• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Stoner (1986) motivasi adalah hal yang menyebabkan dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Stoner (1986) motivasi adalah hal yang menyebabkan dan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

10 2.1. Motivasi Kerja Perawat

Menurut Stoner (1986) motivasi adalah hal yang menyebabkan dan mendukung perilaku seseorang. Motivasi merupakan unsur yang sangat penting dalam memacu karyawan agar berbuat lebih baik dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Tanpa adanya motivasi seorang karyawan tidak akan bekerja secara optimal karena ketiadaan dorongan bagi dirinya dalam melaksanakan berbagai tugas yang akan dibebankan kepadanya.

Menurut Robbins (1996), motivasi kerja sebagai suatu kerelaan untuk berusaha seoptimal mungkin dalam pencapaian tujuan organisasi yang dipengaruhi oleh kemampuan usaha untuk memuaskan beberapa kebutuhan individu. Sementara Gibson (1987) menyebutkan motivasi kerja merupakan kekuatan yang mendorong seseorang karyawan yang menimbulkan dan mengarahkan perilaku.

Jadi dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja perawat adalah segala sesuatu yang mendorong perawat untuk menunjukkan kesediaannya yang tinggi untuk berupaya mencapai tujuan pelayanan rumah sakit dalam melakukan pelayanan asuhan keperawatan di rumah sakit.

(2)

2.2. Determinan Motivasi Kerja Perawat

2.2.1. Hubungan Karakteristik Individu dengan Motivasi Kerja Perawat

Karakteristik individu dalam penelitian ini adalah segala sesuatu ciri yang melekat pada individu baik ciri biologis maupun ciri sosio demografinya. Adapun variabel yang termasuk dalam karakteristik individu tersebut adalah umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, dan masa kerja.

Umur adalah jumlah tahun hidup perawat sejak lahir sampai ulang tahun terakhir yang dihitung berdasarkan tahun. Umumnya motivasi kerja meningkat sejalan dengan peningkatan usia pekerja. Wexley (1977), mengemukakan bahwa pekerja usia 20-30 tahun mempunyai motivasi kerja relatif lebih rendah dibandingkan pekerja yang lebih tua, karena pekerja lebih muda belum berpijak pada realitas, sehingga seringkali mengalami kekecewaan dalam bekerja. Hal ini menyebabkan rendahnya motivasi kerja dan kepuasan kerja. Menurut Siagian (1995), semakin lanjut usia seseorang semakin meningkat pula kedewasaan tehnisnya, demikian pula psikologis serta menunjukkan kematangan jiwa. Usia yang semakin meningkat akan meningkat pula kebijaksanaan kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan, berpikir rasional, mengendalikan emosi, dan bertoleransi terhadap pandangan orang lain, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan motivasinya

Jenis kelamin adalah laki-laki dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin dapat berdampak terhadap perbedaan motivasi kerja perawat. Shye (1991, dalam Ilyas, 1999) mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan produktivitas kerja antara perawat wanita dan perawat pria. Walupun demikian jenis kelamin perlu diperhatikan karena

(3)

sebahagian besar tenaga keperawatan berjenis kelamin wanita dan sebagian kecil berjenis kelamin pria. Pada pria dengan beban keluarga tinggi akan meningkatkan jam kerja perminggu, sebaliknya wanita dengan beban keluarga tinggi akan mengurangi jam kerja perminggu.

Status perkawinan seseorang turut pula memberikan gambaran tentang cara, dan tehnik yang sesuai untuk digunakan bagi perawat yang telah berkeluarga untuk melakukan pekerjaan diluar rumah dibandingkan dengan perawat yang tidak atau belum berkeluarga. Hal tersebut mengindikasikan bahwa karyawan yang telah berkeluarga memiliki potensi untuk memperlihatkan motivasi yang berbeda daripada yang belum berkeluarga.

Pekerja yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi akan mewujutkan motivasi kerja yang berbeda dengan pendidikan yang lebih rendah. Menurut Siagian (1995) mengatakan bahwa latar belakang pendidikan mempengaruhi motivasi kerja seseorang. Tenaga keperawatan yang berpendidikan tinggi motivasinya akan lebih baik karena telah memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas dibandingkan dengan perawat yang berpendidikan rendah. Perawat dengan pendidikan lebih tinggi diharapkan dapat memberikan sumbangsih berupa saran-saran yang bermanfaat terhadap manajer keperawatan dalam upayanya meningkatkan motivasi perawat. Hal serupa dikemukakan oleh Notoadmodjo (1993) bahwa melalui pendidikan seseorang dapat meningkatkan kematangan intelektual sehingga dapat membuat keputusan dalam bertindak. Simanjuntak (1985) mengatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin tinggi produktivitas kerjanya.

(4)

Masa kerja adalah lamanya seseorang bekerja pada suatu organisasi. Setiap organisasi pelayanan kesehatan menginginkan turn overnya rendah dalam arti tenaga/ karyawan aktif yang lebih lama bekerja di rumah sakit tersebut tidak pindah ke rumah sakit lain, sebab dengan turn over yang tinggi menggambarkan kinerja rumah sakit tersebut. Siagian (1995), mengatakan bahwa semakin banyak tenaga aktif yang meninggalkan organisasi dan pindah keorganisasi lain mencerminkan ketidak beresan organisasi tersebut. Lebih lanjut Siagian (1995) mengatakan bahwa semakin lama seseorang bekerja dalam suatu organisasi maka semakin tinggi motivasi kerjanya.

2.2.2. Hubungan Karakteristik Pekerjaan dengan Motivasi Kerja Perawat Karakteristik pekerjaan adalah segala sesuatu ciri dan sifat pekerjaan yang dilakukan individu dalam suatu organisasi. Karakteristik pekerjaan dalam penelitian ini mencakup tanggung jawab, variasi tugas, dan beban kerja. Ketiga variabel tersebut diduga berpengaruh terhadap motivasi kerja perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien di rumah sakit.

Tanggung jawab adalah perilaku dan sikap untuk melakukan tugas sesuai dengan harapan yang telah diberikan oleh atasan. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan perawat memikul tanggung jawab untuk memperhatikan hak pasien seperti yang dijelaskan pada ayat 2 dan 4 pasal 53 Undang-Undang Kesehatan No 23 tahun1992. Menurut Ilyas (1999) bahwa tanggung jawab merupakan kesanggupan seorang personel dalam menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan baik, tepat waktu serta berani mengambil resiko untuk keputusan yang dibuat atau

(5)

tindakan yang dilakukan. Suatu tanggung jawab dalam melaksanakan tindakan akan memperlihatkan ciri-ciri sesuai yang diuraikan Ilyas (1999) sebagai berikut: (a) Dapat menyelesaikan tugas dengan baik, (b) berada di tempat tugas dalam semua keadaan yang bagaimanapun, (c) mengutamakan kepentingan dinas dari kepentingan diri dan golongan, (d) tidak berusaha melemparkan kesalahan yang dibuatnya kepada orang lain, dan (e) berani memikul resiko dari keputusan yang dibuatnya.

Faktor motivator biasanya dapat memberikan pengaruh yang mendorong prestasi dan dapat menambah kepuasan kerja. Sedangkan faktor-faktor hygiene lebih berfungsi sebagai pencegahan kemerosotan semangat kerja dan dapat menghindarkan kekecewaan yang menekan produktifitas. Kedua kondisi ini tidak boleh dipisah-pisahkan, jika produktifitas akan dipertahankan pada tingkat yang tinggi maka pekerjaan itu sendiri dijadikan sumber kepuasan. Diantara faktor-faktor motivator seperti penghargaan, tanggung jawab, prestasi dan pertumbuhan adalah hal-hal memberi perasaan kesempurnaan bagi individu dalam suatu pekerjaan. Kemudian pekerjaan yang menentang merupakan hal penting untuk motivasi kerja, bila pekerjaan yang dilakukan kurang menentang seseorang maka motivasi akan rendah. Dari faktor hygiene yaitu gaji, jaminan kerja dan kondisi kerja hal yang mutlak harus dipenuhi. Jika hal ini tidak memadai akan berakibat buruk terhadap sikap seseorang. Faktor hygiene lainnya yang tidak boleh diabaikan adalah supervisi terutama untuk pelaksanaan yang pekerjaannya berulang-ulang (rutin). Mereka ini biasanya lebih peka terhadap bimbingan yang kurang baik. Selanjutnya hubungan

(6)

antar manusia dan status dalam organisasi dapat memberikan semangat kerja kepada anggota organisasi.

Selanjutnya variasi tugas adalah jumlah jenis kegiatan lain yang dilakukan oleh perawat diluar tugas yang berhubungan dengan kegiatan proses keperawatan. Gillies (1994) menyatakan bahwa variasi tugas atau jenis kegiatan yang meliputi kegiatan perawatan langsung dan tindakan perawatan tidak langsung yang dilakukan oleh perawat dapat meningkatkan kecakapan perawat dalam menerapakan proses keperawatan.

Beban kerja adalah upaya merinci komponen dan target volume pekerjaan dalam satuan waktu dan satuan hasil tertentu (Hasibuan, 1996). Beban kerja perawat merupakan hal yang penting yang harus diketahui oleh pimpinan atau manajer keperawatan dan perawat pelaksana dalam melaksanakan tindakan keperawatan. Hal ini, karena mempunyai kaitan erat dengan bebagai segi organisasi. Beban kerja memeliki beberapa komponen menurut Gillies (1994) yang meliputi:

a. Jumlah pasien yang dirawat perhari atau perbulan atau pertahun. b. Kondisi atau tingkat ketergantungan pasien.

c. Rata-rata hari perawatan pasien.

d. Pengukuran/ jenis kegiatan tindakan keperawatan langsung dan tindakan kepe- rawatan tidak langsung.

(7)

f. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk melaksanakan masing-masing kegiatan tindakan keperawatan langsung dan kegiatan tindakan keperawatan tidak langsung.

2.2.3. Hubungan Karakteristik Organisasi dengan Motivasi Kerja Perawat Karakteristik organisasi adalah segala sesuatu ciri dari organisasi yang berhubungan dengan suasana kerja yang terdiri dari supervisi, insentif, pelatihan dan fasilitas kerja.

Menurut Azwar (1996), supervisi adalah adalah upaya yang dilakukan manajemen terhadap pelaksanaan pekerjaan bawahan melalui pengamatan secara langsung dan berkala sebagai informasi untuk evaluasi dan perbaikan.

Tujuan supervisi adalah untuk melakukan orientasi kerja, melatih kerja, memimpin, memberi arahan dan mengembangkan kemampuan personil. Sedangkan fungsinya untuk mengatur dan mengorganisir proses atau mekanisme pelaksanaan kebijaksanaan diskripsi dan standar kerja. Supervisi dilakukan langsung pada kegiatan yang sedang berlangsung, pada supervisi modern diharapkan supervisor terlibat dalam kegiatan agar pengarahan dan pemberian petunjuk tidak dirasakan sebagai perintah. Umpan balik dan perbaikan dapat dilakukan saat supervisi. Supervisi dapat juga dilakukan secara tidak langsung yaitu melalui laporan baik tertulis maupun lisan, supervisor tidak melihat langsung apa yang terjadi di lapangan

(8)

sehingga mungkin terjadi kesenjangan fakta. Umpan balik dapat diberikan secara tertulis. Menurut Azwar (1996), manfaat supervisi adalah:

a) Dapat lebih meningkatkan efektivitas kerja.

b) Peningkatan efektivitas kerja erat kaitannya dengan makin meningkatkan pengetahuan dan keterampilan staf, serta makin terbinanya hubungan dan suasana kerja yang lebih harmonis antara atasan dengan bawahan.

c) Dapat lebih meningkatkan efisiensi kerja.

d) Peningkatan efisiensi kerja erat hubungannya dengan makin berkurangnya kesalahan yang dilakukan oleh bawahan, sehingga pemakaian sumber daya yang sia-sia akan dapat dicegah.

Sedangkan insentif menurut Ilyas (2000) yang mengutip pendapat siagian (1993) bahwa imbalan atau insentif erat kaitannya dengan prestasi kerja seorang karyawan. Imbalan merupakan salah satu faktor ekternal yang mempengaruhi motivasi seseorang, disamping faktor ekternal lainnya, seperti jenis dan sifat pekerjaan, kelompok kerja dimana seseorang bergabung dalam organisasi tempat bekerja dan situsi lingkungan pada umumnya.

Siagian (1995) berpendapat bahwa insentif erat kaitannya dengan prestasi kerja seorang karyawan. Insentif merupakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi motivasi seseorang, disamping faktor lainnya, seperti jenis dan sifat pekerjaan, kelompok kerja dimana seseorang bergabung dalam organisasi tempat bekerja dan situasi lingkungan pada umumnya.

(9)

Seorang pegawai/karyawan yang bekerja disebuah organisasi, baik diperusahaan swasta maupun instansi pemerintah, tentunya berharap akan memperoleh penghasilan yang cukup guna memenuhi kebutuhannya yang paling dasar atau primer yaitu kebutuhan fisiologis atau kebutuhan untuk hidup terus seperti kebutuhan akan sandang, pangan dan perumahan maupun untuk berprestasi, afiliasi, kekuatan atau aktualisasi diri. Oleh karena itu penghasilan yang dikenal dengan Imbalan/kompensasi yang menjadi hak setiap karyawan, menjadi faktor yang sangat penting dalam kehidupan individu, sebagaimana pendapat para psikolog yang menyatakan bahwa individu mempunyai banyak kebutuhan, tetapi hanya sebagian yang dapat secara langsung dipuaskan dengan uang, sedangkan kebutuhan lainnya dapat dipuaskan secara tidak langsung dengan uang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1996, imbalan mencakup semua pengeluaran yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk pegawainya dan diterima atau dinikmati oleh pekerja baik secara langsung, rutin atau tidak langsung.

Insentif merupakan motivator paling penting, untuk itu suatu organisasi dituntut untuk dapat menetapkan kebijakan imbalan/kompensasi yang paling tepat, agar kinerja petugas dapat terus ditingkatkan sekaligus untuk mencapai tujuan dari organisasi.

Stoner (1986), menyatakan bahwa insentfi merupakan faktor eksternal yang dapat meningkatkan motivasi kerja. Siagian (1995) berpendapat bahwa imbalan erat kaitannya dengan prestasi kerja seseorang. Menurut Mc Celland dalam As’ad (2000) menyatakan bahwa selain insentif mempengaruhi motivasi kerja, motif ini juga

(10)

merupakan ketakutan individu akan kegagalan. Notoadmodjo (1993) melalui achieve dimana incentive baik material maupun non material akan mempengaruhi motivasi kerja seseorang.

Selanjutnya variabel yang termasuk dalam indikator karakteristik organisasi adalah pelatihan. Menurut As’ad (2000), menyatakan bahwa pelatihan dimaksud untuk mempertinggi motivasi kerja karyawan dengan mengembangkan cara-cara berpikir dan bertindak yang tepat serta pengetahuan tentang tugas pekerjaan. Dengan perkatan lain pelatihan dan pengembangan dapat menambah keterampilan kerja karyawan.

Stoner (1993) mengatakan bahwa pelatihan dimaksudkan untuk mempertahankan dan memperbaiki prestasi kerja yang sedang berjalan. Menurut Green (1980) pelatihan merupakan faktor pemungkin (Enabling factor) yaitu yang memungkinkan petugas dapat bekerja dengan baik. Selain pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pelatihan, Green menegaskan bahwa diperlukan sarana yang memungkinkan keterampilan dilaksanakan. Notoatmodjo (1993) mengatakan bahwa pelatihan juga dapat dipandang sebagai salah satu metoda peningkatan mutu pegawai (Staf Development). Selanjutnya Notoatmodjo (1993) mengatakan bahwa pelatihan adalah salah satu bentuk proses pendidikan, dengan melalui pelatihan sasaran belajar akan memperoleh pengalaman yang akhirnya akan menimbulkan perubahan perilaku. Pelatihan mempunyai dua tujuan utama yaitu :

- Untuk meningkatkan keterampilan pekerja agar dapat menutup kesenjangan antara kecapan atau kemampuan pekerja dengan permitaan jabatan.

(11)

- Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja dari pekerja dalam mencapai tujuan organisasi.

Selain itu faktor motivator yang termasuk dalam karakteristik organisasi adalah fasilitas. Fasilitas dalam penelitian ini ketersediaan sarana dan pra sarana yang mendukung pelaksanaan asuhan keperawatan di rumah sakit.

Azwar (1996) mengatakan bahwa sarana alat merupakan suatu unsur dari organisasi untuk mencapai suatu tujuan, sarana termasuk salah satunya adalah unsur-unsur pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai penyelenggaraan pelayanan.

Menurut Timpe (1992) menyebutkan bahwa sarana/fasilitas kerja berhubungan dengan kinerja dan motivasi kerja, dimana sarana diperlukan agar keterampilan petugas bisa dilaksanakan sehingga motivasi petugas meningkat. Selanjutnya juga dikemukakan bahwa penempatan sejumlah tenaga perawat dalam memberikan asuhan keperawatan perlu dikaitkan dengan rencana penggunaan sarana atau peralatan. Selanjutnya Green (1980) mengatakan bahwa diperlukan sarana dan fasilitas kerja yang memungkinkan keterampilan dilaksanakan. Menurut Simanjuntak (1985), fasilitas/ sarana kerja diperlukan agar keterampilan yang didapat petugas bisa dilaksanakan sehingga kinerja dan motivasi petugas meningkat.

(12)

2.3. Pelaksanaan Asuhan Keperawatan

Proses keperawatan adalah sesuatu yang disengaja, dengan pendekatan pemecahan masalah untuk menemukan kebutuhan keperawatan pasien dalam pelayanan kesehatan. Meliputi pengkajian (pengumpulan data), diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi, serta menggunakan modifikasi mekanisme umpan balik untuk meningkatkan upaya pemecahan masalah.

Sedangkan Clark (1992), mendefinisikan proses keperawatan sebagai suatu metode/ proses berpikir yang terorganisir untuk membuat suatu keputusan klinis dan pemecahan masalah. Demikian juga dengan Yura dan Walsh (1988), menyatakan bahwa proses keperawatan adalah tindakan yang berurutan, dilakukan secara sistematik untuk menentukan masalah klien, membuat perencanaan untuk mengatasinya, melaksanakan rencana tersebut atau menugaskan orang lain untuk melaksanakannya dan mengevaluasi keberhasilan secara efektif terhadap masalah yang diatasi.

Adapun tahap-tahap proses keperawatan yang dilakukan oleh perawat di rumah sakit mencakup beberap hal antara lain:

(1) Pengkajian.

Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang respon klien agar dapat mengidentifikasi dan mengenali masalah atau kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien. Area yang termasuk respon klien antara lain kegiatan sehari-hari, emosional,

(13)

sosio-ekonomi, kultural dan spiritual (Yura dan Wals, 1988). Menurut Kozier et al. (1995) proses pengkajian terdiri atas empat kegiatan, yaitu: pengumpulan data, organisasi data, validasi data, dan pencatatan data.

(2) Diagnosa Keperawatan.

Diagnosa keperawatan adalah struktur dan proses. Struktur diagnosa keperawatan tergantung pada tipenya, antara lain:

a) Diagnosa keperawatan actual (Actual Nursing Diagnoses). Diagnosa keperawatan aktual menyajikan keadaan yang secara klinis telah divalidasi melalui batasan karakteristik mayor yang dapat diidentifikasi. Tipe dari diagnosa keperawatan ini mempunyai empat komponen yaitu label, definisi, batasan karakteristik, dan faktor-faktor yang berhubungan (Craven & Hirnle, 2000; Carpenito, 1997).

b) Diagnosa keperawatan risiko dan risiko tinggi (Risk and High-Risk Nursing Diagnoses), adalah keputusan klinis bahwa individu, keluarga dan masyarakat sangat rentan untuk mengalami masalah, dibanding yang lain pada situasi yang sama (Craven & Hirnle, 2000; Carpenito, 1997).

c) Diagnosa keperawatan kemungkinan (Possible Nursing Diagnoses), adalah pernyataan tentang masalah-masalah yang diduga masih memerlukan data tambahan. Namun banyak perawat-perawat telah diperkenalkan untuk menghindari sesuatu yang bersifat sementara dan NANDA tidak mengeluarkan diagnosa keperawatan untuk jenis ini (Craven & Hirnle, 2000; Carpenito, 1997).

(14)

d) Diagnosa keperawatan sejahtera (Wellness Nursing Diagnoses), adalah ketentuan klinis mengenai individu, keluarga dan masyarakat dalam transisi dari tingkat kesehatan khusus ketingkat kesehatan yang lebih baik. Pernyataan diagnostik untuk diagnosa keperawatan sejahtera merupakan bagian dari pernyataan yang berisikan hanya sebuah label. Label ini dimulai dengan “Potensial terhadap peningkatan….”, diikuti tingkat sejahtera yang lebih tinggi yang dikehendaki oleh individu atau keluarga, misal “Potensial terhadap peningkatan proses keluarga” (Craven & Hirnle, 2000; Carpenito, 1997). e) Diagnosa keperawatan sindrom (Syndrome Nursing Diagnoses), terdiri dari

sekelompok diagnosa keperawatan aktual atau risiko tinggi yang diduga akan tampak karena suatu kejadian atau situasi tertentu. NANDA telah menyetujui dua diagnosa keperawatan sindrom yaitu “Sindrom trauma perkosaan” dan “Risiko terhadap sindrom disuse” (Carpenito, 1997). Secara umum diagnosa keperawatan yang lazim dipergunakan oleh perawat di Indonesia adalah diagnosa keperawatan aktual dan diagnosa keperawatan risiko atau risiko tinggi. (3) Perencanaan.

Langkah ketiga dari proses keperawatan adalah perencanaan. Menurut Kozier et al. (1995) perencanaan adalah sesuatu yang telah dipertimbangkan secara mendalam, tahap yang sistematis dari proses keperawatan meliputi kegiatan pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. Dalam perencanaan keperawatan, perawat menetapkannya berdasarkan hasil pengumpulan data dan rumusan diagnosa keperawatan yang merupakan petunjuk dalam membuat tujuan dan asuhan

(15)

keperawatan untuk mencegah, menurunkan, atau mengiliminasi masalah kesehatan klien.

Langkah-langkah dalam membuat perencanaan keperawatan meliputi: penetapan prioritas, penetapan tujuan/ hasil yang diharapkan, menentukan intervensi keperawatan yang tepat dan pengembangan rencana asuhan keperawatan. Setelah diagnosa keperawatan dirumuskan secara spesifik, perawat menggunakan kemampuan berfikir kritis untuk segera menetapkan prioritas diagnosa keperawatan dan intervensi yang penting sesuai dengan kebutuhan klien (Potter & Perry, 1997). Penetapan prioritas bertujuan untuk mengidentifikasi urutan intervensi keperawatan yang sesuai dengan berbagai masalah klien (Carpenito, 1997). Penetapan prioritas dilakukan karena tidak semua masalah dapat diatasi dalam waktu yang bersamaan. Salah satu metode dalam menetapkan prioritas dengan mempergunakan hirarki kebutuhan menurut Maslow. Prioritas dapat diklasifikasi menjadi tiga tingkatan, antara lain high priority, intermediate priority, dan low priority. Dalam menetapkan prioritas perawat juga harus memperhatikan nilai dan kepercayaan klien terhadap kesehatan, prioritas klien, sumber yang tersedia untuk klien dan perawat, pentingnya masalah kesehatan yang dihadapi, dan rencana pengobatan medis.

(4) Implementasi.

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan

(16)

(Gordon, 1994, dalam Potter & Perry, 1997). Ukuran intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien terkait dengan dukungan, pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi, pendidikan untuk klien-keluarga, atau tindakan untuk mencegah masalah kesehatan yang muncul dikemudian hari.

Untuk kesuksesan pelaksanaan implementasi keperawatan agar sesuai dengan rencana keperawatan, perawat harus mempunyai kemampuan kognitif (intelektual), kemampuan dalam hubungan interpersonal, dan keterampilan dalam melakukan tindakan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi. (Kozier et al., 1995).

Beberapa pedoman dalam pelaksanaan implementasi keperawatan (Kozier et al,. 1995) adalah sebagai berikut: a) Harus berdasarkan ilmu pengetahuan, hasil penelitian keperawatan, dan standar pelayanan profesional. b) Perawat mengerti dengan jelas pesanan-pesanan yang ada dalam rencana implementasi. c) Harus dapat menciptakan adaptasi dengan klien sebagai individu. d) Dapat menjaga rasa aman/ melindungi klien. e) Memberikan pendidikan, dukungan dan bantuan. e) Bersifat holistik. f) Menjaga martabat dan harga diri klien. g) Mengikutsertakan partisipasi aktif klien dalam implementasi keperawatan.

(5) Evaluasi.

Meskipun proses keperawatan mempunyai tahap-tahap, namun evaluasi berlangsung terus menerus sepanjang pelaksanaan proses keperawatan (Alfaro-LeFevre, 1998). Tahap evaluasi merupakan perbandingan yang sistematik dan

(17)

terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan..

Dalam melakukan proses evaluasi, ada beberapa kegiatan yang harus diikuti oleh perawat, antara lain: a) Mengkaji ulang tujuan klien dan kriteria hasil yang telah ditetapkan, b) Mengumpulkan data yang berhubungan dengan hasil yang diharapkan, c) Mengukur pencapaian tujuan. d) Mencatat keputusan atau hasil pengukuran pencapaian tujuan. e) Melakukan revisi atau modifikasi terhadap rencana keperawatan.

2.4. Keperawatan Profesional

Menurut Undang-Undang Kesehatan No.23 tahun 1992 menjelaskan bahwa perawat adalah mereka yang memeiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan Seorang perawat dikatakan profesional jika memiliki ilmu pengetahuan, ketrampilan keperawatan profesional serta memiliki sikap profesional sesuai kode etik profesi. Husni, (1994) menegaskan bahwa yang dimaksud dengan ketrampilan profesional keperawatan bukan sekedar terampil dalam melakukan prosedure keperawatan, tetapi juga mencakup ketrampilan interpersonal, ketrampilan intelektual dan ketrampilan teknikal.

(18)

Konsep keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang bersifat profesional dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia (biologis, psikologis, sosial dan spiritual) yang dapat ditunjukkan kepad aindividu, keluarga atau masyarakat dalam rentang sehat – sakit. Dengan demikian paradigma dalam konsep keperawatan memandang bahwa bentuk pelayanan keperawatan yang diberikan kepada klien adalah dalam bentuk pemberian asuhan keperawatan, yang berupa :

1) Bentuk asuhan keperawatan pada manusia sebagai klien yang memiliki ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar ini dapat diberikan melalui pelayanan keperawatan dalam meningkatkan atau memulihkan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya khususnya kebutuhan fisiologis.

2) Bentuk asuhan keperawatan pada manusia sebagai klien yang memiliki ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar ini dapat diberikan melalui pelayanan yang bersifat bantuan dalam pemberian motivasi pada klien yang memiliki penurunan dalam kemauan shingga diharapkan terjadi motivasi yang kuat untuk membangkitkan semangat hidup agar terjadi peningkatan. Pada proses pemenuhan kebutuhan mendasar tindakan ini merupakan terapi pdikologis yang dimiliki perawat dalam mengatasi masalah klien.

3) Bentuk asuhan keperawatan pada manusia sebagai klien yang memiliki ketidaktahuan dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia ini dapat diberikan melalui pelayanan keperawatan yang bersifat pemberian pengetahuan, yang

(19)

berupa pendidikan kesehatan yang dapat dilakukan pada individu keluarga atau masyarakat yang mempunyai pengetahuan yang rendah dalam tugas (masalah) perawatan kesehatan sehingga diharapkan dapat terjadi perubahan peningkatan kebutuhan dasar.

2.5. Peran Perawat

Peran perawat menurut konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989 terdiri dari peran sebagai pemberi asuhan keperawatan, advokat pasien, pendidik, koordinator, kolaborator, konsultan dan peneliti.

2.5.1. Peran Sebagai Pemberi Asuhan Keperawatan.

Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan sehingga ditentukan diagnosis keperawatan agar direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatan dari yang sederhana sampai dengan kompleks.

2.5.2. Peran Sebagai Advokat Klien

Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalammenginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambuilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak – hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi

(20)

tentang penyakitnya, hak atas privas, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.

2.5.3. Peran Sebagai Pendidik

Perawat berperan mendidik individu, keluarga, kelompok dan masyarakat serta tenaga keperawatan atau tenaga kesehatan kepada klien (individu, keluarga, kelompok atau masyarakat) maupun bentuk desiminasi ilmu kepada peserta didik keperawatan, antara sesama perawat atau tenaga kesehatan lainnya. Penyuluhan atau pendidikan kesehatan kepada klien akan terlakasna dengan baik jika sesuai dengan kebutuhan.

2.5.4. Peran Sebagai Koordinator

Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengn kebutuhan klien.

2.5.5. Peran Sebagai Kolaborator

Peran perawat disini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehata yang terdiri dari dokter, fisioterapi, ahli gizi dan lain – lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termsuk diskusi atau tukar dalam penentuan bentuk pelanyanan selanjutnya.

2.5.6. Peran Sebagai Konsultan

Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.

(21)

2.5.7. Peran Sebagai Pembaharu

Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai denganmetode pemberian pelayanan keperawatan (Nursalam, 2001).

2.6. Landasan Teori

Motivasi kerja dalam penelitian ini didasarkan pada konsep yang dinyatakan Stoner (1986), bahwa motivasi individu (karyawan) dalam suatu organisasi ditentukan oleh tiga faktor yaitu karakteristik individu, karakteristik organsiasi dan karakteristik pekerjaan.

Karakteristik individu merupakan hal yang penting diketahui oleh pimpinan atau manajer keperawatan dalam memotivasi perawat untuk meningkatkan standar asuhan keperawatan. Karakteristik individu, adalah minat, sikap, dan kebutuhan yang dibawa seseorang ke dalam situasi kerja. Setiap orang berbeda satu sama lain dalam karakteristik, oleh karena itu motivasi mereka juga berbeda.

Karakteristik pekerjaan adalah karakteristik pekerjaan adalah sifat dari pekerjaan yang dilakukan oleh individu, seperti: pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab dalam pekerjaan , variasi tugas dan beban kerja.

Karakteristik suasana kerja yang terdiri dari supervisi, insentif, pelatihan, kesempatan memperoleh pendidikan lanjutan, fasilitas kerja, dan hubungan antar karyawan

(22)

3. Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian Karakteristik Individu X1. Umur X2. Jenis Kelamin X3. Status Perkawinan X4. Pendidikan X5. Masa Kerja Karakteristik Pekerjaan X6. Tanggung Jawab X7. Variasi Tugas X8. Beban Kerja Karakteristik Organisasi X9. Supervisi X10. Insentif X11. Pelatihan X12. Fasilitas

Motivasi Kerja Perawat (Y)

Gambar

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian Karakteristik Individu X1. Umur X2. Jenis Kelamin X3

Referensi

Dokumen terkait

Apabila dibandingkan dengan bahan-bahan lainnya, penggunaan bahan baku jerami padi dalam industri bioetanol di Indonesia memiliki keunggulan, diantaranya karena jerami

Analisis kekerabatan nukleotida dan asam amino menunjukkan SPFMV dari Cikarawang berada pada satu kluster dengan isolat dari Jepang dan Spanyol (Gambar 3 a-b).. SPFMV

Strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus terpancang (embedded and case study researsh). Teknik pengumpulan data yang digunakan merupakan teknik non

PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Cabang Panjang berkomitmen untuk melaksanakan kegiatan pelayanan jasa petikemas sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan

Adapun menurut Djamarah (dalam Susanto, 2013: 197) pemecahan masalah merupakan suatu metode berfikir, sebab dalam pemecahan masalah dapat digunakan metode –

Mengembangkan informasi terkait gejala alam menjadi paragraf secara mandiri (individual) yang melibatkan fungsi, struktur teks, dan unsur kebahasaan dengan sesuai dan bertanggung

Berdasarkan beberapa pengertian Diabetes Melitus diatas maka penulis menyimpulkan penyakit Diabetes Melitus adalah penyakit degeneratif dan merupakan

Tahun 2001 BKPI Ambon diubah nama menjadi Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan (BPPP) Ambon dan merupakan lembaga pendidikan dan pelatihan berdasarkan Surat Keputusan