• Tidak ada hasil yang ditemukan

2004 PT Remaja BosdaKarya, Bandung Bab 2 - Pengetahuan sain Bab 3 Pengetahuan Filsafat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2004 PT Remaja BosdaKarya, Bandung Bab 2 - Pengetahuan sain Bab 3 Pengetahuan Filsafat"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

2004

PT Remaja BosdaKarya, Bandung

Bab 2 - Pengetahuan sain

Bab 3 – Pengetahuan Filsafat

(2)

BAB 2

Bab 2 - PENGETAHUAN SAIN

Pada Bab 2 ini dibicarakan ontologi, epistemologi, dan aksiologi sain. Uraian mengenai ontologi sain membahas hakikat dan struktur sain. Uraian tentang struktur sain tidak terlalu bagus. Hal itu disebabkan oleh begitu banyak macam sain, karena banyaknya maka banyak yang tidak saya ketahui. Epistemologi sain difokuskan pada cara kerja metode ilmiah. Sedangkan pembahasan aksiologi sain diutamakan pada cara sain menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia.

A. Ontologi Sain

Di sini dibicarakan hakikat dan struktur sain. Hakikat sain menjawab pertanyaan apa sain itu sebenarnya. Struktur sain seharusnya menjelaskan cabang sain, serta isi setiap cabang itu. Namun di sini hanya dijelaskan cabang-cabang sain dan itupun tidak lengkap.

1. Hakikat Pengetahuan Sain

Pada Bab 1 telah dijelaskan secara ringkas bahwa pengetahuan sain adalah pengetahuan rasional empiris. Masalah rasional dan empiris inilah yang dibahas berikut ini. Pertama, masalah rasional.

Saya berjalan-jalan di beberapa kampung. Banyak hal yang menarik perhatian saya di kampung-kampung itu, satu diantaranya ialah orang-orang di kampung yang satu sehat-sehat, sedang di kampung yang lain banyak yang sakit. Secara pukul-rata penduduk kampung yang satu lebih sehat daripada penduduk kampung yang lain tadi. Ada apa ya? Demikian pertanyaan dalam hati saya.

Kebetulan saya mengetahui bahwa penduduk kampung yang satu itu memelihara ayam dan mereka memakan telurnya, sedangkan penduduk kampung yang lain tadi juga memelihara ayam tetapi tidak memakan telurnya, mereka menjual telurnya. Berdasarkan kenyataan itu saya menduga, kampung yang satu itu penduduknya sehat-sehat karena banyak memakan telur, sedangkan penduduk kampung yang lain itu banyak yang sakit karena tidak makan telur. Berdasarkan

(3)

ini saya menarik hipotesis semakin banyak makan telur akan semakin sehat, atau telur berpengaruh positif terhadap kesehatan.

Hipotesis harus berdasarkan rasio, dengan kata lain hipotesis harus rasional. Dalam hal hipotesis yang saya ajukan itu rasionalnya ialah: untuk sehat diperlukan gizi, telur banyak mengandung gizi, karena itu, logis bila semakin banyak makan telur akan semakin sehat.

Hipotesis saya itu belum diuji kebenarannya. Kebenarannya barulah dugaan. Tetapi hipotesis itu telah mencukupi dari segi kerasionalannya. Dengan kata lain, hipotesis saya itu rasional. Kata “rasional” di sini menunjukkan adanya hubungan pengaruh atau hubungan sebab akibat.

Kedua, masalah empiris. Hipotesis saya itu saya uji (kebenarannya) mengikuti prosedur metode ilmiah. Untuk menguji hipotesis itu saya gunakan metode eksperimen dengan cara mengambil satu atau dua kampung yang disuruh makan telur secara teratur selama setahun sebagai kelompok eksperimen, dan mengambil satu atau dua kampung yang lain yagn tidak boleh makan telur, juga selama setahun itu, sebagai kelompok kontrol. Pada akhir tahun, kesehatan kedua kelompok itu saya amati. Hasilnya, kampung yang makan telur rata-rata lebih sehat.

Sekarang, hipotesis saya semakin banyak makan telur akan semakin sehat atau telur berpengaruh positif terhadap kesehatan terbukti. Setelah terbukti – sebaiknya berkali-kali – maka hipotesis saya tadi berubah menjadi teori. Teori saya bahwa “Semakin banyak makan telur akan semakin sehat” atau “Telur berpengaruh positif terhadap kesehatan,” adalah teori yang rasional-empiris. Teori seperti inilah yang disebut teori ilmiah (scientific theory). Beginilah teori dalam sain.

Cara kerja saya dalam memperoleh teori itu tadi adalah cara kerja metode ilmiah. Rumus baku metode ilmiah ialah: logico-hypothetico-verificatif (buktikan bahwa itu logis, tarik hipotesis, ajukan bukti empiris). Harap dicatat bahwa istilah

logico dalam rumus itu adalah logis dalam arti rasional.

Pada dasarnya cara kerja sain adalah kerja mencari hubungan sebab-akibat atau mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sain ialah tidak ada kejadian tanpa sebab.Asumsi ini oleh Fred N. Kerlinger (Foundation of

(4)

Behavior Research, 1973:378) dirumuskan dalam ungkapan post hoc, ergo propter hoc (ini, tentu disebabkan oleh ini). Asumsi ini benar bila sebab akibat itu memiliki hubungan rasional.

Ilmu atau sain berisi teori. Teori itu pada dasarnya menerangkan hubungan sebab akibat. Sain tidak memberikan nilai baik atau buruk, halal atau haram, sopan atau tidak sopan, indah atau tidak indah; sain hanya memberikan nilai benar atau salah. Kenyataan inilah yang menyebabkan ada orang menyangka bahwa sain itu netral. Dalam konteks seperti itu memang ya, tetapi dalam konteks lain belum tentu ya.

2. Struktur Sain

Dalam garis besarnya sain dibagi dua, yaitu sain kealaman dan sain sosial. Contoh berikut ini hendak menjelaskan struktur sain dalam bentuk nama-nama ilmu. Nama ilmu banyak sekali, berikut ditulis beberapa saja diantaranya:

1) Sain Kealaman • Astronomi;

• Fisika: mekanika, bunyi, cahaya dan optik, fisika nuklir; • Kimia: kimia organik, kimia teknik;

• Ilmu Bumi: paleontologi, ekologi, geofisika, geokimia, mineralogi, geografi;

• Ilmu Hayati: biofisika, botani, zoologi; 2) Sain Sosial

• Sosiologi: sosiologi komunikasi, sosiologi politik, sosiologi pendidikan • Antropologi: antropologi budaya, antropologi ekonomi, entropologi

politik.

• Psikologi: psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi abnormal; • Ekonomi: ekonomi makro, ekonomi lingkungan, ekonomi pedesaan; • Politik: politik dalam negeri, politik hukum, politik internasional

Agar sekaligus tampak lengkap, berikut ditambahkan Humaniora. 3) Humaniora

• Seni: seni abstrak, seni grafika, seni pahat, seni tari;

• Hukum: hukum pidana, hukum tata usaha negara, hukum adat (mungkin dapat dimasukkan ke sain sosial);

(5)

• Filsafat: logika, ethika, estetika; • Bahasa, Sastra;

• Agama: Islam, Kristen, Confusius;

• Sejarah: sejarah Indonesia, sejarah dunia (mungkin dapat dimasukkan ke sain sosial).

Demikian sebagian kecil dari nama ilmu (sain). Ditambahkan juga pengetahuan Humaniora (yang mungkin dapat digolongkan dalam sain sosial) dalam daftar di atas hanyalah dengan tujuan agar tampak lengkap. (Bahan diambil dari Ensiklopedi Indonesia).

B. Epistemologi Sain

Pada bagian ini diuraikan obyek pengetahuan sain, cara memperoleh pengetahuan sain dan cara mengukur benar-tidaknya pengetahuan sain.

1. Objek Pengetahuan Sain

Objek pengetahuan sain (yaitu objek-objek yang diteliti sain) ialah semua objek yang empiris. Jujun S. Suriasumantri (Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, 1994: 105) menyatakan bahwa objek kajian sain hanyalah objek yang berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Yang dimaksud pengalaman di sini ialah pengalaman indera.

Objek kajian sain haruslah objek-objek yang empiris sebab bukti-bukti yang harus ia temukan adalah bukti-bukti yang empiris. Bukti empiris ini diperlukan untuk menguji bukti rasional yang telah dirumuskan dalam hipotesis.

Apakah objek yang boleh diteliti oleh sain itu bebas? Artinya, apakah sain boleh meneliti apa saja asal empiris? Menurut sain ia boleh meneliti apa saja, ia ebas; menurut filsafat akan tergantung pada filsafat yang mana; menurut agama belum tentu bebas.

Objek-objek yang dapat diteliti oleh sain banyak sekali: alam, tetumbuhan, hewan, dan manusia, serta kejadian-kejadian di sekitar alam, tetumbuhan, hewan dan manusia itu; semuanya dapat diteliti oleh sain. Dari penelitian itulah muncul teori-teori sain. Teori-teori itu berkelompok atau dikelompokkan dalam masing-masing cabang sain. Teori-teori yang telah berkelompok itulah yang saya sebut

(6)

struktur sain, baik cabang-cabang sain maupun isi masing-masing cabang sain tersebut.

2. Cara Memperoleh Pengetahuan Sain

Pengalaman manusia sudah berkembang sejak lama. Yang dapat dicatat dengan baik ialah sejak tahun 600-an SM. Yang mula-mula timbul agaknya ialah pengetahuan filsafat dan hampir bersamaan dengan itu berkembang pula pengetahuan sain dan pengetahuan mistik.

Perkembangan sain didorong oleh paham Muhanisme. Humanisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam. Humanisme telah muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno).

Sejak zaman dahulu, manusia telah menginginkan adanya aturan untuk mengatur manusia. Tujuannya ialah agar manusia itu hidup teratur. Hidup teratur itu sudah menjadi kebutuhan manusia sejak dahulu. Untuk menjamin tegaknya kehidupan yang teratur itu diperlukan aturan.

Manusia juga perlu aturan untuk mengatur alam. Pengalaman manusia menunjukkan bila alam tidak diatur maka alam itu akan menyulitkan kehidupan manusia. Sementara itu manusia tidak mau dipersulit oleh alam. Bahkan sebaiknya – kalau dapat – manusia ingin alam itu mempermudah kehidupannya. Karena itu harus ada aturan untuk mengatur alam.

Bagaimana membuat aturan untuk mengatur manusia dalam alam? Siapa yang dapat membuat aturan itu? Orang Yunani Kuno sudah menemukan: manusia itulah yang membuat aturan itu. Humanisme mengatakan bahwa manusia mampu mengatur dirinya (manusia) dan alam. Jadi, manusia itulah yang harus membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam.

Bagaimana membuatnya dan apa alatnya? Bila aturan itu dibuat berdasarkan agama atau mitos, maka akan sulit sekali menghasilkan aturan yang disepakati.

Pertama, mitos itu tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur manusia, dan kedua, mitos itu amat tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur alam. Kalau begitu, apa sumber aturan itu? Kalau dibuat berdasarkan agama? Kesulitannya ialah agama mana? Masing-masing agama menyatakan dirinya benar, yang lain salah. Jadi,

(7)

seandainya aturan itu dibuat berdasarkan agama maka akan banyak orang yang menolaknya. Padahal aturan itu seharusnya disepakati oleh semua orang. Begitulah kira-kira mereka berpikir.

Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada sesuatu yang ada pada manusia. Alat itu ialah akal. Mengapa akal? Pertama, karena akal dianggap mampu, kedua, karena akal pada setiap roang bekerja berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal setiap manusia. Akal itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati. Maka, Humanisme melahirkan Rasionalisme.

Rasionalismeialah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula.

Dicari dengan akal ialah dicari dengan berpikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis, benar; bila tidak, salah.

Nah, dengan aal itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal.

Dalam proses pembuatan aturan itu, ternyata temuan akal itu seringkali bertentangan. Kata seseorang ini logis, tetapi kata orang lain itu logis juga. Padahal ini dan itu itu tidak sama, bahkan kadang-kadang bertentangan. Orang-orang sophis pada zaman Yunani Kuno dapat membuktikan bahwa bergerak sama dengan diam, kedua-duanya sama logisnya. Apakah anak panah yang melesat dari busurnya bergerak atau diam? Dua-duanya benar. Apa itu bergerak? Bergerak ialah bila sesuatu pindah tempat. Anak panah itu pindah dari busur ke sasaran. Jadi, anak panah itu bergerak. Anak panah itu dapat juga dibuktikan diam. Diam ialah bila sesuatu pada sesuatu waktu berada pada suatu tempat. Anak panah itu setiap saat berada di suatu tempat. Jadi, anak panah itu diam. Ini pun benar, karena argumennya juga logis. Jadi, bergerak sama dengan diam, sama-sama logis.

Apa yang diperoleh dari kenyataan itu? Yang diperoleh ialah berpikir logis tidak menjamin diperolehnya kebenaran yang disepakati. Padahal, aturan itu seharusnya disepakati. Kalau begitu diperlukan alat lain. Alat itu ialah Empirisme.

(8)

Empirisisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan ada bukti empiris.

Nah, dalam hal anak panah tadi, menurut Empirisisme yang benar adalah bergerak, sebab secara empiris dapat dibuktikan bahwa anak panah itu bergerak. Coba saja perut Anda menghadang anak panah itu, perut anda akan tembus, benda yang menembus sesuatu haruslah benda yang bergerak. Ya, memang, sesuatu yang diam tidak akan mampu menembus. Logis juga.

Nah dengan Empirisisme inilah aturan (untuk mengatur manusia dan alam) itu dibuat. Tetapi nanti dulu, ternyata Empirisisme masih memiliki kekurangan. Kekurangan Empirisisme ialah karena ia belum terukur. Empirisisme hanya sampai pada konsep-konsep yang umum. Kata Empirisisme, air kopi yang baru diseduh ini panas, nyala api ini lebih panas, besi yang mendidih ini sangat panas. Kata Empirisisme, kelereng ini kecil, bulan lebih besar, bumi lebih besar lagi, matahari sangat besar. Demikianlah seterusnya. Empirisisme hanya menemukan konsep yang sifatnya umum. Konsep itu belum operasional, karena belum terukur. Jadi, masih diperlukan alat lain. Alat lain itu ialah Positivisme.

Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisme, yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting Positivisme. Jadi, hal panas tadi oleh Positivisme dikatakan air kopi ini 80 derajat celcius, air mendidih ini 100 derajat celcius, besi mendidih ini 1000 derajat celcius, ini satu meter panjangnya, ini satu ton beratnya, dan seterusnya. Ukuran-ukuran ini operasional, kuantitatif, tidak memungkinkan perbedaan pendapat. Sebagaimana Anda lihat, aturan untuk mengatur manusia dan aturan untuk mengatur alam yang kita miliki sekarang bersifat pasti dan rinci. Jadi, operasional. Bahkan dada dan pinggul sekarang ini ada ukurannya, katanya, ini dalam kerangka ukuran kecantikan. Dengan ukuran ini maka kontes kecantikan dapat dioperasikan. Kehidupan kita sekarang penuh oleh ukuran.

Positivisme sudah dapat disetujui untuk memulai upaya membuat aturan untuk mengatur manusia dan mengatur alam. Kata Positivisme, ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya yang terukur. Tetapi bagaimana caranya? Kita masih memerlukan alat lain. Alat lain itu ialah Metode Ilmiah. Sayangnya, Metode Ilmiah sebenarnya tidak mengajukan sesuatu yang baru; Metode Ilmiah hanya

(9)

mengulangi ajaran Positivisme, tetapi lebih operasional. Metode Ilmiah mengatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar lakukan langkah berikut:

logico-hypothetico-verificartif. Maksudnya, mula-mula buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan hipotesis (berdasarkan logika itu), kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara empiris.

Dengan rumus Metode Ilmiah inilah kita membuat aturan itu. Metode Ilmiah itu secara teknis dan rinci menjelaskan dalam satu bidang ilmu yang disebut Metode Riset. Metode Riset menghasilkan Model-model Penelitian. Nah, Model-model Penelitian inilah yang menjadi instansi terakhir – dan memang operasional – dalam membuat aturan (untuk mengatur manusia dan alam) tadi.

Dengan menggunakan Model Penelitian tertentu kita mengadakan penelitian. Hasil-hasil penelitian itulah yang kita warisi sekarang berupa tumpukan pengetahuan sain dalam berbagai bidang sain. Inilah sebagian dari isi kebudayaan manusia. Isi kebudayaan yang lengkap ialah pengetahuan sain, filsafat dan mistik. Urutan dalam proses terwujudnya aturan seperti yang diuraikan di atas ialah sebagai berikut:

Humanisme Rasionalisme Empirisme Positivisme Metode Ilmiah Metode Riset Model-model Penelitian Aturan untuk Mengatur Alam Aturan untuk Mengatur Manusia

(10)

3. Ukuran Kebenaran Pengetahuan Sain

Ilmu berisi teori-teori. Jika Anda mengambil buku Ilmu (sain) Pendidikan, maka Anda akan menemukan teori-teori tentang pendidikan. Ilmu Bumi membicarakan teori-teori tentang bumi, Ilmu Hayat membahas teori-teori tentang makhluk hidup. Demikian seterusnya. Jadi, isi ilmu ialah teori. Jika kita bertanya apa ukuran kebenaran sain, maka yang kita tanya ialah apa ukuran kebenaran teori-teori sain.

Ada teori Sain Ekonomi: bila penawaran sedikit, permintaan banyak, maka harga akan naik. Teori ini sangat kuat, karena kuatnya maka ia ditingkatkan menjadi hukum, disebut hukum penawaran dan permintaan. Berdasarkan hukum ini, maka barangkali benar dihipotesiskan: Jika hari hujan terus, mesin pemanas gabah tidak diaktifkan, maka harga beras akan naik. Untuk membuktikan apakah hipotesis itu benar atau salah, kita cukup melakukan dua langkah. Pertama, kita uji apakah teori itu logis? Apakah logis jika hari hujan terus harga gabah akan naik?

Jika hari hujan terus, maka orang tidak dapat menjemur padi, penawaran beras akan menurun, jumlah orang yang memerlukan tetap, orang berebutan membeli beras, kesempatan itu dimanfaatkan pedagang beras untuk memperoleh untung sebesar mungkin, maka harga beras akan naik. Jadi, logislah bila hujan terus harga beras akan naik. Hipotesis itu lolos ujian pertama, uji logika. Kedua, uji empiris. Adakan eksperimen. Buatlah hujan buatan selama mungkin, mesin pemanas gabah tidak diaktifkan, beras dari daerah lain tidak masuk. Periksa pasar. Apakah harga beras naik? Secara logika seharusnya naik. Dalam kenyataan mungkin saja tidak naik, misalnya karena orang mengganti makannya dengan selain beras. Jika eksperimen itu dikontrol dengan ketat, hipotesis tadi pasti didukung oleh kenyataan. Jika didukung oleh kenyataan (beras naik) maka hipotesis itu menjadi teori, dan teori itu benar, karena ia logis dan empiris.

Jika hipotesis terbukti, maka pada saatnya ia menjadi teori. Jika sesuatu teori selalu benar, yaitu jika teori itu selalu didukung bukti empiris, maka teori itu naik tingkat keberadaannya menjadi hukum atau aksioma.

Agaknya banyak mahasiswa menyangka bahwa hipotesis bersifat mungkin benar mungkin salah, dengan kata lain, hipotesis itu kemungkinan benar atau salahnya sama besar, fifty-fifty. Prasangkaan itu salah.

(11)

Hipotesis (dalam sain) ialah pernyataan yang sudah benar secara logika, tetapi belum ada bukti empirisnya. Belum atau tidak ada bukti empiris bukanlah merupakan bukti bahwa hipotesis itu salah. Hipotesis benar, bila logis, titik. Ada atau tidak ada bukti empirisnya adalah soal lain. Dari sini tahulah kita bahwa kelogisan suatu hipotesis – juga teori – lebih penting ketimbang bukti empirisnya. Harap dicatat, bahwa kesimpulan ini penting.

C. Aksiologi Sain

Pada bagian ini dibicarakan tiga hal saja, pe tama kegunaan sain; kedua, cara sain menyelesaian masalah; ketiga, netralitas sain. Sebenarnya, yang kedua itu merupakan contoh aplikasi yang pertama.

r

1. Kegunaan Pengetahuan Sain

Apa guna sain? Pertanyaannya sama dengan apa guna pengetahuan ilmiah

karena sain (ilmu) isinya teori (ilmiah). Secara umum, teori artinya pendapat yang beralasan. Alasan itu dapat berupa argumen logis, ini teori filsafat; berupa argumen perasaan atau keyakinan dan kadang-kadang empiris, ini teori dalam pengetahuan mistik; berupa argumen logis-empiris, ini teori sain.

Sekurang-kurangnya ada tiga kegunaan teori sain: sebagai alat membuat eksplanasi, sebagai alat peramal, dan sebagai alat pengontrol.

1) Teori Sebagai Alat Ekspalanasi

Berbagai sain yang ada sampai sekarang ini secara umum berfungsi sebagai alat untuk membuat eksplanasi kenyataan. Menurut T. Jacob (Manusia, Ilmu dan Teknologi, 1993: 7-8) sain merupakan suatu sistem eksplanasi yang paling dapat diandalkan dibandingkan dengan sistem lainnya dalam memahami masa lampau, sekarang, serta mengubah masa depan. Bagaimana contohnya?

Akhir tahun 1997 di Indonesia terjadi gejolak moneter, yaitu nilai rupiah semakin murah dibandingkan dengan dolar (kurs rupiah terhadap dolar menurun). Gejala ini telah memberikan dampak yang cukup luas terhadap kehidupan di Indonesia. Gejalanya ialah harga semakin tinggi. Bagaimana menerangka gejala ini?

Teori-teori ekonomi (mungkin juga politik) dapat menerangkan (mengeksplanasikan) gejala itu. Untuk mudahnya, teori ekonomi mengatakan

(12)

karena banyaknya utang luar negeri jatuh tempo (harus dibayar), hutang itu harus dibayar dengan dolar, maka banyak sekali orang yang memerlukan dolar, karena banyak orang membeli dolar, maka harga dolar naik dalam rupiah. Nah, ini baru sebagian gejala itu yang dieksplanasikan. Sekalipun baru sebagian, namun gejala itu telah dapat dipahami ala kadarnya, sesuai dengan apa yang telah dieksplanasikan itu.

Ada orang tiga bersaudara, dua laki-laki dan satu perempuan. Mereka nakal, sering mabuk, membuat keonaran, sering bolos sekolah, tidak naik kelas, pindah-pindah sekolah. Mereka ditinggal oleh kedua orang tuanya, ayah dan ibunya masing-masing kawin lagi dan pindah ke tempat barunya masing-masing. Biaya hidup tiga bersaudara itu bersama pembantu mereka, tidak kurang. Dapatkah Anda membuat eksplanasi mengapa anak-anak itu nakal?

Anda akan dapat menjelaskan (mengeksplanasikan) jika Anda menguasai teori yang mapu menjelaskan gejala (nakal) itu. Menurut teori Sain Pendidikan, anak-anak yang orang tuanya cerai (biasanya disebut broken home), pada umumnya akan berkembang menjadi anak nakal. Penyebabnya ialah karena anak-anak itu tidak mendapat pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya. Padahal pendidikan dari kedua orang tua amat penting dalam pertumbuhan anak menuju dewasa.

Sebenarnya saya amat tertarik membicarakan topik ini; senang sekali rasanya menambahkan banyak contoh lain, tetapi kedua contoh itu agaknya mencukupi untuk menjelaskan kegunaan teori sebagai alat membuat eksplanasi.

2) Teori Sebagai Alat Peramal

Tatkala membuat eksplanasi, biasanya ilmuwan telah mengetahui juga faktor penyebab terjadinya gejala itu. Dengan “mengutak-atik” faktor penyebab itu, ilmuwan dapat membuat ramalan. Dalam bahasa kaum ilmuwan ramalan itu disebut prediksi, untuk membedakannya dari ramalan dukun.

Dalam contoh kurs dolar tadi, dengan mudah orang ahli meramal. Misalnya, karena bulan-bulan mendatang hutang luar negeri jatuh tempo semakin banyak, maka diprediksikan kurs rupiah terhadap dolar akan semakin lemah. Ramalah lain dapat pula dibuat, misalnya, harga barang dan jasa pada bulan-bulan mendatang akan naik. Pada contoh dua tadi dapat pula dibuat ramalan. Misalnya,

(13)

pada musim paceklik ini banyak pasangan suami istri yang cerai, maka diramalkan kenakalan remaja akan meningkat. Ramalan lain: akan semakin banyak remaja putus sekolah, akan semakin banyak siswa yang tiak naik kelas. Tepat dan banyaknya ramalan yang dapat dibuat oleh ilmuwan akan ditentukan oleh kekuatan teori yang ia gunakan, kepandaian dan kecerdasan; dan ketersediaan data di sekitar gejala itu.

3) Teori Sebagai Alat Pengontrol

Eksplanasi merupakan bahan untuk membuat ramalan dan kontrol. Ilmuwan, selain mampu membuat ramalan berdasarkan eksplanasi gejala, juga dapat membuat kontrol. Kita ambil lagi contoh tadi.

Agar kurs rupiah menguat, perlu ditangguhkan pembayaran hutang yang jatuh tempo, jadi, pembayaran utang diundur. Apa yang dikontrol? Yang dikontrol ialah kurs rupiah terhadap dolar agar tidak naik. Kontrolnya ialah kebutuhan terhadap dolar dikurangi dengan cara menangguhkan pembayaran hutang dalam dolar.

Agar kontrol lebih efektif sebaiknya kontrol tidak hanya satu macam. Dalam kasus ekonomi ini dapat kita tambah kontrol, umpamanya menangguhkan pembangunan proyek yang memerlukan bahan import. Kontrol sebenarnya merupakan tindakan-tindakan yang diduga dapat mencegah terjadinya gejala yang tidak diharapkan atau gejala yang memang diharapkan.

Ayah dan ibu sudah cerai. Diprediksi: anak-anak mereka akan naik. Adakah upaya yang efektif agar anak-anak itu tidak nakal? Ada, upaya itulah yang disebut kontrol. Dalam kasus ini mungkin pamannya, bibinya, atau kakeknya, dapat mengganti fungsi ayah dan ibunya mereka.

Perbedaan prediksi dan kontrol ialah prediksi bersifat pasif; tatkala ada kondisi tertentu, maka kita dapat membuat prediksi, misalnya akan terjadi ini, itu, begini atau begitu. Sedangkan kontrol bersifat aktif; terhadap sesuatu keadaan, kita membuat tindakan atau tindakan-tindakan agar terjadi ini, itu, begini atau begitu.

(14)

Ilmu atau sain – yang isinya teori – dibuat untuk memudahkan kehidupan. Bila kita menghadapi kesulitan (biasanya disebut masalah), kita menghadapi dan menyelesaikan masalah itu dengan menggunakan ilmu (sebenarnya menggunakan teori ilmu).

Dahulu orang mengambil air di bawah bukit, orang Sunda menyebutnya di

lebak. Tatkala akan mengambil air, orang melalui jalan menurun sambil membawa wadah air. Tatkala pulang ia melalui jalan menanjak sambil membawa wadah yang berisi air. Itu menyulitkan kehidupan. Untuk memudahkan, orang membuat sumur. Air tidak lagi harus diambil di lebak. Air dapat diambil dari sumur yang dapat dibuat dekat rumah.

Membuat sumur memerlukan ilmu. Tetapi sumur masih menyusahkan karena masih harus menimba, kadang-kadang sumur amat dalam. Orang mencari teori agar air lebih mudah diambil. Lantas orang menggunakan pompa air yang digerakkan dengan tangan. Masih susah juga, orang lantas menggunakan mesin. Sekarang air dengan mudah diperoleh, hanya memutar kran. Ilmu memudahkan kehidupan.

Sejak kampung itu berdiri ratusan tahun yang lalu, sampai tahun-tahun belakangan ini penduduknya hidup dengan tenang. Tidak ada kenakalan. Anak-anak dan remaja begitu baiknya, tidak berkelahi, tidak mabuk-mabukan, tidak mencuri, tidak membohongi orang tuanya. Senang sekali bermukim di kampung itu. Tiba-tiba jalan raya melintas kampung itu. Listrik dipasang, penduduk mendapat listrik dengan harga murah. Penduduk senang.

Beberapa tahun kemudian, anak mereka nakal. Anak remaja sering berkelahi, sering mabuk, sering mencuri, sering membohongi orang tuanya. Penduduk sering bertanya “Mengapa keadaan begini?” Mereka menghadapi masalah.

Mereka memanggil ilmuwan, meminta bantuannya untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Apa yang akan dilakukan oleh ilmuwan itu? Ternyata ia melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

Pertama, ia mengidentifikasi masalah. Ia ingin tahu seperti apa kenakalan remaja yang ada di kampung itu. Ia ingin tahu lebih dahulu, secara persis, misalnya berapa orang, siapa yang nakal, malam atau hari apa saja kenakalan itu

(15)

dilakukan, penyebab mabuk, berkelahi dengan siapa, dan apa penyebabnya, dan sebagainya. Ia ingin tahu sebanyak-banyaknya atau selengkap-lengkapnya tentang kenakalan yang diceritakan oleh orang kampung kepadanya, ia seolah-olah tidak percaya begitu saja pada laporan orang kampung tersebut. Ia mengidentifikasi masalah itu. Identifikasi biasanya dilakukan dengan cara mengadakan penelitian. Hasil penelitian itu ia analisis untuk mengetahui secara persis segala sesuatu di seputar kenakalan itu tadi.

Kedua, ia mencari teori tentang sebab-sebab kenakalan remaja. Biasanya ia cari dalam literatur. Ia menemukan ada beberapa teori yang menjelaskan sebab-sebab kenakalan remaja. Diantara teori itu ia pilih teori yang diperkirakannya paling tepat untuk menyelesaikan masalah kenakalan remaja di kampung itu. Sekarang ia tahu penyebab kenakalan remaja di kampung itu.

Ketiga, ia kembali membaca literatur lagi. Sekarang ia mencari teori yang menjelaskan cara memperbaiki remaja nakal. Dalam buku ia baca, bahwa memperbaiki remaja nakal harus disesuaikan dengan penyebabnya. Ia sudah tahu penyebabnya, maka ia usulkan tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh pemimpin, guru, organisasi pemuda, ustadz, orang tua remaja dan polisi serta penegak hukum.

Demikian biasanya cara ilmuwan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Itu adalah cerita tentang cara sain menyelesaikan masalah. Cara filsafat dan mistik tentu lain lagi. Langkah baku sain dalam menyelesaikan masalah: identifikasi masalah, mencari teori, menetapkan tindakan penyelesaian.

Janganlah hendaknya terlalu mengandalkan sain tatkala timbul masalah. Ada dua sebab. Pertama, belum tentu teori sain yang ada mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Teori itu mungkin memadai pada zaman tertentu, digunakan untuk menghadapi masalah yang sama pada zaman yang lain, belum tentu teori itu efektif. Kedua, belum tentu setiap masalah tersedia teori untuk menyelesaikannya. Masalah selalu berkembang lebih cepat daripada perkembangan teori. Ilmu kita ternyata tidak pernah mencukupi untuk menyelesaikan masalah demi masalah yang diharapkan kepada kita.

Apabila sain gagal menyelesaikan suatu masalah yang diajukan kepadanya, maka sebaiknya masalah itu dihadapkan ke filsafat, mungkin filsafat

(16)

mampu menyelesaikannya. Tentu dengan cara filsafat atau mungkin pengetahuan mistik dapat membantu. Yang terbaik ialah setiap masalah diselesaikan secara bersama-sama oleh sain, filsafat dan mistik, yang bekerjasama secara terpadu.

3. Bonus Netralitas Sain

Pada tahun 1970-an terjadi polemik antara Mukti Alin (IAIN Yogyakarta) dengan Sadali (ITB). Mukti Ali menyatakan bahwa sain itu netral, sementara Sadali berpendapat sain tidak netral. Ternyata Mukti Ali hanya memancing, ia tidak sungguh-sungguh berpendapat begitu.

Dalam ujaran Mukti Ali, waktu itu, sain itu netral, seperti pisau, digunakan untuk apa saja itu terserah penggunannya. Pisau itu dapat digunakan untuk membunuh (salah satu perbuatan jahat) dan dapat juga digunakan untuk perbuatan lain yang baik. Begitulah teori-teori sain, ia dapat digunakan untuk kebaikan dan dapat pula untuk kejahatan. Kira-kira begitulah pengertian sain netral itu.

Netral biasanya diartikan tidak memihak. Dalam kata “sain netral” pengertian itu juga terpakai. Artinya: sain tidak memihak pada kebaikan dan tidak juga pada kejahatan. Itulah sebabnya istilah sain netral sering diganti dengan istilah sain bebas nilai. Nah, bebas nilai (value free) itulah yang disebut sain netral; sedangkan lawannya ialah sain terikat, yaitu terikat nilai (value bound). Sekarang, manakah yang benar, apakah sain seharusnya value free atau value bound? Apakah sain itu sebaiknya bebas nilai atau terikat nilai?

Pembaca yang terhormat, ketahuilah bahwa persoalan ini bukanlah persoalan kecil. Ia persoalan besar karena banyak sekali aspek kehidupan manusia yang diatur secara langsung oleh sain. Jadi, paham bahwa sain itu netral atau sain itu terikat (tidak netral, memihak), akan mempengaruhi kehidupan manusia secara langsung. Karena itu sebaiknya kita berhati-hati dalam menetapkan paham kita tentang ini.

Apa untungnya bila sain netral? Bila sain itu kita anggap netral, atau kita mengatakan bahwa sain sebaiknya netral keuntungannya ialah perkembangan sain akan cepat terjadi. Karena tidak ada yang menghambat atau menghalangi tatkala peneliti (1) memilih dan menetapkan objek yang hendak diteliti, (2) cara meneliti, dan (3) tatkala menggunakan produk penelitian.

(17)

Orang yang menganggap sain tidak netral, akan dibatasi oleh nilai dalam (1) memilih objek penelitian, (2) cara meneliti, dan (3) menggunakan hasil penelitian.

Tatkala akan meneliti kerja jantung manusia, orang yang beraliran sain tidak netral akan mengambil – mungkin – jantung kelinci atau jantung hewan lainnya yang paling mirip dengan manusia. Orang yang beraliran sain netral – mungkin – akan mengambil orang gelandangan untuk diambil jantungnya. Orang yang beraliran sain value bound, dalam epistemologi akan meneliti jantung itu tidak dengan menyakiti kelinci itu, sementara orang yang menganut sain value free tidak akan mempedulikan apakah subjek penelitian menderita atau tidak. Orang yang beraliran sain netral akan menggunakan hasil penelitian itu secara bebas, sedang orang yang bermazhab sain terikat akan menggunakan produk itu hanya untuk kebaikan saja. Jadi, persoalan netralitas sain itu terdapat baik pada epistemologi, maupun aksiologi sain. Sebenarnya dalam ontologi pun demikian. Dalam contoh di atas objek dan metode penelitian adalah epistemologi, sedang penggunaan hasil penelitian adalah aksiologi. Ontologinya ialah teori yang ditemukan itu. Ontologi itu pun netral, ia tidak boleh melawan nilai yang diyakini kebenarannya oleh peneliti.

Apa kerugiannya bila kita ambil paham sain netral? Bila kita paham sain netral? Bila kita pilih paham sain netral maka kerugiannya ialah ia akan melawan keyakinan, misalnya keyakinan yang berasal dari agama. Percobaan pada manusia mungkin akan diartikan sebagai penyiksaan kepada manusia. Maka, penganut sain tidak netral akan memilih objek penelitian yang mirip dengan manusia. Untuk melihat proses reproduksi, tentu harus ada pertemuan antara sperma an ovum. Untuk itu peneliti dari kalangan penganut sain netral tidak akan keberatan mengambil sepasang lelaki-perempuan yang belum nikah untuk mengadakan hubungan kelamin yang dari situ diamati bertemunya sperma dan ovum. Peneliti yang menganut sain tidak netral akan melakukan itu terhadap pasangan yang telah menikah. Ini pada aspek epistemologi.

Yang paling merugikan kehidupan manusia ialah bila paham sain netral itu telah menerapkan pahamnya pada aspek aksiologi. Mereka dapat saja

(18)

menggunakan hasil penelitian mereka untuk keperluan apapun tanpa pertimbangan nilai.

Paham sain netral sebenarnya telah melawan atau menyimpang dari maksud penciptaan sain. Tadinya sain dibuat untuk membantu manusia dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Paham ini sebenarnya telah bermakna bahwa sain itu tidak netral, sain memihak pada kegunaan membantu manusia menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh manusia. Sementara itu, paham sain netral justru akan memberikan tambahan kesulitan bagi manusia. Kata kunci terletak dalam aksiologi sain, yaitu ini: tatkala peneliti akan membuat teori, sebenarnya ia telah berniat akan membantu manusia menyelesaikan masalah dalam kehidupannya, mengapa justru temuannya menambah masalah bagi manusia? Karena ia menganut sain netral padahal seharusnya ia menganut sain tidak netral.

Berdasarkan uraian sederhana di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa yang paling bijaksana ialah kita memihak atau memilih paham bahwa sain tidaklah netral. Sain itu bagian dari kehidupan, sementara kehidupan itu secara keseluruhan tidaklah netral.

Paham sain tidak netral adalah paham yang sesuai dengan ajaran semua agama dan sesuai pula dengan niat ilmuwan tatkala menciptakan teori sain. Jadi, sebenarnya tidak ada jalan bagi penganut sain netral.

Berikut dikutipkan sebagian dari tulisan Prof. Herman Soewardi, guru besar Filsafat Ilmu Universitas Padjadjaran Bandung. Kutipan ini dapat digunakan untuk menambah bahan pertimbangan dalam menentukan apakah sain sebaiknya netral atau tidak netral.

Menurut Herman Soewardi (Orasi Ilmiah pada Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati Bandung ke-36 8 April 2004), dari sudut pandang epistemologi, sain terbagi dua, yaitu Sain Formal dan Sain Emperikal. Menurutnya, Sain Formal itu berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol-simbol, merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sain Formal itu netral karena ia berada di dalam kepala kita dan ia diatur oleh hukum-hukum logika.

(19)

Adapun Sain Emperikal, ia tidak netral. Sain Emperikal merupakan wujud konkret, yaitu jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab akibat. Sain Emperikal itu tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil penginderaan terhadap jagad raya. Benar bahwa Sain Emperikal itu terdiri atas logika (jalinan sebab akibat), namun ia dimulai dari suatu pijakan yang bermacam-macam. Pijakan itu tentulah nilai. Maka sifatnya tidak netral. Tidak netral karena dipengaruhi oleh pijakannya itu.

Selanjutnya Herman Soewardi menambahkan uraian berikut. Barangkali kita menyangka bahwa kausalitas itu dimana-mana sama, biasanya dirumuskan dalam bentuk proposisi X menyebabkan Y (X Æ Y). Memang begitu. Namun, bila diamati lebih dalam, ternyata hal itu tidaklah sederhana itu. Baiklah kita periksa pandangan David Hume, Immanuel Kant dan Al-Ghazali.

David Hume mengatakan bahwa dalam alam pikiran Empiricisme tidak dapat dibenarkan adanya generalisasi sampai munculnya hukum X Î Y. Dari suatu kejadian sampai menjadi hukum (teori) diperlukan adanya medium yang berupa reasoning jalinan sebab akibat yang banyak sekali. Dan reasoning itu tidak mungkin. Tidak mungkin karena rumitnya itu. Karena itu, hanyalah kebiasaan orang saja (tidak ada dasar logikanya) untuk menyimpulkan setiap X akan diikuti Y. Pendapat ini terkenal dengan istilah skeptisisme Hume. Jadi, menurut Hume, sebab akibat itu sebenarnya tidaklah diketahui.

Immanuel Kant membantah skeptisisme Hume itu dengan mengatakan bahwa ada pengetahuan bentuk ketiga, yaitu a priori sintetik. Ini menurut Herman Soewardi, adalah suatu jalinan sintetik yang sudah ada, yang keadaannya itu diterangkan oleh Kant secara transendental. Inilah medium yang dicari oleh Hume, yang bagi orang Islam jalinan sintetik itu adalah ciptaan Tuhan yang sudah ada sejak semula. Suatu kejadian X → Y sebenarnya terjadi di atas medium itu, kejadian X → Y itulah yang selanjutnya menjadi hukum yang general.

Tampak pada kita bahwa dengan mengikuti acara Emperisisme, siapapun tidak akan mampu menunjukkan medium itu. Sehubungan dengan ini Kant mengatakan bahwa Tuhan lah yang menciptakan medium tersebut.

(20)

Tentang kemahakuasaan Tuhan itu Al-Ghazali menyatakan lebih tandas lagi sehubungan dengan hukum X → Y. Kata Al-Ghazali, kekuatan X menghasilkan Y bukan pada atau milik X itu, melainkan pada atau milik Tuhan. Bila kapas diletakkan di atas api, kekuatan untuk terjadinya terbakar atau tidak terbakar kapas itu bukan pada api melainkan pada Tuhan. Terbakarnya kapas oleh api merupakan suatu regularitas atau kebiasaan atau adat, adat itu dari Tuhan, namun pada kejadian khusus seperti pada Nabi Ibrahim, api tidak membakar. Karena Tuhan pada waktu itu tidak memberikan kekuatan membakar pada api. Ini merupakan hukum kausalitas yang sangat fundamental, bahwa kekuatan pada penyebab (X) adalah kekuatan Tuhan. Sekarang, istilah yang mendunia untuk menyatakan kekuatan Tuhan itu ialah faktor Z.

Kekuatan dari atau pada Tuhan itu, baiklah kita sebut faktor Z, menghasilkan suatu pengertian bahwa kausalitas itu sifatnya berubah dari cukup (sufficient) menjadi tergantung (contingent) pada faktor lain (dalam hal ini Tuhan).

Dari kesimpulan itu akan muncul kesimpulan lain, yaitu kausalitas atau

linkage menjadi bergeser dari tidak memperhitungkan kehendak Tuhan ke memperhitungkan kehendak Tuhan. Dari sini muncul beberapa pergeseran, yaitu: • Dari deterministik (pasti) bergeser ke stokastik (mungkin);

• Dari sebab akibat terjadi pada waktu yang sama ke sebab akibat terjadi pada waktu yang berlainan;

• Dari cukup (sufficient) bergeser ke tergantung (contingent) pada faktor Z; • Dari niscaya (necessary) bergeser ke berganti (sustitutable).

Sain Formal dikatakan netral karena hukum-hukumnya bukan dibuat oleh manusia. Hukum-hukumnya dibuat oleh Tuhan. Hukum-hukumnya itu ada di dalam kepala kita.

Adapun Sain Emperikal, ia tidak netral. Tidak netral karena ia dibangun berdasarkan pijakan seseorang pakar yang mungkin berada dengan pakar lain. Tentang ini Thomas Kuhn memberikan eksplanasi sebagai berikut.

(21)

NORMAL SCIENCE 1 Netral? ANOMALI NORMAL SCIENCE 2 Netral? KRISIS ANOMALI NORMAL SCIENCE 3 Netral? KRISIS

DULU KINI KELAK

PARADIGMA 1 PARADIGMA 2 PARADIGMA 3

Sain Emperikal disebut Kuhn Sain Normal (Normal Science). Sain Normal muncul dari paradigma, yaitu suatu pijakan, dari seseorang pakar. Dalam perkembangannya Sain Normal mengahadapi fenomena yang tidak dapat diterangkan oleh teori sain yang ada, ini disebut anomali. Selanjutnya anomali ini menimbulkan krisis (ketidakpercayaan para pakar terhadap teori itu) sehingga akan timbul paradigma baru atau pijakan baru. Inilah perkembangan sain, berubah dari paradigma yang satu ke paradigma yang lain. Karena itu Sain Normal itu tidak netral.

Masalah utama Sain Normal ialah masalah penginderaan. Padahal kita tahu bahwa metode andalan – bahkan metode satu-satunya bagi Sain Normal ialah observasi (dalam arti luas), sementara observasi itu sangat mengandalkan penginderaan. Tetapi pada penginderaan inilah kelemahan utama Sain Normal.

Menurut cara berpikir Empirisisme penginderaan adalah modal fundamental bagi manusia untuk mengetahui jagad raya. Tetapi, seperti dikatakan Kuhn, yang orang ketahui itu tidaklah bersifat tetap, melainkan sementara dan akan berubah setelah terjadi anomali. Kini pertanyaannya ialah: Mengapa pengideraan itu ada cacatnya sehingga pendapat para pakar itu sering tidak sama dan sering berubah? Ini dijawab oleh Richard Tarnas. Tarnas mengatakan bahwa di depan mata manusia itu ada “lensa” yang memfilter penglihatan “lensa” itu dipengaruhi oleh nilai, pengalaman, keterbatasan, trauma dan harapan. Maka, kata Tarnas, sama dengan Kant, yang ada di benak manusia itu bukanlah jagad raya yang sebenarnya melainkan sesuatu jagad raya ciptaan manusia itu. Karena itu kausalitas yang dibangun oleh akal manusia itu menjadi kausalitas yang terlalu sederhana. Bila manusia mengubah jagad raya (jagad raya buatannya), memang manusia akan memperoleh apa yang diharapkannya, akan tetapi seringkali disertai

(22)

oleh akibat-akibat yang tidak diharapkannya. Kejadian ini (muncul akibat yang tidak diharapkan) disebut antitetikal dan akibat-akibat yang berupa antitetikal

inilah yang menimbulkan kerusakan-kerusakan di planet kita seperti bolongnya lapisan ozon.

Kekurangan dalam penginderaan manusia itu, menurut Herman Soewardi, dapat disempurnakan oleh firman Tuhan. Menurut Herman Soewardi, bila Sain Normal itu netral ia akan menimbulkan 3R (resah, renggut, rusak). Kayaknya sekarang kita telah menyaksikan kebenaran thesis Herman Soewardi itu. Karena itu thesis tersebut perlu mendapat perhatian.

Krisis Sain Modern

Sain modern ialah sain empirikal, yaitu sain normal menurut Kuhn. Tulisan ini esensinya diambil dari buku Herman Soewardi Tiba Saatnya Islam Kembali Kaffah Kuat d n Berijtihad (Suatu Kognisi Baru tentang Islam), 1999, Bagian Tiga Bab 14 yang berjudul Tarnas The C isis of Modern Science.

a

r

f

Pada tahun 1993, buku Tarnas yang berjudul The Passion of the Western Mind, terbit. Dalam buku itu ada sebuah bab yang berjudul The Crisis o Modern Science.

Menurut Tarnas, sedikitnya ada enam hal yang menarik perhatian tentang sain modern. Pertama, postulatat dasar sain modern ialah space, matter, causality,

dan observation, ternyata semuanya dinyatakan tidak benar. Kedua, dianutnya pendapat Kant bahwa yang orang katakan jagad raya, bukanlah jagad raya yang sebenarnya, tetapi jagad raya sebagaimana diciptakan oleh pikiran manusia.

Ketiga, determinisme Newton kehilangan dasar, orang pindah ke stochastic. Keempat, partikel-partikel sub-atomatik terbuka untuk interpretsi spiritual.

Kelima, adanya uncertainty sebagaimana ditemukan oleh Heisenberg. Keenam, kerusakan ekologi dan atmosfir yang menyeluruh yang disebut Tarnas planetary ecological crisis.

Dari enam hal yang menarik di atas Tarnas menyimpulkan bahwa orang merasa tahu tentang jagad raya, padahal tidak: tidak ada jaminan orang dapat tahu; yang dikatakan jagad raya sebenarnya menunjukkan hubungan orang dengan jagad raya itu, atau jagad raya sebagaimana diciptakan oleh orang itu.

(23)

Tentu saja kesimpulan Tarnas itu sangat menggetarkan. Mengapa sampai demikian? Tarnas menjawab sendiri: Landasan ilmiah untuk menggambarkan jagad raya dalam sain modern adalah sangat terbatas bahkan landasan itu cukup berbahaya.

Maka kita bertanya, bagaimana kelanjutan sain modern itu bila postulat-postulat dasarnya dibuktikan tidak benar, dan terutama bila landasan ilmiahnya terbatas bahkan berbahaya? Tetapi baiklah kita lihat lebih rinci mengenai kesalahan-kesalahan sain modern itu.

Pertama, tentang space atau jagad raya. Pandangan sekarang yang berlaku ialah bahwa space itu terbatas (finite), tetapi lepas bentuknya lengkung (tidak linier) sehingga garis edar benda-benda angkasa berbentuk elips, bukan karena tertarik gravitasi ke arah matahari melainkan memang bentuknya lengkung. Kini, berlaku pandangan empat dimensi space-time, bukan hanya tiga seperti pada geometri Eucled.

Jagad raya yang kita ketahui bukanlah jagad raya yang sebenarnya, ia adalah jagad raya ciptaan manusia. Inilah pandangan Kant. Sekarang, terbukti penemuan-penemuan pada mekanika kuantum menyokong pandangan Kant itu. Maka, yang dikatakan jagad raya (space) itu hanyalah hubungan manusia dengan jagad raya, atau jagad raya sebagaimana tampak menurut apa yang dipertanyakan oleh manusia.

Kedua, tentang matter atau materi. Baik Democritus maupun Newton, memandang materi itu solid. Pandangan sekarang menyatakan materi itu kosong. Mekanika kuantum membuktikannya.

Ketiga, tentang kausalitas. Sain modern menganggap kausalitas itu sederhana. Kini ditemukan bahwa partikel-partikel saling mempengaruhi tanpa dapat dipahami bagaimana hubungan kausalitas di antara mereka; kausalitas itu kompleks.

Keempat, tentang unce tainty dari Heisenberg. Ternyata observasi tdh elektron hanya dapat dilakukan terhadap salah satu posisi atau kecepatannya, selain itu observer tidak dapat mengobservasinya tanpa merusaknya. Heisenberg menemukan bahwa gerakan atom tidak dapat keduanya ditetapkan sekaligus, posisi atau kecepatannya. Ini mempertanyakan tentang kelemahan observasi.

(24)

Kelima, tentang partikel sub-atomatik. Capra mendapati bahwa ada semacam kecerdasan elektron, sehingga kini fisika terbuka untuk menerima interpretasi spiritual.

Keenam, kerusakan ekologi menyeluruh. Ini adalah tanda-tanda konkret adanya dampak buruk sain, ia merupakan kebalikan dari yang diharapkan dari sain. Dampak itu antara lain berupa kontaminasi air, udara, tanah, efek buruk berganda pada kehidupan tetumbuhan dan hewan, kepunahan berbagai species, kerusakan hutan, erosi tanah, pengurasan air tanah, akumulasi ilmiah yang toksik, efek rumah kaca, bolongnya ozon, salah satu ujungnya ialah ekonomi dunia semakin runyam.

Pengembangan Ilmu

Bila Anda bertemu dengan seseorang yang baru dilantik menjadi rektor sesuatu perguruan tinggi dan Anda bertanya apa program utamanya, maka Anda akan mendapat jawaban bahwa program utamanya ialah pengembangan ilmu. Tentu saja, karena perguruan tinggi pada umumnya adalah gudang ilmu. Namun, yakinlah Anda banyak orang yang tidak memahami secara tepat apa sebenarnya pengembangan ilmu itu, termasuk banyak juga dari kalangan rektor yang sedang menjabat sebagai rektor. Berikut adalah uraian yang tepat mengenai pengembangan ilmu, bila Anda setuju.

Jika Anda membuka Ilmu Bumi, Anda akan melihat bahwa isinya ialah teori tentang bumi; buku Ilmu Hayat isinya adalah teori tentang makhluk hidup; buku Sejarah isinya teori tentang kejadian masa lalu; buku Filsafat isinya teori filsafat, dan begitulah selanjutnya. Jadi, isi ilmu adalah teori.

Secara umum teori ialah pendapat yang beralasan. Semakin banyak makan telor akan semakin sehat atau telor berpengaruh positif terhadap kesehatan, adalah teori dalam sain. Bila permintaan meningkat maka harga akan naik, juga adalah teori sain. Menurut Plato, penjaga negara (presiden dan menteri) haruslah filosof dan mereka tidak boleh berkeluarga, jika berkeluarga maka mereka tidak akan beres menjaga negara. Ini teori filsafat. Jika penduduk suatu negara beriman bertakwa maka Tuhan akan menurunkan berkah bagi mereka dari langit. Ini salah satu teori dalam agama Islam. Jin dapat disuruh melakukan sesuatu. Ini teori dalam pengetahuan mistik. Teori adalah pendapat (yang beralasan).

(25)

Karena isi ilmu adalah teori, maka mengembangkan ilmu adalah teorinya. Ada beberapa kemungkinan dalam mengembangkan teori. Pertama, menyusun teori baru. Dalam hal ini memang belum pernah dari teori yang muncul, lantas seseorang menemukan teori baru. Kedua, menemukan teori baru untuk mengganti teori lama. Dalam kasus ini, tadinya sudah ada teorinya tetapi karena teori ini sudah tidak mampu menyelesaikan masalah yang mestinya ia mampu menyelesaikannya, maka teori itu diganti dengan teori baru. Ketiga, merevisi teori lama. Dalam hal peneliti atau pengembang, tidak membatalkan teori lama, tidak juga menggantinya dengan teori baru, ia hanya merevisi, ia hanya menyempurnakan teori lama itu. Keempat, membatalkan teori lama. Ia hanya membatalkan, tidak menggantinya dengan teori baru. Ini aneh: ia mengurangi jumlah teori yang sudah ada, ia membatalkan teori dan tidak menggantinya dengan teori baru, tetapi tetap dikatakan ia mengembangkan ilmu.

Bagaimana prosedur serta langkah-langkah pengembangan ilmu akan amat ditentukan oleh jenis ilmunya. Itu memerlukan organisasi, ada managernya. Itu memerlukan biaya tinggi kadang-kadang memerlukan tenaga yang sedikit atau banyak; memerlukan waktu, ada yang sebentar dari yang lama, bahkan ada yang sangat lama.

(26)

BAB 3

PENGETAHUAN FILSAFAT

Pada bab ini dibicarakan antologi, epistemologi dan aksiologi filsafat. Ontologi membicarakan hakikat, objek dan struktur filsafat. Epistemologi membahas cara memperoleh dan ukuran kebenaran pengetahuan filsafat. Aksiologi mendiskusikan masalah kegunaan filsafat dan cara filsafat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dibicarakan juga pada bab ini masalah netralitas filsafat yang akan membahas apakah filsafat itu sebaiknya netral (value free) atau terikar (value bound).

A. Antologi Filsafat

Ontologi filsafat membicarakan hakikat filsafat, yaitu apa pengetahuan filsafat itu sebenarnya. Struktur filsafat dibahas juga di sini. Yang dimaksud struktur di sini ialah cabang-cabang filsafat serta isi (yaitu teori) dalam setiap cabang itu. Yang dibicarakan di sini hanyalah cabang-cabang saja, itupun hanya sebagian. Teori dalam setiap cabang tentu sangat banyak dan itu tidak dibicarakan di sini. Struktur dalam arti cabang-cabang filsafat sering juga disebut sistematika filsafat.

1. Hakikat Pengetahuan Filsafat

Hatta mengatakan bahwa pengertian filsafat lebih baik tidak dibicarakan lebih dulu; nanti bila orang telah banyak mempelajari filsafat orang itu akan mengerti dengan sendirinya apa filsafat itu (Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1966,I:3) Langeveld juga berpendapat seperti itu. Katanya, setelah orang berfilsafat sendiri, barulah ia maklum apa filsafat itu, makin dalam ia berfilsafat akan semakin mengerti ia apa filsafat itu (Langeveld, Menuju ke Pemikiran Filsafat, 1961:9).

Pendapat Hatta dan Langeveld itu benar, tetapi apa salahnya mencoba menjelaskan pengertian filsafat dalam bentuk suatu uraian. Dari uraian ini diharapkan pembaca mengetahui apa filsafat itu, sekalipun belum lengkap. Dan dari situ akan dapat ditangkap apa itu pengetahuan filsafat.

Poedjawijatna (Pembimbing ke Alam Filsafat, 1974:11) mendefinisikan filsafat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang

(27)

sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan akal pikiran belaka. Hasbullah Bakry (Sistematik Filsafat, 1971:11) mengatakan bahwa filsafat sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.

Definisi Poedjawijatna dan Hasbullah Bakry menjelaskan satu hal yang penting yaitu bahwa filsafat itu pengetahuan yang diperoleh dari berpikir. Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab 1, memang ciri khas filsafat malah ia diperoleh dengan berpikir dan hasilnya berupa pemikiran (yang logis tetapi tidak empiris).

Apa yang diingatkan oleh Hatta dan Langeveld memang ada benarnya. Kita sebenarnya tidak cukup hanya dengan mengatakan filsafat ialah hasil pemikiran yang tidak empiris, karena pernyataan itu memang belum lengkap. Bertnard Russel menyatakan bahwa filsafat adalah the attempt to answer ultimate question critically (Joe Park, Selected Reading in the Philosophy of Education, 1960:3). D.C. Mulder (Pembimbing ke Dal m Ilmu Filsa at, 1966:10) mendefinisikan filsafat sebagai pemikiran teoritis tentang susunan kenyataan sebagai keseluruhan. William James (Encyclopedia of Philosophy, 1967:219) menyimpulkan bahwa filsafat ialah a collective name for question which have not been answered to the satisfication of all that have asked them. Namun, dengan mengatakan bahwa filsafat ialah hasil pemikiran yang hanya logis, kita telah menyebutkan inti sari filsafat. Pada Bab 1 telah saya jelaskan (cobalah lihat kembali matrik itu) bahwa pengetahuan manusia ada tiga macam yaitu pengetahuan sain, pengetahuan filsafat dan pengetahuan mistik; pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis dan tidak empiris. Jika Anda orang pemula dalam filsafat pegang saja ini.

a f

2. Struktur Filsafat

Hasil berpikir tentang yang ada dan mungkin ada itu tadi telah terkumpul banyak sekali, dalam buku tebal maupun tipis. Setelah disusun secara sistematis, itulah yang disebut sistematika filsafat. Yang inilah yang saya maksud dengan struktur filsafat.

(28)

Filsafat terdiri atas tiga cabang besar yaitu : antologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga cabang itu sebenarnya merupakan satu kesatuan:

• antologi, membicarakan hakikat (segala sesuatu) ini berupa pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu;

• epistmologi, cara memp oleh pengetahuaner itu;

a

• aksiologi, membicarakan guna pengetahuan itu.

Antologi mencakupi banyak sekali filsafat, mungkin semua filsafat masuk di sini, misalnya Logika, Metafisika, Kosmologi, Teologi, Antropologi, Etika, Estetika, Filsafat Pendidikan, Filsafat Hukum dan lain-lain. Epistemologi hanya mencakup satu bidang saja yang disebut Epistemologi yang membicarakan cara memperoleh pengetahuan filsafat. Ini berlaku bagi setiap cabang filsafat. Sedangkan aksiologi hanya mencakup satu cabang filsafat yaitu Aksiologi yang membicarakan guna pengetahuan filsafat. Inipun berlaku bagi semua cabang filsafat. Inilah kerangka struktur filsafat.

Salah satu filsafat yang masih “baru” ialah Filsafat Perennial. Karena baru, filsafat itu diuraikan ala kadarnya berikut ini.

Filsafat Perennial1

Istilah perennial berasal dari bahasa Latin perennis yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris perennial yang berarti kekal (Kommaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan : Perspektif Filsaf t Perennial, 1995:1). Dengan demikian, Filsafat Perennial (Philosophia Perennis) adalah filsafat yang dipandang dapat menjelaskan segala kejadian yang bersifat hakiki, menyangkut kearifan yang diperlukan dalam menjalani hidup yang benar, yang menjadi hakikat seluruh agama dan tradisi besar spiritualitas manusia (lihat Kommaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, 1995:xx). Hakikat itu menjadi inti pembicaraan Filsafat Perennial, yaitu adanya yang suci (The Sacred) atau yang satu (The One) dalam seluruh manifestasinya seperti dalam agama, filsafat, seni, dan sain. Jadi, dalam definisi teknisnya Filsafat Perennial ialah pengetahuan filsafat tentang yang selalu ada (Budy Munawar Rahman dalam Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, hal xii, xxix).

1

Diadopsi dari makalah Adeng Muchtar Ghazali, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan 1997/1998

(29)

Berkaitan dengan itu, Aldous Huxley yang dalam pertengahan abad 19 mempopulerkan istilah perennial melalui bukunya The Perennial Philosophy

mengemukakan bahwa hakikat Filsafat Perennial, ada tiga yaitu metafi ika, psikologi dan etika (The Perennial Philosophy, 1945:vii).

s

Metafisika untuk mengetahui adanya hakikat realitas Ilahi yang merupakan substansi dunia ini baik yang material, biologis maupun intelektual. Psikologi adalah jalan untuk mengetahui adanya sesuatu dalam diri manusia (yaitu

soul) yang identik dengan Realitas Ilahi. Dan etika adalah yang meletakkan tujuan kahir kehidupan manusia. Dengan demikian, maka Filsafat Perennial memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada di alam semester ini dengan Realitas Ilahi itu. Realitas pengetahuan tersebut hanya dapat dicapai melalui apa yang disebut Plotinus intelek atau soul atau spirit yang jalannya pun hanya melalui tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol, dan sarana-sarana yang diyakini oleh kalangan perennialis sebagai berasal dari Tuhan (lihat Komaruddin Hidayat, 1995:xxix).

Pengenalan metafisika lebih dahulu sebelum pengetahuan lainnya mungkin disebabkan karena perkembangan filsafat pada awalnya adalah metafisika, sehingga untuk memahami isi alam harus dipahami lebih dahulu wujud Tuhan. Mengenai psikologi sebagai hal kedua yang harus dikenali adanya karena kenyataan bahwa Tuhan sebagai tujuank merupakan sesuatu yang tidak terbatas yang hanya dapat diketahui oleh bagian dari unsur “dalam” manusia.

Atas dasar tersebut dapat dikemukakan bahwa pembicaraan tentang cara mengetahui (epistemologi) objek Filsafat Perennial sama artinya dengan pembicaraan tentang proses batin manusia “menangkap” Realitas Absolut itu.

Metafisika. Filsafat Perennial mengatakan bahwa eksistensi-eksistensi tertata secara hirarkis (Frithjof Schoun, The Trancendent Unity of Religion, 1975:19). Realitas selalu saling terkait, jumlahnya meningkat ketika level-nya naik. Semakin tinggi eksistensi semakin real ia (Houston Smith, Beyond Post-Modern, 1979:8).

Melalui Filsafat Perennial disadari adanya Yang Infinite dibalik kenyataan ini (level of reality). Juga dalam diri manusia (level of selfhood) yang terdiri dari

(30)

dan manusia pada dasarnya hanyalah tajalli atau penampakan infinite atau spirit

yang dalam Islam disebut al-Haqq (Komaruddin Hidayat, 1995:xxxii). Karena adanya dua level ini maka diyakini dunia ini bersifat hirarkis.

Tingkat-tingkat eksistensi ini menjelaskan bahwa tradisi (agama misalnya) adalah jalan yang memberi tahu kita tentang cara menempuh “pendakian” dan tingkat eksistensi yang lebih rendah, yaitu kehidupan sehari-hari, ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu Tuhan melalui pengalaman mistis atau pengalaman kesatuan. Wujud real ini dapat disamakan dengan klaim Realisme mengenai apa yang tampak nyata. Tetapi real di sini adalah real dengan sendirinya. Bagi orang yang telah terbiasa dengan Rasionalisme atau Empirisme pembedaan ini agak sulit dilakukan. Bukankah manusia sudah real lalu ada realitas lain yang lebih real yang tampak?

Mengenai hal ini Houston Smith mengemukakan alegori Plato sebagai analognya. Mengenai alegori Plato bacalah uraian Plato mengenai manusia guna (cave man) lihat misalnya dalam Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (1990:49-50). Dalam legenda Plato itu orang yang punya bayangan orang itu adalah sesuatu yang real, tetapi orang yang punya bayangan adalah lebih real dibandingkan dengan bayangannya.

Di dalam alegori itu hendak digambarkan juga (oleh Plato) bahwa manusia yang tidak dilengkapi dengan “cahaya” akan terus berkutat pada bentuk tertentu dan tidak akan tiba pada dimensi yang lebih tinggi. Hanya dengan “cahaya” itulah manusia akan mampu melihat adanya dimensi lain yang lebih real daripada ia lihat sekarang.

Inti alegori itu adalah untuk menggambarkan kemungkinan adanya sesuatu kehidupan yang lebih tinggi yang sekarang sulit dipahami karena manusia tidak mampu ikut serta dalam penampakannya. Manusia dikelilingi oleh benda-benda, benda-benda itu membatasi manusia untuk meningkat ke kualitas lebih tinggi. Manusia mampu meningkat ke tingkat lebih tinggi itu dengan kemampuan “cahaya”. Dengan demikian, jelaslah bahwa ada hirarki realitas.

Realitas tanpa batas hanya dapat diungkapkan melalui citra-citra. Melalui pencitraan itu realitas tanpa batas dapat diukur dalam enam hal yakni energi, durasi, ruang lingkup, kesatuan, nilai penting, dan kebaikan (lihat Komaruddin

(31)

Hidayat, 1995:10). Energi atau kekuatan misalnya, merupakan suatu pengaruh yang menyebabkan yang lain memberikan respon atas keberadaannya. William James mengatakan bahwa dikatakan real jika sesuatu menyebabkan kita berkewajiban untuk berurusan dengannya (William James, Some Problems of Philosophy, 1971:101).

Suatu wujud dikatakan tak terhingga jika ia memasuki enam kategori di atas. Misalnya jika energi atau power tak terhingga, ia Maha Kuasa, jika durasi tak terhingga, artinya durasinya tak terputus, maka ia Abadi; jika ruang lingkupnya tak terbatas, ia Ada dimana-mana; jika kesatuannya tanpa syarat, ia Murni (tidak memuat apapun); jika nilai pentingnya diutamakan, ia menjadi Mutlak; jika kebaikannya ditonjolkan, ia Mahasempurna. Kesemuanya itu adalah Tuhan.

Pembicaraan mengenai objek utama Filsafat Perennial tentu akan sulit bila tidak dihubungkan dengan alam sebagai citraan Tuhan. Tuhan dan alam sesuai dengan hirarkinya masing-masing harus dibicarakan. Pembicaraan ini berakibat pada penciptaan eksistensi yang hirarkis dari atas ke bawah, yang lebih atas berarti lebih real yaitu Godhead atau Yang Tak Terhingga, yaitu Tuhan menyatakan adanya level lebih real bukan berarti level di bawahnya tidak real melainkan kurang real dibandingkan dengan eksistensi level di atasnya.

Psikologi. Manusia adalah makhluk yang mencerminkan alam raya, demikian juga sebaliknya. Manusia suatu saat dapat menjadi makrokosmos pada saat yang lain menjadi mikrokosmos. Kedua kemungkinan itu akan berpengaruh pada penilaian mana yang lebih baik dalam hirarki kemanusiaan. Yang terbaik dalam diri manusia adalah yang paling “dalam”, ia adalah basis dan dasar bagi wujud manusia. Pada basis yang paling dalam inilah kaum sufi menemukan suatu

lokus percakapan antara mansuia dengan Tuhan (lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat Barat Abad XX, 1983:58).

Untuk memahami lebih jauh tentang kondisi “dalam” manusia, Filsafat Perennial melihat dua kecenderungan dalam manusia, yaitu Aku-Objek (me) yang bersifat terbatas dan Aku-Subyek (I) yang dalam kesadarannya tentang keterbatasan ini mampu membuktikan bahwa dalam dirinya sendiri ia bebas dari keterbatasannya.

(32)

Filsafat Perennial yang mencoba mencari keabadian, memilih Aku-Subyek yang tak terhingga yang menenggelamkan diri pada pusat diri yang paling dalam, menutup segala permukaan inderawi, persepsi maupun pemikiran, dibungkus dalam kantung jiwa yang bersifat Ilahi, sehingga masuk pada suatu pencapaian yang bukan jiwa, bukan personal, melainkan Segala-Diri (all-self) yang melampaui segala kedirian. Filsafat Perennial menggariskan bahwa di dalam manusia “menginkarnasi” Tuhan yang tak terhingga, jika manusia mampu membuang penutup-penutup akal indrawi, membuang kerangkeng materi dan terbang melampaui ruang dan waktu. Kondisi semacam itulah mungkin yang diungkapkan oleh Gabriel Marcel “Semakin dalam aku menjangkau diriku, semakin tampak ia melampaui diriku” (lihat Mathias Haryadi, Membina Hubungan antar Pribadi Berdasarkan Prinsip Partisipasi, Persekutuan dan Cinta Menurut Gabriel Marcel, 1996:49-57).

Manusia mampu menangkap limpahan Aku-Subyek yang tak terbatas di saat sedang tenggelam dalam tugas yang tidak memberikan sedikitpun perhatian pada kepentingan pribadi. Dalam bahasa I-Me tidak ada lagi me yang tersisa.

Maqam itu dapat dicapai melalui empat level. Pertama, sebuah kehidupan yang secara primer diidentikkan dengan kesenangan dan kebutuhan fisik (memberi atau menerima, hidup sekedar menghabiskan umur) akan bersifat atau bernilai pinggiran; kedua seseorang yang dapat mengembangkan perhatian pada akal, ini dapat menjadi diri yang menarik; ketiga, jika manusia dapat beralih pada hati, ia akan menjadi orang baik; keempat, jika ia dapat melewatinya dan sampai ke roh, yang menjaga dari lupa diri dan mempertahankan egalitarianisme yakni kepentingan pribadi sama dengan kepentingan orang lain, ia akan menjadi orang sempurna (Houston Smith, 1979:18).

Filsafat Perennial bukan berarti tidak menghargai akal. Namun dalam menghargai akal itu yang dihargai ialah orang yang menggunakannya bukan pada kemampuan akal itu.

Etika. Suasana batin tertentu pada tataran psikologis ternyata sanggup menembus sampai kesejatiannya. Itu diperoleh melalui metode-metode tertentu. Metode itu ialah metode yang biasanya digunakan oleh pejalan mistik atau suluk. Tetapi Filsafat Perennial tidak membahas itu secara rinci.

(33)

Etika adalah kumpulan untuk mengefektifkan usaha transformasi diri yang akan memungkinkan untuk mengalami dunia dengan cara baru. Melakukan perubahan, reformasi dan pengaturan akan membawa ke arah kondisi diri yang baru, mencakup bagaimana prinsip-prinsip untuk mengetahui dunia secara lebih sejati dari sekedar penampakannya apa adanya.

Isi etika adalah bentuk-bentuk kerendahatian, kedermawanan, ketulusan. Kerendahhatian merupakan kapasitas untuk membuat jarak diri dengan kepentingan pribadinya, menjauhkan ego sehingga ia dapat melihatnya secara objektif dan akurat. Tiga kebaikan utama ini masing-masing berkaitan dengan tatanan manusia. Ketulusan adalah kemampuan untuk mengetahui benda-benda secara aktual dan objektif. Kedermawanan adalah melihat orang lain seperti pada dirinya sendiri, sedangkan kerendahhatian adalah melihat diri sendiri seperti orang lain.

Filsafat Post Modern (Post Modern Philosophy)

Di dalam literature filsafat, biasanya babakan sejarah filsafat dibagi tiga.

Pertama, Filsafat Yunani Kuno (Ancient Philosophy) yang didominasi Rasionalisme, kedua Filsafat Abad Tengah (Middle Ages Philosophy), disebut juga The Dark Ages Philosophy (Filsafat Abad Kegelapan), yang didominasi oleh pemikiran tokoh Kristen, ketiga Filsafat Modern (Modern Philosophy) yang didominasi lagi oleh Rasionalisme.

Akhir-akhir ini agaknya telah muncul babakan keempat, yaitu Filsafat Pascamodern (Post Modern Philosophy).

Jika periode pertama didominasi rasio, periode kedua didominasi pemikiran tokoh Kristen, periode ketiga didominasi rasio lagi, maka pada periode keempat itu apa yang mendominasi?

Pada intinya, filsafat Pascamodern (anak-anak sering menyebutnya Posmo) mengkritik Filsafat Modern. Orang-orang Posmo mengatakan Filsafat Modern itu harus didekonstruksi. Karena Filsafat Modern itu didominasi Rasionalisme, maka yang didekonstruksi itu adalah Rasionalisme itu.

Rasionalisme ialah paham filsafat yang mengatakan akal itulah alat pencari dan pengukur kebenaran. Nah, paham itulah yang didekonstruksi oleh Filsafat Posmo.

(34)

Sebenanrya, budaya Barat (yang ternyata mengglobal) adalah budaya yang secara keseluruhan dibangun berdasarkan Rasionalisme itu. Dan kata Capra, memang hanya berdasarkan Rasionalisme.

Pada tahun 1880-an Nietzsche telah menyatakan bahwa budaya barat (ya, budaya rasional itu) telah berada di pinggir jurang kehancuran, itu disebabkan oleh terlalu mendewakan rasio. Pada tahun 1990-an Capra menyatakan bahwa budaya Barat itu telah hancur, itu disebabkan oleh terlalu mendewakan rasio.

Sepertinya, tokoh-tokoh Filsafat Posmo itu ingin menyelematkan budaya Barat. Menurut mereka budaya dapat diselamatkan bila budaya Barat disusun ulang tidak hanya berdasarkan Rasionalisme. Orang-orang Posmo berpendapat bahwa sumber kebenaran tidak hanya rasio, ada sumber kebenaran lain selain rasio. Agama, misalnya. Jika digunakan agama, maka penggunaan rasio telah termasuk di dalamnya.

Kayaknya ada baiknya budaya disusun berdasarkan ajaran agama tetapi harus dipilih agama yang benar-benar berasal dari Tuhan Yang Maha Pintar.

B. Epistemologi Filsafat

Epistemologi filsafat membicarakan tiga hal, yaitu objek filsafat (yaitu yang dipikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran (pengetahuan) filsafat.

1. Objek Filsafat

Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya, yang terdalam. Jika hasil pemikiran itu disusun, maka susunan itulah yang kita sebut sistematika Filsafat. Sistematika atau Struktur Filsafat dalam garis besar terdiri atas antologi, epistemologi dan aksiologi.

Isi setiap cabang filsafat ditentukan oleh objek apa yang diteliti (dipikirkan)nya. Jika ia memikirkan pendidikan maka jadilah Filsafat Pendidikan. Jika yang dipikirkannya hukum maka hasilnya tentulah Filsafat Hukum, dan seterusnya. Seberapa luas yang mungkin dapat dipikirkan? Luas sekali. Yaitu semua yang ada dan mungkin ada. Inilah objek filsafat. Jika ia memikirkan pengetahuan jadilah ia Filsafat Ilmu, jika memikirkan etika jadilah Filsafat Etika, dan seterusnya.

(35)

Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian sain. Sain hanya meneliti objek yang ada, sedangkan filsafat meneliti objek yang ada dan mungkin ada. Sebenarnya masih ada objek lain yang disebut objek forma yang menjelaskan sifat kemendalaman penelitian filsafat. Ini dibicarakan pada epistemologi filsafat.

Perlu juga ditegaskan (lagi) bahwa saink meneliti objek-objek yang ada dan empiris; yang ada tetapi abstrak (tidak empiris) tidak dapat diteliti oleh sain. Sedangkan filsafat meneliti objek yang ada tetapi abstrak, adapun yang mungkin ada, sudah jelas abstrak itu pun jika ada. Cobalah lihat lagi matrik kita pada Bab 1.

2. Cara Memperoleh Pengetahuan Filsafat

Pertama-tama filosof harus membicarakan (mempertanggung jawabkan) cara mereka memperoleh pengetahuan filsafat. Yang menyebabkan kita hormat kepada para filosof antara lain ialah karena ketelitian mereka, sebelum mencari pengetahuan mereka membicarakan lebih dahulu (dan mempertanggungjawabkan) cara memperoleh pengetahuan tersebut. Sifat itu sering kurang dipedulikan oleh kebanyakan orang. Pada umumnya orang mementingkan apa yang diperoleh atau diketahui, bukan cara memperoleh atau mengetahuinya. Ini gegabah, para filosof bukan orang yang gegabah.

Berfilsafat ialah berpikir. Berpikir itu tentu menggunakan akal. Menjadi persoalan, apa sebenarnya akal itu. John Locke (Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, II, 1973:111) mempersoalkan hal ini. Ia melihat, pada zamannya akal telah digunakan secara terlalu bebas, telah digunakan sampai di luar batas kemampuan akal. Hasilnya ialah kekacauan pemikiran pada masa itu.

Sejak 650 SM sampai berakhirnya filsafat Yunani, akal mendominasi. Selama 1500 tahun sesudahnya, yaitu selama Abad Tengah Kristen, akal harus tunduk pada keyakinan Kristen; akal di bawah, agama (Kristen) mendominasi. Sejak Descartes, tokoh pertama filsafat Modern, akal kembali mendominasi filsafat.

Descartes (1596-1650) dengan cogito ergo sumnya berusaha melepaskan filsafat dari dominasi agama Kristen. Ia ingin akal mendominasi filsafat. Sejak ini filsafat didominasi oleh akal. Akal menang lagi.

(36)

Voltaire telah berhasil memisahkan akal dengan iman. Francis Bacon amat yakin pada kekuatan Sain dan Logika. Sain dan Logika dianggap mampu menyelesaikan semua masalah (Will Durant, The Story of Philosophy, 1959:254). Condoret mendukung Bacon : Sain dan Logika itulah yang penting. Kemudian pemikiran ini diikuti pula oleh pemikir Jerman Christian Wolff dan Lessing. Bahkan pemikir-pemikir Prancis mendramatisasi keadaan ini sehingga akal telah dituhankan (lihat Durant, 1959:254). Spinoza meningkatkan kemampuan akal tatkala ia menyimpulkan bahwa alam semester ini laksana suatu sistem matematika dan dapat dijelaskan secara a priori dengan cara mendeduksi aksioma-aksioma. Filsafat ini jelas memberikan dukungan kepada kepongahan manusia dalam menggunakan akalnya. Karena itu tidaklah perlu kaget tatkala Hobbes meningkatkan kemampuan akal ini menjadi Atheisme dan Materalisme yang nonkompromis.

Sejak Spinoza sampai Diderot kepingan-kepingan ima telah tunduk di bawah kaidah-kaidah akliah. Helvetius dan Holbach menawarkan idea yang “edan” itu di Prancis, dan La Mettrie, yang menyatakan manusia itu seperti mesin, menjajakan pemikiran ini di Jerman. Tatkala pada tahun 1784 Lessing mengumumkan bahwa ia menjadi pengikut Spinoza, itu telah cukup sebagai pertanda bahwa iman telah jatuh sampai ke titik hadirnya dan akal telah berjaya (Lihat Durant, 1959:255).

David Hume (1711-1776) tidak begitu senang pada keadaan ini. Ia menyatakan bila akal telah menentang manusia, maka akan datang waktunya manusia menantang akal. Apa akal itu sebenarnya?

Locke (1632-1704) telah meneliti akal. Ia berhasil tampil dengan argumennya tentang kerasionalan agama Krsiten. Pengetahuan kita datang dari pengalaman, begitu katanya. Teorinya tabula rasa menjelaskan pandangannya itu. Ia berkesimpulan bahwa yang dapat kita ketahui hanya materi, karena itu materialisme harus diterima. Bila penginderaan adalah asal usul pemikiran, maka kesimpulannya haruslah materi adalah material jiwa.

Tidak demikian kita Uskup George Berkeley (1684-1753) analisis Locke itu justru membuktikan materi itu sebenarnya tidak ada. David Hume seorang Uskup Irlandia berpendapat lain. Katanya, kita mengetahui apa jiwa itu, sama

Referensi

Dokumen terkait

Gangguan penyalahgunaan obat dapat timbul karena proses terhadap sistem politik atau nilai-nilai yang sudah mampu dan bisa juga sebagai sikap menentang terhadap

Struktur Dan Nilai Puisi Nadoman Di cililin Kabupaten bandung Barat Serta Upaya Pelestariannya dalam pendidikan Non Formal.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Alat yang digunakan pada pengujian ini meliputi Laptop, Wemos D1 Mini, Aplikasi Blynk, Kabel USB type B, Kabel Jumper, sensor Figaro TGS2610, LCD dan RTC, sedangkan langkah-langkah

Jawaban yang benar dituliskan sebagai 1,06 karena perbedaan 1 pada angka terakhir bilangan faktor yang turut dalam unsur pembagian (9,3) memberi kesalahan

didefinisikan sebagai lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur tertentu di masa mendatang. HLS dapat digunakan untuk

activities in the way the teacher analyzed students’ needs, designed th e learning objectives, organized the materials and activities, presented the materials,

Pada tahap evaluating atau penilaian proses kerja dan hasil proyek siswa. Pada tahap ini, 1) kegiatan guru atau siswa dalam pembelajaran sebagai pekerjaan yang telah

Bab ini berisikan mengenai uraian teoritis yang digunakan sebagai landasan teori yang mendukung penelitian ini yaitu mengenai ritel dan industri ritel Indonesia, toko