• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPON PERTUMBUHAN STEK SALAM (Eugenia polyantha (Wight.) Walp.) TERHADAP LAMA PENYUNGKUPAN DAN PEMBERIAN AUKSIN. Oleh: NURUL MUAFIDAH A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESPON PERTUMBUHAN STEK SALAM (Eugenia polyantha (Wight.) Walp.) TERHADAP LAMA PENYUNGKUPAN DAN PEMBERIAN AUKSIN. Oleh: NURUL MUAFIDAH A"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

(Eugenia polyantha (Wight.) Walp.) TERHADAP

LAMA PENYUNGKUPAN DAN PEMBERIAN AUKSIN

Oleh:

NURUL MUAFIDAH A34101002

PROGRAM STUDI AGRONOMI

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RESPON PERTUMBUHAN STEK SALAM

(Eugenia polyantha (Wight.) Walp.) TERHADAP

LAMA PENYUNGKUPAN DAN PEMBERIAN AUKSIN

Sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

NURUL MUAFIDAH A34101002

PROGRAM STUDI AGRONOMI

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

NURUL MUAFIDAH. Respon Pertumbuhan Stek Salam (Eugenia polyantha (Wight.) Walp.) terhadap Lama Penyungkupan dan Pemberian Auksin (Di bawah bimbingan ANI KURNIAWATI).

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan sistem perbanyakan dengan cara vegetatif pada tanaman salam (Eugenia polyantha (Wight.) Walp.). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lama penyungkupan dan konsentrasi IBA serta interaksi kosentrasi IBA dan lama penyungkupan yang tepat untuk pertumbuhan stek salam (Eugenia polyantha (Wight.) Walps.).

Dalam penelitian ini, dipergunakan rancangan petak terbagi (Split Plot

Design) dengan dua taraf perlakuan, yaitu lama penyungkupan dan pemberian

auksin dalam bentuk IBA. Perlakuan lama penyungkupan terdiri dari tanpa penyungkupan, lama penyungkupan satu minggu, lama penyungkupan dua minggu dan lama penyungkupan tiga minggu, sedangkan perlakuan IBA terdiri dari tanpa IBA, IBA dengan konsentrasi 100 ppm, IBA dengan konsentrasi 200 ppm dan IBA dengan konsentrasi 300 ppm. Peubah yang diamati adalah keberhasilan setek, tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, temperatur dalam dan luar sungkup serta kelembaban baik dalam sungkup maupun luar sungkup.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa keberhasilan stek pada perlakuan lama penyungkupan tiga minggu lebih tinggi dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya, yaitu keberhasilan stek sebesar 12.5 %.

Pada perlakuan lama penyungkupan tiga minggu memiliki pertambahan tinggi tanaman yang lebih tinggi dan pertambahan jumlah daun yang lebih banyak, sedangkan pada perlakuan lama penyungkupan dua minggu memiliki pertambahan jumlah cabang yang lebih banyak. Pada perlakuan konsentrasi IBA 200 ppm memiliki pertambahan tinggi tanaman yang lebih tinggi dan pertambahan jumlah cabang yang lebih banyak, sedangkan pada perlakuan konsentrasi IBA 100 ppm memiliki pertambahan jumlah daun yang lebih banyak.

(4)

iv RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 31 Agustus 1982 di Surabaya, Jawa Timur. Penulis adalah anak kelima dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Tohirin dan Ibu Zubaidah (Alm.).

Taman Kanak diselesaikan pada tahun 1989 di Taman Kanak-Kanak Avia Dharma. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1995 di SDN I Gedangan Sidoarjo, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1998 di SMPN 1 Gedangan Sidoarjo dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2001 di SMUN 1 Prajekan Bondowoso.

Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Agronomi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2001.

Selama masa studi, Penulis aktif dalam berbagai organisasi di kampus dan luar kampus. Mulai tahun 2001-2008 Penulis aktif dalam Unit Kegiatan Kemahasiswaan (UKM) KSR PMI Unit I IPB. Pada tahun 2003 Penulis menjadi Sekretaris Umum IPB Crisis Centre (ICC) BEM KM IPB. Pada tahun 2005 Penulis aktif dalam Forum Komunikasi KSR PMI Perguruan Tinggi Nasional Periode 2005-2007 sebagai Sekretaris Jenderal. Pada tahun 2007 Penulis menjabat Dewan Pertimbangan Forum pada Kepengurusan Forum Komunikasi KSR PMI Perguruan Tinggi Se-Indonesia periode 2007-2009.

(5)

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan karunia dan rahmat-Nya yang telah melimpahkan nikmat tak terhingga dan hanya dengan pertolongan-Nya serta Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan ummatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Respon Pertumbuhan Stek Salam (Eugenia polyantha (Wight.) Walp.) terhadap Lama Penyungkupan dan Pemberian Auksin”.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan tulus yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ani Kurniawati, SP., M.Si yang telah membimbing, mengarahkan, dan membantu penyusunan usulan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi serta memberikan dukungan moral dan spiritual.

2. Ir. Ketty Suketi, MSi sebagai dosen penguji dan Juang Gema Kartika, SP. sebagai dosen penguji dan Wakil Panitia Urusan Skripsi. Terima kasih masukan dan saran untuk perbaikan skripsi, serta dukungan moral.

3. Pak Komar dan Pak Milin (Kebun Percobaan Cikabayan) yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian dan membantu pada persiapan penelitian.

Terakhir penulis ucapkan terima kasih banyak kepada civitas akademika Fakultas Pertanian IPB. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Agustus 2008

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan karunia dan rahmat-Nya yang telah melimpahkan nikmat tak terhingga dan hanya dengan pertolongan-Nya serta Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan ummatNya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penelitian yang berjudul “Respon Pertumbuhan Bibit Salam (Eugenia

polyantha (Wight.) Walp.) terhadap Lama Penyungkupan dan Pemberian Auksin”

dalam rangka tugas akhir bagi penulis di Departemen Agronomi dan Hortikultura. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan tulus kepada:

4. Ani Kurniawati, SP., MSi yang telah membimbing, mengarahkan, dan membantu penyusunan usulan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi serta memberikan dukungan moral dan spiritual.

5. Prof. Dr. Ir. H. M. H. Bintoro, M.Agr selaku Pembimbing Akademik dan Pembina KSR PMI Unit I IPB. serta Dr. Ir. Munif Gulamahdi, M.Si selaku pengganti Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan moral dan spiritual.

6. Ir. Ketty Suketi, M.Si sebagai dosen penguji dan Juang Gema Kartika, SP., selaku dosen penguji serta wakil Urusan Akademik. Terima kasih masukan dan saran untuk perbaikan skripsi.

7. Pak Komar dan Pak Milin (Kebun Percobaan Cikabayan) yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian dan membantu pada persiapan penelitian.

8. Ibunda tercinta (Alm. Zubaidah), Ayahanda tercinta, kakak-kakakku (Mbak Iin, Mbak Ifa, Mas Udin dan Mas Cholis), juga Adek-adekku (De’ Ifa dan De’ Guntur) beserta keluarga besarnya, yang banyak memberikan materi, motivasi, kasih sayang dan doa yang tiada henti serta semua keponakanku tercinta. Terima kasih atas keceriaan dan doanya.

9. Swissanto S. (IPB ’15) beserta Martha S. S. (IPB ‘19), Pak Iin Sholihin, Teman-teman AGR (AGR ’38, ’39, ’40, ’41 dan ‘42), Rita Rahardiyanti, S.Hut dan teman-teman Volunteer Direktorat Pengembangan Karier dan

(7)

dan Hubungan Alumni IPB. Terima kasih doa, perhatian dan dukungannya. 10. Saepul Rizal, S.Pd serta teman-teman KSR PMI Unit I IPB (Angkatan 11, 12,

13, 14, 15, 16 dan 17) terima kasih atas dukungan dan kebersamaan serta

pengertiannya, terutama pada Yuyun (TIN ’41) dan Mery serta Bagus B.P.

(KSR ITT, Bandung).

11. Teman-teman KSR Perguruan Tinggi Se-Indonesia dan Pengurus Forum Komunikasi KSR PMI Perguruan Tinggi Se-Indonesia Periode 2005-2007 dan Periode 2007-2009.

12. Teman-teman dan adik-adik di Griya Salma (Chia, Ninik, Tati, Mada, Dian, Umul, Tria, Citra, Yana dan Nurban) dan Wisma Sabrina (Tiwi, Anif, dll),

terima kasih atas perhatiannya dan segala dukungannya.

13. Corona Crew, terima kasih atas kesediaan dan ijinnya untuk menggunakan

internet gratis.

14. Langit K.H, Hilman, Ari Nur, Andrea Hirata dan Donny Dhirgantoro, kau

memberikan inspirasi dan relaksasi di saat otak ini lelah, serta pihak-pihak

yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Terakhir penulis ucapkan terima kasih banyak kepada civitas akademika Fakultas Pertanian IPB. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Agustus 2008

(8)

DAFTAR ISI Halaman PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 3 Hipotesis ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Botani Tanaman Salam ... 4

Budidaya Tanaman Salam... 5

Kegunaan Tanaman Salam ... 5

Perbanyakan Tanaman Salam ... 6

Penyungkupan ... 9

Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh untuk Perakaran ... 10

Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh ... 11

Media Tanam ... 13

Pembibitan ... 14

BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 15

Waktu dan Tempat ... 15

Alat dan Bahan ... 15

Rancangan Penelitian ... 15

Pelaksanaan Penelitian ... 16

Pengamatan ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

Hasil ... 19

Keadaan Umum ... 19

Temperatur dan Kelembaban Udara ... 20

Keberhasilan Setek ... 22

Tinggi Tanaman ... 23

Jumlah Daun ... 25

Jumlah Cabang ... 26

Pembahasan ... 27

Temperatur dan Kelembaban Udara ... 27

Keberhasilan Setek... 29

Tinggi Tanaman ... 30

Jumlah Daun ... 32

Jumlah Cabang ... 33

KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

Kesimpulan ... 36

Saran... 36

(9)

Nomor Halaman Teks

1. Temperatur Udara dan Kelembaban Udara Rata-Rata pada Berbagai Taraf Perlakuan Lama Penyungkupan ... 20 2. Keberhasilan Setek yang Masih Hidup pada Akhir Pengamatan di Setiap

Perlakuan Lama Penyungkupan ... 22 3. Pertambahan Tinggi Tanaman pada Perlakuan Lama Penyungkupan dan Konsentrasi IBA ... 24 4. Pertambahan Jumlah Daun pada Perlakuan Lama Penyungkupan dan

Konsentrasi IBA ... 25 5. Pertambahan Jumlah Cabang pada Perlakuan Lama Penyungkupan dan

Konsentrasi IBA... 26

Lampiran

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman Teks

1. Buah Tanaman Salam ... 4

2. Daun dan Batang Tanaman Salam ... 5

3. Kondisi Umum Lahan Percobaan (Perlakuan Tanpa Sungkup dan Lama Penyungkupan Satu Minggu ... 19

4. Kondisi Umum Lahan Percobaan (Perlakuan Lama Penyungkupan Dua Minggu dan Lama Penyungkupan Tiga Minggu... 20

5. Temperatur Udara pada Berbagai Perlakuan pada Pengamatan Pagi Hari dan Sore Hari ... 21

6. Kelembaban Udara pada Berbagai Perlakuan pada Pengamatan Pagi Hari dan Sore Hari ... 22

7. Keadaan Setek Salam dari Perlakuan Tanpa Penyungkupan ... 23

Lampiran 1. Keadaan Stek Salam pada Perlakuan Lama Penyungkupan Satu Minggu 43

2. Keadaan Stek Salam pada Perlakuan Lama Penyungkupan Dua Minggu . 43

3. Keadaan Stek Salam pada Perlakuan Lama Penyunglupan Tiga Minggu . 43

4. Kondisi Stek Pada Perlakuan Tanpa Penyungkupan di Akhir Pengamatan ... 44

5. Keadaan Stek stelah Penyungkupan Selama Satu Minggu ... 44

6. Keadaan Stek setelah Penyungkupan Selama Dua Minggu ... 44

(11)

Latar Belakang

Indonesia memiliki beraneka ragam tanaman yang memiliki fungsi dan manfaat yang bervariasi. Tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan obat-obatan, bahan pangan, bahan pakan, bahan baku pencampur minyak dan bahan pembuat kosmestik. Tanaman yang dapat digunakan sebagai obat-obatan, antara lain, tanaman temu-temuan (misalnya temu giring, kunyit, jahe), tanaman pagar (misalnya mangkokan), bahkan tanaman yang biasanya digunakan sebagai bahan masakan (culinary) termasuk daun salam.

Bukan hanya orang Indonesia, bangsa Inggris juga mengenal tanaman ini dan menyebutnya salam leaf. Dalam beberapa literatur salam ditemukan dan diteliti pertama kali oleh Pangeran Eugene dari Savoy, sehingga ada yang menyebut Eugenia Polyantha. Tanaman salam ini ditemukan di Burma dan tersebar luas di Malaysia Bagian Barat, kadang-kadang ditemukan di Asia Tenggara.

Menurut Biro Hukum dan Humas dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (2004) daun salam merupakan salah satu tanaman dari sembilan tanaman obat yang direkomendasikan oleh Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan MUI. Daun salam memiliki berbagai macam kegunaan yang sering digunakan oleh umat manusia, terutama penduduk Indonesia yang digunakan sebagai bumbu dalam masakan. Namun daun salam belum dibudidayakan dalam skala besar (Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan MUI, 2004). Dalam penggunaannya di dalam kehidupan sehari-hari daun salam digunakan sebagai campuran bahan-bahan masakan (culinary). Selain itu daun salam digunakan sebagai bahan-bahan obat-obatan tradisional, misalnya obat gatal, asam urat, obat luka dengan menggunakan ekstrak tanin dari daun salam.

Perkembangbiakan tanaman salam ini menggunakan perbanyakan vegetatif (stek dan cangkok) dan perbanyakan generatif (biji). Menurut Badan POM (2004) tanaman salam dapat berkembang biak dengan menggunakan biji (benih) dan cangkok. Perbanyakan dengan menggunakan stek memiliki beberapa keuntungan

(12)

2 diantaranya murah, pertumbuhan cepat, sederhana dan tidak memerlukan teknik yang rumit (Hartmann et al., 1990). Menurut Rochiman dan Harjadi (1973) pertumbuhan stek dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi jenis bahan, adanya tunas dan daun pada bahan stek, umur bahan stek, kandungan bahan makanan dan zat pengatur tumbuh. Faktor luar adalah lingkungan dan pelaksanaan. Faktor lingkungan meliputi media pertumbuhan, kelembaban, suhu, cahaya, sedangkan pelaksanaan meliputi waktu pengambilan bahan stek dan perlakuan dengan zat pengatur tumbuh.

Penyungkupan akan mendorong pertumbuhan akar tanaman lebih cepat dibandingkan tanaman yang tidak dilakukan penyungkupan. Penyungkupan merupakan salah satu cara untuk menjaga kelembaban relatif agar tetap tinggi selama pertumbuhan tanaman (Pierik, 1987). Suhu optimal untuk perakaran stek menurut Hartmann et al. (1990) berkisar antara 21-27°C pada pagi hari dan siang hari, sedangkan 15°C pada malam hari.

Menurut Pangaribuan (1999), teknik penyungkupan dapat dilakukan bersama-sama ataupun satu persatu tanaman. Teknik penyungkupan tanaman dengan satu tanaman dilakukan pada saat aklimatisasi tanaman dengan menggunakan gelas plastik atau botol selai. Penyungkupan dengan teknik ini memiliki kerugian, yaitu memerlukan biaya besar, tenaga banyak sehingga tidak efisien. Teknik bersama ini dapat dilakukan di lapang, sehingga teknik ini dapat mengurangi biaya yang besar dan tenaga yang diperlukan sedikit serta lebih efisien dalam pelaksanaannya.

Kegiatan penyetekan dikatakan berhasil apabila bahan tanaman yang distek mengalami perakaran. Proses pembentukan akar dapat dipercepat dan ditingkatkan kualitasnya dengan cara pemberian zat pengatur tumbuh. Salah satu zat pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk merangsang pertumbuhan akar pada stek adalah Rootone-F. Menurut Manurung (1987), pengujian Rootone-F pada berbagai jenis tanaman telah dilakukan secara luas, mencakup tanaman industri, tanaman perkebunan, tanaman hortikultura dan tanaman hutan. Menurut Afrizal (2002), bahan stek yang berasal dari tunas yang berumur 5 minggu dengan ZPT IBA konsentrasi 100 ppm merupakan perlakuan yang paling baik digunakan

(13)

untuk kegiatan penyetekan Swietenia macrophylla King, yaitu menghasilkan persentase hidup 100 % dan persentase berakar 80 % dibandingkan perlakuan lain (umur 3 dan 7 minggu dan IBA dengan konsentrasi 0 dan 150 ppm).

Tujuan

Mengetahui respon stek salam (Eugenia polyantha (Wight .)Walp.) terhadap perlakuan lama penyungkupan dan pemberian auksin.

Hipotesis

1. Terdapat waktu penyungkupan yang memberikan pengaruh terbaik pada pertumbuhan stek salam.

2. Terdapat konsentrasi auksin yang memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan stek salam.

3. Terdapat waktu penyungkupan dan konsentrasi auksin yang memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan salam.

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Salam

Tanaman ini memiliki nama umum adalah Indonesian bay leaf (Bahasa Inggris), salam blad (Bahasa Inggris), daun salam manting (Bahasa Indonesia), serah, kelat samak (Bahasa Indonesia) dan Indonesische lorbeerblatt (Bahasa Belanda). Tanaman salam memiliki famili yang sama dengan famili tanaman cengkeh, tanaman jambu dan tanaman jambu biji.

Menurut Badan POM (2004) di Pulau Jawa dan Madura marga Eugenia ditemukan 59 jenis. Menurut Heyne (1987) tanaman ini memiliki sistematika taksonomi sebagai berikut: kingdom: Plantae, divisi: Antophyta, filum: Angiospermae, ordo: Rosiidae, klas: Myrthales, famili: Myrthaceae, genus: Eugenia dan spesies : Eugenia polyantha Wight (Syzygium polyanthum Wight.).

Pohon salam (Syzygium polyanthum Wight.) yang biasa tumbuh liar di hutan dan di pegunungan dapat mencapai ketinggian 25 meter dan lebar pohon 1.3 meter. Tanaman salam merupakan tanaman yang tinggi dengan daun yang berbentuk ovate yang sederhana. Daun salam yang rimbun memiliki panjang berkisar 10-12 cm. Menurut Badan POM (2004), bunganya berwarna merah jambu atau putih dan mempunyai bau yang wangi. Daun muda beraroma karena kandungan persentase minyak atsiri dalam tanaman tersebut. Tanaman salam tumbuh liar di hutan, di daerah pegunungan maupun ditanam di halaman rumah sebagai tanaman bumbu. Tanaman salam ini berbatang besar dan tinggi. Bentuk daun lonjong dan berujung runcing. Bila diremas mengeluarkan bau harum. Buahnya keciI-kecil sebesar buni dan rasanya sedikit sepat. Ketika masih muda buahnya berwarna hijau, kemudian kalau sudah tua berwarna merah kehitaman.

Menurut Badan POM (2004), buah salam berukuran 9-10 mm (gambar 1).

(15)

Budi Daya Tanaman Salam

Menurut Mag (2001), tanaman salam dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah sampai dengan pegunungan dengan berketinggian 1800 m dpl dengan temperatur 22-30°C. Tanaman salam membutuhkan intensitas matahari penuh dengan drainase yang baik dan menghendaki iklim yang panas dengan curah hujan cukup merata. Tanaman ini tidak tahan kekeringan sehingga tidak sesuai ditanam pada lokasi dengan musim kemarau yang panjang.

Tanaman salam membutuhkan curah hujan 1500-4500 mm/tahun dengan bulan kering (curah hujan kurang dari 60 mm/bulan) berturut-turut 2-3 bulan atau tidak boleh lebih dari 3 bulan. Tanaman salam mudah kekeringan, terutama tanaman salam muda. Pada tanaman salam dewasa, kekurangan air bisa merontokkan bunga yang hampir matang petik. Daerah dengan curah hujan kira-kira 2000 mm/tahun dan tersedia air irigasi yang cukup sangat ideal bagi tanaman salam (Dalimartha, 2008).

Gambar 2. Daun dan Batang Tanaman Salam

Kegunaan Tanaman Salam

Bagian tanaman yang sering digunakan sebagai bahan obat-obatan dalam kehidupan sehari-hari adalah daun, kulit batang, akar, buah, bagian rempah, rimpang dan umbi. Menurut Dalimartha (2008), salam mengandung minyak asiri (sitral, eugenol), tanin dan flavonoid. Tanaman salam mengandung astringent, yaitu suatu zat untuk menciutkan luka. Tanaman salam dapat dimanfaatkan untuk mengatasi asam urat, stroke, kolesterol tinggi, melancarkan peredaran darah, radang lambung, diare, gatal-gatal, kencing manis, dan lain-lain.

Menurut Hanan (1999) daun muda sering digunakan sebagai makanan. Potongan daging direbus dengan daun tersebut dan dapat dimakan bersamaan

(16)

6 dengan daun salam. Kulit kayu, akar dan daunnya digunakan untuk mengobati beberapa penyakit oleh penduduk Malaysia. Selain daun yang digunakan sebagai bumbu, kulit pohonnya biasa digunakan sebagai bahan pewarna jala atau anyaman bambu.

Minyak daun salam digunakan sebagai bumbu (ramuan pelengkap bumbu) dalam berbagai jenis produk pangan, terutama daging, sosis, sop kalengan, hasil panggangan (baked good), kembang gula, dan sebagainya. Minyak daun salam yang digunakan sebagai pengganti daun salam kering memiliki keuntungan, karena minyak ini dapat ditakar lebih tepat dan memberikan hasil yang lebih merata daripada daun kering (Guenther, 1990).

Perbanyakan Salam

Perbanyakan tanaman ini dapat dilakukan dengan biji, cangkok atau stek. Pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif dapat menghasilkan tanaman yang sama dengan induknya secara genetik. Menurut Purnomosidhi et al. (2002), perbanyakan vegetatif termasuk stek memiliki keuntungan, antara lain, lebih cepat berbuah, sifat keturunannya sama dengan induknya dan dapat digabungkan dengan sifat yang diinginkan.

Teknik perbanyakan vegetatif dapat dilakukan dengan cara memisahkan bagian akar, batang atau daun dari pohon induknya, dimana jika ditanam pada kondisi yang menguntungkan akan muncul akar yang membentuk individu yang sama dengan induknya (Hartmann et al. 1990). Hartmann et al. (1990) membagi stek, antara lain, stek batang terdiri dari hardwood, semi hardwood, softwood dan herbaceus; stek daun serta stek akar.

Menurut Rochiman dan Harjadi (1973) pertumbuhan stek dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi jenis bahan, adanya tunas dan daun pada bahan stek, umur bahan stek, kandungan bahan makanan dan zat pengatur tumbuh. Faktor luar adalah lingkungan dan pelaksanaan. Faktor lingkungan meliputi media pertumbuhan, kelembaban, suhu, cahaya, sedangkan pelaksanaan meliputi waktu pengambilan bahan stek dan perlakuan dengan zat pengatur tumbuh.

(17)

Bagian tanaman yang muda dan subur dapat digunakan sebagai bahan stek karena bagian ini mempunyai jaringan yang belum terdiferensiasi sehingga memudahkan terjadinya diferensiasi primordia akar serta mempunyai tunas yang sudah atau siap terbentuk (Weaver, 1972).

Tunas diperlukan untuk mendorong terjadinya perakaran stek, pembentukan akar tidak akan terjadi bila seluruh tunas dihilangkan atau dalam keadaan dorman. Tunas berperan sebagai sumber auksin, terutama bila tunas tersebut mulai tumbuh baik auksin yang dihasilkan oleh tunas maupun daun, bersama-sama dengan

rooting cofactor akan bergerak ke bawah atau basipetal dan menumpuk di dasar

stek (Hartmann et al. 1990).

Stek diambil dari bagian tanaman muda. Tetapi bila tanaman tersebut sangat muda dan lunak maka transpirasi berlangsung cepat sehingga stek menjadi lemah dan akhirnya mati (Rochiman dan Harjadi, 1973)

Bahan stek dengan rasio kandungan karbohidrat C/N tinggi akan menambah akar. Rasio C/N rendah akan memproduksi akar sedikit tetapi menghasilkan tunas yang kuat (Rochiman dan Harjadi, 1973).

Kelembaban udara optimum untuk stek berdaun adalah 90 % pada waktu belum terbentuk perakaran dan minimal 75 % ketika mulai terbentuk akar (Mahlstede dan Haber, 1978 dalam Susanti, 2003). Beberapa cara mempertahankan kelembaban adalah menggunakan tutup kaca, tenda plastik atau kain putih diatas bak stek. Hal ini dilakukan untuk menjaga temperatur daerah perakaran yang berpengaruh pada hasil produksi tanaman.

Suhu yang paling baik bagi perakaran untuk hampir semua jenis tanaman adalah 21-27°C pada siang hari dan 15°C pada malam hari (Hartmann et al. 1990). Hal ini yang berpengaruh pada RZT (Root-Zone Temperature = temperatur daerah perakaran). RZT yang tinggi dapat menghasilkan dampak yang besar pada pertumbuhan tanaman bagian ujung vegetatif, pembentukan buah, penyerapan air, penyerapan mineral, proses asimilasi dan respirasi tanaman (Cooper, 1973; Dodded et al., 2000; Tindall et al., 1990). Organ tanaman yang berbeda memungkinkan menghasilkan perbedaan tingkat sensivitas akar pada RZT, misalnya pertumbuhan tanaman tomat di rumah kaca yang RZT optimal untuk hasil bobot kering bagian ujung akar adalah 24°C dan pada akar sebesar 26°C

(18)

8 (Tindall et. al., 1990). Dibawah kondisi lingkungan tumbuh yang dikendalikan, pertumbuhan akar meningkat hampir berbanding lurus dengan peningkatan temperatur dari temperatur minimum sampai temperatur optimum. Temperatur daerah perakaran (RZT = Root-Zone Temperatur) minimum, optimum dan maksimum pada pertumbuhan tanaman bervariasi antara spesies/jenis tanaman (Cooper, 1973). Menurut penelitian mengenai RZT konstan mengindikasikan bahwa RZT optimum untuk ketersediaan hara mineral dan pertumbuhan tomat antara 26-34°C (Cooper, 1973; Gosselin and Trudel, 1983; Tindall et al., 1990).

Hasil penelitian Diaz-Perez dan Batal (2002) menunjukkan bahwa pada musim gugur rata-rata RZT harian mengalami kemunduran dari 32°C pada masa tanam menjadi 24°C pada masa panen, sedangkan pada musim semi rata-rata RZT harian meningkat dari 20-29°C melebihi musim tanam. Menurut Conover (1930) tanaman berdaun yang tumbuh pada suhu 29°C akan menggunakan fotosintesis dua kali lebih banyak pada tanaman pada suhu 19°C.

Pada sebagian jenis tanaman, suhu udara yang rendah umumnya akan mendorong perakaran, sedangkan suhu yang tinggi meningkatkan laju transpirasi dan katabolisme yang terakumulasi dalam bentuk zat pati (Rochiman dan Harjadi, 1973). Karbohidrat sebagai salah satu pendukung metabolismenya tergantung suhu, zat pati terkumulasi pada suhu 15°C, tetapi pada suhu 25°C tidak ditemukan zat pati terakumulasi. Selanjutnya Nadiroh (2003) menambahkan suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan stek Sentang berkisar 27.1-28.9°C dan kelembaban berkisar 87.1-88.2%.

Menurut Briggs dan Calvin (1987), kelembaban relatif akan menurun pada suhu tinggi. Kelembaban yang rendah menghambat pertumbuhan tanaman untuk memproduksi fotosintat sehingga akan menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu.

Secara umum tanaman akan tumbuh optimal pada kelembaban diatas 50 %. Kelembaban media lebih berpengaruh ekstrim terhadap pertumbuhan stek dibanding kelembaban ruangan. Penyiraman akan meningkatkan penguapan air di permukaan tanah dan akan membantu meningkatkan kelembaban di sekitar daun (Briggs dan Calvin, 1987).

(19)

Suhu

Suhu udara yang baik untuk merangsang pembentukan primordial akar berbeda-beda berdasarkan jenis tanaman. Kisaran suhu yang baik untuk merangsang pembentukan akar adalah 26-29°C untuk media perakaran (Hartmann

et al., 1990).

Kelembaban

Kelembaban yang tinggi sangat penting bagi pertumbuhan stek untuk menghambatt laju transpirasi, mencegah stek dari kekeringan dan kematian stek sebelum stek membentuk akar (Rochiman dan Harjadi, 1973). Kelembaban di atas 90 % terutama stek belum mampu membentuk akar. Jika kelembaban rendah akan menyebabkan kekeringan dan kematian stek akibat kekurangan air.

Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya pada stek yang belum mampu berakar harus lebih rendah dibandingkan dengan intensitas pada stek yang sudah mempunyai organ dan jaringan lengkap. Intensitas cahaya penting untuk merangsang pembentukan hormon dan pembelahan sel. Intensitas cahaya yang rendah akan meningkatkan inisiasi akar pada stek. Menurut Hartmann et al. (1990), cahaya berkontribusi dalam pembentukan akar dan tunas adventif untuk perakaran. Stek berkayu paling baik di bawah radiasi rendah.

Penyungkupan

Penyungkupan merupakan salah satu cara untuk menjaga kelembaban relatif selama pembibitan atau perbanyakan. Untuk mengurangi tingkat kegagalan perbanyakan dibutuhkan kondisi lingkungan dengan kelembaban relatif yang tinggi (50-90%) selama 2-3 minggu pertama, hal ini dimaksudkan untuk melindungi bahan biakan dari desikasi dan proteksi dari serangan beberapa patogen. Selain itu juga dibutuhkan media tumbuh yang bersifat porous dengan aerasi dan drainase yang baik untuk perkembangan akar yang cepat (Hartmann et

(20)

10 meningkatkan kelembaban relatif udara sehingga mencapai keadaan yang ideal dan kondusif bagi bahan setek untuk tetap tumbuh dan tidak cepat kering

Hasil penelitian Rosman et al. (2004) menunjukkan bahwa perlakuan naungan 50 % signifikan terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, lebar tajuk, lingkar batang, berat basah dan berat kering daun serta berat basah dan berat kering batang serta didukung oleh Salisbury dan Ross (1995) bahwa daun tanaman akan mengubah morfologi dan komposisi sebagai respon tanaman terhadap penyinaran.

Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh Untuk Perakaran

Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik selain hara yang dalam konsentrasi rendah dapat mendorong atau menghambat proses fisiologi tanaman (Tukey, 1954). Menurut Weaver (1972), pemakaian zat pengatur tumbuh pada stek dapat menstimulasi akar, meningkatkan persentase perakaran dan memberikan keseragamaan waktu perakaran.

Zat pengatur tumbuh yang paling sering digunakan untuk perbanyakan tanaman secara stek adalah golongan auksin (Weaver, 1972). Auksin adalah senyawa yang dicairkan dengan fungsi untuk pemanjangan sel pada pucuk dengan struktur kimianya dicirikan oleh adanya indole ring dan senyawa organik yang dapat mengatur bentuk pembentukan tanaman dan dapat aktif di luar titik tumbuhnya dalam jumlah yang sangat sedikit. Auksin adalah salah satu hormon tumbuh yang mendukung proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Abidin, 1983).

Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), beberapa ZPT yang tergolong auksin sintetik, yang sering digunakan untuk merangsang pembentukan akar adalah Indole Acetic Acid (IAA) dan Naphthalene Acetic Acid (NAA). Perbedaan aktifitas ZPT ini ditentukan oleh spesies yang dipakai, fisiologi stek dan keadaan lingkungan. Auksin yang banyak digunakan adalah IAA (Indole Acetic Acid), IBA (Indole Butyric Acid) dan NAA (Napthalene Acetic Acid). Untuk mendorong pertumbuhan stek dari tanaman berkayu dan tanaman berbatang lunak banyak digunakan auksin sintetik NAA dan IBA. Mekanisme kerja NAA dan IBA adalah merangsang pembelahan sel (Wattimena, 1988).

(21)

Menurut Weaver (1972) zat pengatur tumbuh yang paling baik untuk merangsang akar adalah IBA dan NAA. IBA memiliki aktivitas auksin yang lemah, zat kimia bersifat stabil dan tetap berada pada daerah pemberian perlakuan, translokasinya lemah berlangsung lebih lambat sehingga bahan aktifnya akan tertahan didekat tempat aplikasinya. Auksin lain yang biasanya digunakan sebagai pendorong perakaran adalah NAA. NAA memiliki sifat lebih beracun daripada IBA dengan penggunaan konsentrasi yang terlalu tinggi harus dihindari karena dapat menyebabkan pelukaan pada tanaman, dan didukung oleh Rochiman dan Harjadi (1973) bahwa pemberian auksin sintetik dengan konsentrasi terlalu tinggi dapat merusak dasar stek dimana pembelahan sel dan kerusakan berlebihan dapat menghambat tumbuhnya akar dan tunas.

Zat pengatur tumbuh dapat menstimulasi perakaran spesies tanaman yang mudah berakar, tapi mungkin tidak dapat menginduksi spesies tanaman yang sulit berakar. Senyawa berbeda memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kuantitas dan kualitas perakaran yang diinduksi.Sebagai contoh tanaman Chrysanthemum, Geranium, Verbena, Carnation, Begonia, African Violet, English Ivy, memiliki respon yang baik terhadap perlakuan zat pengatur tumbuh (Weaver, 1972).

Auksin digunakan untuk pertumbuhan kalus, pemanjangan tunas dan pembentukan akar. Dalam konsentrasi rendah akar memacu tunas adventif, sedangkan konsentrasi tinggi mendorong terbentuk kalus (Pierik, 1987). Auksin yang secara alami tidak terdapat dalam tumbuhan adalah Indole-3-Acetic Acid (IAA). Pemilihan jenis auksin dan konsentrasinya ditentukan oleh tipe pertumbuhan dan level auksin endogen. Kemampuan jaringan dalam sistem auksin dan zat pengatur tumbuh lain yang ditambahkan tanaman. Auksin NAA selang konsentrasi optimalnya sangat sempit untuk pertumbuhan, yaitu aktif pada konsentrasi 0.001-10 mg/l tetapi NAA memiliki sifat yang lebih tahan, tidak mudah terdegradasi dan lebih murah.

Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh

Metode perendaman adalah metode paling praktis yang paling awal ditemukan dan sampai saat ini masih dipandang paling efektif. Pada stek berkayu lembut (softwood, herbaceus) jumlah larutan yang diabsosrbsi tergantung pada

(22)

12 jumlah air yang diabsorbsi, karena itu merode perendaman sangat sesuai untuk tanaman herbaceus guna mencegah terjadinya keracunan pada tanaman (Audus, 1963). Menurut hasil penelitian Susanti (2003), lama perendaman selama 2 jam berpengaruh baik pada persentase stek hidup Anyelir sebesar 38.06 %, persentase berakar lebih tinggi pada perlakuan IBA 300 ppm dibandingkan perlakuan lainnya.

Avery dan Johnson (1947) menyatakan bahwa metode perendaman dilakukan dengan cara merendam stek selama kira-kira 24 jam pada kedalam 1 inchi dengan konsentrasi auksin dipergunakan berkisar antara 25-100 ppm, sedangkan menurut Hartmann et al. (1990) pada umumnya konsentrasi auksin digunakan berkisar antara 20 ppm untuk spesies tanaman yang mudah berakar dan 200 ppm untuk spesies yang sulit berakar.

Untuk keberhasilan stek, jumlah dan konsentrasi hormon yang diberikan haruslah tepat agar didapatkan waktu dan sistem perakaran yang baik (Yasman dan Smith, 1988). Konsentrasi yang terlalu rendah akan mengakibatkan perakaran lama, sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi menyebabkan kemungkinan stek tidak membentuk akar, melainkan kalus. Konsentrasi dan jumlah hormon ini tergantung pada umur bahan stek, waktu atau lamanya pemberian hormon, aplikasi hormon, jenis tanaman dan sistem stek yang digunakan. Semakin tua umur bahan stek, maka diperlukan konsentrasi hormon yang semakin tinggi, semakin banyak serat kayu pada batang, maka waktu yang diperlukan untuk pemberian hormon, semakin lama dan begitu juga sebaliknya (Yasman dan Smith, 1988)

Pembentukan akar terjadi karena adanya pergerakan ke bawah dari auksin, karbohidrat dan rooting cofactor (zat-zat yang berinteraksi dengan auksin yang mengakibatkan perakaran) baik dari tunas ataupun dari dalam. Zat-zat ini akan timbul dari dua sumber, yaitu dari jaringan kalus dan akar morfologi atau primordial (Rochiman dan Harjadi, 1973).

Menurut Hartman et al. (1990) ada tiga proses pertumbuhan akar adventif pada stek, yaitu:

(23)

b. Diferensiasi kelompok sel tersebut menjadi primordia akar yang dapat dikenali.

c. Pemunculan dan perkembangan akar baru.

Media Tanam

Dalam pertumbuhan tanaman diperlukan media tanam yang sesuai dengan jenias tanaman yang di tanam baik di lapangan maupun di rumah kaca. Media tanam yang menggunakan tanah sebagai media tanam sangat dipengaruhi oleh jenis tanah yang akan digunakan sebagai media tanam. Syarat media tanam tumbuh yang baik adalah: (1) memiliki sifat fisik remah karena media yang remah akan bersifat tidak padat secara keseluruhan sehingga akar tanaman mudah berkembang dan dapt menembus tanah, selain itu, tanah remah akan baik dalam hal aerasi dan drainase; (2) tidak mengandung bahan-bahan beracun yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman; (3) tingkat kemasaman baik; (4) tidak mengandung hama atau penyakit; dan (5) memiliki daya pegang air yang cukup (Baudendistel, 1982; Ismail, 1999). Selain itu syarat media tanam adalah mudah didapatkan dengan biaya murah (Agnes, 1994).

Tanah merupakan hasil pelapukan dari batuan. Jenis tanah dibedakan menjadi dua, antara lain, tanah mineral dan tanah organik. Tanah mineral adalah tanah yang merupakan hasil pelapukan dari bahan-bahan mineral, sedangkan tanah organik adalah tanah yang berasal dari hasil pelapukan bahan-bahan organik. Tanah organik memiliki bahan organik dalam jumlah yang tinggi, misalnya tanah gambut. Setiap jenis tanah memiliki sifat fisik dan sifat kimia yang berbeda. Sebagai contoh tanah latosol memiliki sifat kimia yang kurang baik. Tanah latosol memiliki KTK yang rendah disebabkan oleh bahan oranik dalam jumlah sedikit dan memerlukan tambahan unsur N, P, K, Ca, Mg dan beberapa unsur mikro. Tanah latosol mengandung hidro-oksida besi atau aluminium. Menurut hasil penelitian Eris (2001) penggunaan tanah dalam budidaya paku pohon memberikan hasil yang sama pada komposisi media tanam yang lain.

Kompos sebagai salah satu bahan organik dan kandungan haranya tergantung pada bahan tanaman yang dijadikan sebagai kompos tersebut (Rowll,

(24)

14 1995). Indranada (1986) menyatakan dalam pembuatan kompos kualitas bahan sangat menentukan kelancaran dekomposisi. Nisbah C/N merupakan indikator yang menunjukkan tingkat dekomposisi dari bahan organik. Keuntungan kompos adalah bahan organik untuk memperbaiki kondisi tanah yang mengandung unsur hara (N, P, K, Ca, Mg) (Lingga dan Marsono, 2001). Nisbah C/N optimal yang digunakan dalam proses pengomposan adalah 30-40. Menurut hasil penelitian Yulindaria (1998) bahwa jumlah rebung pada Bambu Betung sebanyak 0.621 pada perlakuan pupuk kandang ayam sebanyak 6 ton/ha.

Menurut hasil penelitian Robert et al. (2001) kepadatan akar lebih tinggi untuk Bentgrass yang ditumbuhkan pada 8 bagian pasir + 1 bagian Com-Til + 1 bagian campuran vermiculite, composted bark fines, peat moss, processed bark

ash dan pasir yang telah dicuci, sedangkan menurut hasil penelitian Utami (1983),

penggunaan campuran 2 bagian tanah + 1 bagian pasir + 1 bagian kompos menghasilkan pertumbuhan yang biak pada tanaman suplir (Adiantum tenerum; A.

cuneatum; A. peruviatum).

Pembibitan

Pengelolaan pembibitan yang baik akan menghasilkan bibit yang sehat dan seragam. Pembibitan dapat dilakukan pada tanah bedengan atau dalam wadah. Pada prinsipnya keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu mengurangi kerugian yang lebih berakibat pada kematian bibit. Apabila bahan tanaman langsung ditanam di lahan penanaman.

Pembibitan hendaknya berdekatan dengan air supaya mudah menyiram di saat-saat diperlukan. Tanah yang miring lebih baik daripada tanah datar. Tanah yang miring sebelah timur dapat menerima banyak sinar matahari, lebih bdaik daripada tanah yang miring sebelah barat (Hadiwijaya, 1980).

Pembibitan tanaman cengkeh menggunakan polibag memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungan pembibitan dengan menggunakan polibag, antara lain, (1) resiko kematian tanaman pada saat pemindahan sedikit; (2) dapat dipindahkan ke lapangan lebih dari 2 tahun asalkan polibag cukup kuat; (3) tanaman lebih kekar; dan (4) dapat dilakukan oleh siapa saja. Kerugian pembibitan di polibag, antara lain, (1) memerlukan banyak biaya; (2) pemupukan dan penyiraman lebih intensif; dan (30 polibag harus diperbaiki (Bintoro, 1986).

(25)

Tempat dan Waktu

Penelitian tersebut yang dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2007. Penelitian tersebut dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikabayan.

Bahan dan Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah alat tulis, polybag berukuran 20 × 15 cm, timba, cangkul, gunting stek, Psychrometer, plastik, kayu atau bambu, pisau, alat penyiram, termometer tanah, gelas ukur dan ember. Adapun bahan yang dipergunakan dalam penelitian tersebut adalah bahan stek berasal dari batang tanaman salam yang telah berumur ≥ 2 tahun dengan tinggi sekitar 160 cm, kompos, tanah latosol Dramaga, auksin dan pupuk NPK.

Rancangan Penelitian

Rancangan lingkungan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design).

Bahan tanam berupa stek batang dengan menghilangkan setengah daun dari pucuk dengan panjang 20 cm. Dalam penelitian tersebut, aspek perlakuan yang dilakukan adalah perlakuan konsentrasi IBA yang terdiri dari R0 (tanpa IBA), R1 (konsentrasi IBA 100 ppm), R2 (konsentrasi IBA 200 ppm) dan R3 (konsentrasi IBA 300 ppm). Ketiga perlakuan tersebut diacak dalam setiap ulangan dan penempatannya di setiap unit percobaan terdiri dari W0 (tanpa sungkup), W1 (lama sungkup 1 minggu), W2 (lama sungkup 2 minggu) dan W3 (lama sungkup 3 minggu). Setiap perlakuan ada 3 ulangan. Masing-masing penyungkupan merupakan satu unit percobaan tersendiri, sehingga akan terdapat tiga unit percobaan yang terpisah. Dengan demikian masing-masing unit percobaan memiliki 16 satuan percobaan.

Sehingga seluruhnya ada 48 perlakuan. Setiap perlakuan terdapat 10 polybag. Setiap polibag terdiri dari 1 bibit tanaman, sehingga jumlah seluruhnya 480 tanaman. Semua satuan percobaan dilakukan pengamatan, yaitu 480 tanaman.

(26)

16 Persamaan respon atau model statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Yijk = µ + αi + βj + γ k+ (αγ)jk + εijk

Keterangan:

Yij : respon pengamatan perlakuan konsentrasi auksin ke-i, ulangan ke-j dan lama penyungkupan ke-k

µ : Nilai rataan umum

αi : pengaruh konsentrasi auksin ke-i βj : pengaruh ulangan ke-j

γ k : pengaruh lama penyungkupan ke-k

(αγ)jk : pengaruh interaksi antara konsentrasi auksin ke-i dan lama penyungkupan ke-k

εijk : Nilai pengaruh galat percobaan perlakuan konsentrasi auksin ke-i, ulangan ke-j dan lama penyungkupan ke-k

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SAS. Apabila berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan taraf 5 %.

Pelaksanaan

Kegiatan diawali dengan persiapan bahan stek. Bahan stek diambil dari tanaman induk yang berasal dari Kebun Percobaan Leuwikopo, IPB dengan jumlah tanaman induk yang digunakan sebanyak 160 tanaman. Bahan stek tidak diambil dari tanaman pinggir. Dari satu pohon induk diperoleh 3 cabang. Setiap cabang diambil 2 stek.

Media tanam yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah campuran tanah latosol dan kompos dengan perbandingan 2:1. Perbanyakan tanaman yang digunakan adalah perbanyakan vegetatif berupa stek batang dari tanaman salam. Pemotongan batang dilakukan pada jam 07.00-09.00 WIB. Batang dipotong dengan ukuran sekitar 20 cm, kemudian dipotong miring agar luas permukaan stek yang digunakan sebagai stek lebih luas dibandingkan pemotongan batang tegak. Pemotongan setek tidak dilakukan dalam air. Setelah bahan stek siap

(27)

digunakan sebagai bahan tanam, direndam dalam air agar stek tidak mengalami kekeringan pada saat penanaman.

Sebelum bahan stek ditanam, bahan stek yang telah dipotong dicelupkan dalam IBA sesuai dengan perlakuan dengan cara perendaman selama 15 menit. Stek tersebut ditanam sedalam 4 cm. Tahap selanjutnya tanaman disungkup berdasarkan perlakuan lama penyungkupan. Sungkup dibuat dari bilah bambu lentur dengan tinggi 80 cm. Rangka yang telah jadi ditutup dengan plastik mulai dari bagian atas sampai ke bagian bawah. Penutupan dilakukan secara menyeluruh sampai semua bedengan tertutup.

Pemeliharaan stek dilakukan dengan menyemprotkan air dengan menggunakan sprayer pada perlakuan penyungkupan. Penyiraman dilakukan dua kali/hari. Penyiraman dilakukan apabila media tanam mengalami kekeringan.

Pengamatan

Peubah pengamatan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah sebagai berikut.

a. Keberhasilan stek

Dihitung pada akhir pengamatan dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

Keberhasilan Stek = stek tanaman hidup × 100 % Jumlah seluruh tanaman

b. Jumlah daun

Jumlah daun dihitung setiap minggu setelah tanam hingga akhir pengamatan dengan dihitung daun yang telah terbuka dan dimulai pada 2 MST.

c. Jumlah cabang

Jumlah cabang dihitung pada 4-8 MST dengan menghitung jumlah cabang yang tumbuh.

d. Tinggi Tanaman

Tinggi tanaman diukur pada 1-8 MST dengan cara mengukur di atas permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi.

(28)

18 e. Temperatur dan Kelembaban perlakuan dengan penyungkupan dan tanpa

penyungkupan

Temperatur dan kelembaban perlakuan dengan penyungkupan dan tanpa penyungkupan, diukur pada 1-2 MST dengan menggunakan Pshycometer. Pengamatan ini dilakukan pada setiap hari dengan pengukuran 2 kali sehari (pagi dan sore). Temperatur dan kelembaban diukur pada pertengahan antara permukaan tanah dengan plastik penyungkup dengan cara menggantungkan Psychrometer di bagian tengah-tengah sungkup.

(29)

Hasil

Kondisi Umum

Pengolahan data pengamatan dilakukan dengan menggunakan software Excel. Hal ini disebabkan data pengamatan yang diperoleh tidak memenuhi syarat secara statistika untuk diolah menggunakan análisis ragam. Selain data pengamatan yang tidak memenuhi secara statistika, stek yang diperbanyak mengalami kematian dalam jumlah yang banyak, yaitu lebih dari 80 %. Hal ini dapat dilihat pada lampiran 4, 5, 6 dan 7.

Pada awal penanaman berlangsung musim kemarau, kemudian memasuki musim hujan. Musim kemarau tersebut yang menyebabkan udara panas di dalam sungkup, sehingga penyiraman dilakukan pada awal penanaman sampai dengan 4 MST. Udara panas yang masuk ke dalam sungkup tersebut menyebabkan laju transpirasi stek sangat tinggi pada awal penanaman, sedangkan akar pada stek belum terbentuk. Kondisi umum pertanaman pada akhir pengamatan dapat dilihat pada gambar 3 dan 4.

Gambar 3. Kondisi Umum lahan Percobaan (pada perlakuan tanpa sungkup dan perlakuan lama penyungkupan satu minggu)

Berdasarkan hasil pengamatan, gulma yang tumbuh di areal percobaan adalah Boreira alata, Oxalis sp., dan lain-lain. Selama pengamatan tidak ditemukan hama dan penyakit, sehingga tidak diperlukan pengendalian kimiawi dengan pestisida. Keberhasilan stek memiliki persentase yang rendah.

(30)

20

Gambar 4. Kondisi Umum Lahan Percobaan (pada perlakuan lama penyungkupan dua minggu dan perlakuan lama penyungkupan tiga minggu)

Temperatur Udara dan Kelembaban Udara

Pada awal pengamatan adanya perbedaan antara suhu udara dan kelembaban udara di dalam dan di luar sungkup. Kelembaban udara rata-rata dan temperatur udara rata-rata pada perlakuan tanpa penyungkupan lebih rendah dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya. Hal ini disebabkan perbedaan letak sungkup pada lahan percobaan.

Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa temperatur udara pada pagi hari berkisar 21°C, sedangkan temperatur udara pada sore hari berkisar 28°C (tabel 1). Temperatur dalam sungkup pada pagi hari lebih rendah dibandingkan temperatur tanpa sungkup, yang menyebabkan kelembaban udara rata-rata pada perlakuan penyungkupan lebih tinggi dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya pada pagi hari dan sore hari (tabel 1).

Tabel 1. Temperatur Udara dan Kelembaban Udara Rata-Rata Pada Berbagai Taraf Perlakuan Lama Penyungkupan

Temperatur (°C) Kelembaban (%) Rataan harian Perlakuan Pagi hari Sore hari Pagi hari Sore hari Temperatur (°C) Kelembaban (%) Tanpa Sungkup 20.8 27.5 91.4 86.3 24 88.9 Sungkup 1 minggu 20.9 28.1 91.6 88.9 24.5 88.9 Sungkup 2 minggu 20.9 28.7 91.7 86.4 24.8 90.2 Sungkup 3 minggu 20.9 28.2 93.9 88.8 24.5 90.9

(31)

Pada pengamatan perlakuan penyungkupan memiliki temperatur cenderung merata pada pagi hari (gambar 5). Pada sore hari, perlakuan lama penyungkupan dua minggu memiliki temperatur udara lebih tinggi dibandingkan temperatur udara pada perlakuan penyungkupan lainnya (gambar 5), sedangkan temperatur udara pada perlakuan tanpa penyungkupan lebih rendah dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya.

Temperatur udara meningkat pada sore hari pada semua pengamatan perlakuan lama penyungkupan, terutama pada perlakuan lama penyungkupan dua minggu. Hal ini disebabkan perlakuan penyungkupan dua minggu menerima cahaya matahari lebih banyak dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya (gambar 5), yang disebabkan perlakuan sungkup pada lahan percobaan yang menyebabkan perbedaan intensitas cahaya matahari yang diterima oleh stek untuk melakukan fotosintesis. 0 5 10 15 20 25 30 35 40 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Hari ke-T e m p e ra tu r

pagi hari pada W0 so re hari pada W0 pagi hari pada W1 so re hari pada W1 pagi hari pada W2 so re hari pada W2 pagi hari pada W3 so re hari pada W3

Gambar 5. Temperatur Udara pada Berbagai Perlakuan dengan Pengamatan Pagi Hari dan Sore Hari

Pada pagi hari, perlakuan tanpa penyungkupan memiliki kelembaban udara lebih tinggi dibandingkan kelembaban udara perlakuan lama penyungkupan lainnya. Pada awal pengamatan, kelembaban udara pada perlakuan lama penyungkupan dua minggu lebih rendah dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya (gambar 6).

Kelembaban udara mengalami fluktuasi yang besar, terutama pada perlakuan lama penyungkupan dua minggu. Penurunan kelembaban udara yang tajam terjadi

(32)

22 pada pengamatan hari ke-2, ke-5 dan ke-11 pada perlakuan lama penyungkupan dua minggu (gambar 6).

0 20 40 60 80 100 120 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Hari ke-K e le m b a b a n U d a

ra pagi hari pada W0

so re hari pada W0 pagi hari pada W1 so re hari pada W1 pagi hari pada W2 so re hari pada W2 pagi hari pada W3 so re hari pada W3

Gambar 6. Kelembaban Udara pada Berbagai Perlakuan dengan Pengamatan Pagi Hari dan Sore Hari

Keberhasilan Stek

Pada akhir pengamatan bahwa tidak ada stek yang dapat digunakan sebagai bibit siap tanam. Hal ini disebabkan kuantitas akar yang belum mencukupi untuk ditanam di lapang serta jumlah stek yang hidup sangat sedikit (tabel 2).

Keberhasilan stek pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada tabel 2. Perlakuan lama penyungkupan tiga minggu memiliki keberhasilan stek lebih besar dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya (Tabel 2). Hal ini disebabkan rendahnya temperatur dan tingginya kelembaban udara pada setiap perlakuan lama penyungkupan, sehingga perlakuan lama penyungkupan tiga minggu mengalami etiolasi lebih lama dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya.

Tabel 2. Keberhasilan Stek pada Akhir Pengamatan di Setiap Perlakuan Penyungkupan

Perlakuan Keberhasilan Stek (%)

Tanpa Penyungkupan 2.50

Lama Penyungkupan Satu Minggu 2.50

Lama Penyungkupan Dua Minggu 3.33

(33)

Pada perlakuan tanpa sungkup, keberhasilan stek lebih kecil dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya. Hal ini disebabkan intensitas cahaya matahari yang diterima lebih banyak yang menyebabkan laju transpirasi lebih besar dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya.

Perlakuan lama penyungkupan tiga minggu memiliki jumlah akar lebih banyak dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya (gambar lampiran 3). Hal ini disebabkan kelembaban yang tinggi, yang mempengaruhi pembentukan akar pada stek (tabel 1).

Gambar 7. Keadaan Setek dari Perlakuan Tanpa Penyungkupan

Tinggi Tanaman

Pada perlakuan lama penyungkupan tiga minggu memiliki pertambahan tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan penyungkupan lainnya, yaitu sekitar 1.2 cm (tabel 3). Hal ini disebabkan warna plastik sungkup yang digunakan dan perbedaan lahan percobaan dalam menerima intensitas sinar matahari. Peningkatan pertambahan tinggi tanaman terdapat pada hampir semua pengamatan (tabel 3). Pertambahan tinggi tanaman ini disebabkan tingginya kelembaban udara pada perlakuan penyungkupan yang mempengaruhi tinggi tanaman. Tingginya kelembaban dapat dilihat pada tabel 1.

(34)

24 Tabel 3. Pertambahan Tinggi Tanaman pada Perlakuan Lama Penyungkupan dan

Konsentrasi IBA (dalam cm)

Lama Penyungkupan (Minggu) Pengamatan (MST) 0 1 2 3 1 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 2 1.8±0.0 0.0±0.0 0.4±0.0 0.0±0.0 3 1.8±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 4 1.0±0.8 2.4±0.7 1.9±0.8 2.1±0.2 5 0.5±0.3 1.2±0.5 2.3±0.9 1.6±0.3 6 0.0±0.0 1.0±0.4 1.7±0.5 2.7±2.5 7 0.0±0.0 2.1±0.8 1.3±0.2 2.5±0.5 8 1.4±0.0 0.9±0.2 1.3±0.2 1.4±0.9

Konsentrasi IBA (Minggu) Pengamatan (MST) 0 100 200 300 1 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 2 0.0±0.0 0.8±0.0 0.7±0.0 0.0±0.0 3 0.0±0.0 0.0±0.0 1.8±0.0 1.7±0.0 4 2.1±0.6 2.7±0.8 1.5±0.8 1.6±0.1 5 1.5±1.1 1.2±0.4 1.8±0.0 2.1±0.3 6 2.3±0.4 2.1±1.6 2.1±1.3 3.5±0.0 7 2.4±0.8 1.8±0.1 1.1±0.2 0.0±0.0 8 1.2±0.3 2.8±0.1 1.7±0.9 0.4±0.0

Pada akhir pengamatan, perlakuan konsentrasi 200 ppm memiliki pertambahan tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya (tabel 3), yaitu sekitar 1.3 cm. Pertambahan tinggi tanaman terjadi pada hampir semua pengamatan. Pertambahan tinggi tanaman ini disebabkan respon stek terhadap penggunaan auksin, yang mempengaruhi tinggi stek.

Dalam percobaan ini tidak adanya interaksi dari semua kombinasi perlakuan percobaan yang dilakukan. Ketiadaan interaksi tersebut disebabkan oleh perlakuan yang dilakukan, serta banyak stek yang mati pada tiap satuan percobaan. Hal ini disebabkan persiapan membuat stek sebagai bahan tanam.

Jumlah Daun

Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan lama penyungkupan tiga minggu memiliki pertambahan jumlah daun lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan penyungkupan lainnya (tabel 4), yaitu sekitar 3 helai daun. Peningkatan jumlah daun terjadi pada hampir semua pengamatan pada perlakuan lama

(35)

penyungkupan. Hal ini disebabkan kelembaban udara yang tinggi dalam sungkup, yang berpengaruh pada intensitas cahaya matahari yang diterima oleh stek.

Tabel 4. Pertambahan Jumlah Daun pada Perlakuan Lama Penyungkupan dan Konsentrasi IBA

Lama Penyungkupan (Minggu) Pengamatan (MST) 0 1 2 3 1 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 2 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 3 0.0±0.8 1.8±2.1 1.8±4.1 1.9±3.1 4 1.0±0.5 1.7±1.5 0.8±1.5 0.9±1.8 5 1.9±0.7 0.0±1.0 0.2±1.0 0.9±2.2 6 0.5±0.3 0.8±1.0 0.9±1.0 1.2±2.7 7 1.2±0.9 1.3±1.4 1.3±1.4 1.8±2.1 8 0.5±0.4 1.2±1.0 1.4±1.0 1.4±2.7

Konsentrasi IBA (Minggu) Pengamatan (MST) 0 100 200 300 1 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 2 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 3 2.1±3.9 2.3±4.4 1.9±1.4 1.8±1.3 4 0.7±1.6 0.3±1.7 0.7±0.5 1.7±1.3 5 0.4±1.1 0.9±1.7 1.7±1.8 1.0±0.9 6 0.1±1.8 0.4±3.5 1.5±3.2 1.2±1.4 7 1.3±1.0 1.7±3.4 1.7±3.2 1.4±4.3 8 1.8±1.8 0.7±0.6 1.7±1.9 1.8±3.6

Pada perlakuan konsentrasi IBA 100 ppm memiliki jumlah daun lebih banyak dibandingkan perlakuan konsentrasi IBA lainnya (tabel 4), yaitu sekitar 3 helai daun. Pertambahan jumlah daun terjadi pada hampir semua pengamatan. Hal ini disebabkan kandungan IBA dalam stek yang berbeda-beda. Selain itu, kandungan C dalam stek juga mempengaruhi pertumbuhan tunas pada stek. Pertumbuhan tunas ini akan mempengaruhi pertumbuhan daun pada stek.

Dalam percobaan ini tidak adanya interaksi dari semua kombinasi perlakuan percobaan yang dilakukan. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya stek yang mati pada tiap satuan percobaan. Hal ini disebabkan faktor pelaksanaan yang dilakukan dalam mempersiapkan stek.

(36)

26 Jumlah Cabang

Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada perlakuan lama penyungkupan tiga minggu memiliki pertambahan jumlah cabang lebih banyak dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya (tabel 5), yaitu sekitar satu cabang. Pertambahan jumlah cabang terjadi pada hampir semua pengamatan. Hal ini disebabkan kelembaban yang tinggi (tabel 1), yang mempengaruhi munculnya tunas baru. Kelembaban yang tinggi menyebabkan intensitas cahaya matahari yang diterima stek menjadi berkurang.

Tabel 5. Pertambahan Jumlah Cabang pada Perlakuan Lama Penyungkupan dan Konsentrasi IBA

Lama Penyungkupan (Minggu) Pengamatan (MST) 0 1 2 3 4 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 5 1.1±0.7 0.7±0.7 1.3±3.0 0.5±0.0 6 0.0±0.0 0.0±0.0 0.4±0.6 0.3±0.0 7 2.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0 8 0.0±0.0 1.3±0.0 0.2±0.0 0.7±0.0

Konsentrasi IBA (Minggu) Pengamatan (MST) 0 100 200 300 4 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 5 1.1±2.7 0.6±0.9 0.6±0.0 0.4±0.3 6 0.0±0.0 0.4±0.0 0.5±0.6 0.1±0.0 7 1.0±0.0 1.0±0.0 2.0±0.0 1.0±0.0 8 0.6±0.0 0.2±0.0 0.6±0.0 1.2±0.0

Pada perlakuan konsentrasi IBA 200 ppm memiliki pertambahan jumlah cabang lebih banyak dibandingkan perlakuan konsentrasi IBA lainnya (tabel 5), yaitu sekitar satu cabang. Peningkatan pertambahan jumlah cabang terjadi pada hampir semua pengamatan. Hal ini disebabkan konsentrasi IBA yang berbeda pada stek, yang berpengaruh pembentukan tunas.

Dalam percobaan ini tidak adanya interaksi dari semua kombinasi perlakuan percobaan yang dilakukan. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya stek yang mati pada tiap satuan percobaan. Interaksi ini disebabkan prosedur dalam mempersiapkan stek, terutama dalam perlakuan setelah pengambilan stek

(37)

dari tanaman induk. Selain itu, perlakuan sebelum pengambilan stek, yaitu pengkeratan batang untuk memperoleh kandungan karbohidrat dalam stek.

Pembahasan

Perbanyakan tanaman ini dapat dilakukan dengan biji, cangkok, atau stek. Namun dalam prakteknya, perbanyakan tanaman salam yang dikerjakan secara vegetatif dengan cara penyetekan (cutting) tidak memiliki keberhasilan stek yang rendah. Keberhasilan stek dapat dilihat pada tabel 2. Selain itu Perbanyakan tanaman salam banyak dikerjakan secara generatif, yaitu menggunakan biji.

Penyungkupan tanaman dengan cara setek ini dipengaruhi beberapa faktor, yaitu faktor eksternal yang berasal dari lingkungan dan faktor internal yang berasal dari dalam tanaman itu sendiri. Hal ini ditunjukkan pada keberhasilan setek (tabel 2), yang didukung oleh Hartmann et al. (1990), faktor yang mempengaruhi kemampuan pembentukan akar pada setek meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal, antara lain, spesies, juvenilitas, hormon, pertumbuhan, fisiologi, periode pertumbuhan, provinansi dan teknik. Faktor eksternal, antara lain, kelembaban, intensitas cahaya, temperatur, kondisi media, fertilisasi, panjang hari dan aerasi.

Temperatur Udara dan Kelembaban Udara

Pada percobaan ini, dilakukan penyungkupan untuk menjaga kelembaban udara dan temperatur udara agar tidak terjadi kekeringan dan pembentukan akar lebih banyak. Penyungkupan dapat meningkatkan kelembaban relatif udara, sehingga mencapai keadaan yang ideal bagi setek untuk tetap dapat tumbuh dan tidak cepat kering (Pierik, 1987). Untuk menjamin keberhasilan berakarnya tanaman, setek harus dijaga dari kekeringan sebelum terbentuknya akar dengan cara penyungkupan. Hal ini ditunjukkan pada perlakuan lama penyungkupan tiga minggu memiliki kelembaban udara lebih rendah dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya pada siang hari, yaitu 90.9 %, sedangkan temperatur pada perlakuan lama sungkup tiga minggu sebesar 24°C (tabel 1). Menurut Ashari (1995), suhu udara harian antara 21-27°C untuk perakaran stek. Menurut

(38)

28 Rochiman dan Harjadi (1973), suhu udara optimal untuk pembentukan akar pada kebanyakan jenis tanaman adalah 29°C dengan kelembaban udara 90 %, dan didukung oleh Hartmann et al. (1990), suhu 15-21°C merupakan suhu ideal untuk pembentukan tunas dan akar pada stek.

Pada percobaan ini dilakukan penyemprotan air di penyungkupan dengan cara menyemprotkan air di sekitar tanaman yaitu menjaga agar stek terhindar dari dehidrasi atau kekeringan selama stek diinduksi pada suhu tersebut. Penyiraman akan meningkatkan penguapan air di permukaan tanah dan akan membantu meningkatkan kelembaban di sekitar daun (Briggs dan Calvin, 1987).

Suhu yang terlalu rendah atau tinggi dapat menyebabkan stek mati. Hal ini dapat dilihat pada rataan temperatur udara harian dapat dilihat pada tabel 1. Kondisi iklim yang baik bagi tanaman adalah kelembaban optimal, suhu optimal, kecepatan angin yang rendah, tanaman akan menggunakan air di dalam tanah dalam keadaan normal.

Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), tekstur yang lunak serta daun yang dimiliki stek pada keadaan suhu tinggi dan kelembaban yang rendah pada siang hari dapat menyebabkan kehilangan air yang banyak karena proses transpirasi. Stek akan layu dan kering sebelum membentuk akar. Hal ini terlihat pada gambar lampiran 5 dan gambar lampiran 6.

Menurut Manaker (1981) suhu berpengaruh terhadap setiap proses fisiologi tanaman. Suhu di atas 32-35°C akan merusak sel tumbuhan dan akan menyebabkan menurunnya laju fotosintesis. Hal ini terlihat pada gambar lampiran 5 dan 6, dan didukung oleh Cooper (1973), Dodded et al. (2000) dan Tindall et al., (1990), RZT (Root Zone Temperature = Temperatur Daerah Perakaran) yang tinggi dapat menghasilkan dampak yang besar pada pertumbuhan tanaman bagian ujung vegetatif, pembentukan buah, penyerapan air, penyerapan mineral, proses asimilasi dan respirasi tanaman.

Stek yang digunakan sebagai bahan tanaman memiliki daun yang digunakan sebagai sink dalam proses fotosintesis. Daun yang tersisa pada bahan stek juga membantu di dalam merangsang pertumbuhan calon akar karena mengandung auksin yang ditranslokasikan dari daun menuju ke bawah. Peranan daun sangat

(39)

penting bagi stek karena keberadaan akan mempengaruhi tingkat fotosintesis yang dilakukan, sehingga akan mempengaruhi tingkat karbohidrat yang dihasilkan. Wudianto (1994) menyebabkan peranan daun pada stek cukup besar, karena daun akan melakukan proses asimilasi dan hasilnya tentu mempercepat pertumbuhan akar, tetapi jumlah yang tidak terlalu banyak justru menghambat pertumbuhan akar stek, karena daun akan mengalami proses penguapan yang besar. Hal ini dapat dilihat pada gambar lampiran 5, 6 dan 7.

Keberhasilan Stek

Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak ada stek yang dapat dijadikan bibit siap tanam di lapang. Hal ini berhubungan dengan kemampuan berakar pada stek dan kuantitas akar yang terbentuk belum maksimal, dapat ditunjukkan pada keberhasilan stek pada masing-masing perlakuan penyungkupan (tabel 2). Menurut Wattimena (1988) menyatakan bahwa inisiasi akar didorong oleh suhu tetap pertumbuhan akar berikutnya sangat tergantung pada ketersediaan karbohidrat dalam tanaman. Menurut Harjadi (1979) kemampuan batang membentuk akar bertalian dengan tahap pertumbuhan juvenil. Disamping itu posisi batang juga mempengaruhi perakaran dimana pucuk lateral akan lebih mudah berakar dibandingkan pucuk terminal. Disamping itu, auksin yang ada dalam tanaman dapat mendorong pembesaran dan pembelahan sel serta inisiasi akar.

Pada perlakuan lama penyungkupan tiga minggu, keberhasilan stek membentuk akar lebih besar dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya (tabel 2). Hal ini disebabkan adanya penggunaan IBA sebagai perangsang pembentukan akar. Selain itu juga lingkungan tumbuh yang mendukung inisiasi akar pada stek, termasuk temperatur dan kelembaban dan proses inisiasi juga akar dipengaruhi oleh rasio C/N dan didukung oleh Hartmann et al. (1990) menyatakan bahwa ratio C/N yang tinggi dapat meningkatkan inisiasi akar. Hubungan antara tingginya C/N rasio dan perakaran dapat terjadi pada tingkat N yang rendah, akan memproduksi akar sedikit tetapi menghasilkan tunas yang kuat (Rochiman dan Harjadi, 1973). Selain C/N rasio, cahaya juga berpengaruh dalam pembentukan

(40)

30 akar dan tunas adventif untuk perakaran. Stek berkayu paling baik di bawah radiasi rendah (Hartmann et al., 1990). Hal ini juga berhubungan dengan gambar lampiran 1, 2 dan 3.

Hartmann et al. (1990) menyatakan bahwa tanaman sulit berakar kemungkinan besar dipengaruhi oleh media perakaran. Media perakaran merupakan faktor yang mempengaruhi terhadap keberhasilan perakaran. Selain itu, perlakuan kontrol yang seharusnya menggunakan alkohol juga mempengaruhi keseragaman pembentukan akar pada stek. Hal ini dapat dilihat pada keberhasilan stek pada perlakuan tanpa sungkup dan penyungkupan selama satu minggu (tabel 2).

Selain penggunaan konsentrasi IBA, metode aplikasi IBA juga berpengaruh pada peubah yang diukur. Hal ini dapat dilihat pada penelitian Goenawan (2006) yang menyatakan bahwa metode aplikasi ZPT berpengaruh nyata terhadap panjang tunas yang dihasilkan pada 2 MSP dan 4 MST terhadap jumlah daun yang dihasilkan. Selanjutnya, posisi penanaman stek juga sangat mempengaruhi terbentuknya akar pada stek. Menurut Suhaendi (2006), nilai konsentrasi IBA yang optimal untuk persentase berakar stek tanaman Eukaliptus sebesar 2.776 ppm sedangkan konsentrasi IBA yang optimal untuk berat kering total sebesar 2.990 ppm.

Tinggi Tanaman

Pada perlakuan tanpa penyungkupan memiliki pertambahan tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya, yaitu sekitar dua cm (tabel 3). Hal ini disebabkan warna plastik sungkup yang digunakan dan perbedaan lahan percobaan dalam menerima intensitas sinar matahari. Tinggi tanaman dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan tanaman pendek. Hal ini disebabkan auksin yang mempengaruhi pemanjangan sel bekerja lebih aktif dalam kondisi gelap. Tinggi tanaman merupakan usaha tanaman memperoleh cahaya (Gardner et al., 1991 dalam Sulistyaningsih, 2005). Menurut hasil penelitian Sulistyaningsih (2005),

(41)

perubahan lingkungan dapat menyebabkan perubahan laju pertumbuhan dan perkembangan caisin. Pemberian sungkup meningkatkan tinggi tanaman caisin.

Pada hasil pengamatan, pertambahan tinggi tanaman disebabkan kandungan auksin pada stek. Upaya tanaman mendapatkan cahaya dapat dilihat pada pertambahan tinggi tanaman (tabel 3).

Pada akhir pengamatan, perlakuan konsentrasi 200 ppm memiliki pertambahan tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya (tabel 3), yaitu sekitar 2 cm. Pertambahan tinggi tanaman ini dipengaruhi bahwa setiap jenis tanaman mempunyai tanggap yang berbeda-beda terhadap jenis dan konsentrasi ZPT (Hartmann et al. 1990), dan didukung oleh Weaver (1972) respon tanaman terhadap penggunaan ZPT dapat bersifat menguntungkan atau bahkan merugikan tergantung pada konsentrasi, kondisi lingkungan dan keadaan tanaman. Selain itu, faktor yang mempengaruhi kemampuan pembentukan akar pada setek meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal, antara lain, spesies, juvenilitas, hormon, pertumbuhan, fisiologi, periode pertumbuhan, provinansi dan teknik. Faktor eksternal, antara lain, kelembaban, intensitas cahaya, temperatur, kondisi media, fertilisasi, panjang hari dan aerasi (Hartmann et al., 1990).

Pertambahan tinggi tanaman terjadi pada hampir semua pengamatan. Pertambahan tinggi tanaman ini disebabkan penggunaan auksin pada stek, yang merangsang pemanjangan sel tanaman. Auksin sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan batang, formasi akar, menghambat terhadap pertumbuhan cabang lateral, absisi pada daun dan buah, serta mengaktifkan kerja lapisan kambium (Hartmann et al., 1990).

Menurut hasil penelitian Suhaendi (2006), nilai persentase berakar tertinggi dicapai oleh media pasir dengan konsentrasi IBA 200 ppm, sedangkan berat kering total tertinggi diperoleh pada media serabut kelapa dengan konsentrasi IBA 200 ppm dan rasio teras akar Eukaliptus tertinggi dicapai oleh media serabut kelapa dengan konsentrasi IBA 400 ppm. Berdasarkan uji polinomial ortogonal, konsentrasi IBA yang optimal untuk persentase berakar stek Eukaliptus sebesar

Gambar

Gambar 1. Buah Salam Muda (warna hijau) dan Matang (warna merah)
Gambar 2. Daun dan Batang Tanaman Salam
Gambar  3.  Kondisi  Umum  lahan  Percobaan  (pada  perlakuan  tanpa  sungkup  dan  perlakuan lama penyungkupan satu minggu)
Tabel  1.  Temperatur  Udara  dan  Kelembaban  Udara  Rata-Rata  Pada  Berbagai  Taraf  Perlakuan Lama Penyungkupan
+7

Referensi

Dokumen terkait