• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjumpaan dengan Tuhan Puncak Pengalama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perjumpaan dengan Tuhan Puncak Pengalama"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Perjumpaan dengan Tuhan

(Puncak Pengalaman Mistik al Bistami, al Hallaj dan Ibn Arabi)

Sufisme sebagai bentuk mistisisme dalam Islam mempunyai definisi yang beraneka ragam. Sebelumnya perlu kita lacak lebih dahulu makna kata mistisisme itu sendiri. Mistisisme berasal dari akar kata myein yang dalam bahasa Yunani mempunyai makna harfiah “menutup mata”. Secara ringkas mistisisme dapat kita beri makna dengan kecintaan pada Yang Absolut, suatu kecintaan yang mampu membawa hati sang mistikus kehadirat Tuhan sekaligus mampu mengambil jarak dengan segala sesuatu yang tercipta dalam rangkaian ruang dan waktu1.

Pengalaman mistik itu sendiri menurut Schimmel (1975) dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu yang berupa mistisisme ketakterhinggaan (mysticism of Infinity) dan mistisisme kepribadian (mysticism of Personality). Pada pengalaman pertama dapat dijumpai pada model ajaran Plotinus atau Upanishad dan dalam Islam dapat kita temui pada ajaran Ibn Arabi. Pengalaman ini kerap digambarkan sebagai lautan tak bertepi dimana manusia diibaratkan sebagai tetesan air yang tenggelam didalamnya. Kerap juga digunakan perumpamaan bagai gurun luas dimana manusia ibarat debu didalamnya. Bentuk pengalaman semacam ini kerap menuju pada suatu paham yang biasa mendapat sebutan pantheisme atau monisme yang kerap mendapat serangan akibat hancurnya pertanggung jawaban individu pada pemahaman seperti itu. Bentuk pengalaman kedua dapat dijumpai pada banyak sufi dimana hubungan antara manusia dengan Tuhan digambarkan sebagai hubungan antara ciptaan dengan Penciptanya, hubungan antara budak dengan Tuannya dan antara pecinta dengan yang dicintainya2.

Dalam puncak pengalaman mistiknya, para sufi kerap mengalami situasi yang mereka percaya pada saat itu mereka sedang berjumpa dengan Tuhan. Terkadang ungkapan-ungkapan yang tak lazim keluar pada saat puncak pengalaman tersebut. Suatu keadaan yang kerap disebut sebagai keadaan

shath. Meskipun terkadang mengundang banyak hujatan, para sufi dapat mencari pembenaran dengan

(2)

menyandarkan pada pengalaman Nabi dalam mengungkapkan hadits qudsi3 sebagai pengalaman serupa dengan shath tersebut4. Ekspresi ekstase (shath) tersebut merupakan salah satu kunci penting dalam memahami ajaran sufisme. Bagi mereka yang mendukung, shatiyat dianggap sebagai jalan memahami wahyu Tuhan sedangkan bagi mereka yang menolak menganggap hal itu sebagai parodi kitab suci yang mengumpat Tuhan5.

Tulisan ini mencoba menggambarkan bagaimana ekspresi ekstase dalam puncak pengalaman mistik dari tiga orang sufi yang diakui membawa pengaruh bagi pemikiran sufisme pada masa sesudahnya yaitu al Bistami, al Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun kedua kasus pertama dapat dimasukkan ke dalam definis shatiyat sedangkan pada kasus Ibn Arabi bukan merupakan suatu ekspresi ekstase namun lebih bersifat suatu pemikiran yang lebih terstruktur dengan lengkap dan merupakan suatu ajaran yang bersifat komprehensif sebagai hasil pemikiran seorang yang berakal jenius secara mendalam dan imajinatif6.

Abu Yazid al Bistami

Ajaran sufisme al Bistami dapat disederhanakan menjadi dua hal utama yaitu ajaran tentang fana dan konsep penyatuan yang kerap disebut dengan ittihad. Ajaran fana berangkat dari gagasan bahwa manusia mempunyai esensi yang sama dengan Tuhan karena itu dia dapat bersatu dengan Tuhan apabila mampu memupus rasa keberadaan pribadinya yang selanjutnya disebut dengan fana7. Konsep fana ini menurut al Bistami terbagi menjadi empat tingkatan meliputi pertama fana paling rendah yaitu yang didapat dari hasil mujahadah, tingkat berikutnya adalah fana terhadap nikmat surga dan siksa neraka, tingkat ketiga adalah fana terhadap pemberian Tuhan dan fana tertinggi adalah tingkat fana terhadap fana itu sendiri (fana an al fana)8.

3 Kata-kata suci Allah SWT yang berbicara melalui lisan Nabi Muhammad saw yang berbeda dengan wahyu lainnya yaitu al Qur'an dimana hadits-hadits ini banyak menjadi sandaran dalam ajaran kaum sufi. Amatullah Armstrong. Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf (terj: M Nasrullah dan Ahmad Baiquni). Mizan. Bandung. 2001 hlm 84 4 Carl W Ernst. Ekspresi Ekstase dalam Sufisme (terj: Heppi Sih Rudatin dan Rini Kusumawati). Putra Langit. Yogyakarta. 2003 hlm 29

5 Ibid hlm 16

6 Kautsar Azhari Noer. Ibn al Arabi: Wahdat al Wujud dalam Perdebatan. Paramadina. Jakarta. 1995 hlm 3 7 A Rivay Siregar. Tasawuf: Dari SufismeKlasik ke Neo-Sufisme. Rajawali Pers. Jakarta. 1999 hlm 146

(3)

Apabila seorang sudah mampu mencapai kondisi fana maka dia dapat menyatu dengan Tuhannya dimana dalam proses ini dapat ditemukan jati diri seseorang yang berasal dari Tuhan yang kemudian proses penyatuan ini disebut sebagai ittihad. Ittihad sendiri dapat dimaknai sebagai penyatuan dua hal yang apabila dipahami dalam pengertian “kesatuan” maka hal ini berarti segala sesuatu sesungguhnya tiada dan eksistensi hanyalah kepunyaan Tuhan semata9.

Puncak pengalaman mistik al Bistami dapat digambarkan pada masa dia mengalami mimpi sedang melakukan mi'raj ke surga ketujuh. Dalam kalimatnya10 dia menyatakan tiba di surga terendah dengan pengalaman sebagai berikut:

Aku melihat diriku sendiri dalam mimpi dimana dia nampak naik ke surga. Ketika aku tiba di surga terendah aku berada dalam genggaman burung yang berwarna hijau. Burung itu mengembangkan salah satu sayapnya dan membawaku pergi hingga tiba pada sekawanan malaikat yang berdiri dengan kaki mereka berhiasi berkilau dikelilingi oleh bintang-bintang dan memuja Allah SWT pagi dan petang. Aku beri salam pada mereka dan mereka menjawabnya. Burung itu menurunkanku dan kemudian beranjak pergi. Aku tetap berada diantara mereka yang terus mengucap syukur dan memuji keagungan Allah SWT sambil kemudian mereka berkata: Ini adalah Adamite (terbuat dari tanah) bukan Luminary (tubuh yang terbuat dari cahaya) yang datang kepada kita dan bercakap-cakap dengan kita. Terinspirasi dengan perkataan itu aku berkata: dengan nama Allah SWT yang kuasa melepaskan diriku dari segala keinginan atasmu! Kemudian dia menunjukkan kuasanya yang akan mengelukan lidah untuk menggambarkannya. Aku tahu bahwa dia sedang mengujiku dengan hal itu maka akupun berkata: Tujuanku berbeda dengan apa yang kau tunjukkan padaku. Aku tidak tergoda olehnya untuk menggantikan kesucian-Nya.

Kemudian al Bistami melanjutkan perjalanannya ke surga tingkat kedua dengan bercerita sebagai berikut:

Kemudian kulihat diriku naik ke surga kedua. Serombongan malaikat mendatangiku dan menyambutku seperti rakyat yang menyambut seorang pangeran yang memasuki gerbang kota. Kemudian pimpinan malaikat yang bernama Lawidh mendatangiku dan berkata: O Abu Yazid, Tuanmu Mengucapkan salam padamu dan Berkata: Kau telah mencinta-Ku dan Aku telah mencinta-Mu. Kemudian Lawidh membawaku ke taman yang hijau. Padanya terdapat sungai yang mengalir dengan dikelilingi malaikat yang beterbangan. Setiap hari mereka terbang ke bumi seribu kali untuk menemui kekasih Allah SWT, menghadap cahaya terang seperti matahari dimana mereka telah mengenal diriku berdasarkan ma'rifa

di bumi. Mereka kemudian mendekatiku, menyalamiku dan mengajak diriku ke tepian sungai tersebut. Di muara sungai

Oktober 2001. Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang 9 Amatullah Armstrong. Op cit hlm 126

(4)

tampak pohon cahaya yang cabangnya menggantung di udara. Pada masing-masing cabangnya itu terdapat sarang dari burung yang merupakan salah satu dari malaikat. Dan pada tiap-tiap sarang terdapat malaikat yang bersujud dalam doa. Meskipun begitu aku tetap berkata: O kasihku, tujuanku adalah berbeda dengan apa yang kau tunjukkan padaku11.

Begitulah al Bistami terus menerus berkata demikian dari satu tingkat surga ke tingkat berikutnya sampai akhirnya dia tiba di tingkatan paling tinggi, surga ketujuh:

Kemudian kulihat diriku sendiri telah naik ke surga ketujuh. Disana ada seratus ribu legiun malaikat dimana masing-masing legiunnya sepertinya lebih berat jutaan kalinya dibandingkan sebelumnya. Dengan tiap malaikat adalah pohon cahaya dan dibawah pohon tersebut ada sejuta malaikat dimana tinggi masing-masing malaikat sejauh perjalanan lima ratus tahun. Di depan terdapat malaikat yang bernama Barya'il. Mereka memberiku salam dalam bahasa mereka dan aku menjawabnya juga dalam bahasa mereka. Mereka tampak terpana mendengarnya. Lalu tampaklah salah satu yang menangis sambil berkata: O Abu Yazid, berhenti, berhentilah, kau telah tiba pada ujungnya! Aku tak memperhatikan ucapannya. Dia meneruskan menunjukkan padaku kekuasaan yang tak bisa diungkapkan dengan lidah. Meskipun begitu aku mengerti bahwa itu hanyalah suatu ujian bagiku. Aku tetap berkata: O Kekasihku! Tujuanku berbeda dengan apa yang kau tunjukkan padaku sekarang. Ketika Allah SWT mengetahui keikhlasanku dalam pencarianku pada-Nya maka Dia mengubahku menjadi seekor burung dimana masing-masing bulu sayapnya lebih jauh dari jarak timur dan barat jutaan kalinya. Aku terus terbang melalui alam malakut dan mengitari jabarut. Kulintasi kerajaan demi kerajaan, hijab demi hijab, wilayah demi wilayah, laut demi laut, tirai demi tirai hingga aku berdiri dihadapan malaikat kursi yang menerimaku.

Dia mempunyai segaris cahaya dan dia menyalamiku. Dia berkata: ambillah garis cahaya ini. Ketika aku mengambilnya maka surga dan apa yang berada di dalamnya berlindung di dalam ma'rifaku dan diliputi cahaya kehangatanku. Semua malaikat menjadi ngengat bersebelahan dengan kesempurnaan aspirasiku dalam pencarianku akan diri-Nya. Meskipun begitu aku mengerti bahwa itu hanyalah suatu ujian bagiku. Aku tak menghiraukan hal itu untuk menggantikan kesucian Tuhanku, Allah Yang Maha Tinggi.

Disana dapat kita lihat ketegaran hati al Bistami dalam menggapai tujuannya yang sejati walaupun apa yang ditawarkan adalah suatu hal yang luar biasa hebatnya namun tetap tak mampu menggoyahkan niatnya. Kemudian dia melanjutkan berkata:

Aku melanjutkan terbang dan melintasi kerajaan demi kerajaan, hijab demi hijab, wilayah demi wilayah, laut demi laut, tirai demi tirai hingga aku tiba di kursi. Aku diterima oleh malaikat yang mempunyai mata sebanyak bintang di langit. Dari masing-masing matanya memancar cahaya yang akan menyilaukan mereka yang melihatnya. Cahaya itu berubah menjadi lampu. Dari interiornya aku mendengar nyanyian pujian akan ke-Esaan Tuhan.

Aku terus terbang seperti itu hingga aku menjumpai lautan cahaya dimana berada arsh dari Sang Maha Pengasih. Aku terus memuji nama-Nya hingga aku melihat disana- dari kursi hingga bumi, karubiyyin, malaikat, dan pembawa

(5)

kursidan semua ciptaan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar di surga dan bumi- nampak lebih kecil dari biji yang ditanam diantara langit dan bumi dari sudut pandang terbangku dalam rahasia hatiku dalam pencarian akan diri-Nya. Lalu Dia melanjutkan menunjukkan padaku ketelitian kebaikan-Nya dan kepenuhan kekuatan-Nya dan kehebatan kekuasaan-Nya yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Meskipun begitu aku terus berkata: O kekasihku! Tujuanku berbeda dengan apa yang Kau perlihatkan padaku dan aku tak berpaling pada hal itu sebagai ganti kesucian-Nya. Dan ketika Allah SWT mengetahui tulusnya diriku dalam pencarian akan diri-Nya maka Dia memanggilku: “Padaku, padaku!” dan berkata: O pilihan-Ku (safi) datang mendekatlah pada-Ku dan lihatlah kesederhaan dari keluarbiasaan-Ku dan kekuasaan dari terang-Ku. Duduklah diatas permadani kesucian-Ku hingga kau saksikan ketelitian karya-Ku dalam Kesendirian-terang-Ku. Kau adalah yang terpilih, kekasih-Ku, yang Kucinta, dan yang terbaik dari semua mahluk ciptaan-Ku.

Ketika mendengar hal itu diriku meleleh. Kemudian Dia memberiku minum dari mata air keramahan (lutf) dengan gelas keiintiman. Kemudian Dia membawaku pada keadaan yang tak dapat kugambarkan. Dia mendekatkan diriku lebih dekat daripada ruh terhadap tubuh.

Kemudian ruh para nabi menerimaku dan menyalaiku, memuliakan keadaanku. Mereka bercakap-cakap denganku.l kemudian ruh Muhammad saw, menerimaku dan menyalamiku dan berkata: O Abu Yazid, Selamat Datang! Selamat Datang! Allah SWT telah memilihmu diantara sekian mahluk. Ketika kau kembali ke bumi, sampaikan pada umatku salamku dan beri nasihat pada mereka semampumu ajak mereka kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung. Aku tetap di jalan ini hingga aku menyerupainya sebelum penciptaan hingga tak tersisa kecuali kesejatian (baqiya) tanpa keberadaan atau hubungan atau tempat atau posisi atau kualitas. Semoga kejayaan-Nya tetap diagungkan dan nama-Nya tetap transeden!

Perjalanan al Bistami tersebut menggambarkan proses perjalanan mistik menuju proses ittihad atau penyatuan dengan Tuhannya. Adapun ungkapan yang keluar pada saat terjadinya ittihad itu lebih jelas pada ungkapan berikut:

Subhani- Pujilah Aku, Betapa hebatnya Keagungan-Ku12

Hal serupa dapat juga kita temui dalam perkataannya yang lain:

Pada suatu ketika Tuhan mengahadapkanku pada-Nya dan berkata: O Abu Yazid, mahlukku ingin memandang dirimu. Lalu aku berkata Hiasilah diriku dengan keesaan-Mu sehingga ketika mereka memandangku mereka akan berkata aku telah melihat-Mu dan Engkaulah yang mereka lihat sedangkan aku tidak berada ada disana13.

Al Husayn ibn Mansur al Hallaj

Al Hallaj adalah salah satu sufi paling kontroversial yang paling sering disebut dalam puisi-puisi mistik14. Ajaran al Hallaj lebih populer disebut dengan hulul yang mempunyai pengertian inkarnasi dalam makna masuknya sesuatu kepada sesuatu yang lainnya dalam hal ini yang dimaksud

12 Annemarie Schimmel. Op cit hlm 49 13 ibid

(6)

adalah “penitisan” Tuhan dalam diri manusia15.

Menurut al Hallaj manusia mempunyai dua sifat dasar yaitu sifat kemanusiaan (nasut) dan sifat ke-Tuhan-an (lahut). Begitu juga Tuhan memiliki dua sifat yaitu sifat Ilahiyat (lahut) dan sifat insaniyah (nasut). Apabila seorang telah mencapai fana maka Tuhan akan “menitis” dalam dirinya dan terjadi kesatuan antara keduanya yang kemudian disebut hulul16.

Gambaran lebih jelas dapat kita temuidalam syairnya di bawah ini:

Aku telah menemukan Engkau di dalam diriku- namun lidahku masih tetap memanggil-Mu. Menyatu dalam satu cara,-berarti kita terpisah dengan cara yang lain.

Karena, kala Keagungan-Mu menutupi Engkau-dari pandanganku, Ekstase telah membawa Dirimu- ke kedalaman hatiku17.

Al Hallaj juga mempunyai ajaran yang khas mengenai beberapa masalah diantaranya adalah tentang tauhid, iman, shalat, mahabbah dan hajj. Tentang tauhid dia berpendapat tentang pentingnya konsentrasi penuh atau pemikiran terus-menerus terhadap Tuhan semata sampai pada titik hanya mengingat Tuhan dan tidak memikirkan apapun dari diri. Pemikiran lain apapun selain terhadap Tuhan merupakan selubung dan dapat dianggap sebagai ketidaksempurnaan yang nantinya akan menyelubungi diri seseorang itu, bukan oleh Tuhan yang menyelubunginya18.

Tentang iman dia berpendapat bahwa sifat ilahi yang paling terkait dengan sifat Esa adalah al Haqq. Kesatuan dengan Tuhan bukan semata pemikiran atau ekstase namun merupakan suatu tindakan permanen yang bersifat mengubah dan menyucikan diri yang hanya mampu menemukan bentuknya dalam pengalaman nyata19. Mengenai shalat, al Hallaj dilaporkan melakukannya 400 kali rakaat dalam sehari semalam yang merupakan suatu bentuk pembinasaan diri untuk mencapai fana. Tentang

mahabbah (rasa cinta) dia berpendapat bahwa hal itu adalah perwujudan Tuhan yang akan diberikan pada mereka yang merindukannya yang sering kali diiringi dengan kesedihan yang dalam20. Mengenai

15 Amatullah Armstrong. Op cit hlm 101-102 16 A Rivay Siregar. Op cit hlm 156

17 Catatan Ibn al Jundi sebagaimana dikutip dalam Louis Massignon. Al Hallaj: Sang Sufi Syahid. (terj: Dewi Candraningrum). Fajar Pustaka Baru. Yogyakarta. 2002 hlm 162

18 Herbert Mason. “Hallaj dan Mazhab Sufisme Baghdad” dalam Leonard Lewisohn (ed). Sufisme Persia Klasik: Dari Permulaan Hingga Rumi (700-1300). (terj: Gafna Raizka Wahyudi). Pustaka Sufi. Yogyakarta. 2002 hlm 110-111) 19 ibid

(7)

hajj (ibadah haji) dia menganggap bahwa haji dapat dilakukan di rumah masing-masing dalam bentuk shalat yang khusyu21.

Salah satu ungkapan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari legenda al Hallaj adalah ungkapannya “ana al Haqq (Aku adalah Kebenaran)” yang mempunyai banyak penafsiran di kalangan para pengikutnya maupun para penentangnya bahkan hingga masa sekarang. Beberapa riwayat mengisahkan bahwa dia mengatakannya di hadapan Junayd sedangkan riwayat lain mengatakan hal itu dihadapan publik ketika khotbah di katedral masjid di Madinat al Mansur22 namun dengan redaksi

hampir serupa dimana dalam riwayat pertama lawan bicara dinyatakan sebagai Juanyd sedangkan pada versi kedua dinyatakan sebagai Syibli. Legenda malah mengatakan bahwa dia terus menerus mengulangi kata ini dalam tiap khotbahnya23. Disini akan dikutipkan dalam versi pertemuan dengan Junayd:

Pada suatu hari al Hallaj bertemu dengan Junayd dan berkata kepadanya:”Aku adalah Kebenaran” Junayd menjawabnya, “Tidak, engkau hanyalah alat Kebenaran! Tiang gantungan akan ternoda oleh darahmu!”

Sebagai penutup uraian tentang al Hallaj akan dikutipkan dari drama karya Herbert Mason berjudul the Death of al Hallaj pada bagian akhir dimana al Hallaj sedang berdialog dengan Syugab24:

Engkau mengerti Tuhan kita adalah sebuah api yang melalap Kembang mawar terbuka untuk cahaya

Kelopak bunga mencari bayangan

Kita adalah campuran rumit daripada yang kita bayangkan Tetapi pada satu titik cahaya-Nya

Menembus mata kita, menghancurkan bayang-bayang Dan kerusakan kita, yang membiarkan kita merenangi Titik-titik hampa yang kita lupakan ketika penglihatan kita Menjadi jelaga di dalam penglihatan-Nya

Jika kita adalah kembang mawar kita tertarik kepada cahaya Kita tidak memikirkan akhir itu

Tidak ada yang lain

21 ibid

22 Louis Massignon. Op cit hlm 118-120 23 ibid

(8)

Kemudian al Hallaj menutup dengan sebuah syair:

Aku menangis kepada-Mu bukan hanya untuk diriku sendiri Tetapi bagi jiwa-jiwa yang merindukan-Mu

Yang saksinya, aku sendiri, sekarang pergi kepada-Mu Saksi keabadian

Ibn Arabi

Berbeda dengan dua nama sebelumnya, ibn Arabi bukanlah seorang sufi yang dimabuk cinta kepada Yang Absolut dan mengalami ekstase sehingga mengucapkan ungkapan-ungkapan yang tak lazim. Dia merumuskan suatu pemikiran yang merupakan suatu gagasan yang terstruktur dengan jelas dan bersifat komprehensif. Sebuah sistem filsafat yang merupakan inti ajarannya yang kelak lebih dikenal dengan sebutan wahdat al wujud. Suatu istilah yang tidak digunakan oleh Ibn Arabi sendiri namun pertama kali digunakan oleh al Qunawi dan selanjutnya dipopulerkan oleh Ibn Taymiyyah sebagai sebutan bagi paham ini25.

Istilah wahdat al wujud secara sederhana dapat diberi makna suatu kesatuan eksistensi, kesatuan wujud, kesatuan penemuan di akhir perjalanan hanyalah Allah SWT yang ditemukan26. Syekh

al Akbar ini menjabarkan kalimat Tidak ada tuhan selain Tuhan dengan doktrinnya menjadi Tidak ada wujud selain Tuhan27. Baginya satu-satunya yang wujud hanyalah Tuhan, segala sesuatu yang ada di

alam semesta ini hanyalah suatu ilusi atau bersifat maya (nonexistent) dalam dirinya namun maujud (existent) melalui wujud al Haqq28. Dia mengambil perumpamaan dengan menggunakan cahaya sebagai ilustrasi wujud al Haqq sedangkan yang lainnya hanyalah berupa warna seperti merah atau hijau yang pada hakikatnya tidak ada namun dapat menemukan keberadaannya karena adanya cahaya29. Keragaman jumlah warna tidak harus menghapuskan ketunggalan cahaya yang mengakibatkannya.

25 Kautsar Azhari Noer. Op cit hlm 34-41 26 Amatullah Armstrong. Op cit hlm 311

27 William C Chtitick. Dunia Imajinasi Ibnu Arabi: Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama (terj: Achmad Syahid). Risalah Gusti. Surabaya. 2001 hlm 28

(9)

Sama halnya dengan kita mengatakan tentang sebuah gelas yang menjadi terwarnai oleh warna-warna ketika ada cahaya yang menembusnya. Sinar cahaya menebarkan cahaya berbeda-beda yang ditimbulkan oleh sifat-sifat warna pada gelas. Namun kita tahu betul bahwa cahaya itu sendiri tidak terwarnai oleh warna apapun, sekalipun menurut persepsi, kita menyaksikan warna-warni cahaya dengan warna yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dengan sendirinya cahaya tersebut terlalu suci untuk menerima warna-warni dalam esensinya sendiri30.

Ibn Arabi memahami ayat Tuhan mengajari Adam semua nama-nama (QS 2:30) dengan pengertian menciptakan manusia Tuhan menciptakan manusia sebagai penjelmaan nama-nama Tuhan31. Manusia adalah suatu penyingkapan dari nama-nama Tuhan secara individual dimana masing-masing darinya merefleksikan atribut Tuhan. Namun hal itu bukanlah suatu yang statis tapi lebih bersifat dinamis. Selama hidupnya manusia akan memanifestasikan dirinya dengan nama-nama Tuhan dalam berbagai variasi, intensitas, kombinasi dan saling keterkaitan satu sama lain32.

Berbeda dengan manusia, alam semesta non manusia diciptakan Tuhan menurut kombinasi dimana beberapa atribut akan tampak lebih domin dibandingkan yang lain. Hanya manusia yang mampu menjadikan keseimbangan antar berbagai atribu secara sempurna33. Selain manusia masing-masing memiliki tingkatan tertentu karena dominannya beberapa atribut atas yang lainnya yang akan membentuk identitasnya yang cenderung stabil. Hanya manusia yang berada dalam kondisi batin yang berubah-ubah sesuai dengan kombinasi atribut-atribut tersebut walaupun jika dilihat dari bentuk luar atau fisik manusia tidak berbeda dalam hal kestabilan bentuk dengan non manusia seperti hewan atau tumbuhan. Karena ketidakstabilan dalam batin itulah manusia dapat menjangkau kedudukan apa saja atau dapat juga mencapai manifestasi nama-nama Tuhan yang sempurna34.

Penciptaan itu sendiri mempunyai tujuan yang berangkat dari pemahaman akan hadits qudsi “Aku adalah perbendaharaan Yang Tersembunyi, Aku rindu untuk dikenal. Itulah sebab mengapa Aku ciptakan mahluk, agar Aku dikenal oleh mereka”35. Dari situ kemudian muncul pemahaman bahwa penciptaan itu sendiri adalah suatu bentuk teofani (tajjali) dari Tuhan yakni suatu perlihan dari yang

30 Ibid hlm 33 31 Ibid hlm 56 32 Ibid hlm 57 33 Ibid

34 Ibid hlm 58

(10)

semula berupa potensi atau kegaiban menjadi keadaan yang terungkapkan, manifes. Penciptaan dimaknai sebagai aksi Ilahi yang merupakan proses terus menerus yang terus diperbaharui dari saat ke saat36. Istilah “diciptakan” dalam pemahaman Ibn Arabi bukanlah satu yang dimunculkan dari ketiadaan (creatio ex nihilo) namun merupakan suatu manifestasi dari wujud tunggal yaitu Tuhan37.

Ajaran lain yang menjadi ciri khas Ibn Arabi adalah pemikirannya tentang manusia sempurna (al insan al kamil). Alam semesta yang beraneka ragam ini adalah cermin bagi Tuhan Yang Tunggal. Ibarat seorang yang bercermin dalam banyak cermin tentu akan menghasilkan beraneka ragam gambar sesuai banyaknya cermin. Kualitas gambar atau bayangan yang dihasilkan juga tergantung pada kejernihan cermin, semakin jernih suatu cermin maka gambar yang dihasilkan akan semaikin sempurna. Begitu juga ciptaan-Nya yang merupakan tajjali akan menampakkan tingkatan yang berbeda dalam menampilkan bayangan Tuhan atau menjadi tempat berada nama-nama Tuhan. Diantara semuanya itu manusia sempurnalah yang akan menampakkan gambar Tuhan yang paling sempurna karena dia menjadi pantulan bagi semua nama-nama Tuhan sedangkan mahluk lain hanya menjadi pantulan sebagian dari nama-nama-Nya38.

Ibn Arabi membedakan manusia sempurna menjadi dua yaitu manusia sempurna dalam arti universal dan manusia sempurna dalam arti individual. Yang pertama adalah hakikat dari manusia sempurna atau model asli bagi manusia sempurna individual. Yang kedua adalah perwujudan manusia sempurna yaitu para nabi dan para wali39. Selain itu, Ibn Arabi tidak menyetujui konsep manusia sebagai binatang yang berfikir karena kemampuna itu bukanlah suatu sifat yang mampu membedakan manusia dengan mahluk lainnya. Baginya perbedaan manusia dengan mahluk lain ada pada kemampuannya untuk mewujudkan “bentuk Ilahi”.

Manusia yang tidak mampu mencapai kesempurnaan dalam pandangan Ibn Arabi sangat rendah karena dia menyebut orang seperti ini bukan manusia karena belum mencapai derajat kemanusiaan

36 Ibid hlm 241 37 Ibid hlm 240

(11)

tetapi hanya sekedar binatang yang mempunyai akal40. Jalan untuk menjadi manusia sempurna itu sendiri disebutkan dengan berakhlak dengan ahlak Tuhan (takhalluq bi akhlaq Allah). Hal ini berari bahwa seseorang harus mengusir sifat-sifat kita sendiri dan menggantikannya dengan penegasan terhadap sifat-sifat Tuhan. Hal itu juga berarati bahwa kita harus menyingkirkan wujud kita sendiri karena pada hakikatnya kita tidak mempunyai wujud dan menegaskan wujud Tuhan karena satu-satunya wujud adalah Dia41. Manusia harus merendahkan dirinya dalam ubudiyyah (penghambaan) dan tidak meninggikan dirinya dalam rububiyyah (penuhanan)42.

Konsep manusia sempurna Ibnu Arabi adalah suatu paradoks yang merupakan salah satu ciri pemikiran Ibn Arabi. Manusia sempurna adalah manusia yang mempunyai derajat tinggi karena dia memantulkan semua nama-anam Tuhan secara sempurna dan seimbang. Disisi lain dia adalah rendah karena dia harus tunduk dan patuh kepada Tuhan dalam penghambaannya. Semakin merendah dia dihadapan Tuhan maka akan semakin tinggilah derajatnya karena dia akan semakin mampu menyerap nama-nama Tuhan sehingga akan makin sempurnalah kemanusiaannya43.

Penutup

Secara ringkas ketiga gagasan perjumpaan atau penyatuan dengan Tuhan dalam pemikiran ketiga sufi tersebut memiliki beberapa kesamaan namun juga menunjukkan perbedaan. Persamaan utama adalah mereka mengklaim telah mampu meraih perjumpaan puncak atau menyatu dengan Tuhan nya dengan jalan yang mereka tempuh. Perbedaan utama adalah pada landasan berpikir dan jalan yang dipilih. Al Bistami melakukannya dengan mi'raj atau naiknya hamba kepada Tuhan sedangkan al Hallaj menyatakan bahwa Tuhan yang menitis kepada dirinya atau Tuhan yang turun kepada dirinya. Sedangkan pada Ibn Arabi menyatakan bahwa penyatuan itu adalah mutlak karena hanya Dia satu-satunya yang wujud, manusia dan alam semesta ini hanyalah bayangan dari-Nya. Manusia sempurna adalah bayangan paling sempurna dari Dia. Perbedaan lainnya adalah dua sufi pertama menyatakan

(12)

pemikirannya dalam keadaan ekstase sedangkan Ibn Arabi menyusunnya pada keadaan sadar dalam suatu hasil pemikiran yang sistematis dan menyeluruh.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Armstrong, Amatullah. Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf (terj: M Nasrullah dan Ahmad Baiquni). Mizan. Bandung. 2001

Chtitick, William C. Dunia Imajinasi Ibnu Arabi: Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama (terj: Achmad Syahid). Risalah Gusti. Surabaya. 2001

Corbin, Henry. Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn Arabi (terj: Moh. Khozim dan Suhadi). LkiS. Yoyakarta. 2002

Ernst, Carl W. Ekspresi Ekstase dalam Sufisme (terj: Heppi Sih Rudatin dan Rini Kusumawati). Putra Langit. Yogyakarta. 2003

Mason, Herbert. “Hallaj dan Mazhab Sufisme Baghdad” dalam Leonard Lewisohn (ed). Sufisme Persia Klasik: Dari Permulaan Hingga Rumi (700-1300). (terj: Gafna Raizka Wahyudi). Pustaka Sufi. Yogyakarta. 2002

Massignon, Louis. Al Hallaj: Sang Sufi Syahid. (terj: Dewi Candraningrum). Fajar Pustaka Baru. Yogyakarta. 2002

Muhammad, Hasyim. “Abu Yazid al Bistami: Pemikiran dan Implementasinya” dalam Teologia Volume 12 nomor 3, Oktober 2001. Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang

Noer, Kautsar Azhari. Ibn al Arabi: Wahdat al Wujud dalam Perdebatan. Paramadina. Jakarta. 1995 Shells, Michael A. Early Islamic Misticism: Sufi, Qur'an, Mi'raj, Poetic and Theological Writings.

Paulist Press. New Jersey. 1996

Siregar, A Rivay. Tasawuf: Dari SufismeKlasik ke Neo-Sufisme. Rajawali Pers. Jakarta. 1999

Referensi

Dokumen terkait

b.Pelaksana pekerjaan memiliki workshop dengan peraiatan yang cukup untuk fabrikasi coal nozzle burner.. c.Pelaksana pekeijaan memiliki certificate welder 6G yang

4.6 Tertakluk pada peraturan 4.7 dan 4.8, dalam menentukan had yang ditetapkan dalam peraturan 4.5, Saham dikira teruntuk jika Saham tersebut baru diterbitkan oleh Kumpulan

Pengaruh waktu kontak pada adsorpsi Ni(II) menggunakan adsorben kitin terfosforilasi Hubungan antara waktu kontak dengan persen Ni(II) teradsorpsi dapat dilihat pada.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai minat baca dan ragam bahan bacaan yang digunakan oleh guru-guru mata pelajaran pendidikan agama Islam

Citra merek Coca Cola cenderung lebih dikenal sebagai produk yang hanya memiliki satu rasa minuman berkarbonasi yang khas, sementara konsumen di Indonesia lebih cenderung

hitam, putih di atas pelupuk mata, rahang  putih di atas pelupuk mata, rahang  bawah, leher, kaki, telinga dalam bawah, leher, kaki, telinga

hadapan meminta maaf kepada rakyat Malaysia memandangkan pendedahan setakat ini benar-benar menimbulkan kemarahan rakyat” (“Kenyataan 8.11.2011”). Kenyataan Akhbar

Menimbang, bahwa secara de facto hubungan Penggugat dengan Tergugat telah dilanda perselisihan dan pertengkaran oleh ulah Tergugat tersebut dalam gugatan, maka