EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK
TERDIAGNOSA INFEKSI SALURAN PERNAPASAN ATAS AKUT
(ISPaA) DI PUSKESMAS KECAMATAN KUNDURAN
KABUPATEN BLORA TAHUN 2013
NASKAH PUBLIKASI
Oleh:
TESAR ZULMI ANTORO
K100110169
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK
TERDIAGNOSA INFEKSI SALURAN PERNAPASAN ATAS AKUT
(ISPaA) DI PUSKESMAS KECAMATAN KUNDURAN KABUPATEN
BLORA TAHUN 2013
THE EVALUATION OF ANTIBIOTICS USING TO PEDIATRIC
PATIENTS DIAGNOSED ACUTE UPPER RESPIRATORY TRACT
INFECTION AT HEALTH CENTERS IN KUNDURAN BLORA YEAR
2013
Tesar Zumi Antoro, dan Nurul Mutmainah Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A Yani Tromol Pos I, Pabelan Kartasura Surakarta 57102
E-mail : tesarzulant@gmail.com
ABSTRAK
Infeksi Saluran Pernapasan Akut merupakan infeksi akut yang menyerang satu atau lebih dari saluran pernapasan mulai dari hidung sampai alveoli dan peyakit ini merupakan penyakit yang penting dalam masalah kesehatan masyarakat terutama pada negara berkembang serta sangat mudah menyerang pada anak-anak yang masih memiliki sistem imunitas tubuh yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran terapi dan ketepatan pemberian antibiotik untuk terapi ISPaA pada anak di Puskesmas Kunduran Kabupaten Blora tahun 2013 ditinjau dari parameter tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis dan tepat pasien dengan standar pedoman dari WHO tahun 2003. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Pengambilan data dilakukan secara purposive sampling dengan melakukan penelusuran catatan pengobatan dalam buku registrasi pasien anak pada ruang KIA di Puskesmas Kunduran Kabupaten Blora tahun 2013 kemudian dibandingkan dengan standar pengobatan ISPaA dalam buku pedoman dari WHO tahun 2003. Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 110 sampel pada anak usia 0-12 tahun yang terdiagnosa ISPaA, 92 kasus (83,63%) menggunakan antibiotik amoksisilin dan 18 kasus (16,37%) menggunakan antibiotik kotrimoksazol, 72 kasus (65,50%) tepat indikasi, 59 kasus (53.63%) tepat obat, 110 kasus (100%) tepat pasien, 87 kasus (79,09%) tepat dosis, serta hanya 47 kasus (42,72%) yang rasional dalam penggunaan antibiotik.
Kata kunci: ISPaA, Evaluasi Pengobatan, Puskesmas, Pasien anak, Antibiotik.
ABSTRACT
Acute respiratory infection is acute infection which attacks one or more respirator from nose to alveoli and this disease is an important society’s health matter especially in the developing countries which attacks children easily since they have low body’s immunity. This research is aimed to know illustration of the treatment and the accuracy of antibiotics distribution as the treatment of pediatric patients of acute upper respiratory tract infection (ISPaA) at Health Center in Kunduran, Blora year 2013 which is observed by appropriate parameter indication, appropriate drugs, appropriate dose and appropriate patients which is using the standard from WHO year 2003. This research is categorized as qualitative and non experimental research. In obtaining the data, the researcher trace the pediatric patients’ health record in the registration book in health center Kunduran, Blora regency year 2013. The obtained data is analyzed descriptively to evaluate the rationality of antibiotics distribution for ISPaA. The research result shows that over 110 available samples in children aged up to 12 years old which are diagnosed as ISPaA sufferer, 92 cases (83.63%) use amoxicillin antibiotics, 18 cases (16.37%) use kotrimoksazol, 72 cases (65.50%) are proper indication, 59 case (53.63%) are proper drugs, 110 cases (100%) are proper patients, 87 case (79.09%) are proper dose, and 47 case (42.72%) are rational in the treatment
PENDAHULUAN
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi
pada anak. Tingkat kejadian menurut kelompok umur balita diperkirakan 0,29 kejadian per
anak setiap tahunnya di negara berkembang dan 0,05 kejadian per anak setiap tahunnya di
negara maju. Di indonesia sekitar 10 juta kejadian ISPA pada anak terjadi setiap tahunnya.
Dari semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-13 % merupakan kasus berat dan
memerlukan perawatan di rumah sakit. Kejadian batuk dan pilek pada balita diperkirakan
terjadi 2-3 kali per tahun. ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan
pasien di Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%) (KemenKes R1, 2012).
Pemilihan dan penggunaan terapi antibiotika yang tepat dan rasional akan
menentukan keberhasilan pengobatan untuk menghindari terjadinya resistensi bakteri.
Antibiotik yang digunakan secara tidak tepat dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan,
salah satunya resistensi bakteri terhadap antibiotik yang ada. Selain itu tidak tertutup
kemungkinan penggunaan obat-obat yang lain dapat meningkatkan terjadinya Drug
Related Problem (DRP). Sehubungan dengan adanya DRP, setiap farmasis harus dapat
mendeteksi, mengatasi, dan mencegah masalah-masalah yang terjadi atau akan terjadi
dalam pengelolaan dan penggunaan antibiotika (Worokarti, 2005)
Indonesia sebagai daerah tropis yang berpotensi menjadi daerah endemik dari
beberapa penyakit infeksi yang setiap saat dapat menjadi ancaman kesehatan bagi
kesehatan masyarakat. Pengaruh geografis dapat mendorong terjadinya peningkatan kasus
maupun kematian akibat ISPA, misalnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh
asap karena kebakaran hutan, gas buangan yang berasal dari sarana transportasi dan polusi
udara dalam rumah karena asap dapur, asap rokok, perubahan iklim global antara lain
perubahan suhu udara, kelembaban, dan curah hujan merupakan ancaman kesehatan
terutama pada penyakit ISPA(Daroham & Mutiatikum, 2009).
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas
atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang
berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan
mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan dan faktor
penjamu(WHO, 2007).
Infeksi saluran pernapasan atas akut (ISPaA) mengakibatkan kematian pada anak
dalam jumlah yang kecil. Di negara berkembang, otitis media merupakan penyebab
ketulian yang masih dapat dicegah dan merupakan kontributor yang signifikan bagi
dengan demam rematik akut. Walaupun kelompok usia utama yang diperhatikan untuk
deteksi penyebab faringitis karena streptokokus untuk mencegah demam rematik akut
adalah 5-15 tahun, penanganan klinis yang sama juga sesuai untuk anak yang lebih muda
karena kasus demam rematik dapat menyerang kelompok usia ini (WHO, 2003).
Penelitian yang dilakukan di Puskesmas Purwareja I Klampok Banjarnegara oleh
Hapsari dan Astuti pada tahun 2007, menunjukan bahwa penggunaan antibiotik yang
paling banyak digunakan adalah kotrimoksazol (86,7%), sedangkan amoksisilin lebih
sedikit (13,3%). Kotrimoksazol lebih banyak digunakan kerena merupakan antibiotik
pilihan pertama yang diberikan untuk penderita ISPA, sedangkan amoksisilin merupakan
antibiotik pilihan kedua yang diberikan apabila kotrimoksazol tidak ada atau habis(Hapsari
& Astuti, 2007).
Di Puskesmas Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora angka kejadian ISPaA
merupakan kejadian tertinggi (60%) dari semua kunjungan pasien yang berobat ke
puskesmas terutama pada anak, sehingga mendorong peneliti untuk melakukan evaluasi
lebih lanjut penggunaan antibiotik untuk penyakit ISPaA dengan judul “Evaluasi
Penggunaan Antibiotik pada Pasien Anak Terdiagnosa Infeksi Saluran Pernapasan Atas
Akut (ISPaA) di Puskesmas Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora Tahun 2013”.
METODE PENELITIAN
A. Kategori dan Rancangan penelitian
Jenis penelitian yang dilakikan adalan non eksperimental dengan rancangan
penelitian kualitatif. Data diperoleh secra reteopektif yaitu dengan menelusuri catatan buku
registrasi pada pasien anak terdiagnosa ISPaA di Puskesmas Kunduran tahun 2013. Data
yang diperoleh dianalisis secara deskriptif yang mengevaluasi kerasionalan penggunaan
antibiotik pada terapi ISPaA anak. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah buku
pedoman standar dari WHO tahun 2003.
B. Penentuan Jumlah Sampel
Teknik sampling dilakukan secara perposive sampling, sampel merupakan bagian
dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi tersebaut yaitu :
1. Pasien dengan diagnosa ISPaA.
2. Pasien anak (umur <12 tahun).
3. Pasien yang mendapatkan pengobatan antibiotik.
Penentuan jumlah sampel diambil dan dihitung menggunakan rumus :
Keterangan :
N = jumlah sampel minimum
p = proporsi persentase kelompok populasi pertama
q = proporsi persentase kelompok populasi pertama atau proporsi sisa (1-p)
Z½α = derajat koefisien kondensi pada tarif kepercayaan tertentu (95 atau 99%)
b = persentase perkiraan kemungkinan membuat kesalahan dalam
menentukan ukuran sampel (0,1-0,5)
maka diambil asumsi nilai p dan q sama yakni 0,5
bila p = 0,5, maka q = 1-0,5 = 0,5
N ≥ p.q ( Z½α/b )2
N = 0,5.0,5 ( Z½α/b )2
N = 90,25 ≈ 90
Jadi jumlah sampel yang diambil minimal sebanyak 90 pasien.
(Nawawi, 2005).
C. Analisa data
Semua data yang dikumpulkan selama penelitian akan dikelompokan berdasarkan
jenis antibiotik, dosis pemberian dan frekuensi pemberian antibiotik dan menghitung
persentase tepat indikasi, tepat oabt, tepapt pasien, tepat dosis serta kerasionalan terapi
secara keseluruhanya. Semua data akan dibandingkan dengan bukan pedoman standar dari
WHO tahun 2003.
Tepat indikasi = Jumlah kasus tepat indikasi x 100%
Jumlah total kasus
Tepat obat = Jumlah kasus tepat obat x 100%
Jumlah total kasus
Tepat pasien = Jumlah kasus tepat pasien x 100%
Jumlah total kasus
Tepat dosis = Jumlah kasus tepat dosis x 100%
Jumlah total kasus
Rasionalitas terapi = Jumlah kasus tepat semua x 100%
Jumlah total kasus
D. Jalanya penelitian
1. Pembuatan dan penyusunan proposal penelitian.
2. Penelusuran kasus di Puskesmas Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora
4. Penelusuran buku registrasi pasien kemudian dilakukan pengelompokan pasien yang
terdiagnosa ISPaA.
5. Pengambilan dan penelusuran data pasien yang terdiagnosa ISPaA meliputi pada buku
registrasi pasien anak di ruang KIA Puskesmas Kunduran yang meliputi nama pasien,
umur, jenis kelamin, berat badan pasien, diagnosa utama, dan obat yang diberikan (jenis
antibiotik, frekuensi, dosis, durasi). Apabila pasien pernah melakukan pengobatan lebih
dari 1 kali, maka data yang diambil adalah data terahir.
6. Evaluasi penggunaan antibiotik yang diberikan pada pasienkemudian dibandingkan
dengan menggunakan pedoman standar dari WHO tahun 2003 yang digunakan untuk
penelitian apakah sudah mencakup tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien dan tepat
dosis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Selama tahun 2013, jumlah pasien yang terdiagnosa ISPaA di Puskesmas Kunduran
Kab. Blora berjumlah 1853 pasien. Penelitian telah dilakukan dengan mengambil sampel
sebanyak 110 pasien dari kunjungan rawat jalan pasien anak di puskesmas Kunduran
Kabupaten Blora. Data yang diambil meliputi karakteristik pasien yang memenuhi syarat
inklusi (pasien anak, terdiagnosa ISPaA, mendapatkan pengobatan antibiotik) dari sampel
penelitian.
A. Karakteristik Pasien
Pengambilan sampel pada penelitian memliki berbagai karakteristik yang beragam.
Karakteristik pasien meliputi jenis kelamin, umur, diagnosa dan gejala yang dirasakan oleh
pasien.
Tabel 1. Karakteristik Pasien ISPaA Anak di Puskesmas Kunduran Kab. Blora Tahun 2013
Keterangan Jumlah Persentase (%)
1. Berdasarkan jenis kelamin
Data hasil penelitian menunjukan data jenis kelamin laki-laki dan perempuan untuk
khususnya pada anak–anak. Tabel 1 menunjukkan jumlah dan persentase pasien ISPaA
anak yang berobat rawat jalan di puskesmas Kunduran selama tahun 2013.
Berdasarkan dari hasil pada Tabel 1 jumlah pasien dengan jenis kelamin laki–laki
lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan. Jumlah pasien dengan jenis
kelamin laki–laki adalah 57 pasien (51,82%) dan pasien dengan jenis kelamin perempuan
adalah 53 pasien (48,18%).
2. Berdasarkan umur
Pasien anak merupakan pasien yang memerlukan penanganan khusus karena
penentuan dosisnya menggunakan berat badan dan juga sistem imunitas tubuh anak masih
rendah. Dari total sampel pasien anak yang diambil, masa anak balita paling banyak
persentasenya (62,73%). Hal ini dikarenakan pada masa ini tumbuh kembang sangat pesat
sehingga banyak aktivitas anak–anak yang masih memiliki daya tahan tubuh lemah
sehingga dapat dengan mudah terserang ISPaA tersebut (KemenKes RI, 2010).
3. Berdasarkan diagnosa
Penyakit ISPaA meliputi influenza, faringtis, sinusitis dan otitis media (Said, 1994).
Pada saat pengambilan data diagnosa, data diagnosa diperoleh yaitu influenza, faringitis
dan sinusitis. Untuk diagnosa yang lain seperti otitis media sebenarnya juga ditemukan
akan tetapi tidak masuk kriteria inklusi penelitian yaitu pasien anak. Dari 110 diagnosa
ISPaA anak di Puskesmas Kunduran selama tahun 2013 terdapat 38 pasien (34,54%)
terdiagnosa influenza, 71 pasien (64,55%) terdiagnosa faringitis dan hanya 1 pasien
(0,91%) terdiagnosa sinusitis.
4. Berdasarkan tanda dan gejala
Penyakit ISPaA sering disertai dengan tanda dan gejala yang cukup beragam, hasil
penelitian menunjukan bahwa demam dan batuk merupakan tanda dan gejala yang paling
sering terjadi pada penyakit ISPaA, kemudian mual muntah juga bisa menyertai penyakit
ini tetapi tidak banyak prevalensinya seperti demam dan batuk.
B. Karakteristk terapi
Penatalaksanaan terapi pada ISPaA terutama pada anak banyak menggunakan
antibiotik, tetapi ada diagnosa yang tidak perlu menggunakan antibiotik. Terapi non
antibiotik juga perlu diberikan untuk mengurangi dan menyembuhkan tanda dan gejala
yang menyertai penyakit ISPaA ini. Berikut ini adalah tabel karakteristik terapi yang
Tabel 2. Karakteristik Terapi ISPaA Anak di Puskesmas Kunduran Kab. Blora Tahun 2013
Kelas Terapi Nama Obat Jumlah Persentase (%)
Antibiotik Amoksisilin 92 kasus 83,63 %
Kotrimoksazol 18 kasus 16,37 %
Analgetik antipiretik Parasetamol 104 kasus 94,54 %
Antihistamin CTM 98 kasus 89,09 %
Kortikosteroid Deksametason 17 kasus 15,45 %
Ekspektoran Ambroksol 6 kasus 5,45 %
Glyserin Guiakolat 89 kasus 80,90 %
Obat Batuk Hitam 2 kasus 1,81 %
Antiinfluenza Fludane Sirup 5 kasus 4,54 %
Maag Antasida 14 kasus 12,72 %
Vitamin Vitamin C 7 kasus 6,36 %
Vitamin B kompleks 4 kasus 3,63 %
Recovit 3 kasus 2,72 %
1. Obat antibiotik
Penyakit ISPaA merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus atau bakteri.
Sehingga terapi yang digunakan harus dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh
bakteri maupun virus dengan memberikan obat antibiotik. Penatalaksanaan terapi ISPaA
hampir semuanya menggunakan antibiotik kecuali influenza.
Antibiotik yang digunakan di puskesmas Kunduran untuk terapi ISPaA pada anak
tahun 2013 adalah amoksisilin dan kotrimoksazol. Antibiotik yang paling sering digunakan
adalah amoksisilin (83.63%) dan kotrimoksazol (16,37%).
2. Obat non antibiotik
Obat yang digunakan pada terapi ISPaA anak tidak hanya menggunakan antibiotik
saja. Tetapi banyak obat–obat lain yang digunakan untuk mengobati penyakit penyerta atau
mengobati tanda dan gejalanya.
Penggunaan obat non antibiotik yang banyak digunakan adalah parasetamol
(94,54%). Hal ini disebabkan hampir semua pasien ISPaA anak yang berobat ke
puskesmas mengalami gejala demam tinggi dan tidak enak badan sehingga terapi
paracetamol perlu diberikan. CTM diberikan untuk terapi pendukung pada ISPaA jika
pasien mengalami bersin-bersin dan hidung gatal. Penggunaan CTM terbanyak kedua
setelah parasetamol yaitu 89,09%. Penggunaan gliserin guaikolat, ambroksol dan OBH
(obat batuk hitam) dapat untuk mengencerkan dahak pada gejala batuk pada anak.
Penggunaan antasida sebenarnya tidak ditujukan untuk terapi ISPaA, akan tetapi
pemberian antasida ditujukan untuk pasien anak yang mengalami gejala muntah sehingga
antasida diberikan untuk melindungi lambung pasien tersebut. Penggunaan deksamatason
diberikan jika pasien mengalami batuk parah dan sesak nafas. Gejala ini diindikasikan
deksametasone untuk mengatasi gejala tersebut. Vitamin berikan untuk memperkuat sistem
imunitas tubuh pada anak yang masih lemah terutama pada keadaan sakit anak sangat
mudah terserang penyakit lainnya.
C. Evaluasi antibiotik
Penyakit ISPaA disebabkan oleh bakteri atau virus kecuali untuk diagnosa
influenza. Terapi penggunaan antibiotik sangat diperlukan untuk menghambat
pertumbuhan atau membunuh bakteri penyebab ISPaA. Penggunaan antibiotik yang tepat
dan rasional dapat menentukan keberhasilan kualitas terapi dan ketidaktepatan pemberian
antibiotik dapat menimbulkan efek samping terutama resistensi yang akhir–akhir ini sangat
banyak kasus tentang resistensi antibiotik karena penggunaanya yang kurang tepat (Warsa
et al., 1990). Berikut ini evaluasi penggunaan antibiotik yang mencakup tepat indikasi,
tepat obat, tepat pasien, tepat dosis dan tepat secara keseluruhanya dengan dibandingkan
dengan pedoman standar dari WHO tahun 2003 yang dipakai.
1. Tepat indikasi
Evauasi pertama yaitu tepat indikasi. Tepat indikasi adalah kesesuaian
penatalaksanaan terhadap indikasi pada penyakit ISPaA.
Tabel 3. Perbandingan Penatalaksanaan vs Standar WHO Tahun 2003 Berdasarkan Indikasi pada Terapi ISPaA Anak di Puskesmas Kunduran Tahun 2013
Indikasi Penatalaksanaan Standar WHO Jumlah
Faringitis Antibiotik Antibiotik 71 kasus
Sinusitis Antibiotik Antibiotik 1 kasus
Influenza Antibiotik Tidak perlu antibiotik 38 kasus
Dari hasil pengambilan data didapatkan hasil 72 pasien (65,50%) tepat indikasi dan
38 pasien (34.50%) tidak tepat indikasi. Dari 72 pasien yang tepat indikasi tersebut adalah
pasien dengan diagnosa faringitis dan sinusitis kemudian penatalaksanaan terapinya
menggunakan antibiotik. Terdapat 38 pasien yang tidak tepat indikasi karena diagnosa
pasien yaitu infuenza. Penatalaksanaan influenza tidak menggunakan antibiotik tetapi
cukup diberikan paracetamol (WHO, 2003). Influenza juga bersifat sembuh sendiri
(self-limiting) sehingga penggunaan antibiotik tidak diperlukan untuk terapi influenza. Akan
tetapi petugas kesehatan di Puskesmas menyatakan bahwa pemberian antibiotik pada
influenza sering di berikan jika pasien anak mengalami gelaja batuk parah, demam tinggi
sehingga jika tidak diatasi dengan antibiotik bisa menjadi infeksi saluran pernapasan
bawah dan juga pasien anak yang datang ke puskesmas dengan gejala batuk pilek banyak
yang datang kembali ke Puskesmas karena pengobatan sebelumnya tidak diberikan
2. Tepat obat
Pemilihan obat yang tepat dapat mempengaruhi keberhasilan terapi. Berikut ini
adalah tabel jumlah ketepatan pemberian obat berdasarkan indikasi yang dibandingkan
dengan standar dari WHO tahun 2003.
Tabel 4. Perbandingan Pemberian Obat vs Standar WHO Tahun 2003 Berdasarkan Indikasi pada Terapi ISPaA Anak di Puskesmas Kunduran Tahun 2013
Indikasi Pemberian WHO Jumlah Keterangan
Faringitis Amoksisilin Amoksisilin, Penicilin G, Penicilin V 58 Tepat
Faringitis Kotrimoksazol 13 Tidak tepat
Sinusitis Amoksisilin Amoksisilin, Kotrimoksazol, Eritomisin 1 Tepat
Influenza Amoksisilin Tidak menggunakan antibiotik 33 Tidak tepat
Influenza kotrimoksazol 5 Tidak tepat
Pada terapi ISPaA anak ini terdapat 59 kasus (53,63%) yang sudah tepat obat dan
51 kasus (46,37%) yang tidak tepat obat. Hal yang mempengaruhi ketidaktepatan obat
adalah penggunaan antibiotik pada diagnosa influenza dan pemberian kotrimoksazol pada
diagnosa faringitis. Kotrimoksazol tidak dianjurkan karena tidak efektif pada faringitis
yang disebabkan oleh streptokokus (WHO,2003).
3. Tepat pasien
Penatalaksanaan ISPaA pada anak pada penelitian ini didasarkan pada pedoman
WHO tahun 2003. Pemberian antibiotik yang meliputi amoksisilin dan kotrimoksazol tidak
ada kontraindikasi dengan kondisi pasien pada anak. Kotrimoksazol sebaiknya dihindari
pemakaiannya pada bayi dengan usia kurang dari 6 minggu karena bisa menimbulkan
adanya resiko kernikterus yaitu kondisi dimana peningkatan bilirubin (ikterus) yang
menyebabkan kerusakan pada otak. Kotrimoksazol juga dikontraindikasikan dengan pasien
yang mengalami gagal ginjal dan kerusakan fungsi hati. Sedangkan amoksisilin memiliki
kontraindikasi yaitu hipersensitivitas dengan penilisin (Badan POM RI, 2008). Dari hasil
data yang didapatkan dengan melihat catatan kondisi pasien yang berobat, sehingga untuk
hasil parameter ketepatan pasien didapatkan hasil tepat semua (100%) karena tidak adanya
kontraindikasi obat dengan kondisi pasien ISPaA yang berobat ke Puskesmas Kunduran
selama tahun 2013.
4. Tepat dosis
Salah satu faktor yang penting dalam keberhasilan terapi infeksi menggunakan
antibiotik adalah dosis. Dosis merupakan faktor yang penting dalam penentuan kualitas
terapi. Jika dosisyang diberikan berlebihan akan dapat mengakibatkan toksisitas dan efek
samping yang lebih besar dan jika dosis yang diberikan kurang maka proses penyembuhan
Dosis yang didapatkan dari hasil penelitian dibandingkan dengan dosis standar
yang terdapat pada pedoman dari WHO tahun 2003. Penentuan dosis pada anak perlu
diperhatikan karena penentuan dosis didasarkan pada berat badan anak tidak pada umur
seperti orang dewasa, sehingga untuk hasil ketepatan dosis masih cukup banyak yang
kurang tepat, hal itu dapat terjadi karena kondisi pasien yang berbeda–beda sehingga
petugas medis memberikan dosis yang sesuai dengan keadaan dan kondisi pasien tersebut.
Analisis yang dilakukan pada parameter tepat dosis adalah dengan cara
membandingkan dosis pemberian obat, frekuensi serta lama pemberian dengan standar dari
WHO tahun 2003. Untuk lama pemberian antibiotik didapatkan hasil tidak tepat semua
karena pemberian antibiotik hanya 3-4 hari saja sedangkan pada pedoman standar 5-10
hari. Hal ini perlu menjadi perhatian khusus karena kebijakan Puskesmas hanya
memberikan obat yang lama pemberianya tidak tepat karena terbatasnya ketersediaan obat
dan untuk pengontrolan pengeluaran obat di puskesmas sehingga pemberian obat hanya
untuk 3-4 hari saja. Pemberian antibiotik yang terlalu singkat bisa menyebaban resistensi,
akan tetapi petugas medis di Puskesmas memberikan informasi kepada pasien untuk
datang berobat kembali atau kontrol jika selama 3-4 hari belum sembuh dari penyakitnya.
Analisis pemberian dosis dan frekuensi antibiotik yang diberikan dibandingkan
dengan standar dari WHO tahun 2003. Jumlah responden pemberian dosis pada terapi ISPaA anak di Puskesmas Kunduran tahun 2013 berdasarkan parameter tepat dosis dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah Responden Pemberian Antibiotik pada Terapi ISPaA Anak di Puskesmas Kunduran Tahun 2013 Berdasarkan Parameter Tepat Dosis
Nama obat Dosis Pemberian Dosis Standar
Jumlah Persentase (%) Keterangan No Kasus
Amoksisilin Sirup 125 mg
(3x1)
125 mg (3x1)
12 10,91 % Tepat dosis 20,21,27,28,78,82
,83,91,95,96,97,99
Amoksisilin Sirup 250 mg
(3x1)
Amoksisilin 125 mg
(3x1)
125 mg (3x1)
26 23,63 % Tepat dosis 8,9,16,34,35,36,37,39,40 1,50,52,55,57,58,61,62,6 71,72,74,75,76,87,89,
94
Amoksisilin 250 mg
(3x1)
250 mg (3x1)
18 16,37 % Tepat dosis 7,10,51,56,68,70,88,93,1 01,102,103,104,105,106, 107, 108,109,110
Kotrimoksazol 360 mg
(2x1)
360 mg (2x1)
1 0,90 % Tepat dosis 59
Kotrimoksazol Sirup 240 mg (2x1)
240 mg (2x1)
5 4,54 % Tepat dosis 18,60,85,86,92
Kotrimoksazol Sirup 360 mg (2x1)
Amoksisilin Sirup 62,5 mg
(3x1)
125 mg (3x1)
4 3,63 % Dosis kurang 13,24,42,67
Amoksisilin Sirup 125 mg
(3x1)
250 mg (3x1)
10 9,10 % Dosis kurang 2,5,12,19,25,43,
46,64,77,91
Amoksisilin 250 mg
(3x1)
125 mg (3x1)
6 5,46 % Dosis berlebih 6,15,38,49,53,73
Kotrimoksazol Sirup 240 mg (2x1)
360 mg (2x1)
3 2,72 % Dosis kurang 66,80,81
Hasil analisis menunjukan terdapat 87 kasus (79,09%) sudah tepat dosis dan 23
kasus (20,91%) tidak tepat dosis. Dari sejumlah 23 kasus yang tidak tepat dosis, sebanyak
17 kasus pemberian dosisnya kurang (Underdose) sehingga proses terapi tidak akan
maksimal dan 6 kasus pemberian dosisnya berlebihan (Overdose) yang bisa berdampak
toksisitas pada tubuh. Untuk durasi penggunaan antibiotik didapatkan hasil bahwa semua
data tidak tepat karena pemberian antibiotik hanya 3-4 hari saja dan standar dari WHO
selama 5-10 hari. Tetapi pasien bisa datang kembali atau kontrol jika selama 3-4 hari
belum sembuh dan terapi antibiotik bisa dilanjutkan kembali.
5. Rasionalitas terapi
Parameter ini mencakup dari semua aspek parameter yang di analisis yaitu tepat
indikasi, tepat obat, tepat dosis dan tepat pasien. Tabel 8 menunjukan hasil resionalitas
terapi yang mencakup tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien dan tepat dosis.
Tabel 8. Jumlah Responden Kerasionalan Terapi pada ISPaA Anak di Puskesmas Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora Tahun 2013
Keterangan No kasus
Faringitis Amoksisilin sirup
125 mg (3x1)
6 5,46 % Rasional 27,28,78,82,83,95,
Faringitis Amoksisilin Faringitis Amoksisilin 125 mg
(3x1)
18 16,36 % Rasional 34,35,37,39,40,41,
50,52,55,57,58,61, 72,74,75,76,89,94, Faringitis Amoksisilin 250 mg
(3x1)
14 12,72 % Rasional 7,10,26,51,56,70,
88,93,102,103,104, 107,108,109
Sinusitis Amoksisilin 250 mg
(3x1)
1 0,90 % Rasional 106
47 42,72 %
Hasil analisis menunjukan bahwa sebanyak 47 kasus (42,72%) sudah rasional
dalam terapinya berdasarkan parameter tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien dan tepat
dosis.
KESIMPUAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Antibiotik yang paling banyak digunakan adalah amoksisilin sebanyak 92 kasus
(83,63%) dan kotrimoksazol sebanyak 18 kasus (16,37%).
2. Hasil penelitian dari 110 kasus anak terdiagnosa ISPaA didapatkan 47 kasus
(42,72%) sudah rasional dalam terapi, 72 kasus (65,50%) tepat indikasi, 59 kasus
B. Saran
Sebagai pusat pelayanan kesehatan masyarakat sebaiknya untuk penulisan pada
buku registrasi pasien khususnya pada pasien anak lebih diperjelas lagi data–data pasien
yang berobat sehingga lebih mudah untuk mengontrol jika suatu saat terjadi kesalahan
yang tidak diinginkan. Sebaiknya penelitian evaluasi penggunaan antibiotik dilanjutkan
karena penggunaan antibiotik pada saat ini sangat banyak sehingga dapat terjadi efek
samping dari antibiotik yang lebih beragam dan menekan angka resistensi dari antibiotik
yang semakin meluas dan masih banyak juga kelemahan dalam penelitian ini yaitu berupa
tidak lengkapnya data pengobatan serta bakteri penyebabnya tidak diketahui sehingga
perlu dilakukan penelitian yang serupa dengan penelitian ini.
DAFTAR ACUAN
Badan POM RI, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia 2008, Jakarta,Sagung Seto, 362,409-410
Daroham, N.E.P. & Mutiatikum, 2009, Penyakit ISPA Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskerdas) di Indonesia, Puslitbang Biomedis dan Farmasi Jakarta, 50-55
DepKes RI, 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan, Jakarta, Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Hapsari, I. & Astuti, I.W.B., 2007, Pola Penggunaan Antibiotika pada Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pneumonia Balita pada Rawat Jalan Puskesmas Purwareja I klampok Kabupaten Banjarnegara Tahun 2004, Pharmacy, 05, 49-56
KemenKes RI, 2010, Pedoman Kader Seri Kesehatan Anak, Jakarta, Direktorat Bina Kesehatan Anak
KemenKes RI, 2012, Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut, Jakarta, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W.I. & Setiowulan, W., 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta, Media Aesculapicus
Nawawi, H., 2005, Metode Bidang Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press
Warsa, U.C., Josodiwondo, S., Rahim, A & Santoso, A.U.S., 1990, Penggunaan Antibiotik Secara Rasional dan Masalah Resistensi Kuman, Kumpulan Makalah Seminar : Pemilihan dan Pemakaian Antibiotik Dalam Klinik. Yogyakarta, Yayasan Melati Nusantara FK UGM
WHO, 2007, Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
Jenewa, WHO Interim Guidline.