i
Modul Bahan Ajar
FARMAKOTERAPI INFEKSI PADA PASIEN
DENGAN KEGANASAN
Diana Lyrawati, MS. PhD. Apt.
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Pasien dengan demam neutropenia
• Diperkirakan neutropenia < 7 hari • Stabil secara klinis
• Tidak ada komorbid • Skor MASCC > 21
• Hemodinamik tidak stabil
• Mukositis dengan diare atau kesulitan menelan
• Gejala GI (nyeri, mual, muntah, diare) • Baru saja terjadi perubahan neurologis atau
status mental
• Infeksi kateter intravaskular • Baru saja terjadi infiltrate paru
-paru/hipoksemia atau
• penyakit kronis paru-paru yang mendasari
• Insufisiensi hati atau ginjal • Skor MASCC < 21
Penatalaksanaan
DI RS atau klinik dengan antibiotik PO atau IV
Farmakoterapi:a
• Siprofloksasin + amoxicillin/clavulanate (A-1)
• Siprofloksasin atau levofloxacin (monoterapi) (B-III)
• Siprofloksasin + Klindamisin (B-III)
Penatalaksanaan Dirawat inap untuk antibiotik IV
Farmakoterapi:
• Monoterapi IV dengan anti-pseudomonas β-laktamb(cefepime, imipenem-cilastatin, meropenem, or piperacillin-tazobactam)
• Tambah aminoglikosida atau fluorokuinolon pada pasien hipotensi atau dicurigai pneumonia, atau terbukti atau dicurigai resistensi
• Tambah vankomisin pada kasus yang dicurigai infeksi karena kateter, pneumonia, SSTI, terbukti atau dicurigai resistensi, atau tidak stabil hemodinamik
• Cek riwayat infeksi sebelumnya, rawat inap, tinggal pada fasilitas kesehatan jangka lama, atau kolonisasi
○ MRSA: Pertimbangkan pemberian dini vankomisin, daptomycin, atau linezolid (B-III)
○ VRE: Pertimbangkan pemberian dini linezolid atau daptomycin (B-III)
○ ESBLs: Pertimbangkan pemberian dini carbapenem (B-III)
ii
Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang atas kehendak-Nya buku ini dapat diselesaikan.
Modul ini ditulis pada tahun 2015, berdasarkan tulisan Infections in Patients with
Malignancies oleh Melissa Badowski, Pharm.D., BCPS, 2015. Materi yang ada dalam buku ini merupakan sumber pustaka sebagai pelengkap untuk mata kuliah Farmakoterapi Infeksi, Kanker dan Gangguan Nutrisi terutama pada sesi terapi suportif pada penderita keganasan (kanker). Namun demikian, materi modul ini juga dapat digunakan sebagai acuan untuk mata kuliah Pelayanan Farmsi Klinis yang mayoritas pembelajaran dilakukan
berdasarkan problem based-learning. Modul ini dibuat untuk membantu mahasiswa yang
ingin membaca sendiri mengenai isi kuliah farmakoterapi infeksi pada kasus keganasan, terutama jika dirasa pertemuan tatap muka dan tutorial di kelas tidak cukup, terlalu cepat atau terlalu singkat.
Akhirnya, penulis berharap semoga buku ini dapat memberikan sumbangan pemahaman pengetahuan klinis baik bagi mahasiswa farmasi, dosen di bidang kesehatan dan siapa saja yang berminat untuk mengetahui mengenai farmakoterapi infeksi pada keganasan/kanker.
iii
DAFTAR ISI
PRAKATA ... ii
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
TUJUAN PEMBELAJARAN ... 1
Modul 1 ... 1
FARMAKOTERAPI INFEKSI PADA PASIEN DENGAN KEGANASAN ... 1
PENDAHULUAN ... 2
FAKTOR RESIKO ... 2
Imunodefisiensi ... 2
Kerusakan Barrier Mukosa ... 2
Lingkungan dan Kesehatan ... 3
NEUTROPENIA... 3
LIMFOPENIA ... 4
DEMAM NONINFEKSI ... 4
DEMAM NEUTROPENIA ... 6
TERAPI ANTIBIOTIK EMPIRIS (PASIEN RESIKO RENDAH) ... 7
TERAPI ANTIBIOTIK EMPIRIS (PASIEN RESIKO TINGGI) ... 8
β-laktamase Spektrum Diperluas, Resisten-Carbapenem ... 14
Skenario Asuhan Pasien ... 15
TERAPI ANTIFUNGI EMPIRIS ... 17
Pneumocystis jiroveci ... 18
INFEKSI VIRUS ... 18
Influenza ... 19
Virus BK ... 20
PROFILAKSIS ... 20
Antibakteri ... 20
Antifungi ... 21
Viral ... 23
iv
MANAJEMEN DEMAM NEUTROPENIA NONFARMAKOLOGIS ... 26
PENUTUP... 27
Pedoman praktis ... 27
DAFTAR PUSTAKA ... 29
SOAL ... 34
JAWABAN ... 41
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... 43
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Demam Neutropenia, Neutropenia, and Limfopenia yang Diinduksi ……. 4 Kemoterapi. Stratifikasi resiko kemoterapi berdasarkan insiden.
Tabel 2. Resiko dan Pencegahan Infeksi pada Neutropenia ……… 11 Tabel 3. Tambahan untuk Terapi Empiris pada Demam Neutropenia Berdasarkan
Tanda dan Gejala Klinis……… 13
vi
DAFTAR GAMBAR
1 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only
TUJUAN PEMBELAJARAN
Bahan ajar ini dirancang agar mahasiswa dapat:
1. Mendemonstrasikan pemahaman mengenai faktor-faktor
resiko dan penyebab infeksi bakteri, virus dan jamur pada pasien dengan keganasan hematologis atau tumor-padat.
2. Membedakan antara pasien-pasien dengan resiko demam
neutropenia tinggi, menengah dan rendah.
3. Mengembangkan rencana farmakoterapi baik untuk
terapi maupun pencegahan infeksi bakteri, virus dan jamur pada pasien dengan keganasan hematologis atau tumor-padat.
4. Menilai (assess) profil keamanan obat antiinfeksi yang
digunakan untuk menangani dan mencegah infeksi bakteri, virus dan jamur.
5. Mengevaluasi terapi obat untuk mendeteksi adanya
interaksi obat─obat pada pasien yang menerima terapi
atau pencegahan demam neutropenia.
6. Mengevaluasi peran faktor pertumbuhan pada
pencegahan demam neutropenia.
2 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only
PENDAHULUAN
Diperkirakan 1,6 juta peduduk Amerika menerima diagnosis baru kanker (ACS 2014). Untuk sebagian besar pasien, kemoterapi merupakan komponen esensial terapi; namun, kemoterapi juga mengakibatkan neutropenia yang bermakna, yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas terkait infeksi. Sekitar 10% pasien yang menerima kemoterapi mengalami komplikasi infeksi yang memerlukan rawat-inap di
rumah sakit (CDC 2013). Setiap episode demam neutropenia (febrile neutropenia, FN)
dapat menelan biaya rata-rata $19.110 (Kuderer 2006). Komplikasi infeksi merupakan sumber mortalitas pasien rawat inap pada 9,5% pasien dengan keganasan (Kudere 2006). Infeksi dapat merupakan akibat dari penggunaan kemoterapi, tindakan bedah untuk membuang tumor, transplantasi sel hematopoesis (HCT), penggunaan alat-alat kesehatan yang menempel pada pasien, dan/atau kunjungan berulang ke lembaga kesehatan.
FAKTOR RESIKO
IMUNODEFISIENSI
Pasien-pasien dengan keganasan memiliki peningkatan resiko infeksi karena defisiensi imunitas humoral dan selular. Pasien yang defisiensi imunitas selular seperti pada keganasan hematologis antara lain pada leukemia akut dan kronis, limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin, dan sindroma mielodiplastik, mengalami disfungsi pada limfosit T dan makrofag. Selain itu, keganasan hematologis tingkat lanjut atau refrakter dapat disebabkan oleh kegagalan sumsum tulang yang diakibatkan oleh keganasan itu sendiri atau akibat terapi sitotoksik beberapa siklus atau imunosupresan. Peningkatan resiko infeksi oportunistik yang disebabkan oleh bakteri, jamur, dan virus terjadi pada individu-individu yang mendapat HCT alogenik sampai selama 2 tahun sejak ditransplantasi (Marr 2002; Wald 1997). Pasien dengan multipel mieloma dan leukemia limfositik kronis mengalami hipogammaglobulinemia, yang menyebabkan disfungsi sel-sel B dari penurunan imunitas humoral. Selain itu, pasien yang menerima steroid dan/atau kemoterapi, atau pasien yang mendapat tindakan splenektomi (dalam hal ini, untuk diagnosis penyakit Hodgkin) beresiko tinggi
mengalami infeksi terutama yang disebabkan oleh Streptococcus pneumonia.
KERUSAKAN
BARRIER
MUKOSAKerusakan kulit dan lapisan mukosa akibat tindakan bedah, prosedur diagnosis, pemasangan alat injeksi, tusukan jarum, kateterisasi, dan radiasi, merusak lini pertama pertahanan tubuh terhadap flora lokal. Gangguan pada flora kulit normal
berakibat pada infeksi bakteri yang disebabkan oleh Streptococcus aureus,
3 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only diinduksi oleh kemoterapi dapat menyebabkan rusaknya barier mukosa, yang dapat mereaktivasi virus herpes simpleks, yang bermanifestasi sebagai ulkus oral.
LINGKUNGAN DAN KESEHATAN
Pasien dengan penurunan imunitas (immunocompromise) rentan terhadap infeksi
yang disebabkan oleh patogen yang telah membuat koloni pada pasien atau patogen yang didapat dari lingkungan. Tanpa kepatuhan yang ketat terhadap pedoman kontrol infeksi, petugas rumah sakit dapat memindahkan patogen melalui sanitasi tangan yang kurang tepat atau melalui kontaminasi peralatan kesehatan. Kebanyakan infeksi pada pasien disebabkan oleh flora kulit atau saluran cerna pasien sendiri. Penggunaan antibiotik spektrum luas, kemoterapi, dan penekan asam lambung dapat mengubah flora dan integritas aluran cerna sehingga meningkatkan resiko infeksi. Keamanan makanan bagi pasien yang baru saja sembuh dari kanker juga sangat penting. Makanan mentah atau produk yang tidak dipasteurisasi, daging makan siang, dan buah-buahan dan sayuran yang tidak dicuci dapat menyebabkan penyakit
yang berkaitan dengan Escherichia coli, Campylobacter, Listeria, Norovirus,
Salmonella, Toxoplasma, atau Vibrio (FDA 2014). Air juga merupakan salah satu sumber bakteri bagi pasien dengan penurunan imunitas. Air yang akan diminum harus dididihkan paling sedikit 1 menit sebelum diminum dan disimpan pada wadah yang bersih dan tertutup serta disimpan dalam kulkas sampai 72 jam (NCI 2011). Penyaringan air dengan filter tidak menghilangkan organisme yang berbahaya dan sebaiknya tidak digunakan untuk mengganti metode mendidihkan air. Air kemasan dalam botol harus didistilasi atau melewati filtrasi osmosis untuk menghilangkan organisme yang bertanggungjawab terhadap infeksi lambung atau usus (NCI 2011). Sistem filtrasi air tidak aman kecuali jika ditambahkan klorin pada sistem. Filter yang
digunakan harus dapat menghilangkan coliform dan Cryptosporidium. Selain itu,
sistem filter air portable hanya memfilter zat kimia tapi tidak bakteri (NCI 2011).
Dianjurkan jika memelihara binatang, sebaiknya dihentikan untuk menghindari organisme penyebab infeksi. Pasien dengan steroid dosis tinggi dan mereka yang sedang menjalani terapi untuk limfoma dan leukemia sangat dianjurkan untuk menghindari binatang peliharaan (NIH 2014). Pasien juga harus mencuci tangan dengan seksama setelah mengurus binatang peliharaan. Jika memelihara kucing,
sebaiknya orang lain yang mengurus agar pasien terhindar dari paparan Toxoplasma.
Jika pasien sendiri yang mengurus, maka harus menggunakan sarung tangan karet dan penutup wajah.
NEUTROPENIA
Neutropenia didefinisikan sebagai jumlah absolut netrofil (ANC) kurang dari 500
sel/mm3 atau diperkirakan ANC akan turun di bawah 500 sel/mm3 dalam 48 jam. Jika
terjadi neutropenia yang bermakna (ANC kurang dari 100 sel/ mm3), resiko pasien
4 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only Schimpff 1986). Resiko neutropenia, termasuk tingkat dan durasi dan perkembangan demam neutropenia, dipengaruhi oleh jenis kemoterapi (Tabel 1). Senyawa pengalkilasi, antimetabolit, antrasiklin, penghambat topoisomerase, taksan, dan alkaloid vinka meningkatkan resiko terjadinya neutropenia yang diinduksi oleh kemoterapi. Pasien yang menerima terapi untuk leukemia akut dan kronis, beberapa penghambat tirosin kinase (misalnya bosutinib, dasatinib, imatinib, nilotinib) juga dapat menyebabkan neutropenia. Usia lanjut, pemberian kemoterapi sebelumnya atau bersamaan dengan radiasi, nutrisi yang buruk, dan disfungsi organ juga merupakan faktor resiko neutropenia yang diinduksi kemoterapi(Fausel 2010). Imunodefisiensi, keganasan tingkat lanjut, kemoterapi dosis tinggi dan jangka lama dapat mengaburkan tanda-tanda infeksi dan demam.
LIMFOPENIA
Limfopenia merujuk pada jumlah limfosit yang kurang dari 1000 sel/mm3 dan dapat
berakibat pada infeksi bakteri, virus, jamur dan parasit (NIH 2013). Kortikosteroid dosis tinggi bersama dengan kemoterapi berdampak pada neutrofil dan limfosit. Beberapa kemoterapi yang digunakan untuk menangani leukemia dan limfoma diketahui menyebabkan limfopenia (Tabel 1).
DEMAM NONINFEKSI
Sekitar 25% individu dengan kanker dapat mengalami demam sebelum diagnosis (Brusch 1988). Demam yang lebih dari 38,3˚C (100,9˚F) beberapa kali selama lebih dari 3 minggu harus diperiksa untuk mengetahui adanya keganasan, dengan asumsi telah dibuktikan bukan karena penyebab lain (diagnosis banding tersingkir) termasuk infeksi, gangguan jaringan ikat, dan reaksi obat. Beberapa antimikroba, antineoplasma, obat kardiovaskular, imunosupresan, antiinflamasi nonsteroid, antikonvulsan, antidepresan, dan obat lain dapat menyebabkan demam (Patel 2010). Pasien dengan limfoma tingkat lanjut, leukemia, karsinoma sel ginjal, karsinoma hepatoseluler juga dapat mengalami demam jangka panjang. Demam dapat terjadi karena tumor melepaskan sitokin dan petanda inflamasi, nekrosis atau inflamasi tumor, obstruksi tumor, tromboemboli vena, dan perubahan termoregulasi akibat metastase hipotalamus.
Tabel 1. Demam Neutropenia, Neutropenia, and Limfopenia yang Diinduksi Kemoterapi. Stratifikasi resiko kemoterapi berdasarkan insiden.
5 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only Vincristine
Neutropenia Aflibercept
6 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only Imatinib
aInsidens tidak dilaporkan.
Kategori resiko berdasarkan informasi efek/kejadian tak diinginkan tingkat (Grade) 3–4
dari brosur obat.
DEMAM NEUTROPENIA
7 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only padat dan lebih dari 80% pasien dengan keganasan hematologis akan mengalami demam neutropenia, namun hanya sekitar 20-30% yang akan mengalami infeksi klinis (Klatersky 2004). Stratifikasi resiko infeksi pada pasien dengan neutropenia (Tabel 2) didasarkan pada tipe keganasan, terapi, perkiraan durasi neutropenia, dan
skor indeks resiko Multinational Association of Supportive Care in Cancer (MASCC)
(Klatersky 2000). Skor MASCC dihitung dari beban penyakit (tanpa gejala/gejala ringan = 5 poin, gejala sedang = 3 poin), tanpa hipotensi (tekanan darah sistolik> 90 mm Hg = 5 poin), tanpa COPD (4 poin), tumor padat atau tanpa riwayat infeksi jamur sebelumnya (4 poin), status rawat jalan (3 poin), tanpa dehidrasi (3 poin), dan usia kurang dari 60 tahun (2 poin)(Klatersky 2000). Skor 21 atau lebih berarti pasien beresiko rendah mengalami gejala infeksi akibat demam neutropenia.
Pasien yang mengalami demam ketika neutropenia harus dievaluasi penyebab infeksinya: tanda dan gejala yang biasa mungkin tidak nampak karena penurunan jumlah limfosit dan kegagalan respon inflamasi pada tempat infeksi. Nyeri pada tempat infeksi mungkin merupakan satu-satunya gejala yang dilaporkan pasien. Selama neutropenia, penting untuk secara kontinyu menilai apakah pasien mengalami infeksi. Paling sedikit 2 set kultur darah harus diperoleh dari semua pasien pada asesmen awal. Jika demam tetap bertahan walaupun pasien telah menerima antibiotik, disarankan untuk mengulang kultur darah setiap hari selama 2 hari. Untuk pasien dengan metastase yang dicurigai infeksi, kultur harus dilakukan berdasarkan tanda dan gejala infeksinya.
TERAPI ANTIBIOTIK EMPIRIS (PASIEN RESIKO RENDAH)
Untuk pasien dengan resiko rendah mengalami infeksi ketika demam neutropenia (Gambar 1), penatalaksanaan pasien rawat jalan dengan siprofloksasin dan amoksisilin/klavulanat disarankan sebagai terapi empiris; monoterapi siprofloksasin atau kombinasi siprofloksasin dan klindamisin dapat digunakan sebagai pilihan lini ke dua (Freifeld 2011). Monoterapi siprofloksasin dianggap tidak adekuat karena tidak cukup untuk organisma gram-positif. Monoterapi dengan levofloksasin oral 750 mg atau moksifloksasin 400 mg sehari merupakan alternatif, namun data klinis tidak cukup untuk mendukung praktek ini (Freifeld 2011). Baru-baru ini, satu studi
8 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only
dilanjutkan sampai ANC mencapai 500 sel/mm3 dan terus meningkat. Jika pasien
mengalami demam persisten atau secara klinis tidak stabil setelah 2-4 hari terapi empiris antibiotik, pasien harus dirawat inap untuk pemberian antibiotik intravena spektrum luas. Antibiotik mungkin perlu dimodifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan kultur dan atau tempat infeksi. Untuk beberapa infeksi, beberapa obat yang dapat ditambahkan pada terapi empiris tercantum pada Tabel 3, dan jangka waktu terapinya pada Tabel 4.
TERAPI ANTIBIOTIK EMPIRIS (PASIEN RESIKO TINGGI)
Pencegahan morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh bakteri patogen merupakan tujuan dimulainya terapi empiris antibiotik. Pada pasien dengan demam neutropenia. Diperkirakan 23% kasus demam neutropenia merupakan bakteremia, di mana 57%-nya disebabkan bakteri gram positif, 34% gram negatif, dan 9% infeksi polimikroba (Klatersky 2007). Data terkini menunjukkan adanya pergeseran insiden lebih tinggi yang disebabkan oleh gram negatif yang diikuti dengan resiko mortalitas yang lebih tinggi (Trecarichi 2014). Sayangnya, pada banyak kasus, kultur darah menunjukkan hasil negatif, dan terapi empiris antibiotik harus dilanjutkan sampai ANC
mencapai lebih dari 500 sel/mm3 dan terus meningkat. Untuk pasien yang masih
neutropenia setelah regimen terapi untuk infeksinya komplit, terapi fluorokuinolon proflaksis harus mulai diberikan sampai neutropenia teratasi (Freifeld 2011). Seleksi antibiotik empiris harus didasarkan pada asesmen resiko infeksi, pola kerentanan lokal patogen yang dicurigai terhadap antimikroba, tempat infeksi, patogen yang dicurigai, ketakstabilan klinis, penggunaan antibiotik sebelumnya, dan alergi atau toleransi terhadap obat. Untuk pasien beresiko tinggi (lihat Tabel 2), resiko infeksi lebih dari 20%, oleh karena itu, penatalaksanaan pasien rawat inap dengan antibiotik
intravena spektrum luas yang dapat mengatasi Pseudomonas aeruginosa dan
patogen gram negatif serius lainnya harus segera dimulai (Gambar 2). Diperkirakan sekitar 20% infeksi bakteri gram negatif pada pasien demam neutropenia disebabkan
oleh P. aeruginosa, walaupun Acinetobacter spp., Stenotrophomonas maltophilia, dan
infeksi gram negatif yang multi-resisten antibiotik juga sering terjadi pada populasi pasien ini (Trecarichi 2014). Terapi lini pertama tunggal (monoterapi) yang
disarankan adalah dengan antipseudomonas β-laktam (cefepime), carbapenem
(imipenem/cilastatin atau meropenem), atau kombinasi penisilin/penghambat β
9 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only Gambar 1. Masa Terjadinya Infeksi pada Transplantasi Sel Hematopoiesis.
Dicetak ulang dari Tomblyn, M Chiller T, Einsele H. et al. Guidelines for preventing infectious complications among hematopoietic cell transplantation recipients: a global perspective. Biol Blood Marrow Transplant 2009; 15:1143-238.
Walaupun tidak diteliti langsung pada pasien demam neutropenia, tidak ditemukan manfaat lebih terhadap mortalitas pada pasien yang menerima terapi kombinasi
dibanding monoterapi terhadap P. aeruginosa (Bowers 2013; Hu 2013; Vardakas
2013). Terapi kombinasi dapat dipertimbangkan untuk kasus-kasus komplikasi atau resistensi berdasarkan pola kerentanan lokal. Kekhawatiran mengenai terapi cefepime pada pasien neutropenia muncul ketika hasil meta-analisis 19 studi acak terkontrol
menunjukkan peningkatan resiko mortalitas-dalam-30-hari dibanding dengan β
-laktam lainnya (rasio resiko [RR] 1.41; 95% confidence interval [CI], 1.08–1.84)
(Yahav 2007). Pada studi lain, analisis semua penyebab mortalitas yang berkaitan dengan cefepime tidak berhasil menunjukkan peningkatan resiko (Nguyen 2009). U.S. Food and Drug Administration (FDA) mengevaluasi data dan uji klinis pada studi meta-analisis lainnya dan tidak menemukan peningkatan resiko mortalitas dalam 30
hari yang terkait dengan cefepime (RR, 1.20; 95% CI, 0.82–1.76). Oleh karena itu,
10 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only Gambar 2. Penatalaksanaan Empiris Demam Neutropenia
aPasien yang sedang menerima fluorokuinolon profilaksis tidak boleh menerima fluorokunolon
lagi
bPasien dengan alergi penisilin, sefalosporin biasanya ditoleransi namun jika memerlukan
alternatif dapat dipertimbangkan siprofloksasin + klindamisin atau aztreonam + vankomisin. ESBL = extended-spectrum β-lactamase; KPC = Klebsiella pneumoniae carbapenemase; MRSA = methicillin-resistantStaphylococcus aureus; VRE = vancomycin-resistantEnterococcus.
Pasien dengan demam neutropenia
• Diperkirakan neutropenia < 7 hari
• Stabil secara klinis
• Tidak ada komorbid • Skor MASCC > 21
• Hemodinamik tidak stabil
• Mukositis dengan diare atau kesulitan menelan
• Gejala GI (nyeri, mual, muntah, diare) • Baru saja terjadi perubahan neurologis atau
status mental
• Infeksi kateter intravaskular
• Baru saja terjadi infiltrat paru-paru/hipoksemia atau
• Penyakit kronis paru-paru yang mendasari
• Insufisiensi hati atau ginjal • Skor MASCC < 21
Penatalaksanaan
Di RS atau klinik dengan antibiotik PO atau IV
Farmakoterapi:a
• Siprofloksasin + amoxicillin/clavulanate (A-1)
• Siprofloksasin atau levofloxacin (monoterapi) (B-III)
• Siprofloksasin + Klindamisin (B-III)
Penatalaksanaan Dirawat inap untuk antibiotik IV
Farmakoterapi:
• Monoterapi IV dengan anti-pseudomonas β-laktamb(cefepime, imipenem-cilastatin, meropenem, or piperacillin-tazobactam)
• Tambah aminoglikosida atau fluorokuinolon pada pasien hipotensi atau dicurigai pneumonia, atau terbukti atau dicurigai resistensi
• Tambah vankomisin pada kasus yang dicurigai infeksi karena kateter, pneumonia, SSTI, terbukti atau dicurigai resistensi, atau tidak stabil hemodinamik
• Cek riwayat infeksi sebelumnya, rawat inap, tinggal pada fasilitas kesehatan jangka lama, atau kolonisasi
○ MRSA: Pertimbangkan pemberian dini vankomisin, daptomycin, atau linezolid (B-III)
○ VRE: Pertimbangkan pemberian dini linezolid atau daptomycin (B-III)
○ ESBLs: Pertimbangkan pemberian dini carbapenem (B-III)
11 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only
Adaptasi dari Freifeld AG, Bow EJ, Sepkowitz KA, et al. Clinical practice guideline for the use of antimicrobial agents in neutropenic patients with cancer: 2010 update by the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis 2011;52:e56-e93.
Tabel 2. Resikodan Pencegahan Infeksi pada Neutropenia
Faktor Resiko Profilaksis
Rendah (< 10%) • Kemoterapi standar
untuk tumor padat • Neutropenia
diperkirakan berakhir < 7 hari
• Tidak diindikasikan profilaksis antibakteri, fungi atau virus
• Profilaksis antivirus dapat dipertimbangkan jika sebelumnya HSV
• Multipel Mieloma • Terapi analog purin
• Dipertimbangkan flukonazol atau micafungin dengan HCT autolog + mukositis (sampai neutropenia mereda)
Virala:
• Mulai acyclovir, valacyclovir, atau famciclovir selama neutropenia dan 30 hari setelah HCT (pertimbangkan VZV profilaksis paling sedikit selama 1 tahun setelah HCT)
Tinggi (>20%) • Leukemia akut
○○ Induksi
• Dipertimbangkan flukonazol pada ALL sampai neutropenia sembuh
• Dipertimbangkan flukonazol atau micafungin pada neutropenia HCT alogenik (dilanjutkan selama neutropenia atau paling sedikit 75 hari pasca-transplantasi)
• Dipertimbangkan posakonazol pada pasien dengan MDS (sampai neutropenia sembuh) atau GVHD bermakna (sampai GVHD sembuh)
Virusa:
12 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only berlangsung > 10
hari
HCT)
• Proteasome inhibitors: harus menerima VZV profilaksis selama terapi
• Alemtuzumab: pasien harus menerima HSV profilaksis paling sedikit selama 2 bulan pasca
terapi dan sampai CD4+ > 200 sel/mm3
• CMV profilaksis dengan valganciclovir,
ganciclovir, foscarnet, atau cidofovir pada HCT
alogenik(1–6 bulan pasca-transplantasi atau
GVHD) ATAU pasien yang menerima terapi alemtuzumab (minimum 2 bulan setelah terapi
komplit)b
Pneumocystis: trimetoprim/ sulfametoksazol (lebih dipilih) atau dapsone, atovaquone, pentamidine jika intoleransi trimetoprim/ sulfametoksazol
• Mulai profilaksis pada pasien:
○○ Alemtuzumab
○○ ALL
○○ HCT alogenik
• Pertimbangkan profilaksis:
○○ HCT autolog
○○ Analog purine
○○ terapi kortikosteroid jangka panjang
○○ Temozolomide + radiasi
Beberapa institusi menunggu hingga terjadi
penanaman (engraftment).
aProfilaksis virus untuk HSV dan VZV termasuk acyclovir, valacyclovir, atau famciclovir
bPasien yang menerima profilaksis CMV dengan cidofovir, foscarnet, ganciclovir, atau
valganciclovir harus mendapat antibiotik yang mencakup anti- HSV dan VZV
ALL = acute lymphocytic leukemia; CLL = chronic lymphocytic leukemia; CMV =
cytomegalovirus; GVHD = graft-versus-host disease; HCT = hematopoietic cell
transplantation; HSV = herpes simplex virus; MASCC = Multinational Association of
Supportive Care in Cancer; MDS = myelodysplastic syndrome; VZV = varicella zoster
virus.
13 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only Tabel 3. Tambahan untuk Terapi Empiris pada Demam Neutropenia Berdasarkan Tanda
dan Gejala Klinis
Nyeri perut/diare Metronidazol oral atau vankomisin oral jika
dicurigai infeksi Clostridium difficile metronidazol
intravena hanya boleh digunakan jika pasien tidak dapat menggunakan terapi per oral
Memastikan antinfeksi terhadap bakteri anaerob
Infiltrat paru-paru Azithromycin or fluoroquinolone (kecuali jika
sedang menerima terapi empiris atau profilaksis) Antifungi dengan aktivitas antikapang
(itraconazole, posakonazol, atau vorikonazol)
untuk pasien beresiko sedang ─ tinggi
Antivirus selama musim influenza
Khawatir terinfeksi Pneumocystis jiroveci,
ditambah trimetoprim/sulfametoksazol Khawatir MRSA, ditambah vankomisin atau linezolid
Cellulitis atau kulit dan infeksi kulit dan jaringan lunak (SSSI)
Vankomisin
Daptomycin, linezolid, or quinupristin/dalfopristin dapat ditambahkan sebagai pengganti vankomisin Untuk papula atau lesi, dipertimbangkan antifungi dengan aktivitas antikapang pada pasien beresiko tinggi
Alat akses pembuluh darah (ports) Vankomisin
Mungkin alat harus dilepas
Lesi vesikular Acyclovir, famciclovir, atau valacyclovir
Infeksi SSP Khawatir meningitis: antipseudomonas β-laktam
dengan penetrasi cairan serebrospinal (mungkin telah terjadi) (cefepime, meropenem) +
vankomisin + ampisilina
Dicurigai Encephalitis: acyclovir dosis tinggi
aJika piperacillin/tazobactam atau meropenem digunakan, ampisilin tidak perlu.
SSP = sistem saraf pusat; MRSA = methicillin-resistant Staphylococcus aureus; SSSI =
skin and soft tissue infection.
14 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only Tabel 4. Lama Terapi Anti─infeksi pada Demam Neutropenia
Infeksi yang tidak terdokumentasi
Apapun faktor resikonya ANC > 500 sel/mm3 dan terus meningkat
Infeksi yang terdokumentasia Bakteri
SSSI 10–14 hari
BSIb
Gram-negatif 10–14 hari
Gram-positifc 7–14 hari
Sinusitis 10–21 hari
Pneumonia 10–21 hari
Fungi(Kapang atau Ragi)
Candida or ragi BSI Paling sedikit 14 hari setelah kultur darah menjadi
negatif
Kapang (Aspergillus, Fusarium,
Mucor)
Paling sedikit 12 minggu namun dapat sampai beberapa bulan sampai tahunan, durasi berdasarkan respon klinis/radiografis
Virus
CMV Paling sedikit 14-21 hari + sampai CMV tidak lagi
terdeteksi dalam darah
HSV/VZV 7–10 hari
Influenza 10 hari dan sampai gejala hilang
Β
-LAKTAMASE SPEKTRUM DIPERLUAS, RESISTEN-CARBAPENEM
Enterobacteriaceae, dan berbagai macam bakteri patogen resisten multi-obat bermunculan sebagai penyebab infeksi gram-negatif parah pada populasi pasien keganasan, yang secara konstan terpapar pada tempat perawatan kesehatan dan/atau menerima antibiotik profilaksis atau empiris.
Penting untuk mempertimbangkan organisma yang resisten multi-obat pada pasien dengan penurunan imunitas dan mengikuti informasi epidemiologi lokal dan pola
kerentanan. Pemberian terapi empiris vankomisin tidak boleh tanpa
mempertimbangkan adanya kemungkinan klinis infeksi yang berkaitan dengan pemasangan kateter intravena, kultur darah positif yang menunjukkan adanya bakteri
gram-positif (sebelum identifikasi dan kerentanan diketahui), instabilitas
hemodinamik, sepsis, kolonisasi pneumococci atau Staphylococcus aureus yang
resisten metisilin (MRSA) penisilin atau sefalosporin infeksi jaringan lunak, atau dokumentasi radiografis pneumonia. Pemberian vankomisin harus bijaksana karena
15 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only
yang intermediate- maupun yang memang resisten-vankomisin. Pemberian terapi
empiris vankomisin tidak selalu berkaitan dengan perbaikan mortalitas atau lamanya demam, namun dapat meningkatkan resiko nefrotoksisitas (Paul 2005). Selain itu,
walaupun staphylococci koagulase-negatif rutin ditemukan pada pasien neutropenia
dengan bakteremia, tidak ada kepentingan mendesak untuk mengatasi satu kultur positif dengan vankomisin karena hal ini rutin merupakan kontaminan. Jika pemberian terapi vankomisin dimulai berdasarkan manifestasi klinis atau kecurigaan adanya infeksi berat gram positif, terapi harus dinilai kembali setelah 2-3 hari dan dihentikan
jika patogen gram─positif resisten tidak teridentifikasi. Ceftaroline, daptomycin,
linezolid, quinupristin/dalfopristin, telavancin, dan tigecycline tidak diindikasikan sebagai terapi empiris pada pasien resiko tinggi demam neutropenia.
Untuk pasien yang demamnya turun dan kultur negatif, antibiotik empiris harus
dilanjutkan sampai ANC lebih dari 500 sel/mm3 dan terus meningkat. Untuk pasien
dengan infeksi yang terdokumentasi, antibiotik harus diganti, jika perlu, dan antibiotik dilanjutkan sampai 7-14 hari berdasarkan data mikrobiologis. Selain itu, antibiotik
dapat dilanjutkan lebih dari 14 hari sampai ANC lebih dari 500 sel/mm3 dan terus
meningkat. Atau, sebagai alternatif, pada pasien rawat jalan fluorokuinolon profilaksis kadang-kadang dilanjutkan jika pasien tidak demam tanpa infeksi yang terdokumentasi. Jika pasien demam persisten namun stabil secara klinis, antibiotik empiris harus dilanjutkan dan dilakukan asesmen untuk melihat tempat infeksi. Jika demam tetap bertahan hingga 4-7 hari walaupun telah mendapat terapi antibiotik spektrum luas pada pasien dengan resiko tinggi yang diperkirakan neutropenia berlangsung hingga lebih dari 10 hari dan tanpa sumber infeksi yang diketahui, pemberian antifungi empiris sebaiknya dimulai.
SKENARIO ASUHAN PASIEN
Seorang pasien wanita berusia 61 tahun (tinggi (tingi 172 cm, bobot 68 kg) dengan kanker payudara stadium IV dirawat di IGD dengan dugaan sepsis dari fasilitas perawatan. Perawat menyampaikan bahwa pasien ditemukan tidak merespon di tempat tidurnya. Riwayat kesehatan lainnya penyakit arteri koroner, depresi, diabetes, hipertensi, dan neuropati perifer. Tidak ada alergi obat. Pada saat masuk RS obatnya adalah aspirin 81 mg/hari, atorvastatin 20 mg per oral tiap malam, duloksetin 40 mg peroral/hari, lisinopril 40 mg peroral/hari, metformin 1000 mg peroral 2x/hari, metoprolol
suksinat 100 mg peroral/hari, dan vinorelbin 36,6 mg/m2. Tanda vitalnya TD 80/50 mm
Hg; nadi: 121 beats/minute; respiratory rate: 29 breaths/minute; dan temperatur: 36 °C.
Pasien menerima cairan 1 L dan diambil 2 set kultur darah dan urin. Dokter IGD berniat
memulai terapi empiris untuk Pseudomonas aeruginosa karena makin banyak kasus
infeksi multi-drug resistant yang telah teridentifikasi. Anda diminta konsul oleh tim IGD
16 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only infeksi secara empiris. Bagaimana saran terbaik anda mengenai terapi antibakteri untuk pasien ini?
Data saat masuk rawat ICU
SCr (mg/dL) 1,3
White blood cells (x 103 sel/mm3) 1,0
Bands (%) 20
Neutrofil (%) 25
Kultur urin masih dikerjakan
Kultur darah masih dikerjakan
JAWABAN
Skenario ini menggambarkan kasus pasien yang sulit dan kontroversial. Status imunosupresi dari pasien dan fasilitas perawatan yang baik meningkatkan resiko pasien
untuk infeksi P. aeruginosa. Selain itu, di kawasan ini sedang mengalami peningkatan
insiden infeksi pseudomonas. Walaupun tidak dipelajari langsung pada psien dengan demam neutropenia, tidak ada manfaat mortalitas pada pasien yang mendapat terapi kombinasi. Pasien ini mungkin akan mendapat manfaat dari terapi kombinasi karena
kasusnya komplikasi, terapi dengan vinorelbin, dan adanya multi-drug resistance di
kawasan ini. Terapi empiris dengan antibiotik β-laktam anti-pseudomonas
(piperacillin/tazobactam, cefepime, imipenem/cilastatin, atau meropenem) plus
aminoglikosida (gentamisin, tobramisin, atau amikasin) atau fluorokuinolon
(siprofloksasin atau levofloksasin) disarankan untuk pasien ini. Berdasarkan hasil kultur darah, terapi empiric harus dimodifikasi atau diganti terapi antibiotik spektrum sempit berdasarkan hasil spesies bakteri yang teridentifikasi dan pola kerentanan terhadap antibiotika.
1. Bowers DR, Liew YX, Lye DC, et al. Outcomes of appropriate empiric combination
versus monotherapy for Pseudomonas aeruginosa bacteremia. Antimicrob Agents
Chemother 2013;57:1270-4.
2. Freifeld AG, Bow EJ, Sepkowitz KA, et al. Clinical practice guideline for the use of antimicrobial agents in neutropenic patients with cancer: 2010 update by the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis 2011;52:e56-e93.
3. Hu Y, Li L, Li W, et al. Combination antibiotic therapy versus monotherapy for Pseudomonas aeruginosa bacteraemia: a meta-analysis of retrospective and prospective studies. Int J Antimicrob Agents 2013;42:492-6.
17 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only
TERAPI ANTIFUNGI EMPIRIS
Infeksi fungi invasif tetap merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas bermakna pada pasien dengan penurunan imunitas yang mendapat terapi untuk mengatasi kegananasan (Auberger 2008). Etiologi infeksi fungi biasanya dipertimbangkan jika pasien yang telah menerima antibiotik empiris selama 4 hari atau lebih tetap mengalami demam neutropenia atau demam muncul kembali (Freifeld 2011).
Kemoterapi intensif meningkatkan resiko infeksi fungi invasif. Karena Candida
mengolonisasi pada permukaan mukosa, Candida dapat masuk ke sirkulasi darah jika
barier mukosa rusak, sehingga berakibat infeksi pada sirkulasi darah. Walaupun penggunaan azol profilaksis, biasanya flukonazol, meminimalkan insiden infeksi fungi invasif pada pasien dengan resiko tinggi infeksi, masih ada resiko patogen yang resisten-azol. Untuk pasien yang tidak menerima flukonazol profilaksis, flukonazol
dapat diberikan sebagai terapi empiris. Infeksi yang disebabkan oleh Candida krusei,
Candida glabrata, dan kapang perlu dipertimbangkan pada pasien yang telah menerima flukonazol profilaksis karena spektrum aktivitasnya yang terbatas. Pasien yang dianggap beresiko tinggi infeksi kapang invasif (misalnya aspergillosis, zygomycosis [mucormycosis], fusariosis) termasuk para pasien dengan neutropenia yang bermakna selama 10-15 hari, penerima HCT alogenik, atau yang menerima steroid dosis tinggi. Pemberian antifungi empiris dimulai setelah 4 hari terapi antibiotik namun tetap demam atau yang demamnya muncul kembali, kecuali jika
pasien sedang menerima profilaksis yang tepat. Awitan infeksi Aspergillus bersifat
bimodal dan mencapai puncak pada hari ke 16 dan 96 pasca-transplantasi (Wald 1997). Untuk pasien yang menerima antifungi profilaksis, perubahan terapi ke antifungi antikapang yang berbeda kelas harus dipertimbangkan. Amfoterisin B, itrakonazol, vorikonazol, posakonazol, atau echinocandin dapat dipertimbangkan sebagai alternatif terhadap flukonazol. Penggunaan itrakonazol terbatas karena bioavailabilitas dan absorpsinya yang tidak menentu. Vorikonazol mencegah 26% infeksi fungi invasif, sedangkan amfoterisin B liposom mencegah 31%. Vorikonazol
juga berkaitan dengan lebih sedikit infeksi breakthrough (infeksi yang disebabkan
oleh organisme yang seharusnya dihambat antifungi tersebut) dibanding amfoterisin B liposom (1,9% vs 5,0%, p=0,02), namun noninferioritas vorikonazol dibanding amfoterisin B liposom tidak terbukti (Walsh 2002). Oleh karena itu amfoterisin B liposom tetap merupakan terapi yang lebih dipilih pada pasien dengan resiko tinggi infeksi kapang invasif, dan vorikonazol merupakan alternatif.
Echinocandin memiliki aktivitas terhadap Candida dan Aspergillus. Studi perbandingan
antara caspogungin dan amfoterisin B liposom sebagai terapi empiris infeksi fungi invasif pada demam neutropenia persisten menunjukkan keberhasilan, infeksi
18 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only yang tepat untuk infeksi pada demam neutropenia, namun klinisi harus waspada bahwa golongan echiocandin ini aktivitas antikapangnya terbatas.
Terapi antifungi dapat ditunda pada pasien demam neutropenia yang secara klinis stabil dan tidak ada riwayat baru sembuh dari infeksi fungi sistemik atau pada hasil pencitraan tomografi tidak terdapat bukti infeksi fungi di dada atau sinus. Untuk pasien dengan resik rendah infeksi fungi, tidak diperlukan terapi empiris antifungi (Freifeld 2011).
PNEUMOCYSTIS JIROVECI
Penerima HCT alogenik, pasien yang mendapat terapi ALL, dan pasien yang mendapat terapa alemtuzumab, steroid dosis tinggi, atau rituximab memiliki resiko
tertinggi mengalami infeksi Pneumocystis jiroveci (Martin-Garrido 2013; Bollee 2007).
Pasien yang mendapat terapi analog purin, obat yang menekan sel-T, terapi kortikosteroid jangka panjang (prednison ekivalen dengan 20 mg atau lebih selama paling sedikit 4 minggu), temozolomide plus radiasi, atau HCT autolog memiliki resiko
sedang (intermediate) untuk infeksi pneumonia P. jiroveci (PJP). Walaupun jarang
terjadi jika profilaksis telah efektif, PJP merupakan diagnosis banding untuk pasien dengan infiltrat paru-paru difus dan pasien yang tidak mendapat profilaksis PJP ketika sistem imunitas terganggu. Terapi PJP terdiri dari trimetoprim/sulfametoksazol 5 mg/kg setiap 8 jam. Jika pasien intoleransi atau alergi trimetoprim/sulfametoksazol dan pasien dengan penyakit ringan sampai sedang, atovaquone, clindamycin plus primaquine (dengan asumsi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) negatif), atau trimetoprim plus dapson (dengan asumsi G6PD negatif) dapat digunakan sebagai alternatif. Pada pasien dengan penyakit yang parah dan trimetoprim/sulfametoksazol kontraindikasi, pentamidine intravena setiap hari atau clindamycin plus primaquine dapat dipertimbangkan. Untuk pasien dengan penyakit yang terdokumentasi atau dicurigai, durasi terapi optimal selain HIV belum diteliti namun dianjurkan dilanjutkan paling sedikit 14 hari (Limper 1989). Transisi ke terapi oral dapat dipertimbangkan pada pasien yang secara klinis membaik dan dapat menoleransi obat secara oral.
INFEKSI VIRUS
19 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only hidrasi, sehingga meningkatkan resiko superinfeksi bakteri dan fungi. Demikian juga, varicella zoster virus (VZV) berkaitan dengan terganggunya imunitas seluler. Pasien beresiko tinggi mengalami reaktivasi virus laten termasuk pasien yang memerlukan imunosupresi sistemik di luar peride terapi profilaksis. Acyclovir atau valacyclovir merupakan terapi pilihan baik untuk infeksi HSV maupun VZV. Alternatifnya, famciclovir dapat digunakan jika tidak dapat digunakan acyclovir atau valacyclovir. Foscarnet hanya digunakan untuk pasien dengan infeksi ang resisten terhadap acyclovir.
Cytomegalovirus (CMV) merupakan infeksi oportunis yang paling sering pada pasien yang mendapat HCT alogenik atau terapi alemtuzumab (Boeckh 2009; Keating 2002). Cytomegalovirus sering terjadi segera setelah transplantasi, namun dapat juga terjadi beberapa waktu kemudian, terutama pada pasien dengan komplikasi penolakan (graftversus-host disease, GvH). Resiko paling tinggi jika pasien penerima HCT yang seropositif CMV sebelum transplantasi atau donornya seropositif. Aktivasi CMV dapat terjadi pada 60% pasien apapun profilaksinya (George 2010). Pasien yang seropositif CMV dan menerima transplan dari donor CMV-negatif memiliki peningkatan resiko infeksi CMV dan reaktivasi dan ketika reaktivasi penyakit dapat terjadi lebih lama dan lebih parah (Pietersma 2011; Beck 2010). Penerima HCT alogenik harus aktif dipantau untuk CMV selama 6 bulan pasca-transplantasi, sedangkan pasien yang menerima alemtuzumab dipantau paling sedikit 2 bulan setelah terapi dihentikan.
Terapi antivirus harus diberikan dengan atau tanpa gejala klinis jika pada darah pasien terdeteksi antigen atau DNA virus. Terapi dimulai pada kasus-kasus dengan antigen tunggal pada darah atau ketika 2 pemeriksaan PCR berturut-turut hasilnya positif terus. Terapi dengan valganciclovir secara oral merupakan terapi yang umum dipilih untuk mengaasi CMV pada HCT aogenik, termasuk pada GvH. Valganciclovir sama efekifnya dengan ganciclovir intravena namun dengan lebih sedikit efek yang tidak diinginkan; keduanya dapat menekan sumsum tulang dan memperpanjang neutropenia. Forcarnet hanya diberikan jika pasien intoleransi ganciclovir atau valganciclovir atau sebagai alternatif jika terjadi toksisitas ganciclovir atau valganciclovir di atas. Cidofovir biasanya digunakan jika pasien tidak merespon ketiga obat di atas atau kambuh. Nefrotoksisitas cidofovir dan foscarnet membatasi penggunaanya. Terapi diberikan paling sedikit selama 14 hari dan sampi CMV tidak lagi terdeteksi, dosis terapi biasanya diikuti dengan dosis penjagaan selama 2-3 bulan.
INFLUENZA
20 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only selama 10 hari harus segera diberikan pada pasien yang sangat menurun imunitasnya dan sampai gejala hilang. Dosis 150 mg per oral 2x/hari oseltamivir tidak menunjukkan manfaat lebih. Sebagai alternatif, zanamivir, inhalasi per oral 2x/hari sampai 10 hari. Keduanya memiliki aktivitas terhadap influenza A dan B.
VIRUS BK
Infeksi human polyomavirus tipe I, atau virus BK (BKV), biasanya tanpa gejala, pada 50% - 90% individu infeksi mulai sejak usia 10 tahun (Knowles 2006). Walaupun BKV
dapat diisolasi pada 80% penerima HCT, hanya 5%–15% yang mengalami replikasi
dengan jumah virus tinggi yang mengakibatkan BKV- hemorrhagic cystitis (PVHC) 3 -
6 minggu pasca transplantasi (Arthur 1988). Pasien mengeluh disuria, urgensi urinasi dengan hematuria, dan didiagnosis PVHC dengan replikasi BKV jumlah tinggi tanpa ada organisme lain. Walaupun fluorokuinolon dapat menghambat replikasi BKV atau menurunkan jumlah BKV pada pasien HCT, namun tidak berkaitan dengan penurunan PHCV dan dapat menyebabkan resistensi pada BKV. Cidofovir dosis rendah (hingga 1 mg/kg intravena 3x/minggu tanpa probenecid) atau regimen dosis tinggi (5 mg/kg intravena mingguan dengan probenecid) telah dievaluasi pada pasien HCT dengan PVHC namun tidak berkaitan dengan perbaikan efikasi. Saat ini tidak cukup data untuk mendukung mulai pemberian profilaksis BKV. Penatalaksanaan saat ini terutama difokuskan pada pengurangan tingkat imunosupresi.
PROFILAKSIS
ANTIBAKTERI
Terapi antibakteri fluorokuinolon biasa digunakan pada pasien dewasa dengan neutropenia yang diinduksi kemoterapi. Walaupun siprofloksasin disarankan sebagai antibakteri profilaksis pilihan, levofloksasin dapat digunakan karena cakupan spektrum yang lebih baik (Freifeld 2011). Antibakteri profilaksis saat ini tidak disarankan untuk pasien dengan resiko rendah infeksi yang diperkirakan mengalami neutropenia kurang dari 7 hari. Berbagai studi menunjukkan penurunan insiden infeksi yang terdokumentasi, infeksi dalam sirkulasi darah, dan periode demam pada pasien yang menerima antibakteri profilaksis selama stadium neutropenia tanpa demam. Hal ini berkaitan dengan adanya kekhawatiran terjadinya resistensi antibiotik, pertumbuhan fungi berlebihan, dan efek antibakteri yang tak diinginkan. Satu studi meta-analisis yang mengevaluasi 46 studi terkontrol-plasebo atau tanpa-intervensi dibandingkan dengan antibakteri profilaksis, menunjukkan bahwa
antibakteri profilaksis menurunkan mortalitas semua-sebab (RR 0,66; 95% CI, 0,55–
0,79), kematian yang berkaitan dengan infeksi (RR 0,61; 95% CI, 0,48–0,77),
kejadian demam (RR 0,80; 95% CI, 0,74–0,87) dan infeksi yang terdokumentasi
(secara klinis, RR 0,65; 95% CI, 0,56–0,76; secara mikrobiologis, RR 0,51; 95% CI,
21 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only profilaksis fluorokuinolon atau trimetoprim/sulfametoksazol, fluorokuinolon berkaitan dengan lebih sedikit kejadian tak diinginkan dan lebih sedikit resistensi (Gafter-Gvili 2012). Mayoritas pasien pada studi ini merupakan pasien beresiko tinggi infeksi akibat keganasan hematologis atau menerima HCT.
Walaupun siprofloksasin disarankan sebagai antibakteri profilaksis pilihan, levofloksasin dapat digunakan karena cakupan spektrum gram-positif yang lebih baik (Freifeld 2011). Beberapa studi mengevaluasi spektrum aktivitas levofloksasin terhadap gram negatif dan gram positif seperti streptococci. Satu studi membandingkan levofloksasin 500 mg/hari per oral dengan plasebo pada pasien
dewasa dengan ANC kurang dari 1000 sel/mm3 dan neutropenia yang diperkirakan
berlangsung lebih dari 7 hari. Levofloksasin menunjukkan lebih sedikit infeksi terdokumentasi dan bakteremia dibanding plasebo pada pasien leukemia akut maupun pasien keganasan padat atau limfoma. Mortalitas mirip pada kedua grup (Bucaneve 2005). Satu evaluasi di Jerman membandingkan moxifloxacin 400 mg/hari dengan levofloksasin 500 mg/hari antara pasien dengan keganasan hematologis (HCT alogenik dieksklusi) dan neutropenia jangka panjang (neutropenia lebih dari 5 hari).
Penyintasan (survival) tidak berbeda pada kedua grup, namun insiden bakteremia
gram-negatif (p=0,04) dan diare Clostridium difficile (p<0,001) terjadi pada grup
moxifloxacin (von Baum 2006).
Fluorokuinolon profilaksis meningkatkan resiko resistensi E. coli, MRSA, dan C. difficile
terhadap fluorokuinolon. Tidak dianjurkan untuk menambahkan antibiotik untuk memperluas cakupan spektrum terhadap gram-positif dengan antibiotik penisilin atau makrolida karena tidak memperbaiki mortalitas dan berkaitan dengan efek samping gangguan pada saluran cerna. Pasien yang menerima antibakteri profilaksis harus mendapat edukasi mengenai kemungkinan terjadinya ruam atau intoleransi saluran cerna. Oleh karena itu, fluorokuinolon profilaksis dianjurkan untuk pasien dengan resiko infeksi sedang hingga tinggi selama periode neutropenia jangka panjang (Tabel 2). Kapan antibakteri profilaksis harus dihentikan belum banyak dipelajari, namun dianjurkan untuk menghentikan antiobiotik profilaksis pada saat neutropenia berakhir atau pada saat mulai pemberian terapi antibiotik empiris pada pasien yang demam.
ANTIFUNGI
Antifungi profilaksis rutin dianjurkan pada pasien beresiko tinggi dengan neutropenia. Flukonazol, itrakonazol, posakonazol, vorikonazol, caspofungin, dan micafungin
semua dapat digunakan sebagai profilaksis tehadap infeksi Candida berdasarkan
faktor-faktor yang spesifik tiap pasien antara lain penggunaan antifungi profilaksis sebelumnya, infeksi fungi, dan toleransi. Antifungi profilaksis tidak disarankan untuk pasien beresiko rendah dengan perkiraan neutropenia kurang dari 7 hari. Flukonazol profilaksis pada pasien bersiko tinggi telah menurunkan kolonisasi ragi, menurunkan
kejadian infeksi mukosa dna invasif oleh Candida, mengurangi mortalitas pada pasien
22 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only
1995). Terapi profilaksis terhadap Aspergillus invasif disarankan diberikan pada
pasien yang berusia lebih dari 13 tahun dan menerima kemoterapi intensif untuk leukemia mieloid akut (AML) atau sindroma mielodisplastik (Freifeld 2011; Cornely 2007). Profilaksis terhadap kapang dipertimbangkan untuk pasien-pasien yang sebelumnya pernah mengalami infeksi invasif aspergillosis, diperkirakan neutropenia jangka panjang (lebih dari 14 hari), atau neutropenia berkepanjangan sebelum HCT (Freifeld 2011).
Flukonazol profilkasis bermanfaat terutama untuk pasien yang menerima HCT autolog
tetapi tidak mendapat terapi faktor stimulasi koloni (colony stimulating factor, CSF)
dan pasien dengan leukemia yang menerima regimen mukotoksik seperti cytarabine dengan antrasiklin. Pasien yang menerima flukonazol dan profilaksis juga dapat
rentan terhadap kolonisasi dan infeksi pada sirkulasi darah akibat strain Candida yang
resisten-flukonazol. Walaupun dosis rendah amfoterisin B dan intrakonazol memiliki aktivitas terhadap kapang yang invasif, tidak ada manfaat pada mortalitas jika dibandingkan terhadap flukonazol (Marr 2004, Koh 2002). Selain itu amfoterisin B bentuk aerosol mencegah aspergillosis invasif pada pasien dengan neutropenia berkepanjangan, namun data belum cukup mengenai konsistensi penghantaran obat oleh alat dan formulasinya demikian juga perbandingan aktivitasnya dengan golongan obat azol yang aktif terhadap kapang atau golongan echinocandin (Rijnders 2008). Untuk pasien yang mendapat HCT, micafungin (50 mg intravena sekali sehari) lebih baik daripada flukonazol (400 mg intravena sekali sehari) berdasarkan tidak adanya infeksi fungi baik yang dicurigai, terbukti atau yang mungkin terjadi selama terapai dan dalam 4 minggu pasca-terapi serta berkaitan dengan lebih sedikit episode aspergillosis invasif pada HCT alogenik. Penyintasan dan kejadian tak diinginkan tidak berbeda pada kedua grup (van Burik 2004). Tidak ada perbedaan yang ditunjukkan pada periode bebas-infeksi-fungi dalam 180 hari pasca-HCT alogenik antara vorikonazol (200 mg sekali sehari) dan flukonazol (400 mg per oral sekali sehari), namun kecenderungan labih baik pada vorikonazol dengan penurunan insiden infeksi
invasif Aspergillus dan Candida (Wingard 2010). Pada studi perbandingan antara
23 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only Walaupun pada brosur obat dinyatakan tidak perlu penyesuaian dosis suspensi
posakonazol jika digunakan bersamaan dengan antasida atau antagonis reseptor H2,
data tambahan menunjukkan bahwa terjadi penurunan absorpsi suspensi posakonazol jika diberikan bersama ranitidin atau metoklopramid (Dolton 2012). Suspensi posakonazol harus diberikan selama makan tinggi-lemak atau segera setelah itu (dalam 20 menit) untuk meningkatkan absorpsi dan optimasi kadar obat. Suspensi posakonazol dapat diberikan bersama suplemen nutrisi cair atau minuman berkarbonat yang bersifat asam untuk perbaikan absorpsi dan optimasi kadar obat. Pasien yang tidak dapat menoleransi obat ini tidak boleh menggunakan sebagai terapi profilaksis. Durasi profilaksis tidak diketahui untuk pasien yang beresiko tinggi, namun untuk leukemia akut antifungi profilaksis harus dihentikan dengan rekonsitusi mieloid. Pada pasien HCT alogenik antifungi profilaksis harus dilanjutkan selama periode neutropenia dan paling sedikit selama 75 hari pasca-transplantasi atau setelah terapi imunosupresan komplit (Marr 2000). Antifungi profilaksis sekunder disarankan untuk
infeksi sistemik kronik Candida atau untuk infeksi kapang (jamur yang memiliki hifa)
misalnya mucormycosis atau aspergillosis.
Pneumocystis jiroveci Pneumonia
Profilaksis dengan trimetoprim/sulfametoksazol (1 double-strength 160-mg/800-mg
tablet per oral tiap hari) harus diberikan pada pasien leukemia limfositik akut (selama terapi), penerima transplant sel hematopiesis (HCT) alogenik (paling sedikit selama 6 bulan dan selama menerima terapi imunosupresan), pada pasien yang mendapat
terapi alemtuzumab (paling sedikit selama 2 bulan setelah terapi, dan sampai CD4+ >
200 sel/mm3), dan pada pasien yang menerima terapi telozolomid plus radioterapi
(sampai sembuh dari lekopenia).
Profilaksis dapat dipertimbangkan untuk pasien yang menerima terapi analog purin
(fludarabin) (sampai CD4+ >200 sel/mm3), pada pasien yang menerima rituximab,
penerima transplan sel hematopoiesis autolog (3–6 bulan pasca-tranplantasi), dan
pasien yang menerima terapi prednison 20 mg/hari atau lebih atau obat ekivalen selama paling sedikit 4 minggu untuk neoplasma (hingga sembuh dari limfopenia). Jika diberi trimetoprim/sulfametoksazol, maka juga dapat melindungi dari infeksi
Nocardia, toksoplasmosis, dan Listeria. Jika trimetoprim/sulfametoksazol tidak dapat digunakan karena adanya toleransi atau alergi, maka dapson (cek ada tidaknya
defisiensi Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase (G6PD) sebelum mulai terapi),
inhalasi pentamidin, atau atovakuon dapat digunakan sebagai alternatif.
VIRAL
Pasien seropositif herpes simplex virus yang menjalani HCT alogenik atau autolog
24 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only Profilaksis dilanjutkan selama periode neutropenia, sampai mukositis teratasi, dan paling sedikit selama 30 hari selama HCT. Profilaksis antvirus dapat diperpanjang
untuk pasien dengan infeksi HCV yang kambuh atau pasien dengan graft-versus-host
disease atau sebagai profilaksis VZV sampai 1 tahun. Pasien HCT yang tidak menerima profilkasis antivirus yang tepat dapat mengalami reaktivasi dan infeksi hingga 80% (Meyers 1980). Pasien yang menjalani HCT alogenik, resiko HSV biasanya pada bulan pertama pasca-transplantasi namun juga dapat terjadi selama perioe imunosupresi. Walaupun acyclovir atau valacyclovir dianggap sebagai obat profilaksis pilihan, foscarnet harus diberikan jika pasien sebelumnya pernah mengalami infeksi resisten-acyclovir. Jika pasien mendapat profilaksis antivirus dengan ganciclovir atau foscarnet, obat tersebut juga melindungi pasien dari infeksi CMV, sehingga profilaksis tambahan tidak diperlukan. Pasien dengan leukemia
limfositik kronik (chronic lymphocytic leukemia, CLL) yang mendapat terapi
alemtuzumab harus mendapat profilaksis antivirus selama palin sedikit 2 bulan
setelah terapi selesai atau sampai CD4+ lebih dari 200 sel/mm3tergantung yang mana
yang dicapai terakhir.Pasien yang dianggap beresiko sedang reaktivasi HSV berdasarkan infeksi sebeumnya maka harus mendapat profilaksis HSV pada saat mengalami neutropenia akibat sitostatika.
Pasien yang menerima HCT alogenik dengan riwayat infeksi VZV akan meningkat resiko reaktivasinya jika tidak mendapat profilaksis antivirus yang adekuat. Pasien yang menerima terapi inhibitor proteasom (misalnya, bortezomib, carfilzomib) harus mendapat profilaksis antivirus selama aktif terapi Pasien yang menerima HCT alogenik yang seropositif untuk VZV sebelum tranplan harus mendapat profilaksis paling sedikit 1 tahun pasca-tranplantasi, yang kemungkinan diperpanjang durasinya jika pasien tetap mendapat imunosupresan. Antivirus yang digunakan untuk HSV juga aktif terhadap VZV. Penggunaan empiris tidak dianjurkan pada demam neutropenia dan hanya digunakan untuk terapi aktif HSV atau VZV.
Profilaksis cytomegalovirus harus dipertimbangkan pada pasien HCT alogenik atau yang mendapat terapi alemtuzumab. Pasien yang beresiko reaktivasi, berdasarkan serologi CMV sebelum tranplantasi, harus mendapat pemantauan pencegahan infeksi dan terapi jika donor atau penerima transplan hasilnya seropositif.
25 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only Jika hasil PCR tertunda dan/atau pasien neutropenia melaporkan paparan influenza, maka 5-hari terapi oseltamivir atau zanamivir dimulai apapaun riwayat vaksinasinya. Bberapa menyarankan terapi dengan durasi lebih lama (CDC 2014).
FAKTOR PERTUMBUHAN HEMATOPOIESIS
(
HEMATOPOIETIC GROWTH FACTORS
) PADA DEMAM
NEUTROPENIA
Pasien-pasien beresiko sedang hingga tinggi mengalami demam neutropenia harus
dipetimbangkan untuk mendapat profilaksis granulocyte-colony stimulating factors
(G-CSF) dan mendapat filgrastim atau pegfilgrastim kecuali jika terapi kanker bersifat simtomatis atau paliatif.
Tbo-filgrastim mendapat persetujuan label pada 2012 sebagai faktor pertumbuhan leukosit manusia dan juga dapat digunakan sebagai profilaksis untuk pasien beresiko sedang hingga tinggi mengalami demam neutropenia. Demikian juga G-CSF lainnya, pasien-pasien yang menerima terapi induksi untuk AML atau HCT harus
dipertimbangkan untuk mendapat granulocyte-macrophage-colony-stimulating factor.
Pengurangan angka kejadian, durasi, dan keparahan neutropenia yang diinduksi kemoterapi telah ditunjukkan pada berbagai kanker, namun tingginya biaya membatasi penggunaan obat-obat ini hanya untuk pasien kemoterapi. Profilaksis primer pegfilgastrim pada resiko tinggi demam neutropenia telah dievaluasi pada pasien kanker payudara dan pada kanker paru-paru sel kecil. Pada kanker payudara, penurunan bermakna secara statistik ditunjukkan pada angka kejadian demam neutropenia, angka rawat inap, dan kebutuhan antibiotika intravena (Vogel 2007). Pada kanker paru-paru sel kecil, penurunan terlihat pada demam neutropenia selama siklus pertama kemoterapi dengan antibiotika profilaksis dan G-CSF (p=0,01) namun tidak terlihat pada siklus berikutnya (Timmer-Bonte 2005). Selain itu, G-CSF memperbaiki angka kejadian pada kemoterapi dosis penuh, walaupun tidak berkaitan dengan perbaikan respon kanker atau penyintasan. Meta-analisis membuktikan efikasi G-CSF dalam menurunkan infeksi, resiko neutropenia, dan mortalitas terkait infeksi (Kuderer 2007; Sung 2007).
Nilai ANC pasien harus dievaluasi sebelum tiap siklus kemoterapi. Jika pasien mengalami demam neutropenia patients atau neutropenia membatasi dosis
kemoterapi ketika mendapat colony-stimulating factors sebelumnya, penurunan dosis
kemoterapi atau perubahan kemotrapi harus dipertimbangkan. Pasien yang mengalami demam neutropenia atau neutropenia membatasi dosis kemoterapi
namun sebelumnya tidak mendapat colony-stimulating factors, maka harus
dipertimbangkan untuk menggunakan obat golongan colony-stimulating factors. Jika
26 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only filgastrim atau sargamostim; namun jika pasien mendapat terapi profilaksis pegfilgastrim , tidak perlu G-CSF tambahan.
Pasien yang tidak sedang menerima profilaksis G-CSF prophylaxis ketika mengalami demam neutropenia dan berusia lebih dari 65 tahun (resiko tertinggi), sepsis, ANC
kurang dari 100 sel/mm3, neutropenia diperkirakan berlangsung lebih dari 10 hari,
pneumonia, infeksi jamur invasif, infeksi terdokumentasi lainnya, riwayat demam neutropenia, atau sedang di rawat inap ketika demam, harus mendapat terapi filgrastim atau sargramostim berdasarkan jenis terapinya.
Saat ini, hanya filgrastim dan sargramostim yang disetujui untuk terapi demam neutropenia, walaupun sedikit data tersedia untuk mendukung penggunaanya bersama dengan antibiotika. Sargramostim 250 mcg/m2 intravena tiap hari harus diberikan selama 14 hari pertama, dengan 7 hari tanpa Sargramostim jika terjadi
engraftment, yang termanifestasi sebagai peningkatan ANC. Siklus sargramostim tambahan mungkin diperlukan dengan dosis dan durasi yang sama. Jika setelah dua
siklus sargramostim tidak terjadi engraftment, dosis sargramostim dapat ditingkatkan
menjadi 500 mcg/m2 intravena tiap hari selama 14 hari. Jika tetap tidak terjadi
engraftment, maka kecil kemungkinan akan terjadi dengan pemberian dosis berikutnya. Efek tidak diinginkan yang paling sering dilaporkan pasien adalah nyeri tulang ringan hingga sedang, yang dapat diatasi dengan analgetik nonnarkotik. Kasus yang jarang terjadi antara lain ruptur limpa, alergi, sindroma distres pernafasan akut, perdarahan alveoli dengan hemoptisis, dan krisis sel sabit pada pasien yang memang
juga menderita penyakit sel sabit (sickle cell).
MANAJEMEN DEMAM NEUTROPENIA NONFARMAKOLOGIS
Berbagai kewaspadaan lingkungan harus dilakukan pada manajemen demam netropenia. Kebersihan tangan merupakan salah satu yang paling efektif untuk mencegah infeksi akibat perawatan selama periode neutropenia. Semua tamu dan pekerja perawat kesehatan harus mencuci tangan sebelum dan sesudah masuk ruangan pasien neutropenia. Baju pelindung atau ruang satu pasien tunggal tidak diperlukan pada kondisi neutropenia kecuali jika pasien menerima HCT. Selain itu, sebagai pencegahan infeksi jamur, pasien HCT alogenik harus dtempatkan pada ruang sendiri yang dilengkapi penyaring udara yang efektif.
Perawatan kulit selama neutropenia harus termasuk mandi dan inspeksi tempat-tempat masuknya infeksi. Kebersihan mulut dan gigi juga harus dijaga selama periode neutropenia. Jika pasien mengalami mukositis, kumur-kumur dengan air steril, normal salin, atau larutan sodium bikarbonat harus dilakukan 4 sampai 6 kali sehari.
27 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only Terakhir, pasein neutropenia harus mengikuti diet neutropenia yang terdiri dari makanan yang dimasak dengan baik dan menghindari daging untuk makan siang. Buah dan sayuran segar diperkenankan asal dicuci dengan seksama.
PENUTUP
Neutropenia yang berkaitan dengan terapi dan keganasan menyebabkan pasien beresiko mengalami infeksi. Tujuan farmasis adalah mencegah morbiditas, mortalitas dan infeksi; identifikasi dan menyediakan terapi dan profilaksis yang efektif; mencegah terapi antimikroba yang tidak perlu dan berlebihan; dan meminimalkan toksisitas sambil meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien yang menjalani kemoterapi, radiasi, dan trasnplantasi harus dievaluasi pada tiap tindakan dan dinilai apakah tindakan tersebut kemungkinan menyebabkan neutropenia.
PEDOMAN PRAKTIS
Dalam menentukan farmakoterapi optimal untuk penegahan dan manajemen infeksi pasien dengan keganasan, praktisi harus mempertimbangkan hal-hal berikut: keganasan, terapi keganasan, antisipasi durasi neutropenia, dan skor resiko
indeks Multinational Association of Supportive Care in Cancer, di mana skor 21
atau lebih berkaitan dengan resiko rendah komplikasi pada pasien kanker dengan demam neutropenia.
• Stratifikasi resiko infeksi bakteri, jamur, dan virus pada pasien dengan
neutropenia didasarkan pada keganasan, terapi keganasan, antisipasi durasi
neutropenia, dan skor resiko indeks Multinational Association of Supportive Care
in Cancer, di mana skor 21 atau lebih berkaitan dengan resiko rendah komplikasi pada pasien kanker dengan demam neutropenia.
• Pasien dengan resiko rendah memerlukan manajemen demam neutropenia
empiris dapat dirawat di rawat jalan dengan pemberian antibiotika per oral/intravena seperti siprofloksasin dosis rendah plus amoksisilin/klavulanat, monoterapi ciprofloksasin atau levofloksasin, atau siprofloksasin plus klindamisin.
• Pasien dengan resiko tinggi yang memerlukan manajemen empiris harus dirawat
inap untuk pemberian antibiotika intravena. Manajemen empiris mencakup antibiotik β-laktam anti-pseudomonas, namun harus hati-hati pada pasien yang telah sering ke lembaga kesehatan dan/atau menerima antibiotik untuk profilaksis atau empiris. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan organism yang resisten-multi-obat pada pasien dengan imunokompromi, dan pola kerentanan dan epidemiologi lokal.
• Kemungkinan adanya infeksi yang disebabkan oleh jamur perlu dipertimbangkan
28 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only
• Resiko infeksi virus rendah jika digunakan profilaksis virus yang tepat pada
pasien dengan resiko infeksi sedang sampai tinggi. Pasien HCT alogenik yang seropositif untuk VZV sebelum transplantasi harus mendapat terapi profilaksis selama paling sedikit 1 tahun dan kemungkinan lebih lama jika terapi imunosupresan dilanjutkan.
• Pasien dianggap beresiko sedang atau tinggi demam neutropenia harus
dipertimbangkan untuk mendapat terapi profilaksis granulocyte-colony
29 Badowski 2015, terj.D. Lyrawati, personal use only
DAFTAR PUSTAKA
American Cancer Society. Cancer Facts & Figures. 2014.
Arthur RR, Shah KV, Charache P, Saral R. BK and JC virus infections in recipients of bone
marrow transplants. J Infect Dis 1988;158:563-569.
Auberger J, Lass-Florl C, Ulmer H, et al. Significant alterations in the epidemiology and
treatment outcome of invasive fungal infections in patients with hematological malignancies. Int J Hematol 2008;88:508-15.
Beck JC, Wagner JE, DeFor TE, et al. Impact of cytomegalovirus (CMV) reactivation after
umbilical cord transplantation. Biol Blood Marrow Transplant 2010;16:215-22.
Boeckh M, Ljungman P. How we treat cytomegalovirus in hematopoietic cell transplant
recipients. Blood 2009;113:5711-9.
Bollee G, Sarfati C, Thiery G, et al. Clinical picture of Pneumocystis jiroveci pneumonia in
cancer patients. Chest 2007;132:1305-10.
Bowers DR, Liew YX, Lye DC, et al. Outcomes of appropriate empiric combination versus
monotherapy for Pseudomonas aeruginosa bacteremia. Antimicrob Agents Chemother 2013;57:1270-4.
Brusch JL, Weinstein L. Fever of unknown origin. Med Clin North Am 1988;72:1247-61.
Bucaneve G, Micozzi A, Menichetti F, et al. Levofloxacin to prevent bacterial infection in
patients with cancer and neutropenia. N Engl J Med 2005;353:977-87.
Centers for Disease Control and Prevention. Preventing Infections in Cancer Patients. 2014.
Centers for Disease Control and Prevention. Seasonal Influenza. 2014.
Cornely OA, Maertens J, Winston DJ, et al. Posaconazole vs. fluconazole or itraconazole
prophylaxis in patients with neutropenia. N Engl J Med 2007;356:348-359.
Dolton MJ, Ray JE, Chen SC, et al. Multicenter study of posaconazole therapeutic drug
monitoring: exposure-response relationship and factors affecting concentration. Antimicrob Agents Chemother 2012;56:5503-10
Fausel CA. Neutropenia and agranulocytosis. In: Tisdale JE, Miller DA, eds. Drug-induced Diseases: Prevention, Detection,and Management. 2nd ed. Bethesda, MD: American Society of Health-System Pharmacists; 2010: 962-971.
Freifeld AG, Bow EJ, Sepkowitz KA, et al. Clinical practice guideline for the use of