jika kita balik, masyarakat menjadikan hukum sebagai alat untuk memperoleh hak mereka. bravo SW (hendri)

---Apakah sawit watch ada data/ perkembangan terbaru tentang rencana pemerintah untuk per-luasan pembangunan kebun

sawit baru, terutama disepan-jang perbatasan Kalimantan Timur dan Malaysia yang akan mengancam taman nasional Kayan Mentarang? terima kasih atas informasinya (arti prat)

---Apakah SW jg memperhatikan booming pembangunan perke-bunan Kelapa Sawit saat ini dilakukan oleh ihak asing dgn pemodalan bank dalam negeri. Pada akhirnya kasus kelapa sawit ini akan lebih gawat dari-pada BBM, produksi melimpah karena luas areal yg besar tetapi keuntungan dibawa keluar, akh-irnya bangsa kita hanya jd kuli, tanah hilang akibat konsesi, tenaga diperas, uang dibawa lari ... (Aji)

---Di Kab.Seruyan ada satu Da-nau terbesar di Kal-Teng DaDa-nau yang disebut masyarakat Danau Sembuluh, ditahun 70-an semasa saya msh anak2 Danau tersebut adalah tempat yang damai ten-tram dan betul2 alami, sekarang danau tersebut dike lilingi perke-bunan sawit, bahkan sampai bibir pan bunga danau, adakah saran dan petunjuk dari Sawit Watch untuk kami mengawali gerakan penyelamatan dari pencemaran limbah, agar danau yang kami banggakan tersebut tetap lestari (Audi Valent-Kalteng)

---saya mau tanya, apa saja syarat untuk ikut bergabung dalam SAWIT WATCH, apakah di KA-LTENG sudah ada? kemana saya bisa menghubungi? Trims (Audy Valent- Kalteng)

website : sawitwatch. or. id

2

Mengukuhkan

Jalan . . .

4

Dari Pemilu ke

pemilu. . .

12

Dampak Makro

Produksi

Agro-fuel. . .

6

Hak Politik

bu-ruh terpasung. . .

8

Menggusur

dominasi

kelom-pok mapan. . .

10

Konlik sumber

daya alam. .

14

Soal Sawit di

ta-nah Prai, Papua

. .

(3)

Tahun 2009,

men-j adi sebuah pert

ar-ungan baru bagi elit

oligarki polit ik

un-t uk semakin kreaun-t if .

Sayangnya, kreat

i-itas tersebut bukan

bert uj uan unt uk

mendat angkan

ke-baikan bagi rakyat

dan lingkungan,

t et api j ust ru kreat

i-itas yang menghan

-curkan keberlanj

u-t an sumber-sumber

kehidupan rakyat .

emilu langsung 2009 se-bagai salah satu bentuk demokrasi prosedural, memang bisa terwujud. Demokrasi melalui pelaksanaan pemilu dapat menjadi pintu be-sar untuk memasuki ruang-ruang kuasa, bukan hanya kepada elit, tetapi juga kepada masyarakat sipil. Demokrasi yang terpusat pada pemilihan umum (electoral

democracy), tidak lebih hanya

sebagai sebuah kemenangan dari politik prosedural, dan hanya memberi kesempatan kepada kekuatan neoliberal dan

preda-toris untuk bergantian menguasai

lembaga-lembaga negara.

Kekuatan korporatokrasi telah mampu mempengaruhi agenda-agenda politik mulai dari ting-katan Pilkada hingga Pemilu Legislatif dan Pilpres. Caranya

melalui dukungan inansial pada

kandidat-kandidat yang bertarung pada pesta demokrasi, janji-janji politik yang disampaikan tidak lebih hanya untuk semakin me-langgengkan dominasi agenda ne-oliberal. Harapan pembaruan ter-hadap Pemilu 2009 masih berupa mimpi, kenyataannya proses yang akan terjadi masih hampir sama dengan Pemilu 2004.

Sarekat Hijau Indonesia meman-dang bahwa secara substansi pemilu 2009 masih belum beran-jak maju untuk mencapai sebuah cita-cita besar bagi perwujudan demokrasi kerakyatan, keadilan sosial, kedaulatan dan kemandi-rian ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan hidup. Ini dapat dicer-mati dari diabaikannya agenda “hijau” sebagai sebuah agenda

utama dalam kebijakan partai-partai politik baik dalam visi mis-inya, platform maupun program partai. Agenda hijau tentu bukan hanya melihat lingkungan hidup sebagai sebuah wacana, melaink-an juga sebagai sebuah ideologi yang menjadi arah gerak dari sebuah perubahan yang mendasar atas tatanan ekonomi Indonesia dan global yang kental bercorak kapitalistik.

Karenanya, Sarekat Hijau Indone-sia mendorong untuk membangun kekuatan politik alternatif rakyat,

Pemilu 2009:

Mengukuhkan Jalan Rente Ekonomi

dan Kekuasaan Politik Modal

P

tugas utamanya adalah mende sakkan diadopsinya agenda-agen-da rakyat untuk melawan ber-cokolnya kekuatan-kekuatan im-perialis dan feodal di dalam tubuh kekuasaan. Serta meletakkan lan-dasan bagi model ekonomi-politik pada tata kuasa, tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi sum-ber-sumber kehidupan bukan han-ya dalam level negara, melainkan harus mampu diturunkan oleh kekuatan komunitas lokal yang berorientasi kepada kemandirian ekonomi, keadilan sosial dan ke-berlanjutan lingkungan.

Sarekat Hijau Indonesia juga meyakini bahwa demokrasi poli-tik yang diterjemahkan dalam ko-tak suara pemilu tidak membawa manfaat bagi rakyat, jika tidak di-ikuti dengan ekonomi kerakyatan yakni dengan menyerahkan alat-alat produksi ke tangan rakyat sebagaimana yang dimandatkan

dalam konstitusi Negara (dikutip dari dokumentasi

Kusnadi Wirasaputra).

Demokrasi

yang

ter-pusat pada

pemilihan

umum

(elec-toral democracy), tidak lebih hanya seba

-gai sebuah kemenangan dari politik

prose-dural, dan hanya memberi kesempatan

kepada kekuatan neoliberal dan

preda-toris untuk

bergantian

menguasai

lembaga-lembaga

negara.

(4)

Menj adikan pemilu 2009

sebagai moment um st rat egis

“ perbaikan nasib” j auh dari

harapan kaum buruh di

Indo-nesia. Dari pemilu ke pemilu

nasib kaum buruh t idak lebih

dari sekedar “ obyek” bagi

kekuat an sosial polit ik di luar

buruh. Meski ref ormasi t elah

membuka ruang yang cukup

besar bagi t umbuhnya serikat

buruh, namun realit asnya

tidak signiikan bagi

pemban-gunan kesadaran polit ik kaum

buruh. Serikat buruh memang

t umbuh bagaikan j amur di

musim huj an t et api ia gagal

menj alankan f ungsinya

se-bagai wadah pendidikan dan

art ikulasi kepent ingan dan

hak polit ik buruh.

emikian halnya di sektor perkebunan sawit. Perkebunan sawit di wilayah Su-matera Utara yang menyulap hutan belantara menjadi “lautan” dollar tumbuh ditengah pengorbanan kaum buruh yang hanya “sekedar makan” demi ber-tahan hidup.

Buruh perkebunan sawit sangat berbeda den-gan buruh di lingkunden-gan industri di perkotaan yang relatif terbuka akses pada informasi dan mobilitas sosial baik horizontal maupun vertikal. Buruh di perkebunan sawit meng-hadapi banyak keterbatasan. Mereka adalah kelompok yang mempunyai status terendah dalam masyarakat perkebunan, serta ruang ger-ak yang hampir “tertutup” karena keberadaan kebun sawit relatif terisolasi (enclave) dari struktur managemen perusahaan maupun dari organisasi masyarakat sipil disekitarnya.

Identitas buruh perkebunan terfragmentasi da-lam struktur yang bersifat subyektif sehingga menyulitkan bagi mereka untuk menyatukan kepentingan mereka. Situasi demikian aki-bat keteraki-batasan pendidikan, ekonomi serta sistem hukum/ kebijakan yang tidak melind-ungi kepentingan kelompok ini.

Selain itu keseluruhan praktek kerja mereka berbasis pada penghisapan. Mulai dari re-kruitmen warisan, praktek outsourcing, pem-berlakuan sanksi kerja dikonversikan dengan pengurangan upah, kriminalisasi, mutasi dan PHK bagi buruh yang kritis terhadap pe-rusahaan sampai penggunaan managemen kekerasan dalam bentuk pengerahan aparat keamanan termasuk premanisme lokal secara berlapis untuk mengendalikan buruh demi maksimalisasi keuntungan perusahaan.

Akibat upah yang rendah, kaum buruh mesti bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga kelompok ini mesti rela kehilangan kesempatan untuk terlibat lang-sung di dalam kegiatan-kegiatan berorganisa-si. Kebanyakan buruh lebih memilih menggu-nakan waktu luang mencari kerja tambahan di luar perkebunan, misalnya bertukang mem-bangun rumah.

Akhirnya buruh hanya tertarik ikut berserikat jika menyangkut kepentingan-kepentingan

jangka pendek seperti perjuangan hak-hak normatif mereka. Niat untuk menghimpun kekuatan dalam bentuk Serikat Buruh yang terorganisir belum dianggap sebagai suatu ke-butuhan yang penting.

Serikat Buruh yang teridentiikasi di perusa -haan perkebunan sawit di Sumatera Utara, yang paling besar adalah Serikat pekerja Selu-ruh Indonesia (SPSI), yang didukung oleh pe-merintah. Selain itu, ada juga serikat pekerja bentukan perusahaan seperti Sekar, SP-BUN dan Serikat pekerja yang didukung oleh indi-vidu-individu di tingkat manager dan direksi perusahaan.

Pola-pola kerja, struktur maupun program yang dilakukan oleh masing-masing serikat tersebut, digolongkan sebagai serikat buruh/ pekerja “kuning” karena misi dan visi, pro-gram maupun struktur organisasinya sangat ‘elitis’ tergantung kepada pemerintah mau-pun perusahaan. Mereka sangat kooperatif dengan pemerintah maupun perusahaan, bahkan sering dijadikan bumper untuk mem-perlemah perjuangan buruh dalam menuntut hak-haknya.

Ironisnya, pada serikat-serikat pekerja ben-tukan perusahaan dan pemerintah tersebut sangat minim dilakukan kaderisasi seperti pendidikan dan pelatihan yang bisa

mening-DARI PEMILU KE PEMILU

BURUH PERKEBUNAN SAWIT

HANYA JADI OBYEK POLITIK BELAKA

LAPORAN KHUSUS

(5)

katkan pemahaman anggota terhadap hak-hak buruh, dan peningkatan keterampilan kerja termasuk hak politik buruh. Rata-rata keang-gotaan serikat buruh tersebut sangat pasif sehingga sebahagian besar tidak mengetahui manfaat menjadi anggota serikat.

Bahkan serikat buruh tersebut tidak lebih ser-ikat yang berbasis mobilisasi politik praktis terutama dimanfaatkan sebagai massa untuk kepentingan-kepentingan politik di tingkat lokal, walaupun kemudian tidak mendapatkan manfaat apapun dari mobilisasi politik terse-but.

Sedangkan Serikat Buruh lainya, seperti SBSI, PERBBUNI, KOBBRA adalah Serikat Buruh yang tumbuh dari bawah yaitu dari

bu-ruh yang berailiasi dengan organisasi-organ

-isasi masyarakat sipil. Serikat buruh tersebut biasanya cukup kritis terutama dalam men-dukung perjuangan buruh yang mendapatkan perlakuan tidak adil dari perusahaan perkebu-nan.

Namun demikian orientasi program organ-isasi serta kaderorgan-isasi membangun kekuatan buruh dan solidaritas di antara sesama buruh masih lemah, dan masih sangat tergantung pada pihak di luar dirinya sehingga rawan akan perpecahan internal.

Bicara partisipasi politik buruh adalah bicara bagaimana buruh kebun mengartikulasikan kepentingan buruh dalam konteks pemilu

2009. Tampaknya dari gejala di lapangan bahwa masyarakat sekitar perkebunan dan bu-ruh masih memandang sebelah mata tantang Pemilu 2009. Mereka “tidak berharap ban-yak” atau bersikap apatis terhadap Pemilu. “Pemilu buat orang kaya aja, kalau kita tetap begini-begini saja.” demikian tukas seorang buruh berhasil ditemui di tempat kerjanya.

Pengakuan lugas tersebut tentu tidak terlepas dari pengalaman dan situasi sosial dimana mereka hidup. Para petinggi perkebunan

ter-utama pemilik dan administrator perkebunan (ADM) merupakan aktor yang sering terlibat dalam partai atau menjadi caleg dari salah satu partai politik. Perilaku para petinggi perkebunan sawit yang ikut berpolitik praktis itu kerap menggunakan kedudukanya untuk memaksa buruh memilih diri atau parpol yang mendungkung atau didukungnya.

Pendekatan kekuasan sengaja digunakan un-tuk mendapatkan suara dari buruh. Misalnya saja cara melarang berdirinya bendera atau baliho dari partai lain di luar partai politik yang didukung para petinggi perkebunan. De-mikian pula nasib buruh yang masuk atau ikut terlibat dengan partai lain, biasanya langsung diintimidasi dengan mutasi kerja.

Seperti pengalaman Kohir, salah seorang buruh di Serdang Bedagai yang mendirikan bendera dan Baliho dari Partai politik tertentu. Tindakan Kohir tadi langsung dijawab dengan “mutasi kerja” yang dulunya sebagai pemanen kini jadi “pembabat”. pemutasian Khohir adalah cara Administratur kebun melakukan teror terhadap buruh lain agar tidak mengikuti jejak Kohir.

Tampaknya dari

gej ala di lapangan

bahwa masyarakat

sekit ar perkebunan

dan buruh masih

me-mandang sebelah

mat a t ant ang Pemilu 2009. Mereka “ t idak

berharap banyak” at au bersikap apat is

t erhadap Pemilu. “ Pemilu buat orang kaya

aj a, kalau kit a t et ap

begini-begini saj a. ”

demikian t ukas

se-orang buruh yang

berhasil dit emui di

t empat kerj anya.

Pendekatan lain yang digunakan “elite” perkebunan sawit biasanya menggiring buruh memilih calon legislatif yang berduit. Tujuan-nya selain mendapatkan uang dari si caleg, kelak apabila terpilih, maka kepentingan poli-tik si elit kebun tadi akan diakomodir oleh si legislator. Sadar atau tidak sadar sering kali

buruh mengidentiikasi caleg bukan atas

dasar sumbangan terhadap perbaikan kehidu-pan masyarakat sekitar perkebunan tetapi da-lam pikiran mereka hanya orang-orang berduit yang pantas mencalonkan diri jadi caleg.

Selain itu, perilaku politik buruh juga sangat dipengaruhi kepentingan yang pragmatis. Bu-ruh yang berpikiran sederhana menganggap pemilu sebagai ajang untuk mencari uang. Transaksi “money politik” pun terjadi, baik secara terbuka maupun melalui “serangan fa-jar”. Persaingan antar caleg justru dimanfaat-kan banyak buruh untuk mendapatdimanfaat-kan uang. Biasanya caleg yang suka “bagi-bagi uang” pada setiap acara kemalangan atau pesta men-jadi faktor yang turut dalam menetukan pili-han politiknya, walaupun warga desa itu

per-nah berkonlik dengan pihak perkebunan.

Demikian juga karena keterbatasan informasi yang diterima oleh buruh perkebunan. Ham-pir dipastikan bahwa partai-partai tertentu yang dekat dengan elite perkebunan yang bisa masuk ke daerah perkebunan. Sungguhpun demikian sering terjadi bahwa perusahaan membatasi partai-partai politik dalam sosial-isasi dan kampanye karena dianggap bisa menganggu proses kerja. Sangat sedikit kaum buruh mengetahui tentang partai dan caleg-caleg. Oleh karena tidak ada partai dan caleg yang diketahui dan dipercaya maka hubungan kesukuan, agama dan daerah dipakai sebagai ukuran seseorang menentukan pilihan poli-tiknya.

Pemilu legislatif yang ke-11 di tahun 2009 ini juga tak banyak mengubah paradigma dan pemberdayaan buruh. Dari pemilu ke pemilu para buruh hanya dijadikan obyek politik se-mata. Sampai kapan hal ini mesti dibiarkan?

Semoga kaum buruh cepat menginsai ke -beradaannya. (Manginar Situmorang -

(6)

Di pelbagai belahan dunia,

buruh –salah sat u kelas sosial

dalam st rukt ur masyarakat

modern- mempunyai pengaruh

yang cukup besar kalau t idak

ingin disebut dominan. Lewat

serikat buruh, hak-hak kaum

pekerj a ini menj adi t

erlind-ungi dan dihargai. Apabila

hak kelompok ini digerus oleh

kepent ingan pengusaha dan

pemerint ah, biasanya

ser-ikat buruh akan menyerukan

mogok massal. Berkali-kali

t elah t erbukt i people power

sangat ef ekt if mengembalikan

hak-hak yang t ergerus t adi.

Misalnya saj a, mogok massal

para sopir t ruk di Spanyol,

Perancis dan Port ugal pada

pert engahan t ahun 2008

unt uk memprot es kebij akan

pemeriant ah menaikkan harga

bahan bakar minyak. Akibat

prot es t ersebut , beberapa

Negara Eropa sepakat unt uk

menahan kenaikan harga t adi

dengan memberikan subsidi

BBM pada t ruk dan angkut an

massal lainnya.

amun nasib berbeda dialami para buruh di Indonesia. Sering kali ser-ikat buruh yang dibentuk di satu unit usaha justru lebih mempedulikan kepentingan pemilik modal daripada orang-orang yang bergabung didalamnya. Maka tidak mengherankan bila banyak pekerja pesimis terhadap serikat tadi karena diang-gap hanya perpanjangan tangan pengusaha belaka.

Persoalan yang sama juga terjadi di serikat buruh perkebunan sawit. Mayoritas pekerja di kebun sawit ini sering merasa mesti terpasung hak politiknya karena si pemilik kebun tempat mereka bekerja hanya memikirkan dua hal, yaitu mencari keuntungan sebanyak mung-kin dan menjaga relasi baik dengan pihak penguasa agat tetap mendapat fasilitas demi keuntungan juga. Biasanya buruh kebun sawit merupakan penduduk asli yang awalnya ting-gal di sekitar kebun. Kemudian tanahnya di-beli atau dirampas oleh perusahaan sawit yang menyebabkan kelompok masyarakat ini tak lagi memiliki tanah sebagai alat produksinya. Akibatnya mereka harus menjual tenaga di perkebunan sawit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sebagian lain buruh kebun berasal dari wilayah lain yang dimobilisasi untuk pemenu-han tenaga kerja dari perkebunan, terutama dari Pulau Jawa, Madura dan Nusa Tenggara yang jumlah penduduknya sangat besar dan telah terbiasa menjadi pekerja terampil karena di daerah asalnya buruh migran ini sudah ter-biasa dengan pertanian intensif.

Dalam perjanjian kerja, buruh kebun sawit diikat dengan 3 jenis kontrak kerja yaitu; per-tama Perikatan permanen (kontrak tahunan, sistem dan beban kerja sama dengan SKU hanya saja hari kerja dibatasi dibawah 20 hari), sistem kerja berdasarkan 1 hk (hari kerja = 7 jam kerja) dan target kerja secara bersamaan ditentukan sepihak oleh perusahan, upah antara Rp 29.000,- s/d Rp 31.500 tanpa jami-nan sosial. Kedua, Perikatan semi permanen (kontrak borongan, model kerja sopir-kernet yang kita sebut “paket hemat”, kepastian ker-ja tergantung pada fruktuasi panen, ker-jam kerker-ja ada yang ½ hk, ada yang 1 hk tergantung pada fruktuasi panen tanpa jaminan sosial. dan ke-tiga Sistem outsourcing baik resmi dan tidak resmi, kepastian kerja ukuranya ½ hk (4 jam kerja), kompensasi upah sekitar Rp 8.000 s/d 15.000,- tanpa jaminan sosial.

Ikatan kerja tersebut sangat bertentangan semangat UUD 1945, kerena peningkatan

HAK POLITIK BURUH KEBUN SAWIT

TERPASUNG

KEPENTINGAN

PENGUSAHA DAN PENGUASA

(7)

kesejahateraan buruh sangat bergantung pada

proit perusahaan yang akuntabilitasnya kerap

diragukan dan persaingan bebas memburu ke-untungan dalam mekanisme pasar besar seh-ingga perlindungan (proteksi) terhadap buruh bukan lagi menjadi sebuah keharusan. Bahkan ia telah berubah menjadi bentuk penghisa-pan, karena buruh tak ubahnya menjadi yang

nilainya dihitung berdasarkan produktiitas.

Anehnya pemerintah membiarkan saja hal itu terjadi dan menganggapnya bu-kan merupabu-kan suatu persoalan.

Posisi Buruh Kebun / Tani dalam Pemilu 2009.

Hak politik buruh juga diatur sangat ketat oleh perusahaan. Seperti yang telah diungkapkan di awal tulisan ini, serikat pekerja kebun sawit, salah satu lembaga yang memperjuangkan hak-hak buruh, kerap dijadikan simbol semata guna mengikuti amanat undang-undang. Ser-ikat buruh ini nyaris tak bergeming da-lam membela kepentingan buruh ketika

berkonlik dengan pengusaha. Bahkan

banyak perkebunan sawit tidak memiliki serikat buruh. Salah satu penyebabnya adalah buruh bukan menjadi prioritas pembanguan perkebunan di indonesia.

Selain hal hak politik kaum buruh dalam se-tiap perhelatan pemilu baik pilkada maupun pemilihan legislatif, hak-hak politik Buruh diperkebunan dipasung oleh kepentingan pemilik kebun. Pemasungan tersebut dilaku-kan dengan cara–cara antara lain :

1. Buruh dimobilisasi untuk

memilih salah satu calon

bu-pati atau gubernur atau

par-tai politik tertentu.

Misalnya di perhelatan pemilihan bupati di kabupaten Seruyan Kalimantan Tengah, kan-tong-kantong buruh dimobilisasi untuk meme-nangkan sang calon bupati (incumbent) yang terkenal dengan kebijakan sawitnisasinya dan dia menang telak terutama di wilayah-wilayah perkebunan.

Dalam perhelatan politik pemilihan umum legislatif 2009 yang baru saja dilaksanakan, buruh diperkebunan juga dimobilisasi untuk memilih partai yang kelompok penguasa di kalimantan tengah, dan akhirnya kantong-kantong perkebunan dimenangkan oleh partai politik tersebut.

2. Buruh dilarang mengekspresi-kan aspirasi polit iknya

Sebagai bagian dari warga negara indonesia seharusnya buruh diperkebunan juga berhak untuk menentukan hak dan pilhan politik

mereka, namun nasib buruh yang berada dan tinggal dibedeng-bedeng perkebunan dilarang untuk mengekspresikan hak politik mereka dengan dilarangnya para buruh melakukan kegiatan politik diwilayah pemukiman. Mer-eka dilarang untuk mengkampanyMer-ekan pilihan mereka bahkan simbol-simbol partai yang diusung di cabut dan dan dilarang untuk di pasang.

3. Pemalsuan DPT

Salah satu carut marutnya pemilu 2009 adalah masalah DPT ( daftar pemililih tetap), hal ini juga dimanfatkan oleh partai dalam menda-patkan keuntungan. Para buruh di daftarkan sebagai pemilih padahal tidak ada orangnya. Kenyataan ini diakibatkan bahwa buruh be-rada diwilayah yang sumir antara wilayah ad-ministrasi desa di sekitar wilayah perkebunan atau merupakan satu administari yang terinte-gral dari perkebunan. Keberadaan buruh ini sulit dilakukan pendataan oleh administrasi desa dan kondisi ini kemudian di manfaatkan oleh partai dan pemilik perkebunan untuk mempertahankan kekuasaan dan mendapat-kan keuntungan dari kaum buruh.

Jumlah buruh diperkebunan sangat mengiur-kan untuk dimobilisasi, apalagi untuk kepent-ingan politik praktis. Misalnya saja dari pene-litian Walhi Kalteng dan Sawit Watch, ditemui dalam 100 Ha kebun dipekerjakan 22 orang buruh. Dengan asumsi seperti itu, diperkira-kan jumlah buruh di perkebunan sawit saja yang ada di indonesia dengan luasan 7, 5 juta ha kebun yang sudah eksisting komposisi bu-ruh berjumlah mencapai 1, 650.000 bubu-ruh, belum termasuk keluarga mereka.

Misalnya saja di Kalteng. Ijin perluasan perkebunan sawit yang mencampai angka 4, 051.416 ha. Dari sana dapat dihitung jumlah

buruh kebun di provinsi ini mencapai 891.311 atau hampir setengah dari jumlah penduduk Kalteng pada tahun 2008 berjumlah 2.1 juta jiwa. Apabila dikaitkan dengan pemiliu leg-islatif di kalteng dari jumlah pemilih yang terdaftar sekitar 1.489.540 jiwa, komposisi buruh kebun bisa mendudukan 3-4 kursi dari 6 jatah kursi DPR-RI untuk dapil Kalteng, betapa hebatnya pengaruh suara buruh kebun sawit ini. Namun sayang kekuatan politik tersebut dilemahkan oleh sistem politik dan ekonomi yang sangat sarat kepentin-gan sempit dari para pelaku ekonomi dan birokrat di Indonesia.

Melepaskan dari ket ert in-dasan dan penghisapan poli-t ik dan ekonomi.

Kondisi buruh kebun/ tani tersebut meru-pakan kondisi realitas yang sedang di ala-mi oleh kaum buruh di perkebuanan, jadi hampir segala aspek mereka di kuasai dan tergantung pada system pekebunan skala besar tersebut. Tidak ada jalan lain untuk keluar selain menghimpun kekuatan melaui organisasi untuk mencapai kesejahteraan dan kedaulatan dilapangan ekonomi mau-pun politik. Ketrampilan dan pendidikan yang rendah menjadi salah satu kendala utama yang dihadapi buruh kebun hari ini sehingga mereka hanya memiliki tenaga un-tuk dijual ke perusahaan perkebunan, sayang-nya kesadaran yang ada hasayang-nyalah kesadaran pasrah akan keadaan sehingga sangat sulit ke-luar dari penghisapan yang di alami oleh bu-ruh kebun/tani ini. Kekuatan politik harus di tingkatkan menjadi kualitas minimal dengan persatuan dan modal utama sebagai kelompok yang paling dominan di masyarakat indonesia untuk menghimpun kekuatan politiknya. Se-jarah panjang sejak masuknya kolonialisme di Indonesia dengan mempekerjakan buruh di perkebunan yang terkenal dengan “koeli koentrak” masih berlangsung hingga saat ini. Undang-undang UU No 13 Tahun 2003 yang sangat liberal dan bersandarkan pada mekan-isme pasar tenaga kerja secara terbuka jelas mengurangi standar perlindungan buruh, dan peran negara sebagai pelindung pun semakin dihilangkan. Buruh/pekerja dibiarkan sendi-rian menghadapi ganasnya kekuatan pasar dan kekuatan modal. Disisi lain masyarakat indonesia seharusnya sudah sadar akan kondi-si dan kondi-situakondi-si ini, namun banyak berdiam diri dan pasrah akan keadaan sehingga masyarakat kita sadar atau tidak, juga mengaminkan per-budakan sebagai sebuah kewajaran sehingga mengurangi kepekaan kita melihat penindasan yang ada disekeliling kita.

Arie Rompas (Anggota Perkumpulan Sawit Watch. Saat ini menjabat Eksekutif Daerah Walhi Kalteng, tinggal di Palangkaraya.)

Jumlah buruh diperkebunan

sangat mengiurkan unt uk

dimobilisasi, apalagi unt uk

kepent ingan polit ik

prakt is. Misalnya saj a dari

penelit ian Walhi Kalt eng

dan Sawit Wat ch,

dit emui dalam 100 Ha

kebun dipekerj akan 22 orang buruh.

Jadi diperkirakan j umlah buruh

di perkebunan sawit saj a yang ada

di indonesia dgn luasan 7, 5 j ut a ha

(8)

Pada 9 April 2009

Indone-sia menggelar Pemilihan

Umum (Pemilu) ke-10 sej ak

kemerdekaannya.

Penye-lenggaraan Pemilu kali ini

didasarkan pada

Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2008 dan Perat uran

Pemer-int ah Penggant i

Undang-Undang Republik

Indone-sia Nomor 1 Tahun 2009

t ent ang Perubahan at as

Undang-undang Nomor 10

t ahun 2008.

emilu pertama dilaksanakan pada masa pemerintahan Soekarno di ta-hun 1955. Kemudian baru dilakukan lagi pada awal kekuasaan Orde Baru (Orba) tahun 1971. Sebagai sebuah tradisi formal lima tahunan, proses pencoblosan yang kini berubah jadi pencontrengan ses-ungguhnya hanya membutuhkan waktu pal-ing lama 5 menit di bilik suara demi penen-tuan masa depan Indonesia.

Menilik ke tahun 1971, saat itu partai-partai politik yang menjadi kontestan Pemilu di-anggap masih berseberangan alias belum dapat dirangkul oleh pemerintahan Suharto yang didukung penuh oleh Golongan Karya dan ABRI. Sehingga rezim itu merasa perlu melakukan pembersihan atau sterilisasi partai politik melalui fusi antar partai yang memiliki kesamaan ideologi dan

penempa-tan orang-orang yang diyakini mendukung Suharto dalam kepengurusan paratai.

Tu-juan fusi dan iniltrasi tadi tentu saja agar

kekuasaan Orde Baru tetap langgeng, ber-jalan lancar dan tanpa kendala.

Meminjam istilah Ipong S. Azhar, “penji-nakkan” terhadap parpol dilakukan dengan pengelompokan ideologi yaitu Partai Na-sionalis dan Partai Non NaNa-sionalis (aliran Agama). Kelompok yang mewakili aliran agama menyatu dalam sebuah fraksi di Parlemen (DPR/MPR), antara lain Par-tai Sarikat Islam Indonesia (PSII), ParPar-tai Masyumi, dan Partai Politik Islam lainnya. Fraksi beraliran agama ini akhirnya berfusi (melebur/menyatu/bergabung) pada 5 Janu-ari 1973 menjadi Partai Persatuan Pemban-gunan (PPP).

Di sisi lain Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan In-donesia (IPKI) bentukan AH. Nasution, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Mur-ba) dimotori Adam Malik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katholik yang beraliran nasionalis, kemudian ber-gabung dalam Kelompok Demokrasi Pem-bangunan di Parlemen (DPM/MPR), yang pada 10 Januari 1973 melakukan peleburan dengan mendeklarasikan berdirinya Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Partai-partai politik tersebut diberi kemuda-han dan fasilitas oleh negara berupa g Kan-tor di Jakarta, tepatnya di jalan Diponegoro no 66 untuk PPP dan nomor 68 untuk PDI. Tentu saja Golkar sebagai gerakan pendu-kung pemerintah (saat itu Golkar tidak mau menyebut dirinya parpol) lewat jalur ABRI, Birokrasi dan Golkar (ABG) mendapat pal-ing banyak kemudahan dan fasilitas.

Selain memberi kemudahan terhadap Par-tai Politik, Soeharto selaku Presiden juga merangkul dan memberi kemudahan terh-adap para pemilik modal untuk berinvestasi juga berperan aktif dalam dunia ekonomi. Upaya-upaya itu dilakukan agar tak ada kel-ompok yang melawan atau berseberangan dengan pemerintah. Tujuan dari semua itu adalah pemerintah mengontrol secara kuat sistem politik dan ekonomi.

Kelompok Mapan

Bukan rahasia, Soeharto juga memuluskan para elit partai dan pengusaha yang

berpi-MENGGUSUR DOMINASI KELOMPOK MAPAN

DALAM “ LIMA MENIT”

YANG KRUSIAL

Gust av George, anggot a Sawit Wat ch.

LAPORAN KHUSUS

(9)

hak padanya untuk menduduki posisi-posisi penting dalam struktur negara, tanpa krite-ria dan bobot penilaian yang jelas. Inilah kelompok mapan yang hingga kini masih banyak berada pada posisi penting atau elite di partai politik serta Pemerintahan.

Kelompok mapan ini banyak bertebaran menjadi anggota beberapa Partai Politik selain di Golkar, antara lain di

PDIP dan PPP, PKB dan PAN, PDS, PDK, PPD, dan PKS. Juga mendirikan partai politik baru seperti Gerindra dan Hanura serta PKPB. Kekuatan utama mereka adalah big money (uang dalam jumlah besar) dan jar-ingan individu atau organisasi yang selama ini diuntungkan oleh system politik dan ekono-mi yang ada.

Pada pemilu legislatif tahun 2009 ini, sejarahpun kembali berulang sama. Para calon leg-islatif yang bertarung mem-perebutkan kursi di parlemen membutuhkan modal besar dan

jaringan kerja yang kuat. Melalui uang dan kedekatan yang selama ini telah terjalin, kelompok mapan tadi mampu menciptakan popularitas kilat lewat penayangan Iklan di media massa dan pemancangan baliho, poster dan atribut-atribut yang berjejer demi tebar pesona.

Tokoh-tokoh jahat yang dulu menindas dan merampas hak-hak rakyat tiba-tiba bersalin rupa menjadi orang yang berpihak dengan janji akan melakukan apa saja demi ke-pentingan rakyat. Seakan-akan merekalah yang terbaik dan layak dipilih. Dalam re-alitas kemiskinan, rakyat yang kurang ber-pendidikan dan sering berada diantara rasa lapar dan kenyang pun mudah terbuai.

Bila diamati secara jeli, ada dua alasan kel-ompok mapan ini menjadi pengurus Partai. Pertama, partai politik adalah perkakas/ alat untuk merebut kekuasan secara konsti-tusional. Kedua, mereka terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan demi menga-mankan aset serta kiprah ekonominya lewat

kontrol dan intervensi kebijakan negara dari pusat sampai daerah.

Menuj u Perubahan

Mencontreng nama partai atau caleg dalam bilik suara dalam transisi lima tahunan yang bernama pemilu, paling lama hanya mem-butuhkan waktu lima menit. Namun 5 menit itu sangat krusial karena ia membutuhkan persiapan yang matang, menguras tenaga dan pikiran serta dana super jumbo.

Keinginan dan usaha yang di-lakukan oleh kelompok mapan secara gradual dan sistematis untuk melanggengkan ken-ikmatan hidupnya mesti segera diakhiri. Gerakan pembaharuan yang biasanya terbentuk dari kolaborasi antara rakyat,

aka-demisi, aktiis pro demokrasi,

dan kelompok kelas menengah kritis lainnya harus jeli meran-cang, menciptakan dan meman-faatkan serta siap mengambil alih dominasi pendukung status quo selama ini.

Mengutip teori politik sains modern yang mengatakan bahwa krisis mesti dilihat se-bagai pembuka kesempatan bagi sebuah perubahan. Dia bisa berupa krisis ekonomi, ketidakpastian politik, perang dan bencana alam. Situasi Indonesia sekarang ini san-gat memungkinkan untuk melakukan pe-rubahan. Pertanyaan yang kemudian mesti dijawab adalah apakah rakyat sudah lebih cerdas dalam memanfaatkan krisis yang se-dang terjadi sekarang dengan menentukan pilihan cerdas dalam bilik suara untuk 5 me-nit yang krusial demi menggusur dominasi kelompok mapan selama ini?

Gustav George (Anggota Sawit Watch dan Badan Pengawas Sawit Watch)

Tokoh-t okoh j ahat

yang dulu menindas dan

merampas hak-hak rakyat

t iba-t iba bersalin rupa

menj adi orang yang berpihak

dengan j anj i akan melakukan

apa saj a demi kepent ingan

rakyat . Seakan-akan

merekalah

yang t erbaik

dan layak dipilih.

(10)

Pendahuluan

Indonesia sebagai negara

agraris, masih diliput i

oleh permasalahan konlik

sumber daya alam/

agrar-ia. Berdasarkan cat at an

Badan Pert anahan

Na-sional (BPN), sedikit nya

ada 7.491 konlik agraria

yang saat ini sedang

di-t angani BPN dan

Kepoli-sian Republik Indonesia.

ingginya konlik ini disebabkan ket -impangan penguasaan sumber daya alam antara masyarakat adat/ lokal (yang menggantungkan hidup pen-gelolaan tanah, hutan, perkebunan, jasa ling-kungan dll) dengan penguasaan lahan oleh sektor bisnis skala besar seperti perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.

Anehnya pemerintah yang mewakili penye-lenggaraan Negara, dalam mengeluarkan ke-bijakan lebih berpihak pada investasi skala besar di lahan atau ruang kelola masyarakat adat/ lokal dan menegasikan adanya hak-hak masyarakat adat/lokal (tenurial, tradisional, ulayat).

Konlik yang ada sebagian telah menyebabkan

terjadinya Kekerasan. Pengambil-alihan lahan masyarakat lokal/adat bagi kepentingan dunia bisnis diwarnai dengan tindakan terror dan kekerasan yang melibatkan preman terorgani-sir dan aparat negara dalam pengamanan unit

bisnis itu. Anehnya seringkali konlik berujung

pada tindakan penangkapan dan pemidanaan masyarakat oleh aparat kepolisian dan pen-gadilan Patut diduga, tindakan krimininalisasi

ini dimaksudkan untuk membuat masyarakat takut memperjuangkan hak-haknya dan pen-guasaan lahan pun jadi milik dunia bisnis.

Sumber Konlik

Konlik sumber daya alam terjadi bukan

melulu karena benturan kepentingan antara masyarakat dan perusahaan, namun dipicu juga oleh kebijakan negara yang memang be-lum mengakomodir secara serius klaim pen-gelolaan sumber daya alam secara adat atau tradisional yang mewarisi lahan secara turun temurun baik individual maupun komunal.

Pola penguasaan dan kepemilikan tradisional ini tidak sama dengan standar hukum

perta-nahan formal yang didasarkan atas sertiikat

kepemilikan atau hak kelola melalui hak guna usaha. Kebijakan pemerintah yang ambigu membuat benturan serius antara hukum positif dengan hukum adat dalam mengelola lahan maupun hutan.

Selain Keruangan Bappenas (Badan Peren-canaan Pembagunan Nasional) dalam ben-tuk Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang diutunkan ke tingkat provinsi dan kabupaten terbukti masih gagal merumus-kan perencanaan keruangan yang bisa

memi-nimalisir konlik penguasaan dan pengelolaan

sumber daya alam. Sumber kegagalan ini terletak pada goodwill dan political will pe-merintah yang tidak jelas dalam penuntasan keruangan tersebut.

Persoalan lain yang menimbulkan konlik

sumber daya alam adalah kebijakan pemerin-tah untuk mengangkat sektor pertanian subsis-ten ke pertanian agrobisnis yang berorientasi

massal dan proit, belum mampu mengalihkan

masyarakat pedesaan dari corak pertanian tradisional ke pertanian intensif yang padat teknologi dan modal ala industri skala besar. Kondisi ini berhubungan dengan kegagalan pemerintah dalam penyediaan sarana dan prasarana pertanian intensif dan memberikan pendidikan layak yang bisa dinikmati oleh

masyarakat berpenghasilan rendah di pelosok nusantara. Juga penyediaan lapangan peker-jaan bagi usia angkatan kerja berpendidikan rendah dan menengah. Disinilah muara dari

konlik sumber daya alam tumbuh subur dan

menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat di pedesaan dan juga bagi keberlangsungan investasi oleh dunia

bisnis. Pada gilirannya nanti, konlik ini akan

merusak keberlanjutan alam untuk kehidupan mahluk hidup di masa mendatang.

Konlik Sumber Daya Alam di

Riau sepanj ang tahun 2008

Di Provinsi Riau, konlik sumber daya alam

lebih disebabkan oleh perebutan lahan, hutan dan bantaran sungai antara penduduk lokal dengan perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri. Juga kepentingan perluasan kawasan konservasi atau lindung. Sepanjang tahun 2008, Scale Up mencatat sedikitnya ada

96 konlik sumber daya alam dengan luas area konlik mencapai 200.586,10 hektar.

Konlik di Perkebunan Sawit

Konlik di industri perkebunan sawit skala

besar berawal tahun 1990-an, tepatnya setelah disahkannya peraturan daerah nomor 10 tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau. Dalam peta keruan-gan itu, lahan seluas 3,2 juta di negeri lancang kuning ini dicanangkan untuk sektor perkebu-nan sawit, tanpa didahului pendataan terhadap keberadaan hutan dan tanah adat/ulayat yang masih ada di wilayah pencanangan itu jaman kerajaan dahulu.

Dalam masa 20 tahun ke belakang, pertumbu-han perkebunan kelapa sawit telah mencapai 2,3 juta hektar dengan pertumbuhan kebun sawit rarata 100 – 200 ribu hektar per ta-hun. Pertumbuhan pesat tersebut telah

men-imbulkan konlik antara perusahaan kelapa

sawit dengan berbagai masyarakat suku asli di Riau, seperti Talang Mamak di Indragiri Hulu, Petalangan di Pelalawan, Sakai di Siak

KONFLIK SUMBER DAYA ALAM

ANCAM KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN

DI PROVINSI RIAU

(1)

T

(11)

dan Bengkalis, Bonai di Rokan Hulu. Catatan Scale Up selama tahun 2008, sedikitnya ada

52 konlik dengan luas lahan konlik 101.822 hektar. Hingga kini konlik-konlik itu belum

juga terselesaikan.

Melihat semakin banyaknya konlik yang

muncul dan tak juga terselesaikan itu, Scale

membuat analisis dan prediksi trend konlik

ke depan, yaitu:

1. Pert umbuhan penduduk vs Kes-ediaan lahan produksi.

Pertembuhan penduduk Riau sebesar 4 % per tahun. Selain tingkat kelahiran yang tinggi, faktor migrasi penduduk dari wilayah lain dis-inyalir menyebabkan angka pertambahan pen-duduk di provinsi ini cukup tinggi. Akibatnya kebutuhan pangan semakin tinggi berbanding terbalik dengan keberadaan lahan pertanian yang semakin menyempit akibat jual-beli la-han antara penduduk lokal dengan kelompok migrant atau dunia usaha. Transaksi jual beli

lahan tadi memicu konlik horizontal antara

ninik mamak/pemuka pemerintahan di desa dengan anak kemenakan atau warga secara umum.

2. Pengangguran vs lapangan peker-j aan.

Tingkat pengangguran yang semakin mening-kat sepanjang tahun 2008 akibat krisis global membuat banyak tenaga kerja kembali ke kampung asal mengadu nasib dengan bertani/ kebun sekedarnya. Kepulangan para pekerja ini diyakini memunculkan benturan, baik dengan perusahaan atau dengan pengelola kawasan konservasi, karena kelompok buruh ini juga membutuhkan lahan garapan setelah

terkenan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).

3. Pemenuhan kebut uhan dasar vs krisis pangan, air dan energy.

Penyempitan areal pertanian akibat konversi lahan menjadi perkebunan monokultur skala besar menyebabkan sumber Air untuk kebutu-han hidup rumah tangga dan energy mengala-mi penurunan kualitas dan kuantitas. Contoh terhadap energi bisa dilihat dari kemampuan PLTA Koto Panjang dalam menghasilkan daya

listrik yang semakin luktuatif dari 143 MW

menjadi rata-rata 75 MW, bahkan cendrung berkurang. Kondisi ini terjadi karena terjadi proses konversi hebat di daerah hulu sumber pasokan air PLTA Koto panjang.

4. Kebut uhan lahan garapan vs penguasaan dunia usaha.

Kebijakan pemerintah yang terus memacu per-tumbuhan ekonomi makro dengan memberi-kan kemudahan-kemudahan bagi dunia bisnis untuk berinvestasi di Riau, telah menyebab-kan sebagian besar lahan-lahan produktif di Riau dikuasai dunia bisnis (Perkebunan, HTI, Migas). Hal ini tentu memberikan dampak langsung bagi ketersediaan lahan untuk masyarakat di kampung-kampung. Sehingga

berpotensi besar menyebabkan konlik hori -zontal maupun vertikal.

5. Perambahan besar-besaran t erhadap kawasan konservasi at au lindung

Dampak langsung penyempitan lahan kelola masyarakat menyebabkan kawasan-kawasan konservasi atau lindung menjadi terancam karena menjadi sasaran ekspansi pertanian/

perkebunan masyarakat juga dunia industry. Kondisi ini terlihat di kawasanan Mahato dan Suligi di Kabupaten Indragiri Hulu, Taman Nasional Teso Nilo di Kabupaten Pelalawan, Suaka Marga Satwa Kerumutan di Pelalawan dan Indragiri hulu, Bukit Rimbang Baling di Kampar dan Kuansing, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Bukit Batu di Bengkalis, Kawasan Lindung Gambut di Semenanjung Kampar kabupaten Pelalawan dan Siak,dan lain-lain. Klaim-klaim yang dilakukan warga tempa-tan dan transaksi jual beli dipastikan akan terus meninggat di tahun 2009, karena lahan produktif semakin terbatas.

Untuk mengatasi tren konlik sumber daya

alam di waktu mendatang itu, Scale Up me-nawarkan langkah yang mendesak untuk di-lakukan, yaitu:

Pengakuan terhadap hak-hak adat/ulayat 1.

harus segera mendapat pengakuan dan diberikan kepastian kepemilikian secara hukum agar tidak terjadi dualisme hukum antara hukum adat dan hukum formal. Selain itu pemerintah provinsi Riau mes-ti membuat dan memberikan pengakuan hukum terhadap tanah-tanah adat/ulayat yang ada di wilayah tersebut.

Revisi Tata Ruang Tata Ruang Riau yang 2.

masih mengacu pada RTRWP tahun 1994 bisa menjadi salah satu pilar utama

un-tuk meminimalisir konlik sumber daya

alaml

Pemerintah harus memiliki mekanisme/ 3.

protokoler baku yang bisa dijadikan

pe-doman dalam penyelesaian konlik oleh

semua pihak.

pemerintah mesti menginisiasi lembaga 4.

mediator yang independen dan kredibel

dalam penyelesaian konlik sumber daya

alam

(1) Ahmad Zazali (Direktur Eksekutif Scale

Up dan anggota Perkumpulan Sawit watch) Hary Oktavian (Deputy Direktur)

Tabel Konlik Sumber daya Alam di Riau pada Tahun 2008

JENIS KONFLIK

JUMLAH

KONF-LIK

LUAS AREA KONF-LIK (HA)

Konlik antara Masyarakat dengan Industri Kehu -tanan

14 35.171

Konlik antara Masyarakat dan Industri Kehutanan

dengan Pemerintah.

10 50.600

Konlik antara Masyarakat dengan Kawasan Kon -servasi

2 TIDAK DIKETAHUI

LUASAN SENGKETA

Konlik antara Masyarakat dengan Industri Perkebu -nan

29 58.105

Konlik antara Masyarakat dengan Industri Perkebu -nan terkait pola kemitraan

14 19.685

Konlik Industri Perkebunan yang melibatkan pe -merintah dan institusi lain di luar pe-merintah

9 24.032

Konlik di Luar Industri Kehutanan, Perkebunan dan

Konservasi

18 12.993,10

(12)

Meningkat nya permint aan bahan bakar nabat i unt uk pemenuhan energi yang dipandang t idak t erlalu mencemari lingkungan hidup, t erut ama di negara-neg-ara indust ri, t elah mendorong t erj adinya perluasan perkebu-nan penghasil bahan baku na-bat i. Kebij akan invest asi global lebih diarahkan pada pemenuhan indust ri penghasil energi nabat i, t ermasuk t erhadap penyediaan bahan baku. Kondisi ini mendor-ong pada t erj adinya “ pemak-saan” perluasan perkebunan penghasil bahan baku energi nabat i, di wilayah-wilayah yang “ dipandang” mampu menyedia-kan lahan skala luas.

egara-negara berkembang, ter-masuk Indonesia, mentargetkan lu-asan yang luar biasa untuk menjadi hamparan perkebunan besar kelapa sawit, kedelai maupun tebu, yang diarahkan pada dukungan terhadap energi nabati. Pi-lihan komoditi lalu diarahkan pada kelapa sawit, karena dipandang komoditi ini mam-pu menyediakan kebutuhan energi “hijau” dalam jumlah yang cukup besar. Hingga ke-mudian terjadilah beragam permasalahan di wilayah perkebunan besar maupun pada

in-dustry pengolahan dasar, semisal konlik te -nurial, kekerasan, penghilangan lahan-lahan produktif, krisis air, hingga pencemaran.

Berbagai permasalahan umum yang hadir pada setiap rantai produksi bahan bakar na-bati terhadap komunitas lokal, diantaranya adalah:

Meningkatnya beban kelola rumah tang-1.

ga;

Hilangnya sumber pangan akibat hilang-2.

nya lahan produktif;

Meningkatnya biaya untuk pemenuhan 3.

kesehatan, energi dan air;

Hilangnya sistem sosial dan budaya; dan 4.

lain sebagainya.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apa hubungan keduanya, jika ditarik pada garis sebuah entitas yang berjenis kelamin sosial perempuan. Dalam peristiwa yang ada diatas,nampaknya cerita perempuan sungguh jauh dari pembahasan tentang in-dustri sawit, jika tidak mau dikatakan dihi-langkan dari seluruh cerita tentang sawit. Dalam peristiwa kebanyakan yang bicara soal ekstraksi sumber daya alam, cerita perempuan menjadi sangat jauh dan sering-kali kebijakan yang dipilih oleh pemerintah yang selalu bicara soal perluasan produksi,

harga sawit, pasokan dan seterusnya yang tidak relevan dengan cerita kekerasan yang dialami oleh perempuan yang hidup di seki-tar perkebunan besar kelapa sawit.

Selain berbagai persoalan yang ditimbulkan sebagai dampak dari agrofuel, ada hal

men-dasar lainnya yang secara spesiik dialami oleh

perempuan. Ekologi politik feminis melihat aspek pengetahuan, hak atas kekayaan alam dan sumber-sumber kehidupan, termasuk di dalamnya aspek akses dan kontrol, serta aspek institusi pengurusan kekayaan alam dan per-juangan merebut kembali hak atas pengurusan kekayaan alam dari perspektif gender, kelas, etnisitas, dan aspek-aspek lain (Rocheleau, Thomas-Slayter, Wangari 1996).

Ekologi politik feminis sebagai pisau analisis karena pendekatan ini membuka peluang untuk melihat relasi kekuasaan dalam masyarakat yang dipengaruhi gen-der, kelas, etnisitas, agama,dan aspek-aspek lain. Pendekatan ini juga mengakui bahwa perempuan bukan entitas homogen dan bah-wa perempuan memiliki kompleksitas posi-si, fungposi-si, dan permasalahan yang dihadapi berdasarkan perbedaan kelas, etnisitas, dan hal-hal lainnya, sehingga pengalaman dan reaksi perempuan terhadap satu isu akan berbeda dengan perempuan lainnya.

Dengan menggunakan pisau analisis ekolo-gi politik feminis, cerita yang diungkap-kan oleh perempuan yang tinggal di area perkebunan besar kelapa sawit, mencoba untuk lebih dalam melihat bagaimana lapis kekerasan yang dialami oleh perempuan di perkebunan besar kelapa sawit disebabkan oleh penguasaan sumberdaya alam oleh para pihak yang memiliki kekuasaan, baik secara

Dampak Makro Produksi Agrofuel

di Indonesia Dalam Bacaan

Ekologi Politik Feminis

Khalisah Khalid, Dewan Nasional Walhi

N

(13)

kultural maupun struktural dengan aktor utama negara dan pasar. Yang menghasilkan sebuah potret dari alur cerita penghancuran sumberdaya alam yang menciptakan sebuah rangkaian peristiwa yang menyebabkan ter-ganggunya atau putusnya sumber-sumber kehidupan perempuan, terutama dari kelas sosial yang paling rendah. Dimana, peristi-wa tersebut bisa berulang, berbabak-babak, berubah bentuk maupun pelaku.

Akumulasi dari beragam permasalahan pada penyediaan bahan bakar nabati, memberi-kan dampak yang lebih besar kepada kel-ompok rentan, yaitu perempuan dan anak. Dalam setiap rantai produksi tetes-demi-tetes bahan bakar nabati, terdapat beragam permasalahan yang menjadikan perempuan sebagai korban yang menerima dampak yang lebih besar di dalam sebuah komunitas korban bahan bakar nabati.

Sejak perkebunan besar kelapa sawit masuk, perempuan kehilangan akses dan kontrolnya terhadap tanah, dan menempatkan perem-puan sebagai buruh di perkebunan sawit tanpa adanya perlindungan formal sebagai tenaga yang membuahi dan menyemprot dengan menggunakan pestisida yang ber-bahaya bagi kesehatan perempuan. Konf-lik terjadi, bukan hanya karena terjadinya perbedaan persepsi antara komunitas lokal dengan pelaku pendukung agrofuel baik pasar maupun pemerintah.

Konlik terjadi, karena kebijakan agrofuel

telah mengabaikan pengetahuan dan pen-galaman perempuan didalam mengelola sumber kehidupannya, khususnya sebagai penjaga dan pengelola sistem produksi

ru-mah tangga dan produksi sosial. Bukankah pengabaian sebuah entitas dengan semua pengetahuan dan pengalaman yang melekat dalam dirinya sebagai sebuah bangunan ta-tanan social, merupakan bentuk yang paling mendasar dari sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia?

Jikapun, perempuan memiliki akses yang setara atas pekerjaan, namun kontrol mer-eka atas penghasilannyapun terbatas, atau sebenarnya tidak ada sama sekali. Perem-puan dan laki-laki sama-sama mengerjakan sawit, namun karena pada tahap memanen dan mengangkut untuk dijual adalah para suami, sehingga upah diterima oleh suami. Suami yang mengerti akan kedudukannya dalam rumah tangga menyerahkan uang untuk dipegang istrinya tetapi bagi para suami yang tidak mengerti uang hasil upah mengerjakan sawit digunakan sendiri salah satunya dihabiskan ke kafe. Para suami juga kerap berbohong tentang jumlah upah yang diterima, si istri tidak bisa tahu pasti berapa upah yang diterima karena jumlahnya me-mang tidak tetap.

Nampaknya, fenomena maraknya tempat-tempat hiburan malam dan dunia prosti-tusi dalam industri tambang, juga terjadi di perkebunan. Kondisi ini diperparah dengan

“ Ekologi polit ik

f eminis melihat

aspek penget ahuan,

hak at as kekayaan

alam dan

sumber-sumber kehidupan,

t ermasuk di dalamnya aspek akses dan

kont rol, sert a aspek inst it usi pengurusan

kekayaan alam dan perj uangan merebut

kembali hak at as pengurusan kekayaan

alam dari perspekt if gender, kelas,

et nisit as, dan aspek-aspek lain” ,

(Roche-leau, T homas-Slayt er, Wangari 1996).

kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri sawit yang memang diketahui mempengaruhi air sungai masyarakat se-tempat. Kondisi ini bukan tidak disadari oleh perempuan yang bekerja sebagai buruh perempuan, tapi mereka tidak punya pilihan ekonomi lain untuk menjaga kelangsungan hidup keluarganya.

Terlebih, perkebunan besar kelapa sawit secara struktural juga membangun sistem kapital yang mampu menciptakan peruba-han pola konsumsi pada perempuan dan masyarakat yang dibangun sedemikian sistemik oleh pasar, sehingga mampu mer-ubah persepsi atau pandangan perempuan terhadap kebutuhan hidupnya dan bahkan terhadap tubuh perempuan itu sendiri.

Potret kekerasan dalam pengelolaan sum-ber daya alam terhadap perempuan sum-berbasis jenderdalam sebuah relasi personal, dalam komunitas dan dalam lingkup negara yang terkait dengan agresi pasar dan alir kapi-tal yang berdasarkan pada produksi kotor, ketamakan dan mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup, yang dalam konteks ini dapat ditemui dalam cerita situasi global produksi agrofuel di Indonesia .

Kelangkaan dari daya dukung alam yang dikeruk tanpa mempertimbangkan keren-tanan dan keberlanjutan lingkungan, yang terjadi karena intervensi pasar dan negara,

telah menyebabkan konlik terjadi di ting -kat masyara-kat dengan mengabaikan pen-galaman perempuan maupun keberadaan perempuan sebagai subyek keberlangsun-gan reproduksi sosial, dan pada akhirnya menempatkan perempuan kelas paling bawah berada dalam kondisi terpuruk, ter-pinggirkan dan terabaikan.

(14)

Dataran Prai, terletak

di sebelah barat dan

ber-j arak 60 km dari Kot a

Manokwari. Dat aran it u

mencakup wilayah Dist rik

Warmare, Distrik Prai

dan Masni yang

merupa-kan kawasan

pengemban-gan t ransmigrasi, pert

a-nian, sert a perkebunan.

Wilayah it u relat if mudah

dij angkau t ransport asi

darat karena j alan darat

t erbuat dari aspal hot mix

sampai ke dist rik Masni

sepanj ang 112 Km.

i kawasan ini, berdasarkan hasil studi kelayakan yang dilaksana-kan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan pada ta-hun 2004, masih terdapat lahan yang siap dikembangkan untuk komoditas kelapa sawit seluas 13.855 hektar dengan ting-kat kesesuaian lahan S2 seluas 12.201 hektar dan S3 seluas 1.654 hektar. (Lapo-ran Final Penyusunan Rencana Detasil Kawasan Agropolitan Kab. Manokwari).

Perkebunan sawit sendiri diperkenalkan di Manokwari tahun 1981 oleh pemerin-tah kabupaten, masa kepemimpinan bu-pati Onim. Pemkab berharap perkebunan besar di Manokwari bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat, khususnya masyarakat adat Arfak selaku pemilik ulayat

yang mendiami wilayah

dataran Prai dapat men -ingkat. BUMN yang kemudian ditunjuk pe-merintah untuk mena-namkan modalnya di Manokwari adalah PT. Perkebunan Nusaantara II (PTPN II) yang ber-pusat di Tanjung Mora-wa, Medan, Sumatera Utara. Selain dataran

Prai di Manokwari,

PTPN II juga membu-ka perkebunan kelapa sawit di Arso, Jayapura.

Pada bulan Mei tahun 1982, 4 orang tokoh masyarakat Arfak dari 4 wilayah berbeda diterbangkan menuju Tanjung Morawa, Medan, bersama perwakilan dari pemda Manokwari. Keempat tokoh adat tersebut adalah Kontrak Mandacan, Ananias Muit, Sadrak Indou, dan Bastian Waran. Tujuannya agar para tokoh adat tadi dapat meyakinkan masyarakatnya agar menerima sawit karena mereka melihat langsung kesejahteraan masyarakat di ke-bun sawit PTPN II. Pada masa itu, harga TBS di Medan Rp 5000,-/kg. Informasi itu yang kemudian mereka sampaikan ke-pada Masyarakat adat, yang kemudian setuju untuk melepaskan tanah ulayatnya dijadikan kebun sawit tanpa ganti rugi.

Dalam pemahaman masyarakat setempat, tanah yang dilepaskan, kelak akan men-jadi tabungan bagi anak cucu mereka jika sawit sudah berproduksi. Apalagi saat itu

pemerintah dan PTPN II berjanji akan mengembalikan kepemilikan lahan kepada masyarakat adat setelah 25 tahun. Bersa-maan dengan pembukaan kebun sawit skala besar, pemerintah juga mencanangkan pro-gram transmigrasi untuk pemerataan seba-ran penduduk juga pemenuhan tenaga kerja intensif di kebun sawit. Transmigran asal Bali, Nusa Tenggara dan Jawa didatangkan

ke dataran Prai. Diharapkan nantinya den -gan interaksi antara masyarakat transmigran dengan masyarakat lokal dapat meningkat-kan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang sawit serta hal lainnya.

Menurut data yang dikeluarkan PTPN II

Prai, areal yang telah dibuka saat ini hingga

habis masa ijin usahanya seluas 11.514,84 Ha yang terdiri dari areal tanaman seluas 10.514,10 Ha serta areal lainnya seluas 1000,43 Ha. Dari luas areal tanaman, 2.806,99 Ha merupakan kebun Inti, 4.400 Ha kebun Plasma dan 3.000 kebun KKPA. Penanaman kelapa sawit berkisar dimulai

SOAL SAWIT

DI TANAH PRAFI

MASYARAKAT ADAT

D

(15)

tahun 1985 – 1993 untuk kebun inti , serta tahun 1985 – 1997 untuk kebun PIR/Plasma

dan KKPA. Kebun prai memiliki pabrik

pengolahan kelapa sawit yang menghasil-kan CPO dan inti sawit dengan kapasitas terpasang 60 ton TBS/jam namun realisas-inya hanya berkisar 30 ton TBS/jam. Setelah melewati dua dekade, perkebunan

sawit di dataran Prai sebagian besar sudah

tidak produktif lagi dan hingga kini belum diremajakan. Kondisi ini membuat pen-duduk lokal kembali berkebun secara tra-disional untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pendapatan yang semakin mengecil membuat petani lokal merasa ter-saingi oleh kehadiran petani migrant. Per-saingan ini berpotensi menimbulkan konf-lik sosial.

Beberapa permasalahan lain di dataran

War-mare-Prai terkait perkebunan kelapa sawit yang teridentiikasi sebagai berikut :

Masalah hak ulayat

masya-rakat adat

Kesepakatan yang dibuat oleh beberapa tokoh masyarakat adat kepada Pemda dan PTPN II saat itu tidak me-libatkan seluruh pemilik hak ulayat. Tidak ada kompen-sasi atas tanah maupun kayu dari tanah adat mereka. Di-antara pemilik ulayat bah-kan ada yang tidak mendapatbah-kan

pembagian lahan sawit. Ketidakpuasan masyarakat adat diwujudkan dalam bentuk aksi-aksi pemalangan pabrik, pendudukan kebun inti dan kebun plasma yang dikelola oleh masyarakat transmigran.

Kurangnya sosialisasi kepada

petani khususnya petani lokal

tentang sistem di

perkebu-nan Sawit

Perawatan dan pemupukan secara berkala dan proses pemananen tandan buah segar kelapa sawit agar dirasakan sangat

menyu-litkan masyarakat adat yang terbiasa dengan pertanian tradisional. Akibatnya banyak petani lokal mesti membayar tenaga kerja yang berasal dari kelompok transmigran untuk mengerjakan proses produksi kebun sawitnya.

Konlik antara petani plasma

dan karyawan perusahaan

Berdasarkan informasi yang disampaikan petani, asisten kebun di lapangan sering-kali melakukan kecurangan. Misalnya saja pemotongan hasil yang tidak semestinya serta pencurian buah di kebun plasma yang diklaim sebagai hasil dari kebun inti. Petani juga merasa timbangan buah milik perusa-haan sudah dicurangi sehingga berat hasil TBS petani menjadi berkurang. Hal lain, mesin pabrik CPO seringkali mengalami kerusakan sehingga kemampuan pengola-han pengola-hanya setengah dari kapasitas

semes-tinya. Hal ini menyebabkan antrian truk panjang berkilo-kilo meter hingga berhari-hari. Dengan demikian kualitas buah menu-run bahkan banyak yang busuk, biaya sewa truk membengkak. Dalam hal pemotongan kredit, perusahaan dianggap tidak transpar-an. Informasi mengenai sisa kredit mereka dapatkan dari koperasi namun slip pemo-tongan tidak pernah mereka dapatkan.

Tarik ulur status asset-asset

PTPN II setelah habis masa

operasinya

Setelah berakhir masa operasinya, asset-as-set PTPN II menjadi perdebatan yang serius diantara Pemkab Manokwari dan Pemprov Papua Barat. Pemkab Manokwari yang selama ini telah menjadi mediator dan me-nanggung biaya penyelesaian kasus-kasus antara masyarakat dan perusahaan merasa berhak untuk memiliki asset-asset tersebut setelah statusnya dirubah menjadi BUMD. Di sisi lain, pemprov Papua Barat yang masih seumur jagung juga melihat peluang pemasukan dari investasi sawit yang saat ini tengah gencar dilakukan di tanah Papua, dan berharap asset PTPN II akan menjadi milik pemprov. Tak cukup sampai di situ, perseteruan tersebut semakin meruncing ke-tika rombongan Pemprov Papua Barat yang dipimpin langsung gubernur Abraham O. Atururi tanpa melibatkan pemkab Manok-wari, mengadakan pertemuan dengan men-teri BUMN dan direksi PTPN II di Jakarta pada tanggal 21 Oktober 2008.

Hasil dari pertemuan tersebut menegaskan kepastian bahwa asset PTPN II akan dilimpah-kan kepada Pemprov Papua Barat setelah diaudit oleh BPK. Proses pengalihan as-set tersebut akan dilakukan dengan system jual beli dan bukan hibah. Hingga saat ini masih belum ada penyelesaian lebih jauh antara pihak pem-prov Papua Barat dan pemkab Manokwari.

Dari pelbagai persoalan yang muncul, ada satu pertanyaan yang mesti dijawab oleh pihak penguasa di Papua dan Jakarta. Sam-pai kapan persoalan yang bejibun tersebut diselesaikan?

(AMI, YAYASAN PERDU, MANOK-WARI)

“ Pendapat an yang semakin

mengecil membuat pet ani lokal

merasa t ersaingi oleh kehadiran

pet ani migrant . Persaingan ini

berpot ensi menimbulkan

(16)

Set elah mengalami t iga

kali sidang di pengadilan

negeri set empat , 6 t

er-sangka pelaku

pencabu-t an pencabu-t anaman sawipencabu-t milik

PT. Wana Sawit Subur

Lest ari yang hingga saat

ini masih memegang ij in

prinsip dan ij in lokasi

(belum ada bukt i

pem-berian HGU-hak guna

usaha), akhirnya

mendap-at kan put usan sidang.

asing-masing tersangka yang beri-nisial Ra, Os, Mu, Mg, Ma, dan Da, yang merupakan komunitas adat DAS (Daerah Aliran Sun-gai) Seruyan Desa Tanjung Hanau, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, mendapatkan 6 bulan hukuman penjara yang hingga putusan sidang para pelaku sudah menjalani penahan-an hingga sisa tahpenahan-anpenahan-an tinggal 1,5 bulpenahan-an.

Masrun, warga Desa Palingkau, yang masih memiliki hubungan kekerabatan adat dengan 6 tersangka menuturkan hal tersebut kepada Sekretariat KpSHK saat ia mengikuti Festival Orang Rawa-Gambut se-Indonesia di Hotel Salak, Bogor, yang diadakan oleh KpSHK pada 21-22 April lalu.

“Pencabutan batang sawit itu di atas natai kami (natai adalah lahan rawa-gambut yang secara aturan adat, siapapun yang membuka dan mengelolanya adalah pemilik dan berhak mengalihkannya kepada keluarga adat be-sarnya, red). Kami sudah puluhan tahun beru-saha di natai keluarga itu. Saat kami mulai akan menggarap natai itu dengan ganti tana-man, tiba-tiba sudah ada yang menanamkan sawit, “ ujar Masrun.

Sejak 2006, kawasan rawa-gambut seluas 300

ha yang berupa na-tai, yang merupakan milik 3 desa adat di DAS Seruyan, Desa Palingkau, Desa Tanjung Hanau, dan Desa Ulak Batu, ditengarai telah diberikan ijin kepa-da PT. KUCC (Kha-risma Unggul Cen-traltama Cemerlang) yang pada 2007 lalu beralih kepemilikan ijin lokasi dan ijin prinsip kepada PT. WSSL.

“Penangkapan 6 warga adat yang mencabut sawit di tanainya ini ter-jadi di awal 2009 lalu. Perusahaan baru memegang ijin lokasi dan ijin prinsip. Yang di-tuntut masyarakat hanya 43 ha, dan harus dikembali-kan, “ jelas Oeban Hajo dari Pokker SHK (Kelompok Kerja Sistem Hutan

Kerakya-tan) saat mendampingi Masrun dan Dahlidin Kepala Desa Ulak Batu.

Informasi lain, pembangunan perkebunan sawit di natai 3 desa adat di DAS Seruyan yang ijin lokasi dan ijin prinsipnya dimiliki PT. WSSL telah juga merambah ke kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) yang merupakan ekosistem rawa-gambut. Menurut Oeban, OFI (Orangutan Foundation Interna-tional) menginformasikan perkembangan dari pembangunan kebun sawit tersebut, sepan-jang 1 km dari jalan utama perkebunan yang sedang dibangun perusahaan, rawa-gambut

Teror di Rawa-Gambut Seruyan

,

Natai 3 Desa Terancam Lenyap

TNTP rusak.

Sejak adanya penangkapan 6 orang warga adat di DAS Seruyan di Januari 2009 lalu, warga adat lainnya tidak berani kembali berladang di natai keluarga mereka.

Mohammad Djauhari - Koordinator Nasional Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) di Bogor.

Masyarakat Tanj ung Hanau dalam Penj ara (dok. Pokker SHK)

MASYARAKAT ADAT

Gambar

Tabel Konlik Sumber daya Alam di Riau pada Tahun 2008
table on Sustainable Palm Oil (RSPO) sebagai prinsip utama dalam
Tabel 1.1Kebutuhan Hidup Petani Sawit saat ini.
Tabel 1.2Harga TBS Petani (yang tidak menentu kestabilannya)

Referensi

Dokumen terkait

Analisis studi gerakan dan waktu dengan Menggunakan Toyota Production System dilakukan di assembly shop, pada line Trimming 1, proses persiapan booster, karena

Dari hasil analisis data menunjukkan: daya serap rata-rata kelas adalah 85,78% dengan kategori amat baik, efektivitas pembelajaran dinyatakan sangat efektif,

Bagi peserta didik yang belum memahami konsep sistem reproduksi dan pola hidup sehat yang menunjang kesehatan reproduksi dan penerapannya akan diminta untuk membaca kembali materi

MASJID JUM’AH MADINAH.. khutbah dan inilah merupakan shalat berjamaah jum’at pertama yang dilaksanakan oleh Rasulullah Saw. walaupun perintah shalat berjamaah jum’at telah

Namun, sesungguhnya yang lebih dahsyat dari gegap gempita ini adalah kenyataan bahwa suatu program acara televisi bisa juga memberi manfaat sehat bagi orang

Kamu tidak akan jenuh mengamati Mars karena keindahannya, Dari seluruh planet, hanya Mars yang dapat teramati perubahan cuacanya.. Astronom amatir dapat melihat es

Nomor SNI Judul SNI Tgl Penetapan No... Nomor SNI Judul SNI Tgl

Berdasarkan rumusan masalah yang dimiliki tersebut tujuan yang ingin dicapai dari perancangan interior kapal pesiar cinta laut ini adalah untuk mengetahui