EFEK LOW FREQUENCY REPETITIVE TRANSCRANIAL MAGNETIC STIMULATION TERHADAP KEJANG PASCA STROKE ISKEMIK
Jumraini T. dan Fitriah H.
Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin jum_tam08@yahoo.co.id
ABSTRACT
Introduction Stroke Unit Ghent Hospital reported incidence seizure post stroke approximately 9,8% on 2001-2007.1 Bladin et al (2000) reported intracerebral hemorrhage had higher incidence than ischemic stroke. Contrary De Reuck J (2007) found intracerebral hemorrhage incidence quite low (4,9%). One third of epilepsy patients experienced refractory to anti epileptic drugs. That attracted writer to reported patients withs seizure post stroke.
CaseWe reported 3 cases of ischemic stroke patient who experienced early post stroke seizure (ES) undergoing therapi low frequency repetitive transcranial magnetic stimulation of 0,5Hz to 900 pulses for 10 times. Each patient was evaluated of frequency and duration of seizure before and after therapy.
Discussion Early post stroke seizure (ES) in patient with ischemic stroke may caused by glutamate released at the axon terminal sourced from injured thalamocortical neurons.2,3 Repetitive transcranial magnetic stimulation (rTMS) have specific effects on synaptic input (CB calbindin; PV parvalbumin) thereby reduced frequency and duration of seizures.
Conclussion Patients showed satisfied results after undergoing 9 sessions rTMS (free seizures)
Keyword: early post stroke seizure, ischemic stroke, low-frequency rTMS.
PENDAHULUAN
Penyakit serebrovaskular menyebabkan terjadinya 11% epilepsi pada orang dewasa. Stroke mendasari lebih 1/3 kasus epilepsi dalam populasi. Kejadian stroke berasosiasi dengan peningkatan insidensi sebesar 23 – 35 kali lebih tinggi untuk terjadinya kejang, dan 17 kali lebih sering berkembang menjadi epilepsi. Sebuah penelitian kohort prospektif sejumlah 697 pasien, usia 18 – 50 tahun yang menderita penyakit serebrovaskular menemukan bahwa resiko kumulatif terjadinya epilepsi pasca strokedengan kejang berulang berkisar 8%.2
Kejang yang terjadi setelah onset stroke terbagi atas dua klasifikasi, yaitu
(setelah 2 minggu). Perbedaan klasifikasi ini didasarkan hasil penelitian Jennet et al (1974) mendapatkan nilai potong (cut off point) kejang pasca trauma 2 minggu. Kebanyakan early post stroke seizure(ES) terjadi pada onset hari pertama terjadinya stroke.1,19
Sekitar 1/3 kasus pasien epilepsi yang mendapatkan obat anti epilepsi menjadi refrakter, oleh karena itupenulis ingin menunjukkan efek terapi low-frequency repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (low-frequency rTMS) dalam menangani kejang pasca stroke iskemik tanpa disertai obat anti epilepsi.
Kasus
Berikut kami melaporkan 3 kasus pasien kejang pasca strokeiskemik yang menjalani terapi low frequencyrepetitive Transcranial Magnetic Stimulation. Frekuensi rTMS yang digunakan 0,5Hz, sebanyak 900 pulsa dengan koil model 8 pada sisi lesi. Semua pasien menjalani sesi rTMS selama 30 menit setiap pertemuan sebanyak 10 pertemuan ( 1 kali pertemuan per minggu).
Gambar 1. Terapi low-frequency rTMS 0,5Hz dengan kekuatan 100%, menggunakan 900 pulsa selama 30 menit.
Setiap pasien yang kami laporkan dilakukan pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras untuk mengetahui jenis lesi (stroke iskemik)dan letak lesinyakemudiandilakukan pemeriksaan elektroensefalogram (EEG) untuk mengetahui abnormalitas listrik yang terjadi (tabel 1).
JK U O Jenis Lesi Lokasi Lesi Jenis Kejang EEG
L 70 ES Infark Kortikal, arteri cerebri media dextra Partial kompleks Perlambatan di regio temporoparietal
L 58 ES Infark Kortikal, arteri cerebri anterior (parietofrontal) sinistra Simple partial Perlambatan di regio parietofrontal
P 43 ES Infark Kortikal, arteri cerebri media dextra
Simple partial
Spike and wave complex
Tabel 1. Karakteristik pasien (JK = jenis kelamin; L=laki-laki; P=perempuan; U=usia (tahun); O=onset; ES= early post stroke seizure; EEG=gambaran elektroensefalogram).
Gambar 2. CT Scan kepala non kontras pasien laki-laki (70 tahun), lesi infark area temporoparietal dextra yang mengalami kejang pasca stroke, dengan tipe kejang partial kompleks.
Grafik 1. Grafik perkembangan lama kejang pasca stroke pra rTMS dan pasca rTMS. ( t=lama kejang (menit); p=setelah tindakan rTMS, p1=pertemuan pertama; p2=pertemuan kedua; dst; L(70)= pasien laki usia 70 tahun; L(58)=pasien laki-laki usia 58 tahun; P(43)=pasien perempuan usia 43 tahun).
Grafik 2. Grafik perkembangan frekuensi (banyak kejadian kejang) setiap minggu pra rTMS dan pasca rTMS. (f=frekueansi kejang(minggu); p=setelah tindakan
usia 70 tahun; L(58)=pasien laki-laki usia 58 tahun; P(43)=pasien perempuan usia 43 tahun).
PEMBAHASAN
Early post stroke seizure (ES) pada pasien stroke iskemik mungkin disebabkan oleh pelepasan glutamat pada akson terminal yang bersumber dari neuron thalamokortikal yang cedera, hal ini terkait dengan disfungsi biokimia.2,3,14Iskemik akut ditandai dengan terinduksinya eksotoksisitas glutamat yang menyebabkan kelebihan kalsium dan natrium mengaktifkan enzim selular, dan depolarisasi potensial antar membran, akhirnya mengarah tercetusnya kejang.2,14
Bukti pelepasan glutamat telah dikemukakan oleh Davalos et al (1997) setelah melakukan penelitian terhadap 184 pasien (117 laki-laki dan 67 perempuan) yang mengalami stroke iskemik dengan memeriksa konsentrasi glutamat dalam cairan serebrospinal pasien.Terbukti konsentrasi glutamat di cairan serebrospinal pasien stroke iskemik lebih tinggi dibandingkan kontrol ( 6 vs 3 µmol/L).15
Hasil tersebut didukung oleh Bullock et al (1995) yang meneliti level mikrodialisis glutamat dan menemukan kadarnya 300 kali lebih tinggi dibandingkan nilai normal (subjek kontrol) selama beberapa hari setelah onset infark serebri di korteks. Peningkatan ini bertahan sekitar 24 jam, utamanya ditemukan lebih tinggi di daerah penumbra.15 Hal tersebut mungkin mendasari kenapa early post stroke seizure terjadi kebanyakan pada onset hari pertama terjadinya stroke.1
Grafik 1 dan Grafik 2 kasus menunjukkan perkembangan lama kejang dan frekuensi kejangtigapasien pasca stroke yang semuanyamengalamiearly post stroke seizure (ES)sebelum dilakukannya terapi rTMS. Kedua pasien laki-laki usia 70 tahun, danusia 58 tahun setelah sekali terapi low frequency TMS langsung menunjukkan perubahan lama kejang, berbeda halnya dengan pasien perempuan (43 tahun) awalnya lama kejang 5 menit, lama kejang berkurang menjadi 3 menit setelah terapi rTMS sebanyak empat kali.
Perbedaan hasil efek terapi rTMS pada ketiga pasien tersebut mungkin dikarenakan perbedaan pola EEG yang terekam pada pasien. Pasien perempuan (43
tahun) memiliki hasil EEG berupa spike and wave complex. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan penemuan Brodbeck V et al (2010) dalam penelitiannya tentang efek rTMS terhadap epilepsi fokal dengan gambaran EEG berpola spike
mengemukakan bahwa tidak ditemukan perubahan jumlah spike, dan kekuatan
spike pada beberapa pasien yang telah diterapi rTMS.5 Mekanisme yang mendasari perbedaan hasil efek terapi rTMS ini terkait dengan pola EEG pasien belum sepenuhnya dimengerti. Kedua pasien lainnya menunjukkan gambaran EEG berupa perlambatan fokal yang merefleksikan regio jaringan infark yang melibatkan area korteks.18
Siddiqui et al (2008) melaporkan EEG yang sering ditemukan pada kejang pasca stroke, yaitu perlambatan umum (39%) dan perlambatan fokal (19,5%).7,8,9,14 EEG normal ditemukan pada 7 orang pasien (17,1%) dari total 41 pasien yang diobservasi.9Sedangkan De Reuck et al (2006) mengemukakan Periodic Lateralized Epileptic Discharges (PLEDs) lebih sering terjadi pada early post stroke seizure (25%) dan late post stroke seizure sekitar 1%. Hal ini didukung oleh Hartings et al (2003) melaporkan munculnya PLEDS di area penumbra pada tikus dengan iskemik fokal. Dua pasien kami juga memperlihatkan EEG berupa perlambatan fokal di regio infark, sesuai hasil penelitian Siddiqui et al.1
Lami C, Domigo V, Semah F, Arquizan C, Trystram D et al (2003) mengungkapkan bahwa stroke yang melibatkan korteks mempunyai insidens yang lebih tinggi menyebabkan early post stroke seizure (ES) dibandingkan late post stroke seizure (LS),11 hal ini sesuai dengan 3 kasus yang kami tampilkan semua
infark terletak daerah korteks dan semua kejang yang muncul terjadi onset awal dikategorikan sebagai early post stroke seizure (ES). Stroke lokasi korteks dikatakan dua kali lebih sering menyebabkan kejang dibandingkan stroke area subkorteks. So EL et al mengemukakan bahwa pasien dengan ES mempunyai kemungkinan enam belas kali lebih besar untuk berkembang menjadi epilepsi.10,11
Silverman et al (2002) mengemukakan hasil penelitiannya terhadap 90 pasien dengan early post stroke seizure, memiliki pola kejang simple partial seizures (61%), dan 28% dengan secondary generalized seizures.6 Hal ini sesuai
dengan 3 kasus pasien yang penulis laporkan, 2 orang diantaranya dengan simple partial seizure yang tampaknya merupakan pola kejang terbanyak untuk ES.
Semua pasien mendapatkan terapi rTMS menggunakan gelombang elektromagnet untuk menginduksi gelombang lemah di otak. Terdapat beberapa bukti, rTMs dapat menimbulkan after-effects, yang belum dimengerti prosesnya secara penuh. Hal tersebut tampaknya mirip dengan proses plastisitas sinaptik pada hewan model. Secara umum asumsi itu terkait dengan sistem Long Term Potentiation (LTP) dan Long Term Depression (LTD).11,15,16,20 Penelitian pada hewan coba menggunakan stimulasi rTMS dibawah 1Hz terbukti menurunkan eksitabilitas kortikal (LTD-like). 11,15,17,18
Gambar 3. a. Feed-forward inhibition in cerebral cortex; b. Feed-forward inhibition in thalamus. 13
Proses terjadinya kejang pasca stroke melibatkan sirkuit feed-forward inhibition (gambar 3). Gambar 3a menunjukkan proyeksi ekstrnsik eksitatorik dari
regio di luar area lokal kortikal yang melibatkan sirkuit feed-forward inhibition. Area inter kortikal atau input thalamus ke korteks menghasilkan aktivasi kuat FS parv cells kemudian mengeksitasi stellata dan sel piramidal sehingga menyebabkan
feed-forward inhibition pada sel eksitatorik. Pada kasus infark serebri, mekanisme
feed-forward inhibitonhilang (tanda* penghapus), input thalamus ke korteks menghasilkan aktivitas epileptiform pada model neocortical microgyrus dari fokal epilepsi neokorteks.13
Gambar 3b menunjukkan input eksitatorik dari korteks ke thalamus menghasilkan aktivasi kuat dari interneuron inhibitor, menyebabkan feed-forward inhibition yang kuat dari neuron eksitatorik. Hilangnya feed-forward inhibition (* penghapus) telah diketahui dari model Gria4 pada tikus penelitian. Lingkaran hitam mengindikasikan stimulasi aferen eksitatorik (Cx=cortex; PV=parvalbumin-positive interneuron; Pyr=Pyramidal neuron; RT=reticular thalamic neuron; St=stellate; TC=thalamocortical neuron. Warna ungu mewakili excitatory glutamatergic, warna merah =inhibitory GABAergic neurons).13rTMS dikatakan mempunyai efek spesifik terhadap sinaps input (CB calbindin; PV parvalbumin), hal ini mempertegas manfaat rTMS terkait dengan penghantaran sinaps input oleh CB dan PV (gambar 4).12
Gambar 4. Efek seluler dan molekular stimulasi rTMS relevan dengan neural plastisitas.12
Luaran pasien dengan early post stroke seizure jelek, dan memiliki insidens status epileptikus yang tinggi disertai mortalitas yang tinggi.4,10 Hal tersebut menyebabkan diperlukan penanganan khusus, salah satunya terapi low frequency
rTMS.
KESIMPULAN
Terapi low frequency repetitive Transcranial Magnetic Stimulationpada ketiga pasien kami terlihat cukup memuaskan setelah 9 sesi terapi, sudah tidak terdapat kejang. Keberhasilan tersebut perlu dikaji lebih lanjut dalam penelitian untuk membuktikan efek low frequency repetitive Transcranial Magnetic Stimulation terhadap kejang pasca stroke iskemik. Terapi rTMS merupakan salah satu terapi tambahan yang digunakan pada refrakter epilepsi dengan menggunakan
low frequency. Efek inhibisi rTMS bekerja pada proses LTD dan LTP.
Penulis berharap laporan kasus ini mendorong penelitian lebih lanjut agar terapi rTMS khususnya dapat menjadi guideline penanganan kejang pasca stroke di lingkungan RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo, dan guideline Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Reuck JD. Management of Stroke-Related Seizure. Acta Neurol
Belg.2009:109:271-276.
2. Koubeissi MZ, Alshekhlee A, Mehndiratta P. Seizures in Cerebrovascular Disorders : A Clinical Guide. 2015. ISBN:978-1-4939-2558-2
3. Camilo O, Goldstein LB. Seizures and Epilepsy After Ischemic Stroke. Stroke Journal Of Tehe American Heart Association. 2004;35:1769-1775. Doi: 10.1161/01.STR.0000130989.17100.96.
4. Davalos A, Castillo J, Serena J, Noya M. Duration of Glutamate Release After
Acute Ischemic Stroke. Stroke. 1997;28:708-710.
DOI:10.1161/01.STR.28.4.708.
5. Brodbeck V et al. Effects of Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation on Spike pattern and Topography in Patients with Focal Epilepsy. Brain Topog.2010:22(4):267-80. doi:10.1007/s10548-009-0125-2.
6. Silverman I, Restrepo L, Mathews GC. Poststroke Seizures. Arch
Neurol.2002:59(2):195-201. doi: 10.1001/archneur.59.2.195.
7. Kusumastuti K, Gunadarma S. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI. Surabaya. 2014;1-68.
8. Ahmad B, Frida M. Comprehensive on Epilepsy : Diagnosis, Manajemen, dan Rekomendasi Praktis. CV Mitra Karya. Padang. 2013;36-45.
9. Siddiqui et al. EEG Findings in Post Stroke Seizures : An Observational Study. Pak J Med Sci. 2008;24(3):386-389.
10.So EL, Annegers JF, Hauser WA, O’Brien PC, Whisnant JP. Population-based study of seizure disorders after cerebral infarction. Neurology. 1996;46:350–5. 11.Kim BS, Sila C. Chapter 2 Seizues in Ischemic Stroke in Seizures in Cerebrovascular Disorders. Springer Science Media. NewYork.2015. DOI 10.1007/978-1-4939-2559-9_2.
12.Platz T. Therapeutic rTMS in Neurology : Principles, Evidence, and Practice Recommendations.2015. Springer. ISBN:978-319-25719-8.DOI 10.1007/978-3-319-25721-1.
13.Paz T, Huguenard JR. Microcircuits and their interactions in Epilepsy : is the
focus out of focus ?, Nature Neuroscienc.2015:18:351-359.
Doi:10.1038/nn3950.
14.Boovalingam P, Witherall R, Ho CL, Nagarajan R, Ardron M. Post-stroke Epilepsy. GMJournal.2012.
15.Sun W et al. Low-frequency repetitive transcranial magnetic stimulation for the treatment of refractory partial epilepsy : a controlled clinical study. Epilepsia.2012 Oct;53(10):1782-9. Doi:10.1111/j.1528-1167.2012.03626.x. 16.Bliss TVP, Cooke SF. Long-term potentiation and long-term depression : a
clinical persspective. CLINICS.2011:66(S1):3-1. DOI: 10.1590/S1807-59322011001300002.
17.Anders M et al. Efficacy of repetitive transcranial magnetic stimulation for the treatment of refractory chronic tinnitus : a randomized, placebo controlled study. NeuroEndocrinol Lett.2010;31:238-49.
18.Joe EY. Clinical Application of TMS to Epilepsy. Journal of Epilepsy Research.2012.
19.Zhang C. Risk Factors for Post-Stroke Seizure : A Systematic review and meta-nalysis. Epilepsy Research.2014:108:1806-1816.Elsevier B.V All Right reserved.
20.Hwang JY, Aromolaran KA, Zukin RS. Epigenetic Mechanisms in Stroke and
Epilepsy. Neuropsychopharmacology Reviews. 2013:38:167-182.
Doi:10.1038/npp.2012.134.
DAFTAR SINGKATAN
Cx cortex
EEG ensefalogram
ES early post stroke seizure
GABA gamma-Aminobutyric acid
JK jenis kelamin
L laki – laki
LTD Long Term Depression
LTP Long Term Potentiation
O onset
P perempuan
PERDOSSI Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
PLEDs Periodic Lateralized Epileptic Discharges
Pyr pyramidal neuron
PV parvalbumin
rTMS repetitive Transcranial Magnetic Stimulation
RT reticular thalamic neuron
St stellate
TC thalamocortical neuron