• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

8 2.1. Fraktur

2.1.1. Pengertian Fraktur.

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidajat & Jong, 2011).

Fraktur atau patah tulang adalah suatu kondisi dimana kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan terputus secara sempurna atau sebagian yang pada disebabkan oleh rudapaksa atau osteoporosis (Smeltzer & Bare, 2013). Fraktur dapat terjadi akibat peristiwa trauma langsung, tekanan yang berulang-ulang, dan kelemahan abnormal pada tulang (Muttaqien, 2008). Fraktur diartikan secara ringkas dan umum sebagai patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik, dan bisa terjadi akibat adanya tekanan yang berlebihan dibandingkan kemampuan tulang dalam menahan tekanan (Helmi, 2012). Akibat tulang tidak mampu menahan tekanan yang berlebihan menyebabkan fungsi dan struktur tulang menjadi rusak. Kelemahan tulang yang terjadi secara abnormal disebut juga fraktur patalogis (Solomon, 2010).

(2)

2.1.2. Klasifikasi

Klasifikasi Fraktur Fraktur dapat diklasifikasikan sebagai fraktur terbuka dan tertutup tergantung pada luka yang menghubungkan fraktur dengan lingkungan luar. Fraktur terbuka ditunjukkan dengan fraktur yang terhubung dengan lingkungan luar, kulit yang sobek, tulang yang terlihat, dan menyebabkan cidera jaringan lunak sedangkan fraktur 16 tertutup ditandai dengan fraktur yang tidak terhubung denganlingkungan luar, kulit yang tetap utuh atau tidak sobek namun tetap terjadi pergeseran tulang didalamnya (Smeltzer & Bare, 2013)

Fraktur juga dapat diklasifikasikan sebagai fraktur complete dan incomplete (Lewis, 2011).

2.1.2.1. Fraktur complete berarti fraktur yang mengenai seluruh tulang 2.1.2.2. fraktur incomplete adalah fraktur yang patahan tulangnya

hanya sebagian tetapi tulang masih tetap utuh

Berdasarkan bentuk patahan tulang atau garis patah tulang, fraktur dapat diklasifikasikan menjadi linear, oblik, transversal, longitudinal, dan spiral (Lewis, 2011).

Fraktur juga diklasifikasikan kedalam fraktur displaced dan non displaced. Fraktur displaced ditandai dengan ujung tulang yang patah terpisah satu sama lain dan keluar dari posisi normal misalnya fraktur comminuted dan oblik. Fraktur non displaced ditandai dengan periosteum

(3)

tetap utuh dan tulang masih dalam posisi normal atau masih sejalan misalnya transversal, greenstick, dan spiral (Lewis, 2011).

2.1.3. Etiologi Fraktur.

Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak dan kontraksi otot yang ekstrim. Patah tulang mempengaruhi jaringan sekitarnya mengakibatkan oedema jaringan lunak, perdarahan otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf dan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau gerakan fragmen tulang (Smeltzer & Bare, 2010).

2.1.4. Faktor - faktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur menurut Helmi (2012)

21.4.1. Faktor ekstrinsik yaitu meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah serta kekuatan tulang.

21.4.2. Faktor intrinsik yaitu meliputi kapasitas tulang mengabsorpsi energi trauma, kelenturan, densitas serta kekuatan tulang.

Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti kecelakan mobil, olah raga atau karena jatuh. Jenis dan beratnya patah tulang dipengaruhi oleh arah, kecepatan, kekuatan dari tenaga yang

(4)

melawan tulang, usia penderita dan kelenturan tulang. Tulang yang rapuh karena osteoporosis dapat mengalami patah tulang

2.1.5. Tipe fraktur ekstrimitas bawah.

Fraktur ekstremitas bawah adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang terjadi pada ekstremitas bawah yang umumnya disebabkan oleh kondisi trauma (Helmi, 2012).

2.1.5.1. Fraktur collum femur. 2.1.5.2. Fraktur femur.

2.1.5.3. Fraktur supra kondiler femur. 2.1.5.4. Fraktur patella.

2.1.5.5. Fraktur plateu tibia. 2.1.5.6. Fraktur cruris. 2.1.5.7. Fraktur ankle. 2.1.5.8. Fraktur metatarsal.

2.1.5.9. Fraktur phalang proksimal, medial dan distal. 2.1.6. Manifestasi klinis fraktur

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal dan perubahan . warna (Suzanne.C.Smeltzer, 2010).

2.1.6.1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang diimobilisasi.

(5)

2.1.6.2. Pergeseran fragmen tulang menyebabkan deformitas tulang yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan bagian yang normal.

2.1.6.3. Pemendekan tulang yang disebabkan karena kontraksi otot yang melekat diatas maupun dibawah tempat fraktur.

2.1.6.4. Pada pemeriksaan palpasi ditemukan adanya krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.

2.1.6.5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan sinar X. Setelah mengalami cedera, pasien akan mengalami kebingungan dan tidak menyadari adanya fraktur, serta berusaha berjalan dengan tungkai yang patah (Suzanne.C.Smeltzer, 2010). Nyeri berhubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan menghindari gerakan antar fragmen tulang dan sendi disekitar fraktur.

(6)

2.1.7. Pathway fraktur

Pathway fraktur. pathway fraktur (Surangga, 2013) 2.1.8. Tahap penyembuhan fraktur.

Fraktur akan menyatu baik di bebat atau tidak, tanpa suatu mekanisme alami untuk menyatu. Namun tidak benar bila dianggap bahwa penyatuan akan terjadi jika suatu fraktur dibiarkan tetap bergerak bebas. Sebagian

(7)

besar fraktur dibebat, tidak untuk memastikan penyatuan, tetapi untuk meringankan nyeri, memastikan bahwa penyatuan terjadi pada posisi yang baik dan untuk melakukan gerakan lebih awal dan mengembalikan fungsi (Smeltzer & Bare, 2010).

Proses penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan jenis tulang yang terkena dan jumlah gerakan di tempat fraktur. Sjamsuhidayat (2011), penyembuhan dimulai dengan lima tahap, yaitu sebagai berikut :

2.1.8.1. Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom (1-3 hari). Pada tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak mendapat persediaan darah, akan mati sepanjang satu atau dua milimeter. Hematom ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler di dalamnya

2.1.8.2. Tahap radang dan proliferasi seluler (3hari–2minggu).

Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medula yang tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan sel yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah tersebut.

(8)

2.1.8.3. Fase Pembentukan Kalus, pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran pada tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang bergabung dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan tulang serat imatur. Waktu yang diperlukan agar fragmen tulang tergabung adalah 3-4 minggu (Smeltzer & Bare, 2013).

2.1.8.4. Fase Penulangan Kalus/Osifikasi, yaitu proses pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam waktu 2-3 minggu melalui proses penulangan endokondral. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar saling menyatu hingga keras. Pada orang dewasa normal, kasus fraktur panjang memerlukan waktu 3-4 bulan dalam proses penulangan (Smeltzer & Bare, 2013).

2.1.8.5. Fase Remodelling/Konsolidasi, yaitu tahap akhir pada proses penyembuhan fraktur. Tahap ini terjadi perbaikan fraktur yang meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelum terjadinya patah tulang. Remodelling memerlukan waktu berbulan-bulan hingga bertahuntahun (Smeltzer & Bare, 2013).

2.1.8.6. Remodeling (6-12 bulan)

Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan

(9)

kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan tulang akan memperoleh bentuk 14 yang mirip bentuk normalnya.

2.1.9. Komplikasi fraktur

2.1.9.1. Komplikasi awal (dini) Komplikasi ini terjadi segera setelah terjadinya fraktur seperti syok hipovolemik, kompartemen sindrom, emboli lemak yang dapat mengganggu fungsi ekstremitas permanen jika tidak segera ditangani (Smeltzer & Bare, 2013).

2.1.9.2. Komplikasi lanjut Biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah terjadinya fraktur pada pasien yang telah menjalani proses pembedahan. Menurut kutipan dari Smeltzer dan Bare (2013), komplikasi ini dapat berupa:

2.1.9.2.1. Komplikasi pada sendi seperti kekakuan sendi yang menetap dan penyakit degeneratif sendi pasca trauma. 2.1.9.2.2. Komplikasi pada tulang seperti penyembuhan fraktur

yang tidak normal (delayed union, mal union, non union), osteomielitis, osteoporosis, dan refraktur. 2.1.9.2.3. Komplikasi pada otot seperti atrofi otot dan ruptur

(10)

2.1.9.2.4. Komplikasi pada syaraf seperti tardy nerve palsy yaitu saraf menebal akibat adanya fibrosis intraneural. 2.1.10. Penatalaksanaan fraktur

Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi (Joyce M.Black, 2014).

2.1.10.1. Reduksi.

Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran dan rotasi anatomis. Reduksi bisa dilakukan secara tertutup, terbuka dan traksi tergantung pada sifat fraktur namun prinsip yang mendasarinya tetap sama. Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang kembali keposisinya dengan manipulasi dan traksi manual.

Reduksi terbuka dilakukan pada fraktur yang memerlukan pendekatan bedah dengan menggunakan alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, plat sekrew digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan solid terjadi. Traksi digunakan untuk reduksi dan imobilisasi. Menurut Joyce M Black (2014), traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh untuk meminimalisasi spasme otot, mereduksi, mensejajarkan, serta

(11)

mengurangi deformitas. Traksi meliputi traksi kulit dan traksi skeletal.

2.1.10.2. Immobilisasi fraktur.

Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna. Fiksasi eksterna dapat menggunakan pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin dan teknik gips. Fiksator interna dengan implant logam (ORIF). 2.1.10.3. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi (Rehabilitasi).

Latihan otot dilakukan untuk meminimalkan atrofi dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktifitas sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri. Mobilisiasi pasien sedini mungkin pasca operasi mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan pasien (Dudut, 2017).

2.2. Reduction Internal Fixation (ORIF). 2.2.1. Pengertian ORIF.

Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah suatu jenis operasi dengan pemasangan internal fiksasi yang dilakukan ketika fraktur tersebut tidak dapat direduksi secara cukup dengan close reduction, untuk

(12)

mempertahankan posisi yang tepat pada fragmen fraktur (Potter & Perry, 2008). Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah sebuah prosedur bedah medis, yang tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang, seperti yang diperlukan untuk beberapa patah tulang, fiksasi internal mengacu pada fiksasi sekrup dan piring untuk mengaktifkan atau memfasilitasi penyembuhan (Suzanne.C.Smeltzer, 2010).

(13)

2.2.2. Fungsi ORIF

Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergerakan. Internal fiksasi ini berupa intra medullary nail, biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur transvers (Potter & Perry, 2008).

2.2.3. Indikasi dan Kontraindikasi ORIF.

Berikut adalah indikasi dan kontraindikasi ORIF menurut (Potter & Perry, 2008).

2.2.3.1. Indikasi

Fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang apabila ditangani dengan metode terapi lain, terbukti tidak memberi hasil yang memuaskan. Fraktur leher femoralis, fraktur lengan bawah distal, dan fraktur intraartikular disertai pergeseran. Fraktur avulsi mayor yang disertai oleh gangguan signifikan pada struktur otot tendon.

2.2.3.2. Kontra indikasi.

Tulang osteoporotik terlalu rapuh menerima implan, jaringan lunak diatasnya berkualitas buruk, terdapat infeksi adanya fraktur comminuted yang parah yang menghambat rekonstruksi, pasien dengan penurunan kesadaran, pasien dengan fraktur yang

(14)

parah dan belum ada penyatuan tulang pasien yang mengalami kelemahan (malaise).

2.2.4. Keuntungan dan kerugian ORIF.

Berikut adalah keuntungan dan kerugian ORIF menurut Helmi (2012) : 2.2.4.1. Keuntungan.

Mobilisasi dini tanpa fiksasi luar, ketelitian reposisi fragmen-fragmen fraktur, kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf di sekitarnya, stabilitas fiksasi yang cukup memadai dapat dicapai, perawatan di RS yang relatif singkat pada kasus tanpa komplikasi, potensi untuk mempertahankan fungsi sendi yang mendekati normal serta kekuatan otot selama perawatan fraktur.

2.2.4.2. Kerugian.

Setiap anastesi dan operasi mempunyai resiko komplikasi bahkan kematian akibat dari tindakan tersebut, penanganan operatif memperbesar kemungkinan infeksi dibandingkan pemasangan gips atau traksi, penggunaan stabilisasi logam interna memungkinkan kegagalan alat itu sendiri, pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak, dan struktur yang sebelumnya tak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi.

(15)

2.2.5. Perawatan post ORIF.

Perawatan dilakukan utnuk meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan pada bagian yang sakit. Berikut ini merupakan perawatan pasien post ORIF menurut Dudut (2017) :

2.2.5.1. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi.

2.2.5.2. Meninggikan bagian yang sakit untuk meminimalkan pembengkak.

2.2.5.3. Mengontrol kecemasan dan nyeri (biasanya orang yang tingkat kecemasannya tinggi, akan merespon nyeri dengan berlebihan) 2.2.5.4. Latihan otot, pergerakan harus tetap dilakukan selama masa

imobilisasi tulang, tujuannya agar otot tidak kaku dan terhindar dari pengecilan massa otot akibat latihan yang kurang.

2.2.5.5. motivasi klien untuk melakukan aktivitas secara bertahap dan menyarankan keluarga untuk selalu memberikan dukungan kepada klien.

2.3. Range Of Motion (ROM). 2.3.1. Pengertian.

Latihan Range of Motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2005). Range of motion adalah

(16)

gerakan dalam keadaan normal dapat dilakukan oleh sendi yang bersangkutan (Suratun, 2008). Latihan Range of Motion (ROM) merupakan istilah baku untuk menyatakan batas atau batasan gerakan sendi yang normal dan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainanataupun untuk menyatakan batas gerakan sendi yang abnormal (Arif, 2008).

2.3.2. Tujuan ROM.

Menurut Suratun (2008), tujuan dilakukan ROM yaitu untuk meningkatkan atau mempertahankan fleksibilitas dan kekuatan otot, mempertahankan fungsi jantung dan pernapasan, mencegah kontraktur dan kekakuan pada sendi.

2.3.3. Manfaat ROM.

Manfaat melakukan ROM yaitu dapat menentukan nilai kemampuan sendi tulang dan otot dalam melakukan pergerakan, memperbaiki tonus otot, memperbaiki tolernsi otot 10 untuk latihan, mencegah terjadinya kekakuan sendi, memperlancar sirkulasi darah (Arif, 2008).

Prinsip pelaksanaan ROM.

Adapun prinsip latihan ROM menurut Kadek (2012), yaitu :

2.3.3.1. ROM harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan minimal 2 kali sehari.

(17)

2.3.3.2. ROM di lakukan berlahan dan hati-hati sehingga tidak melelahkan pasien.

2.3.3.3. Dalam merencanakan program latihan ROM, perhatikan umur pasien, diagnosa, tanda-tanda vital dan lamanya tirah baring. 2.3.3.4. Bagian-bagian tubuh yang dapat di lakukan latihan ROM adalah

leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki. 2.3.3.5. ROM dapat di lakukan pada semua persendian atau hanya pada

bagian-bagian yang di curigai mengalami proses penyakit.

2.3.3.6. Melakukan ROM harus sesuai waktunya. Misalnya setelah mandi atau perawatan rutin telah di lakukan.

2.3.4. Jenis-jenis ROM.

Menurut Suratun (2008), terdapat 2 jenis ROM secara umum yaitu : 2.3.4.1. ROM Pasif.

Latihan ROM yang dilakukan pasien dengan bantuan perawat di setiap gerakan. Perawat melakukan gerakan pers endianklien sesuai dengan rentang gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan otot 50% Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi, pasien dengan tirah baring total. Pada ROM pasif sendi yang digerakan yaitu seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang

(18)

terganggu dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri.

2.3.4.2. ROM aktif.

Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal ( klien aktif ). Kekuatan otot 75 %. Pada ROM aktif sendi yang digerakan adalah seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendiri secara aktif.

2.3.5. Jenis-jenis gerakan dalam ROM.

Jenis-jenis gerakan dalam latihan Range of Motion (ROM) menurut Arif (2008), yaitu :

2.3.5.1. Fleksi adalah gerakan melipat sendi dari keadaan lurus seperti flexi lengan bawah dan flexi jari.

2.3.5.2. Ekstensi adalah gerakan meluruskan sendi dari keadaan terlipat, keadaan lurus ini mengakibatkan ukuran lengan atas tungkai menjadi lebih panjang dibanding dari keadaan terlipat. Duplikasi terjadi untuk gerakan sendi kaki antara dorso flexi dan plantar flexi, mana yang flexi mana yang extensi atau keduanya flexi. Boleh digunakan istilah dorso flexi, plantar flexi atau flexi kaki = dorso flexi atau extensi kaki = plantar flexi, karena dengan

(19)

extensi dimaksud disini ukuran seluruh tungkai menjadi lebih panjang.

2.3.5.3. Hiperekstensi adalah gerakan yng melebihi rentang gerakan ekstensi.

2.3.5.4. Rotasi adalah gerak putar pada sumbu panjang seluruh tungkai kearah luar.

2.3.5.5. Supinasi adalah gerakan putar kearah luar dari lengan bawah dan tangan sehingga telapak tangan kembali menghadap ke depan. 2.3.5.6. Pronasi adalah gerakan putar kearah dalam dari lengan bawah

dan tangan sehingga telapak tangan menghadap ke belakang. 2.3.5.7. Abduksi adalah gerakan pada bidang frontal untuk “membuka

sudut” terhadap garis tengah seperti gerakan merentangkan lengan, merentangkan tungkai dan merentangkan jari-jari tangan. 2.3.5.8. Aduksi adalah gerakan pada bidang frental untuk menutup sudut terhadap garis tengah. Gerakan ini merupakan gerakan yang sebaliknya dari gerakan abduksi

(20)

Gambar 2.2 : Gerakan ROM 1

(21)

Gambar 2.2 : Gerakan ROM 3

2.3.6. Tata cara pelaksanaan ROM.

Berikut merupakan tata cara pelaksanaan ROM menurut Suratun (2008), yaitu :

2.3.6.1. Flexi dan Extensi Pergelangan tangan.  Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.

 Atur posisi lengan pasien dengan menjauhi sisi tubuh dan siku menekuk dengan lengan.

 Pegang tangan pasien dengan satu tangan dan tangan yang lain memegang pergelangan tangan pasien.

 Tekuk tangan pasien ke depan sejauh mungkin.  Catat perubahan yang terjadi.

(22)

2.3.6.2. Flexi dan extensi Siku.

 Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.

 Atur posisi lengan pasien dengan menjauhi sisi tubuh dengan telapak tangan mengarah ke tubuhnya.

 Letakkan tangan diatas siku pasien dan pegang tangannya dengan tangan lainnya.

 Tekuk siku pasien sehingga tangannya mendekat bahu.  Lakukan dan kembalikan ke posisi sebelumnya.  Catat perubahan yang terjadi.

2.3.6.3. Pronasi dan Supinasi lengan bawah.

 Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.

 Atur posisi lengan bawah menjauhi tubuh pasien dengan siku menekuk.

 Letakan satu tangan perawat pada pergelangan pasien dan pegang tangan pasien dengan tangan lainnya.

 Putar lengan bawah pasien sehingga telapaknya menjauhinya.

 Kembalikan keposisi semula.  Abduksi dan Adduksi.

 Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.

(23)

 Letakan satu tangan perawat di atas pasien dan pegang tangan pasien dengan tangan lainnya.

 Gerakan lengan pasien menjauh dari tubuhnya kearah perawat.

 Kembalikan ke posisi semula.  Catat perubahan yang terjadi. 2.3.6.4. Flexi dan Extensi Jari – Jari

 Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.

 Pegang jari – jari kaki pasien dengan satu tangan sementara tangan lain memegang kaki.

 Bengkokkan ( tekuk ) jari – jari kebawah.  Luruskan jari – jari kaki ke belakang.  Kembalikan ke posisi semula.

 Catat perubahan yang terjadi.

 Flexi dan Extensi pergelangan kaki siku.  Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.

 Letakan satu tangan perawat pada pergelangan kaki dan satu tangan yang lain diatas lutut.

 Putar kaki menjauhi perawat.  Putar kaki karah terawat.  Kembalikkan keposisi semula.  Catat perubahan yang terjadi.

(24)

2.4. Ambulasi Dini

2.4.1. Pengertian ambulasi dini.

Ambulasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak bebas, mudah, teratur, mempunyai tujuan memenuhi kebutuhan hidup sehat, dan penting untuk kemandirian (Barbara, 2006). ambulasi Dini adalah kebijakan untuk selekas mungkin membimbing penderita keluar dari tempat tidurnya dan membimbingnya selekas mungkin berjalan (Soelaiman, dan Efendi, 2008).

Ambulasi Dini yaitu proses aktivitas yang dilakukan post operasi dimulai dari latihan ringan di atas tempat tidur (latihan latihan pernafasan, latihan batuk afektif dan menggerakkan tungkai) sampai dengan pasien bisa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi dan berjalan keluar kamar (Smeltzer, 2005). Menurut Carpenito (2000), mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi fosiologis karena hal itu esensial untuk mempertahankan kemandirian.

2.4.2. Tujuan Ambulasi Dini.

Menurut Asmadi (2008) manfaat Ambulasi adalah:

2.4.2.1. Mencegah dampak Immobilisasi pasca operasi meliputi :

2.4.2.1.1. Sistem Integumen : kerusakan integritas kulit seperti Abrasi, sirkulasi yang terlambat yang menyebabkan terjadinya Atropi akut dan perubahan turgor kulit.

(25)

2.4.2.1.2. Sistem Kardiovaskuler : Penurunan Kardiak reserve, peningkatan beban kerja jantung, hipotensi ortostatic, phlebotrombosis.

2.4.2.1.3. Sistem Respirasi : Penurunan kapasitas vital, Penurunan ventilasi volunter maksimal, penurunan ventilasi/perfusi setempat, mekanisme batuk yang menurun

2.4.2.1.4. Sistem Pencernaan : Anoreksi-Konstipasi, Penurunan Metabolisme.

2.4.2.1.5. Sistem Perkemihan : Menyebabkan perubahan pada Eliminasi Urine, infeksi saluran kemih, hiperkalsiuria 2.4.2.1.6. Sistem Muskulo Skeletal : Penurunan masa otot,

osteoporosis, pemendekan serat otot.

2.4.2.1.7. Sistem Neurosensoris : Kerusakan jaringan, menimbulkan gangguan syaraf pada bagian distal, nyeri yang hebat.

Manfaat ambulasi adalah untuk memperbaiki sirkulasi, mencegah flebotrombosis (thrombosis vena profunda/DVT). Mengurangi komplikasi immobilisasi pasca operasi, mempercepat pemulihan peristaltic usus, mempercepat pasien pasca operasi.

(26)

Ambulasi sangat penting dilakukan pada pasien pasca operasi karena jika pasien membatasi pergerakannya di tempat tidur dan sama sekali tidak melakukan ambulasi pasien akan semakin sulit untuk memulai berjalan (Kozier, 2010).

2.4.3. Manfaat ambulasi dini.

Menurut Rambai (2008) yang dikutif dalam Suparyanto (2011) manfaat mobilisasi dini adalah :

2.4.3.1. Melancarkan sirkulasi darah.

2.4.3.2. Membantu proses pemulihan lebih cepat.

2.4.3.3. Mencegah terjadinya infeksi yang timbul karna gangguan pembuluh darah balik (Deep vein thrombosisi) serta menjaga perdarahan lebih lanjut.

2.4.3.4. Mencegah terjadinya kekakuan tonus otot, sendi dan tulang. 2.4.3.5. Mencegah terjadinya atrofi otot.

2.4.3.6. Mencegah terjadi resiko emboli paru.

2.4.3.7. Mencegah terjadinya gangguan sistem pencernaan (sembelit). 2.4.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi ambulasi dini.

Menurut Dudut (2017), adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan mobilisasi dini pasca poperasi adalah sebagai berikut:

(27)

2.4.4.1. Rendahnya Pengetahuan.

Tingkat pengetahuan merupakan faktor yang berperan penting dalam mewujudkan pelaksanaan mobilisasi dini pasca operasi. Jika tingkat pengetahuan seseorang rendah terhadap manfaat dari mobilisasi maka hal itu akan sangat mempengaruhi pada tingkat pelaksanaannya.

2.4.4.2. Ketidakmampuan atau kelemahan.

2.4.4.3. Tidak jarang setelah seseorang dilakukan tindakan operasi memilih tidur dan istirahat di tempat tidur daripada melakukan pergerakn secara bertahap karena faktor kelemahan.

Nyeri atau rasa tidak nyaman.Rasa nyeri setelah operasi membuat pasien enggan untuk mulai belajar melakukan pergerakan dan akan lebih memilih berbaring terus, di atas tempat tidur, dan pelaksanaan mobilisasi tentu saja akan terhambat.

2.4.4.4. Kecemasan.

Kecemasan pasien terhadap ketidakmampuan dalam melakukan mobilisasi sangat berpengaruh pada tingkat keberhasilan saat melakukan pergerakan. Pasien harus mempunyai keyakinan untuk dapat melakukan mobilisasi dengan cepat dan tepat. Mobilisasi/ambulasi yang dilakukan sesegera mungkin dengan

(28)

cara yang benar dan bertahap mempercepat proses pemulihan kondisi tubuh secara umum.

2.4.5. Tahap-tahap mobilisasi dini.

Menurut Carpenito (2000), tahap-tahap dalam mobilisasi dini terdapat tiga rentang gerak yaitu:

2.4.5.1. Rentang gerak pasif Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif, misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.

2.4.5.2. Rentang gerak aktif Hal ini melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya, berbaring pasien menggerakkan kakinya.

2.4.5.3. Rentang gerak fungsional berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktivitas yang diperlukan.

2.4.6. Pelaksanaan tindakan Ambulasi

Pelaksanaan ambulasi dini terdiri dari tahap-tahap sebagai berikut, tidur telentang dulu selama 12 jam post operasi (jika anastesi spinal atau general), kemudian boleh miring-miring, duduk, berdiri dan berjalan-jalan. Sebelum mobilisasi dini dapat membantu tubuh melakukan adaptasi dewngan baik sehingga tidak menimbulkan keluhan lain yang tidak diharapkan (dudut, 2017).

(29)

2.4.6.1. Miring ke kiri-kanan.

Memiringkan badan ke kiri dan ke kanan merupakan mobilisasi paling ringan dan yang paling baik dilakukan pertama kali. Di samping dapat 9 mempercepat proses penyembuhan, gerakan ini juga mempercepat proses kembalinya fungsi usus dan kandung kemih secara normal.

2.4.6.2. Menggerakkan kaki.

2.4.6.3. Setelah mengembalikan badan ke kanan dan kekiri, mulai gerakan kedua belah kaki.

2.4.6.4. Duduk menjuntaikan kaki.

2.4.6.5. Hari pertama setelah operasi setelah merasa lebih ringan cobalah untuk duduk di tempat tidur dengan menjuntaikan kaki. Bila merasa tidak nyaman dipaksakan lakukan perlahan-lahan sampai terasa nyaman

2.4.6.6. Berdiri dan belajar berjalan dengan alat bantu.

Jika duduk tidak menyebabkan rasa pusing, teruskanlaah dengan mencoba turun dari tempat tidur dan berdiri kemudian belajar berjalan dengan alat bantu jalan seperti crutch atau alker. Bila terasa sakit atau ada keluhan, sebaiknya hentikan dulu dan dicoba lagi setelah kondisi terasa lebih nyaman.

(30)

2.4.7. Macam-macam alat bantu jalan.

Alat bantu jalan pasien adalah alat bantu jalan yang digunakan pada penderita/pasien yang mengalami penurunan kekuatan otot dan patah tulang pada anggota gerak bawah serta gangguan keseimbangan (Barbara, 2009). Alat bantu jalan seperti kruk axila, tongkat, walker, kruk, dan kursi roda.

2.4.8. SOP ambulasi

Tabel 2.1 SOP ambulasi

NO Standar Operasional Prosedur (SOP) Ambulasi

Definisi Ambulasi dini adalah tahapan kegiatan yang dilakukan segera pada pasien pasca operasi dimulai dari bangun dan duduk sampai pasien turun dari tempattidur dan mulai berjalan dengan bantuan alat sesuai dengan kondisi pasien(Dudut, 2017)

Prosedur

ROM/kebugaran Hari pertama pasca operasi atau 6 jam sampai 12 jam dg

 Latihan Terstruktur bertujuan untuk mengurangi kelelahan dan kemampuan beraktivitas selama dirawat di rumah sakit. Latihan ini dilakukan dengan melatih kekuatan otot dan pergerakan

(31)

spinal anestesi dan 24 jam 48 jam dg anestesi umum

sendi lengan maupun tungkai yang akan dipergunakan untuk berjalan.perawat akan mengajarkan anda bagaimana cara melakukan latihan ROM. Latihan ROM dilakukan dengan frekuensi 2 kali perhari,setiap gerakan sebanyak 4 kali setiap set.

Langkah –langkah latihan ROM a. Gerakan pertama, mengangkat kedua

bahu, kemudian menurunkan kembali. b. Gerakan kedua, mengangkat kedua

tangan keatas secara bergantian. c. Gerakan ketiga, mengangkat tangan

keatas seperti gerakan memetik buah dan lakukan secara bergantian.

d. Gerakan keempat, melakukan gerakan kedua tangan mendorong kedepan. e. Gerakan kelima, mengangkat kedua

tangan sejajar dengan bahu kemudian turunkan keatas tempat tidur dan berikan sedikit tekanan pada tempat

(32)

tidur.

f. Gerakan keenam, mengepalkan tangan dan melakukan gerakan seperti mengangkat beban . gerakan mengepal dilakukan sambil mengencangkan otot selama 10 detik. g. Gerakan ketujuh, pasien duduk

ditempat tidur, letakan kedua telapak tangan disisi badan lalu angkat bokong dengan beban tertumpu ditelapak tangan. Gerakan ini dilakukan selama 10 detik.

h. Gerakan kedelapan, mengangkat kaki yg sehat keatas kemudian turunkan secara perlahan.

i. Gerakan kesembilan, letakan bantalan dibawah lutut, dengan menggunakan otot paha berikan tekanan pada bantalan selama 10 detik.

j. Gerakan kesepuluh, arahkan telapak kaki kedepan dan kebelakang secara

(33)

bergantian.

Prosedur Latihan Ambulasi Dini

Hari ke 2 pasca operasi

1. Pasien duduk disamping tempat tidur. cara kerja:

a. Pastika posisi anda bergeser kesamping tempat tidure.

b. Dari posisi berbaring lalu duduk dengan tegak.

c. Arahkan badan dan kaki anda bergeser dan berputar 90 ˚ menuju samping tempat tidur.

d. Perawat akan membantu mengangkat kaki yang dioperasi dan menurunkannya secara perlahan.

e. Kemudian, duduk disamping tempat tidur dengan kaki menjuntai kelantai.

2. Pasien berejalan menggunakan tongkat ( jarak +/- 4,5 meter).

a. Sebelumnya perawat akan mengukur tongkat sesuai dengan kebutuhan

(34)

anda.

b. Selanjutnya, perawat akan mengajarkan anda bagaimana cara menggunakan alat bantu jalan (tongkat).

c. Perawat akan membantu anda dari posisi duduk menuju posisi berdiri. Jika anda merasa pusing, jantung berdebar, atau kelelahan segera beritahu perawat.

d. Selanjutnya perawat memberi tongkat kepada anda.

e. Anda akan dibimbing perawat selama berjalan, pastiakan kaki yang dioperasi tidak menyentuh lantai saat berjalan sesuai anjuran petugas.

Cara menggunakan tongkat : a. Letakan jari 2 jari dibawah ketiak.

b. Tangan menggengam pegangan tongkat dengan siku membentuk sudut 15-30˚ c. Posisi ujung bawah tongkat berada sekitar

(35)

15cm kesamping bagian depan kaki. d. Berdiri dalam posisi tegak, dengan kaki

tidak menapak ( pada kaki yang sakit) e. Jika ingin berjalan, gerakan tongkat

kedepan diikuti kaki yang dioperasi, selanjutnya anda melangkah.

2.5. Iowa Level Of Assistance Scale (ILOA). 2.5.1. Pengertian ILOA.

Iowa Level Of Assistance Scale (ILOA) adalah instrument yang digunakan untuk mengukur kemampuan mobilisasi dini pada pasien post operasi (ORIF ekstrimitas bawah) (Kimmel, 2016).

2.5.2. Tugas penilaian.

2.5.3. Adapun tugas yang dinilai dalam penerapan ILOA menururt Benedetti (2014) ada 5 yaitu :

2.5.3.1. Posisi tidur menuju duduk di samping tempat tidur. 2.5.3.2. Duduk di samping tempat tidurmenuju berdiri. 2.5.3.3. Berjalan 4,5 m.

2.5.3.4. Naik dan turun tiga anak tangga.

(36)

2.5.4. Skala ordinal dan definisi tingkat bantuan.

Tabel 2.2 : Tabel skala dan definisi tingkat bantuan.

0 Mandiri Tidak ada bantuan atau supervise yang diperlukan untuk melakukan aktivitas dengan aman atau tanpa menggunakan alat bantu, atau alat modifikasi.

1 Waspada Supervisi diperlukan untuk melakukan aktivitas dengan aman, tidak ada kontak yang diperlukan. 2 Minimal Satu titik kontak diperlukan untuk melakukan

aktivitas dengan aman, termasuk membantu menggunakan alat bantu berjalan, mengatur tungkai dan menstabilkan alat berjalan.

3 Sedang Dua titik kontak diperlukan (oleh satu atau dua orangg ) untuk melakukan aktivitas dengan aman. 4 Maksimal Dukungan bermakna diperlukan pada tiga atau

lebih titik kontak (oleh satu orang atau lebih). 5 Gagal Mencoba aktivitas, tapi gagal meski dengan

bantuan maksimal. 6 Tidak

diuji

Karena alasan medis atau alasan keamanan uji tidak dilakukan.

(37)

2.5.5. Rentang skor.

2.5.5.1. Skor minimal yaitu jika pasien mandiri melakukan seluruh aktivitas (tingkat ketergantungan =0) untuk melakukan tugas, skor total 5x0=0.

2.5.5.2. Skor maksimal yaitu jika pasien tidak mampu melakukan seluruh aktivitas karena alasan medic atau alasan keamanan (tingkat bantuan=6) maka skor total 5x6=30

Gambar

Gambar 2.1 : ORIF tulang tibia dan fibula
Gambar 2.2 : Gerakan ROM 1
Gambar 2.2 : Gerakan ROM 3
Tabel 2.1 SOP ambulasi
+2

Referensi

Dokumen terkait

2) Dari cedera tersebut akan menimbulkan perdarahan makroskopis yang akan menimbulkan reaksi peradangan, dari reaksi peradangan tersebut akan melepaskan mediator kimiawi yang

Secara keseluruhan kegiatan supervisi keperawatan sudah bagus dan berjalan sesuai dengan skenario yang sudah dibuat. Yang perlu ditambahkan adalah pada lembar

Dari hasil pengukuran kelelahan kerja pada tenaga kerja di bagian penggilingan kain perca tenaga kerja yang telah melakukan pekerjaan lebih mudah mengalami

Peran dan Fungsi Tenaga Kesehatan Pada Home Care.. Kondisi

Dari pengklasifikasian jenis kayu tersebut, selanjutnya dilanjutkan dengan menggunakan algoritma k-Nearest Neighbor (KNN) untuk mendapatkan pengelompokan jenis kayu

Koloid gabungan yaitu zat yang aditif permukaan yang memiliki dua daerah yng melakukan aktivitas larutan aktif dalam molekul air yang sama dengan suatu medium

Bilik Mesyuarat 1 & 2, Studio Multimedia, Dewan Kuliah, Bilik Kuliah 1-6 SOFTAM Prasiswazah Prasiswazah CAIT Cyber Security Prasiswazah norana n.diyana erra rais rustam aisha

ANALISIS PEMODELAN SEDIMENTASI DI SALURAN KENCONG TIMUR BEDODO MENGGUNAKAN PROGRAM HEC-RAS; Erik Setyo Irawan; 091910301026; 66 halaman; Jurusan Teknik Sipil Fakultas