• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH CONVECTIVE AVALIABLE POTENTIAL ENERGY (CAPE) DAN OUTGOING LONGWAVE RADIATION (OLR) TERHADAP CURAH HUJAN DI CENGKARENG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH CONVECTIVE AVALIABLE POTENTIAL ENERGY (CAPE) DAN OUTGOING LONGWAVE RADIATION (OLR) TERHADAP CURAH HUJAN DI CENGKARENG"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

FB-47

PENGARUH CONVECTIVE AVALIABLE POTENTIAL ENERGY (CAPE) DAN OUTGOING LONGWAVE RADIATION (OLR) TERHADAP CURAH

HUJAN DI CENGKARENG Shanas Septy Prayuda dan Nanda Alfuadi*

Prodi Meteorologi,

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

ABSTRAK. Wilayah Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di ekuator.

Hal tersebut menyebabkan pengaruh energi konvektif yang ada di atmosfer (CAPE) sangat mempengaruhi proses pembentukan awan hujan yang nantinya berimplikasi pada jumlah curah hujan yang akan dihasilkan. Telah banyak penelitian yang membahas tentang keterkaitan tersebut di wilayah tropis termasuk Indonesia, namun cakupan wilayah penelitian tersebut masih terlalu luas dan kurang mendalam. Pada penelitian ini dibahas tentang pola keterkaitan CAPE, OLR yang merepresentasikan tutupan awan, dan jumlah curah hujan di wilayah Cengkareng, Tangerang. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui keterkaitan tiga parameter ini sebagai langkah analisa cuaca dalam rangka prakiraan harian. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa nilai CAPE bulanan di Cengkareng memiliki pola dua puncak dengan nilai puncak pada bulan April dan Oktober, sedangkan OLR memiliki satu puncak tertinggi pada bulan Agustus dan terendah pada bulan Desember. Nilai korelasi CAPE dan OLR adalah -0,53. Hal ini menunjukkan semakin banyak energi konvektif yang ada maka tutupan awan akan semakin banyak. Nilai korelasi CAPE dan curah hujan GSMaP sebesar 0,55 sedangkan nilai korelasi CAPE dan curah hujan observasi permukaan sebesar 0,21. Korelasi yang rendah ini menunjukkan bahwa CAPE tidak selalu memiliki pengaruh langsung terhadap jumlah curah hujan di Cengkareng. Hal ini karena CAPE hanya menyatakan besar energi di atmosfer yang digunakan untuk pengangkatan massa udara. Korelasi antara OLR dengan curah hujan GSMaP bernilai -0,92 sedangkan korelasi antara OLR dengan curah hujan observasi bernilai -0,66. Nilai korelasi yang tinggi ini karena OLR mengindikasikan banyaknya tutupan awan yang ada di atmosfer meskipun tidak semua awan yang terbentuk di atmosfer merupakan awan hujan. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa masih terlalu sulit menganalisa pola curah hujan pada setiap intensitas hujan dengan menggunakan CAPE untuk wilayah Cengkareng karena selain pengaruh termis, pengangkatan udara juga dipengaruhi oleh proses mekanis. Selain itu proses pembentukan awan dan presipitasi sangat dipengaruhi oleh kebasahan atmosfer lapisan atas. Terdapat potensi untuk mengembangkan teknik analisa pola curah hujan dengan menggunakan OLR.

Kata kunci: CAPE, OLR, curah hujan, Cengkareng

ABSTRACT. Indonesian territory is an archipelago located at the equator. This causes

the influence of convective energy in the atmosphere (CAPE) greatly affect the formation of rain clouds which will have implications for the amount of precipitation that will be generated. Have been many studies that discuss these linkages in the tropics, including Indonesia, but the coverage area of research is still too broad and not depth enough. In this study discussed the relationship pattern CAPE, OLR representing cloud cover, and the amount of rainfall in the region Cengkareng, Tangerang. This study aimed to determine the relevance of three of these parameters as a step analysis in order to forecast the weather daily. Based on the analysis note that the value of CAPE monthly in Cengkareng have a pattern of two peaks with a peak value in April and October, while the OLR has the highest peak in August and the lowest in December. CAPE and OLR correlation value is -0.53. This shows that the more energy there is, the convective cloud cover will be more and more. CAPE correlation value and rainfall GSMaP correlation of 0.55 while the value of CAPE and surface observations of

*

(2)

rainfall of 0.21. This low correlation indicates that CAPE does not always have a direct influence on the amount of rainfall in Cengkareng. This is because of the energy CAPE only states in the atmosphere which is used for removal of the air mass. Correlation between OLR with rainfall GSMaP worth -0.92 while the correlation between OLR with rainfall observation worth -0.66. This high correlation value for OLR indicate the amount of cloud cover in the atmosphere although not all clouds are formed in the atmosphere is a rain cloud. In this study concluded that it was too difficult to analyze the pattern of rainfall in each rainfall intensity by using CAPE's Cengkareng area because in addition to the thermic effect, removal of air is also affected by a mechanical process. In addition the process of the formation of clouds and precipitation is strongly influenced by the wetness in the upper atmosphere. There is potential to develop analysis techniques rainfall patterns using OLR.

Keywords: CAPE, OLR, rainfall, Cengkareng 1. Pendahuluan

Telah banyak dilakukan penelitian tentang CAPE dan OLR dan kaitannya dengan curah hujan. Daerah tropis yang merupakan daerah pembentukan awan – awan konvektif menjadi daerah yang sangat menarik untuk dikaji. Wilayah Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di ekuator. Hal tersebut menyebabkan pengaruh energi konvektif yang ada di atmosfer (CAPE) sangat mempengaruhi proses pembentukan awan hujan yang nantinya berimplikasi pada jumlah curah hujan yang akan dihasilkan.

Menurut Djuric (1994), konvektivitas udara dapat dipantau dengan cara menghitung energi yang dimiliki oleh partikel uap air, disebut CAPE. Dalam pengertian lain menurut Moncrieff and Miller (1976), CAPE merupakan potensi daya apung dalam teori kenaikan parsel udara dan memberikan indikasi ketidakstabilan troposfer dalam waktu tertentu. Semakin tinggi nilai CAPE maka semakin besar pula potensi konveksinya (Holley et al, 2014). Berdasarkan Tabel 1, nilai CAPE dapat diklasifikasikan berdasarkan ketidakstabilan kondisi atmosfer.

Tabel 1 : Klasifikasi CAPE (Djuric, 1994)

Nilai CAPE Kondisi Atmosfer

<1000 Konvektif Lemah 1000 – 2500 Konvektif Sedang >2500 Konvektif Kuat

OLR merupakan radiasi balik gelombang panjang pada puncak atmosfer yang

diamati oleh satelit orbit polar dalam satuan watt/m2 (Sucahyono,dkk.2009).

Gruber and Winston (1978) menyatakan bahwa data OLR diamati melalui pengukuran window channel pada satelit polar National Oceanographic and Atmospheric Administration (NOAA) sejak Juni 1974. OLR merupakan sebuah parameter penting untuk mengetahui seberapa kuat konveksi di atmosfer. (Sapra et al, 2011). Menurut Rao, dkk (1976) bahwa jumlah hari dalam sebulan dengan

(3)

hubungannya kurang dari 240 watt/m2 digunakan sebagai prediktor curah hujan bulanan dan dikalibrasi terhadap prakiraan berdasarkan pengamatan microwave di lautan tropis. Pengkajian hubungan antara OLR dengan curah juga diteliti oleh Morrissey (1986) yang menyatakan bahwa OLR dan curah hujan memiliki korelasi negatif yang berarti bahwa jika OLR tinggi curah hujannya rendah dan juga sebaliknya.

Untuk menghindari kerancuan nilai ambang klasifikasi jumlah curah hujan, BMKG telah mengklasifikasikan nilai curah hujan di Indonesia dalam beberapa kategori (Tabel 2).

Tabel 2 : Kategori intensitas curah hujan (sumber : BMKG).

No Kategori Intensitas Curah Hujan

Setiap Jam (mm/jam) Setiap Hari (mm/hari)

1. Tidak hujan (berawan) - -

2. Hujan ringan 0,1 - 4,9 0,1 - 19,9

3. Hujan sedang 5,0 - 9,9 20,0 - 49,9

4. Hujan lebat 10,0 - 20,0 50,0 - 100

5. Hujan sangat lebat > 20,0 > 100,0

Berdasarkan uraian terkait pengaruh CAPE dan OLR terhadap jumlah curah hujan maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara CAPE dan OLR terhadap jumlah curah hujan di Cengkareng yang diharapkan nantinya dapat digunakan sebagai prediktor jumlah curah hujan di Cengkareng.

2. Data dan Metode

Lokasi penelitian ini berada di wilayah Cengkareng (106,65 oBT dan 6,125 oLS).

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Data CAPE per 3 jam dengan resolusi 1o x 1o yang dari European Centre for

Medium-Range Weather Forecast (ECMWF) yang diunduh dari

http://apps.ecmwf.int/datasets/

2. Data OLR dari NOAA dengan resolusi 1o x 1o yang diunduh dari

ftp://ftp.cdc.noaa.gov/Datasets/olrcdr/

3. Data curah hujan dari Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP)

dengan resolusi data 0.2o x 0.2o yang dapat diunduh dari

http://sharaku.eorc.jaxa.jp/

4. Data curah hujan dari observasi permukaan Stasiun Meteorologi Soekarno

Hatta, Cengkareng.

Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan aplikasi The Grid Analyses and Display System (GrADS) versi 2.0a9 dan Microsoft Excel 2010. Pengolahan data CAPE, OLR, dan curah hujan GSMaP diolah dengan menggunakan GrADS dan kemudian nilainya dikonversi kedalam bentuk text.

(4)

Pengolahan data harian CAPE dilakukan dengan cara menjumlah 8 data (per 3 jam) dalam sehari yang ada dari model, sedangkan data OLR adalah data harian dan data curah hujan adalah data jumlah curah hujan dalam sehari. Langkah selanjutnya adalah dengan cara mencari rata – rata bulanan dari data harian tersebut selama periode 2009 - 2012. Data – data yang ada kemudian dicari korelasi antar parameter dengan menggunakan Microsoft Excel 2010.

3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Korelasi CAPE dan OLR

Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa nilai CAPE bulanan di Cengkareng memiliki pola dua puncak dengan nilai puncak pada bulan April (4133,73 J/kg) dan Oktober (3658,17 J/kg) dan terendah pada bulan Juli (1895,28 J/kg). Pola ini berkaitan dengan gerak semu tahunan matahari dengan time lag 1 bulan. Ketika matahari berada di ekuator (bulan Maret dan September) nilai CAPE yang terpantau di wilayah Cengkareng akan mencapai puncaknya satu bulan berikutnya (bulan April dan Oktober) dan ketika posisi matahari berada di garis balik utara/selatan (bulan Juni/Desember) nilai CAPE terendah akan terpantau di Cengkareng satu bulan kemudian (bulan Juli/Januari). Kedua puncak nilai CAPE berada pada peralihan musim (MAM dan SON). Hal ini karena pada peralihan musim memiliki gradien tekanan antara belahan bumi utara dan belahan bumi selatan yang relatif lebih rendah. Akibatnya, pada peralihan musim akan memiliki kecepatan angin yang lebih rendah dibandingkan puncak musim penghujan maupun kemarau. Kecepatan rendah ini akan berakibat pada proses pencampuran yang kurang kuat, sehingga selisih suhu vertikal atmosfer akan semakin besar. Kondisi ini mengakibatkan nilai lapse rate (penurunan suhu terhadap ketinggian) semakin besar dan nilai CAPE juga akan mengalami peningkatan.

Sedangkan OLR tertinggi pada bulan Agustus (253,10 W/m-2) dan terendah pada

bulan Desember (187,98 W/m-2). Pola OLR bulanan ini dapat dikaitkan dengan

pola monsun. Pada bulan Desember – Januari (DJF) merupakan puncak monsun dingin Asia yang menyebabkan banyaknya awan di Cengkareng, sedangkan pada bulan Juni – Agustus (JJA) merupakan puncak monsun Australia yang sedikit membawa massa uap air sehingga sedikit terbentuk awan.

OLR mengindikasikan jumlah tutupan awan yang ada. Jika OLR rendah maka dapat diindikasikan bahwa banyak terbentuk awan, dikarenakan gelombang panjang yang keluar tertahan oleh awan, dan juga sebaliknya.

Pola dua puncak pada nilai CAPE bulanan ini menunjukkan bahwa pengaruh posisi matahari sangat dominan sedangkan pola satu puncak pada nilai OLR bulanan terjadi karena untuk wilayah tropis baik pada musim hujan maupun pancaroba tutupan awan masih cukup banyak dan hanya pada musim kemarau saja kondisi tutupan awan di Cengkareng yang jumlahnya relatif sedikit.

(5)

Gambar 1 : Pola bulanan CAPE dan OLR Cengkareng periode 2009 – 2012.

Pola bulanan CAPE dan OLR didapatkan korelasi negatif, yang berarti jika CAPE tinggi maka OLR rendah, dan sebaliknya. Korelasi keduanya cukup signifikan yakni bernilai -0,53. Korelasi negatif ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai CAPE akan menyebabkan nilai OLR mengalami penurunan. Ini karena ketika energi pengangkatan massa udara (CAPE) yang tersedia cukup besar dapat meningkatkan potensi pembentukan awan jika kondisi atmosfer lapisan atas cukup lembab dan angin geser secara vertikal kecil, sehingga radiasi yang dilepaskan ke luar angkasa (OLR) akan semakin sedikit, begitu pula sebaliknya.

3.2 Curah Hujan GSMaP dan Observasi Permukaan

Pada penelitian ini data curah hujan yang digunakan adalah data GSMaP dan pengamatan permukaan. Dari kedua data ini terdapat perbedaan nilai yang fluktuatif. Perbedaan pada hasil pengamatan curah hujan GSMaP dan observasi permukaan disebabkan oleh metode pengamatan yang berbeda. Curah hujan GSMaP didapat dari hasil observasi curah hujan dengan menggunakan satelit yang melihat banyaknya presipitasi dari algoritma turunan kandungan uap air dan suhu puncak awan sehingga didapatkan kandungan precipitable water untuk estimasi jumlah curah hujan, sedangkan curah hujan observasi permukaan didapat dari hasil pengamatan jumlah presipitasi yang sampai pada permukaan bumi.

Gambar 2 : Pola bulanan Curah Hujan GSMaP dan Curah Hujan Observasi Permukaan di Cengkareng periode 2009 – 2012. 150 170 190 210 230 250 270 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 JA N FE B M AR APR M EI

JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES

OLR (W/m -2) CAP E (J /kg ) CAPE OLR 0 100 200 300 400 JA N FE B M A R A P R M EI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES C urah H uj an (m m ) GSMAP OBS

(6)

Secara umum, pola curah hujan GSMaP dan observasi permukaan cenderung sama (Gambar 2). Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi yang cukup tinggi yaitu positif 0,60. Jadi curah hujan GSMaP dapat digunakan sebagai alternatif apabila tidak adanya pengamatan observasi permukaan.

3.3 Korelasi CAPE dengan Curah Hujan

Pengolahan data CAPE dan curah hujan menghasilkan korelasi positif, yang berarti nilai CAPE dan curah hujan cenderung berbanding lurus. Nilai korelasi CAPE dan curah hujan GSMaP sebesar 0,55 sedangkan nilai korelasi CAPE dan curah hujan observasi permukaan sebesar 0,21. Korelasi CAPE dengan curah hujan GSMaP lebih besar karena curah hujan GSMaP merupakan estimasi curah hujan didapatkan dari penurunan nilai berdasarkan hasil pengamatan satelit cuaca, sedangkan curah hujan observasi didapatkan dari jumlah presipitasi yang turun hingga mencapai permukaan tanah. Sementara itu nilai CAPE juga didapatkan berdasarkan reanalisis data model yang telah diasimilasi dengan data pengamatan baik itu eksitu (satelit dan radar) maupun insitu (observasi permukaan dan sounding). Korelasi positif antara nilai CAPE dan jumlah curah hujan bulanan di Cengkareng dapat dibuktikan dari kemiripan pola pada kedua data tersebut seperti pada Gambar 3 berikut ini.

Gambar 3 : Pola bulanan CAPE, Curah Hujan GSMaP, Curah Hujan Observasi Permukaandi Cengkareng periode 2009 – 2012.

Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui bahwa nilai CAPE tidak selalu memiliki pengaruh langsung terhadap jumlah curah hujan di Cengkareng. Ini terbukti dari pola nilai CAPE dan jumlah curah hujan yang tidak sepenuhnya identik. Pengaruh yang tidak langsung ini karena CAPE hanya menyatakan besar energi di atmosfer yang digunakan untuk pengangkatan massa udara. Sedangkan proses pembentukan presipitasi masih memerlukan banyak pertimbangan dari parameter lain.

3.4 Korelasi OLR dan Curah Hujan

Berdasarkan Gambar 4, dapat diketahui bahwa keterkaitan OLR dan curah hujan cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan nilai korelasi yang tinggi antara OLR dan curah hujan, baik curah hujan GSMaP maupun observasi permukaan.

0 100 200 300 400 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 JA N FE B M A R A P R M EI

JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES

C urah H uj an (m m ) C A P E (J /kg )

(7)

OLR dan curah hujan memiliki korelasi negatif yang signifikan. Korelasi antara OLR dengan curah hujan GSMaP bernilai -0,92 sedangkan korelasi antara OLR dengan curah hujan observasi bernilai -0,66.

Gambar 4 : Pola bulanan OLR, Curah Hujan GSMaP, Curah Hujan Observasi Permukaan di Cengkareng periode 2009 – 2012.

Secara teori nilai OLR hanya merupakan indikator dari banyaknya tutupan awan yang ada di atmosfer sehingga nilai OLR tidak dapat menggambarkan curah hujan secara langsung karena tidak semua awan yang terbentuk di atmosfer merupakan awan hujan.

3.5 Identifikasi Intensitas Hujan

Berdasarkan olahan data nilai CAPE dan OLR pada masing-masing kategori curah hujan, didapatkan nilai rata-rata untuk tiap kategori tersebut pada tiap bulan seperti pada Gambar 5 berikut ini.

Gambar 5. CAPE rata-rata bulanan

Pada Gambar 5 terlihat bahwa selama tahun 2009 hingga 2012 kejadian hujan dengan intensitas dari mulai tidak ada hujan hingga sedang pada setiap bulan selalu ada sehingga dapat diketahui nilai CAPE rata-rata bulanan untuk kategori tidak hujan hingga sedang tersebut. Sedangkan kejadian hujan dengan kategori lebat terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Juni, Oktober, dan Desember. Untuk kejadian hujan dengan intensitas sangat lebat hanya terjadi pada bulan April, Juni, dan Oktober.

0 100 200 300 400 0 50 100 150 200 250 300 JA N FE B M A R A P R M EI

JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES

C urah H uj an (m m ) O LR (W /m -2)

GSMAP OBS OLR

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000

(8)

Nilai CAPE menunjukkan energi konvektif yang dapat mempresentasikan besarnya awan yang terbentuk, jadi kemungkinan intensitas hujan yang akan terjadi akan semakin lebat. Namun dengan melihat data Gambar 5 dapat diketahui bahwa nilai CAPE tidak sepenuhnya representatif untuk memprakirakan intensitas curah hujan yang akan terjadi tanpa memperhitungkan kondisi kebasahan atmosfer pada lapisan atas.

Gambar 6. OLR rata-rata bulanan

Pada Gambar 6 dapat diketahui bahwa ada waktu dimana OLR hari tidak hujan lebih rendah dibandingkan dengan hari hujan, seperti bulan Januari, Februari, Maret, Mei, Juli, Agustus, dan Desember. Pola rata – rata bulanan OLR pada tiap intensitas hujan (Gambar 6) terlihat memiliki pola yang tidak beraturan. Hal ini disebabkan karena adanya hari berawan tanpa hujan. Awan dapat menghalangi OLR yang akan keluar dari atmosfer sehingga awan akan mengurangi jumlah OLR. Sehingga OLR masih sulit untuk dijadikan acuan prediksi untuk kategori intensitas hujan.

4. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :

1. CAPE dan OLR memiliki korelasi negatif. CAPE meliliki pola dua puncak dengan nilai tertinggi pada bulan April dan Oktober yang berarti terdapat lag time 1 bulan dengan posisi gerak semu matahari, sedangkan OLR memiliki pola satu puncak dengan nilai tertinggi bulan Agustus.

2. Curah hujan GSMAP dapat dijadikan alternatif jika tidak ada data curah hujan observasi permukaan karena nilai korelasi curah hujan GSMAP dan observasi permukaan yang cukup tinggi.

3. Nilai korelasi CAPE maupun OLR lebih tinggi ketika dikorelasikan dengan data curah hujan GSMAP dari pada observasi permukaan.

4. Nilai CAPE masih sulit menjadi prediktor curah hujan karena nilai korelasinya yang cukup kecil, sedangkan OLR dengan nilai korelasi yang tinggi berpotensi

100 120 140 160 180 200 220 240 260 280

(9)

menjadi prediktor intensitas curah hujan dengan menghubungkan dengan parameter lain.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuric,D.(1994). Weather Analysis. Prentice-Hall Inc.,304 pp

2. Gruber.A and Winston.J.S, (1978). Earth-Atmosphere Radiative Heating Based on NOAA Scanning Radiometer Measurements. Bull. Amer. Meteor. Soc., 59, 1570– 1573.

3. Gustari. I., Hadi T.W., Hadi. S., Renggono. F. (2012). Akurasi Prediksi Curah Hujan Harian Operasional di Jabotetabek : Perbandingan dengan Model WRF. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 13(2), 119-130.

4. Holley,D.M. (2014). A Climatology of Convective Avaliable Potensial Energy in Great Briatin.Int.J.Climatology.34:3811-3824.

5. Moncrieff MW, Miller MJ. 1976. The dynamics and simulation of tropical cumulonimbus and squall lines. Q. J. R. Meteorol. Soc. 120:373–394.

6. Morrissey.M.L. (1986). A Statistical Analysis of the Relationships among Rainfall, Outgoing Longwave Radiation and the Moisture Budget during January–March 1979. Mon. Wea. Rev., 114, 931–942.

7. Rao, A.V., and Bekheet, I.A. (1976). Preparation of Agar – agar from the Red Seaweed Pterocladia capillacea of the Coast of Alexandria, Egypt, Appl. Environ. Microbiol. 32 (4), 479 – 482.

8. Sucahyono D. (2009). Model prakiraan curah hujan bulanan di wilayah jawa bagian utara dengan prediktor SML dan OLR.Tesis. Bogor(ID).Institut Pertanian Bogor.

Gambar

Gambar 2 : Pola bulanan Curah Hujan GSMaP dan Curah Hujan Observasi Permukaan di  Cengkareng periode 2009 – 2012
Gambar 3 :  Pola bulanan CAPE, Curah Hujan GSMaP, Curah Hujan Observasi Permukaandi  Cengkareng periode 2009 – 2012
Gambar 4 : Pola bulanan OLR, Curah Hujan GSMaP, Curah Hujan Observasi Permukaan di  Cengkareng periode 2009 – 2012
Gambar 6. OLR rata-rata bulanan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa nilai korelasi (R 2 ) antara data lapangan dengan data curah hujan NOAA AVHRR-19 pada bulan Juli sebebesar 0,430,

Perbandingan data persentase RMSE antara data penakar hujan tipping bucket dengan estimasi curah hujan dari radar cuaca setiap lokasi tipping bucket yang terpasang pada AAWS,

Nilai koefisien korelasi rata-rata (R) antara data dengan model periodik curah hujan adalah sebesar 0,97305, antara seri data stokastik dan model stokastik adalah sebesar 0,99150,

Nilai koefisien korelasi rata-rata (R) antara data dengan model periodik curah hujan adalah sebesar 0,97305, antara seri data stokastik dan model stokastik adalah sebesar 0,99150,

Penelitian deskriptif dilakukan untuk menjelaskan perbandingan antara hasil estimasi curah hujan dari data radar sebelum quality control dan hasil estimasi curah hujan dari

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data iklim (suhu, curah hujan dan hari hujan) pada tahun 2004-2017 yang didapatkan dari Stasiun Geofisika

Dari hasil perhitungan diketahui bahwa secara umum korelasi antara Indeks Monsun Musim Panas Laut China Selatan dengan curah hujan di beberapa wilayah Indonesia menunjukkan

Berbeda dengan curah hujan estimasi dari citra MODIS yang memiliki nilai rata-rata, yaitu antara 0 hingga 50 milimeter tiap hari, curah hujan aktual menunjukkan nilai yang