LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR HIP
A. Konsep Dasar Teori 1. Pengertian Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2001).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Bruner & Sudarth, 2002).
Fraktur acetabulum umumnya terjadi pada dewasa muda sebagai akibat dari trauma kecepatan tinggi. Fraktur ini sering dihubungkan dengan trauma yang mengakibatkan kematian. Pergeseran komponen fraktur dapat menyebabkan ketidakcocokan sendi pinggul yang mengakibatkan distribusi tekanan abnormal dari kartilago sendi. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan yang cepat pada kartilago sehingga terjadinya artritis pada sendi pinggul. Reduksi anatomi dan fiksasi stabil pada fraktur asetabulum seperti kaput femoralis di reduksi secara sentral dibawah bantalan acetabulum yang adekuat merupakan tujuan tatalaksana pada fraktur ini.
Fraktur dinding posterior dengan dislokasi hip posterior 2. Patofisiologi
Fraktur asetabulum terjadi karena trauma yang mengakibatkan kekuatan yang mendesak melalui kaput femur ke asetabulum. Kaput femur berlaku seperti hammer dan merupakan bagian terakhir dari rentetan kekuatan trauma yang di sebarkan dari trochanter, knee dan kaki kepada asetabulum. Posisi femur pada saaat tumbukan terjadi dan arah kekuatan trauma merupakan faktor penentu tipe fraktur.
Beberapa klasifikasi dari fraktur asetabulum telah diketahui, Judet and Letournel dimana menklasifikasi fraktur asetabulum berdasarkan morfologi fraktur berdasarkan polanya. dan hanya terdapat 1 garis fraktur :
Fraktur dinding posterior umumnya mempengaruhi pinggir asetabulum, permukaan retroasetabular dan beberapa segmen dari kartilago artikular. Kartilago artikular dapat terkena sebagai akibat trauma. Hal ini harus di diagnosa secara preoperatif melalui CT scan karena fragmen tersebut memerlukan elevasi pada saat pembedahan dilakukan. Garis ilioischial umunya tetap intak pada anteroposterior (AP).
Fraktur kolum posterior : Fraktur jenis ini hanya termasuk bagian ischial dari tulang. Seluruh permukaan retroasetabular telah tergeser dengan kolum posterior. Garis vertikal yang memisahkan antara kolum anterior dengan kolum posterior telah bergeser kearah inferior dan memasuki foramen obrurator. Fraktur ramus inferior biasanya berhubungan dengan fraktur kolum posterior. Terkadang, garis fraktur melewati posterior ke foramen obrurator dan membelah tuberositas ischial. Garis ilioischial tergeser dan terpisah dari ujungnya.
Fraktur dinding anterior : merupakan cedera yang jarang terjadi. Fraktur dinding anterior biasanya terjadi bersamaan dengan dislokasi anterior.
Fraktur kolum anterior : Fraktur rendah (low fracture) yang termasuk hanya bagian superior ramus dan bagian pubik dari asetabulum. Fraktur tinggi (high fracture) dapat termasuk didalamnya seluruh tepi anterior dari tulang.
Fraktur tranversus membagi tulang kedalam 2 bagian. Garis fraktur horizontal menggeser asetabulum kepada beberapa level. Tulang pelbis dibagi menjadi bagian superior dan bagian bawah. Bagian superior termasuk didalamnya illiac wing dan dasar dari
asetabulum. Bagian bawah termasuk segmen ischiopubik yang didalamnya terdapat foramen obrurator yang intak dengan dinding anterior dan posterior asetabulum.
3. Tanda dan Gejala a. Deformitas
Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
1) Rotasi pemendekan tulang. 2) Penekanan tulang.
b. Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
c. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous. d. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur. e. Tenderness / keempukan.
f. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
g. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/perdarahan) h. Pergerakan abnormal.
i. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah. 4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Foto Rontgen Spinal, yang memperlihatkan adanya perubahan degeneratif pada tulang belakang, atau tulang intervetebralis atau mengesampingkan kecurigaan patologis lain seperti tumor, osteomielitis.
b. Elektromiografi, untuk melokalisasi lesi pada tingkat akar syaraf spinal utama yang terkena.
c. Venogram Epidural, yang dapat dilakukan di mana keakuratan dan miogram terbatas.
d. Fungsi Lumbal, yang dapat mengkesampingkan kondisi yang berhubungan, infeksi adanya darah.
e. Tanda Le Seque (tes dengan mengangkat kaki lurus ke atas) untuk mendukung diagnosa awal dari herniasi discus intervertebralis ketika muncul nyeri pada kaki posterior.
f. CT - Scan yang dapat menunjukkan kanal spinal yang mengecil, adanya protrusi discus intervetebralis.
g. MRI, termasuk pemeriksaan non invasif yang dapat menunjukkan adanya perubahan tulang dan jaringan lunak dan dapat memperkuat adanya herniasi discus.
5. Penatalaksanaan Medis 1). Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period).
2). Seluruh Fraktur
a Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Reduksi urgensi pada kasus fraktur acetabulum, yaitu :
a) Reduksi tertutup dari dislokasi posterior dalam keadaan emergensi
b) Untuk Fraktur-Dislokasi sentral, traksi longitudinal skeletal dengan upper tibia atau lower femur dengan menggunakan steinmann pin dan bila diperlukan, skin traksi lateral (reduksi dalam keadaan anestesi umum terkadang diperlukan).
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis (brunner, 2001).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga
arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah. Metode pemasangan traksi antara lain :
Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan emergency.
Traksi mekanik, ada 2 macam : - Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
- Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal / penjepit melalui tulang / jaringan metal.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
b OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external fixation=OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan fraktur.
c ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.
Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF=open reduction and internal fixation) diindikasikan pada kegagalan reduksi tertutup, bila dibutuhkan reduksi dan fiksasi yang lebih baik dibanding yang bisa dicapai dengan reduksi tertutup.
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna.
e Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki ke-mandirian fungsi dan harga-diri.
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer Trauma langsung Trauma tdk langsung Kondisi patologis
Pergeseran fragmen tulang Deformitas
Ggn fungsi ekstermitas
Laserasi kulit
Hambatan mobilitas fisik
Spasme otot Peningkatan tek kapiler
Edema
Protein plasma hilang Pelepasan histamin
Penekanan pembuluh darahMenyumbat pembuluh darah
Tekanan sumsum tulang lbh tinggi dari kapiler
Melepaskan katekolamin Metabolisme asam lemak
Bergabung dg trombosit Emboli
Kerusakan integritas kulit
Resiko Infeksi Mengenai jaringan kutis dan sub kutis
Perdarahan
Kehilangan volume cairan
Resiko syok (hipovolemik)
Fraktur
Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tlg Nyeri Akut
Perubahan jaringan sekitar Kerusakan fragmen tlg
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Keperawatan
a. Data Subjektif
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas :
1) Pengumpulan Data a) Anamnesa
1. Identitas Klien 2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan : a. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang 4. Riwayat Penyakit Dahulu 5. Riwayat Penyakit Keluarga 6. Riwayat Psikososial
7. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
e. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain.
f. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
h. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
i. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
j. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
k. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
b. Data Objektif
1) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis).
a) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti :
1. Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
2. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
3. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
b) Pemeriksaan head-to-toe : 1. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala
2. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan).
3. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung. 4. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
5. Mulut dan Gigi
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
7. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris. 8. Paru
a. Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
b. Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama. c. Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya. d. Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
9. Jantung a. Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung. b. Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba. c. Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur. 10. Abdomen
a. Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. b. Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba. c. Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan. d. Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit. 11. Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB. 12. Kulit
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
13. Ekstermitas
Kekuatan otot, adanya oedema atau tidak, suhu akral, dan ROM. 2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera.
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang, program pembatasan gerak.
c. Resiko infeksi.
d. Resiko syok hipovolemik.
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan nyeri ekstermitas. f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.
3. Perencanaan Keperawatan No
.
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera
NOC : Pain level Pain control Comfort level Kriteria Hasil
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
managemen nyeri
c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) d. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
NIC:
Pain management
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi b. Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan
c. Gunakan tehnik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
d. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
e. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
f. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
g. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
h. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
i. Kurangi faktor presipitasi nyeri j. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologi,
nonfarmakologi dan
interpersonal)
k. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
nonfarmakologi
m. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
n. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
o. Tingkatkan istrihat
p. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
q. Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Analgesic administration
a. Tentukan lokasi, karakter, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
b. Cek intruksi dokter tentang jenis obat, dosi, dan frekuensi
c. Cek riwayat alergi
d. Pilih analgesic yang diperlukan atau kombinasi dari analgesic ketika pemberian lebih dari satu e. Tentukan pilihan analgesic
tergantung tipe dan beratnya nyeri
f. Tentukan analgesic pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal g. Pilih rute pemberian secara IV,
IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
h. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian anlgesik pertama kali
i. Berikan analgesic tepat waktu terutama saat nyeri hebat
j. Evalusi efektivitas analgesic, tanda dan gejala
2. Hambatan
mobilitas fisik berhubungan
NOC:
Joint movement : active Mobility level
Self care : ADLs
NIC
Exercise therapy : ambulation a. Monitoring vital sign
dengan kekuatan dan tahanan sekunder akibat fraktur Transfer perfoormance Kriteria hasil:
a. Klien meningkat dalam aktivitas fisik
b. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas c. Memverbalisasikan
perasaan
dalammeningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah
d. Memperagakan
penggunaan alat bantu untuk mobilisasi (walker)
pasien saat latihan
b. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulansi sesuai dengan kebutuhan
c. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cidera
d. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulansi
e. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
f. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
g. Damping dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien
h. Berikan alat bantu jika pasien memerlukan
i. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan
3. Resiko infeksi NOC
Immune status
Knowledge : infection control Risk control
Kriteria hasil
a. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
b. Mendeskripsikan proses penularann penyakit, factor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya c. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi NIC Infection Control
a. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
b. Pertahankan teknik isolasi c. Batasi pengunjung bila perlu d. Instruksikan pada pengunjung
untuk mencuci tangan saat berkunjung meninggalkan pasien e. Gunakan sabun antimikroba
untuk cuci tangan
f. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan g. Gunakan baju, sarung tangan
sebagai alat penlindung
d. Jumlah leukosit dalam batas normal
e. Menunjukkan perilaku hidup sehat
selama pemasangan alat
i. Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
j. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
k. Tingkatkan intake nutrisi
l. Berikan terapi antibiotic bila perlu
Infection protection
a. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
b. Monitor hitung granulosit, WBC c. Monitor kerentanan terhadap
infeksi
d. Batasi pengunjung
e. Pertahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko
f. Pertahankan teknik isolasi k/p g. Berikan perawatan kulit pada
area epidema
h. Inspeksi kulit dan membrane mukosa
i. Terhadap kemerahan, panas, dan drainase
j. Inspeksi kondisi luka/insisi bedah k. Dorong masukkan nutrisi yang
cukup
l. Dorong masukan cairan m. Dorong istirahat
n. Instruksikan pasien untuk minum antibiotic sesuai resep
o. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
p. Ajarkan cara menghindari infeksi q. Laporkan kecurigaan infeksi r. Laporkan kultur positif 4. Resiko syok hipovolemik NOC Syok prevention Syok management Kriteria hasil
a. Nadi dalam batas yang NIC
Syok prevention
a. Monitor status sirkulasi BP, warna kulit, suhu kulit, denyut
diharapkan
b. Irama jantung dalam batas yang diharapkan
c. Frekunsi napas dalam batas yang diharapkan d. Irama pernapasan dalam
batas yang diharapkan e. Natrium serum dbn f. Kalium serum dbn g. Klorida serum dbn h. Kalsium serum dbn i. Magnesium serum dbn j. PH darah serum dbn Hidrasi Indicator
a. Mata cekung tidak ditemukan
b. Demam tidak ditemukan c. TD dbn
d. Hematokrit dbn
jantung, HR, dan ritme, nadi perifer, dan kapiler refill
b. Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan
c. Monitor suhu dan pernafasan d. Monitor input dan output e. Pantau nilai labor:
HB, HT, AGD, dan elektrolit f. Monitor hemodinamik invasi
yang sesuai
g. Monitor tanda dan gejala asites h. Monitor tanda awal syok
i. Tempatkan pasien pada posisi supine, kaki elevasi untuk peningkatan preload dengan tepat j. Lihat dan pelihara kepatenan
jalan napas
k. Berikan cairan IV dan atau oral yang tepat
l. Berikan vasodilator yang tepat m. Ajarkan keluarga dan pasien
tentang tanda dan gejala datangnya syok
n. Ajarkan keluarga dan pasien tentang langkah untuk mengatasi gejala syok
Syok management
a. Monitor fungsi neurologis
b. Monitor fungsi renal (e.g BUN dan Cr Lavel)
c. Monitor tekanan nadi
d. Monitor status cairan, input, output
e. Catat gas darah arteri dan oksigen di jaringan
f. Monitor EKG
g. Memanfaatkan pemantauan jalur arteri untuk meningkatkan akurasi pembacaan tekanan darah h. Menggambarkan gas darah arteri
oksigenasi
i. Memantau tren dalam parameter hemodinamik (misalnya CPV, MAP, tekanan kapiler pulmonal/arteri)
j. Memantau factor penentu pengiriman jaringan oksigen (misalnya PaO2 kadar
haemoglobin SaO2, CO) jika ada
k. Memantau tingkat karbondioksida sublingual dan/atau tonometry 5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan nyeri ekstermitas NOC Circulation status
Tissue perfusion : cerebral Kriteria hasil
Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan:
a. Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang diharapkan
b. Tidak ada ortostatik hipertensi
c. Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial (tidak lebih dari 15 mmHg)
Mendemonstrasikan
kemampuan kognitif yang ditandai dengan:
a. Berkomuniakasi dengan jelas adn sesuai dengan kemampuan
b. Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi c. Memproses informasi d. Membuat keputusan
dengan benar
NIC
Peripheral sensation management a. Monitor adanya daerah tertentu
yang hanya peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
b. Monitor adanya paretese
c. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lesi atau laserasi
d. Gunakan sarung tangan untuk proteksi
e. Batasi gerakan pada kepala, leher, dan punggung
f. Monitor kemampuan BAB g. Kolaborasi pemberian analgetik h. Monitor adanya tromboplebitis i. Diskusikan mengenai penyebab
e. Menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh : tingkat kesadaran membaik, tidak ada gerakan-gerakan involunter 6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik NOC
Tissue integrity : skin and mucous membranes
Hemodyalisis akses Kriteria hasil
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensai, elastisitas, temperature, hidrasi, pigmentasi)
b. Tidak ada luka/lesi pada kulit
c. Perfusi jaringan baik d. Menunjukkan pemahaman
dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit perawatan alami
NIC
Pressure management
a. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar.
b. Hindari kerutan pada tempat tidur c. Jaga kebersihan kulit agar tetap
bersih dan kering.
d. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali e. Monitor kulit akan adanya
kemerahan.
f. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada daerah yang tertekan g. Monitor aktivitas dan mobilisasi
pasien
h. Monitor status nutrisi pasien i. Memandikan pasien dengan
sabun dan air hangat Insision site care
a. Membersihkan, memantau dan meningkatkan proses penyembuhan pada luka yang ditutup dengan jahitan, klip atau straples
b. Monitor proses kesembuhan area insisi
c. Monitor tanda dan gejala infeksi pada area insisi
d. Bersihkan area sekitar jahitan atau straples, menggunakan lidi kapas steril
sesuai program
f. Ganti balutan pada interval waktu yang sesuai atau biarkan luka tetap terbuka (tidak dibalut) sesuai program
Dialysis acces maintenance
Refrensi
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8, Volume 1. Jakarta: EGC Herdman, Heather. 2012. Nanda International Nursing Diagnoses: Definition Classification
2012-2014. United State of America: Sheridan Books, Inc.
Iowa Outcomes Project. 2008. Nursing Outcome Classification (NOC): Fourth Edition. Missouri: Mosby, Inc.
Iowa Outcomes Project. 2008. Nursing Intervention Classification (NIC): Fifth Edition. Missouri: Mosby – Year Book, Inc.
Ircham Machfoedz, 2007. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau di Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
McCloskey, Joanne et al. 2008. Nursing Intervention Classification (NIC). United State of America: Mosby
Moorhead, Sue et al. 2008. Nursing Outcome Clasification (NOC). United State of America: Mosby
North American Nursing Diagnosis Association. 2009. Nursing Diagnoses : Definition & Classification 2012-2014. Philadelphia
Wilkinson, J.M., & Ahern N.R., 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Diagnosa NANDA Intervensi NIC Kriteria Hasil NOC. Edisi Kesembilan. Jakarta : EGC
Gunawan, Hendri. Fraktur. [Online] Terdapat pada:
https://www.academia.edu/9034780/Fraktur. Diakses pada 9 Mei 2016 pukul 11.00
Wita.
Gibson John. 2008. Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat. Jakarta: Pedoman Buku Kedokteran.