• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP BUKTI PERMULAAN DALAM TINDAK PIDANA MEMASUKKAN KETERANGAN PALSU DALAM AKTA OTENTIK (STUDI KASUS PUTUSAN PRA-PERADILAN NO.10PID.PRAP2015PN.PAL) Muhammad Maryano Benny Diktus Yusman Kamal Abstrak - TINJAUAN YURIDIS TERHADAP BUKTI P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP BUKTI PERMULAAN DALAM TINDAK PIDANA MEMASUKKAN KETERANGAN PALSU DALAM AKTA OTENTIK (STUDI KASUS PUTUSAN PRA-PERADILAN NO.10PID.PRAP2015PN.PAL) Muhammad Maryano Benny Diktus Yusman Kamal Abstrak - TINJAUAN YURIDIS TERHADAP BUKTI P"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

735

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP BUKTI PERMULAAN DALAM TINDAK

PIDANA MEMASUKKAN KETERANGAN PALSU DALAM AKTA

OTENTIK (STUDI KASUS PUTUSAN PRA-PERADILAN

NO.10/PID.PRAP/2015/PN.PAL)

Muhammad Maryano Benny Diktus Yusman

Kamal

Abstrak

Bukti permulaan yang cukup merupakan konsep elementer dari dimulainya sebuah proses pidana di Indonesia. Pada undang – undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara umum, fungsi bukti permulaan yang cukup di dalam KUHAP ialah merupakan alat untuk mengendalikan diskresi kewenangan penegakan hukum yang berada pada penyidik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agar memenuhi kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa dan lex stricta dalam hukum pidana maka frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” harus ditafsirkan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya, tindak pidana dalam pasal 266 ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi syarat objektif dan subjektif, sebagaimana dalam putusan pra-peradilan Nomor 10/Pid.Prap/2015/PN.Pal tidak sesuai karena tidak mencantumkan siapa yang disuruh untuk memasukkan keterangan palsu tersebut dan untuk selesainya tindak pidana memasukkan keterangan palsu ke dalam akta autentik tersebut harus sudah nyata bahwa hal atau kejadian tersebut telah nyata – nyata dimuat dalam akta autentik, artinya akta itu telah diterbitkan.

Kata kunci: Akta otentik, bukti permulaan, keterangan palsu

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) undang – undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sejalan dengan ketentuan tersebut, segala aspek

kehidupan dalam bidang

kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum.

(2)

736 disingkat KUHAP) telah berumur 34

tahun, namun dalam proses penegakan hukum baik dalam proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan, masih sering terjadi penyimpangan – penyimpangan dari apa yang sudah ditentukan dalam KUHAP.

Secara ideal Hukum Acara itu memberikan kesetaraan antara tersangka, terdakwa dengan penyidik dan penuntut dan kemudian diberikan penilaian oleh hakim. Dalam proses hukum, selain adanya kesetaraan antara warga negara dan penegak hukum, maka kesetaraan lain yang harus ada, adalah kesetaraan perlakuan antara yang kaya dan yang miskin. Inilah yang dianut oleh Hukum Acara Pidana Indonesia, penyidikan adalah kegaiatan mengumpulkan bukti yang akan membuat terang perkara sehingga kemudian dapat menemukan tersangka.

Adapun Pasal 17 KUHAP menyebutkan, ‖Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana

berdasarkan bukti permulaan yang cukup‖1

.

Berdasarkan kedua pasal tersebut jelas terlihat perbedaannya bahwa untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka diperlukan bukti permulaan, yang mana merupakan tugas dari penyelidik untuk mencari bukti awal. Mencari, menemukan dan mengumpulkan bukti awal merupakan tugas dan kewenangan penyelidik yang prosesnya disebut penyelidikan yaitu tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga peristiwa pidana.

Adapun seperti yang terjadi dikota palu yaitu pada kasus pemalsuan akta otentik (dengan isi keterangan palsu) oleh tersangka Dewi angriyani dengan alasan-alasan permohonan dimuka sidang praperadilan adalah sebagai berikut :

Bahwa TERMOHON belum melakukan penyelidikan dan penyidikan secara cermat, maksimal dan mendalam tentang kronologis dan alat bukti yang disangkakan pada PEMOHON sehingga tindankan TERMOHON tersebut patut

1

(3)

737 menurut hokum dinyatakan sebagai

tindakan/langkah yang tidak profesional, tidak objektif, tidak didukung dengan minimal dua alat bukti yang sah, inprosedural dan patut dikategorikan sebagai tindakan atau penetapan yang tidak sah.

Bahwa penetapan PEMOHON

sebagi TERSANGKA oleh

TERMOHON adalah berdasarkan hasil penyidikan yang tidak sah telah melanggar pasal 1 ayat (3) dan pasal 28d (1) UUD 1945 karena mencerminkan tindakan sewenang-wenang sehingga bertentang dengan prinsip ‗Due Process of Law‘ serta melaggar hak atas kepastian hukum yang adil.2

Bertitik tolak dari permasalahan dan

pemikiran tersebut sehingga penulis merasa

tertarik untuk menulis skripsi dengan judul :

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

BUKTI PERMULAAN DALAM TINDAK

PIDANA MEMASUKKAN

KETERANGAN PALSU DALAM AKTA

OTENTIK.

B. Rumusan Masalah

2

Salinan putusan praperadilan

nomor:10/Pid.Prap/2015/PN.Pal, ―tentang duduk perkaranya‖. Hal. 9

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka rumusan masalah yang penulis dapat rumuskan dalam kajian mengenai hal ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kriteria bukti permulaan yang cukup?

2. Bagaimana yang dimaksud bukti materil dalam tindak pidana memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik?

II. PEMBAHASAN

A. Kriteria Bukti Permulaan Yang

Cukup.

(4)

738 tetapi ditujukan kepada mereka yang

betul – betul melakukan tindak pidana3. Disamping itu ada pendapat lain mengenai "bukti permulaan yang cukup" , yaitu :

Menurut Surat Keputusan Kapolri

SK No. Pol. SKEEP/04/I/1982 :

Kapolri dalam surat keputusannya No. Pol.SKEEP/04/I1982, tanggal 18 Februari menentukan bahwa, bukti permulaan yang cukup itu adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua di antara:

1. Laporan Polisi;

2. Berita Acara Pemeriksaan di TKP;

3. Laporan Hasil Penyelidikan; 4. Keterangan Saksi/saksi ahli;

dan

5. Barang Bukti.4

Yang telah disimpulkan menunjukan telah terjadi tindak pidana kejahatan.

Menurut Drs. P. A. F Lamintang, SH :

3

Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek, Djambatan Dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 2002, hlm 50

4

Ibid, hlm 51

Bukti permulaan yang cukup dalam rumusan pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai bukti – bukti minimal, berupa alat – alat \ bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa Penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikannya terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan.5

Satu-satunya Pasal yang menentukan batas minimum bukti adalah dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan, "hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar – benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

a. Syarat Materil

Seseorang yang dilaporkan atau

diadukan tidak dengan sendirinya terlapor

tersebut menjadi tersangka, karena untuk

dapat menetapkan seseorang/terlapor

5

(5)

739

menjadi tersangka menurut Pasal 1 Angka

14 KUHAP adalah seorang yang karena

perbuatannya atau keadaannya,

berdasarkan bukti permulaan patut diduga

sebagai pelaku tindak pidana. Selanjutnya

tidak semuanya tersangka dengan

sendirinya dapat dilakukan penangkapan

atau penahanan.6

Salah satu syarat materiil untuk dapat dilakukan penangkapan adalah hanya terhadap tersangka/terdakwa tindak pidana kejahatan, sebab dalam Pasal 19 Ayat (1) KUHAP ditentukan, penangkapan tidak dapat dilakukan terhadap palaku pelanggaran, misalnya pelanggaran lalulintas jalan raya. Sedangkan untuk Penahanan menurut Pasal 21 Ayat (4) KUHAP hanya dapat dilakukan terhadap tersangka/terdakwa tindak pidana yang ancamannya pidananya lebih dari 5 (lima) tahun atau kecuali ditentukan lain dalam Undang – Undang. 7

Bukti permulaan dapat diperbandingkan dengan alat bukti yang

6

R. Syahputa, Tata Cara dan Hambatan Perihal Penangkapan Yang Dilakukan Penyidik (Pada Suatu Perkara Pidana), Cita Pustaka, Medan, 2011, hlm. 16

7 Ibid

sah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP yaitu meliputi, Keterangan saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; (hanya dapat diperoleh dari Keterangan Saksi; Surat; Keterangan Terdakwa); Keterangan Terdakwa, namun dalam Pasal 185 s.d. Pasal 189 KUHAP ditentukan, keterangan saksi atau ahli diterangkan di persidangan dan dibawah sumpah, sedangkan alat bukti surat harus ditunjukkan dan dibuat atas sumpah jabatannya, Dengan demikian karena alat bukti yang diperoleh penyidik tidak di persidangan dan/atau tidak berdasarkan sumpah maka alat bukti itu adalah baru merupakan bukti permulaan. 8

Sedangkan pengertian cukup dalam perkataan bukti permulaan yang cukup dapat dikonotasikan dengan isi Pasal 183 KUHAP yang menentukan, untuk menjadi tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang, Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang – krangnya dua alat bukti yang sah. Dengan demikian penangkapan

(6)

740 dan/atau penahanan harus berdasarkan

sekurang – kurangnya dua bukti permulaan. 9

Permasalahan pokok yang kedua adalah apakah lembaga praperadilan berwenang menilai syarat materiil tersebut (sudah berdasarkan bukti permulaan yang cukup atau tidak) ? Dalam praktek baik penyidik polisi/jaksa selalu berpendapat bahwa hakim praperadilan hanya berwenang untuk menilai syarat formil yaitu apakah proses penahanan itu sudah sesuai dengan prosedur atau tidak, sedangkan penilaian terhadap apakah penahanan itu sudah berdasarkan bukti yang cukup atau tidak sudah merupakanmateri pokok perkara, sehingga praperadilkan tidak mempunyai kewenangan untuk menilai, yang mana alasan yang demikian itu justru sering dikabulkan atau diikuti hakim praperadilan. 10

Dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman dijelaskan, untuk menjamin supaya ketentuan dasar penahanan menurut hukum maupun dasar

9

Ibid, hlm 18 10

ibid

penahanan menurut kepentingan dalam Pasal 21 Ayat (1) KUHAP diindahkan telah dilakukan pengawasan baik yang dilaksanakan oleh atasan di instansi masing – masing (built in control), maupun pengawasan antar penegak hukum (checking), yaitu dengan meminta pemeriksaan dan putusan oleh hakim tentang sah atau tidaknya penangkapan/penahanan atau apa yang disebut pemeriksaan Praperadilan.11

Menurut Prof. Loebby Loqman, bahwa walaupun penahanan itu dapat dilihat dari syarat formil namun syarat formil itu ada karena terlebih dulu ada syarat materiil, sehingga praperadilan harus terlebih dulu menguji syarat materiil, yaitu ada atau tidak adanya bukti permulaan yang cukup dalam hal penangkapan/penahanan.12

Pada tanggal 21 Maret 1984, 4 (empat) institusi penegak hukum: Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) sebagai hasil Rapat Kerja Gabungan

11 ibid 12

(7)

741 I (―Rakergab Makehjapol‖) tentang

Peningkatan Koordinasi Dalam Penanganan Perkara Pidana. Salah satu topik bahasan dalam Rakergab Makehjapol tersebut adalah mengenai ―bukti permulaan yang cukup

sebagai persyaratan dalam penangkapan menurut pasal 17 KUHAP8. 13

Dalam rapat tersebut telah diinventaris 4 (empat) buah pendapat tentang bukti permulaan yang cukup, yaitu:

a. Laporan polisi saja;

b. Laporan polisi ditambah BAP saksi/BAP di TKP/Laporan Hasil Penyidikan/barang bukti;

c. Laporan Polisi ditambah BAP saksi dan BAP di TKP/Laporan hasil penyidikan/barang bukti; dan

d. Laporan polisi ditambah seluruh bukti lainnya.14

Terhadap keempat pendapat tersebut, Rakergab Makehjapol

13

Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia nomor: 08/KMA/1984, Nomor : M.02-KP.10.06 Th 1984, Nomor : KEP-076/J.A/3/1984, No. Pol : KEP/04/III/1984 Tentang Peningkatan

koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana, Bab III permasalahan

14

Sub-bagian 2, huruf a angka 2 Bab IV Langkah-Langkah kebijaksanaan

memutuskan bahwa: bukti permulaan yang cukup seyogyanya Laporan Polisi ditambah salah satu alat bukti lainnya.

Undang – undang KPK yang memberikan standar yang lebih ketat terhadap bukti permulaan yang cukup, sebagaimana termaktub dalam Pasal 44 ayat (2) UU KPK, sebagai berikut:

Bukti permulaan yang cukup

telah ada apabila ditemukannya sekurang-kurangnya 2 alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara biasa maupun elektronik atau optik.‖15

b. Syarat Formil

Jenis bukti permulaan yang cukup dapat dilihat pada ketentuan KUHAP yang mengatur mengenai kewenangan penyelidikan 16 dan/atau kewenangan penyidikan 17 . Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa bukti permulaan yang cukup dapat terdiri atas :

a. Keterangan (dalam proses penyelidikan);

15

Pasal 44 ayat (2) UU KPK 16

Pasal 5 KUHAP 17

(8)

742 b. Keterangan saksi (dalam proses

penyidikan);18

c. Keterangan ahli (dalam proses penyidikan)19, dan;

d. Barang bukti, bukan alat bukti 20 (dalam proses penyelidikan dan penyidikan)

KUHAP tidak mensyaratkan berapa banyak bukti yang harus dimiliki sehingga prasyarat bukti permulaan yang cukup telah terpenuhi, akan tetapi KUHAP mensyaratkan bahwa :

1) Dari bukti – bukti tersebut harus dapat diduga bahwa seseorang adalah pelaku tindak pidana (untuk melakukan penyidikan21, atau

18

Pasal 7 ayat (1) huruf g KUHAP, jangan disamakan dengan keterangan saksi sebagai yang dimaksud dalam pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi disidang pengadilan dan disumpah. Oleh karena itu kualitas keterangan saksi dalam pasal 7 ayat (1) huruf g KUHAP lebih rendah dari pada keterangan saksi dalam pasal 184 KUHAP

19

Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP, jangan disamakan dengan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP dimana keterangan ahli yang dimaksud dalam pasal 184 KUHAP ini adalah keterangan ahli disidang pengadilan dan disumpah. Oleh karena itu kualitas keterangan saksi dalam pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP lebih rendah daripada keterangan ahli dalam pasal 184 KUHAP 20

Lihat juga pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP 21

Penjelasan pasal 17 KUHAP jo. Pasal 1 butir 5 KUHAP. Lihat juga pasal 43a ayat (1) UU

2) Dari bukti – bukti tersebut harus dapat diduga bahwa seseorang adalah pelaku tindak pidana (untuk menetapkan tersangkan)22

c. Perkembangan Terkini Mengenai Bukti Permulaan Yang Cukup

Bahwa Pasal 1 angka 14 KUHAP menyatakan: ―Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana‖.

Bahwa Pasal 1 angka 17 KUHAP menyatakan: ―Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup‖.23

Bahwa frasa ―bukti permulaan‖ sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 angka 14 dan frasa ―bukti permulaan yang cukup ‖sebagaimana yang terdapat

pajak, pasal 44 ayat (1) jo ayat (4) UU KPK, pasal 26 ayat (4) UU tindak pidana terorisme 22

Pasal 1 angka 14 jo. Penjelasan pasal 17 KUHAP. Lihat pula yahya harahap, pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP penyidikan dan penuntutan, sinar grafika. 23

(9)

743 dalam Pasal 17 KUHAP tanpa disertai

dengan parameter yang jelas telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehubungan dengan syarat – syarat yang harus dipenuhi penyidik sebelum menyatakan seseorang sebagai tersangka atau sebelum menggunakan upaya paksa dalam menangkap seseorang. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan dapat menimbulkan kesewenang – wenangan yang secara nyata bertentangan dengan prinsip due process of law sebagaimana digariskan dalam Pasal 1 ayat (3) serta Pasal 28ayat (5) UUD 1945.24

Bahwa berbeda dengan KUHAP, Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 30/2002) telah mengatur secara jelas parameter dari istilah ―bukti permulaan yang cukup‖ sebagai syarat meningkatkan tahapan penyelidikan menjadi penyidikan dalam Pasal 44 ayat (2): ―Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua)

24 ibid

alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.‖25

Bahwa pengaturan secara jelas terhadap parameter frasa ―bukti permulaan yang cukup‖ dalam Pasal 44 ayat (2) UU No. 30/2002 yang mensyaratkan terdapatnya sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti dapat dijadikan sebagai acuan oleh Mahkamah dalam memberikan kepastian hukum terhadap frasa ―bukti permulaan‖ dan ―bukti permulaan yang cukup‖ dalam Pasal 1 angka 14 juncto Pasal 17 KUHAP. 26

B. Bukti Materiil Dalam Tindak

Pidana Memasukkan Keterangan

Palsu Dalam Akta Otentik

1. Putusan Pra-Peradilan Nomor : 10/Pid.Prap/2015/PN.Pal, ―Tentang Duduk Perkaranya‖

Adapun alasan – alasan PERMOHONAN adalah sebagai berikut :

25

ibid 26

(10)

744 Bahwa pada senin tanggal 11 maret

2015 PEMOHON dipanggil sebagai saksi oleh TERMOHON dengan surat panggilan No.Spg/169/III/2015 dengan dasar laporan polisi No.Pol : LP/1144/IX/2014sulteng/Resort pal, tanggal 25 september 2014 a.n. pelapor Hj. HALIMA DUMMA tentang tindak pidana ―Menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam akta autentik atau membuat surat palsu atau menggunakan surat palsu sebagaimana dimaksud dalam pasal 266 ayat (1) (2) KUHP Subsidair Pasal 263 ayat (2) KUHP dan saat itu dilakukan pemeriksaan pada PEMOHON.27

Bahwa pada hari kamis tanggal 11 juni 2015. PEMOHON dipanggil

sebagai TERSANGKA oleh

TERMOHON dengan surat panggilan No.Spg/382/VI/2015/reskrim yang ditanda tangani oleh Kapolres kota palu dalam perkara ―menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam akta autentik atau membuat surat palsu atau menggunakan surat palsu sebagaimana

27

Putusan Praperadilan Nomor :

10/Pid.Prap/2015/PN.Pal Tentang Alasan – Alasan Permohonan, hal. 2

dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) (2) KUHP subsidair Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55,56 KUHP dengan tambahan pasal yang berbeda ketika dipanggil sebagai saksi lalu yaitu dimasukkannya Pasal 55,56 KUHP yang terjadi pada tanggal 25 November 2015 di jl. Kartini (kantor pertanahan kota palu dan atas panggilan tersebut

PEMOHON tidak sempat

menghadirinya oleh karena adanya kesibukan di kantor PEMOHON.

(11)

745 sehingga pihak PEMOHON terpaksa

mengajukan gugatan Perdata yang teregister No.124/pdt.G/2014/PN.Palu dan dengan adanya gugatan perdata tersebut patut diduga pihak Hj. HALIMA DUMMA berupaya dengan sengaja mencari – cari celah kesalahan PEMOHON melalui laporan polisi kepada TERMOHON sesuai laporan polisi tersebut diatas.

Bahwa TERMOHON belum melakukan penyelidikan dan penyidikan secara cermat, maksimal dan mendalam tentang kronologis dan alat bukti yang disangkakan pada PEMOHON sehingga tindakan TERMOHON tersebut patut menurut hokum dinyatakan sebagai tindakan/langkah yang tidak professional, tidak objektif, tidak didukung dengan minimal 2 alat bukti yang sah, inprosedural dan patut dikategorikan sebagai tindakan atau penetapan yang TIDAK SAH.

Bahwa penetapan PEMOHON sebagi

TERSANGKA oleh TERMOHON adalah

berdasarkan hasil penyidikan yang tidak sah

telah melanggar pasal 1 ayat (3) dan pasal

28d (1) UUD 1945 karena mencerminkan

tindakan sewenang – wenang sehingga

bertentang dengan prinsip ‗Due Process of Law‘ serta melaggar hak atas kepastian hukum yang adil.

2. Bukti Materil Tindak Pidana Dalam Pasal 266 ayat (1) dan Ayat (2) KUHP :

Unsur – unsur tindak pidana ayat (1), terdiri dari :

Unsur – unsur objektif :

a. Perbuatan : menyuruh memasukkan kedalam akta autentik;

b. Objeknya : keterangan palsu mengenai suatu hal yang kebenarannya dinyatakan dengan akta itu;

c. Jika pemakaian akta autentik itu dapat menimbulkan kerugian;

Unsur subjektif :

d. Kesalahan : dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai seolah – olah keterangan itu sesuai dengan kebenaran.

Unsur – unsur Tindak Pidana ayat (2), terdiri dari :

Unsur – unsur objektif : a. perbuatan : memakai;

b. objeknya : akta autentik yang dimaksud dalam ayat (1);

(12)

746 Unsur subjektif :

d. kesalahan : dengan sengaja Perbuatan Menyuruh memasukkan

Perbuatan menyuruh memasukkan keterangan adalah perbuatan yang pada kenyataannya memberikan suatu keterangan (mengenai sesuatu hal) pada seseorang – pejabat pembuat akta autentik, yang keterangan itu untuk dimuat kedalam akta autentik yang dibuat oleh pejabat pembuat akta autentik tersebut. Dalam rumusan tindak pidana ayat (1) tidak dicantumkan siapa orang yang disuruh memasukkan keterangan palsu tersebut.28

Dari sudut pejabat – pembuatnya, ada dua jenis akta autentik, ialah :

 Pertama, akta autentik yang dibuat oleh pejabat umum (openbaar ambtenaar). Akta autentik yang dibuat oleh pejabat umum inilah yang dimaksud akta autentik dalam pasal 1869 KUH perdata, yang menyatakan bahwa akta autentik

28

Adami chazawi, Tindak Pidana Pemalsuan, Tindak Pidana yang Menyerang Kepentingan Hukum Terhadap kepercayaan Masyarakat Mengenai Kebenaran Isi Tulisan dan Berita yang Disampaikan, Pt. Radja Grafindo Persada, Depok, 2014, hlm. 168

adalah ―akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang – undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai – pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat mana akta itu dibuatnya‖ 29

. Contohnya akta – akta yang dibuat oleh seorang Notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat Akta Tanah (PPAT).

Tentang Notaris ini, diterangkan dalam pasal 1 peraturan pejabat Notaris (PJN, stb 1860 no. 3) yang merumuskan antara lain : ―Notaris adalah pejabat umum satu – satunya yang berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpannya dan memberikan grosse, salinan, dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atas

29

(13)

747 dikecualikan kepada pejabat atau orang

lain.30

Berdasarkan uraian diatas penulis berpendapat bahwa tidak tepat bila pemohon ditetapkan sebagai TERSANGKA, karena belum berdasarkan bukti yang sah sebagaimana telah diuraikan penjelasan mengenai tindak pidana dalam Pasal 266 ayat (1) (2) KUHP di atas bahwa rumusan pasal 266 ayat (1) dan (2) KUHP harus memenuhi syarat objektif dan syarat subjektif yang tidak mencantumkan siapa orang yang disuruh untuk memasukkan keterangan palsu tersebut.

Untuk selesainya tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) dan (2) tersebut harus sudah nyata bahwa hal atau kejadian tersebut telah nyata – nyata dimuat dalam akta autentik.

III.PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dari penelitian ini yang bersifat yuridis normatif maka dapat ditarik kesimpulan yaitu sebagai berikut :

30

Sudikno Mertukusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, liberty, Yogyakarta, 1998, hlm. 146

1. Satu – satunya Pasal yang menentukan batas minimum bukti adalah dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan, "hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar – benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Oleh karena itu, agar memenuhi kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa dan lex stricta dalam hukum pidana maka frasa ―bukti permulaan‖, ―bukti permulaan yang cukup‖, dan ―bukti yang cukup‖ harus ditafsirkan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya. 2. Tindak pidana dalam Pasal 266 ayat

(14)

748 syarat objektif dan subjektif.

Pertama, dalam ayat (1) : tindak pidana yang melarang menyampaikan keterangan palsu pada pejabat pembuat akta autentik untuk dimuat dalam akta autentik yang dibuatnya. Kedua dalam ayat (2) : tindak pidana yang melarang menggunakan akta autentik yang dibuat pejabat pembuat akta autentik yang dimaksud dalam ayat (1). Untuk selesainya tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 266 ayat (1) dan ayat (2) tersebut harus sudah nyata bahwa hal atau kejadian tersebut telah nyata – nyata dimuat dalam akta autentik.

B. Saran

Adapun saran yang disampaikan oleh penulis berdasarkan dari hasil penelitian yaitu :

1. Sebaiknya Farasa ―bukti permulaan‖, ―bukti permulaan yang cukup‖, dan ―bukti yang cukup‖

haruslah dinyatakan dalam undang – undang dalam hal ini KUHAP, yang artinya KUHAP harus memberikan penjelasan yang jelas mengenai batasan jumlah dari frasa ―bukti permulaan‖, bukti permulaan yang cukup‖, dan ―bukti yang cukup agar dalam hal penetapan seseorang menjadi tersangka tidak dilakukan sewenang – wenang yang berubahnya status seseorang dari manusia bebas menjadi tersangka dapat memiliki implikasi hukum yang dapat mengurangi hak – haknya baik secara hukum maupun sosiologis.

(15)

749

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Chazawi Adami, Tindak Pidana Pemalsuan, Tindak Pidana yang Menyerang Kepentingan Hukum Terhadap kepercayaan Masyarakat Mengenai Kebenaran Isi Tulisan dan Berita yang Disampaikan, Pt. Radja Grafindo Persada, Depok, 2014

Mertukusumo Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, liberty, Yogyakarta, 1998

Prints Darwan, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek, Djambatan Dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 2002

——————, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, Cet. 2, Djambatan, Jakarta, 1998

Syahputa, R, Tata Cara dan Hambatan Perihal Penangkapan Yang Dilakukan Penyidik (Pada Suatu Perkara Pidana), Cita Pustaka, Medan, 2011 Subekti. R dan R. Tjitrosudibio, Kitab undang-undang Hukum Perdata, Pradnya

paraminta, Jakarta, 1996

B. Peraturan Perundang-Undangan

KUHP dan KUHAP Undang-Undang KPK

Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia nomor: 08/KMA/1984, Nomor : M.02-KP.10.06 Th 1984, Nomor : KEP-076/J.A/3/1984, No. Pol : KEP/04/III/1984 Tentang Peningkatan koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana, Bab III permasalahan

C. Dokumen-Dokumen dan Websit

Putusan MK nomor : 21/PUU-XII/2014

Referensi

Dokumen terkait