• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBANGUN CITRA INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA Volume III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MEMBANGUN CITRA INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA Volume III"

Copied!
196
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBANGUN CITRA INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA

Volume III

Oleh Tim Riset PASPI

Penyunting Dr. Tungkot Sipayung

PALM OIL AGRIBUSINESS STRATEGIC

POLICY INTITUTE

(2)

Membangun Citra Industri Minyak Sawit Indonesia Volume III Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Cetakan Pertama, 2019

© PASPI

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

ISBN: 978-602-53556-5-3

Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Alamat : Jalan Kumbang No. 31, Bogor Tengah - 16128 Phone : +62 251 8575 285

E-mail : paspi2014@yahoo.com Website : www.paspimonitor.or.id

Membangun Citra Industri Minyak Sawit Indonesia Volume III /Penyunting, Tungkot Sipayung. Bogor: PASPI. 2019

x, 196 hlm. 21 cm

1. Ekonomi Pembangunan 2. Agribisnis I. PASPI

(3)

Kata Pengantar

Volume III

Industri minyak sawit merupakan industri strategis di Indonesia karena penyumbang devisa (net ekspor) terbesar dalam perekonomian nasional; menyerap tenaga kerja;

perkebunan kelapa sawit berada pada 200 kabupaten dimana 41 persen adalah perkebunan sawit rakyat yang merupakan sektor ekonomi penting baik bagi pembangunan ekonomi pedesaan, peningkatan pendapatan petani maupun pengurangan kemiskinan; industri hilirnya (industri oleofood, oleokimia, biodiesel) dan perdagangan berada di seluruh provinsi yang menyediakan bahan pangan, kebutuhan masyarakat lainnya (sabun, detergen, sampo, pasta gigi, dan lain-lain); sehingga secara keseluruhan industri minyak sawit merupakan salah satu lokomotif ekonomi nasional.

Selain itu, perkebunan kelapa sawit dengan luas 14 juta hektar dan tersebar pada 200 kabupaten berfungsi "paru-paru"

yang menyerap karbondioksida (polusi) dari atmosfir bumi dan menghasilkan oksigen untuk kehidupan. Bahkan dalam sektor energi, industri sawit merupakan penghasil energi terbarukan (renewable energy) dan lebih ramah lingkungan seperti biodiesel, biopremium, bioavtur, biopelumas dan lain-lain.

Mengingat pentingnya industri sawit tersebut, indutri minyak sawit perlu dikelola dengan baik dan dijaga citranya.

Membangun citra industri sawit Indonesia makin penting

(4)

dilakukan mengingat telah terjadi kampanye negatif/hitam terhadap minyak sawit sebagai bagian daripada perang dagang global.

Kampanye negatif terhadap industri minyak sawit sudah berlangsung lama sejak Indonesia mulai awal tahun 1980-an.

Kekhawatiran produsen minyak kedelai kalah bersaing dengan minyak sawit menjadi pemicu intensifnya kampanye negatif terhadap minyak sawit. Semula, tema kampanye hanya terbatas pada isu gizi/kesehatan untuk mempengaruhi konsumen, tetapi dalam 15 tahun terakhir kampanye negatif telah melebar pada aspek ekonomi, sosial dan lingkungan khususnya yang terkait dengan perhatian masyarakat global.

Jika kampanye negatif/hitam tersebut dibiarkan tanpa upaya sistematis membangun citra sawit Indonesia, dikhawatirkan akan terbentuk citra buruk sawit Indonesia yang pada gilirannya mempengaruhi keputusan masyarakat dalam melihat sawit. Dalam kaitan ini Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), telah melakukan upaya yang bertujuan untuk membangun citra sawit Indonesia (Volume III) yang merupakan lanjutan dari Volume II. Tulisan-tulisan tersebut juga telah dimuat dalam website www.sawit.or.id sejak tahun 2015.

Buku ini memuat materi-materi yang pernah dimuat dalam website tersebut. Topik-topik dalam Buku ini disampaikan secara synopsis dan dengan bahasa ilmiah populer.

Terima kasih kepada Tim Riset PASPI yang telah bekerja keras untuk menyusun buku ini. Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada seluruh pihak yang telah memberi dukungan, saran pemikiran dan dorongan untuk penyusunan buku ini.

Bogor, Januari 2019

Dr. Ir. Tungkot Sipayung Direktur Eksekutif PASPI

(5)

Daftar Isi

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

1.

Sawit Berhasilkan Daerah Transmigrasi ... 749

2.

Ekspansi Kebun Sawit Membagi "Kue Ekonomi" ... 752

3.

Minyak Sawit Dapat Memperlambat Penuaan Dini? ... 754

4.

Komitmen Indonesia Dalam Pembangunan Sawit Berkelanjutan ... 756

5.

Industri Sawit Catat Rekor Baru Devisa Rp 300 Triliun ... 758

(6)

6.

Peluang Ekspor Biodiesel Indonesia ke Uni Eropa Semakin Menguat ... 760

7.

Rencana Moratorium Sawit Ciptakan Kegaduhan Massal ... 762

8.

Memaknai Devisa Sawit Rupiah 300 Triliun ... 765

9.

Mandatori Biodiesel Hemat Devisa dan Emisi 42 Triliun Rupiah ... 768

10.

Menanti Kemitraan Sawit Gelombang Kedua .... 771

11.

Menunggu Kehadiran Negara di Kebun Sawit ... 774

12.

Top Emitter Karbon Dunia Ancam Embargo Sawit? ... 777

13.

Sawit Dalam Revolusi Pasar Minyak Nabati Dunia ... 780

14.

Kebun Sawit Hanya 7 Persen Luas Daratan Indonesia? ... 783

15.

Embargo Sawit Eropa, Langgar Hak Asasi Manusia? ... 785

16.

Eropa Embargo Sawit, Hutan Dunia Hilang 20 Juta Hektar ... 788

17.

Kita Perlu Satu "Bahasa" Sawit ... 790

(7)

18.

Kebun Sawit Indonesia Serap 2.2 Miliar Ton Karbon Dunia Setiap Tahun ... 793

19.

Sawit Hadirkan Solusi Kenaikan BBM Dunia ... 796

20.

Kebun Sawit Restorasi Eks-Logging ... 799

21.

Kontribusi Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Berbagai Aspek ... 802

22.

Kontribusi Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Berbagai Aspek ... 804

23.

Harmoni Three In One : Hutan, Sawit, Mall ... 807

24.

Kebun Sawit “Menutup Dosa” Logging di Pulau Sumatera ... 810

25.

Lompatan Sawit Indonesia dari Raja CPO ke Raja Hilir ... 812

26.

Jangan Ada Lagi Diskriminasi Sawit... 815

27.

Potensi Limbah Sawit Untuk Energi Masa Depan ... 817

28.

Perluas B-20 ke Sektor Non PSO Tekan Defisit Perdagangan ... 819

29.

Agenda Apa Desakan Lsm ke Presiden untuk Melakukan Moratorium Sawit? ... 822

(8)

30.

Perluas B-20 Langkah Penting Energi Terbarukan ... 825

31.

Industri Sawit 4.0 dan SDGS-2030 ... 828

32.

Apa yang Terjadi Jika Eropa Melarang Sawit 2030? ... 831

33.

Menghambat CPO ke EU Pacu Kenaikan Emisi Pertanian EU ... 834

34.

Dari Kebun ke Meja Makan ... 837

35.

Multi Manfaat dari Perluasan Mandatori Biodiesel ... 839

36.

Industri Sawit Potensial Hasilkan Devisa USD 40 Miliar ... 842

37.

Habis Minyak "di bawah", Tersedia Minyak "di atas " Tanah ... 845

38.

Greenpeace : "Minyak Kotor Vs Minyak Bersih" ... 848

39.

Sawit : Contoh Pertanian Berkelanjutan ... 851

40.

Biohidrokarbon Sawit: Solusi Baru Ketahanan Energi ... 853

41.

INPRES No. 8/2018 : Momentum Pembuktian Sawit Indonesia ... 855

(9)

42.

Program Peremajaan Sawit Rakyat :

“Replanting” Sawit dan "Replanting" Tata Kelola ... 857

43.

Indonesia Menuju Produsen Bioavtur Sawit... 860

44.

Lima Solusi Sawit untuk Ekosistem dan Masyarakat Dunia ... 862

45.

Fortifikasi Minyak Goreng Sawit Mengorbankan Industri Sawit Nasional ... 865

46.

Indonesia Mengelola Ekosistem Gambut Lebih Baik dari Eropa ... 869

47.

Kondisi Legalitas Lahan Kebun Sawit ... 872

48.

Pungutan Nol Belum Cukup Angkat Harga Sawit ... 874

49.

Sawit Dalam Polemik Deforestasi ... 876

50.

Solusi Implementasi Kewajiban Perusahaan Perkebunan Memfasilitasi Kebun Masyarakat .. 879

51.

Perbaikan Kebun Sawit Rakyat Untuk Menjawab Tantangan Masa Depan... 882

52.

Prinsip Dan Kriteria Terbaru RSPO Bertentangan Dengan Peraturan Pemerintah ... 885

53.

Perkembangan Kelapa Sawit

di Indonesia Didukung oleh Kesesuaian Lahan 888

(10)

54.

Potensi Energi Listrik

Dari Kelapa Sawit ... 891

55.

Gula Merah : Harta Terpendam Dari Batang Kelapa Sawit... 894

56.

Bioplastik Sawit Sebagai Substitusi Impor Plastik Indonesia ... 897

57.

Apartheid Sawit Uni Eropa, Picu Deforestasi Global... 900

58.

Sumbangan Sawit Pada Sustainable Development Goals Dunia ... 903

59.

Jejak Jokowi Dalam Sawit Indonesia ... 907

60.

Gula Merah Sawit : Solusi Ketergantungan Impor Gula Di Indonesia ... 910

61.

Menggugat Kebijakan Indirect Land Use Change Uni Eropa ... 912

62.

Sawit Dalam Politik Pangan Dan Energi Global 915

63.

Sumber Emisi Utama Diet Uni Eropa Bukan Dari Minyak Sawit ... 918

64.

Emisi Uni Eropa Jauh Lebih Besar Dari Emisi ILUC Sawit ... 920

65.

Uni Eropa Lebih "Kotor Dan Perusak Lingkungan" Dibandingkan Indonesia ... 922

(11)

66.

Kelicikan Dan Kegalauan Uni Eropa Hadapi Minyak Sawit... 925

67.

Kelapa Sawit Semakin Berkilau ... 928

68.

Minyak Sawit Peringkat 2

Di EU-28... 930

(12)
(13)

1 | Sawit Berhasilkan Daerah Transmigrasi

Program Transmigrasi merupakan salah satu program pemerintah khususnya pada Era Orde Baru yang bertujuan untuk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Pulau Jawa. Pulau Jawa dan Bali merupakan pengirim transmigran terbesar yang ditempatkan pada pelosok/pedalaman kabupaten-kabupaten di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Sampai tahun 1985, jumlah keluarga yang ditransmigrasikan mencapai sekitar 1 juta rumah tangga.

Sampai tahun 1990-an program transmigrasi memang banyak dikritik para ahli karena ternyata gagal berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, bahkan justru menjadi kantong-kantong kemiskinan baru di luar Pulau Jawa.

Sehingga para ahli waktu itu banyak yang menilai program transmigrasi adalah pemindahan kemiskinan. Penyebabnya, karena pertanian pangan yang menjadi usaha pokok keluarga transmigran banyak yang tidak berkembang karena lokasi dipelosok, akses jalan buruk, sehingga input usahatani sulit masuk dan hasil pertanian sulit dipasarkan.

* Dimuat di www.sawit.or.id pada tanggal 15 Januari 2018

(14)

Potret daerah transmigrasi yang terbelakang dan miskin mulai berubah sejak tahun 2000. Pengembangan Kemitraan kebun sawit antara petani transmigran dengan korporasi (swasta dan BUMN) dimana akses jalan dibuka, input tersedia dan pemasaran TBS terjamin, telah merubah banyak daerah transmigrasi.

Sebagaimana laporan Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja RI (2014) sampai tahun 2013 lebih dari 50 kawasan transmigrasi telah berubah menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi baru berbasis sawit. Diantaranya Sungai Bahar (Jambi), Pematang Panggang dan Paninjauan (Sumatera Selatan), Sosa (Sumatera Utara), Arga Makmur (Bengkulu), Sungai Pasar dan Lipat Kain (Riau), Paranggean (Kalimantan Tengah), Mamuju (Sulawesi Barat), dan kawasan lain.

Daerah transmigrasi yang tadinya dicap para ahli sebagai daerah kemiskinan dan terbelakang, kini banyak yang telah berubah menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru. Bukan hanya mampu mengejar pertumbuhan ekonomi daerah sekitarnya, bahkan daerah transmigrasi telah melampaui perkembangan daerah sekitar yang bukan kawasan transmigrasi.

Kawasan transmigrasi berbasis sawit, telah menjadi lokomotif ekonomi daerah. Masyarakat perkebunan sawit menjadi pasar bagi hasil-hasil pertanian pangan lokal bahkan juga pasar bagi produk yang dihasilkan perkotaan. Ini berarti kawasan transmigrasi makin hari makin inklusif, yang berdampak luas menarik perkembangan sektor dan daerah sekitar.

Tentu saja, perkembangan daerah transmigrasi berbasis sawit tersebut juga menimbulkan berbagai persoalan sosial ekonomi baru di sekitarnya. salah satunya ketimpangan kemajuan antara daerah transmigrasi yang lebih maju dengan daerah sekitar yang menjadi relatif tertinggal (kondisi terbalik dari awal daerah transmigrasi dibuka).

(15)

Namun itu semua masih dalam proses pembangunan. Dengan makin inklusifnya pertumbuhan daerah transmigrasi berbasis sawit, secara bertahap akan menarik percepatan pertumbuhan daerah tertinggal sekitarnya. Butuh waktu dan perlu bersabar.

(16)

2 | Ekspansi Kebun Sawit Membagi

"Kue Ekonomi"

Kebun sawit pertama (tahun 1911) dikembangkan hanya pada dua provinsi yakni Sumatera Utara dan Aceh. Dari dua provinsi tersebut, sawit berkembang ke propinsi lain di Indonesia. Produksi CPO perdana di Provinsi Riau mulai tahun 1982, kemudian disusul Sumatera Selatan tahun 1983.

Kemudian produksi perdana di Sumatera Barat, Kalimantan Barat, dan Papua tahun 1984, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur (1986), Jambi dan Lampung (1987), Bengkulu (1988) dan Sulawesi (1989).

Sampai tahun 2017, kebun sawit telah berkembang pada sekitar 26 provinsi dan sekitar 200 kabupaten. Sedangkan kegiatan hilir industri sawit secara keseluruhan khususnya perdagangan produk sawit telah berkembang pada seluruh provinsi/kabupaten/kota di Indonesia. Semua masyarakat Indonesia sudah mengkonsumsi berbagai produk sawit selama 24 jam. Dimana saja, Kapanpun, Siapapun produk sawit sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat.

* Dimuat di www.sawit.or.id pada tanggal 17 Januari 2018

(17)

Ekspansi kebun sawit dari Aceh dan Sumatera Utara keseluruh provinsi tersebut dapat dipandang sebagai perluasan dan distribusi "mesin ekonomi" untuk menghasilkan dan membagi "kue ekonomi". Dengan ekspansi kebun sawit tersebut, potensi masing-masing daerah di berbagai pelosok, pedalaman, pinggiran (yang sebelumnya belum dimanfaatkan) oleh "mesin ekonomi" bernama usaha kebun sawit, potensi masing-masing daerah didayagunakan untuk menghasilkan "kue ekonomi"

berupa kesempatan kerja, kesempatan berusaha, pendapatan dan penyediaan multi produk berbasis sawit. Jutaan orang memeperoleh pekerjaan pada kegiatan sawit dan jutaan orang terbebas dari kemiskinan bahkan juga jutaan orang meningkat pendapatannya.

Kebun sawit selain "mesin ekonomi" juga berfungsi sebagai

"vacum air cleaner", pembersih udara, yang menghasilkan "kue ekonomi jasa lingkungan" yakni menyerap karbondioksida dari udara dan menghasilkan oksigen untuk kehidupan. Polusi udara yang kita buang setiap hari dari gas buang kenderaan bermotor, sebagian dibersihkan oleh kebun sawit. Kebun sawit juga menghasilkan oksigen yang kita hirup setiap hari.

Melalui hilirisasi dan perdagangan, "kue ekonomi" berbagai produk berbasis sawit seperti minyak goreng, mentega, sabun, deterjen, sampho, biodiesel dan lain-lain, disediakan untuk seluruh masyarakat dimanapun, siapapun dan kapanpun. Ini juga namanya membagi manfaat "kue ekonomi" sawit. Sawit for all.

Dengan ekspansi sawit dari Aceh dan Sumut keseluruh propinsi, "kue ekonomi" dari sawit tidak hanya dinikmati masyarakat Aceh dan Sumut, tetapi juga dinikmati seluruh masyarakat di Indonesia. Jadi, ekspansi kebun sawit tidak perlu dipersoalkan asalkan dilakukan dengan tatakelola yang berkelanjutan dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(18)

3 | Minyak Sawit Dapat Memperlambat Penuaan Dini?

Setiap orang dapat dipastikan tidak ingin mengalami penuaan dini, terutama pada wanita. Jangankan penuaan dini, di luar sana banyak orang yang rela merogoh kocek dalam-dalam agar fisiknya terlihat seperti 20-30tahun lebih muda dari usia aslinya.

Penuaan dini adalah proses dari penuaan tubuh yang tidak alami yang terjadi lebih cepat dari seharusnya. Banyak orang yang mulai melihat timbulnya kerutan kulit wajah pada usia yang relatif muda, bahkan pada usia awal 20-an. Hal ini biasanya disebabkan berbagai faktor baik internal maupun eksternal.

Faktor penyebab tersebut mempercepat akselerasi proses penuaan tubuh yang seharusnya terjadi secara alami.

Pada dasarnya, penuaan dini ini kerap terjadi pada seseorang yang memiliki jenis kulit yang kering. Pada jenis kulit kering, kadar sebum yang merupakan kandungan minyak untuk melindungi kulit dari polusi dan melembabkan kulit kadarnya sangat kurang. Biasanya kulit akan terlihat kering, pecah-pecah, bersisik, kasar dan disertai dengan tampak keriput serta timbulnya flek dan noda hitam.

* Dimuat di www.sawit.or.id pada tanggal 22 Januari 2018

(19)

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa minyak sawit bersifat aman bagi kesehatan. Tidak hanya dapat diolah sebagai minyak goreng, ternyata buah kelapa sawit ini juga bisa diproduksi menjadi bahan produk perawatan kulit. Salah satunya adalah dapat memperlambat penuaan dini.

Secara alami minyak kelapa sawit mempunyai komposisi asam lemak dan kandungan zat gizi mikro yang sangat berguna untuk tubuh dalam mencapai derajat kesehatan yang baik. Zat gizi mikro yang sangat berguna tersebut antara lain vitamin E dan tokotrienol. Bentuk vitamin E yang umum, yaitu tocopherol, sudah lama digunakan untuk merawat berbagai penyakit kulit dan sering digunakan dalam produk-produk anti penuaan.

Vitamin E sendiri mengandung antioksidan tinggi yang merupakan pemusnah radikal bebas yang merusak kulit, dan memicu timbulnya garis-garis halus dan keriput. Salah satu penelitian membuktikan bahwa tokotrienol, yang antioksidannya lebih kuat dari pada tokopherol, telah terbukti lebih efektif dalam mencegah penuaan dan kerusakan kulit dari radikal bebas. Tokotrienol juga mampu menembus lapisan kulit lebih dalam untuk menyembuhkan dan melindunginya dari dasar.

Jadi, apa langkah anda untuk memperlambat penuaan dini?

(20)

4 | Komitmen Indonesia Dalam Pembangunan Sawit Berkelanjutan

Diplomasi Sawit ke Uni Eropa menunjukkan perkembangan yang baik. Malaysia dan Indonesia juga memiliki agenda yang sama, untuk menjawab berbagai tekanan konsumen Eropa terhadap komoditas sawit. Salah satu keberhasilan diplomasi tersebut adalah adanya kesunggguhan dan komitmen Indonesia dalam memenuhi tuntutan Sustainabilitas, dan program sertifikasi.

Sebelumnya, perlu digarisbawahi, bahwa World Commission on Environment and Development (WCED) dalam laporan tahunan 1987 (yang dikenal dengan Our Common Future) memperkenalkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yakni: “Sustainable development is development which meets the needs of the present without compromising the ability of future generation to meet their own needs”. Secara umum disepakati tiga pilar yang dinilai dapat memenuhi pembangunan berkelanjutan yakni berkelanjutan secara ekonomi, berkelanjutan secara sosial dan berkelanjutan secara lingkungan.

* Dimuat di www.sawit.or.id pada tanggal 25 Januari 2018

(21)

Tiga pilar dari pembangunan berkelanjutan yakni aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan tersebut kemudian diinterpretasikan/disesuaikan dengan suatu negara/sektor. PBB juga telah mengadopsi pembangunan berkelanjutan yang dikenal dengan Millennium Sustainable Goals (MSGs) 2015-2030 untuk menggantikan Millennium Development Goals (MDGs) yang sudah berakhir tahun 2015.

Pendekatan pembangunan berkelanjutan tersebut tampaknya begitu idealnya sampai-sampai setiap negara kesulitan mengimplementasinya. Faktanya sampai hari ini masyarakat internasional setiap tahun menghasilkan jutaan jenis komoditi, barang, dan jasa setiap tahun, baik yang diperdagangkan secara internasional maupun untuk konsumsi domestik setiap negara. Juga ada puluhan sektor-sektor pembangunan disetiap negara, namun tak satu komoditi dan sektor pembangunanpun memiliki tata kelola dan sertifikasi berkelanjutan.

Negara-negara maju (Barat) yang selama ini sangat intensif menyuarakan tata kelola berkelanjutan, sampai saat ini ternyata tak satu produk atau sektor pun yang memiliki tata kelola dan sistem sertifikasi berkelanjutan. Demikian juga dalam kelompok minyak nabati dunia. Dari 17 jenis minyak nabati dunia belum memiliki tata kelola dan sertifikasi berkelanjutan.

(22)

5 | Industri Sawit Catat Rekor Baru Devisa Rp 300 Triliun

Tahun 2017 lalu, industri sawit Indonesia mencatat rekor baru dalam penyumbang devisa negara. Industri strategis nasional tersebut tahun 2017 menyumbang devisa sebesar USD 23 miliar atau naik 26 persen dari tahun 2016. Rekor baru industri sawit tersebut makin mengukuhkan dirinya sebagai industri penyumbang devisa terbesar bagi perekonomian Indonesia.

Devisa industri sawit tersebut, juga menyumbang pada penyehatan neraca perdagangan RI. Sebagaimana laporan BPS Januari 2018, total ekspor nasional tahun 2017 bernilai USD 168.7 milyar, yang terdiri atad ekspor Migas hanya USD 15.3 milyar, dan ekspor non Migas (termasuk eskpor sawit) USD 152.9 milyar. Sementara itu, nilai total impor mencapai USD 156.9 milyar yakni impor non migas USD 132.6 milyar dan impor Migas USD 24.3 milyar. Sehingga secara keseluruhan neraca perdagangan RI tahun 2017 menikmati surplus sekitar USD 11.8 milyar. Dengan devisa sawit sebesar USD 23 milyar, sangat jelas surplus neraca perdagangan RI tersebut adalah kontribusi devisa sawit.

* Dimuat di www.sawit.or.id pada tanggal 7 Februari 2018

(23)

Menarik untuk ditelaah lebih lanjut neraca perdagangan Migas dan Non Migas tersebut. Sepanjang tahun 2017. neraca perdagangan Migas mengalami defisit (minus) sebesar USD - 8.9 milyar. Sebaliknya neraca perdagangan Non Migas mengalami surplus sebesar USD 20,4 milyar. Lagi-lagi surplus neraca perdagangan non migas tersebut seluruhnya disumbang oleh devisa sawit.

Devisa sawit juga menutup sebagian defisit Migas melalui penggunaan biodiesel sawit sebagai pengganti solar impor di dalam negeri. Penghematan devisa impor migas akibat penggantian biodiesel sawit diperkirakan mencapai USD 2 milyar. Artinya, jika tidak ada penggantian solar impor oleh biodiesel sawit didalam negeri (program mandatori biodiesel B- 20) defisit Migaa tahun 2017 lalu akan lebih besar yakni minus USD 11 milyar.

Mari kita rawat dan lindungi industri sawit Indonesia. Jika tidak ada industri sawit nasional, neraca perdagangan RI pasti defisit besar. Kita jaga dari gerakan anti sawit dari negara- negara Barat dan menggunakan tangan-tangan orang Indonesia sendiri di Indonesia. Saat ini ada tekanan yang kuat dari gerakan anti sawit tersebut kepada Presdien RI untuk mengeluarkan inpres moratorium sawit. WASPADA !

(24)

6 | Peluang Ekspor Biodiesel Indonesia ke Uni Eropa

Semakin Menguat

Sengketa yang terjadi antara Uni Eropa dengan Indonesia mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) biodiesel Indonesia oleh UE akhirnya memenangkan Indonesia. Keputusan tersebut didukung dengan adanya pernyataan hasil putusan dalam panel Dispute Settlement Body (DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menyatakan, Indonesia tidak terbukti menerapkan dumping biodiesel seperti yang dituduhkan UE selama ini.

Kemenangan telak Indonesia atas enam gugatan atas UE dikabarkan membawa angin segar bagi pelaku usaha Crude Palm Oil (CPO) Indonesia yang tentunya akan siap kembali masuk dan membuka lebar peluang akses pasar ekspor biodiesel ke benua biru yang sebelumnya sempat mengalami kelesuan akibat dari BMAD biodiesel tersebut.

Sebelumnya, Uni Eropa mengenakan bea masuk anti dumping atas produk biodiesel Indonesia sudah sejak tahun 2013 yang lalu dengan margin dumping sebesar 8.8%-23.3%.

Sejak saat itu, ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa mengalami penurunan pada periode 2013-2016.

* Dimuat di www.sawit.or.id pada tanggal 15 Februari 2018

(25)

Berdasarkan data statistik BPS, ekspor biodiesel Indonesia ke UE turun sebesar 42,84% dari US$ 649 juta tahun 2013 menjadi US$ 150 juta pada tahun 2016.

Dengan adanya kemenangan ini, diharapkan dapat memacu kinerja ekspor biodiesel Indonesia yang lebih besar ke Uni Eropa. Bisa jadi kemenangan ini merupakan penghibur kita untuk sementara waktu saja. Karena saat ini, pasalnya UE tengah berencana mengeluarkan biodiesel berbahan minyak kelapa sawit dari energi terbarukan.

Sebagai salah satu produsen terbesar CPO, berbagai hambatan seringkali terjadi dan dapat mengancam komuditas ini, terutama di pasar negara tujuan ekspor. Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia selain meminta agar UE segera mengimplementasikan putusan WTO, juga diharapkan tetap mengawal ekspor biodiesel Indonesia agar dapat bersaing di pasar negara tujuan ekspor.

Dengan adanya sengketa tersebut, Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Oke Nurwan menyatakan bahwa hasil putusan WTO dapat dijadikan acuan bagi semua otoritas penyelidikan anti dumping agar konsisten dengan peraturan WTO. Sedangkan bagi otoritas penyelidikan negara lain, dapat dijadikan evaluasi agar berhati-hati saat menuduh Indonesia melakukan praktik dumping.

(26)

7 | Rencana Moratorium Sawit Ciptakan Kegaduhan Massal

Saat ini sedang berproses rencana Moratorium Perkebunan Kelapa Sawit yang oleh pengusungnya akan diajukan ke Presiden untuk diterbitkan Instruksi Presiden. Rencana Inpres tersebut yang sudah beredar di masyarakat berjudul : "Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit". Dari judulnya, terkesan mulia. Namun isinya sangat kejam, provokatif dan anti investasi. Selain tidak ada kaitan antara judul dengan isinya, juga berpotensi menciptakan kegaduhan massal.

Mengapa ?

Pertama, Rencana Inpres moratorium sawit tersebut akan mengevaluasi semua kebun-kebun sawit yang berasal dari kawasan hutan. Ini sangat aneh bin ajaib. Semua daratan di Indonesia dulunya pasti berasal dari kawasan hutan. Maka semua kebun sawit Indonesia yang 13 juta hektar baik milik rakyat, swasta maupun BUMN akan di evaluasi karena semua tadinya adalah kawasan hutan. Jika hal ini dilakukan, selain mustahil dapat dilakukan pemerintah, juga dipastikan akan menimbulkan keresahan, kegaduhan massal pada 200 kabupaten yang ada kebun sawitnya.

* Dimuat di www.sawit.or.id pada tanggal 22 Februari 2018

(27)

Kedua, Sampai saat ini batas-batas kawasan hutan di lapangan belum juga dilakukan Menteri Kehutanan (sekarang Menteri LHK). Masyarakat tidak tau mana batas kawasan hutan, yang tahu hanya aparat kehutanan secara subjektif. Sebagai contoh dalam Statistik Kehutanan, semua daratan Propinsi Riau masih terdata sebagai kawasan hutan termasuk bandara, kota- kota, perumahan. Ketidakjelasan batas batas kawasan hutan tersebut, jika dievaluasi ijin pelepasannya pasti timbulkan konflik dan transaksi suap-menyuap.

Ketiga, Rencana Inpres tersebut sangat diskriminatif.

Berdasarkan Statistik Kehutanan, dari sekitar 189 juta hektar luas daratan Indonesia, luas hutan sekitar 89 juta hektar dan kawasan non hutan yang telah dikonversi sejak masa kolonial, Era Orde Lama, Era Orde Baru, hingga Orde Reformasi saat ini telah mencapai sekitar 100 juta hektar. Saat ini non hutan tersebut menjadi kota-kota, perumahan, lahan pertanian, dll.

termasuk 13 juta hektar kebun sawit. Artinya 100 juta hektar tersebut juga tadinya berasal dari kawasan hutan. Mengapa hanya kebun sawit yang 13 juta hektar itu yang dievaluasi ijin pelepasanya, kenapa yang 87 juta hektar lainya tidak dievaluasi ijin pelepasannya? Bukankah rencana Inpres tersebut diskriminatif dan bermaksud secara sistematis memberangus kebun sawit?

Keempat, Menurut UU Kehutanan, yang berhak mengeluarkan ijin pelepasan/konversi kawasan hutan menjadi kawasan non hutan hanyalah Menteri Kehutanan , tentu saja melibatkan jajaran aparat kementerian/dinas kehutanan daerah kabupaten/propinsi. Jika mengevaluasi ijin pelepasan kawasan hutan, yang pertama di evaluasi seharusnya adalah seluruh pejabat termasuk Menteri-menteri kehutanan sejak masa kolonial sampai saat ini, apakah prosedur pelepasannya telah mengikuti peraturan perundang-udangan yang berlaku.

Kelima, Sesuai dengan judul rencana Inpres tersebut, dalam rincianya tidak ada hal-hal yang menyangkut peningkatan

(28)

produktivitas kelapa sawit. Untuk meningkatkan produktivitas sawit bukan dengan Inpres moratorium tapi dengan pemupukan, pemeliharaan yang baik dan lain-lain. Hal ini bagian kerja sehari- hari yang dilakukan pelaku kebun sawit dan hal itu bukan tugas pemerintah. Karena itu, patut diduga pencantuman kalimat peningkatan produktivitas sawit dalam judul rencana Inpres itu hanya lips service,mengelabui dan membohongi masyarakat.

Keenam, Semua uraian tugas-tugas kementerian, Gubernur, Bupati yang diuraikan dalam rencana Inpres tersebut merupakan tugas dan tanggung jawab rutin sehari-hari yang digariskan peraturan perundang-undangan kepada Menteri, Gubernur dan Bupati. Tidak ada urgensi tugas-tugas tersebut dituangkan dalam Inpres.

Jika demikian, mengapa ada usulan rencana Inpres moratorium sawit tersebut, sementara bapak Presden Jokowi justru proaktif, pasang badan membela sawit Indonesia di forum forum internasional?

Patut diduga bahwa usulan rencana Inpres tersebut dimotori oleh LSM anti sawit global yang "membajak" lembaga- lembaga Negara. Karena itu, lembaga Kepresidenan harus waspada dan melindungi Presiden. Jangan biarkan kegaduhan massal terjadi yang hanya merugikan bangsa ini.

(29)

8 | Memaknai Devisa Sawit Rupiah 300 Triliun

Industri sawit Indonesia mencatat rekor baru dalam penyumbang devisa negara. Industri strategis nasional tersebut pada tahun 2017 menyumbang devisa sebesar USD 23 miliar atau setara Rp. 300 trilyun. Rekor baru industri sawit tersebut makin mengukuhkan dirinya sebagai industri penyumbang devisa terbesar bagi perekonomian Indonesia. Devisa sawit sebesar itu, tentu bukan angka-angka semata. Makna pembangunannya sungguh besar baik secara makro, regional, maupun mikro/lokal.

Secara ekonomi, devisa sawit tersebut antara lain bermakna : Pertama, menyumbang pada penyehatan neraca perdagangan RI. Sebagaimana laporan BPS Januari 2018, total ekspor nasional tahun 2017 bernilai USD 168.7 milyar, yang terdiri atas ekspor Migas USD 15.3 milyar, dan ekspor non Migas (termasuk eskpor sawit) USD 152.9 milyar. Sementara itu, nilai total impor mencapai USD 156.9 milyar yakni impor non migas USD 132.6 milyar dan impor Migas USD 24.3 milyar.

Sehingga secara keseluruhan neraca perdagangan RI tahun 2017 menikmati surplus sekitar USD 11.8 milyar adalah disumbang devisa sawit sebesar USD 23 milyar.

* Dimuat di www.sawit.or.id pada tanggal 26 Februari 2018

(30)

Jika devisa sawit dikeluarkan, maka neraca perdagangan RI 2017 jelas mengalami defisit sekitar -11.2 milyar dollar USA.

Kedua, devisa sawit Rp 300 trilyun tersebut secara ekonomi juga menambah "darah segar" yang memperbesar aliran ekonomi dalam perekonomian nasional. Tambahan "darah segar" itu, sama seperti investasi, bermakna menambah kapasitas ekonomi nasional secara keseluruhan. Tidak hanya terjadi pada industri sawit nasional, tetapi terjadi pada seluruh perekonomian.

Ketiga, devisa sawit yang tergolong besar dan terbesar dalam ukuran satu komoditas, juga menunjukkan pembalikan citra ekonomi nasional yang selama ini "rakus" impor. Selama ini kita mengeluh, mencibir, bahwa Indonesia bermental impor, semua diimpor, garam, daging, peniti, gandum, kendaraan, produk IT, elektronika dan lain-lain semua dimpor.

Kehadiran industri sawit sebagai industri ekspor yang mampu menghasilkan devisa Rp. 300 trilyun tersebut, memberi harapan baru bahwa Indonesia mampu menjadi negara dan bangsa yang mengekspor.

Keempat, devisa sawit tersebut dihasilkan dari kebun- kebun sawit yang tersebar pada lebih 200 kabupaten di Indonesia. Mendayagunakan (bukan mengeksploitasi) sumber daya agraris yang kita miliki. Setiap dollar devisa sawit di-create dengan memadukan IPTEK dengan sumber daya agraris didalam negeri. Bukan mengimpor seperti kebanyakan industri-industri lain yang harus mengimpor bahan baku terlebih dahulu baru bisa produksi, sehingga menguras devisa negara.

Kelima, Devisa sawit yang Rp. 300 trilyun tersebut dihasilkan dan dinikmati oleh rakyat kita sendiri yang terlibat baik pada perkebunan sawit di 200 lebih kabupaten maupun sektor-sektor yang menjual barang/jasa bagi perkebunan sawit.

Devisa sawit makin besar, pendapatan rakyat juga makin besar.

Pendapatan tersebut terjadi pada hampir 5 juta rumah tangga

(31)

pada 200 kabupaten. Ini berarti industri sawit meningkatkan pendapatan dan pemerataan sekaligus.

Perlu dicatat, devisa dan pendapatan yang kita nikmati dari sawit masih meningkat kedepan. Secara umum kita masih menikmati sekitar 40 persen dari potensi yang ada. Melalui perluasan kebun, peningkatan produktivitas, hilirisasi, subsitusi impor, akan memperbesar dan memperluas manfaat industri sawit bagi masyarakat Indonesia. Sawit merupakan anugrah Tuhan untuk mesayarakat Indonesia.

(32)

9 | Mandatori Biodiesel Hemat Devisa dan Emisi 42 Triliun Rupiah

Kebijakan mandatori biodiesel sawit yakni mengganti secara bertahap solar fosil impor dengan biodiesel sawit domestik, merupakan langkah penting dalam membangun kemandirian energi nasional, menghemat devisa dan hemat emisi (perbaikan mutu lingkungan).

Saat ini dan ke depan ketergantungan Indonesia pada impor solar fosil makin meningkat terus, sehingga dengan mengganti solar fosil dengan biodiesel secara bertahap akan mengurangi ketergantungan kita pada solar fosil impor dan sekaligus menghemat devisa. Dalam kurun waktu 2014-2017 saja, Indonesia berhasil menghemat impor solar fosil secara akumulatif sebesar 7.78 juta ton dan penghematan devisa untuk impor BBM sekitar Rp. 38.8 Triliun.

Kemudian, kita telah berkomitmen ke masyarakat Internasional untuk ikut menurunkan emisi karbon. Sumber emisi Indonesia terbesar adalah dari konsumsi energi fosil termasuk solar fosil. Semakin meningkat konsumsi solar fosil semakin meningkat emisi karbon. Pengggantian solar fosil dengan biodiesel sawit dapat menurunkan emisi diesel sampai 62 persen.

* Dimuat di www.sawit.or.id pada tanggal 7 Maret 2018

(33)

Sehingga semakin banyak biodiesel sawit yang dicampur dengan solar fosil semakin rendah emisinya.

Selama tahun 2014-2017 pengurangan emisi Indonesia akibat penggunaan biodiesel (mengganti solar fosil) mencapai 11.7 juta ton CO2. Pengurangan emisi tersebut jika dihitung shadow price-nya yakni USD 20/ton, maka nilai jasa lingkungan yang dihasilkan dari mandatori biodiesel tersebut mencapai Rp.

3.15 Triliun. Dengan kata lain nilai manfaat yang dinikmati Indonesia dari kebijakan mandatori biodiesel selama 2014-2017 secara akumulatif mencapai USD 3.1 Miliar atau Rp 42 Triliun.

Nilai manfaat tersebut, belum memperhitungkan manfaat yang tercipta di sektor perkebunan. Produksi minyak sawit (bahan baku biodiesel) melibatkan 13 juta hektar kebun sawit yang didalamnya terra at sekitar 4.6 juta kebun sawit rakyat dan ekonomi 200 kabupaten produsen sawit di Indonesia. Oleh karena itu, meningkatkan penyerapan miyak sawit didalam negeri melalui mandatory biodiesel, berarti juga menjamin pasar produksi sawit para petani tersebut dan menggerakkan ekonomi setidaknya 200 kabupaten.

Manfaat yang juga tak bisa dilupakan adalah bagi industri sawit kita secara keseluruhan. Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia, dimana sekitar 70 persen dari produksi minyak sawit kita di ekspor keberbagai negara. Artinya industri sawit kita terlalu tergantung pada pasar CPO dunia.

Untuk mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor, perlu pengembangan pasar domestik yang dapat memperbesar penggunaan minyak sawit yang di dalam negeri. Penggunaan minyak sawit menjadi biodiesel sawit dan digunakan sebagai pengganti sebagian solar fosil impor, akan mengurangi ketergantungan pada pasar CPO dunia.

(34)

Dengan kata lain, mandatori biodisel harus dilanjutkan terus dan bahkan perlu diperluas bukan hanya segmen pasar PSO tetapi juga pasar Non PSO. Perlu dicatat sekitar 50 persen komsumsi solar fosil kita ada di sektor komersial (non PSO). Jika mandatori biodiesel diperluas ke PSO tambahan manfaat yang kita nikmati Rp 100 Triliun atau setidaknya dua kali lipat dari saat ini.

(35)

10 | Menanti Kemitraan Sawit Gelombang Kedua

Berbagai pola kemitraan sawit rakyat-korporasi yang dibangun sejak awal tahun 1980 telah mengukir prestasi besar dalam industri minyak sawit nasional. Pola kemitraan Gelombang Pertama seperti PIR -Lok, PIR- SUS,PIR-trans, PIR- KKPA dan bentuk kemitraan lain yang dikembangkan bukan hanya berhasil menjadikan petani sawit menjadi salah satu aktor penting perkebunan sawit nasional, tetapi juga telah membawa Indonesia menjadi produsen terbesar minyak sawit dunia.

Kemitraan tersebut yang merupakan suatu modal sosial (social capital) yang menampilkan wajah pembangunan (development) industri sawit nasional yang makin inklusif.

Industri sawit nasional kedepan, memerlukan Kemitraan Gelombang Kedua yang diharapkan akan membawa industri sawit nasional termasuk sawit rakyat naik kelas dan mengukir prestasi baru bagi pembangunan nasional. Kemitraan gelombang kedua tersebut makin sangat strategis, mengingat kebun sawit rakyat akan menjadi aktor terbesar kebun sawit nasional dalam beberapa tahun kedepan. PASPI meperkirakan menjelang 2030, pangsa kebun sawit rakyat akan meningkat dari 42 persen saat ini menjadi 60 persen dari luas kebun sawit nasional.

* Dimuat di www.sawit.or.id pada tanggal 12 Maret 2018

(36)

Masa depan kebun sawit nasional ada ditangan kebun sawit rakyat. Oleh karena itu, tanpa pengembangan dan perbaikan kualitas kemitraan, pasokan minyak sawit ke industri hilir akan terganggu.

Kemitraan Sawit Gelombang Kedua, di desain dan ditujukan untuk mempercepat industrialisasi perkebunan sawit khususnya peningkatan produktivitas sawit rakyat dari 3.4 menjadi 8 ton minyak per hektar. Penanaman ulang atau replanting tanaman kelapa sawit rakyat telah dimulai dan pencanangannya dilakukan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo di Banyuasin, Sumatera Selatan pada 13 Oktober 2017.

Diharapkan replanting sawit rakyat akan dilakukan di daerah- daerah lain baik di Pulau Sumatera maupun di Pulau Kalimantan.

Seiring dengan replanting sawit, pengembangan kelembagaan dan organisasi sehamparan kebun sawit seperti koperasi sawit rakyat sehamparan sangat diperlukan untuk memudahkan dan mengefisienkan pengadaan pupuk dan input lain. Termasuk mengorganisir bimbingan kultur teknis dan manajerial sehingga standar kultur teknis yang terbaik dan berkelanjutan dapat dilaksanakan pada kebun sawit rakyat.

Koperasi sawit rakyat sehamparan mutlak dikembangkan sebagai organisasi kolektif untuk menikmati skala ekonomi penyediaan pupuk dan input lain serta pemanenan saat TM.

Koperasi sawit sehamparan ini juga diharapkan dapat menjadi organisasi kolektif sawit rakyat untuk menyelesaikan legalitas lahan dan usaha sawit rakyat yang sudah dijanjikan pemerintah untuk diselesaikan.

Selain untuk peningkatan produktivitas, Kemitraan Sawit Gelombang kedua tersebut juga dimaksudkan untuk percepatan perbaikan kualitas pengelolaan kebun sawit yang memenuhi asas-asas keberlanjutan (sustainability).

(37)

Level dan kualitas keberlanjutan sawit rakyat akan lebih mudah dicapai dengan pengelolaan kemitraan sawit rakyat-korporasi sehamparan.

Bahkan pola kemitraan sawit rakyat-korporasi gelombang kedua ini akan makin menyatukan dan mensinergikan seluruh kekuatan (sosial, ekonomi, politik) menjadi suatu Big-push pembangunan bukan hanya bagi industri sawit itu sendiri tetapi juga bagi perekonomian nasional secara keseluruhan. Mesin pertumbuhan besar bagi perekonomian nasional akan lahir dari industri sawit dengan pola kemitraanya.

(38)

11 | Menunggu Kehadiran Negara di Kebun Sawit

Presiden Jokowi sudah pasang badan membela sawit Indonesia. Dalam setiap kunjungan kenegaraan dan forum- forum Internasional, Presiden Jokowi selalu mempromosikan sawit Indonesia. Dan tak jarang Presiden langsung meminta agar sawit Indonesia jangan di dzolimi dan di diskriminasi di berbagai negara. Pasang badan dan lobby Presiden tersebut bukan tanpa alasan karena industri sawit merupakan industri strategis nasional bukan hanya penghasil devisa terbesar saat ini tetapi juga manfaat ekonominya di dalam negeri.

Signal membela sawit yang ditunjukkan Presiden tersebut, seharusnya menjadi Instruksi kepada seluruh Kementerian terkait untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya terkait dengan kebun sawit. Kementerian merupakan alat pemerintah untuk menghadirkan negara dalam seluruh aspek/sektor pembangunan termasuk kebun sawit.

Sejauh ini kehadiran negara dalam menyelesaikan berbagai masalah kebijakan terkait kebun sawit masih jalan di tempat.

Masalah tata ruang, pertanahan, perijinan dan lain-lain khususnya kebun sawit rakyat masih menjadi masalah yang memasung kebun sawit.

* Dimuat di www.sawit.or.id pada tanggal 22 Maret 2018

(39)

Alih-alih menyelesaikan masalah tersebut, malah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan lantang menyebut jutaan hektar kebun sawit di dalam kawasan hutan.

Bahkan Kementerian tersebut sedang menggodok suatu Inpres yang memoratorium sawit dan mengevaluasi kembali seluruh perijinan usaha perkebunan sawit dan pelepasan kawasan yang terjadi selama ini. Tampaknya Kementerian tersebut belum paham membaca "pasang badan" yang diperlihatkan Presiden terhadap sawit. Juga mungkin lupa bahwa kehadiran Kementerian tersebut adalah untuk menjadi solusi bagi pembangunan dan bukan menjadi destroyer pembangunan.

Akibat belum tuntasnya masalah tata ruang, pertanahan dan perijinan, banyak agenda pembangunan termasuk agenda pemerintah jadi terbengkalai. Rencana replanting sawit rakyat terganjal oleh ketiadaan sertifikat lahan petani. Padahal sekitar 20 ribu hektar sawit rakyat sudah siap untuk direplanting. Tidak hanya replanting terganjal, sertifikasi ISPO yang mandatori (wajib) sawit rakyat juga sulit dilakukan karena terganjal masalah legalitas tenurial. Padahal 3 juta petani sawit dengan luas kebun sawit total sekitar 4.5 juta hektar, telah berjasa menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar CPO dunia sejak tahun 2006.

Tata ruang, pertanahan dan perizinan yang belum tuntas tersebut juga merugikan pemerintah sendiri. Salah satunya, berbagai jenis pajak akhirnya tidak dapat dipungut pemerintah karena banyak kebun-kebun yang belum memiliki legalitas.

Masalah legalitas lahan ini bukan masalah baru, tetapi sudah masalah lama yang dibiarkan berlarut-larut. Bahkan masalah legalitas lahan ini bukan hanya terjadi pada petani sawit, tetapi juga hampir seluruh petani di Indonesia, sebagian besar lahannya tidak memiliki legalitas. Selain legalitas lahan, legalitas badan usaha petani juga tak pernah ada sepanjang Indonesia merdeka.

(40)

Mungkin saja ada beragam masalah seperti kesesuaian tata ruang, berada dalam kawasan hutan dan seterusnya. Hal ini juga kewenangan penuh Pemerintah yang seharusnya dapat diselesaikan Pemerintah sendiri. Untuk kesesuaian tata ruang maupun kawasan hutan, jangankan petani sebagian besar masyarakat pun tidak mengetahui persis mana batas kawasan hutan dan tata ruang yang sering berubah-ubah dan hanya Pemerintah yang tahu.

Sudah saatnya Kementerian terkait khususnya Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta Kementerian Hukum dan HAM, duduk bersama dan menyelesaikan legalitas tenurial petani ini. Kementerian dan pemerintah propinsi/kabupaten terkait bukan saatnya lagi

"meneriaki" legalitas tenurial petani. Saatnya kerja, kerja dan kerja, yakni mengambil terobosan kebijakan tenurial untuk legalitas lahan sawit petani yang telah berlarut-larut dan terwariskan lintas generasi.

Legalitas tenurial maupun legalitas badan usaha petani, sepenuhnya ada ditangan pemerintah. Tidak ada institusi lain yang berhak memberikan legalitas lahan dan usaha tani. Hanya pemerintah yang berhak memberikannya. Dan itu adalah salah satu bentuk kehadiran negara di kebun sawit.

(41)

12 | Top Emitter Karbon Dunia Ancam Embargo Sawit?

Ekspor minyak sawit ke Eropa (EU) dan Amerika Serikat (USA) menghadapi ancaman/hambatan perdagangan yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah. Resolusi sawit yang dikeluarkan Parlemen Eropa pada awal Bulan April 2017 lalu, mengancam embargo minyak sawit yang dikaitkan dengan sejumlah isu lingkungan seperti deforestasi, kebakaran hutan, emisi GHG dan gambut. Bahkan Uni Eropa merencanakan akan mengembargo penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel mulai 2021.

Amerika Serikat yang juga salah satu tujuan ekspor minyaksawit Indonesia yang sedang bertumbuh, akhir Bulan Agustus 2017 lalu merencanakan memberlakukan kebijakan anti dumping berupa Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas biodiesel sawit dari Indonesia. Tarif BMAD yang direncanakan oleh Departemen Perdagangan Amerika Serikat (USDOC) berkisar 34.5 - 64.73 persen. Jika kebijakan protektif tersebut benar- benar dilaksanakan akan mengancam ekspor biodiesel sawit ke negara Paman Sam tersebut.

* Dimuat di www.sawit.or.id pada tanggal 28 Maret 2018

(42)

Ancaman embargo/hambatan perdagangan sawit tersebut datang dari dua negara kawasan yang termasuk negara papan atas (top ten) emitter gas rumah kaca (GHG) global yang dikenal sebagai penyebab pemanasan global dan perubahan lingkungan.

Sebagai emitter terbesar dunia, produk/komoditi apapun yang dihasilkan di daratan Uni Eropa dan Amerika Serikat dapat dikategorikan sebagai komoditi/produk emitter GHG terbesar (embodied carbon emission). Oleh karena itu, seharusnya Uni Eropa dan Amerika Serikat mendorong pengurangan konsumsi produk/komoditi yang emitter GHG tertinggi dan beralih kepada produk/komoditi yang dihasilkan dari negara emitter GHG yang lebih rendah.

Ancaman embargo/proteksi minyak sawit berasal dari negara-negara top emitter GHG dunia dan luas kebakaran hutan terbesar yakni Amerika Serikat dan Uni Eropa. Emisi GHG Amerika Serikat mencapai 5,176 juta ton CO2, emisi GHG Uni Eropa mencapai 3,160 juta ton CO2 sedangkan Indonesia hanya 436.5 juta ton CO2. Artinya emisi GHG energi fosil Amerika Serikat dan Uni Eropa sekitar 9-11 kali lipat dari emisi GHG energi fosil Indonesia. Demikian juga emisi GHG pertanian Amerika Serikat sebesar 421 juta ton, Uni Eropa sebesar 389 juta ton. Sedangkan emisi GHG pertanian Indonesia hanya sebesar 168 juta ton. Artinya emisi GHG pertanian Amerika Serikat dan Uni Eropa 3-4 kali lipat dari emisi GHG pertanian Indonesia.

Luas kebakaran hutan dan lahan di USA meningkat dari 327 ribu hektar (2011) menjadi 4 juta hektar (2015) atau rata-rata 2.2 juta hektar per tahun. Sementara luas kebakaran hutan Uni Eropa dan Rusia meningkat dari 1.9 juta hektar (2011) menjadi 3.2 juta hektar (2015) atau rata-rata 2.6 juta hektar per tahun.

Sedangkan luas kebakaran hutan dari 2.6 ribu hektar (2011) menjadi 261 ribu hektar (2015) atau rata-rata hanya 65 ribu hektar. Atau luas kebakaran hutan/lahan di Amerika Serikat dan Uni Eropa 35-41 kali lipat lebih luas dibandingkan dengan luas kebakaran hutan di Indonesia.

(43)

Hal ini bermakna bahwa produk-produk EU dan USA secara implisit merupakan produk beremisi karbon tinggi, berdampak kerusakan lingkungan (embodied carbon emission, embodied forest fire) dibanding dengan produk Indonesia, termasuk minyak sawit. Minyak kedelai dan minyak nabati lainnya yang dihasilkan di daratan USA dan Uni Eropa menjadi bahan baku biodiesel “lebih kotor” dibandingkan dengan minyak sawit/biodiesel sawit yang dihasilkan dari Indonesia.

Menggantikan minyak sawit dengan minyak nabati/biomas produksi domestik USA dan Uni Eropa melalui kebijakan embargo dan proteksi sawit, tidak mendukung upaya penurunan emisi global bahkan mensponsori peningkatan emisi global.

(44)

13 | Sawit Dalam Revolusi Pasar Minyak Nabati Dunia

Top Four minyak nabati dunia yakni minyak sawit, minyak kedelai, minyak bunga matahari dan minyak rapeseed merupakan empat dari 17 jenis minyak nabati dunia. Pada tahun 1965 pasar minyak nabati dunia dikuasai oleh minyak kedelai dengan pangsa sebesar 65 persen. Kemudian disusul minyak nabati Eropa yakni minyak rapeseed dan minyak bunga matahari. Posisi dominasi minyak kedelai ini masih berlangsung sampai tahun 2006.

Sejak tahun 2006, Indonesia berhasil merebut posisi penting dalam perekonomian dunia yakni menjadi produsen terbesar minyak sawit dunia sekaligus menjadi produsen terbesar minyak nabati dunia. Dua gelar sekaligus direbut Indonesia yakni sebagai "raja" minyak sawit dunia (mengalahkan Malaysia) dan "raja" minyak nabati dunia mengalahkan minyak kedelai Amerika Serikat. Untuk pertama kali dalam sejarah ekonomi dunia, produk dari Indonesia membawa revolusi pada pasar minyak nabati dunia.

Tahun 2016, pangsa minyak sawit dalam pasar minyak nabati (utama) dunia mencapai 40 persen, meninggalkan minyak kedelai yang pangsanya menurun menjadi hanya 33 persen.

* Dimuat di www.sawit.or.id pada tanggal 2 April 2018

(45)

Kini konsumsi minyak nabati dunia didominasi minyak sawit dan produsen minyak sawit terbesar dunia adalah Indonesia dengan pangsa 54 persen. Ini adalah suatu revolusi minyak nabati dunia, yang oleh Byerlee (2017) dari Stanford University menyebutnya sebagai revolusi minyak nabati tropis.

Tergusurnya minyak kedelai tersebut bukan karena produksi minyak kedelai turun atau luas kebun kedelai berkurang. Sebaliknya, kebun kedelai naik tajam dari 25.8 juta hektar tahun 1965 menjadi 123 juta hektar tahun 2016.

Sementara kebun sawit dunia hanya naik dari 3.6 juta hektar menjadi 20.2 juta hektar dalam periode yang sama. Namun produktivitas minyak sawit 8-10 kali lipat dari produktivitas minyak dari kebun kedelai.

Keunggulan produktivitas minyak dari kebun sawit tersebut, membuat harga minyak sawit juga jauh lebih murah dari pada harga minyak kedelai maupun minyak nabati Eropa.

Selain itu, karakteristik kebun sawit yang berupa pohon yang produktif menghasilkan minyak sampai umur 25-30 tahun, membuat pasokan minyak sawit jauh lebih stabil dan tidak terlalu berpengaruh (dibanding minyak nabati lain) akibat perubahan iklim.

Revolusi pasar minyak nabati dunia (produksi dan konsumsi) yang ditandai dengan munculnya minyak sawit sebagai minyak nabati utama dunia (menggantikan minyak kedelai) juga merembet ke pasar produk hilir minyak nabati dunia. Sebagaimana diketahui, minyak nabati digunakan untuk bahan pangan (oleofood), oleokimia (sabun, deterjen, toiletries, bahan kosmetika, dll ) dan biodiesel.

Saat ini, hampir 60 persen dari pangan olahan dunia sudah menggunakan minyak sawit. Demikian juga produk-produk oleokimia tersebut juga telah bergeser menggunakan minyak sawit. Bahkan penggunaan minyak sawit pada biodiesel dunia sebagai bahan bakunya pun makin meningkat porsinya.

(46)

Kedepan, revolusi pasar minyak nabati dunia termasuk pasar produk hilirnya akan berlanjut terus bahkan makin menguat. Produksi minyak sawit dari "raja" minyak sawit dunia yakni Indonesia masih meningkat kedepan terutama karena peningkatan produktivitas. Apalagi teknologi hilir juga makin berkembang terus, sehingga industri pengguna minyak sawit makin meluas kedepan. Bioavtur, biopremium, biopalstik, biopelumas dari minyak sawit akan segera hadir di pasar dunia yang juga akan mewarnai revolusi pasar minyak nabati dunia.

(47)

14 | Kebun Sawit Hanya 7 Persen Luas Daratan Indonesia?

Berita atau opini yang berkembang apalagi di kalangan LSM, sebagian besar tanah di Indonesia sudah menjadi kebun sawit. Katanya, sejauh mata memandang di Pulau Kalimantan atau di Sumatera, semuanya adalah kebun sawit. Maka tudingan pun dilontarkan bahwa kebun sawit adalah penyebab utama habisnya hutan di Indonesia. Benarkah demikian?

Mari kita lihat data-data penggunaan lahan daratan di Indonesia berdasarkan data-data resmi Pemerintah. Menurut data Statistik Kehutanan, luas daratan Indonesia adalah sekitar 189 juta hektar. Dari luas daratan tersebut, sekitar 47 persen atau sekitar 88 juta hektar adalah hutan negara yakni Hutan Lindung, Hutan Konservasi, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi, Hutan yang dapat dikonversi dan Hutan Tanaman Industri. Jadi porsi terbesar dari penggunaan daratan Indonesia adalah untuk berbagai macam hutan yang dikuasai oleh Negara, dalam hal ini dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Porsi hutan Indonesia tersebut masih lebih besar (FAO) dari rataan porsi hutan dunia yang hanya 31 persen, juga lebih besar dibandingkan di Uni Eropa (45 persen), dan Amerika Serikat (40 persen).

* Dimuat di www.sawit.or.id pada tanggal 9 April 2018

(48)

Jadi luas hutan Indonesia masih lebih baik dibanding rataan Negara-Negara dunia. Porsi daratan Indonesia untuk semua sektor (di luar hutan) adalah sisanya yakni 53 persen dari luas daratan Indoesia yang disebut sebagai kawasan budidaya.

Kawasan budidaya tersebut mencakup semua sektor (diluar kehutanan) yakni untuk pertanian/perkebunan, perkotaaan, perkampungan/ pemukiman, perkantoran, jalan-jalan, kawasan industri, dan sebagainya.

Lantas berapa besar untuk kebun sawit? Kebun sawit berada dalam kawasan budidaya tersebut (bukan dalam kawasan hutan). Menurut Statistik Kelapa Sawit Kementerian Pertanian, luas kebun sawit (sawit rakyat, swasta dan BUMN) di Indonesia tahun 2017 adalah sekitar 13 juta hektar. Hal ini jika dibandingkan dengan luas total daratan Indonesia, luas kebun sawit ternyata hanya sekitar 7(tujuh) persen dari luas total daratan Indonesia. Jika dibandingkan luas kawasan budidaya, maka kebun sawit hanya sekitar 13 persen.

Dengan data-data tersebut dimana porsi penggunaan lahan untuk kebun sawit yang relatif kecil tersebut adalah berlebihan dan mengada-ngada bahwa semua daratan di Indonesia adalah kebun sawit. Juga tidak berdasar jika dikatakan bahwa sejauh mata memandang daratan Indonesia, semua adalah kebun sawit

Juga tidak berdasar pandangan yang mengatakan bahwa deforestasi (konversi hutan menjadi non hutan) di Indonesia adalah untuk perluasan kebun sawit. Jika diasumsikan semua daratan dulunya berasal dari konversi hutan menjadi non hutan, maka kebun sawit hanya 13 persen. Sekitar 87 persen konversi hutan menjadi non hutan adalah untuk kebutuhan sektor lain.

(49)

15 | Embargo Sawit Eropa, Langgar Hak Asasi Manusia?

Dalam beberapa tahun terakhir ini, ancaman terhadap minyak sawit makin bertubi-tubi. Berbagai bentuk kampanye hitam, labelisasi Palm Oil Free, boikot, sampai rencana embargo sawit di lancarkan Eropa. Bahkan Eropa juga mengancam untuk menghapus penggunaan minyak sawit di Eropa mulai tahun 2020.

Rencana embargo sawit dari Eropa tersebut, selain bentuk persaingan dagang yang terburuk dalam sejarah modern, juga berpotensi sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia pada zaman modern. Mengapa demikian?

Setidaknya hak asasi manusia dari keluarga petani sawit dunia dan komsumen sawit dunia berikut ini terancam akibat embargo sawit Eropa. Yakni hak bekerja, hak memperoleh pendapatan, hak memperoleh pangan, hak pendidikan dan hak kesehatan.

Pertama, minyak sawit dihasilkan oleh jutaan petani-petani pada sekitar 15 negara dunia. Setidaknya, 5 juta rumah tangga petani atau sekitar 20 juta anggota keluarga petani yang ikut dalam proses produksi minyak sawit dunia.

* Dimuat di www.sawit.or.id pada tanggal 17 April 2018

(50)

Para keluarga petani sawit dunia tersebut yang berada di kawasan pedesaan, pelosok-pelosok, dan umumnya berpendapatan relatif rendah dibandingkan masyarakat perkotaan apalagi dibandingkan dengan pendapatan rakyat Eropa yang kaya raya itu.

Para petani sawit berhak bekerja dan hidup lebih baik yang merupakan salah satu Hak Asasi Manusia. Mereka sedang berupaya meningkatkan pendapatannya melalui ekonomi kebun sawit. Jika embargo sawit dilakukan Eropa, maka yang pertama korban atau terancam ekonominya adalah petani sawit dunia pada 15 negara.

Kedua, tenaga kerja yang bekerja di kebun-kebun sawit dunia diperkirakan sekitar 50 juta orang yang menghidupi sekitar 200 juta orang anggota keluarga. Para pekerja kebun sawit tersebut merupakan tenaga kerja yang berpendidikan relatif rendah, yang tidak tertampung pada sektor-sektor modern-perkotaan. Mereka bekerja di kebun-kebun sawit karena pendapatan di kebun sawit lebih baik dari pekerjaan lain di pedesaan. Dengan embargo sawit Eropa, akan mengancam hak-hak asasi ekonomi pekerja sawit tersebut.

Ketiga, minyak sawit merupakan salah satu bahan pangan dunia yang direkomendasikan FAO. Harga minyak sawit dunia selama ini selalu lebih rendah (sekitar USD 100-200/ton) dibawah harga minyak nabati lain seperti minyak kedelai, minyak rapeseed dan minyak bunga matahari. Kehadiran minyak sawit yang relatif murah tersebut menguntungkan penduduk miskin maupun berpendapatan rendah dunia.

Sekitar dua milyar penduduk dunia masih miskin dan berpendapatan rendah seperti di India, China, Afrika, Asia Tengah, dan lain-lain. Ketersediaan minyak sawit meningkatkan akses penduduk miskin dunia pada pangan minyak sawit.

Kehadiran minyak sawit yang lebih murah juga mencegah harga minyak nabati lain meningkat yang mengurangi akses penduduk miskin/berpendapatan rendah pada pangan minyak. Jika

(51)

embargo sawit Eropa dilakukan maka akan membatasi hak-hak penduduk miskin pada pangan minyak.

Uraian tersebut menunjukkan bahwa pada ekonomi sawit dunia melekat hak-hak asasi manusia. Jika embargo sawit diberlakukan Eropa, maka puluhan juta petani dan pekerja pada kebun sawit dunia berpotensi kehilangan hak untuk bekerja dan hak pendapatan. Jika Kedua hak asasi ini hilang, maka hak asasi berikutnya yakni hak untuk memeperoleh pangan, hak Pendidikan dan hak Kesehatan,akan terganggu bahkan hilang.

Selain itu, akses penduduk miskin dunia pada bahan pangan minyak juga akan terganggu.

Jadi masyarakat Eropa yang sudah kaya raya itu, perlu memahami bahwa pada ekonomi sawit dunia melekat hak-hak asasi manusia. Dan masyarakat Eropa harus mencegah terjadinya potensi pelanggaran hak asasi manusia akibat embargo sawit Eropa. Tentu, masyarakat Eropa tidak mau mengulang praktik penindasan hak-hak asasi manusia yang dilakukan nenek moyang Eropa pada masa Kolonial, yang sebagian keturunan tertindas tersebut saat ini berada dalam ekonomi sawit dunia.

(52)

16 | Eropa Embargo Sawit, Hutan Dunia Hilang 20 Juta Hektar

Rencana embargo sawit Uni Eropa yang dimulai tahun 2020 beserta gerakan palm oil free yang dipaksakan pada industri penggunaan minyak sawit multinasional, akan dibayar mahal oleh masyarakat dunia berupa hilangnya sekitar 20 juta hektar hutan dunia. Kok, bisa begitu ?

Masyarakat Uni Eropa (EU) merupakan salah satu kawasan net importir minyak nabati terbesar dunia. Sekitar 60 persen kebutuhan minyak nabati EU, harus dipenuhi dari impor yakni minyak sawit, minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak bunga matahari dan lain-lain. Ruang gerak peningkatan produksi minyak nabati EU dari dalam negeri yakni minyak rapeseed dan minyak bunga matahari, sudah sangat terbatas karena keterbatasan lahan. Sebagaimana studi FAO, jika EU melakukan swasembada minyak nabati, sekitar 70 persen lahan pertaniannya harus dikonversi menjadi lahan tanaman biofuel.

Hal ini jelas tidak mungkin karena resikonya ketahanan pangan EU akan terancam. Jadi memasok minyak nabati dari impor, tetap jadi pilihan terbaik bagi EU.

Volume impor minyak sawit EU saat ini sekitar 7 juta ton per tahun untuk bahan pangan, biofuel dan industri oleokimia.

* Dimuat di www.sawit.or.id pada tanggal 24 April 2018

(53)

Diperkirakan dalam periode 2020-2030 volume impor minyak sawit EU akan mencapai rata-rata 10 juta ton per tahun untuk bahan pangan, energi dan industri oleokimia.

Apa yang terjadi jika EU benar-benar menghentikan penggunaan minyak sawit? Pilihannya hanya dua. Pertama, meningkatkan produksi rapeseed dan bunga matahari baik di EU maupun di kawasan Eropa lainya (diluar EU). Hal ini berarti areal tanaman bunga matahari dan rapeseed harus di perluas.

Dengan produksi minyak rata-rata rapeseed dan bunga matahari hanya sekitar 0.5 ton/ha, maka untuk menggantikan impor 10 juta minyak sawit, diperlukan 20 juta hektar lahan baru untuk kebun bunga matahari dan rapeseed. Hal ini akan mengkonversi lahan hutan (deforestasi) Eropa besar-besaran.

Pilihan kedua, mengganti impor sawit dengan meningkatkan impor minyak nabati lain seperti minyak kedelai dari Amerika Selatan. Jika EU memilih pilihan kedua ini mengganti impor sawit dengan impor minyak kedelai atau minyak nabati lain, maka untuk menggantikan 10 juta ton minyak sawit memerlukan ekspansi lahan kebun kedelai (atau tanaman biofuel lain) seluas 20 juta hektar. Hal ini berarti menambah konversi (deforestasi) hutan dunia seluas 20 juta hektar lagi.

Dengan kata lain, jika EU melakukan embargo sawit, maka EU mensponsori terjadinya deforestasi hutan dunia yang lebih besar lagi yakni 20 juta hektar. Sementara jika EU tetap mengkonsumsi minyak sawit, tidak perlu lagi tambahan deforestasi hutan dunia karena kebun sawit sudah berproduksi selama ini. Untuk memenuhi kebutuhan 10 juta ton minyak sawit cukup dari 2 juta hektar kebun sawit. Jadi pilihan EU untuk embargo sawit, merupakan pilihan yang lebih jelek(inferior) dari sudut ekonomi dan ekologis. Bahkan pilihan yang kontradiksi dengan tujuan EU itu sendiri. EU mengembargo sawit agar deforestasi berhenti, tetapi ternyata justru memacu deforestasi hutan dunia yang makin besar.

(54)

17 | Kita Perlu Satu "Bahasa" Sawit

Tak dapat dipungkiri bahwa sawit merupakan industri strategis dan menyangkut kepentingan nasional ekonomi kita.

Selain peranannya dalam perekonomian domestik, sawit merupakan penyumbang devisa terbesar saat ini. Tahun 2017 lalu, devisa yang dihasilkan sawit mencapai USD 23 milyar atau sekitar Rp. 310 trilyun. Selain itu, industri sawit terkait dengan industri pangan, industri biofuel dan industri biomateril yang sangat penting. Oleh karena itu, sebagaimana diperlihatkan bapak Presiden Jokowi, kita semua harus "pasang badan" untuk industri sawit dalam perdagangan internasional.

Kampanye negatif terhadap sawit kita masih terus terjadi.

Isu deforestasi, hilangnya biodiversity termasuk terancamnya satwa langka, terus dituduhkan ke sawit kita. Memang tudingan tersebut tidak seluruhnya benar. Untuk biodeversity misalnya, sejak awal Indonesia telah menyediakan hutan lindung dan hutan konservasi di setiap propinsi sebagai "rumahnya"

biodiversity. Lalu soal deforestasi, sebagaimana di setiap negara terjadi, masih debatable. Bahkan berbagai studi juga menunjukan bahwa pengembangan kebun sawit di Indonesia bukanlah konversi langsung hutan alam menjadi kebun sawit, tetapi memanfaatkan lahan terlantar (degraded land) atau hutan rusak eks HPH (logging).

* Dimuat di www.sawit.or.id pada tanggal 3 Mei 2018

(55)

Bahkan ahli-ahli Barat juga memahami hal yang demikian.

Namun mengapa banyak masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri tidak percaya atau memahaminya?

Salah satunya adalah karena kita belum satu "bahasa"

terkait industri sawit kita dalam kaitanya dengan tata kelola hutan. Kita masih beragam bahasa tentang sawit. Sebagian besar Kementerian/lembaga menyuarakan bahwa pengembangan sawit di Indonesia bukan deforestasi, namun sebagian Kementerian masih sering mengatakan bahwa kebun sawit merupakan penyebab hilangnya hutan kita bahkan berulang- ulang mengatakan bahwa sebagian kebun sawit berada di kawasan hutan. "Bahasa" kita sendiri saja tidak sama bahkan saling membantah, apalagi masyarakat internasional pastilah

"berbahasa" negatif terhadap sawit kita.

Ketidaksamaan "bahasa" kita tentang sawit ini, pada kenyataanya juga dimanfaatkan pesaing sawit beserta jejaring LSM untuk menyudutkan sawit. Ketidaksamaan "bahasa"

tentang sawit kita, perlu kita akhiri karena merugikan kita sendiri sebagai satu bangsa. Saatnya, kita khususnya Kementerian/lembaga terkait sawit dan hutan satukan

"bahasa".

Bahwa Sawit (juga sektor ekonomi lain) berkembang secara harmonis dengan satwa-satwa (biodiversity) pada "rumah"

masing-masing pada bumi Indonesia. Kebun sawit dan sektor ekonomi lainnya berkembang di kawasan budidaya (sesuai UU), sedangkan biodiversity berada pada "rumahnya" yakni hutan lindung dan hutan konservasi. Kawasan budidaya (termasuk kebun sawit) dikembangkan untuk kegiatan ekonomi masyarakat, agar tidak menggempur "rumahnya" biodiversity.

Kita mengembangkan kebun sawit sebagai sektor ekonomi, merupakan bagian dari cara kita melestarikan "rumahnya"

satwa-satwa liar. Jika sektor ekonomi tidak berkembang, masyarakat akan menggempur hutan lindung dan konservasi.

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan kapas di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat dilakukan di lahan tadah hujan dengan musim hujan yang

Home What's New About Rainforests Mission Introduction Characteristics Biodiversity The Canopy Forest Floor Forest Waters Indigenous People

yang mana rataan total biaya produksi tertinggi pada perlakuan P0 (Penggunaan ransum kontrol dengan tepung limbah ikan gabus pasir sebanyak 0% dan tepung ikan komersil

Kamu tidak akan jenuh mengamati Mars karena keindahannya, Dari seluruh planet, hanya Mars yang dapat teramati perubahan cuacanya.. Astronom amatir dapat melihat es

Presiden dalam paket kebijakan reformasi hukum juga telah mengisyaratkan bahwa permasalahan over-kapasitas di lembaga pemasyarakatan ini menjadi salah satu fokus

Berdasarkan pada Tabel 2 dapat dilihat peningkatan penggunaan bahan bakar oleh BRT hingga tahun 2030. Peningkatan penggunaan bahan bakar BRT terjadi sampai tahun

WorldCom mengajukan kebangkrutan tak lama sebelum 9 malam terakhir di Pengadilan Distrik Federal di Manhattan. Operasi internasional , yang meliputi perusahaan di Brasil dan Meksiko

Subang Siti Rohmah Hasanah Mtss Tanjungsiang 238 - Sejarah Kebudayaan Islam TAHAP XVII.. Sutrisno MtsN 238 - Sejarah Kebudayaan Islam